Anda di halaman 1dari 34

2.

1 Perubahan Paradigma
Tujuan Pembelajaran Khusus:
• dapat memahami miskonsepsi tentang kontrol dari paparan Teori
Kontrol Dr. William Glasser.
• dapat memahami dan menerapkan perubahan paradigma stimulus-
respon menjadi teori kontrol.
• dapat bersikap kritis, reflektif, dan terbuka dalam menganalisis perubahan
paradigma stimulus respon kepada teori kontrol.

Kegiatan Pemantik:
Anda dan teman Anda akan melakukan kegiatan ‘Cobalah Buka’. Tugas
Anda adalah mengepalkan salah satu tangan Anda. Coba Anda
bayangkan bahwa Anda menyimpan sesuatu yang sangat berharga di
dalam kepalan tangan Anda. Anda perlu menjaga benda tersebut sekuat
tenaga Anda karena begitu pentingnya untuk kehidupan Anda. Tugas rekan
Anda adalah mencoba dengan segala cara untuk membuka kepalan
tangan Anda. Teman Anda boleh membujuk, menghardik, menggoda,
bahkan menawari Anda dengan uang agar Anda bersedia membuka
kepalan tangan Anda.
Cobalah lakukan kegiatan ‘Cobalah Buka’ di atas dengan teman kerja Anda
secara bergantian, masing-masing akan memiliki waktu 1 menit saja. Sesudah
itu diskusikan kegiatan ini dan coba jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah
ini secara mandiri, dan diskusikan kembali dengan rekan Anda. Bandingkan
jawaban Anda, apakah berbeda, atau sama. Bilamana berbeda, kira-kira
mengapa?
• Kira-kira apakah Anda akan membuka kepalan tangan Anda dengan
bujukan, godaan, atau paksaan teman Anda? Mengapa?
• Ataukah Anda akan bertahan dan menolak membuka kepalan tangan
sampai sekuat tenaga Anda? Mengapa?

Eksplorasi Mandiri:
Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan
lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar murid-murid mampu
berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan
bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah
bentuk disiplin yang dijalankan selama ini di sekolah-sekolah kita.
Pembahasan disiplin kali ini akan meninjau teori yang dikemukakan oleh Diane
Gossen. Sebelum kita gali lebih lanjut tentang teori Disiplin Restitusi dari Diane
Gossen, mari menyamakan model berpikir kita tentang disiplin itu sendiri.
Lazimnya disiplin dikaitkan dengan kontrol. Dalam hal ini kontrol guru dalam
menghadapi murid.
Di bawah ini adalah paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, untuk
meluruskan berapa miskonsepsi tentang kontrol:
• Ilusi guru mengontrol murid.
Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu
jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun
tampaknya kita sedang mengontrol perilaku murid tersebut, hal ini
karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu
bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid
tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki
tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.

• Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.


Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala
usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku
tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam
jangka waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya
dan mencoba untuk menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut
menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha.

• Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat


menguatkan karakter.
Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju
pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri
mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang
kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka melakukan
perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan suara halus
untuk menyampaikan pesan negatif.

• Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.


Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung
jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun
yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan
berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang
dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif
untuk jangka waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan
terbentuk.

Bagaimana seseorang bisa berubah dari paradigma Stimulus-Respon kepada


pendekatan teori Kontrol? Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership,
1991) mengatakan bahwa,
“..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap
atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita,
maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda
melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah
paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu
tentang realitas”.

Stimulus-Respon lawan Teori Kontrol: Pandangan tentang Dunia


Stimulus-Respon tentang Dunia Teori Kontrol tentang Dunia

Realitas (kebutuhan) kita sama. Realitas (kebutuhan) kita


berbeda.

Semua orang melihat hal yang sama. Setiap orang memiliki gambaran
berbeda.

Kita mencoba mengubah orang agar Kita berusaha memahami


berpandangan sama dengan kita. pandangan orang lain tentang
dunia.

Perilaku buruk dilihat sebagai suatu Semua perilaku memiliki tujuan.


kesalahan

Orang lain bisa mengontrol saya. Hanya Anda yang bisa


mengontrol diri Anda.

Saya bisa mengontrol orang lain. Anda tidak bisa mengontrol orang
lain.

Pemaksaan ada pada saat bujukan Kolaborasi dan konsensus


gagal. menciptakan pilihan-pilihan baru.

Model Berpikir Menang/Kalah Model Berpikir Menang-menang.


2.2: Konsep Disiplin Positif dan Motivasi

Tujuan Pembelajaran Khusus:


• dapat memahami konsep disiplin positif dihubungkan dengan teori
motivasi perilaku manusia.
• dapat memahami konsep teori motivasi manusia dihubungkan dengan
konsep motivasi internal dan eksternal.
• dapat bersikap reflektif, kritis, kreatif, dan terbuka dalam menganalisis
motivasi yang dimiliki oleh diri sendiri menurut teori motivasi perilaku
manusia

Pertanyaan Pemantik:

Bagaimana cara membuat murid disiplin? Siapakah yang bisa mendisiplinkan


murid? Apakah guru yang bisa mendisiplinkan murid? Atau Kepala Sekolah? Atau
orangtua murid? Atau murid itu sendiri? Mengapa?

Bapak dan Ibu calon guru penggerak,

Setelah memahami perbedaan teori stimulus respons dan teori kontrol pada
pembahasan sebelumnya, sekarang mari kita belajar tentang konsep disiplin positif
yang merupakan unsur utama dalam terwujudnya budaya positif yang kita cita-
citakan di sekolah-sekolah kita.

Kebanyakan guru, sangat tertarik dengan topik pembahasan tentang disiplin.


Mereka berpendapat bahwa kalau saja anak-anak bisa disiplin, pasti mereka akan
bisa belajar. Para guru juga berpendapat bahwa mendisiplinkan anak-anak
adalah bagian yang paling menantang dari pekerjaan mereka. Bagaimana
dengan Bapak/Ibu CGP? Apakah Anda memiliki pendapat yang sama?

Marilah kita baca artikel di bawah ini:

Makna Kata Disiplin

Ketika mendengar kata “disiplin”, apa yang terbayang di benak Anda? Apa
yang terlintas di pikiran Anda? Kebanyakan orang akan menghubungkan kata
disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata
“disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh
berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi
hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak
digunakan sama sekali.
Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang
dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita
cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.

Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa

“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat.


Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang
mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab
jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa
lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di
dalam suasana yang merdeka.

(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap


Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)

Disitu Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam


konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka,
syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud
adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki
motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita
atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita
sendiri.

Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah:

mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat
kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya
terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri
sendiri)

Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam


bukunya Restructuring School Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti
dari kata disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’.
Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’
atau murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang
harus paham betul alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau
ajaran tertentu, sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik,
bukan ekstrinsik.

Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi
dengan disiplin diri dari murid-murid Socrates dan Plato. Disiplin diri dapat
membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan,
sesuatu yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri juga
mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana
menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang
kita hargai.
Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa
bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka
mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Dalam
hal ini Ki Hajar menyatakan;

“...pertanggungjawaban atau verantwoordelijkheld itulah selalu


menjadi sisihannya hak atau kewajiban dari seseorang yang pegang
kekuasaan atau pimpinan dalam umumnya. Adapun artinya tidak
lain ialah orang tadi harus mempertanggungjawabkan dirinya serta
tertibnya laku diri dari segala hak dan kewajibannya.

(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap


Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 469)

Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki


disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai
kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.

Referensi:
Restitution: Restructuring School Discipline, Diane Chelsom Gossen, 2001, New
View Publications, North Canada
Ki Hajar Dewantara;Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,2013,
UST-Press bekerjasama dengan Majelis Luhur Tamansiswa

Bapak dan Ibu calon guru penggerak,


Indah sekali bukan pemikiran-pemikiran tentang konsep disiplin di atas. Mari kita
bayangkan alangkah indahnya ketika tercipta masyarakat yang bisa saling
belajar, yang saling merasa terikat dan terhubungkan satu sama lain; karena
masyarakat seperti itu akan mengambil tanggung jawab untuk pembelajarannya,
senantiasa selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Itulah tujuan
dari disiplin diri.

Eksplorasi Mandiri
Bapak Ibu calon guru penggerak,
Mari kita tanyakan ke diri kita sendiri, bagaimana kita berperilaku? Mengapa kita
melakukan segala sesuatu? Apakah kita melakukan sesuatu karena adanya
dorongan dari lingkungan, atau ada dorongan yang lain? Terkadang kita
melakukan sesuatu karena kita menghindari rasa sakit atau ketidaknyamanan,
Terkadang kita juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang kita mau.

Bagaimana menurut Anda? Pernahkah Anda melakukan sesuatu untuk mendapat


senyuman dari orang lain? Untuk mendapat hadiah? Atau untuk mendapatkan
uang? Apa lagi kira-kira alasan orang melakukan sesuatu? Untuk mengetahui lebih
jauh lagi mengenai motivasi manusia, mari kita baca artikel ini:

3 Motivasi Perilaku Manusia

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline,


menyatakan ada 3 alasan motivasi perilaku manusia:

1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman


Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya
orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau
ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila
saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang
menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan
berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak
terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan
tindakan tersebut.

2. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.


Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku
untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya
dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah
tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut
mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas
mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan
hadiah, pengakuan, atau imbalan.

3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri
dengan nilai-nilai yang mereka percaya
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang
seperti apa bila saya melakukannya?. Mereka melakukan sesuatu
karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka
melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan
nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan
membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi
berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.

Pernahkan Anda berada dalam sebuah situasi dimana anda


sengaja melakukan sesuatu yang menyakitkan bagi anda, bahkan
bertabrakan dengan penghargaan dari orang lain? Mengapa anda
tetap memilih melakukannya padahal anda tahu akibatnya akan
menyakitkan, anda mungkin akan dikecam secara sosial, bahkan
ada kerugian secara finansial? Apa prinsip-prinsip yang anda
perjuangkan dan anda lindungi? Saat itu, anda sedang menjadi
orang yang seperti apa?

Bapak Ibu calon guru penggerak,


Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid-
murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri
sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki
motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka
panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau
hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan
karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka
hargai.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara kita sebagai guru untuk


menanamkan disiplin positif yang positif ini kepada murid-murid kita?
2.3: Keyakinan Kelas
Tujuan Pembelajaran Khusus:
• CGP dapat memahami pentingnya memiliki keyakinan kelas sebagai fondasi
dan arah tujuan sebuah sekolah/kelas, yang akan menjadi landasan dalam
memecahkan konflik atau permasalahan di dalam sebuah sekolah/kelas.
• CGP dapat memahami proses pembentukan dari peraturan-peraturan beralih
ke keyakinan kelas.
• CGP akan dapat berpikir kritis, kreatif, reflektif, dan terbuka dalam menggali
nilai keyakinan-keyakinan pada lingkungan mereka masing-masing.

Pertanyaan Pemantik:
• Mengapa Keyakinan Kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja?
• Mengapa adanya Keyakinan Kelas penting untuk terbentuknya sebuah
budaya positif?
• Bagaimana mewujudkan sebuah Keyakinan Kelas yang efektif?

Bapak dan Ibu para calon guru penggerak,


Setiap tindakan atau perilaku yang kita lakukan di dalam kelas dapat menentukan
terciptanya sebuah lingkungan positif. Perilaku warga kelas tersebut menjadi
sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Untuk
terbentuknya budaya positif pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati
keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga
kelas. Hal ini berkaitan dengan modul 1.2 dan modul 1.3 yang membahas tentang
nilai-nilai kebajikan dan visi sebuah sekolah yang perlu ada untuk menentukan
arah tujuan dari sebuah institusi/sekolah. Penyatuan pemikiran untuk
mendapatkan nilai-nilai kebajikan serta visi sekolah tersebut kemudian diturunkan
di kelas-kelas menjadi keyakinan kelas yang disepakati bersama.

Mengapa keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja?


Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang
penggunaan helm pada saat mengendarai kendaraan roda dua/motor?”
Kemungkinan jawaban Anda adalah untuk ‘keselamatan’. Pertanyaan berikut
adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan masker dan
mencuci tangan setiap saat?” Mungkin jawaban Anda adalah “untuk kesehatan
dan/atau keselamatan”.
Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu
‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati
bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa
maupun agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi
seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih
tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya
sekedar mengikuti serangkaian peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka
perlu mendengarkan dan mendalami tentang suatu keyakinan, daripada hanya
mendengarkan peraturan-peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini
atau begitu.

Pembentukan Keyakinan Kelas:


• Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci
dan konkrit.
• Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
• Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
• Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat
dan dipahami oleh semua warga kelas.
• Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan
tersebut.
• Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan
keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
• Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.
2.6 - Segitiga Restitusi
Tujuan Pembelajaran Khusus:
1. Calon Guru Penggerak memahami restitusi sebagai salah satu cara
menanamkan disiplin positif pada murid sebagai bagian dari budaya
positif di sekolah.
2. Calon Guru Penggerak dapat menerapkan restitusi dalam membimbing
murid berdisiplin positif agar menjadi murid merdeka.
3. CGP bersikap reflektif, kritis, kreatif, dan terbuka.

