Anda di halaman 1dari 5

SERI MAFAHIM – PEMBAHASAN AQIDAH (2)

MARTABAT SANG KHOLIK DAN MARTABAT PARA


MAKHLUK

Membedakan antara martabat dan kedudukan sang Kholik dan


kedudukan para makhlukNya adalah pembatas yang memisahkan antara
kekufuran dan keimanan. Dan kami meyakini bahwa barang siapa
mencampur aduk antara dua martabat tersebut maka sungguh dia telah
menjadi kafir. Semoga Alloh ta’ala selalu melindungi.

Masing-masing martabat dan kedudukan tersebut mempunyai hak-


hak dan batasan-batasan. Tapi dalam masalah ini ada hal-hal yang bisa
menimbulkan kesamaran dan ketidakjelasan, khususnya hal-hal yang
berhubungan dengan keistimewaan-keistimewaan Rosululloh shollallohu
'alaihi wasallam yang menjadikan Beliau teramat istimewa apabila
dibandingkan dengan manusia lainnya. Hal-hal tersebut terkadang
membingungkan bagi sebagian orang dikarenakan lemahnya akal dan
pendeknya pikiran mereka, dan juga disebabkan sempitnya wawasan dan
kesalahfahaman mereka, sehingga mereka terlalu tergesa-gesa dalam
memberikan stempel kekufuran bagi orang-orang yang meyakini berbagai
macam keistimewaan Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam tersebut dan
menganggap orang-orang tersebut telah keluar dari lingkup agama Islam.
Mereka menyangka bahwa meyakini keistimewaan-keistimewaan
Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam sama artinya dengan
mencampuradukkan antara martabat sang Kholik dan martabat
makhlukNya, dan juga berarti meyakini bahwa Rosululloh shollallohu 'alaihi
wasallam telah mencapai martabat uluuhiyyah (ketuhanan). Dan sungguh
kita berlepasdiri kepada Alloh ta’ala dari keyakinan-keyakinan tersebut.

Dan dengan anugerah Alloh ta’ala, sungguh kita mengetahui sifat apa
saja yang wajib bagi Alloh ta’ala dan bagi RosulNya, dan kita juga
mengetahui apa yang murni sebagai hak Alloh ta’ala dan apa yang murni
sebagai hak RosulNya shollallohu 'alaihi wasallam, dengan tanpa melewati
batas dan tanpa berlebih-lebihan yang sampai pada batas menyifati
Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam dengan keistimewaan-keistimewaan
Tuhan, yang diantaranya adalah mencegah dan memberi, serta memberi
manfaat dan bahaya dengan sendirinya (tanpa seizin Alloh ta’ala),
kekuasaan yang sempurna dan penjagaan / pengawasan yang menyeluruh,
menciptakan, merajai, mengatur, @@@

Adapun alghuluww dalam arti sangat bersungguh-sungguh dalam


mencintai Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam dan taat kepada Beliau
maka hal tersebut diperintahkan dan disukai, sebagaimana telah
dinyatakan dalam hadits:

“Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang


Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam”.

Arti hadits ini adalah bahwa sesungguhnya berlebihan dalam memuji


Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam dengan tanpa menyerupai orang-
orang Nasrani yang terlalu berlebihan dalam memuji Nabi Isa 'alaihissalam
sehingga menyebutnya sebagai anak Tuhan, maka hal tersebut adalah hal
yang terpuji.

Seandainya arti hadits diatas tidak seperti ini maka niscaya artinya
adalah larangan untuk memuji Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam sama
sekali. Dan seorang muslim yang paling bodohpun tidak pernah
mengatakan hal itu.

