Anda di halaman 1dari 30

RESUME

RINGKASAN MATERI KELOMPOK 1-6


Disusun untuk Memenuhi Tugas Gangguan Sistem Reproduksi

Disusun Oleh:
Kelompok 6

Sinta Eva Ningrum 212207158


Siti Fatonah 212207159
Siti Rusniwati 212207160
Sri Puji Rezekiah 212207161
Surianti 212207162
Syadhila Adzkiah Saleh 212207163
Vika Suci Indah Sari 212207164
Wiwit Dwiprawidya Nabila Putri 212207165
Wiwit Triastuti 212207166
Yani Sugianti 212207167

PROGRAM STUDI KEBIDANAN (S-1) FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI YOGYAKARTA
2022
KELOMOPOK 1

KANKER SERVIKS (Ca SERVIKS)

A. Anatomi Ca Serviks

(Gambar 1. Anatomi Ca Serviks)

B. Kasus Singkat
Pasien masuk di Ruang Edelweis RSUD. Prof. Dr. W.Z Johannes Kupang pada hari
jumat tanggal 02 Juni 2017 pukul 13.00 wita dengan nomor RM 464947. Pengkajian dilakukan
pada tanggal yang sama Jam 13.15 wita. Pengkajian dilakukan pada Ny.Y. L umur 56 tahun,
agama kristen protestan, suku Rote, pendidikan terakhir SD, pekerjaan sehari- hari mengurus
rumah tangga. Suami: Tn S.L, umur 60 tahun, agama kristen protestan, alamat rumah Oebufu,
RT 008/RW 002.

Dari hasil pengkajian pada Ny. Y.L didapatkan keluhan ibu mengatakan nyeri perut
bagian bawah dan keluar darah dari jalan lahir ibu dikirim dari poli kebidanan untuk dirawat
di Ruang Edelweis RSUD. Prof. Dr. W.Z Johannes Kupang guna untuk mencegah perdarahan
dan nyeri yang dialami oleh ibu. pengkajian riwayat reproduksi Ny. Y.L. Menarche pada usia
13 tahun, siklus 28-30 hari, lamanya 4-5 hari, sifat darah encer, tidak ada nyeri haid. Riwayat
perkawinan status perkawinan sah, lamanya menikah 33 tahun, umur pada saat menikah 23
tahun.

Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu: ibu mengatakan pernah melahirkan
5 orang anak, tidak pernah keguguran, pada tahun 1984 ibu melahirkan anak pertama di rumah,
jenis persalinan normal, usia kehamilan aterm, ditolong oleh dukun, dan anak ibu yang terakhir
sekarang berumur 21 tahun. Riwayat keluarga berencana Ny. Y.L pernah menggunakan alat
kontrasepsi suntik 3 bulan kurang lebih 5 tahun. Riwayat penyakit sekarang Ibu mengatakan
nyeri pada perut bagian dan keluar darah dari jalan lahir, ibu pernah mengalami keputihan yang
berbau dan gatal-gatal pada daerah kemaluan dan perdarahan pervaginam setelah koitus 1
tahun yang lalu. Ibu mengatakan telah melakukan pemeriksaan 3 hari yang lalu di RSUD Prof
Dr. W. Z Johannes Kupang ibu didapatkan diagnosis secara klinis kanker serviks stadium IIIB.

Dari data objektif didapatkan hasil pemeriksaan keadaan umum lemah, kesadaran
compos mentis, tanda-tanda vital: TD: 120/70 mmHg, N: 84 x/m, SB: 36,90c, RR 20 x/m, BB
sebelum sakit: 56 kg dan BB saat sakit: 50 kg. Pemeriksaan fisik didapatkan hasil wajah bersih,
ibu tampak cemas, tidak ada oedema, mata konjungtiva pucat, sclera putih, mulut dan gigi
mukosa bibir lembab, tidak ada caries, abdomen, tidak ada bekas luka operasi, tidak ada
benjolan, ada nyeri tekan pada perut bagian bawah, ekstremitas simetris, tidak ada oedema dan
tidak ada varises. Genitalia keluar darah dari jalan lahir. Pemeriksaan penunjang tanggal 30-
05-2017 di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes yaitu USG : hidronefrosis bilateral, HB 8,2 gr %,
Golongan darah B, Eritrosit 3,50 10^6/ul, Hematokrit 25,7 %, Leukosit 14,78 10^3/ul,
Trombosit 40610^3/ul, Ureum 57,78 mg/dl, Kreatini 1,70 mg/dl.

Berdasarkan hasil pengkajian terhadap riwayat kesehatan pada Ny. Y.L maka dapat
ditetapkan diagnosa Ny. Y.L umur 56 tahun dengan kanker serviks stadium IIIB (Kenat, 2017).

C. Patofisiologi Ca Serviks
Sebelum terjadinya kanker, akan didahului dengan keadaan yang disebut lesi pra
kanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS). NIS merupakan awal dari perubahan menuju
karsinoma serviks uterus. Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spektrum penyakit
yang dimulai dari displasia ringan (NIS 1), displasia sedang (NIS 2), displasia berat dan
karsinoma in-situ (NIS 3) untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Konsep
regresi spontan serta lesi yang persisten menyatakan bahwa tidak semua lesi prakanker akan
berkembang menjadi lesi invasif, sehingga diakui bahwa masih cukup banyak faktor
berpengaruh Prevalensi NIS di Amerika Serikat pada perempuan yang menjalani skrining
kanker serviks sebesar 4 persen untuk NIS 1 dan 5 persen untuk NIS 2 dan 3. Lesi tingkat
tinggi biasanya didiagnosis pada wanita 25 sampai 35 tahun, sedangkan kanker invasif lebih
sering didiagnosis setelah usia 40, biasanya 8 sampai 13 tahun setelah diagnosis lesi kelas
tinggi. Pada negara yang berkembang seperti di Nigeria usia rata-rata untuk neoplasia
intraepithelial servikal ((NIS) adalah 37,6 tahun. NIS 1 menyumbang 3,6%, NIS 2 0,8% dan
NIS 3 hanya 0,4% (Imelda & Santosa, 2020).

D. Diagnosis Ca Serviks
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan klinik (Kemenkes RI, 2016).

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

2. Pemeriksaan penunjang

Diagnosa banding Beberapa diagnosa banding dari kanker serviks antara lain
(Kemenkes RI, 2016): 1) Adenokarsinoma endometrial 2) Polip endoservikal 3)
Chlamydia trachomatis atau infeksi menular seksual lainnya pada wanita dengan keluhan
perdarahan vagina, duh vagina serosanguinosa, nyeri pelvis, serviks yang meradang dan
rapuh (mudah berdarah, terutama setelah berhubungan seksual).

E. Gejala Ca Serviks
Kanker serviks memiliki beberapa gejala untuk mengenalinya, diantaranya yaitu:

1. Pada umumnya pasien tidak merasakan gejala kanker serviks jika masih pada stadium
awal. Gejalanya baru muncul saat sel kanker serviks sudah menginvasi jaringan di
sekitarnya sehingga ketika pasien mengetahuinya kanker serviks sudah berada pada
stadium lanjut.

Gejala umum yang dirasakan oleh penderita kanker serviks yaitu perdarahan vagina yang
tidak normal, perdarahan setelah bersenggama ataupun perdarahan setelah menopause, dan
keputihan.

2. Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau, dan dapat
bercampur dengan darah. Penderita akan merasakan nyeri panggul (pelvis) atau di perut
bagian bawah bila ada radang panggul. Bila nyeri terjadi di daerah pinggang ke bawah,
kemungkinan terjadi hidronefrosis.

3. Pada stadium lanjut, terjadi penurunan berat badan, edema kaki, timbul iritasi kandung
kemih dan rektum bawah, kemungkinan terjadi hidronefrosis (Imelda & Santosa, 2020)
E. Penyebab Terjadinya Ca Serviks
Kanker serviks merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh HPV atau Human
Papilloma Virus, mempunyai presentase yang cukup tinggi dalam menyebabkan kanker
serviks yaitu sekitar 99,7%. Lebih dari 70% kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV tipe
16 dan 18. Infeksi hPV mempunyai prevalensi yang tinggi pada kelompok usia muda,
sementara kanker serviks baru timbul pada usia tiga puluh tahunan atau lebih.

