Anda di halaman 1dari 15

APRESIASI PROSA ANGKATAN PUJANGGA BARU PADA NOVEL BERJUDUL “DI

BAWAH LINDUNGAN KA’BAH” KARYA HAMKA


Ghefira Nur Fatimah/22020074003, Meydiana Dyah Pramesty/22020074010, Amara Shofy
Fadhila/22020074012
Sutron: meydiana.22010@mhs.unesa.ac.id

Abstrak
Novel merupakan sebuah karya fiksi, prosa yang tertulis, dan naratif yang umumnya berbentuk
cerita. Novel sebagai karya sastra memiliki fungsi sebagai tempat pengungkapan pemikiran
pengarang sebagai tanggapan atau respons terhadap sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Di
dalam novel terkandung tokoh dengan masing-masing karakternya dan rangkaian peristiwa
seperti halnya kehidupan nyata. Sejalan dengan itu, “Pujangga Baru” adalah angkatan sastra
yang berdiri menggantikan angkatan sebelumnya, yaitu Balai Pustaka dari tahun 1933 hingga
1942. Pujangga Baru banyak menerbitkan karya sastra yang salah satu di antaranya adalah
novel berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. Dalam novel berjudul Di Bawah
Lindungan Ka’bah karya Hamka tersebut akan dianalisis berdasarkan pendekatan objektif yang
terdiri atas fakta cerita dan sarana sastra untuk memahami sebuah karya sastra yang
merupakan salah satu bentuk prosa dan membuat karya sastra agar lebih berwujud.
Kata kunci: novel, fakta cerita, sarana sastra
Abstract
Novel is a work of fiction, written prose, and narrative which is generally in the form of a story.
The novel as a literary work has a function as a place for expressing the author's thoughts in
response to something that happens around him. The novel contains characters with each
character and a series of events just like real life. Accordingly, the "Pujangga Baru" was a
literary generation that replaced the previous generation, namely Balai Pustaka from 1933 to
1942. The New Pujangga published many literary works, one of which was a novel entitled Di
Bawah Lindungan Ka’bah by Hamka. In the novel entitled Under the Protection of the Ka'bah
by Hamka, it will be analyzed based on an objective approach consisting of story facts and
literary tools to understand a literary work which is a form of prose and to make literary works
more tangible.
Keywords: novel, story facts, literary means
Pendahuluan
Novel karya Hamka yang berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” merupakan novel
yang diterbitkan oleh angkatan Pujangga Pada tahun 1938. Novel ini merupakan karya yang
cukup menarik karena dapat dijadikan teladan bagi masyarakat bahwa nilai kedermawanan dan
keikhlasan sangat dibutuhkan dalam menjalankan kehidupan.
Novel karya Hamka yang berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” ini menceritakan
tentang seorang pemuda yang bernama Hamid, sejak usianya empat tahun ia sudah di tinggal
oleh ayahnya. Masa kecilnya ia habiskan untuk membantu ibunya memenuhi kebutuhan sehari-
hari sebagai penjual kue keliling. Hingga suatu hari ia bertemu dengan keluarga Engku Haji Jafar
yang baik hati dan kaya raya.
Karena merasa kasihan melihat tetangganya yang menderita maka keluarga Haji Jafar
meminta agar Hamid dan Ibunya tinggal dan bekerja di rumahnya. Dan Hamid diangkat sebagai
anak oleh Engku Haji Jafar karena dia anak yang cerdas, rajin, sopan, dan taat beragama. Hamid
juga di sekolahkan ke HIS bersama Zainab, anak Haji Jafar.Tamat dari HIS keduanya kemudian
melanjutkan ke Mulo sampai keduanya mendapat ijazah. Dan ternyata selama kebersamaan
mereka itu, membuat keduanya saling jatuh cinta.
Namun perasaan itu hanya mereka pendam dalam hati. Hamid menyadari bahwa dirinya
hanyalah seorang anak dari keluarga miskin yang dibiayai oleh keluarga Haji Jafar. Itulah
kenapa dia hanya memendam rasa sukanya terhadap Zainab. Setelah tamat dari Mulo baru
mereka berpisah. Zainab menjalani pingitan sesuai adat di desa itu sedangkan Hamid
melanjutkan sekolah agama ke Padang Panjang. Di sekolah itulah Hamid mempunyai seorang
teman laki-laki yang bernama Saleh.
Suatu hari kabar mengejutkan datang, Hamid mendapat kabar bahwa ayah angkatnya,
Haji Jafar meninggal dunia dan tidak lama kemudian, ibu kandungnya pun meninggaldunia. Dan
sejak kematian ayah angkatnya, Hamid jarang bahkan tidak pernah menemui Zainab, hingga
pada suatu petang, saat Hamid pergijalan-jalan di pesisir, ia bertemu dengan Mak Asiah,
ibuangkatnya. Pada pertemuan itu Asiah berharap agar Hamid bisa datang kerumahnya, karena
ada suatu hal penting yang ingin dibicarakannya. Pada keesokan harinya Hamid datang kerumah
Mak Asiah, dan beliau meminta tolong agar Hamid mau membujuk Zainab untuk bersedia
dinikahkan dengan kemenakan Haji Jafar.
Meskipun permintaan itu bertentangan dengan isihatinya, dia tetap melaksanakan apa
yang diminta Mak Asiah. Akan Tetapi permintaan itu ternyata ditolak oleh Zainab dengan alasan
ia belum ingin menikah.Semenjak kejadian itu Hamid tidak pernah datang lagi, dia hanya
mengirimkan surat kepada Zainab dan mengatakan bahwa ia akan pergi jauh mengikuti langkah
kakinya berjalan. Surat Hamid itulah yang selalu mendampingi Zainab yang dalam kesepian itu.
Hamid meratau sampai ketanah suci, di negeri itu ia bertemu dengan Saleh, temannya
dulu. Istri Saleh ternyata adalah sahabat baik Zainab. Dari surat Rosna yang dikirim untuk
suaminya, Hamid mengetahui bahwa Zainab sakit dan ia sangat mengharapkan kedatangan
Hamid. Zainab sendiri mengirim surat kepada Hamid dan mengatakan bahwa hamid harus
kembali, kalau tidak, mungkin akan terjadi sesuatu padanya. Dan benar saja seminggu setelah
itu, Zainab menghembuskan nafas terakhirnya. Saleh yang mengetahui kabar meninggalnya
Zainab dari istrinya pun tidak tega memberitahu kabar tersebut pada Hamid. Namun akhirnya
atas desakan dari Hamid, Saleh memberitahukan kabar tersebut.
Setelah mendengar kabar menyedihkan itu, Hamid tetap memaksakan diri untuk
berangkat ke Mina. Namun, dalam perjalanannya, dia jatuh lunglai, sehingga Saleh mengupah
orang Badui untuk memapah Hamid. Setelah acara di Mina, mereka kemudian menuju Masjidil
Haram. Setelah mengelilingi Ka'bah, Hamid minta diberhentikan di Kiswah. Dan kemudian
Hamid pun meninggalkan dunia di hadapan Kabah, menyusul sang kekasih.
Artikel ini akan membahas terkait dengan pendekatan objektif (fakta cerita dan sarana
sastra) pada novel yang berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka yang mencakup
identifikasi dan analisis tema, latar, alur, tokoh, penokohan,, sudut pandang, dan amanat.
Analisis tersebut akan dibahas secara berurutan sebagai berikut.

