Anda di halaman 1dari 25

1.4.a.4.1.

Disiplin Positif dan Nilai-nilai Kebajikan Universal

Cobalah Buka!

Anda dan teman Anda akan melakukan kegiatan ‘Cobalah Buka’. Anda adalah A , tugas Anda adalah
mengepalkan salah satu tangan Anda. Coba Anda bayangkan bahwa Anda menyimpan sesuatu yang
sangat berharga di dalam kepalan tangan Anda. Anda perlu menjaga benda tersebut sekuat tenaga
Anda karena begitu pentingnya untuk kehidupan Anda. Tugas B (rekan Anda), adalah mencoba
dengan segala cara untuk membuka kepalan tangan Anda. Teman Anda B boleh membujuk,
menghardik, mengintimidasi, memarahi, menggoda, menggelitik, bahkan menawari Anda uang agar
Anda bersedia membuka kepalan tangan Anda.

Cobalah lakukan kegiatan ‘Cobalah Buka’ di atas dengan B secara bergantian, masing-masing A dan B memiliki
waktu 30 detik saja. Sesudah itu diskusikan kegiatan ini dan coba jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini
secara mandiri, dan diskusikan kembali dengan rekan Anda B. Bandingkan jawaban Anda, apakah berbeda,
atau sama. Bilamana berbeda, kira-kira mengapa?

1. Apakah Anda atau B membuka kepalan tangan Anda? Mengapa, apa alasan Anda atau B membuka
kepalan tangan Anda?
2. Apakah Anda atau B menutup kepalan tangan Anda? Mengapa, apa alasan Anda atau B tetap menutup
kepalan tangan Anda?
3. Dalam kegiatan ini, sesungguhnya siapa yang memegang kendali atau kontrol untuk membuka atau
menutup kepalan tangan?

Kemungkinan jawaban kita terhadap:

 Pertanyaan-pertanyaan pertama dan kedua bervariasi, antara yang bersedia membuka, dan
yang tetap bertahan menutup kepalan tangannya.
 Pertanyaan ketiga, siapakah yang sesungguhnya memegang kontrol, yang menutup kepalan
tangan atau yang berusaha dengan segala cara untuk membuka kepalan tangan rekannya?
Jawabannya tentu kita sendiri yang memegang kontrol atas kepalan tangan kita, apakah kita
membuka atau menutup kepalan tangan kita, itu bergantung pada diri kita masing-masing,
sesuai dengan kebutuhan dasar kita saat itu.

Teori Kontrol (Dr. William Glasser)

Selanjutnya psikiater dan pendidik, Dr. William Glasser dalam Control Theory yang kemudian hari
berkembang dan dinamakan Choice Theory, meluruskan beberapa miskonsepsi tentang makna
‘kontrol’.
 Ilusi guru mengontrol murid.
Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih
untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya guru sedang mengontrol perilaku murid, hal demikian
terjadi karena murid sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru menjadi
kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki
tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.
 Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.
Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi
murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut.
Dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya, dan mencoba untuk
menolak bujukan kita atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk
berusaha.
 Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter.
Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal. Mereka
belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif.
Kadang kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka sedang melakukan perilaku ini,
karena seringkali guru cukup menggunakan ‘suara halus’ untuk menyampaikan pesan negatif.
 Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.
Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-
murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan
berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan menyadari bahwa
perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan
akan terbentuk.

Bagaimana seseorang bisa berubah dari paradigma


Stimulus-Respon kepada pendekatan teori Kontrol?
(Stephen R. Covey)

Bagaimana seseorang bisa berubah dari paradigma Stimulus-Respon kepada pendekatan teori
Kontrol? Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991) mengatakan bahwa,

“..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku Anda.
Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan
kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah
paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas”.
Makna Disiplin

Dalam rangka menciptakan lingkungan positif, salah satu strategi yang perlu kita tinjau kembali adalah
penerapan disiplin di sekolah kita. Apakah telah efektif, apakah masih perlu ditinjau kembali? Apa
sesungguhnya arti dari disiplin itu sendiri? Apa kaitannya dengan nilai-nilai kebajikan? Mari kita bahas makna
disiplin dan nilai-nilai kebajikan universal dengan mengaitkan beberapa pembelajaran awal di modul 1.2
tentang perubahan paradigma teori stimulus respon ke teori kontrol serta teori 3 motivasi perilaku manusia.

Sebelumnya, mari kita tanyakan ke diri kita sendiri, bagaimana kita berperilaku? Mengapa kita melakukan
segala sesuatu? Apakah kita melakukan sesuatu karena adanya dorongan dari lingkungan, atau ada dorongan
yang lain? Terkadang kita melakukan sesuatu karena kita menghindari rasa sakit atau ketidaknyamanan,
terkadang kita juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang kita mau. Pernahkah Anda melakukan
sesuatu untuk mendapat senyuman atau pujian dari orang lain? Untuk mendapat hadiah? Atau untuk
mendapatkan uang? Apa lagi kira-kira alasan orang melakukan sesuatu?

Bapak dan Ibu calon guru penggerak,

Sekarang mari kita membahas tentang konsep disiplin positif yang merupakan unsur utama dalam terwujudnya
budaya positif yang kita cita-citakan di sekolah-sekolah kita. Kebanyakan guru, sangat tertarik dengan topik
pembahasan tentang disiplin. Mereka berpendapat bahwa kalau saja anak-anak bisa disiplin, pasti mereka akan
bisa belajar. Para guru juga berpendapat bahwa mendisiplinkan anak-anak adalah bagian yang paling
menantang dari pekerjaan mereka. Bagaimana dengan Bapak/Ibu CGP? Apakah Anda memiliki pendapat yang
sama?