Sampai saat ini penyebab kanker serviks belum diketahui secara pasti, namun terdapat
hubungan yang cukup erat antara kanker serviks dengan infeksi HPV (Human Papiloma
Virus). Terdapat kurang lebih 100 jenis HPV yang telah diidentifikasi dan sekitar 40 jenis yang
menyebabkan kanker, diantaranya adalah tipe 16 dan 18 yang menjadi penyebab lebih dari
70% kasus kanker serviks di dunia. HPV adalah sekelompok virus yang menyebabkan serviks
terinfeksi, dan hal ini merupakan faktor utama penyakit kanker serviks. Penularannya terjadi
melalui kontak seksual.

HPV (Human Papiloma Virus) juga biasa disebut wart virus (Virus kutil). Terdapat
lebih dari 100 tipe HPV yang telah diidentifikasi, 40 tipe tersebut menyerang wilayah genital.
Dari 40 tipe tersebut, 13 diantaranya merupakan tipe onkogenik dan dapat menyebabkan
kanker serviks atau lesi prakanker pada permukaan serviks. Sedangkan tipe lain disebut
sebagai tipe resiko rendah yang lebih umum menyebabkan kutil kelamin (genital wart). HPV
dapat dengan mudah ditularkan melalui aktivitas seksual dan beberapa sumber transmisi tidak
tergantung dari adanya penetrasi, tetapi juga melalui sentuhan kulit di wilayah genital tersebut
(skin to skin genital contact), dengan demikian setiap wanita yang aktif secara seksual
memiliki risiko untuk terkena kanker serviks (Imelda & Santosa, 2020)

Selain itu, faktor resiko yang dapat meningkatkan peluang seorang wanita mengalami
kanker serviks yakni:

1. Usia Pertama Menikah

2. Paritas

3. Hygiene rendah

4. Kontrasepsi oral
5. Status Suami Merokok

F. Komplikasi Ca Serviks
Dampak kanker serviks bisa terjadi atau muncul karena stadium kanker serviks yang
sudah memasuki stadium lanjut yaitu komplikasi penyakit hingga kematian. Adapun
komplikasi yang dapat dirasakan yakni:

1. Rasa sakit akibat penyebaran kanker

2. Gagal ginjal

3. Penggumpalan darah

4. Pendarahan berlebih

5. Fistula

6. Kematian

G. Pengobatan/Penatalaksanaan Ca Serviks
1. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan klinik ini meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks, sistoskopi, rektoskopi,
USG, BNO-IVP, foto toraks dan bone scan, CT scan atau MRI, PET scan. Kecurigaan
metastasis ke kandung kemih atau rektum harus dikonfirmasi dengan biopsi dan histologik.
Konisasi dan amputasi serviks dianggap sebagai pemeriksaan klinik. Khusus pemeriksaan
sistoskopi dan rektoskopi dilakukan hanya pada kasus dengan stadium IB2 atau lebih.

2. Pengobatan Ca Serviks

Pemilihan pengobatan kanker leher rahim tergantung pada lokasi dan ukuran tumor,
stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita, dan rencana penderita untuk hamil lagi.
Pengobatan kanker leher rahim antara lain:

a. Pembedahan

b. Terapi penyinaran (radioterapi)

c. Kemoterapi
d. Terapi biologis

e. Terapi gen

3. Obat-obatan

Analgesik merupakan pendekatan utama dalam penanganan nyeri kanker. Dengan


koordinasi terapi primer seperti kemoterapi, radioterapi dan pembedahan, farmakoterapi
dengan opioid, non opioid dan analgesik adjuvan dilakukan per-individu untuk
mendapatkan keuntungan dan keseimbangan antara hilangnya nyeri dan tidak timbulnya
efek samping.

WHO pada tahun 1986 mempublikasikan buku kecil dengan penuntun untuk
pemberian obat untuk penderita dengan nyeri kanker. Penuntun ini memformulasikan
mengenai konsep tangga analgesik (analgesic ladder). Tangga analgesik ini telah diuji di
banyak negara baik negara maju dan negara yang sedang berkembang dengan hasil dapat
mengobati lebih dari 80% penderita. Di negara yang sedang berkembang, tantangannya
terletak pada pendidikan dan implementasi prinsip-prinsip dasar di balik tangga analgesik ini.
Adapun WHO Three Step ladder adalah sebagai berikut.

a. Step I: Penderita dengan nyeri kanker ringan sampai sedang harus diobati dengan analgesic
nonopioid, yang harus dikombinasikan dengan obat-obat tambahan jika ada indikasi.

b. Step II: Penderita yang relatif tidak toleran dan menderita nyeri sedang sampai berat, atau
yang gagal mendapatkan perbaikan setelah percobaan dengan analgesik nonopioid harus
diobati dengan opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri sedang (opioid lemah).
Yang termasuk dalam golongan ini adalah kodein, hidrokodon, dihidrokodein, oksikodon
profoksifen. Obat-obatan ini umumnya dikombinasikan dengan non opioid dan bisa
diberikan bersama-sama dengan analgesik adjuvant.

c. Step III: Penderita yang menderita nyeri berat, atau gagal mendapatkan perbaikan yang
adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua, harus menerima opioid konvensional
yang digunakan untuk nyeri berat (opioid kuat). Yang termasuk obat-obatan ini adalah
morfin, oksikodon, hidromorfon, metadon, levorphanol, fentanil. Obat-obatan ini bisa
dengan petunjuk dosis yang sesuai, pengobatan ini memberikan kesembuhan pada 70-90%
penderita (Imelda & Santosa, 2020)

H. Prognosis Ca Serviks
Kejadian kanker servik ini sebagian besar baru terdeteksi ketika penderita tersebut
sudah masuk pada stadium lanjut. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan
umum yang lemah, status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya manusia,
keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam
menentukan prognosis penderita kejadian kanker serviks.

Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5-years


survival rate untuk stadium I lebih dari 90%. untuk stadium II 60-80%, Stadium III
kemungkinan 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30% (Khairi et al., 2020)

KELOMPOK 2

CANCER OVARIUM

A. Pengertian

Kanker adalah salah satu penyebab kematian paling sering di belahan dunia dan merupakan
hambatan utama untuk mencapai harapan hidup yang diinginkan. Sekitar 6 juta wanita
didiagnosis menderita kanker dan lebih dari 3 juta meninggal akibat kanker setiap tahun di
seluruh dunia. Kanker ovarium merupakan pertumbuha sel-sel yang terbentuk di ovarium.
Sel-sel berkembang biak dengan cepat dan dapat menyerang atau menghancurkan jaringan
tubuh yang sehat.

B. Kasus Cancer Ovarium

Seorang perempuan Ny. Numur 35 tahun datang ke IGD RSUD Praya dengan keluhan
benjolan di perut bagian bawah. Benjolan baru dirasakan oleh pasien sejak satu minggu yang
lalu. Benjolan muncul tiba-tiba dan terasa nyeri bila ditekan. Pasien juga mengeluhkan
gangguan menstruasi beberapa bulan terakhir yaitu siklus menstruasi yang lebih lama dari
biasanya dan perdarahan yang lebih banyak, siklus menstruasi terakhir berlangsung hingga
dua belas hari dan tidak disertai dengan nyeri. Selain itu pasien mengaku mengalami
penurunan berat badan dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa hari terakhir pasien tidak bisa
BAB, namun sekarang pasien sudah bisa BAB. Pasien tidak mengeluhkan adanya gangguan
berkemih.