Pertanyaan Pemantik
Bapak Ibu calon guru penggerak, apa yang akan Anda lakukan bila,
• Dalam sebuah acara pesta ulang tahun, teman Anda memecahkan
gelas. Apakah Anda akan membiarkan dia membayar harga gelas yang
dipecahkannya?
• Anda sudah janji bertemu dengan teman Anda, namun ternyata dia juga
memiliki janji penting bertemu orang lain di tempat lain, dan Anda terpaksa
naik taksi untuk menemui teman Anda di tempat itu, apakah Anda akan
meminta teman Anda membayar biaya taksi Anda menuju ke tempat
tersebut?
• Pegawai Anda membuat kesalahan yang menyebabkan kerugian
finansial pada perusahaan, pegawai tersebut menawarkan untuk bekerja
lembur tanpa bayaran, apakah Anda sebagai pemilik perusahaan akan
menerimanya?

Eksplorasi Mandiri
Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,
Bila ada seseorang berbuat salah pada Anda, ketika mereka menawarkan
sebuah tindakan untuk memperbaiki kesalahan mereka, kemungkinan besar,
jawaban Anda adalah akan menolak semua tawaran itu, dan akan bilang,
tidak usah, tidak apa-apa. Lupakan saja.

Kebiasaan kita selama ini, bila ada orang yang berlaku salah pada kita
adalah langsung memaafkan, atau membuat mereka tidak nyaman. Kita
cenderung untuk berfokus pada kesalahan daripada mencari cara bagi
mereka untuk memperbaiki diri. Kita lebih fokus pada bagaimana cara
mereka membayar ketidaknyamanan yang disebabkan oleh kesalahan
mereka daripada mengembalikan harga diri mereka. Membuat kondisi
menjadi impas, menjadi lebih penting daripada membuat situasi menjadi
benar.

Bapak Ibu guru penggerak,


Sebagai seorang guru, ketika murid Anda melakukan kesalahan, tindakan
mana yang akan Anda lakukan?
• Anda menunjukkan kesalahannya dan memintanya melihat kesalahannya
baik-baik?
• Anda mengatakan, “Kamu seharusnya tahu bagaimana kamu seharusnya
bertindak”.
• Anda mengingatkan murid Anda akan kesalahannya yang sama di waktu
sebelumnya.
• Anda akan bertanya padanya, “Kenapa kamu melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak kamu lakukan?”.
• Anda akan mengkritik dia dan mendiamkannya?

Kalau Anda melakukan tindakan-tindakan di atas, mungkin Anda akan


membuat murid Anda merasa menjadi anak yang gagal.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita sebaiknya respon kita bila ada


murid kita melakukan kesalahan? Mari kita baca artikel ini:
Restitusi
Sebuah Cara Menanamkan disiplin positif Pada Murid

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki


kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka,
dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004)

Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk


mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang
seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus
memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).

Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan
memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada
bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari
ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang
menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Sebelumnya kita
telah belajar tentang teori kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki
motivasi intrinsik.

Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan
cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang
apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka
dan mendapatkan kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban,
tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Ini sesuai
dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-
menang.

Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh ketika mereka
melakukan kesalahan, bukankah pada hakikatnya begitulah cara kita
belajar. Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih,
namun mereka juga dapat memilih untuk belajar dari pengalaman dan
membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan datang. Ketika guru
memecahkan masalah perilaku mereka, murid akan kehilangan
kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup
mereka.

Di bawah ini adalah ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan


program disiplin lainnya.
• Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari
kesalahan
Dalam restitusi, ketika murid berbuat salah, guru tidak mengarahkan
untuk menebus kesalahan dengan membayar sejumlah uang,
memperbaiki kerugian yang timbul, atau sekedar meminta maaf. Karena
kalau fokusnya kesana, maka murid yang berbuat salah akan fokus pada
tindakan untuk menebus kesalahan dan menghindari ketidaknyamanan,
yang bersifat eksternal, bukannya pada upaya perbaikan diri, yang lebih
bersifat internal. Biasanya setelah menebus kesalahan, orang yang
berbuat salah akan merasa sudah selesai dengan situasi itu sehingga
merasa lega, dan seolah-olah kesalahan tidak pernah terjadi.

Terkadang bisa juga muncul perasaan ingin balas dendam, bila orang
yang berbuat salah sebetulnya merasa tidak rela harus melakukan
sesuatu untuk menebus kesalahannya. Kalau tindakan untuk menebus
kesalahan dipahami sebagai hukuman, maka mungkin mereka berpikir
untuk membuat situasinya menjadi impas. Pembalasan seperti ini akan
berdampak jangka panjang karena konfliknya akan tetap ada.
Menebus kesalahan itu tidak salah, namun biasanya tidak membuat kita
menjadi pribadi yang lebih kuat.

Restitusi sebenarnya juga meliputi usaha untuk menebus kesalahan,


tetapi sebaiknya merupakan inisiatif dari murid yang melakukan
kesalahan. Proses pemulihan akan terjadi bila ada keinginan dari murid
yang berbuat salah untuk melakukan sesuatu yang menunjukkan rasa
penyesalannya. Fokusnya tidak hanya pada mengurangi kerugian pada
korban, tapi juga bagaimana menjadi orang yang lebih baik dan
melakukan hal baik pada orang lain dengan kebaikan yang ada dalam
diri kita.

Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik untuk masa
depan, mereka akan mendapatkan pelajaran yang mereka bisa pakai
terus menerus di masa depan untuk menjadi orang yang lebih baik.

• Restitusi memperbaiki hubungan


Restitusi adalah tentang memperbaiki hubungan dan memperkuatnya.
Restitusi juga membantu murid-murid dalam hal mereka ingin menjadi
orang seperti apa dan bagaimana mereka ingin diperlakukan. Restitusi
adalah proses refleksi dan pemulihan. Proses ini menciptakan kondisi
yang aman bagi murid untuk menjadi jujur pada diri mereka sendiri dan
mengevaluasi dampak dari tindakan mereka pada orang lain. Ketika
proses pemulihan dan evaluasi diri telah selesai, mereka bisa mulai
berpikir tentang apa yang bisa dilakukan untuk menebus kesalahan
mereka pada orang yang menjadi korban.

• Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan


Restitusi yang dipaksa bukanlah restitusi yang sebenarnya, tapi
konsekuensi. Bila guru memaksa proses restitusi, maka murid akan
bertanya, apa yang akan terjadi kalau saya tidak melakukannya.
Misalnya mereka sebenarnya tidak suka konsekuensi yang guru
sarankan, mereka mungkin akan setuju dan akan melakukannya, tapi
karena mereka menghindari ketidaknyamanan atau menghindari
kehilangan kebebasan atau diasingkan dari kelompok. Mereka akan
percaya kalau mereka menyakiti orang, maka mereka juga tersakiti,
maka mereka pikir itu impas. Seorang anak yang memukul temannya
akan mengatakan, “Kamu boleh pukul aku balik, biar impas”. Memaksa
melakukan restitusi bertentangan dengan perkembangan moral, yaitu
kebebasan untuk membuat pilihan. Oleh karena itu, penting bagi guru
untuk menciptakan kondisi yang membuat murid bersedia
menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik lagi, dengan berkata,
“Tidak apa-apa kok berbuat salah itu manusiawi. Semua orang pasti
pernah berbuat salah”. Pembicaraan ini bersifat tawaran, bukan
paksaan, bukan mengatakan, “Kamu harus lakukan ini, kalau tidak
maka…”

• Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri


Dalam proses restitusi kita akan melihat adanya ketidakselarasan antara
tindakan murid yang berbuat salah dan keyakinan mereka tentang
orang seperti apa yang mereka inginkan. Untuk membimbing proses
pemulihan diri, guru bisa bertanya pada mereka:
• Kamu ingin menjadi orang seperti apa?
• Kamu akan terlihat, terdengar, dan terasa seperti apa kalau kamu
sudah menjadi orang yang seperti itu?
• Apa yang kamu percaya tentang bagaimana orang harus
memperlakukan orang lain?
• Bagaimana kamu mau diperlakukan ketika kamu berbuat salah?
• Apa nilai yang diajarkan di keluargamu tentang hal ini? Apakah kamu
memegang nilai ini?
• Kalau tidak, lalu apa yang kamu percaya?

Kita tidak ingin menciptakan rasa bersalah pada diri anak dengan bertanya
seperti itu. Kalau guru melihat rasa bersalah di wajah murid, maka guru harus
cepat-cepat mengatakan, “Tidak apa-apa kok berbuat salah”.

Ketika murid sudah dibimbing untuk mengeksplorasi orang seperti apa yang
mereka inginkan, guru bisa mulai bertanya tentang kejadiannya, seberapa
sering hal ini terjadi, apa yang ia lakukan, ia berada di mana. Murid tidak
akan berbohong pada guru.

Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan


Untuk berpindah dari evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi murid untuk
memahami dampak dari tindakannya pada orang lain. Kalau murid
paham bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dasar untuk dipenuhi, hal
ini akan sangat membantu, sehingga ketika murid melakukan kesalahan,
mereka akan menyadari kebutuhan apa yang sedang mereka coba
penuhi, demikian juga kebutuhan orang lain.

Untuk membantu murid mengenali kebutuhan dasarnya, guru bisa meminta


mereka mengenali perasaan mereka. Perasaan sedih dan kesepian
menunjukkan adanya kebutuhan cinta dan kasih sayang yang tidak
terpenuhi. Perasaan dipaksa, atau terlalu banyak beban, menunjukkan
kurangnya kebutuhan akan kebebasan. Perasaan takut akan kelelahan,
kelaparan, menunjukkan pada kita kalau kita merasa tidak aman. Perasaan
bosan menunjukkan kurang terpenuhinya kebutuhan akan kesenangan.

Restitusi diri adalah cara yang paling baik


Dalam restitusi diri murid belajar untuk mengubah kebiasaan dari
kecenderungan untuk mengomentari orang lain, menjadi mengomentari
diri sendiri. Dr. William Glasser menyatakan, orang yang bahagia akan
mengevaluasi diri sendiri, orang yang tidak bahagia akan mengevaluasi
orang lain.

3 Tahap Evaluasi Diri:

1. Saya tidak suka cara saya berbicara padamu


2. Kesalahan yang saya lakukan adalah
• Saya sebenarnya punya informasi yang kamu butuhkan
• Saya lelah dan saya bicara terlalu cepat
• Saya tidak jelas menyampaikan apa yang saya inginkan
• Pemahaman saya berbeda dengan pemahamanmu
3. Besok lagi saya akan
• Menyampaikan informasi yang saya punya dan kamu butuhkan
• Saya akan bicara lebih lambat
• Saya akan bicara lebih jelas tentang keinginan saya
• Menyampaikan pemahaman saya padamu

Ketika murid bisa melakukan restitusi diri maka dia akan bisa mengontrol
dirinya dengan lebih baik dengan tujuan yang lebih baik pula.

Ketika Anda berhadapan dengan orang lain, dan melakukan evaluasi diri,
maka 9 dari 10 orang yang diajak bicara juga akan melakukan evaluasi diri
juga. Mungkin akan ada 1 dari 10 orang yang diajak bicara, justru akan
menggunakan kesempatan itu untuk menghukum Anda. Kalau ini terjadi,
tanyakan saja, apakah Anda mau menggunakan kesempatan ini untuk
menjelek-jelekkan saya atau Anda mau membuat situasi ini menjadi lebih
baik. Anda mau ke arah mana?

Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan


Dalam proses restitusi diri, maka murid akan menyadari dia sedang menjadi
orang yang seperti apa, yang itu adalah menunjukkan fokus pada
penguatan karakter. Ketika guru membimbing murid untuk penguatan
karakter, guru akan mengatakan, “Ibu/Bapak tidak terlalu
mempermasalahkan apa yang kamu lakukan hari ini, tetapi mari kita bicara
tentang apa yang akan kamu lakukan besok. Kamu bisa saja minta maaf,
tapi orang akan lebih suka mendengar apa yang akan kamu lakukan
dengan lebih baik lagi.
Restitusi menguatkan
Bisakah momen ketika murid melakukan kesalahan menjadi sebuah momen
yang baik? Jawabnya, tentu bisa, asalkan ia bisa belajar dari kesalahan itu.
Apa maksud dari kalimat kita bisa lebih kuat setelah kita belajar dari
kesalahan? Lebih kuat disini maksudnya bukan menekan perasaan kita
dalam-dalam. Kuat disini artinya menyadari apa yang bisa murid ubah, dan
murid benar-benar mengubahnya. Guru bisa bertanya, apa yang dapat
kamu ubah dari dirimu sendiri? Bagaimana kamu akan berubah?

Restitusi fokus pada solusi


Dalam restitusi, guru menstabilkan identitas murid dengan
mengatakan, “Kita tidak fokus pada kesalahan, Bapak/ibu tidak tertarik
untuk mencari siapa yang benar, siapa yang salah.

Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya


Mari kita lihat praktik pendidikan kita yang seringkali memisahkan anak-anak
dari kelompoknya, misalnya seorang anak TK bersikap tidak kooperatif pada
saat kegiatan mendengar dongeng dari gurunya, anak itu disuruh keluar
dari kelompoknya, atau anak itu diminta duduk di belakang kelas atau di
pojok kelas, disuruh keluar kelas ke koridor, ke kantor guru, seringkali
dibiarkan tanpa pengawasan.
Kalau ada anak remaja nakal, orangtua menyuruh pergi dari rumah.
Padahal kalau mereka jauh dari orang tuanya, orang tuanya jadi tidak bisa
mengajari mereka dan mereka tidak belajar nilai-nilai kebajikan. Kalau
mereka tidak belajar, bagaimana nasib generasi kita ke depan? Kalau kita
menjauhkan remaja kita, maka mereka akan putus hubungan dengan kita.
Ketika anak berbuat salah, kita tidak bisa memotivasi anak untuk menjadi
baik, kita hanya bisa menciptakan kondisi agar mereka bisa melihat ke
dalam diri mereka. Kita seharusnya mengajari mereka untuk menyelesaikan
masalah mereka, dan berusaha mengembalikan mereka ke kelompok
mereka dengan karakter yang lebih kuat.

Disarikan dari Buku It’s All About WE; Rethinking Discipline using Restitution,
Third Edition, Diane Gossen, 2008
Bapak Ibu CGP,
Setelah Anda mengetahui tentang apa itu restitusi, tentunya Anda ingin
mengetahui bagaimana cara melakukanya. Diane Gossen dalam bukunya
Restitution; Restructuring School Discipline, 2001 telah merancang sebuah
tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan
proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama
segitiga restitusi/restitution triangle. Proses ini meliputi tiga tahap dan setiap
tahapnya berdasarkan pada prinsip penting dari Teori Kontrol, yaitu

Langkah Teori Kontrol

1 Menstabilkan Identitas Kita semua akan melakukan hal terbaik yang


Stabilize the Identity bisa kita lakukan

2 Validasi Tindakan yang Semua perilaku memiliki alasan


Salah
Validate the
Misbehaviour

3 Menanyakan Kita semua memiliki motivasi internal


Keyakinan
Seek the Belief

Ketiga strategi tersebut direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi.


Langkah-langkah itu tidak harus dilakukan satu persatu. Banyak guru yang
sudah menggunakannya dalam berbagai versi menurut gaya mereka
masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori restitusi.

1. Menstabilkan Identitas/Stabilize the identity


Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak
dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang
yang sukses. Anak yang sedang mencari perhatian adalah anak yang
sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik dia,
maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin
ia menjadi proaktif, maka kita harus meyakinkan si anak, dengan cara
mengatakan kalimat-kalimat ini:

• Berbuat salah itu tidak apa-apa.


• Tidak ada manusia yang sempurna
• Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.
• Kita bisa menyelesaikan ini.
• Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu
ingin mencari solusi dari permasalahan ini.
• Kamu berhak merasa begitu.
• Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?

Kalau kita mengatakan kalimat-kalimat diatas, akan sangat sulit, bahkan


hampir tidak mungkin, buat anak untuk tetap membangkang. Para guru yang
bertugas mengawasi anak-anak saat mereka bermain di halaman sekolah,
menyatakan bahwa bila mereka mengatakan kalimat tersebut yang mungkin
hanya butuh 30 detik, bisa mengubah situasi yang sulit menjadi kooperatif.

Ketika seseorang merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses
bagian otak yang berfungsi untuk berpikir rasional. Saat itulah ketika kita harus
menstabilkan identitas anak. Sebelum terjadi hal-hal lain yang bisa
memperburuk keadaan, kita sebaiknya membantu anak untuk tenang dan
kembali ke suasana hati dimana proses belajar dan penyelesaian masalah
bisa dilakukan.

Tentu akan sulit melakukan restitusi bila, anak yang berbuat salah terus
berfokus pada kesalahannya. Ada 3 alasan untuk ini, pertama rasa bersalah
menguras energi. Rasa bersalah membutuhkan energi yang sama dengan
energi yang dibutuhkan untuk mencari penyelesaian masalah. Kedua, ketika
kita merasa bersalah, kita mengalami identitas kegagalan. Dalam kondisi ini,
orang akan cenderung untuk menyalahkan orang lain atau
mempertahankan diri, daripada mencari solusi. Ketiga, perasaan bersalah
membuat kita terperangkap pada masa lalu dimana kita sudah tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengontrol apa yang akan terjadi di
masa kini dan masa datang.
Sisi 2: Validasi Tindakan yang Salah/ Validate the Misbehavior
Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi
kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang
mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling
efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki
maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti
akan mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir
proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka
sikap seorang anak yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu
mendapat perhatian kita, maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut.
Kalimat-kalimat dibawah ini mungkin terdengar asing buat guru, namun bila
dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan
mereka.
• “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”
• “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”
• “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi
sesuatu yang penting buatmu”.
• “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan
sikap yang baru.”
Biasanya guru menyuruh anak untuk menghentikan sikap yang tidak baik, tapi
teori kontrol menyatakan bahwa resep itu tidak manjur. Mungkin tindakan
guru dengan memvalidasi sikap yang tidak baik seperti bertentangan dengan
aturan yang ada.

Restitusi tidak menyarankan guru bicara ke murid bahwa melanggar aturan


adalah sikap yang baik, tapi dalam restitusi guru harus memahami alasannya,
dan paham bahwa setiap orang pasti akan melakukan yang terbaik di waktu
tertentu. Sebuah pelanggaran aturan seringkali memenuhi kebutuhan anak
akan kekuasaan/power walaupun seringkali bertabrakan dengan kebutuhan
yang lain, yaitu kebutuhan akan cinta dan kasih sayang/love and belonging.
Kalau kita tolak anak yang sedang berbuat salah, dia akan tetap menjadi
bagian dari masalah. namun bila kita memahami alasannya melakukan
sesuatu, maka dia akan merasa dipahami.

Para guru yang telah menerapkan strategi ini mengatakan bahwa anak-anak
yang tadinya tidak terjangkau, menjadi lebih terbuka pada mereka. Strategi
ini menguntungkan bagi murid dan guru karena guru akan berada dalam
posisi siswa, dan karena itu akan memiliki perspektif yang berbeda.
Sisi Ketiga: Menanyakan Keyakinan/Seek the Belief
Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara
internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku
yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk
dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi
orang yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini
menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.
• Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?
• Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?
• Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?
• Kamu mau jadi orang yang seperti apa?

