Ayusalsabilr
Ayusalsabilr
By : Ayu Sasalsabila.
Undang - undang Republik Indonesia Nomor
19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Ketentuan pidana:
pasal 27
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak
melakukan perbuatan sebagaimana di maksud pasal 2 ayat (1)
atau pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) di pidana dengan pidana
masing-masing paling singkat satu bulan atau denda paling
sedikit Rp. 1.000.000,00 atau pidana penjara paling 7 tahun
atau denda sebanyak Rp. 5.000.000,00.
2. Barang siapa yang sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai di
maksud pada ayat (1) di pidana dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00.
Kata pengantar.
Bismillahirrohmanirrohim.
Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan
rezeki yang luas dan limpah ruah, dan cukuplah Allah sebagai
pemberi petunjuk, penolong, tempat kembali dan tempat
berpulang.
Salam.
Ayu
Sasalsabila
Daftar isi.
Bab 1. Kesalahan_06
Bab 4. Dewasa_53
Bab 5. Keputusan_63
BAB 1
Kesalahan.
“Cepat bangun! Sudah jam berapa ini? Mau sholat jam berapa
hah? Anak gadis kok malas-malasan.” Ibu mengomel.
“otak kamu itu berfungsi nggak? Hah? Harusnya kamu itu bisa
mikir mana yang baik mana yang buruk.” ucap Ayah sambil
menunjuk-nunjuk mukaku.
Aku mengangguk.
“kamu itu udah gede Ta. Ayah punya tanggung jawab besar
sama anak perempuan Ayah, Ayah nggak mau kamu kenapa-
napa, Ayah nggak mau gagal jadi Ayah buat anak-anak Ayah,
nurut ya sama Ayah.”
Aku mengangguk.
“buktinya Allah ngasih tau Ayah tentang itu semua, biar apa?
Biar kamu dijauhkan dari hal-hal yang buruk, coba kalo Ayah
nggak tahu? Bisa lebih parah dari ini mungkin.”
BAB 2
Beberapa minggu setelahnya, sekitar setengah tujuh
pagi. Ibu tengah sibuk dengan jahitannya, Ayah pergi
nongkrong diwarung kopi, aku duduk bersantai dikursi
sembari memainkan ponsel, Bang Ardi masih tidur. Masih
terlalu pagi menurutku, dan aku masih sangat malas jika harus
memulai aktivitas rumah. Nanti ajadeh nunggu Bang Ardi
bangun, males banget kalo harus ngerjain semuanya
sendirian. Batinku.
“ya kamu itu anak perempuan, beda sama anak laki-laki. Nanti
kalo udah gede kamu juga bakalan ngurus rumah sendirian,
makanya Ibu nyuruh kamu itu biar kamu bisa belajar dari
sekarang, biar nanti nggak jadi menantu yang jorok.”
“udah nggak bisa masak, nggak bisa nyuci baju, nyuci piring
juga ngga bersih, haduhh Ibu kok kasian sama mertua kamu
nanti.” kata Ibu.
“ehh enak aja, aku bisa masak yaa!, bisa nyuci baju juga,
padahal aku kalo nyuci piring selalu bersih. Ibunya aja yang
kebetulan ngambil piringnya ga bersih.”
“halah kamu itu, alesan teros, sana cepet diberesin.” titah Ibu.
ku hanya terluka
“mau kemana?”
Aku tertegun.
“hah?” kataku.
“kamu harus Ayah bilangin kayak apa biar kamu itu ngerti?”
Aku diam.
“jatuh cinta itu nggak mudah Ta. Kamu harus bisa bedain
mana yang cinta dan mana yang sekedar kagum. Kagum itu
Cuma sementara, besok-besok paling udah bosen, tapi kalo
cinta? Cinta itu abadi. Mau sebanyak apapun kamu bertemu
dengannya, sebanyak itupula kamu akan selalu jatuh cinta.”
“setiap orang yang berani jatuh cinta berarti telah berani
menuai asa pada setiap rasa, berarti telah berani menemui fase
kecewa. Setiap yang jatuh pasti akan rusak. Bahkan jatuh
cintapun akan merusak pada waktunya, mau kamu tutupi
sekeras apapun, kalo yang diserang hati, kamu bisa apa? Cuma
Tuhan yang maha membolak-balikkan hati manusia.”