C. Patofisiologi

Menurut (Dewi, 2017) penyebab pasti kanker ovarium tidak diketahui namun
multifaktoral. Resiko berkembangnya kanker ovarium berkaitan dengan factor lingkungan,
reproduksi dan genetik. Faktorfaktor lingkungan yang berkaitan dengan dengan kanker
ovarium epitel terus menjadi subjek perdebatan dan penelitian. Insiden tertinggi terjadi di
industri barat. Kebiasaan makan, minum kopi, dan merokok, dan penggunaan bedak talek
pada daerah vagina, semua itu dianggap mungkin menyebabkan kanker. Penggunaan
kontrasepsi oral tidak meningkatkan resiko dan mungkin dapat mencegah. Terapi penggantian
estrogen pascamenopause untuk 10 tahun atau lebih berkaitan dengan peningkatan kematian
akibat kanker ovarium. Gen- gen supresor tumor seperti BRCA1 dan BRCA-2 telah
memperlihatkan peranan penting pada beberapa keluarga. Kanker ovarium herediter yang
dominan autosomal dengan variasi penetrasi telah ditunjukkan dalam keluarga yang terdapat
penderita kanker ovarium. Bila yang menderita kanker ovarium, seorang perempuan memiliki
50% kesempatan untuk menderita kanker ovarium.

Kanker ovarium dikelompokkan dalam 3 kategori besar :

1. Tumor- tumor epiteliel,


2. Tumor stroma gonad,
3. Tumor-tumor sel germinal.

Keganasan epiteliel yang paling sering adalah adenoma karsinoma serosa. Kebanyakan
neoplasma epiteliel mulai berkembang dari permukaan epitelium, atau serosa ovarium. Kanker
ovarium bermetastasis dengan invasi langsung struktur yang berdekatan dengan abdomen dan
pelvis. Sel-sel ini mengikuti sirkulasi alami cairan perinetoneal sehingga implantasi dan
pertumbuhan. Keganasan selanjutnya dapat timbul pada semua permukaan intraperitoneal.
Limfasik yang disalurkan ke ovarium juga merupakan jalur untuk penyebaran sel-sel ganas.
Semua kelenjer pada pelvis dan kavum abdominal pada akhirnya akan terkena. Penyebaran
awal kanker ovarium dengan jalur intraperitoneal dan limfatik muncul tanpa gejala atau tanda
spesifik. Gejala tidak pasti akan muncul seiring dengan waktu adalah perasaan berat pada
pelvis, sering berkemih, dan disuria, dan perubahan gastrointestinal, seperti rasa penuh, 8 mual,
tidak enak pada perut, cepat kenyang, dan konstipasi.pada beberapa perempuan dapat terjadi
perdarahan abnormal vagina sekunder akibat hiperplasia endometrium bila tumor menghasilkan
estrogen, beberapa tumor menghasilkan testosteron dan menyebabkan virilisasi. Gejalagejala
keadaan akut pada abdomen dapat timbul mendadak bila terdapat perdarahan dalam tumor,
ruptur, atau torsi ovarium

D. Gejala

Gejala-gejala yang mungkin timbul pada tahap awal penyakit:

1. Kembung
2. Nyeri panggul atau abdomen
3. Kesulitan makan karena merasa cepat kenyang
4. Merasa terdesak untuk buang air kecil atau sering buang air kecil
Apabila muncul gejala seperti ini selama beberapa minggu atau lebih, disarankan mengunjungi
dokter. Gejala lain yang kurang umum contohnya kelelahan, gangguan pencernaan, sakit
punggung, sakit saat hubungan intim, sembelit, dan ketidakteraturan menstruasi. Perut
membesar merupakan gejala umum tetapi sering tidak dirasakan oleh pasien kecuali ketika
ukuran tumornya sudah besar.

E. Penyebab
Hingga saat ini, belum diketahui dengan pasti apa penyebab terjadinya mutasi genetik
tersebut. Namun, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang menderita
kanker ovarium, yaitu :

1. Berusia di atas 50 tahun


2. Merokok
3. Menjalani terapi penggantian hormon saat menopause
4. Memiliki anggota keluarga yang menderita kanker ovarium atau kanker payudara
5. Menderita obesitas , obesitas, endometriosis atau sindrom Lynch
6. Pernah menjalani radioterapi
F. Komplikasi
1. Tubuh kelelahan ekstrem
2. Mual, muntah, dan sembelit kronis
3. Pembengkakan (edema)
4. Anemia
5. Asites
6. Penyumbatan pada perut
7. Penyumbatan pada kandung kemih
G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Kanker Ovarium


Penatalaksanaan kanker ovarium utama adalah pembedahan. Saat operasi, juga dilakukan
pemeriksaan histopatologi untuk menentukan ada tidaknya keganasan serta jenis kanker, dan
juga penentuan staging kanker. Kemoterapi ajuvan dilakukan pada pasien setelah
pembedahan, kecuali jika penyakit terbatas hanya pada ovarium, serta pada kanker yang tidak
dapat dioperasi.
a. Operasi dengan Sitoreduksi
b. Penambahan Kemoterapi
Penambahan kemoterapi dengan menggunakan dasar platinum setelah operasi
direkomendasikan pada pasien kanker ovarium stadium awal (stadium 2 ke atas)
dan/atau pada pasien yang memiliki karakter histologi spesifik (HGSC atau karsinoma
clear-cell).
Kemoterapi diberikan setelah pembedahan atau pada pasien yang tidak dapat dioperasi.
Penambahan kemoterapi setelah pembedahan dapat meningkatkan angka harapan hidup
pasien. Pada tahun 2011, European Medicines Agency merekomendasikan penambahan
bevacizumab selain carboplatin dan paclitaxel.
Berdasarkan rekomendasi dari National Comprehensive Cancer Network (NCCN),
kemoterapi primer yang disarankan adalah:
1) Stadium IA, IB atau IC dari kanker ovarium epitel : 3-6 siklus taxan/carboplatin
kemoterapi ajuvan intravena.
2) Stadium II-IV: Kemoterapi intraperitoneal atau 6-8 siklus taxan/carboplatin
intravena.
Pada pasien yang mengalami rekurensi dapat diberikan kombinasi kemoterapi platinum
dengan docetaxel atau etoposide atau gemcitabine atau liposomal doxorubicin +
bevacizumab atau paclitaxel + bevacizumab atau Topotecan + bevacizumab. Selain itu
bisa diberikan PARP inhibitor (poly-ADP-ribose polymerase) yang berfungsi untuk
menghalangi homeostasis sel dan menyebabkan kematian sel, di antaranya termasuk
olaparib, rucaparib dan niraparib.
c. Pengawasan Setelah Terapi
Rekomendasi pengawasan setelah terapi dari the Society of Gynecologic Oncologist
pada tahun 2011 di antaranya:
1) Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan pelvis dan kelenjar getah bening setiap
3 bulan dalam 2 tahun pertama, setiap 4-6 bulan pada tahun ketiga, dan setiap 6
bulan pada tahun keempat dan seterusnya
2) Pemeriksaan CA 125 bersifat opsional
3) Lakukan CT scan hanya bila dicurigai ada kekambuhan (rekurensi) (Syarifatun
Nisa, 2021)
H. Prognosis
Prognosis kanker ovarium bergantung dari jenis kanker dan stadium, serta ada tidaknya
komplikasi yang terjadi. Prognosis ini dinyatakan dengan angka harapan hidup dalam 5
tahun. Kanker ovarium stadium 1 memiliki angka harapan hidup 5 tahun sebesar 91-98%
sedangkan pada stadium 3-4, angka harapan hidup hanya sebesar 30-75% tergantung jenis
kanker ovariumnya. Jenis kanker dengan prognosis terbaik adalah tumor sel germinal
sedangkan jenis kanker dengan prognosis terburuk adalah kanker ovarium epitel invasif.
KELOMPOK 3

