Anda di halaman 1dari 8

Paradigma Baru Kurikulum Merdeka Belajar dalam Membangun

Budaya Positif Anak


Budaya positif sejatinya harus dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu dengan cara merubah
mindset. Namun  seringkali kita berpemikiran bahwa kita bisa merubah mindset seseorang
dengan cara menghukum, memberi hadiah, atau jika  kedua  cara tersebut tidak berhasil
maka kita akan melakukan jurus andalan  yaitu dengan memaksa.

Terdapat beberapa paradigma yang  keliru selama ini yaitu paradigma stimulus respon yang
menyatakan bahwa kita bisa mengontrol murid dengan sekehendak hati tanpa memikirkan
perasaan serta keinginan murid. Kita sering beranggapan bahwa dengan melakukan kritikan
yang dapat menimbulkan rasa bersalah akan menguatkan karakternya. 

Kita selama ini beranggapan bahwa semua penguatan positif adalah cara yang efektif dan
bermanfaat. Dan yang lebih ironis lagi kita  beranggapan bahwa orang dewasa dalam hal ini
guru dan orang tua memiliki hak untuk memaksa anak-anak. Padahal paradigma stimulus
respon bukanlah pilihan yang bijaksana untuk diterapkan.

Berbeda halnya dengan paradigma   teori kontrol yang  mempunyai pandangan yang bijak
dalam menghadapi anak dan orang dewasa.  Paradigma  teori kontrol beranggapan bahwa
semestinya kita berusaha memahami pandangan orang lain bukan mengontrol pandangan.
Teori kontrol berpendapat bahwa hanya diri kita sendiri yang dapat mengontrol apa yang
menjadi prinsip dan nilai diri bukan orang  lain.

Dengan kolaborasi dan konsensus dapat menciptakan pilihan-pilihan baru melalui sharing
bersama bukan dengan paksaan ketika bujukan gagal. Teori kontrol menawarkan
kemenangan baik bagi diri kita dan orang lain. Karena sejatinya untuk menciptakan budaya
disiplin diperlukan cara yang bijaksana. 

Berbicara tentang disiplin, disiplin sendiri berasal dari bahasa Latin, 'disciplina', yang artinya
belajar.  Meurut  Socrates dan  Plato Disiplin diri adalah suatu pemikiran yang membuat
orang  menggali potensinya menuju sebuah tujuan, menurut apa yang dihargainya.
Namun dalam budaya kita makna disiplin  mengalami perubahan  yang bersifat konotasi.
Makna disiplin menurut budaya kita berubah menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang
pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan.
Kecenderungan umum adalah menghubungkan kata disiplin dengan ketidak nyamanan,
bukan dengan apa yang kita hargai, atau pencapaian suatu tujuan mulia. 

Sehingga selama ini anak melakukan perbuatan baik dan memilih melaksanakan suatu
peraturan karena merasa takut akan hukuman yang akan diterima atau bahkan memilih
bertindak disiplin karena ingin mendapatkan hadiah baik berupa barang ataupun berupa
pujian.

Melaksanakan kedisiplinan dengan dengan kedua alasan tersebut dikatakan sebagai


motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang terbangun dari luar. 
Motivasi  yang terbangun secara ekstrinsik hanya bersifat sementara karena jika anak
merasa tidak ada yang ditakuti dan tidak adanya hukuman atau tidak tersedianya hadiah
yang diinginkannya maka anak atau seseorang akan kembali melakukan pelanggaran
kedisiplinan.

Lantas bagaimana cara menumbuhkan kedisipilan yang sesuai dengan teori motivasi pada
manusia?.Motivasi intrinsic dapat kita tumbuhkan dalam diri anak-anak ketika kita mampu
menghargai nilai-nilai kebajikan  yang ada pada diri anak serta menuntun anak-anak untuk
menemukan nilai-nilai kebajikan yang telah  diyakinnya.

Seperti apa yang telah dikatakan Ki Hadjar Dewantara melalui filosofinya, bahwasannya
seorang pendidik diibaratkan  sebagai seorang petani maka ia dapat memperbaiki kondisi
tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-
jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya." (Ki Hadjar Dewantara,
Lampiran 1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan,
Febr.1937.

Menuntun untuk menumbuhkan budaya positif tak  dapat dipisahkan   dari  kata "Merdeka".
Karena dengan merdeka anak merasa bebas menentukan keinginannya yang menurutnya
benar  dengan tanda kutip setelah mendapat tuntunan dari guru tentang perilaku kebaikan
yang ada pada anak dan anak menghargai nilai kebenaran  yang telah diyakinnya. Menurut
Ki Hajar Dewantara "...merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi
juga cakap buat memerintah diri sendiri." (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi,
Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013,Halaman 469). 

