1 Perubahan Paradigma
Tujuan Pembelajaran Khusus:
• dapat memahami miskonsepsi tentang kontrol dari paparan Teori
Kontrol Dr. William Glasser.
• dapat memahami dan menerapkan perubahan paradigma stimulus-
respon menjadi teori kontrol.
• dapat bersikap kritis, reflektif, dan terbuka dalam menganalisis perubahan
paradigma stimulus respon kepada teori kontrol.
Kegiatan Pemantik:
Anda dan teman Anda akan melakukan kegiatan ‘Cobalah Buka’. Tugas
Anda adalah mengepalkan salah satu tangan Anda. Coba Anda
bayangkan bahwa Anda menyimpan sesuatu yang sangat berharga di
dalam kepalan tangan Anda. Anda perlu menjaga benda tersebut sekuat
tenaga Anda karena begitu pentingnya untuk kehidupan Anda. Tugas rekan
Anda adalah mencoba dengan segala cara untuk membuka kepalan
tangan Anda. Teman Anda boleh membujuk, menghardik, menggoda,
bahkan menawari Anda dengan uang agar Anda bersedia membuka
kepalan tangan Anda.
Cobalah lakukan kegiatan ‘Cobalah Buka’ di atas dengan teman kerja Anda
secara bergantian, masing-masing akan memiliki waktu 1 menit saja. Sesudah
itu diskusikan kegiatan ini dan coba jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah
ini secara mandiri, dan diskusikan kembali dengan rekan Anda. Bandingkan
jawaban Anda, apakah berbeda, atau sama. Bilamana berbeda, kira-kira
mengapa?
• Kira-kira apakah Anda akan membuka kepalan tangan Anda dengan
bujukan, godaan, atau paksaan teman Anda? Mengapa?
• Ataukah Anda akan bertahan dan menolak membuka kepalan tangan
sampai sekuat tenaga Anda? Mengapa?
Eksplorasi Mandiri:
Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan
lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar murid-murid mampu
berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan
bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah
bentuk disiplin yang dijalankan selama ini di sekolah-sekolah kita.
Pembahasan disiplin kali ini akan meninjau teori yang dikemukakan oleh Diane
Gossen. Sebelum kita gali lebih lanjut tentang teori Disiplin Restitusi dari Diane
Gossen, mari menyamakan model berpikir kita tentang disiplin itu sendiri.
Lazimnya disiplin dikaitkan dengan kontrol. Dalam hal ini kontrol guru dalam
menghadapi murid.
Di bawah ini adalah paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, untuk
meluruskan berapa miskonsepsi tentang kontrol:
• Ilusi guru mengontrol murid.
Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu
jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun
tampaknya kita sedang mengontrol perilaku murid tersebut, hal ini
karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu
bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid
tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki
tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.
Semua orang melihat hal yang sama. Setiap orang memiliki gambaran
berbeda.
Saya bisa mengontrol orang lain. Anda tidak bisa mengontrol orang
lain.
Pertanyaan Pemantik:
Setelah memahami perbedaan teori stimulus respons dan teori kontrol pada
pembahasan sebelumnya, sekarang mari kita belajar tentang konsep disiplin positif
yang merupakan unsur utama dalam terwujudnya budaya positif yang kita cita-
citakan di sekolah-sekolah kita.
Ketika mendengar kata “disiplin”, apa yang terbayang di benak Anda? Apa
yang terlintas di pikiran Anda? Kebanyakan orang akan menghubungkan kata
disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata
“disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh
berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi
hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak
digunakan sama sekali.
Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang
dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita
cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.
mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat
kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya
terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri
sendiri)
Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi
dengan disiplin diri dari murid-murid Socrates dan Plato. Disiplin diri dapat
membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan,
sesuatu yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri juga
mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana
menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang
kita hargai.
Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa
bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka
mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Dalam
hal ini Ki Hajar menyatakan;
Referensi:
Restitution: Restructuring School Discipline, Diane Chelsom Gossen, 2001, New
View Publications, North Canada
Ki Hajar Dewantara;Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,2013,
UST-Press bekerjasama dengan Majelis Luhur Tamansiswa
Eksplorasi Mandiri
Bapak Ibu calon guru penggerak,
Mari kita tanyakan ke diri kita sendiri, bagaimana kita berperilaku? Mengapa kita
melakukan segala sesuatu? Apakah kita melakukan sesuatu karena adanya
dorongan dari lingkungan, atau ada dorongan yang lain? Terkadang kita
melakukan sesuatu karena kita menghindari rasa sakit atau ketidaknyamanan,
Terkadang kita juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang kita mau.