CA ENDOMETRIUM
A. Kasus
1. Jenis kanker endometrium di Rumah Sakit Umum Daerah dr Pirngadi Medan tahun 2015-
2018 didominasi oleh kanker endometrium tipe 1 sebanyak 19 kasus (61%) dan tipe 2
sebanyak 12 kasus (39%). Pada banyak penelitian di dunia diungkapkan bahwa tipe 1
merupakan tipe terbanyak dimana rata rata mencapai lebih 80% kasus kanker
endometrium dan dihubungan dengan endometrial hiperplasia bersamaan dengan mutasi
pada ras protoonkogen dan gen phosphatase and tensin homolog (PTEN) tumor supresor.
Penurunan aktifitas akibat mutasi PTEN gen meningkatkan sensitifitas endometrium
terhadap estrogen.
2. Pasien kanker endometrium di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode tahun 2017-
2020 ditemukan paling banyak berusia >50 tahun, dari Kota/Kabupaten Bandung, indeks
massa tubuh normal, multipara, postmenopause, usia menarche ≥12 tahun, tidak ada
riwayat DM dan hipertensi, terdiagnosis pada stadium I dengan tipe I endometrioid
adenocarcinoma dan derajat diferensiasi baik (grade I), serta dilakukan tindakan operasi
dengan tipe pembedahan histerektomi total dan salfingooforektomi bilateral. Distribusi
pasien mayoritas berusia >50 tahun (62,0%), berasal dari Kota/Kabupaten Bandung
(32,5%), memiliki indeks massa tubuh 18,5-22,9 kg/m2 (27,0%), multipara (36,5%),
status postmenopause (59,0%), memiliki usia menarche ≥12 tahun (88,0%), tidak
memiliki riwayat diabetes mellitus (66,0%) dan hipertensi (27,0%), terdiagnosis ketika
stadium I (47,5%), dengan derajat diferensiasi baik/grade I (31,0%) dan tipe I
endometrioid adenocarcinoma (82,5%). Terapi yang paling sering adalah tindakan operasi
(50,0%) dengan tipe pembedahan histerektomi total dan salfingooforektomi bilateral
(44,21%).
3. Data pada laporan kasus ini diperoleh melalui rekam medis pasien kanker endometrium
yang dilakukan operasi di RSUD Dr. Soetomo selama bulan januari – desember 2017 baik
dengan laparoskopi maupun dengan laparotomi. Selama periode januari hingga desember
2017, didapatkan 27 pasien dengan kanker endometrium, 15 pasien dilakukan operasi
laparoskopi, dan 12 pasien dilakukan operasi laparotomi. Karakteristik umum pasien
kanker endometrium yang dilakukan operasi dari umur berkisar 41-60 tahun, didapatkan
3 pasien mengelami komplikasi pada saat operasi laparoskopi, untuk lama operasi baik
laparoskopi dan laparotomi mempunyai waktu 120 menit, untuk lama perawatan
laparoskopi mempunyai angka lebih baik daripada laparotomi. Dari perdarahan
laparoskopi mempunyai angka lebih baik jika dibandingkan dengan laparotomi.
B. Patofisiologi Kanker Endometrium
Patofisiologi dari kanker endometrium merupakan adanya modifikasi struktural dan
perubahan sel-sel khusus dalam menanggapi fluktuasi estrogen dan progesteron selama siklus
menstruasi. Eksposur estrogen yang berlangsung lama menyebabkan hiperplasia
endometrium, yang meningkatkan kemungkinan perkembangan hiperplasia atipikal dan
akhirnya kanker endometrium tipe-1. Proses dasar molekuler ini masih belum diketahui. Dari
sudut pandang molekuler, kanker endometrium menyerupai fase proliferatif dari
endometrium.
C. Diagnosa
1. Pemeriksaan klinis: Dokter Anda akan menanyakan mengenai gejala, faktor risiko,
riwayatkeluarga, serta melakukan pemeriksaan fisik dan panggul
2. Ultrasonografi: Pemindaian ultrasonografi menggunakan gelombang suara berfrekuensi
tinggiuntuk menciptakan gambar-gambar dari organ-organ ginekologis. Sebuah alat
berbentuk seperti tongkat yang disebutsebagai transduser dimasukkan ke dalam vagina
Anda. Dokter akan melihat apakah ada massa di dalam rahim, danmemeriksa ketebalan
endometrium.
3. Histeroskopi: Ini melibatkan pemasukan sebuah pipa kecil yang tipis dan dilengkapi
cahayamelalui vagina dan serviks ke dalam rahim Anda. Ini memungkinkan dokter untuk
memeriksa serviks, bagian dalamrahim, serta lapisan rahim.
4. Biopsi endometrium: Ini melibatkan pengambilan jaringan dari lapisan rahim untuk
analisis. Inidapat dilakukan di ruang praktik dokter Anda. Bila jumlah jaringan yang
diambil tidak memadai, dianjurkan untukmelakukan suatu prosedur kecil yang disebut
dilatasi dan kuretase/dilatation and curettage (D&C). Dalamprosedur ini, jaringan lapisan
rahim dikikis dan dikirimkan untuk dianalisis. Ini biasanya dilakukan secararawat jalan.
D. Gejala
Kanker endometrium seringkali terdeteksi pada stadium dini karena menyebabkan
terjadinya pendarahan vagina yangtidak normal, khususnya pendarahan setelah menopause.
Tanda dan gejala lainnya dari kanker endometrium meliputi:
1. Terjadinya pendarahan di luar masa haid
2. Keluarnya cairan vagina yang tidak normal, yang dapat berbentuk encer, ada sedikit
darah atau berwarna kecokelatan, dan bau yang tidak sedap
3. Nyeri panggul
4. Massa panggul yang membesar
5. Penurunan berat badan yang tidak diharapkan
6. Nyeri ketika melakukan hubungan seksual, terjadi pendarahan setelah hubungan seksual
E. Penyebab
Kanker endometrium terjadi ketika sel-sel di endometrium mengalami perubahan
(mutasi). Perubahan ini menyebabkan sel-sel tersebut tumbuh dengan cepat dan tidak
terkendali sehingga berkembang menjadi sel kanker.
Belum diketahui secara pasti mengapa sel-sel tersebut tumbuh tidak terkendali. Akan
tetapi, ada beberapa faktor yang diduga meningkatkan risiko seseorang menderita kanker
endometrium, yaitu:
1. Ketidakseimbangan hormon progesteron dan estrogen dalam tubuh
2. Berat badan berlebih atau obesitas
3. Usia 60–70 tahun
4. Menopause
5. Menstruasi di usia yang terlalu dini (<12 tahun)
6. Menopause di usia yang lebih lambat dibandingkan umumnya (>50 tahun)
7. Belum pernah hamil
8. Terapi hormon tamoxifen, untuk penderita kanker payudara
9. Kanker usus besar
10. Polycystic ovary syndrome (PCOS)
11. Riwayat kanker endometrium dalam keluarga
12. Kanker jenis lain, seperti kanker payudara atau kanker Rahim
F. Komplikasi
Apabila kanker endometrium tidak ditangani dengan baik, makan akan muncul
komplikasi diantaranya:
1. Anemia, ini terjadi akibat perdarahan yang terjadi terus-menerus.
2. Penyebaran kanker ke orangan lain (metastasis)
3. Robekan pada Rahim yang dapat muncul selama biopso endometrium atau kuret.
G. Penanganan
Sampai saat ini belum ada metode skrining untuk kanker endometrium. Hanya untuk
pasien yang termasuk dalam risiko tinggi seperti Lynch syndrome tipe 2 perlu dilakukan
evaluasi endometrium secara seksama dengan hysteroscopy dan biopsy. Pemeriksaan USG
transvaginal merupakan test non invasif awal yang efektif dengan negative predictive value
yang tinggi apabila ditemukan ketebalan endometrium kurang dari 5 mm. Pada banyak kasus
histeroskopi dengan instrumen yang fleksibel akan membantu dalam penemuan awal kasus
kanker endometrium.
Pada stadium II dilakukan histerektomi radikal modifikasi, salpingo-ooforektomi
bilateral, deseksi kelenjar getah bening pelvis dan biopi paraaorta bila mencurigakan, bilasan
peritoneum, biopsi omenteum (omentektomi partialis),biopsi peritoneum.
Pada stadium III dan IV : operasi dan/atau radiasi dan/atau kemoterapi. Pengangkatan
tumor merupakan terapi yang utama, walaupun telah bermetastasis ke abdomen.
H. Prognosis
Ada beberapa faktor prognosis yang sangat berperan dalam menilai angka kekambuhan
penyakit. Faktor prognosis utama kanker endometrium ditentukan oleh jenis histologis,
stadium, grade, differensiasi tumor, kedalaman invasi miometrium dan keterlibatan dari invasi
limfo-vaskular. Selain dipengaruhi faktor histopatologi tersebut, prognosis juga ditentukan
dari klinis penderita. Salah satu alat ukur untuk melihat keberhasilan terapi terutama pada
kanker ataupun penyakit kronis lainnya yang memiliki kemungkinan kesembuhan yang sangat
kecil adalah dengan menggunakan skala kualitas hidup. Kualitas hidup merupakan gambaran
kesejahteraan atau kenyamanan pasien baik sebelum dan sesudah pengobatan. Tingkat
keparahan, keefektifan pengobatan dan besarnya dampak penyakit terhadap pasien dapat
digambarkan dengan menilai kualitas. Semakin baik prognosis suatu penyakit maka kualitas
hidup juga akan semakin baik, maka angka keberhasilan terapi juga semakin tinggi. (Modul
et al., 2021)
KELOMPOK 4
TUMOR DAN CA MAMMAE

