CGP dapat menjelaskan makna ‘kontrol’ dari paparan Teori Kontrol Dr. William Glasser
serta miskonsepsi yang terjadi di kehidupan sehari-hari, serta dapat menjelaskan
perubahan paradigma stimulus respon kepada teori kontrol.
CGP dapat menjelaskan makna Disiplin Positif, dan mengamati penerapannya di
lingkungannya, serta kaitan Teori Kontrol dengan 3 Motivasi Perilaku Manusia.
CGP menjelaskan pentingnya memilih dan menentukan nilai-nilai kebajikan yang akan
diyakini dan disepakati seluruh warga sekolah, sehingga kelak tercipta sebuah budaya
positif.
Anda dan teman Anda akan melakukan kegiatan ‘Cobalah Buka’. Anda adalah A , tugas
Anda adalah mengepalkan salah satu tangan Anda. Coba Anda bayangkan bahwa Anda
menyimpan sesuatu yang sangat berharga di dalam kepalan tangan Anda. Anda perlu menjaga
benda tersebut sekuat tenaga Anda karena begitu pentingnya untuk kehidupan Anda. Tugas B
(rekan Anda), adalah mencoba dengan segala cara untuk membuka kepalan tangan Anda.
Teman Anda B boleh membujuk, menghardik, mengintimidasi, memarahi, menggoda,
menggelitik, bahkan menawari Anda uang agar Anda bersedia membuka kepalan tangan
Anda.
Cobalah lakukan kegiatan ‘Cobalah Buka’ di atas dengan B secara bergantian, masing-masing
A dan B memiliki waktu 30 detik saja. Sesudah itu diskusikan kegiatan ini dan coba jawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini secara mandiri, dan diskusikan kembali dengan rekan
Anda B. Bandingkan jawaban Anda, apakah berbeda, atau sama. Bilamana berbeda, kira-kira
mengapa?
1. Apakah Anda atau B membuka kepalan tangan Anda? Mengapa, apa alasan Anda atau
B membuka kepalan tangan Anda?
2. Apakah Anda atau B menutup kepalan tangan Anda? Mengapa, apa alasan Anda atau B
tetap menutup kepalan tangan Anda?
3. Dalam kegiatan ini, sesungguhnya siapa yang memegang kendali atau kontrol untuk
membuka atau menutup kepalan tangan?
Tanggapan Reflektif
Kemungkinan jawaban kita terhadap:
Bagaimana seseorang bisa berubah dari paradigma Stimulus-Respon kepada pendekatan teori
Kontrol? (Stephen R. Covey)
Bagaimana seseorang bisa berubah dari paradigma Stimulus-Respon kepada pendekatan
teori Kontrol? Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991) mengatakan
bahwa,
“..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku
Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah
kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir
tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek
tertentu tentang realitas”.
Makna Disiplin
Dalam rangka menciptakan lingkungan positif, salah satu strategi yang perlu kita tinjau
kembali adalah penerapan disiplin di sekolah kita. Apakah telah efektif, apakah masih
perlu ditinjau kembali? Apa sesungguhnya arti dari disiplin itu sendiri? Apa kaitannya
dengan nilai-nilai kebajikan? Mari kita bahas makna disiplin dan nilai-nilai kebajikan
universal dengan mengaitkan beberapa pembelajaran awal di modul 1.2 tentang
perubahan paradigma teori stimulus respon ke teori kontrol serta teori 3 motivasi
perilaku manusia.
Sebelumnya, mari kita tanyakan ke diri kita sendiri, bagaimana kita berperilaku? Mengapa kita
melakukan segala sesuatu? Apakah kita melakukan sesuatu karena adanya dorongan dari
lingkungan, atau ada dorongan yang lain? Terkadang kita melakukan sesuatu karena kita
menghindari rasa sakit atau ketidaknyamanan, terkadang kita juga melakukan sesuatu untuk
mendapatkan apa yang kita mau. Pernahkah Anda melakukan sesuatu untuk mendapat
senyuman atau pujian dari orang lain? Untuk mendapat hadiah? Atau untuk mendapatkan
uang? Apa lagi kira-kira alasan orang melakukan sesuatu?
Sekarang mari kita membahas tentang konsep disiplin positif yang merupakan unsur utama
dalam terwujudnya budaya positif yang kita cita-citakan di sekolah-sekolah kita. Kebanyakan
guru, sangat tertarik dengan topik pembahasan tentang disiplin. Mereka berpendapat bahwa
kalau saja anak-anak bisa disiplin, pasti mereka akan bisa belajar. Para guru juga berpendapat
bahwa mendisiplinkan anak-anak adalah bagian yang paling menantang dari pekerjaan
mereka. Bagaimana dengan Bapak/Ibu CGP? Apakah Anda memiliki pendapat yang sama?
