Anda di halaman 1dari 6

PANDUAN PRAKTEK KLINIS

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


DIFTERI
2016
RSUP SANGLAH No. Revisi Halaman
No. Dokumen
DENPASAR 00 1/6
Ditetapkan oleh:
Direktur Utama
PPK Tanggal terbit:
Dr. I Wayan Sudana, M.Kes
NIP 19650409 199509 1 001
No. ICD 10 A36.0 (Pharyngeal diphtheria)

A36.1 (Nasopharyngeal diphtheria)

A36.2 (Laryngeal diphtheria)

A36.3 (Cutaneous diphtheria)

A36.86 (Diphtheritic conjunctivitis)

A36.89 (Other diphtheritic complications)

A36.9 (Diphtheria, unspecified)

Pengertian Merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular,


disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae strain yang
virulen, dan ditandai oleh adanya pseudomembran dan
toksemia akibat eksotoksin kuman yang dapat
menimbulkan kerusakan organ tubuh (jantung dan ginjal)
dan jaringan syaraf

Anamnesis 1. Diawali dengan timbul demam ringan, nyeri


tenggorokan, malaise, gelisah, pucat, nausea,
vomiting, sakit kepala, sakit saat menelan
2. Riwayat imunisasi, latar belakang ekonomis dan
epidemiologis.
Pemeriksaan Gejala klinis
Fisik
1. Ciri khas ditemukannya pseudomembran
2. Anak tampak pucat, lemah hingga toksis
3. Demam yang tidak tinggi
4. Gejala lain tergantung lokalisasi proses: sesak,
pembesaran kelenjar, bull neck dan lan-lain
Kriteria 1. Difteri tonsil-faring (Faucial diphtheria, Diphtheritic
Diagnosis diphtheria)
a. Paling sering (50%)
b. Gejala:
a. Demam ringan, sakit tenggorok, malaise,
gelisah, pucat
b. Nausea, vomiting, sakit kepala, sakit
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
DIFTERI
2016
RSUP SANGLAH No. Revisi Halaman
No. Dokumen
DENPASAR 00 2/6
menelan, eritema faring 
pseudomembran kecil  menyatu dan
meluas  mula-mula transparan 
menebal dan melekat, berwarna
kehijauan,hingga abu-abu
c. Dapat timbul limfadenitis servikalis dengan
edema jaringan sekitarnya (bull neck) 
dapat menekan vena servikalis dan trakhea
d. Penderita tampak bertambah pucat, sangat
lemah, demam dengan takhikardia hingga
aritmia jantung dan hipotensi.

2. Difteria laring (Croupous diphtheria)


a. Frekuensi: 25%
b. Dapat primer atau sekunder
c. Gejala:
i. Serak tiba-tiba, stridor pada inspirasi, sesak
yang progresif hingga gelisah (air hunger)
sampai sianosis
ii. Pseudomembran pada laring

3. Difteria trakheobronkhial
Membran mungkin membentuk cast yang
menyebabkan obstruksi pada inspirasi, atelektasis dan
sianosis.

4. Difteria hidung
a. Terdapat membran pada konkha nasi dan septum
nasi
b. Gejala:
i. Sekret hidung serosanguinus atau
mukopurulen, umumnya unilateral
ii. Kerapkali disertai banyak krusta
iii. Erosi pada tulang hidung
iv. Cenderung kronik
v. Gejala toksemia ringan.

5. Difteria telinga tengah


a. Sangat jarang, merupakan perluasan dari
nasofaring
b. Dapat terjadi destruksi membran timpani
dan otitis eksterna

6. Difteria kulit
a. Banyak di daerah tropik
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
DIFTERI
2016
RSUP SANGLAH No. Revisi Halaman
No. Dokumen
DENPASAR 00 3/6
b. Merupakan infeksi sekunder pada luka infeksi, luka
bakar, gigitan insekta dan abrasi kulit
c. Gejala:
i. Terjadi ulkus dangkal dengan tepi yang
meninggi tertutup pseudomembran (tropical
ulcers, desert ulcers), atau mirip impetigo,
ektima, piodermia seperti gigitan serangga,
luka kering bersisik
ii. Cenderung kronik.

7. Difteri genital
a. Dapat terjadi pada penis, vulva dan vagina
b. Jarang
c. Dapat timbul ulkus dengan membran, edema dan
pembesaran kelenjar regional

8. Difteria konjungtiva
a. Dapat sebagai radang kataral atau purulen
b. Pembentukan membran
c. Dapat terjadi ulkus kornea
d. Disertai pembesaran kelenjar preaurikuler.
1. Difteri tonsilofaring
Diagnosis a. Tonsilofaringitis akut karena virus, streptokokus,
mononukleosis, candida, herpes simplex, tularemia.
Banding
b. Angina Plaut-Vincent
c. Ludwig’s angina
d. Abses peritonsiler atau retrofaring
e. Post tonsilektomi
f. Leukemia atau penyakit darah lain
g. Keracunan parakuat dan herbisida

2. Difteri laring
a. Croup (infeksius dan non infeksius)
b. Epiglotitis
c. Benda asing

3. Difteri hidung
a. Benda asing
b. Lues
Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium
Penunjang
a. pengecatan Gram (tidak diagnostik)
b. kultur dengan media Loeffler
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
DIFTERI
2016
RSUP SANGLAH No. Revisi Halaman
No. Dokumen
DENPASAR 00 4/6
Oleh karena perlu tindakan yang cepat, diagnosis tidak
perlu menunggu hasil laboratorium.