Makna Kata Disiplin

Ketika mendengar kata “disiplin”, apa yang terbayang di benak Anda? Apa yang terlintas di pikiran
Anda? Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib, teratur, dan
kepatuhan pada peraturan. Kata “disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu
sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru
itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan sama sekali.
Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada
orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan
ketidaknyamanan.
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa
“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self
discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab
jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan
peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013,
Halaman 470)
Disitu Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita
saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang
kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak
memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi
eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.
Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah:
mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga
(merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri
sendiri)
Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School
Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’,
yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau
murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan
mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga motivasi yang terbangun
adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi dengan disiplin diri dari
murid-murid Socrates dan Plato. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju
kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri juga
mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih
tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.
Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab
terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai
kebajikan universal. Dalam hal ini Ki Hajar menyatakan;
“...pertanggungjawaban atau verantwoordelijkheld itulah selalu menjadi sisihannya hak atau kewajiban
dari seseorang yang pegang kekuasaan atau pimpinan dalam umumnya. Adapun artinya tidak lain
ialah orang tadi harus mempertanggungjawabkan dirinya serta tertibnya laku diri dari segala hak dan
kewajibannya.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013,
Halaman 469)
Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga
mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi
intrinsik, bukan ekstrinsik.

Referensi:
Restitution: Restructuring School Discipline, Diane Chelsom Gossen, 2001, New View Publications,
North Canada.
Ki Hajar Dewantara; Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,2013, UST-Press bekerjasama
dengan Majelis Luhur Tamansiswa.
Bapak dan Ibu calon guru penggerak,
Indah sekali bukan pemikiran-pemikiran tentang konsep disiplin di atas. Mari kita bayangkan alangkah
indahnya ketika tercipta masyarakat yang bisa saling belajar, yang saling merasa terikat dan
terhubungkan satu sama lain; karena masyarakat seperti itu akan mengambil tanggung jawab untuk
pembelajarannya, senantiasa berusaha untuk menjadi insan yang lebih baik dari sebelumnya. Itulah
tujuan dari disiplin diri.

Nilai-nilai Kebajikan

Bapak Ibu calon guru penggerak,

Anda telah mengikuti serangkaian pembahasan tentang makna disiplin positif yang dikemukakan oleh Ki
Hadjar Dewantara maupun Diane Gossen, di mana kedua pakar pendidikan mengartikan disiplin sebagai
bentuk kontrol diri, yaitu belajar untuk kontrol diri agar dapat mencapai suatu tujuan mulia. Tujuan mulia di sini
mengacu pada nilai-nilai atau prinsip-prinsip mulia yang dianut seseorang. Kita namakan nilai-nilai tersebut
sebagai nilai-nilai kebajikan (virtues) yang universal.

Nilai-nilai kebajikan universal sendiri telah diperkenalkan di modul 1.2 yang berarti nilai-nilai kebajikan yang
disepakati bersama, lepas dari suku bangsa, agama, bahasa maupun latar belakangnya. Nilai-nilai ini
merupakan ‘payung besar’ dari sikap dan perilaku kita, atau nilai-nilai ini merupakan fondasi kita berperilaku.
Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap
individu. Seperti yang telah dikemukakan oleh Dr. William Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa
setiap perbuatan memiliki suatu tujuan, dan selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan
mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga
menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan.

Beberapa institusi/organisasi pendidikan di bawah ini telah memiliki nilai-nilai kebajikan yang diyakini dan
sepakati bersama. Salah satunya adalah nilai-nilai kebajikan yang ingin dicapai oleh setiap anak Indonesia yang
kita kenal dengan Profil Pelajar Pancasila, yang sebelumnya telah dibahas di modul 1.2. Bisa disimpulkan bahwa
sebagian institusi/organisasi saling memiliki nilai-nilai kebajikan yang sama, karena nilai-nilai tersebut bersifat
universal, dan lintas bahasa, suku bangsa, agama maupun latar belakang.

Nilai-nilai Kebajikan dari enam institusi/organisasi


Profil Pelajar Pancasila

o Beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia.

o Mandiri

o Bernalar Kritis

o Berkebinekaan Global

o Bergotong royong

o Kreatif

IBO Primary Years Program (PYP)

Sikap Murid:
o Toleransi

o Rasa Hormat

o Integritas

o Mandiri

o Menghargai

o Antusias

o Empati

o Keingintahuan

o Kreativitas

o Kerja sama

o Percaya Diri

o Komitmen

Sembilan Pilar Karakter (Indonesian Heritage Foundation/IHF)

o Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNYA

o Kemandirian dan Tanggung jawab

o Kejujuran (Amanah), Diplomatis

o Hormat dan Santun

o Dermawan, Suka Menolong dan Gotong Royong

o Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja Keras

o Kepemimpinan dan Keadilan

o Baik dan Rendah Hati

o Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan

Petunjuk Seumur Hidup dan Keterampilan Hidup (LIfelong Gu...