Kajian Pustaka
Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang sangat mengutamakan penyelidikan
karya sastra berdasarkan kenyataan teks sastra itu sendiri (Hasanuddin, 2019:131). Sejalan
dengan itu pendekatan objektif merupakan suatu pendekatan yang hanya menyelidiki karya
sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar karya sastra. Pendekatan ini
tidak perlu mengaitkan karya sastra dengan pengarang/penciptanya, dengan kenyataan alam
semesta/realitas objektif sebagai sumber pencitaan, dan dengan pembaca sebagai sasaran
penciptaan (Hasanuddin, 2019:129). Pendekatan objektif adalah pendekatan yang
menitikberatkan pada teks sastra yang disebut strukturalisme atau intrinsik (Endraswara,
2011:9).
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan objektif merupakan
pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai unsur otonom yang
mengarah pada analisis sastra secara strukturalisme. Dalam pengaplikasian pendekatan
objektif, prosa akan dianalisis berdasarkan fakta cerita dan sarana sastra sebagai berikut:
1. Tema
Menurut menurut Suarta dan Dwipayana (dalam Mido, 1994:19) tema adalah suatu
gagasan sentral yang menjadi dasar penyusunan karangan dan sekaligus menjadi sasaran dari
karangannya. Sedangkan pendapat menurut Hartati (dalam Suroto, 1989:88) tema adalah
sesuatu yang menjadi pokok persoalan atau sesuatu yang menjadi pemikiran dalam sebuah
cerita. Sejalan dengan pendapat Hermawan dan Shandi (dalam Nurgiyanto, 2013:133) tema
merupakan makna yang dikandungkan cerita dalam karya fiksi.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan
utama yang menjadi pokok persoalan yang dikandung dalam karya fiksi.

2. Plot/Alur
Menurut Suarta dan Dwipayana (dalam Nurgiyantoro, 2005:110) menyatakan alur/plot
merupakan kerangka dasar yang penting bagi sebuah karya fiksi karena tanpa alur mustahil ada
jalinan cerita yang utuh. Sedangkan pendapat menurut Hartati (dalam Suroto, 1989:89) alur
adalah jalan cerita yang berupa peristiwa- peristiwa yang disusun satu per satu dan saling
berkaitan sebab akibat dari awal sampai akhir. Sejalan dengan pendapat menurut Hartati (dalam
Aminuddin, 2002:83) alur adalah rangakian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.
Bedasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa plot adalah rangkaian
jalan cerita yang berupa tahapan-tahapan peristiwa yang utuh dari awal sampai akhir cerita.

3. Setting/Latar
Menurut Hermawan dan Shandi (dalam Tarigan, 2015:136) latar adalah latar belakang
fisik, unsur tempat, dan ruang dalam suatu cerita. Sedangkan pendapat menurut Suarta dan
Dwipayana (dalam Nurgiyantoro, 2007:223) mengatakan bahwa latar merupakan salah satu
unsur terpenting dalam cerita karena dapat memperlihatkan hubungan penokohan dan situasi
umum pada cerita tersebut. Sejalan dengan Hartati (dalam Suroto, 1989:94) menyatakan yang
dimaksud dengan latar/setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana
terjadinya peristiwa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa setting/latar adalah
penggambaran antara hubungan tokoh dengan unsur tempat, waktu, dan suasana terjadinya
peristiwa dalam cerita.

