Anda di halaman 1dari 70

Bapak/Ibu CGP, Eksplorasi konsep untuk Budaya positif terdiri

dari beberapa bagian yaitu.


2.1. Perubahan Paradigma -Stimulus Respon lawan Teori
Kontrol
CGP dapat memahami miskonsepsi tentang kontrol dan
selanjutnya mengadakan perubahan paradigma stimulus-respon
menjadi teori kontrol. CGP juga melakukan refleksi atas
penerapan praktik disiplin yang dijalankan di sekolahnya.
2.2. Arti Disiplin dan 3 Motivasi Perilaku Manusia
CGP dapat memahami konsep disiplin positif dihubungkan
dengan teori motivasi perilaku manusia, serta konsep motivasi
internal dan eksternal.
2.3. Keyakinan Kelas, Hukuman dan Penghargaan
CGP dapat memahami pentingnya memiliki keyakinan kelas
sebagai fondasi dan arah tujuan sebuah sekolah/kelas, yang akan
menjadi landasan dalam memecahkan konflik atau permasalahan
di dalam sebuah sekolah/kelas, yang pada akhirnya akan
menciptakan budaya positif.
2.4. Lima (5) Kebutuhan Dasar Manusia
CGP memahami bahwa setiap tindakan murid dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan dasar mereka yang berbeda-beda dan agar
menjadi individu yang selamat dan bahagia, kebutuhan dasar
harus terpenuhi secara positif. CGP memahami bahwa kebutuhan
dasar dapat dipenuhi dengan cara positif atau negatif oleh karena
itu peran guru adalah memberdayakan anak agar dapat memenuhi
kebutuhannya secara positif.
2.5 Lima (5) Posisi Kontrol
CGP dapat melakukan refleksi atas praktik disiplin yang
dijalankan selama ini dan dampaknya untuk murid-muridnya.
CGP dapat mengetahui dan menerapkan disiplin restitusi di posisi
Monitor dan Manajer agar dapat menciptakan lingkungan positif,
aman, dan nyaman dan dapat menghasilkan murid-murid yang
lebih mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab.
2.6 - Segitiga Restitusi
CGP memahami dan menerapkan restitusi melalui tahapan dalam
segitiga restitusi sebagai salah satu cara menanamkan disiplin
positif pada murid sebagai bagian dari budaya positif di sekolah
agar menjadi murid merdeka.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


o CGP dapat memahami miskonsepsi tentang kontrol dari
paparan Teori Kontrol Dr. William Glasser.
o CGP dapat memahami dan menerapkan perubahan
paradigma stimulus-respon menjadi teori kontrol.
o CGP dapat bersikap kritis, reflektif, dan terbuka dalam
menganalisis perubahan paradigma stimulus respon kepada
teori kontrol.
Kegiatan Pemantik:
Anda dan teman Anda akan melakukan kegiatan ‘Cobalah
Buka’.
Tugas Anda adalah mengepalkan salah satu tangan Anda. Coba
Anda bayangkan bahwa Anda menyimpan sesuatu yang sangat
berharga di dalam kepalan tangan Anda. Anda perlu menjaga
benda tersebut sekuat tenaga Anda karena begitu pentingnya
untuk kehidupan Anda.
Tugas rekan Anda adalah mencoba dengan segala cara untuk
membuka kepalan tangan Anda. Teman Anda boleh membujuk,
menghardik, menggoda, bahkan menawari Anda dengan uang
agar Anda bersedia membuka kepalan tangan Anda.
Cobalah lakukan kegiatan ‘Cobalah Buka’ di atas dengan teman
kerja Anda secara bergantian, masing-masing akan memiliki
waktu 1 menit saja. Sesudah itu diskusikan kegiatan ini dan coba
jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini secara mandiri, dan
diskusikan kembali dengan rekan Anda.
o Kira-kira apakah Anda akan membuka kepalan tangan Anda
dengan bujukan, godaan, atau paksaan teman Anda?
Mengapa?
o Ataukah Anda akan bertahan dan menolak membuka
kepalan tangan sampai sekuat tenaga Anda? Mengapa?
Bandingkan jawaban Anda, apakah berbeda, atau sama.
Bilamana berbeda, kira-kira mengapa?
Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu
menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar
murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan
merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab. Salah satu strategi
yang perlu ditinjau ulang adalah bentuk disiplin yang dijalankan
selama ini di sekolah-sekolah kita. Pembahasan disiplin kali ini
akan meninjau teori yang dikemukakan oleh Diane Gossen.
Sebelum kita gali lebih lanjut tentang teori Disiplin Restitusi dari
Diane Gossen, mari menyamakan model berpikir kita tentang
disiplin itu sendiri. Lazimnya disiplin dikaitkan dengan kontrol.
Dalam hal ini kontrol guru dalam menghadapi murid.
Di bawah ini adalah paparan Dr. William Glasser dalam Control
Theory, untuk meluruskan berapa miskonsepsi tentang kontrol:

Ilusi guru mengontrol murid.


Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat
sesuatu jikalau murid tersebut memilih untuk tidak
melakukannya. Walaupun tampaknya kita sedang mengontrol
perilaku murid tersebut, hal ini karena murid tersebut sedang
mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru
menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori
Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan,
bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai
Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.
Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol.
Segala usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu
perilaku tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid
tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan murid
tersebut akan menyadarinya dan mencoba untuk menolak
bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung
pada pendapat sang guru untuk berusaha.
Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah
dapat menguatkan karakter.
Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid
menuju pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk
tentang diri mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang
negatif. Kadang kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi
bahwa mereka melakukan perilaku ini, karena seringkali guru
cukup menggunakan suara halus untuk menyampaikan pesan
negatif.
Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.
Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki
tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal
tertentu. Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama ada
sebuah kemajuan berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada
saat itu pula, orang dewasa akan menyadari bahwa perilaku
memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang, dan
sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.
Bagaimana seseorang bisa berubah dari paradigma Stimulus-
Respon kepada pendekatan teori Kontrol? Stephen R. Covey
(Principle-Centered Leadership, 1991) mengatakan bahwa,
“..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit,
ubahlah sikap atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin
memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah
kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia,
bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma
Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu
tentang realitas”.
Use left and right arrow to change slide in that direction whenever
canvas is selected.
Tujuan Pembelajaran Khusus:
o CGP dapat memahami konsep disiplin positif dihubungkan
dengan teori motivasi perilaku manusia.
o CGP dapat memahami konsep teori motivasi manusia
dihubungkan dengan konsep motivasi internal dan eksternal.
o CGP dapat bersikap reflektif, kritis, kreatif, dan terbuka
dalam menganalisis motivasi yang dimiliki oleh CGP sendiri
menurut teori motivasi perilaku manusia.

Pertanyaan Pemantik:
o Bagaimana cara membuat murid disiplin?
o Siapakah yang bisa mendisiplinkan murid?
o Apakah guru yang bisa mendisiplinkan murid? Atau Kepala
Sekolah? Atau orangtua murid? Atau murid itu
sendiri? Mengapa?

Bapak dan Ibu calon guru penggerak,


Setelah memahami perbedaan teori stimulus respons dan teori
kontrol pada pembahasan sebelumnya, sekarang mari kita belajar
tentang konsep disiplin positif yang merupakan unsur utama
dalam terwujudnya budaya positif yang kita cita-citakan di
sekolah-sekolah kita.
Kebanyakan guru, sangat tertarik dengan topik pembahasan
tentang disiplin. Mereka berpendapat bahwa kalau saja anak-anak
bisa disiplin, pasti mereka akan bisa belajar. Para guru juga
berpendapat bahwa mendisiplinkan anak-anak adalah bagian
yang paling menantang dari pekerjaan mereka. Bagaimana
dengan Bapak/Ibu CGP? Apakah Anda memiliki pendapat yang
sama?