Keterampilan Hidup

o Dapat dipercaya

o Lurus Hati

o Pendengar yang Aktif

o Tidak Merendahkan Orang Lain


o Memberikan yang Terbaik dari Diri

Petunjuk Hidup

o Peduli

o Penalaran

o Bekerja sama

o Keberanian

o Keingintahuan

o Usaha

o Keluwesan/Fleksibilitas

o Berorganisasi

o Kesabaran

o Keteguhan hati

o Kehormatan

o Memiliki Rasa Humor

o Berinisiatif

o Integritas

o Pemecahan Masalah

o Sumber pengetahuan

o Tanggung jawab

o Persahabatan

The Seven Essential Virtues (Building Moral Intelligence,...

o Empati

o Suara Hati

o Kontrol Diri

o Rasa Hormat

o Kebaikan

o Toleransi
o Keadilan
o
o The Virtues Project (Proyek Nilai-nilai Kebajikan)

Silakan Anda membaca nilai-nilai kebajikan dari keenam institusi/organisasi yang telah disampaikan
di sini, dan pilihlah salah satu yang menurut Anda paling menarik. Bandingkan dengan nilai-nilai
kebajikan atau prinsip-prinsip yang Anda miliki di sekolah Anda. Adakah suatu perbedaan atau
persamaan? Kemudian pikirkan bagaimana nilai-nilai kebajikan yang Anda pilih tersebut dapat
disampaikan dan menjadi fondasi dari keyakinan sekolah atau keyakinan kelas yang disepakati seluruh
warga sekolah. Kemudian pikirkan kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat dilakukan agar keyakinan-
keyakinan tersebut dapat dipahami, dan diterapkan seluruh warga sekolah dalam kehidupan mereka
sehari-hari.

Sebagai seorang pendidik, saat Anda perlu hadir di suatu pelatihan, motivasi apakah yang
mendasari tindakan Anda?

 Apakah Anda hadir karena tidak ingin ditegur oleh pihak panitia atau pengawas Anda,
dan mendapatkan surat teguran (menghindari ketidaknyamanan dan hukuman), atau
 Anda ingin dilihat dan dipuji oleh lingkungan Anda, atau mendapat penghargaan sebagai
kepala sekolah berprestasi? (mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain),
atau
 Anda ingin menjadi pemelajar sepanjang hayat, menjadi orang yang berusaha dan
bertanggung jawab serta menghargai diri Anda sendiri sebagai teladan bagi murid-murid
Anda, guru-guru Anda, serta lingkungan Anda karena Anda percaya, tindakan Anda
sebagai pemimpin pembelajaran akan jadi panutan oleh lingkungan Anda (menghargai
nilai-nilai kebajikan diri sendiri).

Manakah motivasi yang paling kuat mendasari tindakan Anda, atau adakah suatu proses
perubahan motivasi antara dua motivasi?
Hukuman, Konsekuensi dan Restitusi

Dalam menjalankan peraturan ataupun keyakinan kelas/sekolah, bilamana ada suatu pelanggaran,
tentunya sesuatu harus terjadi. Untuk itu kita perlu meninjau ulang tindakan penegakan peraturan
atau keyakinan kelas/sekolah kita selama ini. Tindakan terhadap suatu pelanggaran pada umumnya
berbentuk hukuman atau konsekuensi. Dalam modul ini akan diperkenalkan program disiplin positif
yang dinamakan Restitusi.

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga
mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga
merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan
membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus
memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).

Sebelum kita membahas lebih mendalam tentang penerapan Restitusi, kita perlu bertanya dahulu, adakah
perbedaan antara hukuman dan konsekuensi? Bila sama, di mana persamaannya? Bila berbeda, bagaimana
perbedaannya? Di bawah ini Anda akan diberikan suatu gambaran perbedaan antara Hukuman, Konsekuensi,
dan Restitusi itu sendiri.

Bila kita melihat bagan di bawah ini, kata disiplin tanpa tambahan kata ‘positif’ di belakangnya, sesungguhnya
sudah merupakan identitas sukses dan hukuman merupakan identitas gagal. Disiplin yang sudah bermakna
positif terbagi dua bagian yaitu Disiplin dalam bentuk Konsekuensi, dan Disiplin dalam bentuk Restitusi, yang
selanjutnya akan dijelaskan dengan lebih rinci di pembelajaran 2.2 dan 2.6.

Berdasarkan bagan diatas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-
tiba. Anak atau murid tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari
pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu kesepakatan,
atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik
maupun psikis, murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata.

Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah disepakati; sudah dibahas dan
disetujui oleh murid dan guru. Umumnya bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan
murid sudah mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada pelanggaran. Pada konsekuensi,
murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek. Konsekuensi biasanya diberikan berdasarkan
suatu data yang umumnya dapat diukur, misalnya, setelah 3 kali tugasnya tidak diselesaikan pada batas waktu
yang diberikan, atau murid melakukan kegiatan di luar kegiatan pembelajaran, misalnya mengobrol, maka
murid tersebut akan kehilangan waktu bermain, dan harus menyelesaikan tugas karena ketertinggalannya.
Peraturan dan konsekuensi yang mengikuti ini sudah diketahui sebelumnya oleh murid. Sikap guru di sini
senantiasa memonitor murid.

Setelah membaca bagan tentang perbedaan Hukuman, Konsekuensi dan Restitusi, maka isilah
bagan di bawah ini, kira-kira bila seorang guru/orang tua melakukan tindakan yang dinyatakan di
kolom sisi kiri, apakah tindakan tersebut berupa sebuah hukuman, konsekuensi?

Hukuman atau Konsekuensi?