8. Sudut Pandang
Menurut Hartati (dalam Nurgiyantoro, 1995:248) menyatakan bahwa sudut pandang
merupakan strategi, teknik, dan siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sedangkan menurut Hartati (dalam Suroto, 1989:96)
sudut pandang adalah kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita tersebut. Sejalan dengan
menurut Suarta dan Dwipayana (dalam Gunatama, 2005:85) sudut pandang merupakan salah
satu sarana sastra dan cara bercerita dari titik pandang mana atau siapa cerita itu dilukiskan.
Berdasarkan yang dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah cara
penulis menempatkan dirinya dalam sebuah cerita.

9. Tokoh dan Penokohan


Menurut Hermawan dan Shandi (dalam Aminuddin, 2013:79) penokohan adalah cara
pengarang menampilkan tokoh atau pelaku. Sedangkan menurut Suarta dan Dwipayana
(2014:188) penokohan/perwatakan adalah pelukisan tokoh cerita, baik keadaan lahir maupun
batinnya termasuk keyakinannya, pandangan hidupnya, adat-istiadat, dan sebagainnya. Sejalan
dengan pendapat tersebut, Mansyur (2016:2) menyatakan bahwa penokohan adalah sifat-sifat
tokoh yang di gambarkan dalam cerita.
Berdasarkan ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah
penggambaran karakter tokoh atau pelaku pada sebuah cerita.

10. Amanat
Menurut Hartati (2017:123) amanat adalah bagian akhir yang merupakan pesan dari
cerita. Sedangkan dengan menurut Perdana (2021:46) amanat adalah pesan positif yang
dihasilkan dari prosa fiksi. Sejalan dengan menurut Eneguita (2021:154) amanat adalah bagian
akhir yang merupakan pesan dari cerita.
Berdasarkan ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan
yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada penikmat cerita.
Pembahasan
1.1 Fakta Cerita dan Sarana Sastra
 Tema
Di atas telah dijelaskan bahwa tema adalah pokok cerita. Novel yang berjudul “Di Bawah
Lindungan Ka’bah” karya Hamka memiliki tema mayor romansa-religi dan tema minor cinta
yang tak sampai karena perbedaan status sosial antara Hamid dan Zaenab. Hal ini sesuai data
sebagai berikut:

Mustahil ia akan dapat menerima cinta saya, kerana dia langit dan saya bumi, bangsanya
tinggi dan saya daripada kasih sayang ayahnya. Bila saya tilik diri saya, tidak ada padanya
tempat buat lekat hati Zainab. Jika kelak datang waktunya orang tuanya bermenantu,
mustahil pula saya akan temasuk golongan orang yang terpilih untuk menjadi menantu
Engku Haji Jaafar, kerana tidak ada yang akan dapat diharapkan dari saya, tetapi tuan….
Kemustahilan itulah yang kerapkali memupuk cinta (Hamka, 1938:10)

"Semua keluarga di darat (darat adalah sebutan dari Padang Halus) telah bermuafakat
dengan emak hendak mempertalikan Zainab dengan seorang anak saudara almarhum
bapamu, yang ada di darat itu, dia sekarang sedang bersekolah di Jawa. Maksud mereka
dengan perkahwinan itu supaya hartabenda almarhum bapanya dapat dijagai oleh familinya
sendiri, oleh anak saudaranya, sebab tidak ada saudara yang lain, dialah anak yang tunggal.
Pertunangan itu telah dirunding oleh orang yang sepatutnya, jika tiada aral melintang,
bulan depan hendak dipertunangkan dahulu, nanti apabila tamat sekolahnya akan
dilangsungkan perkahwinan. Hal ini telah mak rundingkan dengan Zainab, tetapi tiap-tiap
ditanya dia menjawab belum hendak bersuami, katanya, tanah perkuburan ayahnya masih
merah, airmatanya belum kering lagi. Itulah sebabnya engkau disuruh kemari, akan emak
lawan berunding, mak masih ingat pertalian engkau dan Zainab masa engkau kecil dan
masih sekolah; engkau banyak mengetahui tabiatnya apalagi engkau tidak dipandangnya
sebagai orang lain, sukakah engkau Hamid, menolong emak?" Lama saya termenung…..
(Hamka, 1938:16)

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa Hamid adalah seorang pemuda miskin
yang tinggal bersama ibunya berbeda dengan Zaenab yang merupakan anak dari seorang
saudagar kaya, orang tuanya tentu memilihkan pasangan hidup yang sesuai bagi Zaenab agar
harta kekayaannya tetap terjaga.

 Alur/Plot
Di atas telah dijelaskan bahwa plot adalah pola perkembangan rangkaian peristiwa yang
terbentuk oleh hubungan sebab akibat. Novel berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya
Hamka memiliki alur maju mundur karena terdapat kilas balik dalam cerita.