⸙
Semburat merah mulai berpendar memancarkan
kilauannya, matahari perlahan-lahan menenggelamkan dirinya
pada batas langit, suara adzan magrib mulai dikumandangkan
dari masjid depan rumahku, beberapa tetangga melintas
didepan rumah tergesa-gesa menuju ke masjid, aku masih pada
posisi semulaku, duduk dibangku dalam rumah, memainkan
ponsel, menghiraukan lantunan adzan barusan.
Aku menoleh.
Adipta Mahendra.
Yang? 18.38
Ngapain? 18.38
Amerta Rinjani.
Rebahan 18.40
Bisa? 18.40
Adipta Mahendra.
Ameta Rinjani.
Adipta Mahendra.
Udahan? 18.43
Ameta Rinjani.
Amerta Rinjani.
Adipta Mahendra.
Gabisa. 18.49
Maaf. 18.49
Ting!
Adipta Mahendra.
“hah?”
Aku gelagapan, kok ibu bisa tau?
“enggak.” kataku.
⸙
BAB 3
“yaudah Ta, ibu ajakin masuk aja, anginnya udah nggak terlalu
kenceng nih, palingan bentar lagi hujannya reda.” kata Bang
Ardi
Amerta Rinjani.
⸙
“Ayah mau ngomong sebentar sama kalian, HPnya bisa
dimatikan dulu?”
Aku dan Bang Ardi saling tatap, kemudian meletakkan ponsel.
Ayah menghembuskan nafas kasar, terlihat berat
mengatakannya, aku dan Bang Ardi sekali lagi saling
mandang.
“Abang sekarang umur berapa Bang?” tanya Ayah.
“16 yah.”
“Amerta?” Ayah menatapku lembut.
“14 tahun ini yah.”
“sebelumnya Ayah minta maaf, Ayah harap Abang sama
Amerta bisa berfikir secara dewasa.”
Aku menerka-nerka arah pembicaraan Ayah.
“mengenai kondisi Ibu yang akhir-akhir ini kurang enak
badan, suka mual tiba-tiba, sering drop kalo kecapean, Ayah
khawatir terjadi yang engga-engga, kemarin Ayah sama Ibu ke
Klinik dan ternyata Ibu sudah mengandung tiga minggu, Ayah
juga kaget, Ayah nggak nyangka Ibu bakal hamil lagi.”
“dan kata dokternya Ibu nggak boleh kecapean, nggak boleh
banyak fikiran karna Ibu hamil tua jadi banyak resikonya, tapi
yang dikhawatirkan sam Ibu buka itu.”
“Ibu khawatir sama kalian, Ibu takut kalian diejek temen-
temen karna udah gede punya adik lagi, Ibu takut kalian malu
sampai Ibu minta persetujuan Ayah untuk menggugurkan
kandungannya, tapi Ayah menolak keras usulan Ibu, karna
mau bagaimanapun itu adalah anugrah dari Allah, titipan dari
Allah, dan darah daging Ayah juga, jadi Ayah nggak bisa kalo
Ibu minta persetujuan itu.”
“jadi Ayah harap kalian bisa berfikir secara dewasa tentang
ini, Ayah harap kalian bisa ikhlas menerima itu semua, kasian
Ibu kondisinya sering ngga stabil gara-gara banyak fikiran.”
Aku mengangguk.
“Merta nggak papa kok Yah, Merta nggak malu.” kataku
sambil tersenyum diikuti anggukan kepala Bang Ardi.
⸙
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat, kandungan Ibu
telah memasuki minggu ke 34, perut Ibu telah besar, Ibu jadi
lebih susah beraktivitas, kakinya membengkak, namun Ibu
masih tetap bekerja, meskipun sudah jarang menjahit, hanya
memotong bagian-bagian yang kemudian diserahkan kepada
Bude Zul dan Mbak Laila, urusan menyetrika dan memasang
kancing atau hiasan-hiasan yang menempel pada baju
diserahkan kepadaku.
“Ta”
“oiya.”
“mau dongggg.”
⸙
Aku mendengar suara dentingan sendok dan piring,
aku segera membereskan mukena dan keluar dari kamar,
kulihat Ayah dan Bang Ardi telah duduk diatas karpet yang
digelar didepan TV, uap mengepul dari atas nasi goreng
buatan Ayah, masih didalam wajan, tanpa perlu memindahkan
dalam wadah yang lain, aku mendekat, bergabung, ikut duduk
disebelah Bang Ardi, keluarga kami memang selalu
menyempatkan makan saat lembur begini, kata Ibu kalo perut
kosong dibuat bekerja itu nggak baik, apalagi kalo terkena
angin malam, bisa masuk angin nanti.
“iya, kalian makan sajalah dulu, masih nanggung ini, nanti Ibu
nyusul.”