3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri
dengan nilai-nilai yang mereka percaya
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang
seperti apa bila saya melakukannya?. Mereka melakukan sesuatu
karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka
melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan
nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan
membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi
berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.
Pertanyaan Pemantik:
• Mengapa Keyakinan Kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja?
• Mengapa adanya Keyakinan Kelas penting untuk terbentuknya sebuah
budaya positif?
• Bagaimana mewujudkan sebuah Keyakinan Kelas yang efektif?
Pertanyaan Pemantik
Bapak Ibu calon guru penggerak, apa yang akan Anda lakukan bila,
• Dalam sebuah acara pesta ulang tahun, teman Anda memecahkan
gelas. Apakah Anda akan membiarkan dia membayar harga gelas yang
dipecahkannya?
• Anda sudah janji bertemu dengan teman Anda, namun ternyata dia juga
memiliki janji penting bertemu orang lain di tempat lain, dan Anda terpaksa
naik taksi untuk menemui teman Anda di tempat itu, apakah Anda akan
meminta teman Anda membayar biaya taksi Anda menuju ke tempat
tersebut?
• Pegawai Anda membuat kesalahan yang menyebabkan kerugian
finansial pada perusahaan, pegawai tersebut menawarkan untuk bekerja
lembur tanpa bayaran, apakah Anda sebagai pemilik perusahaan akan
menerimanya?
Eksplorasi Mandiri
Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,
Bila ada seseorang berbuat salah pada Anda, ketika mereka menawarkan
sebuah tindakan untuk memperbaiki kesalahan mereka, kemungkinan besar,
jawaban Anda adalah akan menolak semua tawaran itu, dan akan bilang,
tidak usah, tidak apa-apa. Lupakan saja.
Kebiasaan kita selama ini, bila ada orang yang berlaku salah pada kita
adalah langsung memaafkan, atau membuat mereka tidak nyaman. Kita
cenderung untuk berfokus pada kesalahan daripada mencari cara bagi
mereka untuk memperbaiki diri. Kita lebih fokus pada bagaimana cara
mereka membayar ketidaknyamanan yang disebabkan oleh kesalahan
mereka daripada mengembalikan harga diri mereka. Membuat kondisi
menjadi impas, menjadi lebih penting daripada membuat situasi menjadi
benar.
Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan
memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada
bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari
ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang
menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Sebelumnya kita
telah belajar tentang teori kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki
motivasi intrinsik.
Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan
cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang
apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka
dan mendapatkan kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban,
tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Ini sesuai
dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-
menang.
Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh ketika mereka
melakukan kesalahan, bukankah pada hakikatnya begitulah cara kita
belajar. Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih,
namun mereka juga dapat memilih untuk belajar dari pengalaman dan
membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan datang. Ketika guru
memecahkan masalah perilaku mereka, murid akan kehilangan
kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup
mereka.
Terkadang bisa juga muncul perasaan ingin balas dendam, bila orang
yang berbuat salah sebetulnya merasa tidak rela harus melakukan
sesuatu untuk menebus kesalahannya. Kalau tindakan untuk menebus
kesalahan dipahami sebagai hukuman, maka mungkin mereka berpikir
untuk membuat situasinya menjadi impas. Pembalasan seperti ini akan
berdampak jangka panjang karena konfliknya akan tetap ada.
Menebus kesalahan itu tidak salah, namun biasanya tidak membuat kita
menjadi pribadi yang lebih kuat.
Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik untuk masa
depan, mereka akan mendapatkan pelajaran yang mereka bisa pakai
terus menerus di masa depan untuk menjadi orang yang lebih baik.
Kita tidak ingin menciptakan rasa bersalah pada diri anak dengan bertanya
seperti itu. Kalau guru melihat rasa bersalah di wajah murid, maka guru harus
cepat-cepat mengatakan, “Tidak apa-apa kok berbuat salah”.