Pertanyaan Reflektif

Bacalah kasus Ibu Anas di bawah ini dan jawablah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan:

Ibu Anas guru kelas 2 SD, mendapatkan masalah. Murid-muridnya tidak bisa tertib berdiri antri di depan
pintu kelas, dan selalu berebutan masuk ke dalam kelas setelah jam istirahat usai. Ini tentunya sangat
mengganggu proses pembelajaran dimana kelas tidak dapat mulai tepat waktu karena Ibu Anas sibuk
menenangkan murid-muridnya untuk waktu cukup lama. Akhirnya Bu Anas berpikir cepat, dan
mengandalkan stiker bintang. Setiap murid-muridnya akan masuk kelas usai jam istirahat, Bu Anas akan
mengiming-imingi murid-muridnya dengan stiker bintang. “Siapa yang dapat berdiri lurus dan berbaris
rapi antri di depan pintu, dapat bintang dari Bu Anas!” Sebagian besar murid-muridnya menyambut
tantangan tersebut, dan langsung berdiri rapi di depan pintu agar mendapatkan stiker bintang. Hal ini
terus dilakukan Bu Anas selama beberapa minggu, karena cukup berhasil membuat murid-muridnya
berdiri rapi antri di depan pintu. Sampai pada suatu saat Bu Anas sakit, dan terpaksa digantikan Pak
Heru. Pak Heru tidak mengetahui tentang stiker bintang, dan benar saja, pada saat mau masuk ke kelas
usai jam istirahat murid-murid kelas 2 kembali berebutan masuk kelas. Apa yang terjadi, mengapa?

Jawablah ketiga pertanyaan ini, dan berilah minimal 2 tanggapan terhadap jawaban rekan Anda.

1. Berdasarkan teori motivasi yang telah Anda pelajari pada pembelajaran sebelumnya, kira-
kira apa motivasi murid-murid kelas 2 untuk bersedia berdiri antri sebelum masuk kelas?

2. Adakah cara lain agar murid-murid kelas 2 bersedia antri di depan kelas tanpa diberi
penghargaan stiker bintang? Jelaskan.

Dihukum oleh Penghargaan


“Saat kita berulang kali menjanjikan hadiah kepada anak-anak agar berperilaku bertanggung
jawab, atau kepada seorang murid agar mempelajari sesuatu yang baru, atau kepada seorang
karyawan agar melakukan pekerjaan yang berkualitas,kita sedang berasumsi mereka tidak dapat
melakukannya, atau mereka tidak akan memilih untuk melakukannya.”
(Alfie Kohn)

Alfie Kohn (Punished by Rewards, 1993, Wawancara ASCD Annual Conference, Maret 1995)
mengemukakan baik penghargaan maupun hukuman, adalah cara-cara mengontrol perilaku
seseorang yang menghancurkan potensi untuk pembelajaran yang sesungguhnya. Menurut Kohn,
secara ideal tindakan belajar itu sendiri adalah penghargaan sesungguhnya.

Kohn selanjutnya juga mengemukakan beberapa pernyataan dari hasil pengamatannya selama ini
tentang tindakan memberikan penghargaan yang nilainya sama dengan menghukum seseorang.
Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Penghargaan efektif jika kita menginginkan seseorang melakukan sesuatu yang kita inginkan, dalam jangka waktu pendek.
Jika kita menggunakan penghargaan lagi, dan lagi, maka orang tersebut akan bergantung pada penghargaan yang diberikan,
serta kehilangan motivasi dari dalam. Jika kita mendapatkan penghargaan untuk melakukan sesuatu yang baik, maka selain
kita senantiasa berharap mendapatkan penghargaan tersebut lagi, kita pun menjadi tidak menyadari tindakan baik yang kita
lakukan.

Penghargaan Tidak Efektif

Suatu penghargaan adalah suatu benda atau peristiwa yang diinginkan, yang dibuat dengan persyaratan: Hanya jika Anda
melakukan hal ini, maka Anda akan mendapatkan penghargaan yang diinginkan. Jika saya mengharapkan suatu
penghargaan dan tidak mendapatkannya, maka saya akan kecewa dan berkecil hati, serta kemungkinan lain kali saya tidak
akan berusaha sekeras sebelumnya. Jika kita memberikan seseorang suatu penghargaan untuk melakukan sesuatu, maka
kita harus terus menerus memberikan penghargaan itu jika kita ingin orang tersebut meneruskan perilaku yang kita
inginkan. Orang yang berusaha berhenti merokok, atau orang yang berusaha diet menguruskan badan bila diberikan
penghargaan hampir pasti tidak berhasil.

Penghargaan Merusak Hubungan

Ketika seorang diberi penghargaan atau dipuji di depan orang banyak, maka yang lain akan merasa iri, dan sebagian dari
mereka akan tidak menyukai orang yang diberikan penghargaan tersebut. Jika seorang guru sering memberikan
penghargaan kepada murid-muridnya, besar kemungkinan murid-muridnya termotivasi hanya untuk menyenangkan
gurunya. Mereka tidak akan bersikap jujur kepada guru tersebut. Penghargaan menciptakan persaingan di dalam kelas, dan
persaingan menciptakan kecemasan. Mereka yang percaya bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan
penghargaan akan berhenti mencoba.

Penghargaan Mengurangi Ketepatan

Riset I: Dalam sebuah percobaan, sekelompok anak laki-laki berusia sekitar 9 tahun diminta untuk melihat gambar-gambar
wajah yang ditampilkan di layar, dan mereka harus memberitahukan jika wajah-wajah tersebut sama atau berbeda.
Gambar-gambar tersebut hampir sama. Beberapa dari mereka diberi penghargaan (dalam bentuk uang) pada saat mereka
memberikan jawaban benar, sementara sebagian yang lain tidak.

Hasil: Anak laki-laki yang dibayar membuat lebih banyak kesalahan.

Riset II: Anak-anak diminta mengingat kata-kata tertentu, kemudian mereka diminta mengambil kartu yang berisi kata-kata
yang diingat tersebut setiap kali muncul. Beberapa anak diberikan permen setiap mereka memberikan jawaban yang benar,
dan sebagian yang lain hanya diberitahu saja bila jawaban mereka benar.

Hasil: Anak-anak yang mendapatkan permen jawabannya banyak yang tidak tepat dibandingkan anak-anak yang hanya
diberitahu jawabannya benar.