Makna Kata Disiplin
Ketika mendengar kata “disiplin”, apa yang terbayang di benak Anda? Apa yang terlintas di
pikiran Anda? Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib, teratur,
dan kepatuhan pada peraturan. Kata “disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman,
padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan
memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak
digunakan sama sekali.
Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang
pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’
dengan ketidaknyamanan.
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa
“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu
bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya,
tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah
penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam
suasana yang merdeka.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima,
2013, Halaman 470)
Disitu Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks
pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah
harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki
motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain
untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam
diri kita sendiri.
Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah:
mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri
priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap
buat memerintah diri sendiri)
Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring
School Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa
Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang
sama dengan ‘disciple’ atau murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut,
seseorang harus paham betul alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran
tertentu, sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi dengan disiplin
diri dari murid-murid Socrates dan Plato. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali
potensinya menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna. Dengan kata
lain, disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana
menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.
Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab
terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai
kebajikan universal. Dalam hal ini Ki Hajar menyatakan;
“...pertanggungjawaban atau verantwoordelijkheld itulah selalu menjadi sisihannya hak atau
kewajiban dari seseorang yang pegang kekuasaan atau pimpinan dalam umumnya. Adapun
artinya tidak lain ialah orang tadi harus mempertanggungjawabkan dirinya serta tertibnya
laku diri dari segala hak dan kewajibannya.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima,
2013, Halaman 469)
Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri
sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan
memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Referensi:
Restitution: Restructuring School Discipline, Diane Chelsom Gossen, 2001, New View
Publications, North Canada.
Ki Hajar Dewantara; Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,2013, UST-Press
bekerjasama dengan Majelis Luhur Tamansiswa.
Bapak dan Ibu calon guru penggerak,
Indah sekali bukan pemikiran-pemikiran tentang konsep disiplin di atas. Mari kita
bayangkan alangkah indahnya ketika tercipta masyarakat yang bisa saling belajar, yang
saling merasa terikat dan terhubungkan satu sama lain; karena masyarakat seperti itu
akan mengambil tanggung jawab untuk pembelajarannya, senantiasa berusaha untuk
menjadi insan yang lebih baik dari sebelumnya. Itulah tujuan dari disiplin diri.
Nilai-nilai Kebajikan
Bapak Ibu calon guru penggerak,
Anda telah mengikuti serangkaian pembahasan tentang makna disiplin positif yang
dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara maupun Diane Gossen, di mana kedua pakar
pendidikan mengartikan disiplin sebagai bentuk kontrol diri, yaitu belajar untuk kontrol diri
agar dapat mencapai suatu tujuan mulia. Tujuan mulia di sini mengacu pada nilai-nilai atau
prinsip-prinsip mulia yang dianut seseorang. Kita namakan nilai-nilai tersebut sebagai nilai-
nilai kebajikan (virtues) yang universal.
Nilai-nilai kebajikan universal sendiri telah diperkenalkan di modul 1.2 yang berarti nilai-nilai
kebajikan yang disepakati bersama, lepas dari suku bangsa, agama, bahasa maupun latar
belakangnya. Nilai-nilai ini merupakan ‘payung besar’ dari sikap dan perilaku kita, atau nilai-
nilai ini merupakan fondasi kita berperilaku. Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif
manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu. Seperti yang telah
dikemukakan oleh Dr. William Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa setiap
perbuatan memiliki suatu tujuan, dan selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa
dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya
akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan
mulia yang diinginkan.
Beberapa institusi/organisasi pendidikan di bawah ini telah memiliki nilai-nilai kebajikan yang
diyakini dan sepakati bersama. Salah satunya adalah nilai-nilai kebajikan yang ingin dicapai
oleh setiap anak Indonesia yang kita kenal dengan Profil Pelajar Pancasila, yang sebelumnya
telah dibahas di modul 1.2. Bisa disimpulkan bahwa sebagian institusi/organisasi saling
memiliki nilai-nilai kebajikan yang sama, karena nilai-nilai tersebut bersifat universal, dan
lintas bahasa, suku bangsa, agama maupun latar belakang.
o Beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia.