Marilah kita baca artikel di bawah ini:


Makna Kata Disiplin
Ketika mendengar kata “disiplin”, apa yang terbayang di benak
Anda? Apa yang terlintas di pikiran Anda? Kebanyakan orang
akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib, teratur, dan
kepatuhan pada peraturan. Kata “disiplin” juga sering
dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda,
karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi
hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau
perlu tidak digunakan sama sekali.
Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi
sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk
mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata
‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa
“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat.
Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita
sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu
sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self
discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan
peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang
merdeka.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap
Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)
Disitu Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan
atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan
murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin
yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang
memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi
internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan
kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari
dalam diri kita sendiri.
Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah:
mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga
kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak
hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat
memerintah diri sendiri)
Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen
dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. Diane
menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa
Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga
berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau
murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut,
seseorang harus paham betul alasan mengapa mereka mengikuti
suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga motivasi yang
terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga
berkonotasi dengan disiplin diri dari murid-murid Socrates dan
Plato. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali
potensinya menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai
dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri juga mempelajari
bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai
diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang
kita hargai.
Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti
mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya
karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai
kebajikan universal. Dalam hal ini Ki Hajar menyatakan;
“...pertanggungjawaban atau verantwoordelijkheld itulah selalu
menjadi sisihannya hak atau kewajiban dari seseorang yang
pegang kekuasaan atau pimpinan dalam umumnya. Adapun
artinya tidak lain ialah orang tadi harus
mempertanggungjawabkan dirinya serta tertibnya laku diri dari
segala hak dan kewajibannya.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap
Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 469)
Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang
memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan
mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki
motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.

Referensi:
Restitution: Restructuring School Discipline, Diane Chelsom
Gossen, 2001, New View Publications, North Canada
Ki Hajar Dewantara; Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap
Merdeka,2013, UST-Press bekerjasama dengan Majelis Luhur
Tamansiswa
Bapak dan Ibu calon guru penggerak,

Indah sekali bukan pemikiran-pemikiran tentang konsep disiplin


di atas. Mari kita bayangkan alangkah indahnya ketika tercipta
masyarakat yang bisa saling belajar, yang saling merasa terikat
dan terhubungkan satu sama lain; karena masyarakat seperti itu
akan mengambil tanggung jawab untuk pembelajarannya,
senantiasa selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Itulah tujuan dari disiplin diri.

Bapak Ibu calon guru penggerak,


Mari kita tanyakan ke diri kita sendiri, bagaimana kita
berperilaku? Mengapa kita melakukan segala sesuatu? Apakah
kita melakukan sesuatu karena adanya dorongan dari lingkungan,
atau ada dorongan yang lain? Terkadang kita melakukan sesuatu
karena kita menghindari rasa sakit atau ketidaknyamanan,
Terkadang kita juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa
yang kita mau.
Bagaimana menurut Anda? Pernahkah Anda melakukan sesuatu
untuk mendapat senyuman dari orang lain? Untuk mendapat
hadiah? Atau untuk mendapatkan uang? Apa lagi kira-kira alasan
orang melakukan sesuatu?
Untuk mengetahui lebih jauh lagi mengenai motivasi
manusia, mari kita baca artikel ini:
3 Motivasi Perilaku Manusia

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline,


menyatakan ada 3 alasan motivasi perilaku manusia:
1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia.
Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari
hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan
terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka
sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan
berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak
terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan
tindakan tersebut.
2. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang
lain.
Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang
berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari
orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang
akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka
melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang
lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam
dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk
mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan.
3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan
menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka
percaya
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang
yang seperti apa bila saya melakukannya?. Mereka melakukan
sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan
mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang
melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah
motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif
karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan
eksternal.
Pernahkan Anda berada dalam sebuah situasi dimana anda
sengaja melakukan sesuatu yang menyakitkan bagi anda, bahkan
bertabrakan dengan penghargaan dari orang lain? Mengapa anda
tetap memilih melakukannya padahal anda tahu akibatnya akan
menyakitkan, anda mungkin akan dikecam secara sosial, bahkan
ada kerugian secara finansial? Apa prinsip-prinsip yang anda
perjuangkan dan anda lindungi? Saat itu, anda sedang menjadi
orang yang seperti apa?
Bapak Ibu calon guru penggerak,
Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang
ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang
mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai
yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki motivasi
tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang
berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh
pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku
baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin
menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka
hargai.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara kita sebagai
guru untuk menanamkan disiplin positif yang positif ini
kepada murid-murid kita?
Tujuan Pembelajaran Khusus:
o CGP dapat memahami pentingnya memiliki keyakinan kelas
sebagai fondasi dan arah tujuan sebuah sekolah/kelas, yang
akan menjadi landasan dalam memecahkan konflik atau
permasalahan di dalam sebuah sekolah/kelas.
o CGP dapat memahami proses pembentukan dari peraturan-
peraturan beralih ke keyakinan kelas.
o CGP akan dapat berpikir kritis, kreatif, reflektif, dan terbuka
dalam menggali nilai keyakinan-keyakinan pada lingkungan
mereka masing-masing.
Pertanyaan Pemantik:
o Mengapa Keyakinan Kelas, mengapa tidak peraturan kelas
saja?
o Mengapa adanya Keyakinan Kelas penting untuk
terbentuknya sebuah budaya positif?
o Bagaimana mewujudkan sebuah Keyakinan Kelas yang
efektif?
Bapak dan Ibu para calon guru penggerak,
Setiap tindakan atau perilaku yang kita lakukan di dalam kelas
dapat menentukan terciptanya sebuah lingkungan positif.
Perilaku warga kelas tersebut menjadi sebuah kebiasaan, yang
akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Untuk terbentuknya
budaya positif pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati
keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara
para warga kelas. Hal ini berkaitan dengan modul 1.2 dan modul
1.3 yang membahas tentang nilai-nilai kebajikan dan visi sebuah
sekolah yang perlu ada untuk menentukan arah tujuan dari sebuah
institusi/sekolah. Penyatuan pemikiran untuk mendapatkan nilai-
nilai kebajikan serta visi sekolah tersebut kemudian diturunkan di
kelas-kelas menjadi keyakinan kelas yang disepakati bersama.

Mengapa keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas


saja?
Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan
tentang penggunaan helm pada saat mengendarai kendaraan roda
dua/motor?” Kemungkinan jawaban Anda adalah untuk
‘keselamatan’. Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita
memiliki peraturan tentang penggunaan masker dan mencuci
tangan setiap saat?” Mungkin jawaban Anda adalah “untuk
kesehatan dan/atau keselamatan”.
Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut
sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-
prinsip universal yang disepakati bersama secara universal, lepas
dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Menurut
Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang
dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan
lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan
keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian
peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka perlu
mendengarkan dan mendalami tentang suatu keyakinan, daripada
hanya mendengarkan peraturan-peraturan yang mengatur mereka
harus berlaku begini atau begitu.

Pembentukan Keyakinan Kelas:


o Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan,
yang lebih rinci dan konkrit.
o Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
o Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk
positif.
o Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga
mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.
o Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di
lingkungan tersebut.
o Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam
pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
o Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke
waktu.

Lihatlah beberapa peraturan yang tercantum di bawah ini!


Tuliskan keyakinan kelas atau nilai kebajikan yang dituju dari
peraturan yang tercantum di bagian sisi kiri. Adapun nilai-nilai
kebajikan yang diterima secara universal lepas dari latar belakang
budaya, bahasa, suku bangsa, maupun agama berupa hal-hal
seperti keadilan, kehormatan, peduli, integritas, kejujuran,
pelayanan, keamanan, kesabaran, tanggung jawab, mandiri,
berprinsip, keselamatan, kesehatan, dan masih banyak lagi nilai-
nilai kebajikan universal. Peraturan-peraturan yang tercantum di
sisi kiri tidak terbatas pada peraturan yang ditemui di kelas atau
sekolah, namun peraturan yang biasa kita temui di sekeliling kita.
Prosedur Pembentukan Keyakinan Kelas:
1. Mempersilakan murid-murid di kelas untuk bercurah
pendapat tentang peraturan yang perlu disepakati di kelas.
2. Mencatat semua masukan-masukan para murid di papan
tulis atau di kertas besar (kertas ukuran poster), di mana
semua anggota kelas bisa melihat hasil curah pendapat.
3. Susunlah keyakinan kelas sesuai prosedur ‘Pembentukan
Keyakinan Kelas’. Gantilah kalimat-kalimat dalam bentuk
negatif menjadi positif.
Contoh
Kalimat negatif : Jangan berlari di kelas atau koridor.
Kalimat positif: Berjalanlah di kelas atau koridor.
4. Tinjau kembali daftar curah pendapat yang sudah dicatat.
Anda mungkin akan mendapati bahwa pernyataan yang
tertulis di sana masih banyak yang berupa peraturan-
peraturan. Selanjutnya, ajak murid-murid untuk menemukan
nilai kebajikan atau keyakinan yang menjadi inti dari
peraturan tersebut. Contoh: Berjalan di kelas, Dengarkan
Guru, Datanglah tepat waktu bisa disarikan menjadi 1
Keyakinan, yaitu keyakinan untuk Saling Menghormati atau
nilai kebajikan Hormat. Keyakinan inilah yang dijadikan
daftar untuk disepakati. Kegiatan ini juga merupakan
peralihan dari bentuk peraturan ke keyakinan kelas.
5. Tinjau ulang Keyakinan Kelas secara bersama-sama.
Seharusnya setelah beberapa peraturan telah disatukan
menjadi beberapa keyakinan maka jumlah butir pernyataan
keyakinan akan berkurang. Sebaiknya keyakinan kelas tidak
terlalu banyak, bisa berkisar antara 3-7 prinsip/keyakinan.
Bilamana terlalu banyak, maka warga kelas akan sulit
mengingatnya.
6. Setelah keyakinan kelas selesai dibuat, maka semua warga
kelas dipersilakan meninjau ulang, dan menyetujuinya
dengan menandatangani keyakinan kelas tersebut, termasuk
guru dan semua murid.
7. Keyakinan Kelas selanjutnya bisa dilekatkan di dinding
kelas di tempat yang mudah dilihat semua warga kelas.
Agar semua warga kelas dapat memahami setiap pernyataan yang
telah tercantum dalam keyakinan kelas, maka selama seminggu
di awal tahun ajaran baru dapat didedikasikan untuk pendalaman
setiap keyakinan dengan berbagai kegiatan.

