Anda di halaman 1dari 8

Koneksi Antar Materi - Modul 1.4.

Tirza Singkoh – CGP Angkatan 9 – SDN 7 Pagal II / Tayak Kec. Tempunak, Kab. Sintang - KALBAR

Pada kesempatan kali ini saya akan meninjau ulang keseluruhan materi pembelajaran di paket Modul 1.
Adapun Paket Modul 1 terdiri dari :

1. Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional – Ki Hajar Dewantara


2. Nilai – Nilai dan Peran Guru Penggerak
3. Visi Guru Penggerak
4. Budaya Positif

Setelah saya mempelajari modul ini, saya menyadari bahwa pentingnya untuk guru memahai konsep –
konsep inti dari disiplin positif, motivasi perilaku manusia yang berhubungan dengan hukuman dan
penghargaan., posisi kontrol yang di miliki guru, keyakinan kelas serta penerapan segitiga restitusi
dalam penyelesaian masalah, dan penerapan itu semua berlandas pada Filosofi Pendidikan Nasional,
yang di padankan dengan Nilai, Peran dan Visi dari Guru Penggerak.

Dengan berada di posisi ini, saya memiliki peran untuk mewujudkan lingkungan yang berbudaya positif
di kelas saya pada khususmya, dan di sekolah saya pada umumnya, bahkan untuk sekolah – sekolah
yang ada di lingukungan saya.

KONSEP INTI BUDAYA POSITIF


A. Disiplin Positif
Ketika saya mendengar kata disiplin, saya langsung terpikir tentang tegas, tertib, kaku bahkan
cenderung ke ala militer. Ternyata sesudah saya mempelajari modul ini, saya sadar bahwa
sebenarnya disiplin itu berasal dari bahasa Latin, ‘disciplina’ yang artinya ‘belajar’, dan kata
‘discipline’juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau murid/pengikut. Dari hal
tersebut, kita bisa melihat bahwa seorang murid, menjadi sifat alamnya disiplin. Bukan soal
mengikuti peraturan,tapi dari dalam dirinya memiliki motivasi untuk melakukan yang seharusnya,
karena dia sadar dia sebagai murid, itu merupakan suatu sifat alamiahnya. Seperti halnya ikan, kita
tidak perlu mengajarkan ikan untuk berenang, karena jika dia seekor ikan, sifat alamiahnya yaitu
bisa berenang.
Setelah mempelajari modul ini, saya menyadari bahwa makna disiplin jika disandingkan oleh murid,
dimana bagaimana seorang murid bisa mengelolah dirinya, menggali potensi dalam dirinya, untuk
menjadi sesuatu yang dia hargai sebagai tujuan dari proses kegiatan mendisiplinkan dirinya. Hal ini
terkait dengan pengikut/murid tadi, dimana pengikut suatu ajaran atau seseorang, dengan motivasi
dari dalam dia mengikuti sosok yang di ikuti atau ajaran yang diikuti, dan itu timbul dari dirinya
karena dia menghargai sosok/ajaran tersebut, bukan karena paksaan orang lain, ataupun karena
suatu imbalan.
Bicara tentang disiplin positif, dalam situs www.ditsmp.kemdikbud.go.id yang membahas tentang
Penerapan Disiplin Positif di Satuan Pendidikan menguraikan bahwa, secara umum Disiplin Positif
adalah suatu pendekatan untuk menerapkan disiplin dari dala diri anak tanpa hukuman dan hadiah.
Dimana penerapan disiplin positif ini, bukan hanya sekedar mengatur murid di sekolah atau di
kelas, tapi memiliki tujuan yang lebih besar, yaitu dengan menumbuhkan budaya positif, yang
mengandung nilai – nilai kebajikan, yang menebalkan laku murid yang baik, dan membentuk
karakternya menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur yang nilai – nilai kebajikan itu, bukan hanya
mengontrol tindakannya tapi menjadikan nilai – nilai tersebut itu karakter dan mempengaruhi
setiap keputusan yang dia ambil dalam setiap aspek kehidupannya, yang memberi dampak bagi
kehidupannya pribadi, keluarga, masyarakat dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini
sejalan dengan Filosofi Pendidikan Nasional dari Bapak Ki Hajar Dewantara, tentang bagaimana
tujuan pendidikan bukan bicara tentang pengajaran, tetapi tentang menuntun segala kodrat pada
murid agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi – tingginya baik sebagai manusia
maupun sebagai anggota masyarakat. Demikian juga dengan nilai kebajikan yang terkandung dalam
budaya positif, salah satu paket dari nilai kebajikan yang ada dalam pendidikan Indonesia yaitu
Profil Pelajar Pancasila, diharapkan setiap murid Indonesia menghidupi keenam nilai kebajikan yang
terkandung dalam Profil Pelajar Pancasila.
Dengan diterapkannya Disiplin Positif, dengan alat pertimbangan menggunakan teori kontrol, teori
motivasi, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, segitiga restitusi dan
kaitannya dengan hukuman dan penghargaan diharapkan munculnya budaya positif yang menyatu
dengan murid, yang menjadi bagian dari dirinya membawanya ke masa depan untuk mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi – tingginya.