o Mandiri
o Bernalar Kritis
o Berkebinekaan Global
o Bergotong royong
o Kreatif
Sikap Murid:
o Toleransi
o Rasa Hormat
o Integritas
o Mandiri
o Menghargai
o Antusias
o Empati
o Keingintahuan
o Kreativitas
o Kerja sama
o Percaya Diri
o Komitmen
Keterampilan Hidup
o Dapat dipercaya
o Lurus Hati
o Pendengar yang Aktif
o Tidak Merendahkan Orang Lain
o Memberikan yang Terbaik dari Diri
Petunjuk Hidup
o Peduli
o Penalaran
o Bekerja sama
o Keberanian
o Keingintahuan
o Usaha
o Keluwesan/Fleksibilitas
o Berorganisasi
o Kesabaran
o Keteguhan hati
o Kehormatan
o Memiliki Rasa Humor
o Berinisiatif
o Integritas
o Pemecahan Masalah
o Sumber pengetahuan
o Tanggung jawab
o Persahabatan
o Empati
o Suara Hati
o Kontrol Diri
o Rasa Hormat
o Kebaikan
o Toleransi
o Keadilan
Silakan Anda membaca nilai-nilai kebajikan dari keenam institusi/organisasi yang telah
disampaikan di sini, dan pilihlah salah satu yang menurut Anda paling menarik. Bandingkan
dengan nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip yang Anda miliki di sekolah Anda. Adakah
suatu perbedaan atau persamaan? Kemudian pikirkan bagaimana nilai-nilai kebajikan yang
Anda pilih tersebut dapat disampaikan dan menjadi fondasi dari keyakinan sekolah atau
keyakinan kelas yang disepakati seluruh warga sekolah. Kemudian pikirkan kegiatan-kegiatan
apa saja yang dapat dilakukan agar keyakinan-keyakinan tersebut dapat dipahami, dan
diterapkan seluruh warga sekolah dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan, Restitusi
Tujuan Pembelajaran
CGP dapat menjelaskan dan menganalisis Teori Motivasi dan Motivasi Intrinsik yang
dituju, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya.
CGP dapat menjelaskan konsep hukuman dan penghargaan, dan konsep pendekatan
restitusi.
CGP dapat melakukan pengamatan dan peninjauan atas praktik penerapan konsep-
konsep tersebut di lingkungannya sendiri.
Mari kita tanyakan ke diri kita sendiri, bagaimana kita berperilaku? Mengapa kita melakukan
segala sesuatu? Apakah kita melakukan sesuatu karena adanya dorongan dari lingkungan, atau
ada dorongan yang lain? Terkadang kita melakukan sesuatu karena kita menghindari rasa sakit
atau ketidaknyamanan, terkadang kita juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang
kita mau.
Bagaimana menurut Anda? Pernahkah Anda melakukan sesuatu untuk mendapat senyuman
dari orang lain? Untuk mendapat hadiah? Atau untuk mendapatkan uang? Apalagi kira-kira
alasan orang melakukan sesuatu? Untuk mengetahui lebih jauh lagi mengenai motivasi
manusia, mari kita baca artikel ini:
Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi
perilaku manusia:
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka,
sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat
(Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk
mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa
yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom
Gossen, 1996).
Sebelum kita membahas lebih mendalam tentang penerapan Restitusi, kita perlu bertanya
dahulu, adakah perbedaan antara hukuman dan konsekuensi? Bila sama, di mana
persamaannya? Bila berbeda, bagaimana perbedaannya? Di bawah ini Anda akan diberikan
suatu gambaran perbedaan antara Hukuman, Konsekuensi, dan Restitusi itu sendiri.
Bila kita melihat bagan di bawah ini, kata disiplin tanpa tambahan kata ‘positif’ di
belakangnya, sesungguhnya sudah merupakan identitas sukses dan hukuman merupakan
identitas gagal. Disiplin yang sudah bermakna positif terbagi dua bagian yaitu Disiplin dalam
bentuk Konsekuensi, dan Disiplin dalam bentuk Restitusi, yang selanjutnya akan dijelaskan
dengan lebih rinci di pembelajaran 2.2 dan 2.6.
Berdasarkan bagan diatas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa hukuman bersifat tidak
terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak
dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya
menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru,
baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis,
murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata.
Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah disepakati; sudah
dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh
pihak guru (sekolah), dan murid sudah mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan
diterima bila ada pelanggaran. Pada konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk
jangka waktu pendek. Konsekuensi biasanya diberikan berdasarkan suatu data yang umumnya
dapat diukur, misalnya, setelah 3 kali tugasnya tidak diselesaikan pada batas waktu yang
diberikan, atau murid melakukan kegiatan di luar kegiatan pembelajaran, misalnya mengobrol,
maka murid tersebut akan kehilangan waktu bermain, dan harus menyelesaikan tugas karena
ketertinggalannya. Peraturan dan konsekuensi yang mengikuti ini sudah diketahui sebelumnya
oleh murid. Sikap guru di sini senantiasa memonitor murid.
Dihukum oleh Penghargaan
“Saat kita berulang kali menjanjikan hadiah kepada anak-anak agar berperilaku bertanggung
jawab, atau kepada seorang murid agar mempelajari sesuatu yang baru, atau kepada seorang
karyawan agar melakukan pekerjaan yang berkualitas,kita sedang berasumsi mereka tidak dapat
melakukannya, atau mereka tidak akan memilih untuk melakukannya.”