A. Kasus
Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering ditemukan pada wanita di seluruh
dunia (22% dari sernua kasus baru kanker pada perempuan) dan menjadi urutan kedua sebagai
penyebab kematian terkait kanker setelah kanker paru (Hero, 2021; De Jong, 2014). Angka
kejadian kanker payudara tertinggi terdapat pada usia 40-49 tahun, sedangkan untuk usia dibawah
35 tahun insidennya hanya kurang dari 5%. Kanker payudara pada pria jarang terjadi dan terhitung
sebanyak 1% dari seluruh kasus kanker payudara (Cardoso et al., 2019; Nurrohmah et al., 2022).
Peningkatan kasus kanker payudara secara signifikan disebabkan oleh perubahan dalam gaya
hidup masyarakat, serta adanya kemajuan dalam bidang teknologi untuk diagnosis tumor ganas
payudara (Momenimovahed & Salehiniya, 2019; De Jong, 2014).
Kanker payudara merupakan penyakit yang menakutkan bagi wanita, karena kanker
payudara sering ditemukan pada stadium yang sudah lanjut (Nurrohmah et al., 2022). Namun,
dengan deteksi dini maka angka kematian akibat kanker payudara telah menurun di sebagian besar
negara Barat dalam beberapa tahun terakhir (Cardoso et al., 2019). Melihat tingginya angka
kejadian kanker payudara dan kontribusinya sebagai penyebab kematian terkait kanker,
menjadikan alasan penulis untuk memilih topik kanker payudara dalam penulisan artikel ini.
Deteksi dini penyakit kanker payudara dapat dilakukan dengan mengetahui terkait faktor risiko
dan diagnosis awal yang baik. Maka dari pada itu pada artikel ini akan dibahas mengenai apa saja
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kanker payudara, serta apa saja metode
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis kanker payudara.
B. Pengertian
Kanker payudara (ca mammae) adalah keganasan pada payudara (mammae) yang berasal
dari sel kelenjar, saluran kelenjar, dan jaringan penunjang payudara (Anita & Sukamti P, 2016).
Keganasan pada payudara berasal dari epitel ductus dan lobulusnya. Ductus (saluran) merupakan
tabung yang membawa air susu ke puting, sedangkan lobulus merupakan kelenjar penghasil air
susu (Jezdic, 2018). Kanker payudara merupakan suatu penyakit neoplasma ganas akibat dari
pertumbuhan abnormal sel pada jaringan payudara. Sel kanker tersebut membelah secara pesat dan
tak terkontrol, kemudian berinfiltrasi di jaringan sekitarnya dan bermetastasis.
1) Tipe-tipe
Menurut European Society for Medical Encology (2018), tipe ca mammae berdasarkan
cara invasi dibagi menjadi berikut :

a. Non-invasif (in situ)


b. Invasif

C. Patofisiologi
Tumor dan kanker payudara berasal dari jaringan epitel dan paling sering terjadi pada sistem
duktal, mula-mula terjadi hiperplasia sel-sel dengan perkembangan sel-sel atipik. Sel-sel ini akan
berlanjut menjadi carsinoma insitu dan menginvasi stroma. Carsinoma membutuhkan waktu 7
tahun untuk bertumbuh dari sel tunggal sampai menjadi massa yang cukup besar untuk dapat
diraba (kira-kira berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu kira-kira seperempat dari carsinoma mammae
telah bermetastasis. Carsinoma mammae bermetastasis dengan penyebaran langsung ke jaringan
sekitarnya dan juga melalui saluran limfe dan aliran darah (Rokayah et al., 2021)
D. Diagnosis
Diagnosis ca mammae dilakukan dengan serangkaian pemeriksaan, meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, tumor marker, dan pencitraan mamografi. Keluhan
utama penderita antara lain benjolan di payudara, kecepatan tumbuh dengan/tanpa rasa sakit,
nipple discharge, retraksi puting susu, dan krusta, kelainan kulit, dimpling, peau d’orange, ulserasi,
venektasi, dan benjolan ketiak dan edema lengan. Keluhan tambahan nyeri tulang (vertebra,
femur), sesak dan lain sebagainya (Kemenkes, 2013).
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan status lokalis, regionalis, dan sistemik.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai status generalis (tanda vitalpemeriksaan menyeluruh
tubuh) untuk mencari kemungkinan adanya metastase dan atau kelainan medis sekunder.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk menilai status lokalis dan regionalis. Pemeriksaan
dilakukan secara sistematis, inspeksi dan palpasi (Khasanah, 2013).
Pemeriksaan laboratorium dianjurkan pemeriksaan darah rutin dan kimia darah sesuai
dengan perkiraan metastasis. Pemeriksaan tumor marker apabila hasil tinggi, perlu diulang untuk
follow up. Pemeriksaan pencitraan mamografi adalah pencitraan menggunakan sinar X pada
jaringan payudara yang dikompresi (Kemenkes, 2013).
E. Gejala
Menurut Dewi dan Hendrati (2015) pasien biasanya sering datang dengan keluhan sebagai berikut:

a. Terdapat benjolan pada payudara yang dapat diraba, semakin mengeras, tidak beraturan, dan
terasa nyeri.
b. Perubahan bentuk dan ukuran payudara, biasanya terjadi pembengkakan di salah satu
payudara.
c. Retraksi dan gatal pada puting susu.
d. Terjadi pengerutan kulit payudara sehingga menyerupai kulit jeruk (peau d’orange)
e. Payudara mengeluarkan cairan abnormal berupa nanah, darah, cairan encer atau air susu pada
wanita yang tidak hamil maupun tidak menyusui.
f. Pada stadium lanjut dapat dijumpai gejala seperti nyeri tulang, pembengkakan lengan, ulserasi
kulit, dan penurunan berat badan.

F. Penyebab
Para peneliti mengidentifikasi faktor-faktor hormonal, gaya hidup, dan lingkungan dapat
meningkatkan risiko ca mammae (Falco, 2019). Namun masih belum jelas mengapa beberapa
orang yang tidak memiliki faktor risiko tersebut tetap menderita ca mammae, sedangkan orang
lain dengan faktor risiko tersebut tidak selalumenderita ca mammae. Kemungkinan besar ca
mammae disebabkan oleh interaksi kompleks susunan genetik dan gaya hidup.
G. Komplikasi
Menurut (Rasjidi, 2010) Komplikasi kanker payudara sebagai berikut :

a. Gangguan Neurovaskuler
b. Metastasis : otak, paru, hati, tulang tengkorak, vertebra, iga, tulang panjang.
c. Fraktur patologi
d. Fibrosis payudara
e. Kematian
f. Nyeri pada area operasi
g. Infeksi
h. Bengkak pada area operasi
i. Keterbatasan gerakan lengan/pundak \
j. Kumpulan bekuan darah (hematoma) pada area operasi (Sobri et al., 2020).