1. Pengenalan Situasi Cerita


Diawali pada tahun 1927 di Makkah saat tokoh saya sedang melaksanakan ibadah haji dan
bertemu dengan seorang pemuda yaitu Hamid, merekapun berteman. Dilihatnya Hamid yang
selalu termenung, sehingga tokoh saya ingin mengetahui apa yang sedang dialami oleh Hamid.
Hal ini sesuai dengan data sebagai berikut:
“Sudah lama saya perhatikan hal-ihwalmu, saudara, rupanya engkau dalam dukacita yang
amat sangat. Agaknya engkau kurang percaya kepada saya, sehingga engkau tak mau
membagi-bagi kedukaan itu dengan saya. Sebagai seorang kawan, yang wajib berat sama
memikul dan ringan sama menjinjing… ( HAMKA, 2010:9).
“…. setelah itu ia menarik nafas panjang, seakan-akan mengumpulkan ingatan yang bercerai-
berai dan ia pun memulai perkataannya. (HAMKA, 2010:10)
Hamid yang hanya tinggal berdua dengan ibunya karena ayahnya telah meninggal ketika dia
berumur empat tahun. Hamid dan ibunya tinggal dalam kemiskinan, sehingga Hamid harus
menunda sekolah karena tidak adanya biaya. Suatu hari telah pindah ke kampung Hamid
bertemu dengan seorang saudagar kaya bernama Haji Ja’far beserta istri yaitu Mak Asiah dan
satu anak perempuannya bernama Zaenab. Haji Ja’far dan Mak Asiah sudah menganggap
Hamid seperti anaknya sendiri. Karena itu pula Hamid disekolahkan bersama dengan Zaenab.
Hamid dan Zaenab pun berhubungan baik layaknya kakak-beradik. Mak Asiah pun sudah
menganggap ibu Hamid seperti saudara sendiri.
“Zaenab telah saya pandang sebagai adik kandung, saya jaga dari gangguan murid-murid
yang lain. Lepas dari sekolah kerap kali saya datang dengan ibu ke rumah besar itu, kalau-
kalau ada yang patut kami bantu dan kami tolong, karena kami telah dipandang sebagai
anggota rumah yang indah itu” (HAMKA, 2010:17)
Dalam novel yang berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” Hamid melindungi Zaenab
layaknya adiknya sendiri. Haamid dan ibunya seringkali datang ke rumah Zaenab untuk
membantu, karena mereka sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga itu sendiri.
2. Menuju Adanya Konflik

Amat besar budi Engku Haji Jaafar kepada saya, banyak kepandaian yang telah saya peroleh
kerana kebaikan budinya itu. Dari sekolah rendah (H.I.S) saya sama-sama naik dengan
anaknya menduduki Mulo. Tetapi setelah tamat dari sana, sekolah kami tak akan disambung
lagi, kerana sebenarnya didikan ibuku amak melekat kepada diri saya, iaitu condong kepada
mempelajari agama. Zainab pun hingga itu pelajarannya, kerana dalam adat orang hartawan
dan bangsawan di Padang, kemajuan anak perempuan itu hanya terbatas hingga Mulo, belum
berani mereka melebihi dari kebiasaan umum, melepaskan anak perempuannya belajar jauh-
jauh. Setelat tamat dari mulo, menurut adat, Zainab masuk dalam pingitan, ia tidak akan
dapat keluar lagi kalau tidak ada satu keperluan yang sangat penting, ini pun harus ditemani
oleh ibu atau orang kepercayaannya, sampai datang masanya bersuami kelak. Dan saya, bila
sekolah itu tamat, akan berangkat ke Padang Panjang, sebab Engku Haji Jaafar masih
sanggup membelanjai saya, apa lagi demikianlah cita-cita ibuku (Hamka, 1938:8)

Cinta itu adalah " jiwa" antara cinta yang sejati dengan jiwa tak dapat dipisahkan, cinta pun
mereka sebagaimana jiwa, ia tidak memperbezakan di antara darjat dan bangsa, di antara
kaya dan miskin, mulia dan papa demikianlah jiwa saya, diluar dari pada resam basi, terlepas
daripada kekang kerendahan saya dan kemuliaannya; saya merasainya, bahawa Zainab adalah
diri saya, Saya merasai ingat kepadanya adalah kemestian hidup saya. Rindu kepadanya
membukakan pintu angan-angan saya menghadapi zaman yang akan datang. Dahulu saya
tidak pedulikan hal itu, tetapi setelah saya besar dan berpisah daripadanya, barulah saya insaf,
bahawa kalau bukan di dekatnya, saya berasa kehilangan (Hamka, 1938:10)

Setelah bertahun-tahun Hamid dan Zaenab bersama-sama menempuh pendidikan akhirnya