(Alfie Kohn)
Disadur dari materi pelatihan ‘Dihukum oleh Penghargaan’, Yayasan Pendidikan Luhur-
Foundation for Excellence in Education, 2006.
o Penghargaan efektif jika kita menginginkan seseorang melakukan sesuatu yang kita
inginkan, dalam jangka waktu pendek.
o Jika kita menggunakan penghargaan lagi, dan lagi, maka orang tersebut akan
bergantung pada penghargaan yang diberikan, serta kehilangan motivasi dari dalam.
o Jika kita mendapatkan penghargaan untuk melakukan sesuatu yang baik, maka selain
kita senantiasa berharap mendapatkan penghargaan tersebut lagi, kita pun menjadi
tidak menyadari tindakan baik yang kita lakukan.
o Suatu penghargaan adalah suatu benda atau peristiwa yang diinginkan, yang dibuat
dengan persyaratan: Hanya jika Anda melakukan hal ini, maka Anda akan
mendapatkan penghargaan yang diinginkan.
o Jika saya mengharapkan suatu penghargaan dan tidak mendapatkannya, maka saya
akan kecewa dan berkecil hati, serta kemungkinan lain kali saya tidak akan berusaha
sekeras sebelumnya.
o Jika kita memberikan seseorang suatu penghargaan untuk melakukan sesuatu, maka
kita harus terus menerus memberikan penghargaan itu jika kita ingin orang tersebut
meneruskan perilaku yang kita inginkan.
o Orang yang berusaha berhenti merokok, atau orang yang berusaha diet menguruskan
badan bila diberikan penghargaan hampir pasti tidak berhasil.
o Ketika seorang diberi penghargaan atau dipuji di depan orang banyak, maka yang lain
akan merasa iri, dan sebagian dari mereka akan tidak menyukai orang yang diberikan
penghargaan tersebut.
o Jika seorang guru sering memberikan penghargaan kepada murid-muridnya, besar
kemungkinan murid-muridnya termotivasi hanya untuk menyenangkan gurunya.
Mereka tidak akan bersikap jujur kepada guru tersebut.
o Penghargaan menciptakan persaingan di dalam kelas, dan persaingan menciptakan
kecemasan.
o Mereka yang percaya bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan
penghargaan akan berhenti mencoba.
o Riset I: Dalam sebuah percobaan, sekelompok anak laki-laki berusia sekitar 9 tahun
diminta untuk melihat gambar-gambar wajah yang ditampilkan di layar, dan mereka
harus memberitahukan jika wajah-wajah tersebut sama atau berbeda. Gambar-gambar
tersebut hampir sama. Beberapa dari mereka diberi penghargaan (dalam bentuk uang)
pada saat mereka memberikan jawaban benar, sementara sebagian yang lain tidak.
o Hasil: Anak laki-laki yang dibayar membuat lebih banyak kesalahan.
o
o Riset II: Anak-anak diminta mengingat kata-kata tertentu, kemudian mereka diminta
mengambil kartu yang berisi kata-kata yang diingat tersebut setiap kali muncul. Beberapa
anak diberikan permen setiap mereka memberikan jawaban yang benar, dan sebagian
yang lain hanya diberitahu saja bila jawaban mereka benar.
o Hasil: Anak-anak yang mendapatkan permen jawabannya banyak yang tidak tepat
dibandingkan anak-anak yang hanya diberitahu jawabannya benar.
o Murid-murid diminta berpikir mengenai hadiah atau penghargaan yang bisa mereka
dapatkan bila berhasil menulis sebuah puisi. Kreatifitas kelompok murid-murid ini
menjadi berkurang, dibandingkan dengan yang tidak diberitahukan tentang hadiah
yang bisa mereka terima.
o Penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan seni atau sebuah penulisan cerita menjadi
kurang kreatif bila dijanjikan sebuah hadiah/penghargaan.
o Dalam tugas-tugas memecahkan masalah, para murid memakan waktu lebih lama dan
memberikan jalan keluar kurang kreatif, saat mereka dijanjikan suatu penghargaan.