Konsultasi Sub Bagian Kardiologi dan sub bagian ERIA

Perawatan Harus dirawat di RS dan di ruang isolasi


Rumah Sakit
Terapi/tindakan 1. Menginaktivasi toksin yang terikat secepat
mungkin
(ICD 9 CM) a. Kasus baru dan ringan : difteri hidung,
difteri tonsilofaring dengan membran
terbatas
b. pada tonsil  antitoksin 10.000 - 20.000 U,
IM/IV
c. Kasus sedang : nasal, tonsilofaring, laring
dengan gejala toksis ringan  antitoksin
40.000 U, IM/IV.
d. kasus berat : kasus terlambat, terkena
daerah yang multipel atau terdapat gejala
toksis berat  antitoksin 50.000 - 100.000
U, 1/2 dosis IM dan 1/2 dosis IV.
e. Sebelumnya harus dikerjakan tes kulit.

2. Mengeliminasi kuman.
a. Penisilin prokain 50.000 U/kg.bb/hari, IM
atau yang setara
b. Eritromisin (untuk yang sensitif terhadap
penisilin) 40-50 mg/kg.bb/ hari
c. Basitrasin topikal, tambahan untuk difteri
kulit

3. Mencegah miokarditis
a. Prednison 5 mg/kg.bb/hari, atau obat lain
yang setara untuk anak yang toksis, dalam
syok atau gejala obstruksi
b. Digitalis bila terdapat kegagalan jantung
kongestif (hati-hati)

4. Suportif lainnya

1. Intubasi atau trakheostomi (lebih


disukai) : terutama pada stadium asfiktik
2. Perawatan yang seksama : tirah baring
sempurna, aspirasi sekret, makanan sesuai
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
DIFTERI
2016
RSUP SANGLAH No. Revisi Halaman
No. Dokumen
DENPASAR 00 5/6
dengan keadaan, defekasi jangan sampai
ngeden dan lain-lain
3. Isolasi ketat
4. Baru dipulangkan bila kultur 2x negatif dan
keadaan penderita memungkinkan.
Tempat 1. Ruang awat Isolasi
Pelayanan 2. Ruang intensif apabila pada kasus sangat berat
yang membutuhkan alat bantu napas
Penyulit 1. Obstruksi pernapasan akibat edema atau
membran di daerah tonsil, faring, pita suara dan di
daerah trakheobronkhial
2. Miokarditis yang dapat terjadi dini (minggu I-II) atau
lambat (minggu IV-VI) yang menimbulkan
takhikardia, arithmia, syok kardiogenik dan gagal
jantung kongestif
3. Polineuritis dalam bentuk paralise palatum molle,
otot menelan, otot akomodasi, otot pergerakan
bola mata, diafragma, otot ekstremitas (minggu I-
IV)
4. Gagal ginjal: proteinemia.
Informed Lisan dan Tertulis
Consent
Tenaga Standar 1. Dokter Spesialis Anak
2. Dokter Spesialis Anak Konsultan Infeksi dan Penyakit
Tropis
3. Residen madya dan senior
Lama Perawatan 5-7 hari

Masa Pemulihan 1. Ditandai dengan perbaikan gejala klinis


2. Tidak ditemukan sesak
3. Bila kultur 2x negatif
Hasil -

Patologi -

Otopsi -

Prognosis Dubius ad malam

Tindak Lanjut Kontrol Poliklinik

Tingkat Eviden Tingkat eviden I A, Rekomendasi A untuk pemberian


& Rekomendasi vaksinasi diphteri
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
DIFTERI
2016
RSUP SANGLAH No. Revisi Halaman
No. Dokumen
DENPASAR 00 6/6
Indikator Medis 1. Bila terjadi perbaikan gejala klinis
2. Bila kultur 2x negatif
3. Tidak ada tanda distress napas
Edukasi Pencegahan

1. Pencegahan dan pengawasan semua kontak


2. Kontak dengan risiko tinggi :
a. Penisilin/eritromisin 10 hari
b. Imunisasi aktif atau booster
3. Penanggulangan karier
a. Diberikan antibiotika penisilin atau
eritromisin 10 hari
4. Imunisasi aktif anak yang sehat sesuai jadwal.
Kepustakaan 1. Higgins J. Association of BCG, DTP, and measles
containing vaccines with childhood mortality systematic
review. BMJ 2016; 355:i5170.
2. Aaby P, Ravn H, Benn C, The WHO review of the
possible nonspecific effects of diphtheria-tetanus-
pertussis vaccine. Pediatr Infect Dis J
2016;35(11):1247-57.
3. Anonim. Difteria. Dalam: Soedarmo SP, Garna H,
Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku ajar
infeksi & pediatri tropis. Edisi 2. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2008.h.312-22.
4. Long SS. Diphtheria. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ketujuh. Philadelphia:W.B.Saunders;
2004.h.886-9.
5. IDAI. Pedoman pelayanan medis IDAI. Edisi 1, Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2010.h.33-6.

Anda mungkin juga menyukai