Penting untuk menanyakan ke anak, kehidupan seperti apa nantinya yang


mereka inginkan?
Apakah kamu ingin menjadi orang yang sukses, bertanggung jawab, atau
bisa dipercaya?
Kebanyakkan anak akan mengatakan “Iya,” Tapi mereka tidak tahu
bagaimana caranya menjadi orang seperti itu. Guru dapat membantu
dengan bertanya, seperti apa jika mereka jd orang seperti itu. ketika anak
sudah mendapat gambaran yang jelas tentang orang seperti apa yang
mereka inginkan, guru dapat membantu anak-anak tetap fokus pada
gambaran tersebut.
2.4 : Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Tujuan Pembelajaran Khusus:
• CGP memahami bahwa setiap tindakan murid dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan dasar mereka.
• CGP memahami bahwa kebutuhan dasar setiap murid akan berbeda-
beda dan agar menjadi individu yang selamat dan bahagia, kebutuhan
dasar harus terpenuhi secara positif.
• CGP memahami bahwa kebutuhan dasar dapat dipenuhi dengan cara
positif atau negatif
• CGP memahami peran guru adalah memberdayakan anak agar dapat
memenuhi kebutuhannya secara positif

Pertanyaan Pemantik:
Ibu Ambar, guru wali kelas kelas 2A di SD Pelita Hati, sedang bingung
menghadapi ulah salah satu murid di kelasnya, Doni. Beberapa anak di kelas
2A telah datang padanya dan mengeluhkan Doni yang seringkali meminta
bekal makan siang mereka dengan paksa. Jika Anda menghadapi situasi
seperti Ibu Ambar, apa yang akan anda lakukan? Menurut anda, kira-kira apa
alasan Doni melakukan hal itu?

Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,


Merujuk pada situasi yang sedang dihadapi Ibu Ambar di atas, dalam konteks
penegakan disiplin positif, Ibu Ambar sebaiknya mencari tahu alasan Doni
melakukan tindakan tersebut agar mengetahui kebutuhan mana yang
sedang berusaha dipenuhi oleh Doni. Mari kita melihat sebuah konsep 5
Kebutuhan Dasar Manusia menurut Dr. William Glasser dalam “Choice
Theory”.

5 Kebutuhan Dasar Manusia

Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah
usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita
mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi
satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan
hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan
(freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seorang murid
melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau
melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi
kebutuhan dasar mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat satu persatu kelima
kebutuhan dasar ini.
Kebutuhan Bertahan Hidup
Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis
untuk bertahan hidup misalnya kesehatan, rumah, dan makanan. Seks
sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk tetap
bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini meliputi kebutuhan
akan perasaan aman. Dalam kasus Doni di atas, apabila jawaban Doni ketika
ditanya oleh Ibu Ambar adalah karena ia lapar dan orangtuanya tidak
membawakannya bekal makan siang, maka kebutuhan dasar yang sedang
berusaha dipenuhi oleh Doni, adalah kebutuhan untuk bertahan hidup
(survival).

Cinta dan kasih sayang (Kebutuhan untuk Diterima)


Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan psikologis.
Kebutuhan untuk mencintai dan memiliki meliputi kebutuhan akan hubungan
dan koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dan
kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan ini
juga meliputi keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti
teman, keluarga, pasangan hidup, teman kerja, binatang peliharaan, dan
kelompok dimana kita tergabung.

Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar cinta dan kasih sayang yang tinggi
biasanya ingin disukai dan diterima oleh lingkungannya. Mereka juga akrab
dengan orang tuanya. Biasanya mereka belajar karena suka pada gurunya.
Bagi mereka, teman sebaya sangatlah penting. Mereka juga biasanya suka
bekerja dalam kelompok.
Dalam kasus diatas, apabila Doni menjawab bahwa alasannya mengambil
bekal temannya karena dia merasa senang temannya jadi memperhatikan
dia. Ketika temannya melaporkan tindakannya itu pada gurunya, dan
gurunya memberitahu orang tuanya, sehingga orang tuanya jadi
memperhatikan dia, maka kebutuhan dasar yang sedang dipenuhi Doni
adalah kebutuhan akan cinta dan kasih sayang.

Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)


Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu,
menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan
kita, didengarkan dan memiliki rasa harga diri. Kebutuhan ini meliputi
keinginan untuk dianggap berharga, bisa membuat perbedaan, bisa
membuat pencapaian, kompeten, diakui, dihormati. Ini meliputi self esteem,
dan keinginan untuk meninggalkan pengaruh.
Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar akan kekuasaan yang tinggi
biasanya selalu ingin menjadi pemimpin, mereka juga suka mengamati
sebelum mencoba hal baru dan merasa kecewa bila melakukan kesalahan.
Mereka juga biasanya rapi dan sistematik dan selalu Ingin mencapai yang
terbaik
Dalam kasus diatas, apabila jawaban Doni adalah dia merasa hebat karena
temannya jadi takut dengan dia dan menuruti keinginannya, maka
sebetulnya Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhan dasarnya akan
kekuasaan.

Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)


Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi,
memiliki pilihan dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anak-
anak dengan kebutuhan kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan,
mereka perlu banyak bergerak, suka mencoba-coba, tidak terlalu
terpengaruh orang lain dan senang mencoba hal baru dan menarik.
Bila jawaban Doni dalam kasus diatas adalah bahwa dia merasa bosan
dengan bekal makanan yang dibawakan ibunya dari rumah, karena ibunya
selalu membawakan bekal yang sama, oleh karena itu dia ingin mencoba
makanan teman-temannya yang beraneka ragam, maka Doni sedang
berusaha memenuhi kebutuhannya akan kebebasan/freedom.

Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)


Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari
kesenangan, bermain, dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa kenikmatan
apa pun, betapa menyedihkan. Glasser menghubungkan kebutuhan akan
kesenangan dengan belajar. Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi
(anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain, mereka
mempelajari keterampilan hidup yang penting. Manusia tidak berbeda.
Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi biasanya Ingin
menikmati apa yang dilakukan. Mereka juga konsentrasi tinggi saat
mengerjakan hal yang disenangi. Mereka suka permainan dan suka
mengoleksi barang, suka bergurau, suka melucu dan juga menggemaskan,
bahkan saat bertingkah laku buruk.
Dalam kasus diatas, bila Doni menjawab bahwa ia melakukannya karena
iseng saja dan ia menikmati ekspresi wajah teman-temannya yang kesal
karena diambil makanannya dan menurut dia, ekspresi teman-temannya itu
lucu. Maka berarti Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhannya akan
kesenangan.

Disarikan dari berbagai sumber


Bapak Ibu Calon Guru Penggerak,
Semua orang senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan
berbagai cara. Bila mereka tidak bisa mendapatkan kebutuhannya dengan cara
yang positif, mereka akan mencoba mendapatkannya dengan cara yang negatif.
Seorang murid yang tidak begitu berhasil secara akademik mungkin kebutuhannya
akan kekuasaan tidak terpenuhi di sekolah. Oleh karena itu, mungkin dia akan
mencoba untuk memenuhi kebutuhan kekuasaannya, dengan mencoba
mengatur orang lain di lapangan bermain, atau bahkan menyakiti mereka secara
fisik. Sebagai guru, kita dapat melibatkannya dalam kegiatan yang memberi
peluang murid tersebut membuat pencapaian yang berarti.