Ketika murid sudah dibimbing untuk mengeksplorasi orang seperti apa yang
mereka inginkan, guru bisa mulai bertanya tentang kejadiannya, seberapa
sering hal ini terjadi, apa yang ia lakukan, ia berada di mana. Murid tidak
akan berbohong pada guru.
Ketika murid bisa melakukan restitusi diri maka dia akan bisa mengontrol
dirinya dengan lebih baik dengan tujuan yang lebih baik pula.
Ketika Anda berhadapan dengan orang lain, dan melakukan evaluasi diri,
maka 9 dari 10 orang yang diajak bicara juga akan melakukan evaluasi diri
juga. Mungkin akan ada 1 dari 10 orang yang diajak bicara, justru akan
menggunakan kesempatan itu untuk menghukum Anda. Kalau ini terjadi,
tanyakan saja, apakah Anda mau menggunakan kesempatan ini untuk
menjelek-jelekkan saya atau Anda mau membuat situasi ini menjadi lebih
baik. Anda mau ke arah mana?
Disarikan dari Buku It’s All About WE; Rethinking Discipline using Restitution,
Third Edition, Diane Gossen, 2008
Bapak Ibu CGP,
Setelah Anda mengetahui tentang apa itu restitusi, tentunya Anda ingin
mengetahui bagaimana cara melakukanya. Diane Gossen dalam bukunya
Restitution; Restructuring School Discipline, 2001 telah merancang sebuah
tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan
proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama
segitiga restitusi/restitution triangle. Proses ini meliputi tiga tahap dan setiap
tahapnya berdasarkan pada prinsip penting dari Teori Kontrol, yaitu
Ketika seseorang merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses
bagian otak yang berfungsi untuk berpikir rasional. Saat itulah ketika kita harus
menstabilkan identitas anak. Sebelum terjadi hal-hal lain yang bisa
memperburuk keadaan, kita sebaiknya membantu anak untuk tenang dan
kembali ke suasana hati dimana proses belajar dan penyelesaian masalah
bisa dilakukan.
Tentu akan sulit melakukan restitusi bila, anak yang berbuat salah terus
berfokus pada kesalahannya. Ada 3 alasan untuk ini, pertama rasa bersalah
menguras energi. Rasa bersalah membutuhkan energi yang sama dengan
energi yang dibutuhkan untuk mencari penyelesaian masalah. Kedua, ketika
kita merasa bersalah, kita mengalami identitas kegagalan. Dalam kondisi ini,
orang akan cenderung untuk menyalahkan orang lain atau
mempertahankan diri, daripada mencari solusi. Ketiga, perasaan bersalah
membuat kita terperangkap pada masa lalu dimana kita sudah tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengontrol apa yang akan terjadi di
masa kini dan masa datang.
Sisi 2: Validasi Tindakan yang Salah/ Validate the Misbehavior
Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi
kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang
mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling
efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki
maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti
akan mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir
proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka
sikap seorang anak yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu
mendapat perhatian kita, maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut.
Kalimat-kalimat dibawah ini mungkin terdengar asing buat guru, namun bila
dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan
mereka.
• “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”
• “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”
• “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi
sesuatu yang penting buatmu”.
• “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan
sikap yang baru.”
Biasanya guru menyuruh anak untuk menghentikan sikap yang tidak baik, tapi
teori kontrol menyatakan bahwa resep itu tidak manjur. Mungkin tindakan
guru dengan memvalidasi sikap yang tidak baik seperti bertentangan dengan
aturan yang ada.
Para guru yang telah menerapkan strategi ini mengatakan bahwa anak-anak
yang tadinya tidak terjangkau, menjadi lebih terbuka pada mereka. Strategi
ini menguntungkan bagi murid dan guru karena guru akan berada dalam
posisi siswa, dan karena itu akan memiliki perspektif yang berbeda.
Sisi Ketiga: Menanyakan Keyakinan/Seek the Belief
Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara
internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku
yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk
dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi
orang yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini
menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.
• Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?
• Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?
• Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?
• Kamu mau jadi orang yang seperti apa?