B. Teori Kontrol
Sebelum mempelajari teori kontrol di Modul 1.4., sebelumnya di Modul 1.2., sudah disinggung
mengenai Teori Pilihan, dimana satu – satunya orang yang perilakunya dapat kita kendalikan adalah
diri kita sendiri, sebagai guru atau bahkan orang tua, tidak bisa mengendalikan murid/ anak
sepenuhnya, merupakan pilihan dari yang bersangkutkan jika mau dikendalikan atau tidak. Dan di
bahas dalam Modul 1.4. lebih dalam mengenai ilusi yang sudah kebanyakan orang percayai,
tentang teori kontrol.
 Ilusi guru mengontrol murid
 Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat
 Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter
 Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa
Keempat ilusi ini bersarang di benak saya sekian lama. Ternyata saya terlalu sombong sebagai orang
dewasa. Pada kenyataannya, manusia dilahirkan ke dunia dengan hak membuat pilihan, karena
untuk tidak memilih merupakan suatu pilihan.

C. Teori Motivasi

Yang mengontrol manusia sepenuhnya adalah motivasi. Menurut Diana Gossen, menyatakan ada 3
motivasi perilaku manusia, yaitu :
1. Untuk menghindari ketidaknyaman atau hukuman. Motivasi ini adalah yang terendah dari
tingkatan motivasi perilaku manusia. Motivasi yang datang dari luar, Motivasi ekstrinsik.
2. Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Biarpun motivasi ini,
setingkat lebih tinggi dengan motivasi pertama, tapi motivasi ini masih merupakan motivasi
ekstrinsik.
3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan enghargai diri sendiri dengan nilai yang
mereka percaya. Motivsi ini adalah tingkat motivasi tertinggi, karena otivasi ini berasal dari
dalam, Motivasi Intrinsik.

Dalam pendidikan, sebagai guru lebih menumbuh kembangkan motivasi yang ketiga. Pada
kenyataannya memang tidak mudah, dan perlu pembiasaan tapi untuk mencapai karakter sesuai
dengan tujuan dari pendidikan.