H. Pengobatan/penatalaksanaan
Penanganan ca mammae bergantung pada faktor-faktor seperti stadium ca mammae dan
usia pasien. Penanganan ca mammae biasanya berupa operasi, dan dilanjutkan dengan kemoterapi
atau terapi radiasi, atau keduanya (Jezdic, 2018). Ca mammae ER+ seringkali ditangani dengan
pemberian terapi hormoneblocking selama beberapa tahun. Antibodi monoklonal atau
imunomodulator lainnya dapat diberikan pada stadium lanjut dengan metastasis jauh

KELOMPOK 5

CYSTOMA OVARIUM

A. Contoh Kasus
Seorang wanita berusia 27 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan adanya benjolan di
area perut bagian kanan bawah. Benjolan dirasakan sejak sekitar 2 tahun yang lalu. Benjolan
semakin lama semakin besar. Nyeri perut (-), rasa penuh di perut (+), sesak nafas (-), BAK
lancar, BAB biasa. Riwayat haid: haid teratur dengan siklus 28-30 hari, lama haid 4-6 hari.
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum baik, konjungtiva anemis (-/-), tekanan
darah 120/80 mmHg, nadi 82x/menit, respirasi 18x/menit, suhu 36,6℃. Pada pemeriksaan
abdomen ditemukan adanya nyeri tekan dan teraba massa di area inguinal dextra dengan
ukuran sekitar 20x15 cm. Hasil pemeriksaan penunjang darah rutin: leukosit 11,5x103/μL,
eritrosit 4,6 x106/μL, hemoglobin 13 g/dL, platelet 395 x103/μL, clotting time 7 menit,
bleeding time 3 menit. Hasil pemeriksaan penanda tumor: CEA 0,83 ng/mL, CA 125 10,14
u/mL. Hasil USG ditemukan adanya kista ovarium.
B. Patofisiologi
Ovulasi terjadi akibat interaksi antara hipotalamus, hipofisis, ovarium, dan endometrium.
Perkembangan dan pematangan folikel ovarium terjadi akibat rangsangan dari kelenjar
hipofisis. Rangsangan yang terus menerus datang dan ditangkap panca indra dapat diteruskan
ke hipofisis anterior melalui aliran portal hipothalamohipofisial. Setelah sampai di hipofisis
anterior, GnRH akan mengikat sel genadotropin dan merangsang pengeluaran FSH (Follicle
Stimulating Hormone) dan LH (Lutheinizing Hormone), dimana FSH dan LH menghasilkan
hormon estrogen dan progesteron.
Ovarium dapat berfungsi menghasilkan estrogen dan progesteron yang normal. Hal
tersebut tergantung pada sejumlah hormon dan kegagalan pembentukan salah satu hormon
dapat mempengaruhi fungsi ovarium. Ovarium tidak akan berfungsi dengan secara normal jika
tubuh wanita tidak menghasilkan hormon hipofisis dalam jumlah yang tepat. Fungsi ovarium
yang abnormal dapat menyebabkan penimbunan folikel yang terbentuk secara tidak sempurna
di dalam ovarium. Folikel tersebut gagal mengalami pematangan dan gagal melepaskan sel
telur. Dimana, kegagalan tersebut terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium dan
haltersebut dapat mengakibatkan terbentuknya kista di dalam ovarium, serta menyebabkan
infertilitas pada seorang wanita.
C. Diagnosis
Kejadian kista pada ovarium umumnya ditemukan secara tidak sengaja saat pasien sedang
melakukan pemeriksaan rutin atau pemeriksaan ginekologi lainnya. Hal ini disebabkan oleh
kista ovarium yang dapat bersifat asimtomatis terutama saat ukurannya kecil.
1. Kista ovarium dengan ukuran besar umumnya dapat menyebabkan gejala seperti terjadi
perasaan begah, mudah kenyang, keinginan untuk berkemih, dan rasa nyeri pada perut.
2. Pada Kista ovarium yang sudah berubah menjadi ganas, gejalanya dapat lebih beragam
akibat kemungkinan terjadinya metastasis, baik di daerah sekitar abdomen bahkan dapat
mencapai payudara. Gejala yang dapat ditemukan pada kista ovarium ganas berupa
malaise, penurunan berat badan, nyeri pada daerah yang terdampak (nyeri abdomen atau
nyeri dada), dan kesulitan untuk bernapas. Dikarenakan kista ovarium yang jinakumumnya
bersifat asimtomatis, maka diperlukan pendekatan klinis yang baik mengenai keluhan yang
dimiliki pasien.
D. Gejala
Gejala yang sering dirasakan adalah rasa nyeri pada perut bagian bawah dan pinggul. Rasa
nyeri ini timbul akibat pecahnya dinding kista, pembesaran kista yang terlalu cepat sehingga
organ sekitarnya teregang, perdarahan yang terjadi didalam kista, dan tangkai kista yang
terpelintir.
Gejala kista secara umum, antara lain:
1. Rasa nyeri yang menetap di rongga panggul disertai rasa agak gatal sewaktu
bersetubuh atau bergerak
2. Perdarahan menstruasi seperti biasa, siklus menstruasi tidak teratur
3. Perut membesar.
E. Penyebab
Menurut Nugroho (2014), kista ovarium disebabkan oleh gangguan (pembentukan)
hormon pada hipotalamus, hipofisis dan ovarium (ketidakseimbangan hormon). Kista folikuler
dapat timbul akibat hipersekresi dari FSH dan LH yang gagal mengalami involusi atau
mereabsorbsi cairan. Kista granulosa lutein yang terjadi didalam korpus luteum indung telur
yang fungsional dan dapat membesar bukan karena tumor, disebabkan oleh penimbunan darah
yang berlebihan saat fase pendarahan dari siklus menstruasi. Kista theka-lutein biasanya
bersifat bilateral dan berisi cairan bening, berwarna seperti jerami. Penyebab lain adalah
adanya pertumbuhan sel yang tidak terkendali di ovarium, misalnya pertumbuhan abnormal
dari folikel ovarium, korpus luteum, sel telur.
F. Komplikasi
1. Perdarahan kedalam kista, biasanya terjadi secara terus-menerus dan sedikit-sedikit yang
dapat menyebabkan pembesaran kista dan menimbulkan kondisi kurang darah (anemia).
2. Putaran tangkai, dapat terjadi pada tumor bertangkai dengan diameter 5 cm atau lebih.
Putaran tangkai menyebabkan gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis.
3. Robek dinding kista, terjadi pada torsi tangkai akan tetapi dapat pula sebagai akibat trauma,
seperti jatuh atau pukulan pada perut, dan lebih sering pada waktu persetubuhan.
4. Perubahan keganasan atau infeksi (merah, panas, bengkak, dan nyeri).
5. Gejala penekanan tumor fibroid bisa menimbulkan keluhan buang air besar (konstipasi).
G. Pengobatan / Penanganan
Beberapa pilihan pengobatan / penanganan yang mungkin disarankan :
1. Pendekatan ; pendekatan yang dilakukan pada klien tentang pemilihanpengobatan nyeri
dengan analgetik / tindakan kenyamanan seperti, kompres hangat pada abdomen, dan
teknik relaksasi napas dalam.
2. Pemberian obat anti inflamasi non steroid seperti ibu profen dapat diberikan kepada pasien
dengan penyakit kista untuk mengurangi rasa nyeri.
3. Pembedahan ; Jika kista tidak menghilang setelah beberapa episode menstruasi semakin
membesar, lakukan pemeriksaan ultrasound, dokter harussegera mengangkatnya. Ada 2
tindakan pembedahan yang utama yaitu : laparaskopi dan laparatomi.
Prinsip pengobatan kista dengan operasi adalah sebagai berikut:
1. Apabila kistanya kecil (misalnya sebesar permen) dan pada pemeriksaan sonogram tidak
terlihat tanda-tanda keganasan, biasanya dokter melakukan operasi dengan laparaskopi.
Dengan cara ini, alat laparaskopi di masukkan kedalam rongga panggul dengan melakukan
sayatan kecil pada dinding perut,yaitu sayatan searah dengan garis rambut kemaluan.
2. Apabila kistanya agak besar (lebih dari 5 cm), biasanya pengangkatan kista dilakukan
dengan laparatomi. Tehnik ini dilakukan dengan pembiusan total. Dengan cara laparatomi,
kista sudah dapat diperiksa apakah sudah mengalami proses keganasan (kanker) atau tidak.
Bila sudah dalam proses keganasan operasi sekalian mengangkat ovarium dan saluran tuba,
jaringan lemak sekitarserta kelenjar limfe.
3. Perawatan luka insisi / pasca operasi
Ada beberapa prinsip yang perlu diimplementasikan antara lain:
a) Balutan dari kamar operasi dapat dibuka pada hari pertama pasca operasi.
b) Klien harus mandi shower bila memungkinkan.
c) Luka harus dikaji setelah operasi dan kemudian setiap hari selama masa pasca operasi
sampai ibu diperolehkan pulang atau rujuk.
d) Bila luka perlu dibalut ulang, balutan yang di gunakan harus yang sesuai dan tidak
lengket.
e) Pembalutan dilakukan dengan tehnikaseptic.
H. Prognosis
Pada umumnya kista ovarium menghilang dengan sendirinya. Secara keseluruhan, 70%-
80% kista folikuler menghilang secara spontan. Angka kekambuhan kista sederhana pada
perempuan usia muda adalah 40%, sedangkan angka kekambuhan kista kompleks adalah 7.6%
setelah laparoskopi dan 0% setelah laparotomi. Pada perempuan pascamenopause, 69.4% kista
sederhana dapat hilang dengan sendirinya. Sebuah penelitian yang dilakukan pada sejumlah
perempuan di atas 55 tahun menunjukan bahwa pada pemeriksan USG pertama ditemukan
kista sederhana pada 14% di antaranya. Setelah saat pemeriksaan pertama. Hasilnya, 54%
perempuan tetap memiliki kista, sedangkan kista menghilang pada 32% perempuan.
Kista ovarium yang diameternya lebih besar dari 4 cm memiliki rata-rata terjadinya torsio
sekitar 15%. Kebanyakan kasus torsio terjadi pada perempuan usia muda, tetapi 17% kasus
dapat terjadi pada perempuan prapubertas dan pascamenopause. Kista ovarium fungsional
yang paling sering berhubungan dengan torsio adalah kista luteal sementara pada kista
patologis adalah kista dermoid. Opsi pengobatan termasuk detorsio laparoskopik dan
preservasi adneksa pada perempuan muda usia reproduktif dan salpingo-ooforektomi pada
perempuan pascamenopause. Fungsi ovarium dapat diselamatkan dengan detorsio
laparoskopik pada 90% kasus.
Ruptur kista ovarium pada umumnya muncul pada kista korpus luteum. Ruptur kista dan
perdarahan dapat diterapi secara konservatif dengan observasi jika pasien stabil dengan follow-
up rutin dalam 6 minggu untuk mengkonfirmasi resolusi perdarahan. Laparoskopi
diindikasikan pada kasus dengan hemodinamik yang memburuk, kemungkinan torsio, gejala
yang tidak menghilang dalam 48 jam, dan peningkatan hemoperitoneum atau penurunan
konsentrasi hemoglobin.