a) Kegiatan Tampak Seperti/Tidak Tampak Seperti:


Anggota kelas dibagi menjadi beberapa kelompok, dan setiap
kelompok diberikan kertas. Salah satu anggota kelompok
membuat hurut T kapital yang besar (Tabel T). Guru memberikan
salah satu ‘keyakinan kelas’ kepada setiap kelompok. Dua
kelompok bisa mendapatkan keyakinan yang sama bila ada 10
kelompok. Selanjutnya setiap kelompok diminta untuk bercurah
pendapat tentang keyakinan tersebut, tampak seperti apa, tampak
tidak seperti apa. Kemudian hasil curah pendapat setiap
kelompok dipresentasikan pada kelompok besar, dan kertasnya
ditempel di sekeliling dinding kelas untuk dapat dilihat setiap
warga kelas agar menguatkan pemahaman.
Contoh
Tampak Seperti/Tidak Tampak Seperti (Tabel T) dari Keyakinan
Kelas 7:
Salah satu kegiatan lain yang dapat dilakukan untuk
memperdalam keyakinan kelas, adalah mempelajari tanggung
jawab setiap warga kelas. Keyakinan bertanggung jawab serta
hak seseorang adalah sesuatu yang diungkapkan oleh Ki Hadjar
Dewantara tentang menumbuhkan murid yang merdeka:
“...beratlah kemerdekaan itu! bukan hanya tidak terperintah saja,
akan tetapi harus juga dapat menegakkan dirinya dan mengatur
perikehidupannya dengan tertib. dalam hal ini termasuklah juga
mengatur tertibnya perhubungan dengan kemerdekaan orang lain
(Ki Hadjar Dewantara, buku kuning, hal.4.)
Pada pekan pendalaman Keyakinan Kelas, maka murid-murid
dapat diajak berdiskusi tentang tanggung jawab dan hak masing-
masing warga kelas, yaitu apa Tugas Guru dan Bukan Tugas Guru
serta Apa Tugas Murid atau Bukan Tugas Murid. Berikut adalah
langkah yang dapat dilakukan dalam mendiskusikan hal tersebut:
1. Guru akan membuat bagan berisi 4 kotak.
2. Masing-masing kotak diisi judul: Guru-Tugasnya..., Murid-
Tugasnya..., Guru-Tugasnya Bukan.., Murid-Tugasnya
Bukan...
3. Guru bercurah pendapat dengan dua cara:
- Mengajak murid berpendapat secara individu, atau
- Membagi murid dalam 4 atau 8 kelompok, dan setiap
kelompok diberikan tugas bercurah pendapat tentang
masing-masing tugas/bukan tugas guru maupun murid.
4. Hasil dari curah pendapat Tugas Saya-Tugas Kamu ditempel
di dinding kelas agar dapat dilihat seluruh warga kelas
Tugas Anda
Coba Anda lakukan kegiatan Tugas Saya-Tugas Kamu dengan
murid-murid di sekolah Anda, atau bisa juga dilakukan dengan
anak-anak Anda di rumah (menjadi: Tugas Orang Tua-Tugas
Anak). Bercurah pendapat tentang tugas masing-masing warga
kelas atau rumah untuk membangun lingkungan positif yang
aman dan nyaman, yang selanjutnya menjadi suatu budaya
positif.

Dalam menjalankan peraturan ataupun keyakinan kelas,


bilamana ada suatu pelanggaran, tentunya sesuatu harus terjadi.
Untuk itu kita perlu meninjau ulang penerapan penegakan
peraturan atau keyakinan kelas kita selama ini. Penerapan
terhadap suatu pelanggaran bisa dalam bentuk hukuman atau
sanksi, atau berupa Restitusi. Namun sebelum kita melangkah
kepada penerapan Restitusi, kita perlu bertanya adakah perbedaan
antara hukuman dan Sanksi? Bila sama, di mana persamaannya?
Bila berbeda, bagaimana perbedaannya? Perlu ditambahkan
bahwa bentuk sanksi untuk lingkungan pendidikan disesuaikan
menjadi konsekuensi. Pemahaman konsekuensi adalah bahwa
dalam setiap tindakan atau perbuatan, pasti akan berkonsekuensi,
baik atau kurang baik. Di bawah ini akan ditunjukkan bagan
perbedaan hukuman dan konsekuensi serta restitusi.
Bila kita melihat bagan di bawah ini, disiplin merupakan identitas
berhasil (sukses) dan hukuman merupakan identitas gagal.
Disiplin di sini terbagi dua bagian yaitu Disiplin dengan
Sanksi/Konsekuensi dan Disiplin dengan Restitusi, yang
selanjutnya akan dijelaskan dengan lebih rinci di bagian 2.5 dan
2.6.
Use left and right arrow to change slide in that direction whenever
canvas is selected.
Berdasarkan bagan di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa
hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid
tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman
bersifat satu arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid
hanya menerima suatu hukuman tanpa suatu diskusi atau
pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya.
Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun verbal dan
murid disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata.
Sementara disiplin dengan bentuk sanksi atau konsekuensi, sudah
terencana atau sudah disepakati. Sudah dibahas dan disetujui oleh
murid dan guru. Biasanya pembentukan sanksi atau konsekuensi
dibentuk oleh pihak guru (sekolah), dan murid sudah mengetahui
sanksi/konsekuensi yang akan diterima. Pada sanksi/konsekuensi,
murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek.
Konsekuensi atau sanksi biasanya diberikan berdasarkan suatu
pengukuran, misalnya: setelah 3 kali ditegur di kelas oleh guru
karena tugasnya belum selesai, atau mengobrol, maka murid akan
kehilangan waktu bermain, dan harus menyelesaikan tugas karena
ketertinggalannya. Peraturan ini sudah diketahui oleh murid dan
diketahui sebelumnya. Guru senantiasa perlu memonitor murid.

Pertanyaan Pemantik:
Bacalah kasus Ibu Anas di bawah ini dan cobalah jawab
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan
Ibu Anas guru kelas 2 SD, mendapatkan masalah. Murid-
muridnya tidak bisa tertib berdiri antri di depan pintu kelas, dan
selalu berebutan masuk ke dalam kelas setelah jam istirahat usai.
Ini tentunya sangat mengganggu proses pembelajaran dimana
kelas tidak dapat mulai tepat waktu karena Ibu Anas sibuk
menenangkan murid-muridnya untuk waktu cukup lama.
Akhirnya Bu Anas berpikir cepat, dan mengandalkan stiker
bintang. Setiap murid-muridnya akan masuk kelas usai jam
istirahat, Bu Anas akan mengiming-imingi murid-muridnya
dengan stiker bintang. “Siapa yang dapat berdiri lurus dan rapi
antre di depan pintu, dapat bintang dari Bu Anas!” Sebagian
murid-muridnya menyambut tantangan tersebut, dan langsung
berdiri rapi di depan pintu diikuti teman-temanya yang lain, agar
mendapatkan stiker bintang. Hal ini terus dilakukan Bu Anas
selama beberapa minggu, karena cukup berhasil membuat murid-
muridnya berdiri rapi antre di depan pintu. Sampai pada suatu saat
Bu Anas sakit, dan terpaksa digantikan Pak Heru. Pak Heru tidak
mengetahui tentang stiker bintang, dan benar saja, pada saat mau
masuk ke kelas usai jam istirahat murid-murid kelas 2 kembali
berebutan masuk kelas, tanpa antri, karena Pak Heru tidak
memberikan stiker bintang.
Jawablah ketiga pertanyaan ini, dan berilah minimal 2 tanggapan
terhadap jawaban rekan Anda.
o Menurut Anda apa yang terjadi pada cerita Ibu Anas dengan
murid kelas 2?
o Berdasarkan teori motivasi yang telah Anda pelajari pada
pembelajaran 2.2, kira-kira apa motivasi murid-murid kelas
2 untuk bersedia berdiri antri sebelum masuk kelas?
o Adakah cara lain agar murid kelas 2 bersedia antre di depan
kelas tanpa diberi penghargaan stiker bintang?