Penghargaan Menghukum
o Penghargaan ‘menghukum’ mereka yang tidak mendapatkan penghargaan. Misalnya
dalam sistem ‘ranking’. Mereka yang mendapatkan ranking kedua akan merasa paling
‘dihukum’.
o Memberikan penghargaan dan hukuman adalah hal yang sama, karena keduanya
mencoba mengendalikan perilaku seseorang.
o Karena orang pada dasarnya tidak suka dikendalikan, dalam jangka waktu lama,
penghargaan akan terlihat sebagai hukuman.
o Jika suatu penghargaan diharapkan, namun Anda tidak mendapatkannya, Anda akan
merasa dihukum.
o Saat seorang anak belajar untuk pertama kali, menggabungkan huruf-huruf dan kata-
kata, serta menyadari bahwa ia dapat membaca, timbul pijar di matanya dan sebuah
senyuman di wajahnya. Anak tersebut begitu gembira bahwa ia telah mempelajari dan
menguasai suatu keterampilan baru. Kesadaran akan kemampuannya bahwa ‘dia’
sudah dapat membaca, sesungguhnya sudah merupakan sebuah penghargaan.
o Jika kita memberikan penghargaan kepada seorang anak pada saat dia sedang merasa
bangga dengan pencapaiannya sendiri, maka kita akan mengambil kegembiraan yang
saat itu sedang dirasakan secara alamiah.
1. Dalam sebuah acara pesta ulang tahun, teman Anda memecahkan gelas. Apakah Anda
akan membiarkan dia membayar harga gelas yang dipecahkannya?
2. Anda sudah janji bertemu dengan teman Anda, namun ternyata dia juga memiliki janji
penting bertemu orang lain di tempat lain, dan Anda terpaksa naik taksi untuk menemui
teman Anda di tempat itu, apakah Anda akan meminta teman Anda membayar biaya
taksi Anda menuju ke tempat tersebut?
3. Pegawai Anda membuat kesalahan yang menyebabkan kerugian finansial pada
perusahaan, pegawai tersebut menawarkan untuk bekerja lembur tanpa bayaran, apakah
Anda sebagai pemilik perusahaan akan menerimanya?
Kalau Anda melakukan tindakan-tindakan di atas, mungkin Anda akan membuat murid Anda
merasa menjadi anak yang gagal. Pertanyaannya sekarang, bagaimana sebaiknya respon kita
bila ada murid kita melakukan kesalahan? Mari kita baca artikel ini.
1. Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan helm pada saat mengendarai
kendaraan roda dua/motor?
(Kemungkinan jawaban Anda adalah untuk ‘keselamatan’).
2. Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan masker dan mencuci tangan
setiap saat?
(Kemungkinan jawaban Anda adalah ‘untuk kesehatan dan/atau keselamatan’).
Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu
nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar
belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya
pada pembelajaran 2.1 tentang Nilai-nilai Kebajikan bahwa menekankan pada keyakinan
seseorang akan lebih memotivasi seseorang dari dalam. Seseorang akan lebih tergerak dan
bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian
peraturan tertulis tanpa makna. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan
memahami arti sesungguhnya tentang peraturan-peraturan yang diberikan, apa nilai-nilai
kebajikan dibalik peraturan tersebut, apa tujuan utamanya, dan menjadi tidak tertarik, atau
takut sehingga hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur
mereka tanpa memahami tujuan mulianya.
Pada pembelajaran Disiplin dan Nilai-nilai Kebajikan Universal, kita telah mempelajari
tentang nilai-nilai kebajikan yang dapat menjadi landasan kita dalam membuat suatu keyakinan
sekolah atau menentukan visi dan misi atau tujuan dari sebuah institusi/sekolah. Seperti telah
dikemukakan di modul 1.2, dalam penentuan visi sebuah institusi/sekolah kita terlebih dahulu
perlu menentukan nilai-nilai kebajikan apa yang terpenting bagi institusi tersebut agar dapat
mencapai tujuan mulia yang dicita-citakan. Penentuan nilai-nilai kebajikan pada sebuah
institusi telah diberikan contoh-contohnya pada pembelajaran 2.1.
Selanjutnya kita akan meninjau kegiatan-kegiatan apa saja yang bisa dilakukan agar dapat
menentukan keyakinan suatu sekolah atau pun keyakinan kelas pada halaman berikutnya.
Tahapan menciptakan Program Kebajikan
1. Lihat daftar kebajikan yang telah disusun bersama (contoh pada pembelajaran 2.1).
2. Tentukan nilai-nilai kebajikan yang ingin dijadikan perhatian utama di sekolah Anda.
Curah pendapat dalam kelompok.
3. Sempurnakan beberapa daftar nilai-nilai kebajikan yang utama, bahas kembali dalam
kelompok utama.
4. Buatlah poster atau muat di sosial media keyakinan sekolah/kelas Anda.
Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan
konkrit.
Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami
oleh semua warga kelas.
Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.
Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas
lewat kegiatan curah pendapat.
Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.