Penghargaan Menurunkan Kualitas

Pengamatan dilakukan pada sekelompok mahasiswa/i yang sedang kerja praktik di sebuah surat kabar universitas; saat itu
mereka sedang belajar menuliskan sebuah artikel tentang sebuah judul berita utama. Seiring waktu mahasiswa/i tersebut
semakin mampu bekerja dengan cepat. Kemudian, ada beberapa mahasiswa/i yang dibayar untuk setiap judul berita utama
yang mereka mampu hasilkan, dan setelah beberapa lama mahasiswa/i yang dibayar ini hasil kinerjanya berhenti
berkembang. Mereka yang tidak menerima bayaran terus berupaya mengasah diri menjadi lebih baik.

Penghargaan Mematikan Kreativitas

Murid-murid diminta berpikir mengenai hadiah atau penghargaan yang bisa mereka dapatkan bila berhasil menulis sebuah
puisi. Kreatifitas kelompok murid-murid ini menjadi berkurang, dibandingkan dengan yang tidak diberitahukan tentang
hadiah yang bisa mereka terima. Penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan seni atau sebuah penulisan cerita menjadi
kurang kreatif bila dijanjikan sebuah hadiah/penghargaan.Dalam tugas-tugas memecahkan masalah, para murid memakan
waktu lebih lama dan memberikan jalan keluar kurang kreatif, saat mereka dijanjikan suatu penghargaan.
Penghargaan Menghukum

Penghargaan ‘menghukum’ mereka yang tidak mendapatkan penghargaan. Misalnya dalam sistem ‘ranking’. Mereka yang
mendapatkan ranking kedua akan merasa paling ‘dihukum’. Memberikan penghargaan dan hukuman adalah hal yang sama,
karena keduanya mencoba mengendalikan perilaku seseorang. Karena orang pada dasarnya tidak suka dikendalikan, dalam
jangka waktu lama, penghargaan akan terlihat sebagai hukuman. Jika suatu penghargaan diharapkan, namun Anda tidak
mendapatkannya, Anda akan merasa dihukum.

Motivasi dari Dalam Diri (Intrinsik)

Saat seorang anak belajar untuk pertama kali, menggabungkan huruf-huruf dan kata-kata, serta menyadari bahwa ia dapat
membaca, timbul pijar di matanya dan sebuah senyuman di wajahnya. Anak tersebut begitu gembira bahwa ia telah
mempelajari dan menguasai suatu keterampilan baru. Kesadaran akan kemampuannya bahwa ‘dia’ sudah dapat membaca,
sesungguhnya sudah merupakan sebuah penghargaan. Jika kita memberikan penghargaan kepada seorang anak pada saat
dia sedang merasa bangga dengan pencapaiannya sendiri, maka kita akan mengambil kegembiraan yang saat itu sedang
dirasakan secara alamiah.
Mengapa keyakinan kelas, mengapa tidak
peraturan kelas saja?

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan helm pada saat mengendarai kendaraan roda
dua/motor?
(Kemungkinan jawaban Anda adalah untuk ‘keselamatan’).
2. Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat?
(Kemungkinan jawaban Anda adalah ‘untuk kesehatan dan/atau keselamatan’).

Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai
kebajikan universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa
maupun agama. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya pada pembelajaran 2.1 tentang Nilai-nilai
Kebajikan bahwa menekankan pada keyakinan seseorang akan lebih memotivasi seseorang dari dalam.
Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar
mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna. Murid-murid pun demikian, mereka perlu
mendengarkan dan memahami arti sesungguhnya tentang peraturan-peraturan yang diberikan, apa nilai-nilai
kebajikan dibalik peraturan tersebut, apa tujuan utamanya, dan menjadi tidak tertarik, atau takut sehingga
hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur mereka tanpa memahami tujuan
mulianya.

Pada pembelajaran Disiplin dan Nilai-nilai Kebajikan Universal, kita telah mempelajari tentang nilai-nilai
kebajikan yang dapat menjadi landasan kita dalam membuat suatu keyakinan sekolah atau menentukan visi dan
misi atau tujuan dari sebuah institusi/sekolah. Seperti telah dikemukakan di modul 1.2, dalam penentuan visi
sebuah institusi/sekolah kita terlebih dahulu perlu menentukan nilai-nilai kebajikan apa yang terpenting bagi
institusi tersebut agar dapat mencapai tujuan mulia yang dicita-citakan. Penentuan nilai-nilai kebajikan pada
sebuah institusi telah diberikan contoh-contohnya pada pembelajaran 2.1.

Selanjutnya kita akan meninjau kegiatan-kegiatan apa saja yang bisa dilakukan agar dapat menentukan
keyakinan suatu sekolah atau pun keyakinan kelas pada halaman berikutnya.

Pembentukan Keyakinan Sekolah/Kelas

 Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.
 Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
 Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
 Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua
warga kelas.
 Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.
 Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan
curah pendapat.
 Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

Lihatlah daftar peraturan di bawah ini kemudian tuliskan keyakinan kelas atau nilai kebajikan yang dituju
dari peraturan tersebut. Adapun nilai-nilai kebajikan yang diterima secara universal lepas dari latar belakang
budaya, bahasa, suku bangsa, maupun agama berupa hal-hal seperti keadilan, kehormatan, peduli, integritas,
kejujuran, pelayanan, keamanan, kesabaran, tanggung jawab, mandiri, berprinsip, keselamatan, kesehatan, dan
masih banyak lagi nilai-nilai kebajikan universal. Peraturan-peraturan yang tercantum di sisi kiri tidak terbatas
pada peraturan yang ditemui di kelas atau sekolah, namun peraturan yang biasa kita temui di sekeliling kita.