Alfie Kohn (Punished by Rewards, 1993, Wawancara ASCD


Annual Conference, Maret 1995) mengemukakan baik
penghargaan maupun hukuman, adalah cara-cara mengontrol
perilaku seseorang yang menghancurkan potensi untuk
pembelajaran yang sesungguhnya. Menurut Kohn, secara ideal
tindakan belajar itu sendiri adalah penghargaan sesungguhnya.
Kohn selanjutnya juga mengemukakan beberapa alasan mengapa
penghargaan justru sama seperti menghukum seseorang.
Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang
o Penghargaan berlaku untuk mendapatkan seseorang
melakukan sesuatu dalam jangka waktu pendek.
o Jika kita menggunakan penghargaan lagi, dan lagi, maka
orang tersebut akan bergantung pada penghargaan yang
diberikan, serta kehilangan motivasi dari dalam.
o Jika kita mendapatkan penghargaan untuk melakukan
sesuatu yang baik, maka selain kita senantiasa berharap
mendapatkan penghargaan tersebut lagi, kita pun menjadi
tidak menyadari tindakan baik yang kita lakukan.
Penghargaan Tidak Efektif
o Suatu penghargaan adalah suatu benda atau peristiwa yang
diinginkan, yang dibuat dengan persyaratan: Hanya jika
Anda melakukan hal ini, Anda akan mendapatkan
penghargaan yang diinginkan.
o Jika saya mengharapkan suatu penghargaan dan tidak
mendapatkannya, maka saya akan kecewa dan berkecil hati,
serta kemungkinan lain kali saya tidak akan berusaha sekeras
sebelumnya.
o Jika kita memberikan seseorang suatu penghargaan untuk
melakukan sesuatu, maka kita harus terus menerus
memberikan penghargaan itu jika kita ingin orang tersebut
meneruskan perilaku yang kita inginkan.
o Orang yang berusaha berhenti merokok, atau orang yang
berusaha diet menguruskan badan bila diberikan
penghargaan tidak akan berhasil.
Penghargaan Merusak Hubungan
o Ketika seorang diberi penghargaan atau dipuji di depan
orang banyak, maka yang lain akan merasa iri, dan sebagian
dari mereka akan tidak menyukai orang yang diberikan
penghargaan tersebut.
o Jika seorang guru sering memberikan penghargaan kepada
murid-muridnya, besar kemungkinan murid-muridnya
termotivasi hanya untuk menyenangkan gurunya. Mereka
tidak akan bersikap jujur kepada guru tersebut.
o Penghargaan menciptakan persaingan di dalam kelas, dan
persaingan menciptakan kecemasan.
o Mereka yang percaya bahwa mereka tidak memiliki
kesempatan untuk mendapatkan penghargaan akan berhenti
mencoba.

Penghargaan Mengurangi Ketepatan


Riset I: Dalam sebuah percobaan, sekelompok anak laki-laki
berusia sekitar 9 tahun diminta untuk melihat gambar-gambar
wajah yang ditampilkan di layar, dan mereka harus
memberitahukan jika wajah-wajah tersebut sama atau berbeda.
Gambar-gambar tersebut hampir sama. Beberapa dari mereka
diberi penghargaan (dalam bentuk uang) pada saat mereka
memberikan jawaban benar, sementara sebagian yang lain tidak.
Hasil: Anak laki-laki yang dibayar membuat lebih banyak
kesalahan.
Riset II: Anak-anak diminta mengingat kata-kata tertentu,
kemudian mereka diminta mengambil kartu yang berisi kata-kata
yang diingat tersebut setiap kali muncul. Beberapa anak diberikan
permen setiap mereka memberikan jawaban yang benar, dan
sebagian yang lain hanya diberitahu saja bila jawaban mereka
benar.
Hasil: Anak-anak yang mendapatkan permen jawabannya banyak
yang tidak tepat dibandingkan anak-anak yang hanya diberitahu
jawabannya benar.
Penghargaan Menghukum
o Penghargaan menghukum mereka yang tidak mendapatkan
penghargaan. Misalnya dalam sistem ‘ranking’. Mereka
yang mendapatkan ranking kedua akan merasa ‘dihukum’.
o Penghargaan dan hukuman adalah hal yang sama, karena
keduanya mencoba mengendalikan perilaku seseorang.
o Karena orang pada dasarnya tidak suka dikendalikan, dalam
jangka waktu lama, penghargaan akan terlihat sebagai
hukuman.
o Jika suatu penghargaan diharapkan, namun Anda tidak
mendapatkannya, Anda akan merasa dihukum.
Disadur dari materi pelatihan ‘Dihukum oleh Penghargaan’,
Yayasan Pendidikan Luhur-Foundation for Excellence in
Education, 2006.
Tujuan Pembelajaran Khusus:
o CGP memahami bahwa setiap tindakan murid dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan dasar mereka.
o CGP memahami bahwa kebutuhan dasar setiap murid akan
berbeda-beda dan agar menjadi individu yang selamat dan
bahagia, kebutuhan dasar harus terpenuhi secara positif.
o CGP memahami bahwa kebutuhan dasar dapat dipenuhi
dengan cara positif atau negatif
o CGP memahami peran guru adalah memberdayakan anak agar
dapat memenuhi kebutuhannya secara positif

Pertanyaan Pemantik:
Ibu Ambar, guru wali kelas kelas 2A di SD Pelita Hati, sedang
bingung menghadapi ulah salah satu murid di kelasnya,
Doni. Beberapa anak di kelas 2A telah datang padanya dan
mengeluhkan Doni yang seringkali meminta bekal makan siang
mereka dengan paksa. Jika Anda menghadapi situasi seperti Ibu
Ambar, apa yang akan anda lakukan? Menurut anda, kira-kira apa
alasan Doni melakukan hal itu?
apak dan Ibu para calon guru penggerak,
Merujuk pada situasi yang sedang dihadapi Ibu Ambar di atas,
dalam konteks penegakan disiplin positif, Ibu Ambar sebaiknya
mencari tahu alasan Doni melakukan tindakan tersebut agar
mengetahui kebutuhan mana yang sedang berusaha dipenuhi oleh
Doni. Mari kita melihat sebuah konsep 5 Kebutuhan Dasar
Manusia menurut Dr. William Glasser dalam “Choice Theory”.
5 Kebutuhan Dasar Manusia

Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang


kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa
yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita
inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau
lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk
bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and
belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan
kekuasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu
perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau
melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka
gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk lebih jelasnya,
mari kita lihat satu persatu kelima kebutuhan dasar ini.
Use left and right arrow to change slide in that direction whenever
canvas is selected.

Cinta dan kasih sayang (Kebutuhan untuk Diterima)


Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan
psikologis. Kebutuhan untuk mencintai dan memiliki meliputi
kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk
memberi dan menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk
merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan ini juga
meliputi keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain,
seperti teman, keluarga, pasangan hidup, teman kerja, binatang
peliharaan, dan kelompok dimana kita tergabung.
Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar cinta dan kasih sayang
yang tinggi biasanya ingin disukai dan diterima oleh
lingkungannya. Mereka juga akrab dengan orang tuanya.
Biasanya mereka belajar karena suka pada gurunya. Bagi mereka,
teman sebaya sangatlah penting. Mereka juga biasanya suka
bekerja dalam kelompok.

Kebutuhan Bertahan Hidup


Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah kebutuhan yang
bersifat fisiologis untuk bertahan hidup misalnya kesehatan,
rumah, dan makanan. Seks sebagai bagian dari proses reproduksi
termasuk kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Komponen
psikologis pada kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan perasaan
aman. Dalam kasus Doni di atas, apabila jawaban Doni ketika
ditanya oleh Ibu Ambar adalah karena ia lapar dan orangtuanya
tidak membawakannya bekal makan siang, maka kebutuhan dasar
yang sedang berusaha dipenuhi oleh Doni, adalah kebutuhan
untuk bertahan hidup (survival).