KELOMPOK 6

MIOMA UTERI

A. KASUS
Seorang wanita berusia 40 tahun datang ke Rumah Sakit dengan keluhan perdarahan
pervaginam, dialami sejak 2 bulan terakhir, darah yang keluar banyak dan kadang bergumpal.
Pasien mengeluh nyeri pada pinggang terutama saat duduk dan nyeri perut juga dialami pasien
sesekali sejak perdarahan. Pasien juga sering merasa pusing. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
tandatanda vital tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 88x/menit, Respirasi 20x/menit, suhu 36,8
derajat C. Pada pemeriksaan dalam dengan in speculo didapatkan tampak perdarahan keluar
dari kanalis servikalis, dinding vagina tidak terdapat kelainan. Pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukosit 7,85 x103/μL, eritrosit 4,63 x106/μL, hemoglobin 10,4 g/dL, platelet 370
x103/μL. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka penderita
didiagnosis Mioma Uteri.
B. DEFINISI MIOMA UTERI
Mioma uteri adalah tumor jinak uterus yang mengandung sel-sel otot polos dan
jaringan ikat dengan ciri bulat, keras, berwarna merah muda pucat. Umumnya berlokasi pada
korpus uteri. Pengertian lain dari Mioma uteri adalah tumor jinak pada otot rahim, disertai
jaringan jaringan ikat sehingga dapat dalam bentuk padat, karena jaringan ikat dan otot
rahimnya yang dominan.
Mioma uteri dapat mengakibatkan permukaan endometrium yang lebih luas daripada
biasanya, perdarahan mioma uteri dapat berdampak pada ibu hamil dan penderita mioma uteri
itu sendiri. Ibu hamil akan mengalami dampak berupa abortus spontan, persalinan, prematur,
dan mal presentasi. Pada penderita mioma uteri akan mengalami perdarahan yang banyak dan
dapat mengakibatkan anemia. Perdarahan yang banyak juga dapat terjadi pada pencernaan
karena perluasan dan pembesaran mioma uteri sehingga pasien mioma uteri tidak hanya
dilakukan operasi pada alat kelamin, tetapi juga dilakukan operasi pencernaan (coloctomy).
Pada kasus ini mioma uteri mengalami komplikasi yang berat dan dapat memperburuk
kesehatan pasien tersebut mengalami penurunan kesehatan karena terjadi gangguan pada
nutrisi dan tubuh mengalami kelemahan hingga menjadi syok, dan pada akhirnya
menimbulkan kematian.
C. PATOFISIOLOGI
Mioma uteri mulai tumbuh sebagai bibit yang kecil didalam miometrium dan lambat
laun membesar karena pertumbuhan itu miometrium mendesak menyusun semacam
pseudokapsula atau sampai semua mengelilingi tumor didalam uterus mungkin terdapat satu
mioma akan tetapi mioma biasanya banyak. Bila ada satu mioma dapat menonjol kedepan
sehingga menekan dan mendorong kandung kemih keatas sehingga sering menimbulkan
keluhan miksi.
Tetapi masalah akan timbul jika terjadi berkurangnya pemberian darah pada mioma
uteri yang menyebabkan tumor membesar, sehingga menimbulkan rasa nyeri dan mual. Selain
itu masalah dapat timbul lagi jika terjadi perdarahan abnormal pada uterus yang berlebihan
sehingga terjadi anemia. Anemia ini bisa mengakibatkan kelemahan fisik, kondisi tubuh
lemah, sehingga kebutuhan perawatan diri tidak dapat terpenuhi. Selain itu dengan perdarahan
yang banyak bisa mengakibatkan seseorang mengalami kekurangan volume cairan dan
timbulnya resiko infeksi. Dan jika dilakukan operasi atau pembedahan maka akan terjadi
perlukaan sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan integritas kulit.
Pada post operasi mioma uteri akan terjadi terputusnya integritas jaringan kulit dan
robekan pada jaringan saraf perifer sehingga terjadi nyeri akut. Terputusnya integritas jaringan
kulit mempengaruhi proses epitalisasi dan pembatasan aktivitas, maka terjadi perubahan pola
aktivitas. Kerusakan jaringan mengakibatkan terpaparnya agen infeksius yang mempengaruhi
resiko tinggi infeksi. Pada pasien post operasi akan terpengaruh obat anestesi yang
mengakibatkan depresi pusat pernapasan dan penurunan kesadaran sehingga pola nafas tidak
efektif
D. DIAGNOSIS
Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan dari pemeriksaan fisik, temuan laboratorium,,
pemeriksaan penunjang, histeroskopi, MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) :
1) Pemeriksaan fisik
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin uterus.
Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau
lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah
bagian dari uterus.
2) Temuan laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan
uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadangkadang mioma menghasilkan
eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara
polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter yang
menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan
eritropoetin ginjal.
3) Pemeriksaan penunjang
Ultrasonografi Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam
menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada
uterus yng kecil. Uterus atau massa yang paling besar paling baik diobservasi melalui
ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran
ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas kontur maupun pembesaran uterus.
4) Histeroskopi
Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri submukosa, jika
tumornya kecil serta bertangkai. Tumor tersebut sekaligus dapat diangkat.
5) MRI ( Magnetic Resonance Imaging )
MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah,ukuran dan lokasi mioma, tetapi
jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap terbatas tegas dan dapat
dibedakan dari miometrium yang normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang
dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma submukosa. MRI dapat menjadi alternatif
ultrasonografi pada kasus - kasus yang tidak dapat disimpulkan.
E. GEJALA
Diagnosa mioma uteri sesuai dengan keluhan utama dari pasien dimana seperti
penderita mioma uteri yang mengeluh perut membesar, serta terdapat darah yang keluar
banyak dan kadang bergumpal.
Perdarahan adalah salah satu gejala umum pada mioma uteri. Meskipun jenis
pendarahannya dapat bervariasi, presentasi yang paling umum termasuk perkembangan aliran
menstruasi yang semakin berat itu berlangsung lebih lama dari durasi normal (menorrhagia,
