William Glasser)
Selanjutnya psikiater dan pendidik, Dr. William Glasser dalam Control Theory yang kemudian hari
berkembang dan dinamakan Choice Theory, meluruskan beberapa miskonsepsi tentang makna ‘kontrol’.
Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter.
Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal.
Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka mengembangkan dialog diri
yang negatif. Kadang kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka sedang
melakukan perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan ‘suara halus’ untuk
menyampaikan pesan negatif.
“..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau
perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita
perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia,
bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema
pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas”.
Makna Kata Disiplin
Ketika mendengar kata “disiplin”, apa yang terbayang di benak Anda? Apa yang terlintas di pikiran
Anda? Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan
pada peraturan. Kata “disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh
berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah
salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan sama sekali.
Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada
orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan
ketidaknyamanan.
“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self
discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab
jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan
peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013,
Halaman 470)
Disitu Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita
saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat.
Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki
motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal,
karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.
mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga
(merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri
sendiri)
Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School
Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’,
yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau
murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan
mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga motivasi yang terbangun adalah
motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi dengan disiplin diri dari
murid-murid Socrates dan Plato. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju
kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri juga
mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih
tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.
Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap
apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan
universal. Dalam hal ini Ki Hajar menyatakan;
“...pertanggungjawaban atau verantwoordelijkheld itulah selalu menjadi sisihannya hak atau kewajiban
dari seseorang yang pegang kekuasaan atau pimpinan dalam umumnya. Adapun artinya tidak lain ialah
orang tadi harus mempertanggungjawabkan dirinya serta tertibnya laku diri dari segala hak dan
kewajibannya.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013,
Halaman 469)
Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka
bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik,
bukan ekstrinsik.
Nilai-nilai Kebajikan
Profil Pelajar Pancasila
o Beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia.
o Mandiri
o Bernalar Kritis
o Berkebinekaan Global
o Bergotong royong
o Kreatif
BO Primary Years Program (PYP)
Sikap Murid:
o Toleransi
o Rasa Hormat
o Integritas
o Mandiri
o Menghargai
o Antusias
o Empati
o Keingintahuan
o Kreativitas
o Kerja sama
o Percaya Diri
o Komitmen
Petunjuk Hidup
o Peduli
o Penalaran
o Bekerja sama
o Keberanian
o Keingintahuan
o Usaha
o Keluwesan/Fleksibilitas
o Berorganisasi
o Kesabaran
o Keteguhan hati
o Kehormatan
o Memiliki Rasa Humor
o Berinisiatif
o Integritas
o Pemecahan Masalah
o Sumber pengetahuan
o Tanggung jawab
o Persahabatan
o Empati
o Suara Hati
o Kontrol Diri
o Rasa Hormat
o Kebaikan
o Toleransi
o Keadilan
3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai
yang mereka percaya.
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila saya
melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan
mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang
mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin
positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.
Hukuman, Konsekuensi dan Restitusi
Dalam menjalankan peraturan ataupun keyakinan kelas/sekolah, bilamana ada suatu pelanggaran,
tentunya sesuatu harus terjadi. Untuk itu kita perlu meninjau ulang tindakan penegakan peraturan atau
keyakinan kelas/sekolah kita selama ini. Tindakan terhadap suatu pelanggaran pada umumnya
berbentuk hukuman atau konsekuensi. Dalam modul ini akan diperkenalkan program disiplin positif
yang dinamakan Restitusi.
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga
mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi
juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah
mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana
mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).
Sebelum kita membahas lebih mendalam tentang penerapan Restitusi, kita perlu bertanya dahulu,
adakah perbedaan antara hukuman dan konsekuensi? Bila sama, di mana persamaannya? Bila berbeda,
bagaimana perbedaannya? Di bawah ini Anda akan diberikan suatu gambaran perbedaan antara
Hukuman, Konsekuensi, dan Restitusi itu sendiri.
Bila kita melihat bagan di bawah ini, kata disiplin tanpa tambahan kata ‘positif’ di belakangnya,
sesungguhnya sudah merupakan identitas sukses dan hukuman merupakan identitas gagal. Disiplin yang
sudah bermakna positif terbagi dua bagian yaitu Disiplin dalam bentuk Konsekuensi, dan Disiplin dalam
bentuk Restitusi,
Berdasarkan bagan diatas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa hukuman bersifat tidak terencana atau
tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu
arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu
kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan
bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata.
Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah disepakati; sudah dibahas
dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru
(sekolah), dan murid sudah mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada
pelanggaran. Pada konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek.
Konsekuensi biasanya diberikan berdasarkan suatu data yang umumnya dapat diukur, misalnya, setelah
3 kali tugasnya tidak diselesaikan pada batas waktu yang diberikan, atau murid melakukan kegiatan di
luar kegiatan pembelajaran, misalnya mengobrol, maka murid tersebut akan kehilangan waktu bermain,
dan harus menyelesaikan tugas karena ketertinggalannya. Peraturan dan konsekuensi yang mengikuti ini
sudah diketahui sebelumnya oleh murid. Sikap guru di sini senantiasa memonitor murid.
Dihukum oleh Penghargaan
“Saat kita berulang kali menjanjikan hadiah kepada anak-anak agar berperilaku bertanggung jawab, atau
kepada seorang murid agar mempelajari sesuatu yang baru, atau kepada seorang karyawan agar
melakukan pekerjaan yang berkualitas,kita sedang berasumsi mereka tidak dapat melakukannya, atau
mereka tidak akan memilih untuk melakukannya.”
(Alfie Kohn)
Kohn selanjutnya juga mengemukakan beberapa pernyataan dari hasil pengamatannya selama ini
tentang tindakan memberikan penghargaan yang nilainya sama dengan menghukum seseorang.
o Penghargaan efektif jika kita menginginkan seseorang melakukan sesuatu yang kita inginkan,
dalam jangka waktu pendek.
o Jika kita menggunakan penghargaan lagi, dan lagi, maka orang tersebut akan bergantung pada
penghargaan yang diberikan, serta kehilangan motivasi dari dalam.
o Jika kita mendapatkan penghargaan untuk melakukan sesuatu yang baik, maka selain kita
senantiasa berharap mendapatkan penghargaan tersebut lagi, kita pun menjadi tidak menyadari
tindakan baik yang kita lakukan.
o Suatu penghargaan adalah suatu benda atau peristiwa yang diinginkan, yang
dibuat dengan persyaratan: Hanya jika Anda melakukan hal ini, maka Anda
akan mendapatkan penghargaan yang diinginkan.
o Jika saya mengharapkan suatu penghargaan dan tidak mendapatkannya,
maka saya akan kecewa dan berkecil hati, serta kemungkinan lain kali saya
tidak akan berusaha sekeras sebelumnya.
o Jika kita memberikan seseorang suatu penghargaan untuk melakukan
sesuatu, maka kita harus terus menerus memberikan penghargaan itu jika
kita ingin orang tersebut meneruskan perilaku yang kita inginkan.
o Orang yang berusaha berhenti merokok, atau orang yang berusaha diet
menguruskan badan bila diberikan penghargaan hampir pasti tidak berhasil.
o Ketika seorang diberi penghargaan atau dipuji di depan orang banyak, maka
yang lain akan merasa iri, dan sebagian dari mereka akan tidak menyukai
orang yang diberikan penghargaan tersebut.
o Jika seorang guru sering memberikan penghargaan kepada murid-muridnya,
besar kemungkinan murid-muridnya termotivasi hanya untuk menyenangkan
gurunya. Mereka tidak akan bersikap jujur kepada guru tersebut.
o Penghargaan menciptakan persaingan di dalam kelas, dan persaingan
menciptakan kecemasan.
o Mereka yang percaya bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk
mendapatkan penghargaan akan berhenti mencoba.
Riset I: Dalam sebuah percobaan, sekelompok anak laki-laki berusia sekitar 9 tahun
diminta untuk melihat gambar-gambar wajah yang ditampilkan di layar, dan mereka
harus memberitahukan jika wajah-wajah tersebut sama atau berbeda. Gambar-gambar
tersebut hampir sama. Beberapa dari mereka diberi penghargaan (dalam bentuk uang)
pada saat mereka memberikan jawaban benar, sementara sebagian yang lain tidak.
Riset II: Anak-anak diminta mengingat kata-kata tertentu, kemudian mereka diminta
mengambil kartu yang berisi kata-kata yang diingat tersebut setiap kali muncul.
Beberapa anak diberikan permen setiap mereka memberikan jawaban yang benar, dan
sebagian yang lain hanya diberitahu saja bila jawaban mereka benar.
Hasil: Anak-anak yang mendapatkan permen jawabannya banyak yang tidak tepat
dibandingkan anak-anak yang hanya diberitahu jawabannya benar.