Lihatlah daftar peraturan di bawah ini kemudian tuliskan keyakinan kelas atau nilai
kebajikan yang dituju dari peraturan tersebut. Adapun nilai-nilai kebajikan yang diterima
secara universal lepas dari latar belakang budaya, bahasa, suku bangsa, maupun agama berupa
hal-hal seperti keadilan, kehormatan, peduli, integritas, kejujuran, pelayanan, keamanan,
kesabaran, tanggung jawab, mandiri, berprinsip, keselamatan, kesehatan, dan masih banyak
lagi nilai-nilai kebajikan universal. Peraturan-peraturan yang tercantum di sisi kiri tidak
terbatas pada peraturan yang ditemui di kelas atau sekolah, namun peraturan yang biasa kita
temui di sekeliling kita.
Agar semua warga kelas dapat memahami setiap pernyataan yang telah tercantum dalam
keyakinan kelas, maka selama seminggu di awal tahun ajaran baru dapat didedikasikan untuk
pendalaman setiap keyakinan dengan berbagai
Anggota kelas dibagi menjadi beberapa kelompok, dan setiap kelompok diberikan kertas. Salah
satu anggota kelompok membuat huruf T kapital yang besar (Tabel T). Guru memberikan salah
satu ‘keyakinan kelas’ kepada setiap kelompok. Dua kelompok bisa mendapatkan keyakinan
yang sama bila ada 10 kelompok. Selanjutnya setiap kelompok diminta untuk bercurah
pendapat tentang keyakinan tersebut, tampak seperti apa, tampak tidak seperti apa. Kemudian
hasil curah pendapat setiap kelompok dipresentasikan pada kelompok besar, dan kertasnya
ditempel di sekeliling dinding kelas untuk dapat dilihat setiap warga kelas agar menguatkan
pemahaman.
Contoh
Pada pekan pendalaman Keyakinan Kelas, maka murid-murid dapat diajak berdiskusi tentang
tanggung jawab dan hak masing-masing warga kelas, yaitu apa Tugas Guru dan Bukan Tugas
Guru serta Apa Tugas Murid atau Bukan Tugas Murid. Berikut adalah langkah yang dapat
dilakukan dalam mendiskusikan hal tersebut:
CGP dapat menjelaskan kebutuhan dasar yang menjadi motif dari tindakan manusia
baik murid maupun guru
CGP dapat menganalisis dampak tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap
pelanggaran peraturan dan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai kebajikan
CGP dapat mengidentifikasi peran dan sekolah guru dalam upayanya menciptakan
lingkungan belajar dan pemenuhan kebutuhan anak yang beragam.
Merujuk pada situasi yang sedang dihadapi Ibu Ambar di atas, dalam konteks
penegakan disiplin positif, Ibu Ambar sebaiknya mencari tahu alasan Doni
melakukan tindakan tersebut agar mengetahui kebutuhan mana yang sedang
berusaha dipenuhi oleh Doni.
Pada modul 1.2, nilai dan peran guru penggerak, telah dibahas mengenai 5
kebutuhan dasar manusia. Di modul 1.4 ini, kita akan menghubungkan konsep
tersebut dengan disiplin positif yang berdasarkan pada teori kontrol dimana
dinyatakan bahwa ada suatu tujuan dibalik sebuah perilaku manusia. Kita juga
percaya bahwa murid memiliki ‘tujuan’ dibalik perilaku mereka, salah satunya
adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Dunia Berkualitas
Dunia Berkualitas Anda adalah tempat khusus dalam pikiran Anda, tempat Anda
menyimpan gambaran representasi dari semua yang Anda inginkan: bisa berisi orang-
orang, hal-hal dan apa saja yang terbaik dalam hidup Anda dan membuat Anda
merasa bahagia dan terpenuhi kebutuhan dasar Anda. Dr. William Glasser
menyebutnya seperti semacam album foto sehingga isinya tidak akan terlalu banyak,
hanya akan terdiri dari beberapa hal saja yang sangat signifikan dan benar-benar
terbaik dalam hidup Anda yang membuat hidup Anda menjadi lebih bermakna.
Kebutuhan dasar bersifat lebih umum dan universal, sedangkan dunia berkualitas lebih
unik dan personal.
Orang, tempat, benda, nilai-nilai, dan kepercayaan yang penting bagi Anda akan
termasuk di sana. Untuk masuk ke dunia berkualitas, syaratnya adalah bahwa sesuatu
itu harus terasa sangat baik bagi Anda dan memenuhi setidaknya satu atau lebih
kebutuhan dasar Anda. Dalam menentukan segala sesuatu yang masuk dalam dunia
berkualitas, tidak perlu kita terlalu mempertimbangkan standar masyarakat tentang
apa saja yang penting dan yang tidak. Gambaran dunia berkualitas adalah unik dan
spesifik untuk setiap orang. Jika Anda bisa hidup di dunia berkualitas Anda, hidup akan
sempurna buat Anda, tapi sayangnya, Anda tidak bisa tinggal di sana.