mereka lulus juga dari pendidikan mulo, sesuai tradisi yang berlaku, ketika sudah lulus mulo
seorang gadis tidak boleh melanjutkan lagi pendidikannya hingga ke jenjang yang lebih
tinggi, karena mereka sudah masuk masa pingitan. Zaenab pun harus menerima itu, berbeda
dengan Hamid yang harus melanjutkan pendidikannya hal itu pun karena Haji Ja’far masih
sanggup untuk membiayai sekolahnya. Hamid memilih untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi di Padang Panjang. Selama Hamid berada di Padang Panjang, dia
merasa kesepian, seperti telah kehilangan suatu hal, Hamid pun menyadari bahwa dia sedang
merindukan Zaenab, bukan sebagai kakak kepada adik melainkan perasaan lebih, Hamid
jatuh cinta pada Zaenab.
3. Puncak Konflik
"Semua keluarga di darat (darat adalah sebutan dari Padang Halus) telah bermuafakat
dengan emak hendak mempertalikan Zainab dengan seorang anak saudara almarhum
bapamu, yang ada di darat itu, dia sekarang sedang bersekolah di Jawa. Maksud mereka
dengan perkahwinan itu supaya hartabenda almarhum bapanya dapat dijagai oleh familinya
sendiri, oleh anak saudaranya, sebab tidak ada saudara yang lain, dialah anak yang tunggal.
Pertunangan itu telah dirunding oleh orang yang sepatutnya, jika tiada aral melintang, bulan
depan hendak dipertunangkan dahulu, nanti apabila tamat sekolahnya akan dilangsungkan
perkahwinan. Hal ini telah mak rundingkan dengan Zainab, tetapi tiap-tiap ditanya dia
menjawab belum hendak bersuami, katanya, tanah perkuburan ayahnya masih merah,
airmatanya belum kering lagi. Itulah sebabnya engkau disuruh kemari, akan emak lawan
berunding, mak masih ingat pertalian engkau dan Zainab masa engkau kecil dan masih
sekolah; engkau banyak mengetahui tabiatnya apalagi engkau tidak dipandangnya sebagai
orang lain, sukakah engkau Hamid, menolong emak?" Lama saya termenung….. "Mengapa
engkau termenung, Hamid? Dapatkan engkau menolong emak, melembutkan hatinya dan
memujuk ia supaya mahu? Hamid!.... emak percaya sepenuh-penuhnya kepadamu sebagai
Allahyarham bapamu percaya kepada engkau!' (Hamka, 1938:16).
Memang, mula-mula hati itu mesti bergoncang; bukahkan loceng-loceng dirumah juga
berbunyi keras dan berdengung jika kena pukul? Tetapi akhirnya, dari sedikit ke sedikit,
dengung itu akan berhenti juga. Cuma saja saya mesti berikhtiar, supaya luka-luka yang
hebat itu jangan mendalam kembali, saya mesti berusaha, supaya ia beransur-ansur sembuh.
Untuk itu saya mesti berusaha, saya mesti meninggalkan Kota Padang, terpaksa tak melihat
wajah Zainab lagi, saya berjalan jauh (Hamka, 1938:18).
Mak Asiah meminta Hamid membujuk Zaenab agar mau bertunangan dengan kemenakan
Almarhum Haji Ja’far. Mendengar itu Hamid sangat terkejut karena dalam Hatinya, Hamid
sangat mencintai Zaenab dia tidak mungkin melakukan hal yang tidak dikehendaki oleh
hatinya, namun di sisi lain dia harus menuruti permintaan Mak Asiah sebagai bentuk rasa
hormatnya kepada orang yang telah membantu banyak dalam hidupnya. Hamid pun dengan
berat hati membujuk Zaenab agar menuruti apa yang ibunya katakan. Setelah kejadian pada
pada hari itu, Hamid memutuskan untuk meninggalkan kota Padang tanpa sepengetahuan
Zainab.
4. Pemecahan Masalah
“Hamid! Tempoh hari sudah saya katakan, bahawa saya telah beristeri, isteri saya itu ialah
Rosnah..ingatkah engkau akan Rosnah, sahabat karib Zainab?" Saya pucat mendengar nama
Zainab disebutnya. Kerana sudah lama benar saya tiasa mendengar nama itu disebut orang,
kecuali saya sendiri, perubahan muka saya itu dilihat oleh Salleh sambil tersenyum duka.
"Kerapkali isteriku disuruhnya datang kerumahnya" katanya meneruskan ceritanya. "Kerana
hubungan persahabatan mereka itu yang karib. Rupanya Zainab telah sudi membukakan rahsia-
rahsianya yang sulit kepada isteri saya. Yang paling hebat, ialah seketika pada suatu hari isteri
saya datang ke rumahnya, didapatinya Zainab merenung sebuah album, di dalam album itu
terkembang sehelai surat kecil yang telah lusuh dan lunak, kerapkali dibaca dan dibuka
lipatannya. "Setelah adinda kelihatan olehnya" kata isteriku," album itu ditutupnya dengan
segera dan surat itu disimpannya baik-baik ke dalam laci mejanya, setelah itu dia kelihatan
kepada adinda dengan tenang, wajahnya muram, matanya berbekas tangis dan dia menarik nafas