Pengamatan dilakukan pada sekelompok mahasiswa/i yang sedang kerja praktik di sebuah surat kabar
universitas; saat itu mereka sedang belajar menuliskan sebuah artikel tentang sebuah judul berita
utama. Seiring waktu mahasiswa/i tersebut semakin mampu bekerja dengan cepat. Kemudian, ada
beberapa mahasiswa/i yang dibayar untuk setiap judul berita utama yang mereka mampu hasilkan, dan
setelah beberapa lama mahasiswa/i yang dibayar ini hasil kinerjanya berhenti berkembang. Mereka
yang tidak menerima bayaran terus berupaya mengasah diri menjadi lebih baik.
o Murid-murid diminta berpikir mengenai hadiah atau penghargaan yang bisa mereka dapatkan
bila berhasil menulis sebuah puisi. Kreatifitas kelompok murid-murid ini menjadi berkurang,
dibandingkan dengan yang tidak diberitahukan tentang hadiah yang bisa mereka terima.
o Penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan seni atau sebuah penulisan cerita menjadi kurang
kreatif bila dijanjikan sebuah hadiah/penghargaan.
o Dalam tugas-tugas memecahkan masalah, para murid memakan waktu lebih lama dan
memberikan jalan keluar kurang kreatif, saat mereka dijanjikan suatu penghargaan.
Penghargaan Menghukum
Semua orang senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan berbagai cara. Bila mereka
tidak bisa mendapatkan kebutuhannya dengan cara yang positif, mereka bisa melanggar peraturan atau
melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebajikan.
Seorang murid yang tidak begitu berhasil secara akademik mungkin kebutuhannya akan penguasaan
tidak terpenuhi di sekolah. Oleh karena itu, mungkin dia akan mencoba untuk memenuhi kebutuhannya
akan penguasaan, dengan mencoba mengatur orang lain di lapangan bermain, atau bahkan menyakiti
mereka secara fisik. Sebagai guru, kita dapat melibatkannya dalam kegiatan yang memberi peluang
murid tersebut membuat pencapaian yang berarti.
Seorang yang tidak merasa diterima oleh teman-temannya, kebutuhannya akan kasih sayang dan rasa
diterima tidak terpenuhi, oleh karena itu dia mungkin akan memiliki satu teman dan memisahkan diri
yang lain. Sebagai guru, kita bisa membangun hubungan yang bisa membangun kepercayaan dan
keintiman dengan anak ini.
Konsep 5 kebutuhan dasar manusia tidak hanya berlaku bagi anak-anak atau murid-murid, namun juga
bagi manusia dewasa, dalam setting sekolah adalah para tenaga pendidik dan kependidikan. Lihatlah
para guru di sekolah Anda. Dapatkan Anda memprediksi kira-kira guru mana yang memiliki kebutuhan
dasar yang tinggi akan penguasaan, kebebasan, kesenangan, atau kasih sayang dan rasa diterima?
Kebutuhan dasar mana yang sedang berusaha dipenuhi oleh guru ketika mereka melakukan sebuah
tindakan tertentu? Kalau begitu, apa yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin sekolah
berdasarkan konsep 5 kebutuhan dasar ini dalam rangka mewujudkan lingkungan dan budaya sekolah
yang positif?
Glasser menyatakan bahwa kapasitas untuk berubah ada di dalam diri kita. Jika kita dapat
mengidentifikasi kebutuhan apa yang mendorong perilaku kita, maka perubahan perilaku positif dapat
dimulai dengan mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara yang positif.
Dunia Berkualitas
Dunia Berkualitas Anda adalah tempat khusus dalam pikiran Anda, tempat Anda menyimpan gambaran
representasi dari semua yang Anda inginkan: bisa berisi orang-orang, hal-hal dan apa saja yang terbaik
dalam hidup Anda dan membuat Anda merasa bahagia dan terpenuhi kebutuhan dasar Anda. Dr.
William Glasser menyebutnya seperti semacam album foto sehingga isinya tidak akan terlalu banyak,
hanya akan terdiri dari beberapa hal saja yang sangat signifikan dan benar-benar terbaik dalam hidup
Anda yang membuat hidup Anda menjadi lebih bermakna. Kebutuhan dasar bersifat lebih umum dan
universal, sedangkan dunia berkualitas lebih unik dan personal.