Murid kita juga mempunyai gambaran dunia berkualitas mereka. Tentunya sebagai
guru kita ingin mereka memasukkan hal-hal yang bermakna dan nilai-nilai kebajikan
yang hakiki ke dalam dunia berkualitas mereka. Bila guru dapat membangun interaksi
yang memberdayakan dan memerdekakan murid, maka murid akan meletakkan
dirinya sendiri sebagai individu yang positif dalam dunia berkualitas karena mereka
menghargai nilai-nilai kebajikan.
Pertanyaan Pemantik
Bacalah kasus-kasus di bawah ini, dan cobalah jawab pertanyaan-
pertanyaan yang tersedia:
Tisa dan Hana dipanggil masuk ke ruangan Ibu Dewi, kepala sekolah SMA Makmur. Ibu
Dewi baru saja mendapatkan pengaduan dari ibunda Tisa, bahwa Hana menggunakan
kata-kata kasar, dan merendah-rendahkan Tisa di sosial media.
Anto jarang sekali hadir di pembelajaran jarak jauh, dan pada saat hadir pun, Anto
seringkali menggunakan kata-kata kasar di kolom chat mengejek teman-temannya. Hal
ini sudah sangat mengganggu dan beberapa orang tua murid yang mengikuti
pembelajaran daring mengeluhkan tentang perilaku Anto di pembelajaran jarak jauh.
Bila Anda adalah seorang kepala sekolah, penerapan disiplin apakah yang akan Anda lakukan
untuk kasus Hana dan kasus Anto? Mengapa?
Bahas dengan rekan CGP Anda, dan bandingkan jawaban Anda, apakah berbeda, atau sama?
Bila berbeda, utarakan masing-masing pandangan Anda.
5 Posisi Kontrol
Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,
Berikut ini akan disampaikan suatu program disiplin positif yang berpusat pada
murid, yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang
disebut dengan 5 Posisi Kontrol.
Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline
(1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di
dalam ruang-ruang kelas mereka selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat,
memerdekakan, dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui
serangkaian riset dan berdasarkan pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen
berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun
atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum,
Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.
Mari kita tinjau lebih dalam kelima posisi kontrol ini. Dibagian bawahnya adalah
contoh peragaan yang dikutip dari Yayasan Pendidikan Luhur (2007) di mana ada
seorang murid yang melanggar suatu peraturan sekolah. Selanjutnya ada dialog antara
seorang guru dengan murid tersebut, serta bagaimana guru tersebut menjalankan
disiplin dengan menggunakan kelima posisi kontrol untuk kasus yang sama: Adi yang
terlambat hadir di sekolah .
Penghukum
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa
berhasil, yaitu cara dia.
Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk
menghardik):
“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat
waktu?”
Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu pada saat muridnya datang
terlambat?
Hasil:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah
kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih
buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan
menggores kendaraan tersebut dengan paku.
Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan
menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah,
atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:
“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid
merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.
“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat
lagi. Kamu kenapa ya senang sekali mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa
sekali.”
Hasil:
Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya.
Murid akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan
orang lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena
emosi akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak seperti murid
dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan amarahnya
walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa meletus
amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.
Teman
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya
mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif.
Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi
teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang.
Mereka akan berkata:
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka
murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa
dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha. Hal lain yang mungkin timbul adalah murid
hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan
tergantung pada guru tersebut.
Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid,
mata dan senyum jenaka)
“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa
terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana.
Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini.” (sambil senyum-senyum).
Hasil:
Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif,
hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada
masalah, dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain
dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang menyuruh adalah guru
tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang lain.
Pemantau
Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas
perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-
peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat
memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang
menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya apa?”
Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti konsekuensi yang
harus dilakukan bila terlambat?”
Adi: “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan mengerjakan
tugas ketertinggalan saya.”
Guru: “Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus tinggal di kelas untuk
menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu”
Hasil:
Murid memahami konsekuensi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah
satu peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi
marah atau membuat merasa berbuat salah. Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu
dengan harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan tugas. Guru
tetap harus memantau murid pada saat mengerjakan tugas di jam istirahat karena
murid tidak bisa ditinggal seorang diri.
Manajer
Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan
murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid
agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah
memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa
jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan.
Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka,
mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat
menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak
untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan
bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan
murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing
murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid
dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih
baik dan kuat.
Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi
Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi atau
diundang melakukan restitusi. Namun perlu disadari tujuan akhir dari 5 posisi kontrol
seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi inilah murid dapat
menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku
dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman,
dan aman.
Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid):
Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah
ini?”
Adi: “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal.”
Guru: “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa
hadir tepat waktu ke sekolah?”
Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu
meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak pinggang, atau
bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan murid ataupun
bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.
Fokus ada pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid sudah
mengetahui adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil
posisi Pemantau, guru akan melihat apa konsekuensinya apa peraturannya? Namun
pada posisi Manajer, guru akan mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk
mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan bimbingan guru.