Pertanyaan Pemantik:
Ibu Ambar, guru wali kelas kelas 2A di SD Pelita Hati, sedang bingung
menghadapi ulah salah satu murid di kelasnya, Doni. Beberapa anak di kelas
2A telah datang padanya dan mengeluhkan Doni yang seringkali meminta
bekal makan siang mereka dengan paksa. Jika Anda menghadapi situasi
seperti Ibu Ambar, apa yang akan anda lakukan? Menurut anda, kira-kira apa
alasan Doni melakukan hal itu?
Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah
usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita
mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi
satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan
hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan
(freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seorang murid
melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau
melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi
kebutuhan dasar mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat satu persatu kelima
kebutuhan dasar ini.
Kebutuhan Bertahan Hidup
Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis
untuk bertahan hidup misalnya kesehatan, rumah, dan makanan. Seks
sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk tetap
bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini meliputi kebutuhan
akan perasaan aman. Dalam kasus Doni di atas, apabila jawaban Doni ketika
ditanya oleh Ibu Ambar adalah karena ia lapar dan orangtuanya tidak
membawakannya bekal makan siang, maka kebutuhan dasar yang sedang
berusaha dipenuhi oleh Doni, adalah kebutuhan untuk bertahan hidup
(survival).
Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar cinta dan kasih sayang yang tinggi
biasanya ingin disukai dan diterima oleh lingkungannya. Mereka juga akrab
dengan orang tuanya. Biasanya mereka belajar karena suka pada gurunya.
Bagi mereka, teman sebaya sangatlah penting. Mereka juga biasanya suka
bekerja dalam kelompok.
Dalam kasus diatas, apabila Doni menjawab bahwa alasannya mengambil
bekal temannya karena dia merasa senang temannya jadi memperhatikan
dia. Ketika temannya melaporkan tindakannya itu pada gurunya, dan
gurunya memberitahu orang tuanya, sehingga orang tuanya jadi
memperhatikan dia, maka kebutuhan dasar yang sedang dipenuhi Doni
adalah kebutuhan akan cinta dan kasih sayang.
Bagaimana Bapak Ibu, apakah sekarang sudah paham perbedaan dari kelima
kebutuhan dasar? Glasser menyatakan bahwa kapasitas untuk berubah ada di
dalam diri kita. Jika kita dapat mengidentifikasi kebutuhan apa yang mendorong
perilaku kita, maka perubahan perilaku positif dapat dimulai dengan mencari solusi
untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara yang positif daripada cara yang
negatif.
Dunia Berkualitas
Pertanyaan Pemantik:
Bacalah kasus-kasus di bawah ini, dan cobalah jawab pertanyaan-
pertanyaan yang tersedia:
• Tisa dan Hana dipanggil masuk ke ruangan Ibu Dewi, kepala sekolah SMA
Makmur. Ibu Dewi baru saja mendapatkan pengaduan dari ibunda Tisa,
bahwa Hana menggunakan kata-kata kasar, dan merendah-rendahkan
Tisa di sosial media.
• Anto jarang sekali hadir di pembelajaran jarak jauh, dan pada saat hadir
pun, Anto seringkali menggunakan kata-kata kasar di kolom chat
mengejek teman-temannya. Hal ini sudah sangat mengganggu dan
beberapa orang tua murid yang mengikuti pembelajaran daring
mengeluhkan tentang perilaku Anto di pembelajaran jarak jauh.
Bila Anda adalah guru, penerapan disiplin apakah yang akan Anda lakukan
untuk kasus Hana dan kasus Anto? Mengapa?
Bahas dengan rekan CGP Anda, dan bandingkan jawaban Anda, apakah
berbeda, atau sama? Bila berbeda, utarakan masing-masing pandangan
Anda.
Pembuat Orang Merasa Bersalah: pada posisi ini biasanya guru akan bersuara
lebih lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan menggunakan
keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau
rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:
“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”
“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”
“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka,
murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang
disayanginya.
Teman: Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap
berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa
negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin
antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik
dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:
“Ayo bantulah, demi bapak ya?”
“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak
membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu
teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha, Hal
lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru
tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru
tersebut.
Monitor/Pemantau: Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi,
kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi
pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan
menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi
kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau.
Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya apa?”
“Apa yang telah kamu lakukan?”