Use left and right arrow to change slide in that direction whenever
canvas is selected.
Dalam kasus diatas, apabila Doni menjawab bahwa alasannya
mengambil bekal temannya karena dia merasa senang temannya
jadi memperhatikan dia. Ketika temannya melaporkan
tindakannya itu pada gurunya, dan gurunya memberitahu orang
tuanya, sehingga orang tuanya jadi memperhatikan dia, maka
kebutuhan dasar yang sedang dipenuhi Doni adalah kebutuhan
akan cinta dan kasih sayang.

Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)


Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai
sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi
dan keterampilan kita, didengarkan dan memiliki rasa harga diri.
Kebutuhan ini meliputi keinginan untuk dianggap berharga, bisa
membuat perbedaan, bisa membuat pencapaian, kompeten,
diakui, dihormati. Ini meliputi self esteem, dan keinginan untuk
meninggalkan pengaruh.
Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar akan kekuasaan yang
tinggi biasanya selalu ingin menjadi pemimpin, mereka juga suka
mengamati sebelum mencoba hal baru dan merasa kecewa bila
melakukan kesalahan. Mereka juga biasanya rapi dan sistematik
dan selalu Ingin mencapai yang terbaik
Dalam kasus diatas, apabila jawaban Doni adalah dia merasa
hebat karena temannya jadi takut dengan dia dan menuruti
keinginannya, maka sebetulnya Doni sedang berusaha memenuhi
kebutuhan dasarnya akan kekuasaan.

Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)Kebutuhan untuk bebas


adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan
dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anak-anak
dengan kebutuhan kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan,
mereka perlu banyak bergerak, suka mencoba-coba, tidak terlalu
terpengaruh orang lain dan senang mencoba hal baru dan
menarik.
Use left and right arrow to change slide in that direction whenever
canvas is selected.
Bila jawaban Doni dalam kasus diatas adalah bahwa dia merasa
bosan dengan bekal makanan yang dibawakan ibunya dari rumah,
karena ibunya selalu membawakan bekal yang sama, oleh karena
itu dia ingin mencoba makanan teman-temannya yang beraneka
ragam, maka Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhannya
akan kebebasan/freedom.

Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)


Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari
kesenangan, bermain, dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa
kenikmatan apa pun, betapa menyedihkan. Glasser
menghubungkan kebutuhan akan kesenangan dengan belajar.
Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi (anjing, lumba-
lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain, mereka
mempelajari keterampilan hidup yang penting. Manusia tidak
berbeda.
Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi
biasanya Ingin menikmati apa yang dilakukan. Mereka juga
konsentrasi tinggi saat mengerjakan hal yang disenangi. Mereka
suka permainan dan suka mengoleksi barang, suka bergurau, suka
melucu dan juga menggemaskan, bahkan saat bertingkah laku
buruk.
Dalam kasus diatas, bila Doni menjawab bahwa ia melakukannya
karena iseng saja dan ia menikmati ekspresi wajah teman-
temannya yang kesal karena diambil makanannya dan menurut
dia, ekspresi teman-temannya itu lucu. Maka berarti Doni sedang
berusaha memenuhi kebutuhannya akan kesenangan.

Disarikan dari berbagai sumber


Bapak Ibu Calon Guru Penggerak,
Semua orang senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhannya
dengan berbagai cara. Bila mereka tidak bisa mendapatkan
kebutuhannya dengan cara yang positif, mereka akan mencoba
mendapatkannya dengan cara yang negatif.
Seorang murid yang tidak begitu berhasil secara akademik
mungkin kebutuhannya akan kekuasaan tidak terpenuhi di
sekolah. Oleh karena itu, mungkin dia akan mencoba untuk
memenuhi kebutuhan kekuasaannya, dengan mencoba mengatur
orang lain di lapangan bermain, atau bahkan menyakiti mereka
secara fisik. Sebagai guru, kita dapat melibatkannya dalam
kegiatan yang memberi peluang murid tersebut membuat
pencapaian yang berarti.
Seorang yang tidak merasa diterima oleh teman-temannya,
kebutuhannya akan cinta dan kasih sayang tidak terpenuhi, oleh
karena itu dia mungkin akan memiliki satu teman dan
memisahkan diri yang lain. Sebagai guru, kita bisa membangun
hubungan yang bisa membangun kepercayaan dan keintiman
dengan anak ini.
Bagaimana Bapak Ibu, apakah sekarang sudah paham
perbedaan dari kelima kebutuhan dasar?

Coba pikirkan bagaimana selama ini Anda memenuhi kebutuhan


dasar Anda.
Isilah setiap bagian lingkaran dengan nama orang, benda
atau apapun yang dapat memenuhi setiap kebutuhan dasar
itu, dari cinta, penguasaan, kesenangan, atau kebebasan.
Selanjutnya,
Bapak dan Ibu CGP,
Setelah belajar tentang 3 Motivasi Perilaku Manusia dan 5
Kebutuhan Dasar Manusia untuk memahami alasan-alasan yang
mendasari tindakan manusia, mari kita belajar 1 konsep lagi yaitu
tentang Dunia Berkualitas dengan membaca deskripsi di bawah
ini:

Dunia Berkualitas
Dunia Berkualitas Anda adalah tempat khusus dalam pikiran
Anda, tempat Anda menyimpan gambaran representasi dari
semua yang Anda inginkan: bisa berisi orang-orang, hal-hal dan
apa saja yang terbaik dalam hidup Anda dan membuat Anda
merasa bahagia dan terpenuhi kebutuhan dasar Anda. Dr. William
Glasser menyebutnya seperti semacam, album foto sehingga
isinya tidak akan terlalu banyak, hanya akan terdiri dari beberapa
hal saja yang sangat signifikan dan benar-benar terbaik dalam
hidup Anda yang membuat hidup Anda menjadi lebih bermakna.
Kebutuhan dasar itu bersifat lebih umum dan universal,
sedangkan dunia berkualitas lebih unik dan personal.
Orang, tempat, benda, nilai-nilai, dan kepercayaan yang penting
bagi Anda akan termasuk di sana. Untuk masuk ke Dunia
Kualitas, syaratnya adalah bahwa sesuatu itu harus terasa sangat
baik bagi Anda dan memenuhi setidaknya satu atau lebih
kebutuhan dasar Anda. Dalam menentukan segala sesuatu yang
masuk dalam dunia berkualitas, tidak perlu kita terlalu
mempertimbangkan standar masyarakat tentang apa saja yang
penting dan yang tidak. Gambaran Dunia Berkualitas adalah unik
dan spesifik untuk setiap orang. Jika Anda bisa hidup di Dunia
Kualitas Anda, hidup akan sempurna buat Anda, tapi sayangnya,
Anda tidak bisa tinggal di sana.
Murid kita juga mempunyai gambaran dunia berkualitas mereka.
Tentunya sebagai guru kita ingin mereka memasukkan hal-hal
yang bermakna dan nilai-nilai kebajikan yang hakiki ke dalam
dunia berkualitas mereka. Bila guru dapat membangun interaksi
yang memberdayakan dan memerdekakan murid, maka murid
akan meletakkan dirinya sendiri sebagai individu yang positif
dalam dunia berkualitas karena mereka menghargai nilai-nilai
kebajikan.

Disarikan dari Berbagai Sumber

Tujuan Pembelajaran Khusus:


o CGP dapat melakukan refleksi atas praktik disiplin yang
dijalankan selama ini dan dampaknya untuk murid-muridnya.
o CGP dapat mengetahui dan menerapkan disiplin restitusi di
posisi Monitor dan Manajer agar dapat menciptakan
lingkungan yang positif, aman, dan nyaman.
o CGP dapat berpikir kritis, kreatif, reflektif dan terbuka atas
penemuan diri yang didapatkan dari mempelajari 5 posisi
kontrol.
Pertanyaan Pemantik:
Bacalah kasus-kasus di bawah ini, dan cobalah jawab pertanyaan-
pertanyaan yang tersedia:
o Tisa dan Hana dipanggil masuk ke ruangan Ibu Dewi, kepala
sekolah SMA Makmur. Ibu Dewi baru saja mendapatkan
pengaduan dari ibunda Tisa, bahwa Hana menggunakan kata-
kata kasar, dan merendah-rendahkan Tisa di sosial media.
o Anto jarang sekali hadir di pembelajaran jarak jauh, dan pada
saat hadir pun, Anto seringkali menggunakan kata-kata kasar
di kolom chat mengejek teman-temannya. Hal ini sudah sangat
mengganggu dan beberapa orang tua murid yang mengikuti
pembelajaran daring mengeluhkan tentang perilaku Anto di
pembelajaran jarak jauh.
Bila Anda adalah guru, penerapan disiplin apakah yang akan
Anda lakukan untuk kasus Hana dan kasus Anto? Mengapa?
Bahas dengan rekan CGP Anda, dan bandingkan jawaban Anda,
apakah berbeda, atau sama? Bila berbeda, utarakan masing-
masing pandangan Anda.
Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,
Berikut ini akan disampaikan suatu model disiplin yang berpusat
pada murid, yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan
pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol.
Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School
Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau
kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita
selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat memerdekakan
dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui
serangkaian riset dan bersandar pada teori Kontrol Dr. William
Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang
diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam
melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah
Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman, Monitor
(Pemantau) dan Manajer. Mari kita tinjau lebih dalam kelima
posisi kontrol ini:

Penghukum: Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman


fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi
penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan
sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih
dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan
berkata:
“Patuhi aturan saya, atau awas!”
“Kamu selalu saja salah!”
“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar
pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.