panjang" (Hamka, 1938 : 20)
Sepuluh hari sebelum orang-orang haji berangkat ke `Arafah mengerjakan wuquf jemaah-
jemaah telah kembali dari ziarah besar ke Madinah. Waktu itulah pula Salleh kembali ke
Mekah. Surat balasan dari isterinya yang datang sepeninggalannya ke Madinah telah kami
serahkan ke tangannya. Dalam minggu itu juga datang surat Zainab kepada Hamid
(Hamka,1938:25)
Setahun sudah Hamid berada di Mekkah. Ketika di Mekkah Hamid bertemu dengan Saleh,
teman sekampungnya yang kebetulan akan menunaikan ibadah Haji. Kehadiran Saleh
memberikan informasi kepada Hamid tentang keadan di kampungnya dan tentang Zainab.
Tentu ini semua membuat Hamid bahagia. Saleh juga memberi tahu bahwa Zainab mencintai
Hamid, Saleh tahu hal tersebut dari istrinya yaitu Rosna yang kebetulan Rosna adalah sahabat
Zainab.Begitupun dengan Zainab kini ia telah mengetahui keberadaan Hamid, seseorang
yang ia nantikan selama bertahun-tahun. Karena Saleh pula cinta keduanya jadi terbuka,
setelah mereka saling mengirim surat yang dibantu oleh Saleh.
5. Penyelesaian
Setelah selesai penyembelihan besar itu, pada hari yang ke sebelas kami berangkat ke
Mekah,iaitu mengerjakan rukun yang agak cepat, tidak menunggu sampai tiga hari. Sebelum
mengerjakan tawaf besar itu, lebih dahulu kami singgah ke rumah kami. Kerana penyakit
Hamid rupanya bertambah berat, terpaksalah kami mencarikan orang Badwi upahan, yang
biasanya menerima upah mengangkat orang sakit mengerjakan tawaf. Sebelum Hamid
diangkat ke atas bangku itu, yang diberi hamparan daripada kulit dahan kurma berjalin,
khadam syeikh datang terburu-buru menghantarkan sepucuk surat dari Sumatera, setelah
kami buka, ternyata datangnya dari Rosnah. Muka Salleh menjadi pucat,jantung saya
berdebar-debar membaca isinya yang tiada sangka-sangka, Zainab telah meninggal, surat
menyusul, Rosnah ( Hamka, 1938 : 27)
Di bibirnya terbayang suatu senyuman dan sampailah waktunya lepaslah ia daripada
tanggungan dunia yang amat berat ini, dengan keizinan Tuhannya, di bawah lindungan
Ka`bah! Pada hari itu selesailah mayat sahabat yang dikasihi itu dimakamkan di perkuburan
Ma`ala yang masyhur. (Hamka,1938: 28)
Tetapi sebelum keduanya bertemu di tanah air, Tuhan telah berkehendak lain. Surat Rosna
membawa kabar bahwa Zainab telah meninggal, karena begitu berat ia menahan rindu kepada
Hamid lelaki yang ia cintai, mereka tidak dapat bersama karena status sosial mereka yang
berbeda, disusul pula oleh Hamid yang setelah berdoa di antara pintu ka’bah dengan Batu
Hitam (Hajar Aswad), Hamid pun meninggal.
 Latar/Setting
Di atas telah dijelaskan bahwa latar adalah segala keterangan atau petunjuk yang berkaitan
dengan waktu, ruang, dan situasi terjadinya peristiwa dalam suatu cerita. Novel berjudul “Di
Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka memiliki latar tempat, waktu, dan suasana sebagai
berikut.
Tempat
a.       Di Mekah
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini.
1)   ...Dua hari kemudian saya pun sampai di mekkah, Tanah Suci kaum muslim sedunia.
(HAMKA, 2010:5)
2)   ...Akhirnya sampailah saya ke tanah suci ini. (HAMKA, 2010:42).
3)   ...pada hari keduabelas kami berangkat ke Mekkah...(HAMKA, 2010:60)
b.      Di Kota Padang
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini.
“...Ayah pindah ke kota padang, tinggal dalam rumah kecil yang kami diami itu...(HAMKA,
2010:12).
c.       Di Rumah
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini.
“...saya hanya duduk dalam rumah didekat ibu...(HAMKA, 2010:12).
d.      Di Halaman Rumah
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini.
1)      ...setelah saya akan meninggalkan halaman rumah itu...(HAMKA, 2010:15)
2)      ...saya dan Zainab bersama teman-teman kami yang lain berlari-lari bermain galah
dalam pekarangan rumahnya...(HAMKA, 2010:18).
e.       Di Puncak Gunung Padang
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini.
“Waktu orang berlimau, sehari orang akan berpuasa, kami dibawa ke atas puncak Gunung
Padang...(HAMKA, 2010:19).
f.       Di Padang Panjang
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini.
1)      Saya tidak beberapa bulan setelah tamat sekolah, berangkat ke Padang Panjang...
(HAMKA, 2010:21).
2)      Setelah puasa habis, saya kembali ke Padang Panjang. (HAMKA, 2010:24).