Jika memperhatikan makna merdeka yang disampaikan Ki  Hadjar Dewatara dapat
disimpulkan dengan memberikan  kemerdekaan pada anak, akan menumbuhkan motivasi
intrinsic pada anak karena anak akan melakukan kedisiplinan karena paham akan manfaat
kedisiplinan bagi dirinya. Anak mampu memerintah dirinya kapan waktu belajar karena anak
memahami manfaat belajar bagi dirinya.

 Bagaimana proses menumbuhkan motivasi intrinsik? Menumbuhkan motivasi intrinsik tidak


serta merta terbangun layaknya membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan proses dan
langkah-langkah untuk megimplemenasikannya. 

 Di sekolah motivasi intrinsik harus dimulai dari diri guru sendiri sebagai penyebar virus
budaya positif. Kemudian dapat dimulai di dalam kelas yang diampuhnya, lalu menjalar ke
lingkungan sekolah bahkan dapat terimbas di lingkungan rumah .
Virus budaya positif dapat di tularkan guru di kelas melalui pembentukan keyakinan kelas.
Keyakinan kelas adalah suatu kesepakatan positif berisi nilai-nilai kebajkan yang dibuat
bersama-sama antara guru dan siswa untuk mendukung tumbuhnya motivasi intrinsik. 

 Melalui kesepakatan kelas yang telah dibuat sendiri oleh anak, anak di beri tantangan untuk
mampu melaksanakan keyakinan kelasnya dan diberikan konsekuensi yang mendidik jika
anaka belum mampu melaksanakan keyakinan kelas yang telah dibuatnya. 

Sebagai contoh jika anak menumpahkan air di meja maka  konsekuensinya anak
membersihkan tumpahan air di meja tersebut. Memang sih anak merasa tidak nyaman akan
konsekuensinya namun itu besifat sementara setelahnya anak akan menyesuaikan diri,
kaena dari sini anak akan belajar mematuhi peraturan yang bagus untuk menumbuhkan
konsep pada dirinya. Anak akan menghargai  disiplin dan belajar untuk tanggap dengan
peristiwa sekitar.

Ketika anak melanggar peraturan langkah yang sebaiknya di ambil guru adalah melakukan
restitusi. Apakah restitusi itu? Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk
memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka,
dengan karakter yang lebih kuat (Gossen;2004). Proses melakukan restitusi yaitu dengan
berbicara empat mata antara murid dengan guru.