Hadits diatas harus diartikan sebagai perintah untuk memuji


Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam karena Alloh ta’ala sendiri telah
mengagungkan NabiNya dalam Alqur’an dengan bentuk pengagungan yang
paling mulia. Maka wajiblah bagi kita untuk mengagungkan orang yang
diagungkan oleh Alloh ta’ala, dan wajib bagi kita untuk mengagungkan
orang yang mana Alloh ta’ala memerintahkan kita untuk mengagungkan
orang tersebut, dengan catatan tanpa menyifati orang tersebut dengan
sifat-sifat Tuhan. Dan semoga Alloh ta’ala mencurahkan rahmatNya atas
orang yang menggubah bait ini:

“Tinggalkan apa yang didakwakan orang-orang Nasrani atas Nabi mereka


(dengan mengatakan bahwa Nabi mereka adalah anak Tuhan) .. dan pujilah
Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam sesuka hatimu dengan
menggunakan bahasa yang indah”

Maka mengagungkan Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam dengan


selain sifat-sifat Ketuhanan, hal ini tidaklah mengandung suatu kekufuran
dan kemusyrikan, bahkan hal itu merupakan salahsatu bentuk ketaatan dan
taqorrub (pendekatan diri kepada Alloh ta’ala) yang paling agung. Begitu
pula hukumnya mengagungkan orang-orang yang diagungkan Alloh ta’ala,
seperti para Nabi dan para Rosul sholawatullohi wasalamuhu ‘alaihim
ajma’in, begitu pula para malaikat, para shiddiq, para syuhada dan orang-
orang sholeh. Hal ini sesuai firman Alloh ta’ala:

“Demikianlah (perintah Alloh). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar


Alloh maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS. Alhajj: 32).

Dan juga firman Alloh ta’ala:

“Demikianlah (perintah Alloh). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa


yang terhormat di sisi Alloh maka itu adalah lebih baik baginya di sisi
Tuhannya” (QS. Alhajj: 30).

Dan termasuk hal-hal yang diperintahkan untuk diagungkan adalah


Ka’bah yang agung, Hajar Aswad, Maqom Ibrohim 'alaihissalam. Hal-hal
tersebut adalah batu-batuan tapi Alloh ta’ala memerintahkan kita untuk
mengagungkannya, yaitu dengan melaksanakan thowaf dengan
mengelilingi Ka’bah, mengusap Rukun Yamani, mencium Hajar Aswad,
menunaikan sholat di belakang Maqom Ibrohim 'alaihissalam, dan berdoa
di Mustajar, pintu Ka’bah dan Multazam.

Dalam melakukan semua hal tersebut bukan berarti kita beribadah


kepada selain Alloh ta’ala. Kita tetap hanya beribadah kepada Alloh ta’ala
dan kita selalu meyakini bahwa tiada hal selain Alloh ta’ala yang bisa
memberi pengaruh dan bisa memberi manfaat atau bahaya. Sesungguhnya
memberi pengaruh dan memberi manfaat atau bahaya tidaklah dimiliki
oleh selain Alloh ta’ala.

KEDUDUKAN MAKHLUQ
Adapun Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam maka kita dengan
sungguh-sungguh berkeyakinan bahwa Beliau adalah seorang manusia yang
boleh-boleh saja menimpa Beliau segala hal yang menimpa manusia yang
lain, misalnya makan, minum, tidur, sakit dan lain sebagainya, dengan
syarat adanya hal-hal tersebut tidak menjadikan Beliau hina dan tidak
menjadikan orang-orang menjauhi Beliau, sebagaimana diterangkan oleh
penyusun Aqidatul’awam:

“Dan@@@

Dan sesungguhnya Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam adalah


hamba Alloh ta’ala. Beliau tidak bisa memberi manfaat atau bahaya untuk
dirinya sendiri, dan tidak mampu untuk menghidupkan, mematikan dan
membangkitkan dari kubur kecuali apabila dikehendaki Alloh ta’ala. Alloh
ta’ala berfirman:
“Katakanlah: Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak
(pula) menolak kemadhorotan kecuali yang dikehendaki Alloh. Dan
sekiranya aku mengetahui yang ghaib tentulah aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemadhorotan. Aku tidak
lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-
orang yang beriman” (QS. Al A’roof: 188).

Anda mungkin juga menyukai