didefinisikan sebagai kehilangan darah menstruasi > 80 mL). Pendarahan ini dapat terjadi
akibat distorsi signifikan pada endometrium rongga oleh tumor yang mendasarinya. yang
mendasarinya. Perdarahan pervaginam menyebabkan sebagian besar penderita mioma uteri
mengalami penurunan kadar hemoglobin
Bila terjadi secara kronis maka dapat terjadi anemia defisiensi zat besi dan bila
berlangsung lama dan dalam jumlah yang besar maka sulit untuk dikoreksi dengan
suplementasi zat besi. Perdarahan pada mioma submukosa seringkali diakibatkan oleh
hambaran pasokan darah endometrium, tekanan, dan bendungan pembuluh darah di area tumor
(terutama vena) atau ulserasi endometrium di atas tumor. Tumor bertangkai seringkali
menyebabkan thrombosis vena dan nekrosis endometrium akibat tarikan dan infeksi (vagina
dan kavum uteri terhubung oleh tangkai yang keluar dari ostium serviks.
Nyeri panggul karena tekanan terutama pada saat duduk. Berdasarkan teori, nyeri
panggul dapat terjadi karena mioma yang menekan persyarafan yang berjalan di atas
permukaan tulang pelvis.
Penekanan pada vesika urinaria menyebabkan poliuri, pada uretra menyebabkan
retensio urine, pada ureter menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rectum
menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan limfe menyebabkan edema
tungkai dan nyeri panggul.
F. ETIOLOGI
Penyebab pasti mioma tidak diketahui secara pasti. Mioma jarang sekali ditemukan
sebelum pubertas, sangat dipengaruhi oleh hormon reproduksi dan hanya manifestasi selama
usia reproduktif (Anwar dkk, 2011).
Mioma uteri yang berasal dari sel otot polos miometrium, dan dibagi menjadi 2 faktor
yaitu, insiator dan promotor. Faktor-faktor yang menginisiasi pertumbuhan mioma uteri masih
belum diketahui dengan pasti, dari penelitian menggunakan glucose-6-posphatase
dihydrogenase diketahui bahwa mioma berasal dari jaringan yang uniseluler. Tranformasi
neoplastik dari miometrium menjadi mioma melibatkan mutasi somatik dari miometrium
normal dan interaksi kompleks dari hormon steroid seks dan growth factor lokal. (nanda, 2016)
G. KOMPLIKASI
Menurut (Manuaba, 2010:325) Komplikasi mioma uteri terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Perdarahan sampai terjadi anemia
2. Degenerasi ganas mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6%
dari seluruh mioma, serta merupakan 50- 75% dari semua sarkoma uterus.
3. Torsi atau putaran tangkai mioma bertangkai dapat terjadi torsi atau terputarnya tumor 24.
Hal itu dapat menyebabkan gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis
(Prawirohardjo, 2011).

H. PENGOBATAN/PENATALAKSANAAN
Menurut Nanda 2016:120 pengobatan atau penatalaksanaan mioma uteri ada 2 jenis yaitu:
1. Pengobatan Konservatif ( Terapi Hormonal )
a. Pemakaian agonis gonadotropin-releasing hormone (GnRH) memeberikan hasil untuk
memperbaiki gejala- gejala klinis yang ditimbulkan oleh mioma uteri dan agonis
bertujuan untuk mengurangi ukuran mioma dengan jalan mengurangi produksi
estrogen dari ovarium.
b. Efek maksimal pemberian GnRH agonis baru terlihat setelah 3 bulan. Pada 3 bulan
berikutnya tidak terjadi pengurangan volume mioma secara bermakna.
c. Pemberian GnRH agonis sebelum dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi
vaskularisasi pada tumot sehingga akan memudahkan tindakan pembedahan.
d. Terapi hormonal lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat progesteron akan
mengurangi gejala pendarahan uterus yang abnormal manum tidak dapat mengurangi
ukuran dari mioma.
2. Pengobatan Operatif ( Pembedahan )
Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakukan terhadap mioma yang
menimbulkan gejala. Menurut American College Of Obstetricians And Gynecologists
(ACOG) dan American Society For Reproductive Medicine (ASRM) indikasi pembedahan
pada pasien dengan mioma uteri adalah :
a. Pendarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi
b. konservatif.
c. Sangkaan adanya keganasan.
d. Pertumbuhan mioma pada masa menopouse.
e. Infertilitas karena gangguan pada cavum uteri maupun karena oklusi tuba.
f. Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu .
g. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius.
h. Anemia akibat pendarahan.
Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi maupun
histrektomi.
a. Miomektomi
Miomektomi sering di lakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi
reproduksinya dan tidak ingin dilakukan histrektomi. Maka ada beberapa pilihan
tindakan untuk melakukan miomektomi, berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma.
Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi maupun
laparoskopi.
b. Histerektomi
Histerektomi tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus dapat dilakukan
dengan 3 cara yaitu dengan pendekatan abdominal (laparotomi), vaginal, dan pada
beberapa kasus secara laparoskopi. Tindakan histerektomi pada pasien dengan mioma
uteri merupakan indikasi bila didapati keluhan menorrhagia, metrorrhagia, keluhan
obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus sebesar usia kehamilan 12-14
minggu.

Menurut (Yatim, 2008) obat-obatan yang biasa diberikan kepada penderita mioma uteri
yang mengalami perdarahan melalui vagina yang tidak normal antara lain :

a. Obat anti inflamasi yang nonsteroid (Nonsteroid Antiinflamation = NSAID)


b. Vitamin
c. Dikerok (kuretase)
d. Obat-obat hormonal (misalnya pil KB)
e. Operasi penyayatan jaringan myom ataupun mengangkat rahim keseluruhan
(Histerektomi)
f. Bila uterus hanya sedikit membesar apalagi tidak ada keluhan, tidak memerlukan
pengobatan khusus.
G. PROGNOSIS
Prognosis mioma uteri dengan lesi soliter biasanya sangat baik, khususnya bila dilakukan
eksisi. Fertilitas dapat terpengaruh, tergantung dari ukuran dan lokasi mioma. Mioma uteri
sendiri jarang bertransformasi menjadi kanker. Kanker biasanya muncul pada wanita-wanita
setelah mengalami menopause. Tanda bahaya dari kanker yang paling umum adalah tumor
yang tumbuh secara cepat dan membutuhkan pembedahan.(Haris,2018)

Anda mungkin juga menyukai