g.      Di Pesisir Arau


Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini.
“...di waktu saya sedang berjalan-jalan seorang diri di Pesisir Arau yang indah itu...
(HAMKA, 2010:32).
h.      Pekuburan Ma'ala
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Sehari sebelum kami meninggalkan Mekkah, pergilah kami berziarah ke kuburan Ma'ala,
tempat Hamid di kuburkan. (HAMKA, 2010:65).
Waktu
a.       Tahun 1927
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini.
1)      Mekah Pada Tahun 1927 (judul bagian 1). (HAMKA, 2010:5).
2)      Konon kabarnya, belumlah pernah orang naik haji seramai tahun 1927 itu, baik sebelum
itu ataupun sesudahnya. (HAMKA, 2010:5).
b.      Bulan Ramadan, Bulan Syawal
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Baharu dua bulan saja, semenjak awal Ramadan sampai syawal... (HAMKA, 2010:7).
c.       Bulan Zulhijjah
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
1)      Pada hari kedelapan bulan Zulhijjah, datang perintah dari syekh kami... (HAMKA,
2010:59).
2)      Pada malam 9 Zulhijjah panasnya naik dari biasa. (HAMKA, 2010:59).
d.      Pagi
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
1)      Pada suatu pagi saya datang ke muka ibu... (HAMKA, 2010:17).
2)      Besok paginya, saya tidak menjunjung nyiru tempat kue lagi... (HAMKA, 2010:17).
3)      Tiap-tiap pagi saya selalu di hadapan rumah itu... (HAMKA, 2010:15).
e.       Hari Minggu
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan sebagai berikut.
“Hari Minggu kami diizinkan pergi ke tepi laut...(HAMKA, 2010:18).
f.       Malam
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.
1)      Pada suatu malam, sedang ia duduk seorang dirinya... (HAMKA, 2010:9).
2)      Di waktu malam, ketika akan tidur, kerap kali Ibu menceritakan kebaikan Ayah...
(HAMKA, 2010:12).
g.      Sore
Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut.
“...Kadang-kadang di waktu sore kami duduk di beranda muka... (HAMKA, 2010:18).
Suasana
a.       Suasana sedih
1)      Hal tersebut digambarkan ketika Hamid sedang melakukan tawaf, ia mengeluarkan air
mata. Dengan bukti kutipan berikut.
“...air matanya titik amat derasnya membasahi sorban yang membalut dadanya...(HAMKA,
2010:8).
2)      Suasana sedih anak perempuan yang tamat sekolah karena akan masuk pingitan.
Dengan bukti kutipan berikut.
“Yang berasa sedih amat, adalah anak-anak perempuan yang akan masuk pingitan; tamat
sekolah bagi mereka artinya suatu sangkar yang telah tersedia buat seekor burung yang bebas
terbang...(HAMKA, 2010:20).
3)      Suasana sedih karena kematian Haji Jafar dan ibunya. Dengan bukti kutipan sebagai
berikut.
“Tidak mak, cuma kematian yang bertimpa-timpa itu agak mendukakan hatiku, itulah
sebabnya saya kurang keluar dari rumah.” (HAMKA, 2010:33).
4)      Suasana sedih ketika Hamid melunakan hati Zainab supaya mau ditunangankan.
Dengan bukti kutipan berikut.
“...air matanya kelihatan menggelenggang, mengalir, setitik dua titik kepipinya... (HAMKA,
2010:37).
5)      Suasana sedih ketika Zainab menceritakan isi hatinya kepada Rosna. Dengan bukti
kutipan berikut.
“Air mata Zainab kembali jatuh... (HAMKA, 2010:45).
6)      Suasana sedih ketika Hamid mengetahui bahwa Zainab telah meninggal. Dengan bukti
kutipan berikut.
“Melihat itu kepalanya tertekun ia menarik nafas panjang, dari pipinya meleleh dua titik air
mata yang panas. (HAMKA, 2010:61).