D. Hukuman, Penghargaan, Konsekuensi dan Restitusi


Kalau mau di baca sepintas, hukuman dan penghargaan, berbanding terbalik. Tapi setelah
mempelajari, ternyata sama – sama negatifnya dalam proses pembentukan karakter murid.
Hukuman menciptakan identitas gagal dari murid, menyakiti murid dalam fisik dan mental, bahkan
bisa meninggalkan trauma. Hukuman juga bisa membuat anak mendendam, dan merasa tidak ada
adil diperlakukan. Hukuman adalah pilihan yang sangat tidak tepat dalam proses pendidikan.
Sementara penghargaan, ternyata akibatnya sama dengan hukuman. Menurut Alfie Kohn,
menyatakan beberapa hal tentang penghargaan, yaitu :
 Memiliki dampak jangka panjang dan pendek. Dalam jangka pendek sangat efektif, namun
jika dilakukan dalam jangka panjang, akan menyebabkan siswa kehilangan motivasi dari
dalam, bahkan membuat tidak menyadari alasan melakukan suatu tindakan, hanya terfokus
pada penghargaan yang diterima.
 Penghargaan tidak efektif jika tidak di berikan terus menerus, jika berhenti memberikan
penghargaan maka tindakan yang di harapkan tidak di lakukan oleh murid.
 Penghargaan merusak hubungan. Dengan sering memberikan penghargaan atau pujian,
murid hanya terfokus kepada penghargaan atau pujian sehingga hubungan dengan guru
tidak lagi dipererat karena hanya berhenti di titik menerima dan memberi
penghargaan/pujian.
 Penghargaan mengurangi ketepatan. Dengan adanya motivasi atas penghargaan, menurun
ketetapan dalam mengerjakan sesuatu. Karena fokusnya berpindah dari apa yang
dikerjakan ke apa yang akan di dapatkan.
 Penghargaan menurunkan kualitas. Dengan adanya penghargaan, murid tidak
memperhatikan kualitas, tapi lebih ke kecepatan. Karena biasanya dengan adanya
penghargaan, murid akan berlomba – lomba menyelesaikan yang dikerjakan, tanpa
memperhatikan kualitas.
 Penghargaan mematikan kreativitas. Dengan adanya penghargaan, melakukan sesuatu
hanya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh yang akan memberikan penghargaan, akan
ada penyesuaian yang mematikan kreativitas yang sebenarnya bisa timbul dan
berkembang.
 Penghargaan adalah menghukum mereka yang tidak mendapatkan penghargaan. Untuk
yang sering tidak mendapatkan penghargaan, mematahkan semangat dan motivasi, karena
mereka memahami kenyataan mereka tidak bisa bersaing dengan yang biasa mendapatkan
penghargaan. Akhirnya demi sebagian kecil murid yang mendapatkan penghargaan,
memberikan hukuman kepada sebagian besar murid.
 Penghargaan merampas kesenangan murid saat mencapai sesuatu. Bisa disimpulkan
penghargaan merusak motivasi intrinsik.
Berbeda dengan hukuman yang menyebabkan identitas gagal kepada murid, dengan sifatnya dibuat
oleh guru, tiba – tiba dan menyakiti murid, konsekuensi dinilai menyebabkan identitas yang sukses
bagi siswa. Konsekuensi berbeda dengan hukuman yang dibuat oleh guru, tapi dibuat oleh guru dan
murid, sehingga siswa sudah paham jika dia melakukan sesuatu, dia harus menerima konsekuensi,
tidak menyakiti tapi memberikan perasaan yang tidak nyaman. Dan konsekuensi termasuk pada
disiplin positif.
Sementera, berbeda dengan hukuman dan konsekuensi, restitusi merupakan pendekatan untuk
menciptakan disiplin positif yang tepat. Konsekuensi memang baik dalam membentuk identitas
murid, tetapi konsekuensi bersifat netral, jika ada kesalahan ada konsekuensi, sementara restitusi
lebih dari itu, karena restitusi adalah proses dimana guru menciptakan kondisi bagi murid untuk
dapat memperbaiki kesalahan, dan ketika murid kembali kepada kelompoknya, dengan karakter
yang kuat, karena dalam restitusi murid diberikan penguatan dan diingatkan kebali tentang nilai –
nilai kebajikan yang sudah disepakati dalam keyakinan kelas, bukan mendapat
hukuman/konsekuensi yang membuat tidak nyaman.
Restitusi adalah pendekatan yang tepat dalam menanamkan disiplin pada murid. Dengan
pendekatan ini merupakan suatu penerapan tindakan menuntun dan berpihak kepada murid,
membersamai murid dalam setiap proses hidupnya, bahkan dalam kesalahannya untuk menuntun
lebih baik bukan menghakimi apa yang benar atau salah.