RESTITUSI - SEGITIGA RESTITUSI
Ketiga strategi tersebut direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi.
Langkah-langkah tersebut tidak harus dilakukan satu persatu secara kaku.
Banyak guru yang sudah menggunakannya dalam berbagai versi menurut gaya
mereka masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori restitusi.
Sisi 1. Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity)
Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang
gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang melanggar
peraturan karena sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami
kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan.
Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau
kita ingin ia menjadi reflektif, maka kita harus meyakinkan si anak, dengan cara
mengatakan kalimat-kalimat ini:
Kalau kita mengatakan kalimat-kalimat diatas, akan sangat sulit, bahkan hampir tidak
mungkin, buat anak untuk tetap membangkang. Para guru yang bertugas mengawasi
anak-anak saat mereka bermain di halaman sekolah, menyatakan bahwa bila mereka
mengatakan kalimat tersebut yang mungkin hanya butuh 30 detik, bisa mengubah
situasi yang sulit menjadi kooperatif.
Ketika seseorang merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses bagian
otak yang berfungsi untuk berpikir rasional, seperti yang Bapak Ibu CGP telah pelajari
di modul 1.2 tentang konsep otak 3-in-1 (Triune). Saat itulah ketika kita harus
menstabilkan identitas anak. Sebelum terjadi hal-hal lain yang bisa memperburuk
keadaan, kita sebaiknya membantu anak untuk tenang dan kembali ke suasana hati
dimana proses belajar dan penyelesaian masalah bisa dilakukan.
Tentu akan sulit melakukan restitusi bila, anak yang berbuat salah terus berfokus pada
kesalahannya. Ada 3 alasan untuk ini, pertama rasa bersalah menguras energi. Rasa
bersalah membutuhkan energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk
mencari penyelesaian masalah. Kedua, ketika kita merasa bersalah, kita mengalami
identitas kegagalan. Dalam kondisi ini, orang akan cenderung untuk menyalahkan
orang lain atau mempertahankan diri, daripada mencari solusi. Ketiga, perasaan
bersalah membuat kita terperangkap pada masa lalu dimana kita sudah tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengontrol apa yang akan terjadi di masa kini
dan masa datang.
Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar.
Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan
bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki
maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti akan
mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir proaktif yang
mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka sikap seorang anak
yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu mendapat perhatian kita, maka itu
telah memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat di bawah ini mungkin
terdengar asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan
memvalidasi kebutuhan mereka.
o “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”
o “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”
o “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi
sesuatu yang penting buatmu”.
o “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan
sikap yang baru.”
Biasanya guru menyuruh anak untuk menghentikan sikap yang tidak baik, tapi teori
kontrol menyatakan bahwa resep itu tidak manjur. Mungkin tindakan guru dengan
memvalidasi sikap yang tidak baik seperti bertentangan dengan aturan yang ada,
namun sebetulnya tujuannya untuk menunjukkan bahwa guru memahami alasan di
balik tindakan murid.
Restitusi tidak menyarankan guru bicara ke murid bahwa melanggar aturan adalah
sikap yang baik, tapi dalam restitusi guru harus memahami alasannya, dan paham
bahwa setiap orang pasti akan melakukan yang terbaik di waktu tertentu. Sebuah
pelanggaran aturan seringkali memenuhi kebutuhan anak akan penguasaan/power
walaupun seringkali bertabrakan dengan kebutuhan yang lain, yaitu kebutuhan akan
kasih sayang dan rasa diterima/love and belonging. Kalau kita tolak anak yang sedang
berbuat salah, dia akan tetap menjadi bagian dari masalah, namun bila kita memahami
alasannya melakukan sesuatu, maka dia akan merasa dipahami.
Para guru yang telah menerapkan strategi ini mengatakan bahwa anak-anak yang
tadinya tidak terjangkau, menjadi lebih terbuka pada mereka. Strategi ini
menguntungkan bagi murid dan guru karena guru akan berada dalam posisi siswa, dan
karena itu akan memiliki perspektif yang berbeda.
Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika
identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi
(langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia
percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan di
bawah ini menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.
Penting untuk menanyakan ke anak, kehidupan seperti apa nantinya yang mereka
inginkan?
Apakah kamu ingin menjadi orang yang sukses, bertanggung jawab, atau bisa
dipercaya?
Kebanyakkan anak akan mengatakan “Iya,” Tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya
menjadi orang seperti itu. Guru dapat membantu dengan bertanya, seperti apa jika
mereka menjadi orang seperti itu. ketika anak sudah mendapat gambaran yang jelas
tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, guru dapat membantu anak-anak
tetap fokus pada gambaran tersebut.