b.      Suasana Bahagia
1)      Suasana bahagia ketika Hamid dapat bersekolah. Dengan bukti kutipan berikut.
“Pada suatu pagi saya datang ke muka ibu saya dengan perasaan yang sangat gembira,
membawa kabar suka yang sangat membesarkan hatinya, yaitu besok Zainab akan diantarkan
ke sekolah dan saya dibawa serta. Saya akan disekolahkan dengan belanja Engku Haji Ja'far
sendiri bersama-sama anaknya.
Mendengar perkataan itu, terlompatlah air mata ibuku karena suka cita, kejadian yang selama
ini sangat diharap-harapkannya. (HAMKA, 2010:17).
2)      Suasana bahagia jika waktu pakansi tiba. Dengan bukti kutipan sebagai berikut.
“Bilamana pakansi puasa telah datang, gembiralah hati saya, karena akan dapat saya
menghadap ibu saya, memaparkan dihadapannya, bahwa dia sudah patut gembira, karena
anaknya ada harapan akan menjadi orang alim... (HAMKA, 2010:22).
3)      Suasana bahagia ketika pakansi tiba, bertemu dengan ibu dan Haji Ja'far serta dengan
Mak Asiah dan Zainab. Dengan bukti kutipan sebagai berikut.
“...Ibu saya titik air matanya karena kegirangan, Engku Haji Ja'far tersenyum mendengar saya
mengucapkan terima kasih. Mak Asiah memuji saya sebagai anak yang berbudi. (HAMKA,
2010:22).
4)      Suasana bahagia saat Hamid berkunjung ke rumah Zainab. Dengan bukti kutipan
berikut.
“Waktu itu kelihatan nyata oleh saya mukanya merah, nampak sangat gembiranya melihat
kedatangan saya. (HAMKA, 2010:33).
5)      Suasana bahagia Mak Asiah datang saat Hamid sudah ada di rumahnya. Dengan bukti
kutipan sebagai berikut.
“Mak Asiah masuk dengan gembira, seraya berkat, “Sudah lama, Mid?” (HAMKA, 2010:34).
6)      Suasana bahagia setelah Saleh selesai bercerita tentang Zainab. Dengan bukti kutipan
sebagai berikut.
“Habis cerita sahabatku Hamid sehingga itu, mukanya kelihatan berseri-seri,sebab simpanan
dadanya yang meluap selama ini telah dapat ditumpahkannya kepada orang yang
dipercayainya. (HAMKA, 2010:54).
7)      Suasana bahagia ketika Hamid mendapat surat dari Zainab. Dengan bukti kutipan
sebagai berikut.
“Akan dapatkah dilukiskan, dapatkah diperikan bagaiman wajah Hamid ketika membaca
surat itu.Dapatkah,mungkinkah dikira-kirakan bagaiman perasaannya waktu itu? Surat
demikian adalah pengharapannya selama ini,buah mimpinya.Memikirkan kerendahan
derajatnya, tiadalah disangka-sangkanya, bahwa ia akan seberuntung itu, menerima surat
Zainab. (HAMKA, 2010:57).
 Tokoh dan Penokohan
Di atas telah dijelaskan bahwa penokohan adalah penggambaran karakter tokoh dalam cerita.
Watak/karakter dari masing-masing tokoh dalam novel berjudul “Di Bawah Lindungan
Ka’bah” karya Hamka adalah sebagai berikut:
1.      Saya : Tokoh Utama yang akhirnya bertemu dan berteman dengan Hamid
2.      Hamid : Seorang pemuda miskin yang tinggal bersama ibunya karena ayahnya telah
meninggal semasa Hamid kecil. Hamid berbudi pekerti luhur, sopan, pintar, rendah hati, dan
sederhana
3.      Ibu Hamid : wanita yang gigih berjuang membesarkan anaknya walau hanya sendirian.
Baik hati dan penuh kasih saying
4.      Zaenab : Anak perempuan Haji Ja’far dam Mak Asiah. Berteman dengan Hamid sejak
kecil. Selalu bersama-sama hingga tamat sekolah. Zaenab baik hatinya, sopan, ramah, dan
sangat patuh kepada orang tuanya.
5.      Haji Ja’far : Saudagar kaya yang membantu kehidupan Hamid dan ibunya, yang
menyekolahkan Hamid. Haji Ja’far sangat dermawan dan baik hati
6.      Mak Asiah : Wanita yang penuh kasih sayang. Baik hatinya kepada siapa saja
7.      Rosna : Istri Saleh dan juga sahabat baik Zaenab, dia selalu bersedia mendengarkan
keluh kesah Zaenab dan menemani Zaenab disaat Zaenab merasa sedih karena kepergian
Hamid.
8.      Saleh : Teman semasih sekolah Hamid yang ingin melanjutkan pendidikannya di Mesir.
Suami Rosna

 Sudut Pandang
Di atas telah dijelaskan bahwa sudut pandang adalah cara penulis dalam menempatkan
dirinya dalam sebuah cerita. Dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka
menggunakan sudut pandang orang pertama selaku sampingan sebagaimana kutipan berikut:

 Amanat
Di atas telah dijelaskan bahwa amanat adalah pesan yang terkandung dalam cerita yang ingin
disampaikan pengarang kepada penikmat cerita. “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya
Hamka memiliki pesan bahwa Ketika kita hanya dipandang sebelah mata oleh orang lain,
ingatlah bahwa Allah selalu memandang semua umatnya sama, tidak terhalang dengan
miskin dan kaya dan terpandang atau tidaknya seseorang. Hanya keimanan dari diri sendiri
lah yang membuat kita berbeda di hadapan Allah. Ketika segala apa yang ada di dunia ini
menghalangi keinginanmu, percayalah bahwa Allah mempunyai caranya sendiri untuk kita
mendapatkan apa yang kita inginkan. Mencintai seseorang tidak semata hanya memandang
fisik dan kekayaannya saja, tetapi juga hatinya.

a)      Kita harus memupuk dan mempertahankan cinta dengan jalan lurus, artinya harus
dengan jalan ridho Ilahi. Terbukti dengan kutipan sebagai berikut.
“Engkau telah mengambil jalan yang lurus dan jujur di dalam memupuk dan
mempertahankan cinta.(HAMKA, 2010:65).
b)      Jangan menumbuhkan perasaan jika akhirnya akan membawa duka. Dengan bukti
kutipan sebagai berikut.
“Anakku...sekarang cintamu masih bersifat angan-angan, cinta itu kadang-kadang hanya
menurutkan perintah hati, bukan menurut pendapat otak. Dia belum berbahaya sebelum
mendalam. Kalau dia telah mendalam, kerap kali – kalau yang kena cinta pandai – ia
merusakan kemauan dan kekerasan hati laki-laki. Kalau engkau perturutkan tentu engkau
menjadi seorang anak yang putus asa, apalagi kalau cinta itu bertolak,, terpaksa ditolak oleh
keadaan yang ada disekelilingnya “Hapuskanlah perasaan itu dari hatimu, jangan ditimbul-
timbulkan jua. Engkau tentu memikirkan juga bahwa, bahwa emas tak setara dengan loyang,
sutra tak sebangsa dengan benang.” (HAMKA, 2010:27).
c)      Belajarlah dengan sungguh-sungguh. Dengan bukti kutipan berikut.
“Belajarlah sungguh-sungguh, Hamid, mudah-mudahan engkau lekas pintar dalam perkara
agama dan dapat hendaknya saya menolong engkau sampai tamat pelajaranmu...” (HAMKA,
2010:24).

Anda mungkin juga menyukai