⸙
Ayah dan Ibu telah saling mengenal sejak SMP, tapi
mereka berpacaran saat SMA, melewati segala lika-liku
perjalanan yang sangat mendramatis, 7 tahun berpacaran dan
akhirnya memutuskan menikah.
⸙
Entah minggu yang keberapa, pagi itu, udara masih
terasa begitu dingin, uapan embun masih bergelayut manja
pada pucuk dedaunan, matahari belum memperlihatkan
sinarnya, jalanan masih begitu sepi, sesekali para ibu-ibu
bersepeda, mengayuh tergesa-gesa, membonceng beronjong
yang dipenuhi hasil bumi, segera membawanya ke lokasi
perdagangan.
Tak dikunci.
“Assalamu’alaikum.”
“Ibuk?”
“Puskesmas.”
“ya mau gimana lagi? Kan belum lahiran, kata Ibu baru
kontraksi.”
“kita sekolah dulu aja Amertaaa, nanti kalo ada kabar dari
Ayah suruh nyusulin kesana baru kita kesana.”
⸙
Disekolah aku tak bisa fokus dengan mata pelajaran,
pikiranku tak bisa berhenti membayangkan seperti apa kondisi
ibu dan calon adikku, saat jam istirahatpun, aku tak pergi dari
bangkuku, sibuk menatap ponsel, menunggu dengan segala
harapan-harapan segera mendapat kabar.
Ayah.
Ardian Kalingga.
Drtt… drtt…
“halo bang?”
“oke.”
“nanti aja kalo udah dibawa pulang ke rumah, kamu mau main
seharian juga boleh.”
“oh ya, nanti kalo ada guru maple yang nanyain tolong izinin
yaa Bit.” Lanjutku.
“bye Sabithaa.”
⸙
BAB 4
Dewasa.
Andini Prameswari, dua puluh bulan setelah
kelahirannya, Ibu melahirkan lagi anak laki-laki, Afnan
Anggara. Ayah dan Ibu sangat mempercayai prinsip Banyak
anak banyak rezeki. Dan katanya, memang sudah dari awal
menikah, Ayah dan Ibu ingin mempunyai anak empat,
seharusnya sebelum Angga lahir memang sudah empat, tapi
karena Talenta diasuh Pakde Fatah, maka keinginan
mempunyai anak lagi tak mau ditanda.
“Ibu pengennya nanti ada yang jadi Pegawai Negeri, ada yang
jadi Dokter, ada yang nerusin usaha Ibu, dan ada yang jadi
Hafidz Qur’an.” kata Ibu disuatu waktu, saat aku
mengomentari rencana Ayah dan Ibu mau punya anak lagi.
Kalo kata Ayah. “biar nanti kalo Ayah udah tua, udah sering
sakit-sakitan, kamu nggak kerepotan ngurus Ayah sendirian
karna punya saudara banyak, bisa dimintai tolong, dan nggak
perlu bingung nyari bantuan kalo ada apa-apa.”
⸙
Sabtu. Aku, Sabitha, Vanya, Yudith dan Emili duduk
dipojok kantin, jam istirahat tinggal lima belas menit lagi dan
kita masih enggan beranjak dari bangku masing-masing.
“boleh sih, kata Tante aku tempatnya Aesthetic gitu, jadi enak
buat nongkrong anak muda hahah.” ucap Emili menimpali.
“gass aja sih aku mahhh.” ucap Sabitha yang disusul anggukan
kepala Vanya.
“ehh sorry gays, tapi kayaknya aku ga bisa deh.” kataku lesu.
“kita nggak maksa kok Ta, kalo kamu nggak mau juga nggak
papa.” ucapan Sabitha membuyarkan lamunanku.
“yaudah sih kita ke kelas yok, bentar lagi bel.” kata Yudith.
“yaudah sana bawa aja nih. Tapi jangan lama-lama bentar lagi
bel.” ucap Sabitha sambil mendorongku kearah Ardan,
kemudian segera berlalu pergi dari hadapan kami.
“ya tapikan aku pengen ikutt, sekarang aja aku udah jarang
ikut ngumpul sama mereka.”
“byee.”
Gantian dia yang menganggukkan kepala, kemudian pergi
menuju kelasnya, hanya sesederhana itu, nggak pernah ketemu
selain dijam sekolah, karna Ayah sangat protektif dengan
pergaulanku.
⸙
Pukul 21.00 WIB, keadaan rumah masih ramai, kedua
adikku masih asik bermain-main, aku asik memainkan
ponselku, Ayah dan Bang Ardi belum pulang dari Warung
Kopi.