Orang, tempat, benda, nilai-nilai, dan kepercayaan yang penting bagi Anda akan termasuk di sana. Untuk
masuk ke dunia berkualitas, syaratnya adalah bahwa sesuatu itu harus terasa sangat baik bagi Anda dan
memenuhi setidaknya satu atau lebih kebutuhan dasar Anda. Dalam menentukan segala sesuatu yang
masuk dalam dunia berkualitas, tidak perlu kita terlalu mempertimbangkan standar masyarakat tentang
apa saja yang penting dan yang tidak. Gambaran dunia berkualitas adalah unik dan spesifik untuk setiap
orang. Jika Anda bisa hidup di dunia berkualitas Anda, hidup akan sempurna buat Anda, tapi sayangnya,
Anda tidak bisa tinggal di sana.
Murid kita juga mempunyai gambaran dunia berkualitas mereka. Tentunya sebagai guru kita ingin
mereka memasukkan hal-hal yang bermakna dan nilai-nilai kebajikan yang hakiki ke dalam dunia
berkualitas mereka. Bila guru dapat membangun interaksi yang memberdayakan dan memerdekakan
murid, maka murid akan meletakkan dirinya sendiri sebagai individu yang positif dalam dunia
berkualitas karena mereka menghargai nilai-nilai kebajikan.
5 Posisi Kontrol
Berikut ini akan disampaikan suatu program disiplin positif yang berpusat pada murid, yang
dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol.
Mari kita tinjau lebih dalam kelima posisi kontrol ini. Dibagian bawahnya adalah contoh peragaan yang
dikutip dari Yayasan Pendidikan Luhur (2007) di mana ada seorang murid yang melanggar suatu
peraturan sekolah. Selanjutnya ada dialog antara seorang guru dengan murid tersebut, serta bagaimana
guru tersebut menjalankan disiplin dengan menggunakan kelima posisi kontrol untuk kasus yang
sama: Adi yang terlambat hadir di sekolah .
Penghukum
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan
posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat
lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan
berkata:
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.
Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk menghardik):
“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat waktu?”
Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu pada saat muridnya datang terlambat?
Hasil:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah kembali duduk,
murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih buruk lagi, sepulang sekolah,
murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan menggores kendaraan tersebut dengan paku.
“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak
berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.
Pembuat Merasa Bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh: merapat pada anak, lesu):
“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat lagi. Kamu kenapa
ya senang sekali mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali.”
Hasil:
Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya. Murid akan
merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Kadangkala sikap
seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena emosi akan tertanam rapat di dalam, murid
menahan perasaan. Tidak seperti murid dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa
menumpahkan amarahnya walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba
bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.
Teman
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui
persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang
terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk
mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan
kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi
berusaha. Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan
tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.
Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid, mata dan senyum
jenaka)
“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa terlambat lagi?
(sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana. Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini.”
(sambil senyum-senyum).
Hasil:
Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif, hanya saja di sisi
negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada masalah, dia merasa bisa mengandalkan
guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila
yang menyuruh adalah guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang lain.
Pemantau
Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-
orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi.
Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid,
sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya apa?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai
bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi
pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam
mengontrol murid.
Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti konsekuensi yang harus dilakukan bila
terlambat?”
Adi: “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan mengerjakan tugas
ketertinggalan saya.”
Guru: “Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus tinggal di kelas untuk menyelesaikan tugas
yang tertinggal tadi. Saya tunggu”
Hasil:
Murid memahami konsekuensi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah satu peraturan
sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah atau membuat merasa
berbuat salah. Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu dengan harus tinggal kelas pada waktu jam
istirahat dan mengerjakan tugas. Guru tetap harus memantau murid pada saat mengerjakan tugas di
jam istirahat karena murid tidak bisa ditinggal seorang diri.
Manajer
Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid,
mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat
menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi
teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada
kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia
yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat
menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk
menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada
kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki
kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat
mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi
mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi Teman atau Pemantau,
karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi atau diundang melakukan restitusi. Namun
perlu disadari tujuan akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana
di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala
perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan
aman.
Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah ini?”
Adi: “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal.”
Guru: “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa hadir tepat waktu
ke sekolah?”
Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu meninggikan suara,
apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak pinggang, atau bersikap seolah-olah menyesal, tampak
sedih sekali akan perbuatan murid ataupun bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.