Seorang yang tidak merasa diterima oleh teman-temannya, kebutuhannya akan


cinta dan kasih sayang tidak terpenuhi, oleh karena itu dia mungkin akan memiliki
satu teman dan memisahkan diri yang lain. Sebagai guru, kita bisa membangun
hubungan yang bisa membangun kepercayaan dan keintiman dengan anak ini.

Bagaimana Bapak Ibu, apakah sekarang sudah paham perbedaan dari kelima
kebutuhan dasar? Glasser menyatakan bahwa kapasitas untuk berubah ada di
dalam diri kita. Jika kita dapat mengidentifikasi kebutuhan apa yang mendorong
perilaku kita, maka perubahan perilaku positif dapat dimulai dengan mencari solusi
untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara yang positif daripada cara yang
negatif.

Bapak dan Ibu CGP,


Setelah belajar tentang 3 Motivasi Perilaku Manusia dan 5 Kebutuhan Dasar
Manusia untuk memahami alasan-alasan yang mendasari tindakan manusia, mari
kita belajar 1 konsep lagi yaitu tentang Dunia Berkualitas dengan membaca
deskripsi di bawah ini:

Dunia Berkualitas

Dunia Berkualitas Anda adalah tempat khusus dalam pikiran Anda,


tempat Anda menyimpan gambaran representasi dari semua yang Anda
inginkan: bisa berisi orang-orang, hal-hal dan apa saja yang terbaik
dalam hidup Anda dan membuat Anda merasa bahagia dan terpenuhi
kebutuhan dasar Anda. Dr. William Glasser menyebutnya seperti
semacam, album foto sehingga isinya tidak akan terlalu banyak, hanya
akan terdiri dari beberapa hal saja yang sangat signifikan dan benar-
benar terbaik dalam hidup Anda yang membuat hidup Anda menjadi
lebih bermakna. Kebutuhan dasar itu bersifat lebih umum dan universal,
sedangkan dunia berkualitas lebih unik dan personal.
Orang, tempat, benda, nilai-nilai, dan kepercayaan yang penting bagi
Anda akan termasuk di sana. Untuk masuk ke Dunia Kualitas, syaratnya
adalah bahwa sesuatu itu harus terasa sangat baik bagi Anda dan
memenuhi setidaknya satu atau lebih kebutuhan dasar Anda. Dalam
menentukan segala sesuatu yang masuk dalam dunia berkualitas, tidak
perlu kita terlalu mempertimbangkan standar masyarakat tentang apa
saja yang penting dan yang tidak. Gambaran Dunia Berkualitas adalah
unik dan spesifik untuk setiap orang. Jika Anda bisa hidup di Dunia Kualitas
Anda, hidup akan sempurna buat Anda, tapi sayangnya, Anda tidak bisa
tinggal di sana.

Murid kita juga mempunyai gambaran dunia berkualitas mereka.


Tentunya sebagai guru kita ingin mereka memasukkan hal-hal yang
bermakna dan nilai-nilai kebajikan yang hakiki ke dalam dunia berkualitas
mereka. Bila guru dapat membangun interaksi yang memberdayakan
dan memerdekakan murid, maka murid akan meletakkan dirinya sendiri
sebagai individu yang positif dalam dunia berkualitas karena mereka
menghargai nilai-nilai kebajikan.

Disarikan dari Berbagai Sumber


2.5: Lima Posisi Kontrol
Tujuan Pembelajaran Khusus:
• CGP dapat melakukan refleksi atas praktik disiplin yang dijalankan selama
ini dan dampaknya untuk murid-muridnya.
• CGP dapat mengetahui dan menerapkan disiplin restitusi di posisi Monitor
dan Manajer agar dapat menciptakan lingkungan yang positif, aman, dan
nyaman.
• CGP dapat berpikir kritis, kreatif, reflektif dan terbuka atas penemuan diri
yang didapatkan dari mempelajari 5 posisi kontrol.

Pertanyaan Pemantik:
Bacalah kasus-kasus di bawah ini, dan cobalah jawab pertanyaan-
pertanyaan yang tersedia:
• Tisa dan Hana dipanggil masuk ke ruangan Ibu Dewi, kepala sekolah SMA
Makmur. Ibu Dewi baru saja mendapatkan pengaduan dari ibunda Tisa,
bahwa Hana menggunakan kata-kata kasar, dan merendah-rendahkan
Tisa di sosial media.
• Anto jarang sekali hadir di pembelajaran jarak jauh, dan pada saat hadir
pun, Anto seringkali menggunakan kata-kata kasar di kolom chat
mengejek teman-temannya. Hal ini sudah sangat mengganggu dan
beberapa orang tua murid yang mengikuti pembelajaran daring
mengeluhkan tentang perilaku Anto di pembelajaran jarak jauh.

Bila Anda adalah guru, penerapan disiplin apakah yang akan Anda lakukan
untuk kasus Hana dan kasus Anto? Mengapa?
Bahas dengan rekan CGP Anda, dan bandingkan jawaban Anda, apakah
berbeda, atau sama? Bila berbeda, utarakan masing-masing pandangan
Anda.

Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,


Berikut ini akan disampaikan suatu model disiplin yang berpusat pada murid,
yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang
disebut dengan 5 Posisi Kontrol.

Lima Posisi Kontrol:


Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline
(1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan
disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita selama ini. Apakah telah efektif,
apakah berpusat memerdekakan dan memandirikan murid, bagaimana dan
mengapa? Melalui serangkaian riset dan bersandar pada teori Kontrol Dr.
William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan
seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima
posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah,
Teman, Monitor (Pemantau) dan Manajer. Mari kita tinjau lebih dalam kelima
posisi kontrol ini:

Penghukum: Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun


verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa
mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih
menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi
penghukum akan berkata:
“Patuhi aturan saya, atau awas!”
“Kamu selalu saja salah!”
“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran
bisa berhasil, yaitu cara dia.

Pembuat Orang Merasa Bersalah: pada posisi ini biasanya guru akan bersuara
lebih lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan menggunakan
keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau
rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:
“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”
“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”
“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka,
murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang
disayanginya.