“Sanksi atau konsekuensinya apa?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data
yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan
menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi monitor sendiri berawal
dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam
mengontrol murid.
Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi mentor di mana guru berbuat
sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid
mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat
menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah
memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan
demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi
tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita
menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita
perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang
manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis
kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan
pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi
dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang
manajer akan berkata:
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
“Apakah kamu meyakininya?”
“Jika kamu menyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”
“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”
“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita
membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer
bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid
tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke
posisi Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak
berdiskusi atau diundang melakukan restitusi. Namun perlu disadari tujuan
akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di
mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan
bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya
dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.
Di bawah ini adalah contoh peragaan yang dikutip dari Yayasan Pendidikan
Luhur (2007) di mana ada seorang murid yang melanggar suatu peraturan
sekolah. Selanjutnya ada dialog antara seorang guru dengan murid tersebut,
serta bagaimana guru tersebut menjalankan disiplin dengan menggunakan
kelima posisi kontrol untuk kasus yang sama:
Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk
menghardik):
“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat
waktu?”
Tanyakan kepada diri Anda:
Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu pada saat muridnya datang
terlambat?
Akibat:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah
kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih
buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan
menggores kendaraan tersebut dengan paku.
Pembuat orang lain merasa bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh:
merapat pada anak, lesu):
“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat lagi.
Kamu kenapa ya senang sekali mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali.”
Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara ini?
Akibat:
Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya.
Murid akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang
lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena emosi
akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak seperti murid dalam
dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan amarahnya walaupun
dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa meletus amarahnya,
dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.
Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid,
mata dan senyum jenaka)
“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa
terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana. Nanti
Pak Guru bantu. Kamu ini.” (sambil senyum-senyum).
Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini?
Akibat:
Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif,
hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada masalah,
dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain dari posisi
teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang menyuruh adalah guru tersebut, dan
belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang lain.
Pemantau (nada suara datar, bahasa tubuh yang formal): Guru: “Adi, tahukah kamu jam
berapa kita memulai?”
Adi: “Tahu Pak!”
Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti apa yang harus dilakukan
bila terlambat?”
Adi: “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan mengerjakan
tugas ketertinggalan saya.”
Guru: “Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus sudah di kelas untuk
menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Akibat:
Murid memahami sanksi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah satu
peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah
atau membuat merasa berbuat salah. Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu dengan
harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan tugas. Guru tetap harus
memonitor atau memantau murid pada saat mengerjakan tugas di jam istirahat karena
murid tidak bisa ditinggal seorang diri.
Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid):
Guru: “Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah dimulai?”
Adi: “Tahu Pak, jam 7:00!”
Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah
ini?”
Adi: “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal.”
Guru: “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa
hadir tepat waktu ke sekolah?”
Adi: “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu.”
Guru: “Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu
meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak pinggang, atau
bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan murid ataupun
bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.
Fokus adalah pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid sudah
mengetahui adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil posisi
Pemantau, guru akan melihat apa sanksinya apa peraturannya? Namun pada posisi
Manajer, guru akan mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan
keluar permasalahannya, tentu dengan bimbingan guru.
Guru “Kalau kamu “Kamu sudah “Lakukan untuk “Apa peraturannya?” “Apa yang kita
Berkata: tidak mengecewakan Bapak/Ibu” “Apa yakini? Apa kamu
melakukannya, Ibu/Bapak” “Ya sudah nanti konsekuensinya/sanksinya?” meyakini hal
saya akan…” Bapak/Ibu “Apa yang telah kamu tersebut?”
bantu lakukan?” “Kalau kamu
bereskan” “Apa yang terjadi meyakininya,
sekarang?” kamukah kamu
memperbaikinya?”
“Kalau kami
memperbaikinya,
jadi kira-kira hal
tersebut akan
menggambarkan
apa tentang
dirimu?”
Murid “Saya tidak “Maafkan “Saya pikir “Saya akan dapat berapa “Bagaimana
Berkata: peduli” saya”. Bapak/Ibu bintang kalau melakukan caranya agar saya
teman saya” hal tersebut?” bisa memperbaiki
“Jika sudah melakukan hal keadaan ini?”
tersebut, saya akan “Saya akan
mendapatkan apa?” memperbaiki
masalah ini
dengan…”