Fokus ada pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid sudah mengetahui
adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil posisi Pemantau, guru akan
melihat apa konsekuensinya apa peraturannya? Namun pada posisi Manajer, guru akan mengembalikan
tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan bimbingan
guru.
SEGITIGA RESTITUSI
Ketiga strategi tersebut direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi. Langkah-langkah tersebut tidak
harus dilakukan satu persatu secara kaku. Banyak guru yang sudah menggunakannya dalam berbagai
versi menurut gaya mereka masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori restitusi.
o Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?
Kalau kita mengatakan kalimat-kalimat diatas, akan sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin,
buat anak untuk tetap membangkang. Para guru yang bertugas mengawasi anak-anak saat mereka
bermain di halaman sekolah, menyatakan bahwa bila mereka mengatakan kalimat tersebut yang
mungkin hanya butuh 30 detik, bisa mengubah situasi yang sulit menjadi kooperatif.
Ketika seseorang merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses bagian otak yang
berfungsi untuk berpikir rasional, seperti yang Bapak Ibu CGP telah pelajari di modul 1.2 tentang konsep
otak 3-in-1 (Triune). Saat itulah ketika kita harus menstabilkan identitas anak. Sebelum terjadi hal-hal
lain yang bisa memperburuk keadaan, kita sebaiknya membantu anak untuk tenang dan kembali ke
suasana hati dimana proses belajar dan penyelesaian masalah bisa dilakukan.
Tentu akan sulit melakukan restitusi bila, anak yang berbuat salah terus berfokus pada
kesalahannya. Ada 3 alasan untuk ini, pertama rasa bersalah menguras energi. Rasa bersalah
membutuhkan energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk mencari penyelesaian masalah.
Kedua, ketika kita merasa bersalah, kita mengalami identitas kegagalan. Dalam kondisi ini, orang akan
cenderung untuk menyalahkan orang lain atau mempertahankan diri, daripada mencari solusi. Ketiga,
perasaan bersalah membuat kita terperangkap pada masa lalu dimana kita sudah tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengontrol apa yang akan terjadi di masa kini dan masa datang.
Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki maksud/tujuan
tertentu. Seorang guru yang memahami teori kontrol pasti akan mengubah pandangannya dari teori
stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin
tidak suka sikap seorang anak yang terus menerus merengek, tapi bila sikap itu mendapat perhatian kita,
maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat di bawah ini mungkin terdengar
asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan
mereka.
o “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”
o “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi sesuatu yang penting
buatmu”.
o “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru.”
Biasanya guru menyuruh anak untuk menghentikan sikap yang tidak baik, tapi teori kontrol menyatakan
bahwa resep itu tidak manjur. Mungkin tindakan guru dengan memvalidasi sikap yang tidak baik seperti
bertentangan dengan aturan yang ada, namun sebetulnya tujuannya untuk menunjukkan bahwa guru
memahami alasan di balik tindakan murid.
Restitusi tidak menyarankan guru bicara ke murid bahwa melanggar aturan adalah sikap yang baik, tapi
dalam restitusi guru harus memahami alasannya, dan paham bahwa setiap orang pasti akan melakukan
yang terbaik di waktu tertentu. Sebuah pelanggaran aturan seringkali memenuhi kebutuhan anak akan
penguasaan/power walaupun seringkali bertabrakan dengan kebutuhan yang lain, yaitu kebutuhan akan
kasih sayang dan rasa diterima/love and belonging. Kalau kita tolak anak yang sedang berbuat salah, dia
akan tetap menjadi bagian dari masalah, namun bila kita memahami alasannya melakukan sesuatu,
maka dia akan merasa dipahami.
Para guru yang telah menerapkan strategi ini mengatakan bahwa anak-anak yang tadinya tidak
terjangkau, menjadi lebih terbuka pada mereka. Strategi ini menguntungkan bagi murid dan guru
karena guru akan berada dalam posisi siswa, dan karena itu akan memiliki perspektif yang berbeda.
Penting untuk menanyakan ke anak, kehidupan seperti apa nantinya yang mereka inginkan?
Apakah kamu ingin menjadi orang yang sukses, bertanggung jawab, atau bisa dipercaya?
Kebanyakkan anak akan mengatakan “Iya,” Tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya menjadi orang
seperti itu. Guru dapat membantu dengan bertanya, seperti apa jika mereka menjadi orang seperti itu.
ketika anak sudah mendapat gambaran yang jelas tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, guru
dapat membantu anak-anak tetap fokus pada gambaran tersebut.