Dalam pembicaraan tersebut guru perlu  mengidentifikasi 5 dasar kebutuhan yang ada pada
anak. Apakah anak tersebut melakukan pelanggaran karena membutuhkan cinta
kasih/perasaan di terima. Ataukah butuh kesenangan, kebebasan, survival atau karena
adanya keinginan butuh penguasaan.
Setelah mengetahui kebutuhan dasar manusia yang ada pada anak langkah selanjutnya
adalah menempatkan kita (guru) pada posisi kontrol yang tepat ketika proses menuntun.
Terdapat 5 posisi kontrol antara lain:
1. Guru sebagai penghukum.
Contoh perkataan guru : "Kalau kamu tidak melakukannya, awas ya! Rasakan!    
2. Guru sebagai pembuat merasa bersalah pada anak.
Contoh perkataan guru : "Ayolah, lakukan demi Ibu..." "Masa kamu tidak mau, ingat tidak
Ibu pernah bantu..."
3. Guru sebagai teman, guru sebagai pemantau
Contoh perkataan guru: "Apa peraturannya?"
4. Guru sebagai manager. Contoh perkataan guru: "Apa yang kita yakini? Apa yang bisa kau
kerjakan untuk memperbaiki masalah ini?"
Nah dari ke empat posisi control di atas, manakah yang anda pilih untuk menyelesaikan
masalah pada siswa anda?
Yap betul, pendapat anda sama dengan pendapat saya. Saya lebih memilih posisi control
sebagai manager ketika melakukan restitusi pada siswa saya yang melanggar peraturan. 
Karena dengan memposisikan diri sebagai manager akan menguakan pribadi siswa dan
dampak pada murid yaitu siswa akan mengevaluasi diri bagaimana cara memperbaiki
dirinya. 
Di posisi manager ini siswa akan memposisikan dirinya sebagai individu yang yang positif
dari dunia yang berkualitas yang terbangun dari dalam dirinya sendiri.
 Berbeda dengan ketika kita memposisikan diri sebagai teman atau pemantau, siswa akan
merasakan ketergantungan dan dan akan menyesuaikan diri jika hanya di awasi. 
Memang sih siswa akan patuh tapi murid  meletakkan guru di sebagai orang yang sangat
penting di dunia berkualitas dan murid meletakkan guru peraturan dan hukum di dunia
berkualitas.       
 Memang  sih anak akan patuh dengan peraturan tetapi kepatuhan tersebut terbangun dari
luar yaitu adanya imbalan atau ketergantungan kepada orang lain yang biasa kita sebut
motivasi ekstrinsik.
 Apalagi jika kita memposisikan diri sebagai penghukum ketika siswa melakukan suatu
pelanggaran, maka kita akan menjadi guru yang gagal dalam menuntun siswa. Karena selain
hanya menumbuhkan motivasi ekstrinsik siswa hasilnya siswa akan menjadi seorang
pemberontak dan akan menyalahkan orang lain bahkan berbohong karena takut akan
hukuman.
 Dan murid meletakkan guru di luar dunia berkualitas artinya murid tidak akan segan dan
menghormati gurunya. Bagaimana bapak/ibu guru hebat? 
Sudahkah anda menentukan pilihan untuk memposisikan diri pada posisi yang tepat?
Selamat....anda akan mewujudkan misi anda dalam mewujudkan visi anda untuk murd-
murid tercinta.
 Dalam menyampaikan pesan terdapat tiga cara yang dapat kita lakukan agar pesan diterima
siswa dengan baik.
1. Melalui kata-kata.
Jika dihitung dalam prosentase penyampaian pesan melalui kata-kata akan terserap 10 %.
2. Melalui  nada suara
Nada suara dapat menyampaikan pesan sebanyak 35 % artinya panyampaian pesan melalui
nada suara berkontribusi lebih tinggi dari pada menggunakan kata-kata.
3. Melalui bahasa non verbal/bahasa tubuh
Bapak /ibu guru hebat ternyata penyampaian pesan menggunakan bahasa non verbal atau
menggunakan gesture tubuh lebih besar tersampaikan yaitu sebesar 55% artinya anak lebih
memahami pesan melalui gerture tubuh misal memberikan uplouse ketika anak berani
tampil, atau memberi jempol dua ketika anak berhasil menjawab pertanyaa.Atau  mengelus
kepala anak jika anak berbuat baik.      
 Menempatkan diri dengan menentukan posisi control sebagai manager, memahami
kebutuhan dasar anak, konsekuensi, dan keyakinan kelas adalah bagian dari sebuah restitusi
yaitu upaya yang dilakukan guru untuk menumbuhkan budaya positif yang terbangun secara
intrinsik. 
Berikut adalah segitiga restitusi yaitu langkah-langkah menyusun pertanyaan dan perlakuan
yang tepat kepada murid yang melanggar peraturan. 
1. Langkah pertama yaitu Menstabilkan Identitas 
Yaitu tindakan guru kepada murid yang bersalah dengan menjadikan murid merasa positif
terhadap dirinya.
Contoh perkataan guru: 
Berbuat salah itu hal yang manusiawi,tidak ada manusia yang sempurna. Bapak/Ibu juga
buat salah kita pasti bisa menyelesaikan permasalahan ini. Bapak/Ibu tidak tertarik untuk
mencari tahu siapa yang benar, siapa yang salah, Bapak/Ibu lebih tertarik untuk
menyelesaikan masalah. Kalau kamu menyalahkan dirimu sendiri terus menerus, apakah
kamu bersikap baik pada dirimu sendiri?
2. Kedua Validasi Tindakan yang Salah.
Pada langkah ini guru membantu murid mengenali basic need/kebutuhan (basic needs
(kebutuhan dasar), apakah itu power (penguasaan), freedom (kebebasan), love and
belonging (diterima), fun (kesenangan) atau survival (bertahan hidup) yang ingin
dipenuhinya ketika melakukan kesalahan itu.
Contoh perkataan guru:
Kamu bisa saja kan melakukan hal yang lebih buruk, tapi kamu tidak melakukannya kan?
Kamu pasti punya alasan mengapa melakukannya
Apa yang penting bagi kamu?
Kamu boleh tetap berusaha menjaga sikap itu, tapi tambahkan sikap yang lain, yang baru,
Maukah kamu belajar cara lain untuk mendapat yang kamu butuhkan tanpa harus
memukul?
Apakah kamu bisa melakukan dengan lebih baik besok lagi?
Langkah ketiga yaitu Menanyakan Keyakinan
Pada langkah ini guru akan mengajak murid melihat kesalahannya kemudian dihubungkan
dengan nilai-nilai kebajikan yang diyakininya, yang mendasari manusia berinteraksi dengan
orang lain. Hal ini berhubungan dengan keyakinan kelas yang terlebih dahulu di buat dan
disepakati bersama.
Contoh perkataan guru:      
Apa nilai yang kita percaya di kelas/sekolah kita? Nilai-nilai kebajikan/Keyakinan apa yang
telah kita sepakati? Kelas yang ideal itu seperti apa sih? Kamu ingin jadi anak seperti apa?
Apa yang kamu rasakan? Ketika kamu melakukan itu, kamu menjadi orang yang seperti apa?
Nah demikianlah cara-cara pembangun budaya positif melalui paradigm baru yang dapat
kita tanamkan kepada anak-anak didik kita. Semoga bermanfaat dalam membangun
karakter dan terwujudnya profil pelajar Pancasila.