Prosedur Pembentukan Keyakinan Sekolah/Kelas

1. Mempersilakan warga sekolah atau murid-murid di sekolah/kelas untuk bercurah pendapat tentang
peraturan yang perlu disepakati di sekolah/kelas.
2. Mencatat semua masukan-masukan para murid/warga sekolah di papan tulis atau di kertas besar (kertas
ukuran poster), di mana semua anggota kelas/warga sekolah bisa melihat hasil curah pendapat.
3. Susunlah keyakinan kelas sesuai prosedur ‘Pembentukan Keyakinan Sekolah/Kelas’. Gantilah kalimat-
kalimat dalam bentuk negatif menjadi positif.
Contoh:
Kalimat negatif: Jangan berlari di kelas atau koridor.
Kalimat positif: Berjalanlah di kelas atau koridor.
4. Tinjau kembali daftar curah pendapat yang sudah dicatat. Anda mungkin akan mendapati bahwa
pernyataan yang tertulis di sana masih banyak yang berupa peraturan-peraturan. Selanjutnya, ajak
warga sekolah/murid-murid untuk menemukan nilai kebajikan atau keyakinan yang dituju dari peraturan
tersebut. Contoh: Berjalan di kelas, Dengarkan Guru, Datanglah Tepat Waktu berada di bawah 1
‘payung’ yaitu keyakinan untuk ‘Saling Menghormati’ atau nilai kebajikan ‘Hormat’. Keyakinan inilah
yang dimasukkan dalam daftar untuk disepakati. Kegiatan ini juga merupakan pendalaman pemahaman
bentuk peraturan ke keyakinan sekolah/kelas.
5. Tinjau ulang Keyakinan Sekolah/Kelas secara bersama-sama. Seharusnya setelah beberapa peraturan
telah disatukan menjadi beberapa keyakinan maka jumlah butir pernyataan keyakinan akan berkurang.
Sebaiknya keyakinan sekolah/kelas tidak terlalu banyak, bisa berkisar antara 3-7 prinsip/keyakinan.
Bilamana terlalu banyak, maka warga kelas akan sulit mengingatnya dan akibatnya sulit untuk
dijalankan.
6. Setelah keyakinan sekolah/kelas selesai dibuat, maka semua warga kelas dipersilakan meninjau ulang,
dan menyetujuinya dengan menandatangani keyakinan sekolah/kelas tersebut, termasuk guru dan
semua warga/murid.
7. Keyakinan Sekolah/Kelas selanjutnya bisa dilekatkan di dinding kelas di tempat yang mudah dilihat
semua warga kelas.

Kegiatan-kegiatan Pendalaman Keyakinan Kelas (1)


1. Kegiatan Tampak Seperti/Tidak Tampak Seperti

Anggota kelas dibagi menjadi beberapa kelompok, dan setiap kelompok diberikan kertas. Salah satu anggota
kelompok membuat huruf T kapital yang besar (Tabel T). Guru memberikan salah satu ‘keyakinan kelas’ kepada
setiap kelompok. Dua kelompok bisa mendapatkan keyakinan yang sama bila ada 10 kelompok. Selanjutnya
setiap kelompok diminta untuk bercurah pendapat tentang keyakinan tersebut, tampak seperti apa, tampak
tidak seperti apa. Kemudian hasil curah pendapat setiap kelompok dipresentasikan pada kelompok besar, dan
kertasnya ditempel di sekeliling dinding kelas untuk dapat dilihat setiap warga kelas agar menguatkan
pemahaman.

Contoh

Tampak Seperti/Tidak Tampak Seperti (Tabel T) dari Keyakinan Kelas 7:

Bagan Tampak Seperti (Tabel Y) dari Keyakinan Kelas 7.


Kegiatan-kegiatan Pendalaman Keyakinan Kelas (2)
2. Kegiatan Tugas Saya-Tugas Kamu (Tugas Guru-Tugas Murid)

Salah satu kegiatan lain yang dapat dilakukan untuk memperdalam keyakinan kelas, adalah mempelajari
tanggung jawab setiap warga kelas. Keyakinan bertanggung jawab serta hak seseorang adalah sesuatu yang
diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara tentang menumbuhkan murid yang merdeka:

“...beratlah kemerdekaan itu! bukan hanya tidak terperintah saja, akan tetapi harus juga dapat
menegakkan dirinya dan mengatur perikehidupannya dengan tertib. dalam hal ini termasuklah juga
mengatur tertibnya perhubungan dengan kemerdekaan orang lain (Ki Hadjar Dewantara, buku kuning,
hal.4.)

Pada pekan pendalaman Keyakinan Kelas, maka murid-murid dapat diajak berdiskusi tentang tanggung jawab
dan hak masing-masing warga kelas, yaitu apa Tugas Guru dan Bukan Tugas Guru serta Apa Tugas Murid atau
Bukan Tugas Murid. Berikut adalah langkah yang dapat dilakukan dalam mendiskusikan hal tersebut:

1. Guru akan membuat bagan berisi 4 kotak.


2. Masing-masing kotak diisi judul: Guru-Tugasnya..., Murid-Tugasnya..., Guru-Tugasnya Bukan.., Murid-
Tugasnya Bukan...
3. Guru bercurah pendapat dengan dua cara:
o Mengajak murid berpendapat secara individu, atau
o Membagi murid dalam 4 atau 8 kelompok, dan setiap kelompok diberikan tugas bercurah
pendapat tentang masing-masing tugas/bukan tugas guru maupun murid.
4. Hasil dari curah pendapat Tugas Saya-Tugas Kamu ditempel di dinding kelas agar dapat dilihat seluruh
warga kelas.
Contoh (hasil curah pendapat guru dan murid-muridnya)
Tugas Saya (Guru)-Tugas Kamu (Murid) (Kelas 4-8)

5 Kebutuhan Dasar Manusia menurut Dr. William


Glasser dalam “Choice Theory”
Pertanyaan Pemantik:

Ibu Ambar, guru wali kelas kelas 2A di SD Pelita Hati, sedang bingung menghadapi ulah salah satu murid di
kelasnya, Doni. Beberapa anak di kelas 2A telah datang padanya dan mengeluhkan Doni yang seringkali
meminta bekal makan siang mereka dengan paksa. Jika Anda menghadapi situasi seperti Ibu Ambar, apa yang
akan anda lakukan? Menurut anda, kira-kira apa alasan Doni melakukan hal itu?