Pembuat Orang Merasa Bersalah: pada posisi ini biasanya guru


akan bersuara lebih lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan
menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak
nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan
lembut akan seperti:
“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”
“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”
“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk
tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah
mengecewakan orang-orang disayanginya.

Teman: Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun
akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi
teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa
hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi
teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk
mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:
“Ayo bantulah, demi bapak ya?”
“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut
tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya
pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan
tidak mau lagi berusaha, Hal lain yang mungkin timbul adalah
murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk
guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.

Monitor/Pemantau: Memonitor berarti mengawasi. Pada saat


kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-
orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada
peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan
sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi
kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi
pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya apa?”
“Apa yang telah kamu lakukan?”
“Sanksi atau konsekuensinya apa?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan,
data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang.
Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi
monitor sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang
menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.

Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi mentor di mana


guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan
murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung
murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya
sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi
teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di
waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila
diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita
menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab,
maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan
murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer,
murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun
kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan
membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid
bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer
akan berkata:
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
“Apakah kamu meyakininya?”
“Jika kamu menyakininya, apakah kamu bersedia
memperbaikinya?”
“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang
dirimu?”
“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku
seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur
dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari
kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke
kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan
kembali ke posisi Teman atau Pemantau, karena murid yang
ditangani belum siap diajak berdiskusi atau diundang melakukan
restitusi. Namun perlu disadari tujuan akhir dari 5 posisi kontrol
seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi
inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan
bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada
akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman,
dan aman.
Di bawah ini adalah contoh peragaan yang dikutip dari Yayasan
Pendidikan Luhur (2007) di mana ada seorang murid yang
melanggar suatu peraturan sekolah. Selanjutnya ada dialog antara
seorang guru dengan murid tersebut, serta bagaimana guru
tersebut menjalankan disiplin dengan menggunakan kelima posisi
kontrol untuk kasus yang sama:
Adi yang terlambat hadir di sekolah.

Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan


jari menunjuk-nunjuk menghardik):
“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat,
kapan bisa datang tepat waktu?”
Tanyakan kepada diri Anda:
Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu pada
saat muridnya datang terlambat?
Akibat:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif.
Bisa jadi sesudah kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-
coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih buruk lagi, sepulang
sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan
menggores kendaraan tersebut dengan paku.

Pembuat orang lain merasa bersalah (Nada suara


memelas/halus/sedih, bahasa tubuh: merapat pada anak, lesu):
“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu
tidak akan terlambat lagi. Kamu kenapa ya senang sekali
mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali.”
Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara ini?
Akibat:
Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu
atau bapak gurunya. Murid akan merasa menjadi orang yang
gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Kadangkala
sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena
emosi akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan.
Tidak seperti murid dalam dengan guru penghukum, di mana
murid bisa menumpahkan amarahnya walaupun dengan cara
negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa meletus
amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.
Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh:
merapat pada murid, mata dan senyum jenaka)
“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke
bapak bukan, kenapa terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya,
sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana. Nanti Pak Guru bantu.
Kamu ini.” (sambil senyum-senyum).
Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini?
Akibat:
Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk
dampak yang positif, hanya saja di sisi negatif murid menjadi
tergantung pada guru tersebut. Bila ada masalah, dia merasa bisa
mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain
dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang
menyuruh adalah guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang
sama dengan guru atau orang lain.

Pemantau (nada suara datar, bahasa tubuh yang formal): Guru:


“Adi, tahukah kamu jam berapa kita memulai?”
Adi: “Tahu Pak!”
Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti
apa yang harus dilakukan bila terlambat?”
Adi: “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti
dan mengerjakan tugas ketertinggalan saya.”
Guru: “Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus sudah
di kelas untuk menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya
tunggu”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Akibat:
Murid memahami sanksi yang harus dijalankan karena telah
melanggar salah satu peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan
suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah atau membuat
merasa berbuat salah. Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu
dengan harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan
mengerjakan tugas. Guru tetap harus memonitor atau memantau
murid pada saat mengerjakan tugas di jam istirahat karena murid
tidak bisa ditinggal seorang diri.

Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat


ke murid):
Guru: “Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah
dimulai?”
Adi: “Tahu Pak, jam 7:00!”
Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan
memperbaiki masalah ini?”
Adi: “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar
tugas yang tertinggal.”
Guru: “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah
untuk kamu agar bisa hadir tepat waktu ke sekolah?”
Adi: “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu.”
Guru: “Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu
marah, tidak perlu meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk
jari ke murid, berkacak pinggang, atau bersikap seolah-olah
menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan murid ataupun
bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.
Fokus adalah pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau
orang tua. Murid sudah mengetahui adanya suatu masalah, dan
sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil posisi Pemantau, guru
akan melihat apa sanksinya apa peraturannya? Namun pada posisi
Manajer, guru akan mengembalikan tanggung jawab pada murid
untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan
bimbingan guru.
Tujuan Pembelajaran Khusus:
o Calon Guru Penggerak memahami restitusi sebagai salah satu
cara menanamkan disiplin positif pada murid sebagai bagian
dari budaya positif di sekolah.
o Calon Guru Penggerak dapat menerapkan restitusi dalam
membimbing murid berdisiplin positif agar menjadi murid
merdeka.
o CGP bersikap reflektif, kritis, kreatif, dan terbuka.

Pertanyaan Pemantik:
Bapak Ibu calon guru penggerak, apa yang akan Anda lakukan
bila,
o Dalam sebuah acara pesta ulang tahun, teman Anda
memecahkan gelas. Apakah Anda akan membiarkan dia
membayar harga gelas yang dipecahkannya?
o Anda sudah janji bertemu dengan teman Anda, namun ternyata
dia juga memiliki janji penting bertemu orang lain di tempat
lain, dan Anda terpaksa naik taksi untuk menemui teman Anda
di tempat itu, apakah Anda akan meminta teman Anda
membayar biaya taksi Anda menuju ke tempat tersebut?
o Pegawai Anda membuat kesalahan yang menyebabkan
kerugian finansial pada perusahaan, pegawai tersebut
menawarkan untuk bekerja lembur tanpa bayaran, apakah
Anda sebagai pemilik perusahaan akan menerimanya?
Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,
Bila ada seseorang berbuat salah pada Anda, ketika mereka
menawarkan sebuah tindakan untuk memperbaiki kesalahan
mereka, kemungkinan besar, jawaban Anda adalah akan menolak
semua tawaran itu, dan akan bilang, tidak usah, tidak apa-apa.
Lupakan saja.
Kebiasaan kita selama ini, bila ada orang yang berlaku salah pada
kita adalah langsung memaafkan, atau membuat mereka tidak
nyaman. Kita cenderung untuk berfokus pada kesalahan daripada
mencari cara bagi mereka untuk memperbaiki diri. Kita lebih
fokus pada bagaimana cara mereka membayar ketidaknyamanan
yang disebabkan oleh kesalahan mereka daripada
mengembalikan harga diri mereka. Membuat kondisi menjadi
impas, menjadi lebih penting daripada membuat situasi menjadi
benar.
Bapak Ibu guru penggerak,
Sebagai seorang guru, ketika murid Anda melakukan kesalahan,
tindakan mana yang akan Anda lakukan?
o Anda menunjukkan kesalahannya dan memintanya melihat
kesalahannya baik-baik?
o Anda mengatakan, “Kamu seharusnya tahu bagaimana kamu
seharusnya bertindak”.
o Anda mengingatkan murid Anda akan kesalahannya yang sama
di waktu sebelumnya.
o Anda akan bertanya padanya, “Kenapa kamu melakukan
sesuatu yang seharusnya tidak kamu lakukan?”.
o Anda akan mengkritik dia dan mendiamkannya?
Kalau Anda melakukan tindakan-tindakan di atas, mungkin Anda
akan membuat murid Anda merasa menjadi anak yang gagal.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita sebaiknya respon kita
bila ada murid kita melakukan kesalahan? Mari kita baca artikel
mengenai Restitusi!