Untuk mengetahui langkah penerapan segitiga restitusi dalam satuan


pendidikan, silahkan simak artikel ini sampai selesai.

Dalam menerapkan disiplin positif, satuan pendidikan bisa


melakukan segitiga restitusi untuk merangsang para peserta didik.

Dijelaskan bahwa segitiga restitusi ini adalah sebuah upaya agar peserta


didik bisa berproses dalam memperbaiki kesalahan yang mereka lakukan.

Ada 3 langkah restitusi yang harus dilakukan untuk menciptakan disiplin


yang positif, antara lain menstabilkan identitas, validasi tindakan, serta
menanyakan keyakinan.

Jika seorang pendidik mampu menyelesaikan 3 tahapan tersebut, peserta


didik secara responsif akan memperbaiki kesalahannya.
Langkah Penerapan Segitiga Restitusi
Untuk mencapai 3 tahapan tersebut ada beberapa cara yang harus
dilakukan oleh para pendidik.

Dan berikut contoh langkah penerapan segitiga restitusi yang bisa menjadi


referensi saat peserta didik melakukan kesalahan.

Contoh Kasus
Pagi ini ada salah seorang siswa datang ke kelas dengan terlambat. Sebut
saja namanya Rio.

Rio datang 1 jam setelah jam pelajaran sudah dimulai dengan kondisi yang
sangat kacau. Rambutnya berantakan, bajunya tidak rapi, dan terlihat
sangat tidak bersemangat.

Salah satu temannya, Abul bertanya kepadanya, “kenapa kamu


berantakan?".

Sontak Rio marah-marah kepada abul dan beradu mulut. Bahkan saking
kesalnya, Rio memberikan beberapa pukulan kepada Abul. Hingga
akhirnya mereka berkelahi di kelas.

Teman yang ada di kelas mereka berubah menjadi ricuh, dan pada
akhirnya salah satu diantara mereka memanggil guru konseling di kantor.

Karena tidak ingin berkepanjangan, Rio dan Abul dipanggil ke kantor untuk
dilakukan restitusi.

Restitusi

Dalam hal ini, guru BK tersebut menanyakan terlebih dahulu permasalahan


antara keduanya.

Ternyata, Rio tidak senang dengan ucapan Abul yang mengatakan bahwa
ia orangnya berantakan dan tidak bersemangat.

Hingga guru BK tersebut menawarkan Restitusi, dan mereka setuju.


Adapun segitiga restitusi yang harus diterapkan ialah:

1. Menstabilkan Identitas

Guru BK yang mengatasi kasus ini bisa menanyakan:


 Menurut Rio, perbuatan yang dilakukannya benar atau salah?
 Atau, setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan.

2. Validasi Tindakan

Setelah proses pertama selesai dan sukses dilakukan maka, tugas guru
melakukan validasi Tindakan yang salah

 Rio pastinya punya alasan mengapa melakukan Tindakan tersebut?


 Atau sekarang Rio bisa menceritakan kepada ibu, ada masalah apa?

3. Menanyakan Keyakinan

Setelah langkah kedua selesai, guru bisa mulai menanyakan keyakinan


dari siswa tersebut.

 Kita sudah membuat keyakinan kelas


 Keyakinan kelas apa yang telah disepakati bersama?
 Apakah Rio meyakini adanya keyakinan di kelas?
 Namun, jika Rio meyakini, apakah kamu bersedia memperbaikinya?
 Bila Rio memperbaikinya, berarti hal ini menunjukkan seperti apa Rio yang
sebenarnya?
 Lalu, apa rencana kedepan Rio untuk memperbaiki dalam kasus ini?

Berikut itu tadi langkah penerapan segitiga restitusi yang bisa digunakan


di satuan pendidikan. 

Usahakan dalam melakukan restitusi, pendidik bisa menggunakan bahasa


maupun kalimat yang tidak memojokkan salah satu pihak.***

Anda mungkin juga menyukai