Pertanyaan Pemantik

Bacalah kasus-kasus di bawah ini, dan cobalah jawab pertanyaan-pertanyaan yang tersedia:

 Tisa dan Hana dipanggil masuk ke ruangan Ibu Dewi, kepala sekolah SMA Makmur. Ibu Dewi baru saja
mendapatkan pengaduan dari ibunda Tisa, bahwa Hana menggunakan kata-kata kasar, dan merendah-
rendahkan Tisa di sosial media.
 Anto jarang sekali hadir di pembelajaran jarak jauh, dan pada saat hadir pun, Anto seringkali
menggunakan kata-kata kasar di kolom chat mengejek teman-temannya. Hal ini sudah sangat
mengganggu dan beberapa orang tua murid yang mengikuti pembelajaran daring mengeluhkan
tentang perilaku Anto di pembelajaran jarak jauh.
Bila Anda adalah seorang kepala sekolah, penerapan disiplin apakah yang akan Anda lakukan untuk kasus Hana
dan kasus Anto? Mengapa?

Bahas dengan rekan CGP Anda, dan bandingkan jawaban Anda, apakah berbeda, atau sama? Bila berbeda,
utarakan masing-masing pandangan Anda.

5 Posisi Kontrol

Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,

Berikut ini akan disampaikan suatu program disiplin positif yang berpusat pada murid, yang dikembangkan
oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol.

Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru
perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas mereka selama ini. Apakah telah efektif,
apakah berpusat, memerdekakan, dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui serangkaian
riset dan berdasarkan pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang
diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut
adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.

Mari kita tinjau lebih dalam kelima posisi kontrol ini. Dibagian bawahnya adalah contoh peragaan yang dikutip
dari Yayasan Pendidikan Luhur (2007) di mana ada seorang murid yang melanggar suatu peraturan sekolah.
Selanjutnya ada dialog antara seorang guru dengan murid tersebut, serta bagaimana guru tersebut
menjalankan disiplin dengan menggunakan kelima posisi kontrol untuk kasus yang sama: Adi yang terlambat
hadir di sekolah .

Penghukum

Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan
posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat
lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan
berkata:

“Patuhi aturan saya, atau awas!”

“Kamu selalu saja salah!”

“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”

Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara
dia.

Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk menghardik):

“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat waktu?”

Tanyakan kepada diri Anda:

Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu pada saat muridnya datang terlambat?

Hasil:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah kembali duduk,
murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih buruk lagi, sepulang sekolah,
murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan menggores kendaraan tersebut dengan paku.

Pembuat Merasa Bersalah

Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan
keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang
keluar dengan lembut akan seperti:

“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”

“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”

“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”

Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak
berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.

Pembuat Merasa Bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh: merapat pada anak,
lesu):

“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat lagi. Kamu kenapa
ya senang sekali mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali.”

Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara ini?

Hasil:

Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya. Murid akan
merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Kadangkala sikap
seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena emosi akan tertanam rapat di dalam, murid
menahan perasaan. Tidak seperti murid dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa
menumpahkan amarahnya walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba
bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.

Teman

Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui
persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang
terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk
mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:

“Ayo bantulah, demi bapak ya?”

“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”

“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.

Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan
kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau
lagi berusaha. Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu,
dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.
Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid, mata dan
senyum jenaka)

“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa terlambat lagi?
(sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana. Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini.”
(sambil senyum-senyum).

Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini?

Hasil:

Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif, hanya saja di
sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada masalah, dia merasa bisa
mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain dari posisi teman, Adi hanya akan
berbuat sesuatu bila yang menyuruh adalah guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama dengan
guru atau orang lain.

Pemantau

Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-
orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi.
Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan
murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang
pemantau:

“Peraturannya apa?”

“Apa yang telah kamu lakukan?”

“Sanksi atau konsekuensinya apa?”

Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai
bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi
pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam
mengontrol murid.

Pemantau (nada suara datar, bahasa tubuh yang formal):

Guru: “Adi, tahukah kamu jam berapa kita memulai?”

Adi: “Tahu Pak!”

Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti konsekuensi yang harus dilakukan bila
terlambat?”

Adi: “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan mengerjakan tugas
ketertinggalan saya.”

Guru: “Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus tinggal di kelas untuk menyelesaikan tugas
yang tertinggal tadi. Saya tunggu”

Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?

Hasil:
Murid memahami konsekuensi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah satu peraturan
sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah atau membuat merasa
berbuat salah. Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu dengan harus tinggal kelas pada waktu jam
istirahat dan mengerjakan tugas. Guru tetap harus memantau murid pada saat mengerjakan tugas di
jam istirahat karena murid tidak bisa ditinggal seorang diri.

Manajer

Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid,
mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat
menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di
posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali
kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi
manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi
yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk
menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada
kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana
memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)

“Apakah kamu meyakininya?”

“Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”


“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”

“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”

Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk
dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi
mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.

Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi Teman atau
Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi atau diundang melakukan
restitusi. Namun perlu disadari tujuan akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi
Manajer, di mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung
jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang
positif, nyaman, dan aman.

Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid):

Guru: “Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah dimulai?”

Adi: “Tahu Pak, jam 7:00!”

Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah ini?”

Adi: “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal.”

Guru: “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa hadir tepat
waktu ke sekolah?”

Adi: “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu.”

Guru: “Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri”


Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?

Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu meninggikan
suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak pinggang, atau bersikap seolah-olah menyesal,
tampak sedih sekali akan perbuatan murid ataupun bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman
murid.

Fokus ada pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid sudah mengetahui
adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil posisi Pemantau, guru akan
melihat apa konsekuensinya apa peraturannya? Namun pada posisi Manajer, guru akan
mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu
dengan bimbingan guru.

Use left and right arrow to change slide in that direction whenever canvas is selected.
Segitiga Restitusi

Sisi 1. Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity)

Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena
melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang melanggar peraturan karena sedang
mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya
dalam posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi reflektif, maka kita harus meyakinkan si anak, dengan
cara mengatakan kalimat-kalimat ini:

o Berbuat salah itu tidak apa-apa.

o Tidak ada manusia yang sempurna

o Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.

o Kita bisa menyelesaikan ini.

o Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin mencari solusi dari
permasalahan ini.

o Kamu berhak merasa begitu.

o Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?

Kalau kita mengatakan kalimat-kalimat diatas, akan sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin, buat
anak untuk tetap membangkang. Para guru yang bertugas mengawasi anak-anak saat mereka bermain
di halaman sekolah, menyatakan bahwa bila mereka mengatakan kalimat tersebut yang mungkin hanya
butuh 30 detik, bisa mengubah situasi yang sulit menjadi kooperatif.

Ketika seseorang merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses bagian otak yang
berfungsi untuk berpikir rasional, seperti yang Bapak Ibu CGP telah pelajari di modul 1.2 tentang
konsep otak 3-in-1 (Triune). Saat itulah ketika kita harus menstabilkan identitas anak. Sebelum terjadi
hal-hal lain yang bisa memperburuk keadaan, kita sebaiknya membantu anak untuk tenang dan
kembali ke suasana hati dimana proses belajar dan penyelesaian masalah bisa dilakukan.

Tentu akan sulit melakukan restitusi bila, anak yang berbuat salah terus berfokus pada kesalahannya.
Ada 3 alasan untuk ini, pertama rasa bersalah menguras energi. Rasa bersalah membutuhkan energi
yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk mencari penyelesaian masalah. Kedua, ketika kita
merasa bersalah, kita mengalami identitas kegagalan. Dalam kondisi ini, orang akan cenderung untuk
menyalahkan orang lain atau mempertahankan diri, daripada mencari solusi. Ketiga, perasaan bersalah
membuat kita terperangkap pada masa lalu dimana kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita
hanya bisa mengontrol apa yang akan terjadi di masa kini dan masa datang.

Sisi 2. Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Misbeh...

Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita
memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-
cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki maksud/tujuan
tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti akan mengubah pandangannya dari teori
stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin
tidak suka sikap seorang anak yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu mendapat perhatian
kita, maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat di bawah ini mungkin
terdengar asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi
kebutuhan mereka.

o “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”

o “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”

o “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi sesuatu yang penting
buatmu”.
o “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru.”

Biasanya guru menyuruh anak untuk menghentikan sikap yang tidak baik, tapi teori kontrol menyatakan
bahwa resep itu tidak manjur. Mungkin tindakan guru dengan memvalidasi sikap yang tidak baik seperti
bertentangan dengan aturan yang ada, namun sebetulnya tujuannya untuk menunjukkan bahwa guru
memahami alasan di balik tindakan murid.

Restitusi tidak menyarankan guru bicara ke murid bahwa melanggar aturan adalah sikap yang baik, tapi
dalam restitusi guru harus memahami alasannya, dan paham bahwa setiap orang pasti akan
melakukan yang terbaik di waktu tertentu. Sebuah pelanggaran aturan seringkali memenuhi kebutuhan
anak akan penguasaan/power walaupun seringkali bertabrakan dengan kebutuhan yang lain, yaitu
kebutuhan akan kasih sayang dan rasa diterima/love and belonging. Kalau kita tolak anak yang sedang
berbuat salah, dia akan tetap menjadi bagian dari masalah, namun bila kita memahami alasannya
melakukan sesuatu, maka dia akan merasa dipahami.

Para guru yang telah menerapkan strategi ini mengatakan bahwa anak-anak yang tadinya tidak
terjangkau, menjadi lebih terbuka pada mereka. Strategi ini menguntungkan bagi murid dan guru
karena guru akan berada dalam posisi siswa, dan karena itu akan memiliki perspektif yang berbeda.

Sisi 3. Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief)

Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses
telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan
siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia
inginkan. Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan
kelas atau keluarga.

o Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?

o Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?

o Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?

o Kamu mau jadi orang yang seperti apa?

Penting untuk menanyakan ke anak, kehidupan seperti apa nantinya yang mereka inginkan?

Apakah kamu ingin menjadi orang yang sukses, bertanggung jawab, atau bisa dipercaya?

Kebanyakkan anak akan mengatakan “Iya,” Tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya menjadi orang
seperti itu. Guru dapat membantu dengan bertanya, seperti apa jika mereka menjadi orang seperti itu.
ketika anak sudah mendapat gambaran yang jelas tentang orang seperti apa yang mereka inginkan,
guru dapat membantu anak-anak tetap fokus pada gambaran tersebut.

Anda mungkin juga menyukai