Restitusi
Sebuah Cara Menanamkan disiplin positif Pada Murid
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk
memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali
pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen;
2004)
Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid
untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid
berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan
bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom
Gossen, 1996).
Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan,
disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah.
Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk
menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan,
namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-
nilai kebajikan yang mereka percayai. Sebelumnya kita telah
belajar tentang teori kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki
motivasi intrinsik.
Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan
menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk
membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka
lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan
kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban, tetapi
juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Ini sesuai
dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi
menang-menang.
Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh ketika
mereka melakukan kesalahan, bukankah pada hakikatnya
begitulah cara kita belajar. Murid perlu bertanggung jawab atas
perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat memilih
untuk belajar dari pengalaman dan membuat pilihan yang lebih
baik di waktu yang akan datang. Ketika guru memecahkan
masalah perilaku mereka, murid akan kehilangan kesempatan
untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup
mereka.
Di bawah ini adalah ciri-ciri restitusi yang membedakannya
dengan program disiplin lainnya.

Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk


belajar dari kesalahan
Dalam restitusi, ketika murid berbuat salah, guru tidak
mengarahkan untuk menebus kesalahan dengan membayar
sejumlah uang, memperbaiki kerugian yang timbul, atau sekedar
meminta maaf. Karena kalau fokusnya kesana, maka murid yang
berbuat salah akan fokus pada tindakan untuk menebus kesalahan
dan menghindari ketidaknyamanan, yang bersifat
eksternal, bukannya pada upaya perbaikan diri, yang lebih
bersifat internal. Biasanya setelah menebus kesalahan, orang
yang berbuat salah akan merasa sudah selesai dengan situasi itu
sehingga merasa lega, dan seolah-olah kesalahan tidak pernah
terjadi.
Terkadang bisa juga muncul perasaan ingin balas dendam, bila
orang yang berbuat salah sebetulnya merasa tidak rela harus
melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya. Kalau tindakan
untuk menebus kesalahan dipahami sebagai hukuman, maka
mungkin mereka berpikir untuk membuat situasinya menjadi
impas. Pembalasan seperti ini akan berdampak jangka panjang
karena konfliknya akan tetap ada. Menebus kesalahan itu tidak
salah, namun biasanya tidak membuat kita menjadi pribadi yang
lebih kuat.
Restitusi sebenarnya juga meliputi usaha untuk menebus
kesalahan, tetapi sebaiknya merupakan inisiatif dari murid yang
melakukan kesalahan. Proses pemulihan akan terjadi bila ada
keinginan dari murid yang berbuat salah untuk melakukan sesuatu
yang menunjukkan rasa penyesalannya. Fokusnya tidak hanya
pada mengurangi kerugian pada korban, tapi juga bagaimana
menjadi orang yang lebih baik dan melakukan hal baik pada orang
lain dengan kebaikan yang ada dalam diri kita.
Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik
untuk masa depan, mereka akan mendapatkan pelajaran yang
mereka bisa pakai terus menerus di masa depan untuk menjadi
orang yang lebih baik.
Restitusi memperbaiki hubungan
Restitusi adalah tentang memperbaiki hubungan dan
memperkuatnya. Restitusi juga membantu murid-murid dalam
hal mereka ingin menjadi orang seperti apa dan bagaimana
mereka ingin diperlakukan. Restitusi adalah proses refleksi dan
pemulihan. Proses ini menciptakan kondisi yang aman bagi murid
untuk menjadi jujur pada diri mereka sendiri dan mengevaluasi
dampak dari tindakan mereka pada orang lain. Ketika proses
pemulihan dan evaluasi diri telah selesai, mereka bisa mulai
berpikir tentang apa yang bisa dilakukan untuk menebus
kesalahan mereka pada orang yang menjadi korban.

Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan


Restitusi yang dipaksa bukanlah restitusi yang sebenarnya, tapi
konsekuensi. Bila guru memaksa proses restitusi, maka murid
akan bertanya, apa yang akan terjadi kalau saya tidak
melakukannya. Misalnya mereka sebenarnya tidak suka
konsekuensi yang guru sarankan, mereka mungkin akan setuju
dan akan melakukannya, tapi karena mereka menghindari
ketidaknyamanan atau menghindari kehilangan kebebasan atau
diasingkan dari kelompok. Mereka akan percaya kalau mereka
menyakiti orang, maka mereka juga tersakiti, maka mereka pikir
itu impas. Seorang anak yang memukul temannya akan
mengatakan, “Kamu boleh pukul aku balik, biar impas”.
Memaksa melakukan restitusi bertentangan dengan
perkembangan moral, yaitu kebebasan untuk membuat pilihan.
Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menciptakan kondisi
yang membuat murid bersedia menyelesaikan masalah dan
berbuat lebih baik lagi, dengan berkata, “Tidak apa-apa kok
berbuat salah itu manusiawi. Semua orang pasti pernah berbuat
salah”. Pembicaraan ini bersifat tawaran, bukan paksaan, bukan
mengatakan, “Kamu harus lakukan ini, kalau tidak maka…”

Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri


Dalam proses restitusi kita akan melihat adanya ketidakselarasan
antara tindakan murid yang berbuat salah dan keyakinan mereka
tentang orang seperti apa yang mereka inginkan. Untuk
membimbing proses pemulihan diri, guru bisa bertanya pada
mereka:
o Kamu ingin menjadi orang seperti apa?
o Kamu akan terlihat, terdengar, dan terasa seperti apa kalau
kamu sudah menjadi orang yang seperti itu?
o Apa yang kamu percaya tentang bagaimana orang harus
memperlakukan orang lain?
o Bagaimana kamu mau diperlakukan ketika kamu berbuat
salah?
o Apa nilai yang diajarkan di keluargamu tentang hal ini?
Apakah kamu memegang nilai ini?
o Kalau tidak, lalu apa yang kamu percaya?
Kita tidak ingin menciptakan rasa bersalah pada diri anak dengan
bertanya seperti itu. Kalau guru melihat rasa bersalah di wajah
murid, maka guru harus cepat-cepat mengatakan, “Tidak apa-apa
kok berbuat salah”.
Ketika murid sudah dibimbing untuk mengeksplorasi orang
seperti apa yang mereka inginkan, guru bisa mulai bertanya
tentang kejadiannya, seberapa sering hal ini terjadi, apa yang ia
lakukan, ia berada di mana. Murid tidak akan berbohong pada
guru.

Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan


Untuk berpindah dari evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi
murid untuk memahami dampak dari tindakannya pada orang
lain. Kalau murid paham bahwa setiap orang memiliki kebutuhan
dasar untuk dipenuhi, hal ini akan sangat membantu, sehingga
ketika murid melakukan kesalahan, mereka akan menyadari
kebutuhan apa yang sedang mereka coba penuhi, demikian juga
kebutuhan orang lain.
Untuk membantu murid mengenali kebutuhan dasarnya, guru
bisa meminta mereka mengenali perasaan mereka. Perasaan sedih
dan kesepian menunjukkan adanya kebutuhan cinta dan kasih
sayang yang tidak terpenuhi. Perasaan dipaksa, atau terlalu
banyak beban, menunjukkan kurangnya kebutuhan akan
kebebasan. Perasaan takut akan kelelahan, kelaparan,
menunjukkan pada kita kalau kita merasa tidak aman. Perasaan
bosan menunjukkan kurang terpenuhinya kebutuhan akan
kesenangan.
Restitusi diri adalah cara yang paling baik
Dalam restitusi diri murid belajar untuk mengubah kebiasaan dari
kecenderungan untuk mengomentari orang lain, menjadi
mengomentari diri sendiri. Dr. William Glasser menyatakan,
orang yang bahagia akan mengevaluasi diri sendiri, orang yang
tidak bahagia akan mengevaluasi orang lain.
3 Tahap Evaluasi Diri:
1. Saya tidak suka cara saya berbicara padamu
2. Kesalahan yang saya lakukan adalah
- Saya sebenarnya punya informasi yang kamu butuhkan
- Saya lelah dan saya bicara terlalu cepat
- Saya tidak jelas menyampaikan apa yang saya inginkan
- Pemahaman saya berbeda dengan pemahamanmu
3. Besok lagi saya akan
- Menyampaikan informasi yang saya punya dan kamu
butuhkan
- Saya akan bicara lebih lambat
- Saya akan bicara lebih jelas tentang keinginan saya
- Menyampaikan pemahaman saya padamu
Ketika murid bisa melakukan restitusi diri maka dia akan bisa
mengontrol dirinya dengan lebih baik dengan tujuan yang lebih
baik pula.
Ketika Anda berhadapan dengan orang lain, dan melakukan
evaluasi diri, maka 9 dari 10 orang yang diajak bicara juga akan
melakukan evaluasi diri juga. Mungkin akan ada 1 dari 10 orang
yang diajak bicara, justru akan menggunakan kesempatan itu
untuk menghukum Anda. Kalau ini terjadi, tanyakan saja, apakah
Anda mau menggunakan kesempatan ini untuk menjelek-
jelekkan saya atau Anda mau membuat situasi ini menjadi lebih
baik. Anda mau ke arah mana?

Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan


Dalam proses restitusi diri, maka murid akan menyadari dia
sedang menjadi orang yang seperti apa, yang itu adalah
menunjukkan fokus pada penguatan karakter. Ketika guru
membimbing murid untuk penguatan karakter, guru akan
mengatakan, “Ibu/Bapak tidak terlalu mempermasalahkan apa
yang kamu lakukan hari ini, tetapi mari kita bicara tentang apa
yang akan kamu lakukan besok. Kamu bisa saja minta maaf, tapi
orang akan lebih suka mendengar apa yang akan kamu lakukan
dengan lebih baik lagi.

Restitusi menguatkan
Bisakah momen ketika murid melakukan kesalahan menjadi
sebuah momen yang baik? Jawabnya, tentu bisa, asalkan ia bisa
belajar dari kesalahan itu. Apa maksud dari kalimat kita bisa lebih
kuat setelah kita belajar dari kesalahan? Lebih kuat disini
maksudnya bukan menekan perasaan kita dalam-dalam. Kuat
disini artinya menyadari apa yang bisa murid ubah, dan murid
benar-benar mengubahnya. Guru bisa bertanya, apa yang dapat
kamu ubah dari dirimu sendiri? Bagaimana kamu akan berubah?
Restitusi fokus pada solusi
Dalam restitusi, guru menstabilkan identitas murid dengan
mengatakan, “Kita tidak fokus pada kesalahan, Bapak/ibu tidak
tertarik untuk mencari siapa yang benar, siapa yang salah.

Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada


kelompoknya
Mari kita lihat praktik pendidikan kita yang seringkali
memisahkan anak-anak dari kelompoknya, misalnya seorang
anak TK bersikap tidak kooperatif pada saat kegiatan mendengar
dongeng dari gurunya, anak itu disuruh keluar dari kelompoknya,
atau anak itu diminta duduk di belakang kelas atau di pojok kelas,
disuruh keluar kelas ke koridor, ke kantor guru, seringkali
dibiarkan tanpa pengawasan.
Kalau ada anak remaja nakal, orangtua menyuruh pergi dari
rumah. Padahal kalau mereka jauh dari orang tuanya, orang
tuanya jadi tidak bisa mengajari mereka dan mereka tidak belajar
nilai-nilai kebajikan. Kalau mereka tidak belajar, bagaimana
nasib generasi kita ke depan? Kalau kita menjauhkan remaja kita,
maka mereka akan putus hubungan dengan kita.
Ketika anak berbuat salah, kita tidak bisa memotivasi anak untuk
menjadi baik, kita hanya bisa menciptakan kondisi agar mereka
bisa melihat ke dalam diri mereka. Kita seharusnya mengajari
mereka untuk menyelesaikan masalah mereka, dan berusaha
mengembalikan mereka ke kelompok mereka dengan karakter
yang lebih kuat.
Disarikan dari Buku It’s All About WE; Rethinking Discipline
using Restitution, Third Edition, Diane Gossen, 2008
Sisi 1. Menstabilkan Identitas/Stabilize the identity
Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas
anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi
orang yang sukses. Anak yang sedang mencari perhatian adalah
anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita
mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi
gagal. Kalau kita ingin ia menjadi proaktif, maka kita harus
meyakinkan si anak, dengan cara mengatakan kalimat-kalimat
ini:
o Berbuat salah itu tidak apa-apa.
o Tidak ada manusia yang sempurna
o Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.
o Kita bisa menyelesaikan ini.
o Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi
Bapak/Ibu ingin mencari solusi dari permasalahan ini.
o Kamu berhak merasa begitu.
o Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat
dirimu sendiri?
Kalau kita mengatakan kalimat-kalimat diatas, akan sangat sulit,
bahkan hampir tidak mungkin, buat anak untuk tetap
membangkang. Para guru yang bertugas mengawasi anak-anak
saat mereka bermain di halaman sekolah, menyatakan bahwa bila
mereka mengatakan kalimat tersebut yang mungkin hanya butuh
30 detik, bisa mengubah situasi yang sulit menjadi kooperatif.
Ketika seseorang merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa
mengakses bagian otak yang berfungsi untuk berpikir rasional.
Saat itulah ketika kita harus menstabilkan identitas anak. Sebelum
terjadi hal-hal lain yang bisa memperburuk keadaan, kita
sebaiknya membantu anak untuk tenang dan kembali ke suasana
hati dimana proses belajar dan penyelesaian masalah bisa
dilakukan.
Tentu akan sulit melakukan restitusi bila, anak yang berbuat salah
terus berfokus pada kesalahannya. Ada 3 alasan untuk ini,
pertama rasa bersalah menguras energi. Rasa bersalah
membutuhkan energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan
untuk mencari penyelesaian masalah. Kedua, ketika kita merasa
bersalah, kita mengalami identitas kegagalan. Dalam kondisi ini,
orang akan cenderung untuk menyalahkan orang lain atau
mempertahankan diri, daripada mencari solusi. Ketiga, perasaan
bersalah membuat kita terperangkap pada masa lalu dimana kita
sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengontrol
apa yang akan terjadi di masa kini dan masa datang.
Sisi 2. Validasi Tindakan yang Salah/ Validate the Misbeh...
Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu
memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan
dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa
menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.
Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau
buruk, pasti memiliki maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang
memahami teori kontrol pasti akan mengubah pandangannya dari
teori stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali
tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka sikap
seorang anak yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu
mendapat perhatian kita, maka itu telah memenuhi kebutuhan
anak tersebut. Kalimat-kalimat dibawah ini mungkin terdengar
asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa
menghakimi akan memvalidasi kebutuhan mereka.
o “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini
ya?”
o “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”
o “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu
telah melindungi sesuatu yang penting buatmu”.
o “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus
menambahkan sikap yang baru.”
Biasanya guru menyuruh anak untuk menghentikan sikap yang
tidak baik, tapi teori kontrol menyatakan bahwa resep itu tidak
manjur. Mungkin tindakan guru dengan memvalidasi sikap yang
tidak baik seperti bertentangan dengan aturan yang ada.
Restitusi tidak menyarankan guru bicara ke murid bahwa
melanggar aturan adalah sikap yang baik, tapi dalam restitusi guru
harus memahami alasannya, dan paham bahwa setiap orang pasti
akan melakukan yang terbaik di waktu tertentu. Sebuah
pelanggaran aturan seringkali memenuhi kebutuhan anak akan
kekuasaan/power walaupun seringkali bertabrakan dengan
kebutuhan yang lain, yaitu kebutuhan akan cinta dan kasih
sayang/love and belonging. Kalau kita tolak anak yang sedang
berbuat salah, dia akan tetap menjadi bagian dari masalah. namun
bila kita memahami alasannya melakukan sesuatu, maka dia akan
merasa dipahami.
Para guru yang telah menerapkan strategi ini mengatakan bahwa
anak-anak yang tadinya tidak terjangkau, menjadi lebih terbuka
pada mereka. Strategi ini menguntungkan bagi murid dan guru
karena guru akan berada dalam posisi siswa, dan karena itu akan
memiliki perspektif yang berbeda.
Sisi 3: Menanyakan Keyakinan/Seek the Belief
Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi
secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1)
dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka
anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia
percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.
Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini menghubungkan keyakinan
anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.
o Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?
o Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?
o Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?
o Kamu mau jadi orang yang seperti apa?
Penting untuk menanyakan ke anak, kehidupan seperti apa
nantinya yang mereka inginkan?
Apakah kamu ingin menjadi orang yang sukses, bertanggung
jawab, atau bisa dipercaya?
Kebanyakkan anak akan mengatakan “Iya,” Tapi mereka tidak
tahu bagaimana caranya menjadi orang seperti itu. Guru dapat
membantu dengan bertanya, seperti apa jika mereka jd orang
seperti itu. ketika anak sudah mendapat gambaran yang jelas
tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, guru dapat
membantu anak-anak tetap fokus pada gambaran tersebut.

Anda mungkin juga menyukai