Teman: Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap
berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa
negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin
antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik
dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:
“Ayo bantulah, demi bapak ya?”
“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak
membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu
teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha, Hal
lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru
tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru
tersebut.
Monitor/Pemantau: Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi,
kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi
pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan
menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi
kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau.
Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya apa?”
“Apa yang telah kamu lakukan?”
“Sanksi atau konsekuensinya apa?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data
yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan
menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi monitor sendiri berawal
dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam
mengontrol murid.

Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi mentor di mana guru berbuat
sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid
mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat
menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah
memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan
demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi
tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita
menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita
perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang
manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis
kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan
pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi
dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang
manajer akan berkata:
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
“Apakah kamu meyakininya?”
“Jika kamu menyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”
“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”
“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita
membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer
bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid
tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.

Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke
posisi Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak
berdiskusi atau diundang melakukan restitusi. Namun perlu disadari tujuan
akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di
mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan
bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya
dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.

Di bawah ini adalah contoh peragaan yang dikutip dari Yayasan Pendidikan
Luhur (2007) di mana ada seorang murid yang melanggar suatu peraturan
sekolah. Selanjutnya ada dialog antara seorang guru dengan murid tersebut,
serta bagaimana guru tersebut menjalankan disiplin dengan menggunakan
kelima posisi kontrol untuk kasus yang sama:

Adi yang terlambat hadir di sekolah.

Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk
menghardik):
“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat
waktu?”
Tanyakan kepada diri Anda:
Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu pada saat muridnya datang
terlambat?
Akibat:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah
kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih
buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan
menggores kendaraan tersebut dengan paku.

Pembuat orang lain merasa bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh:
merapat pada anak, lesu):
“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat lagi.
Kamu kenapa ya senang sekali mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali.”
Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara ini?
Akibat:
Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya.
Murid akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang
lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena emosi
akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak seperti murid dalam
dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan amarahnya walaupun
dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa meletus amarahnya,
dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.

Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid,
mata dan senyum jenaka)
“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa
terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana. Nanti
Pak Guru bantu. Kamu ini.” (sambil senyum-senyum).
Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini?
Akibat:
Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif,
hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada masalah,
dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain dari posisi
teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang menyuruh adalah guru tersebut, dan
belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang lain.

Pemantau (nada suara datar, bahasa tubuh yang formal): Guru: “Adi, tahukah kamu jam
berapa kita memulai?”
Adi: “Tahu Pak!”
Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti apa yang harus dilakukan
bila terlambat?”
Adi: “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan mengerjakan
tugas ketertinggalan saya.”
Guru: “Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus sudah di kelas untuk
menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Akibat:
Murid memahami sanksi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah satu
peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah
atau membuat merasa berbuat salah. Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu dengan
harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan tugas. Guru tetap harus
memonitor atau memantau murid pada saat mengerjakan tugas di jam istirahat karena
murid tidak bisa ditinggal seorang diri.

Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid):
Guru: “Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah dimulai?”
Adi: “Tahu Pak, jam 7:00!”
Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah
ini?”
Adi: “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal.”
Guru: “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa
hadir tepat waktu ke sekolah?”
Adi: “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu.”
Guru: “Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?

Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu
meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak pinggang, atau
bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan murid ataupun
bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.
Fokus adalah pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid sudah
mengetahui adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil posisi
Pemantau, guru akan melihat apa sanksinya apa peraturannya? Namun pada posisi
Manajer, guru akan mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan
keluar permasalahannya, tentu dengan bimbingan guru.

5 POSISI KONTROL RESTITUSI


Motivasi MOTIVASI EKSTERNAL MOTIVASI
INTRINSIK

IDENTITAS GAGAL IDENTITAS BERHASIL/SUKSES

PERILAKU KONTROL NEGATIF PERILAKU KONTROL POSITIF KONTROL DIRI

PENGHUKUM PEMBUAT TEMAN PEMANTAU MANAJER


ORANG MERASA
BERSALAH

Guru Menghardik Berceramah Membuatkan Menghitung dan mengukur Mengajukan


Berbuat: Menunjuk- Menunjukkan alasan-alasan pertanyaan-
nunjuk kekecewaan untuk murid- pertanyaan
Menyakiti mendalam muridnya.
Menyindir

Guru “Kalau kamu “Kamu sudah “Lakukan untuk “Apa peraturannya?” “Apa yang kita
Berkata: tidak mengecewakan Bapak/Ibu” “Apa yakini? Apa kamu
melakukannya, Ibu/Bapak” “Ya sudah nanti konsekuensinya/sanksinya?” meyakini hal
saya akan…” Bapak/Ibu “Apa yang telah kamu tersebut?”
bantu lakukan?” “Kalau kamu
bereskan” “Apa yang terjadi meyakininya,
sekarang?” kamukah kamu
memperbaikinya?”
“Kalau kami
memperbaikinya,
jadi kira-kira hal
tersebut akan
menggambarkan
apa tentang
dirimu?”

Hasilnya: Memberontak Menyembunyi- Ketergantungan Menyesuaikan bila diawasi. Menguatkan


Pendendam kan watak/karakter
Menyalahkan Menyangkal
orang lain Berbohong

Murid “Saya tidak “Maafkan “Saya pikir “Saya akan dapat berapa “Bagaimana
Berkata: peduli” saya”. Bapak/Ibu bintang kalau melakukan caranya agar saya
teman saya” hal tersebut?” bisa memperbaiki
“Jika sudah melakukan hal keadaan ini?”
tersebut, saya akan “Saya akan
mendapatkan apa?” memperbaiki
masalah ini
dengan…”

Dampak Mengulangi Rendah diri Tergantung Menitikberatkan pada Mengevaluasi diri


pada kesalahan Merasa gagal Tidak mandiri dampak pada diri sendiri, Bagaimana
Murid: berulang kali. dan tidak dan tidak bisa mendapatkan hadiah atau menjadi diri yang
Perilaku berharga memutuskan mendapatkan hukuman. lebih baik
menjadi agresif
Motivasi MOTIVASI EKSTERNAL MOTIVASI
INTRINSIK

IDENTITAS GAGAL IDENTITAS BERHASIL/SUKSES

PERILAKU KONTROL NEGATIF PERILAKU KONTROL POSITIF KONTROL DIRI

PENGHUKUM PEMBUAT TEMAN PEMANTAU MANAJER


ORANG MERASA
BERSALAH

Kaitan Murid Murid Murid Murid meletakkan guru, Murid meletakkan


dengan meletakkan meletakkan meletakkan peraturan di Dunia dirinya sebagai
Dunia guru di luar guru di dalam guru sebagai Berkualitas. individu yang
Berkualitas Dunia Dunia orang penting positif dalam
Berkualitas. Berkualitas. dalam Dunia Dunia Berkualitas.
Berkualitas.

Anda mungkin juga menyukai