“ihh nggak mau, kamu aja yang bobok disana, kamukan yang
boboknnya sama Ibuk.”
“iya besok Ayah belikan, sabar dulu ya nak yaa.” kata Ayah
berusaha menenangkan, tak tega melihat anaknya menangis,
namun Andin yang belum mengerti situasinya, bukannya
diam malah menangis semakin kencang, sambil
menggelengkan kepala.
“mau mainan ituu ayo beli Yahhh.” katanya dengan derai air
mata.
“iya-iya kamu sabar dulu, nanti kalo Ayah dan Ibu udah punya
uang pasti Ayah belikan, sabar dulu ya nak ya.” Ayah tetap
berusaha menenangkan Andin.
“dihh inikan kamar Mbak! Kamu aja yang awas! Mbak mau
bobok disini.” aku merebahkan diri disampingnya.
Angga menggeliat.
Aku tertawa.
“Wa’alaikumsalam.”
“ngapain yang?”
“habis sholat.”
“ohh.”
“emang kenapa?”
“trus diapain?”
BAB 5
Keputusan.
Pagi itu semua anak-anak kelas XII berkumpul untuk
acara Sosialisasi Perkuliahan. Aula sekolah penuh, riuh para
siswa siswi yang berbincang-bincang, aku dan Emili berjalan
mencari tempat duduk, kami terpisah dengan Sabitha, Yudith
dan Vanya, mereka sudah berada dibaris paling depan begitu
antusias dengan dunia perkuliahan.
“insyaallah.” kataku.
“mau kerja aja, bantu cari uang, kasian Ibu kalo harus
ngebiayain sekolahku lagi.” katanya.
⸙
Pukul 12.45 WIB. Seusai sholat Dzuhur, aku, Sabitha,
Emili, Vanya dan Yudith duduk dipojok kantin, setelah
Sosialisasi tadi kelas XII dibebaskan dari pelajaran hingga jam
pulang tiba, maka kami memutuskan untuk ngumpul dikantin.
“kalian pada mau kuliah?” tanyaku.
“ya nggak papa sih Dith, malah enak kalo ada apa-apa bisa
langsung japri Ayah kamu.” sahut Emili.
Aku menggeleng.
Aku menggeleng.
⸙
Seusai sholat Magrib dirumah. Aku, Ayah dan Ibu
makan malam bersama, Andin dan Angga sibuk bermain
bedua, sesekali kami tertawa menatap tingkah lucu kedua
adiku itu.
Aku berbinar.
“rencananya kamu mau Ayah kirim ke Jawa Timur, nanti
disana kamu ikut Buk Ning, biar kamu ada yang nghendle.”
“iya nanti pasti juga ngkost, kamu ikut Buk Ning ya cuma pas
awal-awal aja itu to, nanti kalo udah dapet kampus yang cocok
baru nyari kost yang deket sama kampus.” sahut Ibu.
Aku menggeleng.
⸙
Seperti biasa, Drama Andin dan Angga ketika mau
tidur yaitu, rewel dulu. Harus beginilah, nggak boleh
begitulah, minta ganti bajulah, minta dielus-eluslah, pokoknya
sangat menyebalkan. Malam ini aku tidur ikut mereka, entah
kesambet apa tumben-tumbenan Andin minta tidurnya
dikelonin sama aku. Akhirnya aku tidur ditengah-tengah
antara Andin dan Angga Ibu sebelah Angga mengelus-elus
puncak kepala Angga agar segera tertidur, Andin telah terlelap
dari tadi, mungkin terlalu kelelahan bermain seharian. Ayah
memang tak pernah mau tidur didalam kamar, tak betah
dengan gerah, meskipun dengan kipas yang menyala Ayah
tetap kurang puas, setiap hari Ayah tidur diranjang depan TV,
sendirian, tak mau diganggu siapapun.
Aku tertawa.
Aku terdiam.
“Ibu minta maaf, sebenernya Ibu juga pengen banget bisa liat
anak-anak Ibu kuliah, sekolah yang tinggi, tapi ya mau gimana
lagi? Keadaannya lagi susah, Ibu minta maaf ya Mbak.”
⸙
Profil
Penulis.
Ayu Sasalsabila Litsania Rikartanto, anak kedua dari
lima bersaudara, lahir pada tanggal 07 Desember 2005, nggak
suka apapun kecuali Uang. Keinginanya cuma satu, jadi
sumber kabahagiaan untuk keluarganya.