E. Posisi Kontrol Guru


Melalui pendekatan restitusi , Diane Gossen mengemukanan 5 Posisi Kontrol Guru yang ditinjau
dari efektifnya di terapkan di kelas / sekolah.
1. Penghukum. Mengunakan hukuman verbal dan fisik. Nadanya menghardik dan keras. Dengan
tindakan dan perkataannya, menekan murid lebih lagi ketika murid melakukan pelanggaran.
Seorang penghukum biasanya percaya bahwa caranya adalah yang terbaik. Penghukum adalah
posisi yang mengarahkan pada identitas gagal, termasuk dalam perilaku kontrol negatif. Dan
motivasi yang di hasilkan murid karena adanya posisi kontrol ini.
2. Pembuat Merasa Bersalah. Biasanya menggunakan suara yang lebih lembut. Dan mengarahkan
kepada murid untuk merasa bersalah, tidak berharga dan rendah diri ketika melakukan
pelanggaran. Terkesan ramah dan lembut, posisi ini termasuk dalam perilaku kontrol negatif,
yang tidak bisa mengarahkan identitas gagal murid ke identitas sukses, bahkan posisi ini bisa
membuat murid merasa bersalah dan menyebabkan bunuh diri, dan dari posisi kontrol ini,
motivasi yang timbul dari murid adalah motivasi ekstrinsik/eksternal.
3. Teman. Guru yang memposisikan diri sebagai teman, tidak menyakiti murid, namun dengan
harapan bisa mengontrol murid. Posisi ini bisa negatif ataupun positif. Biasanya menggunakan
candaan untuk mempengaruhi murid, dan hubungan baik tercipta melalu posisi kontrol ini.
Namun, posisi kontrol ini sudah termasuk perilaku kontrol positif, dan bisa mengarahkan murid
mencapai identitas sukses, tapi motivasi murid masih motivasi ekstrinsik.
4. Pemantau. Menurut saya, posisi ini seperti mandor atau pengawas, yang selalu
membandingkan perilaku murid dengan peraturan yang berlaku, dan cenderung kaku,
menuntut perilaku dan jika ada pelanggaran, dengan tegas memamparkan kosekuensi dari
pelanggaran, tidak ada hubungan yang terjalin antara murid dan guru, seperti ada tembok
pemisah, dan sekedar hanya melaksanakan tugas masing – masing, tidak ada keterkaitan
emosinal.
5. Manajer. Posisi yang membersamai murid, memberikan kesempatan untuk murid
mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas
permasalahannya sendiri. Disinilah terwujud kepemimpinan murid, dan memberikan kecakapan
hidup kepada murid, untuk terbiasa bertanggung jawab, dan guru tidak melihat murid sebagai
anak kecil tapi seorang individu yang memiliki hak untuk memilih.

F. Kebutuhan Dasar Manusia


Setelah mempelajari tentang kebutuhan dasar manusia, saya bisa menyimpulkan bahwa tidak ada
perilaku buruk yang tidak ada alasannya. Tidak ada murid yang nakal, atau karakternya memang
nakal, tapi karena murid tersebut berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dengan cara
yang salah, dan akhirnya menentang nilai – nilai kebijakan yang ada.

G. Keyakinan Kelas
Saya menyadari bahwa dalam perlunya melibatkan murid, bebeda dengan peraturan. Generasi Z
berbeda dengan generasi sebelumnya yang cepat menerima peraturan, generasi Z yang
mempertanyakan segala sesuatu, sehingga ketika melibatkan mereka untuk membentuk keyakinan
kelas, menumbuhkan motivasi dari dalam diri, bukan hanya sekedar mendapat perhatian, atau
menghindari hukuman. Dan keyakinan menggunakan kata – kata positif. Tidak ada larangan tapi
hanya ada ajakan. Hal ini pun baik, supaya dengan membaca kalimat positif dari keyakinan kelas,
murid menjadikan itu suatu kebiasaan, berbeda dengan larangan mengenai suatu tindakan yang
tidak baik, hal itu akan tertanam dalam pikiran, dan ketika salah satu kebutuhan dasar murid tidak
terpenuhi, mereka akan melakukan larangan yang sudah tertanam dalam dalam pikiran mereka
sesuai dengan keyakinan kelas.

H. Segitiga Restitusi
Tentunya keinginan guru, setiap proses pembelajaran berjalan lancar, tapi tidak bisa dihindari jika
ada masalah dalam kelas / sekolah, dan dengan segitiga restitusi memberikan kita panduan yang
jelas dalam menghadapi ketidaksesuaian perilaku murid dengan keyakinan kelas atau nilai
kebajikan yang ada. Melalui Penstabilan Identitas, Validasi Tindakan yang Salah, dan Menanyakan
Keyakinan, membantu guru dalam menyelesaikan masalah, tanpa menyakiti murid dan
memberikan perasaan nyaman namun memperbaiki karakternya, menuju identitas sukses.

REFLEKSI
Dari konsep – konsep inti yang dipelajari, saya menyadari bahwa tentang posisi kontrol guru sangat
berpengaruh pada perkembangan karakter murid. Pembelajaran berpusat kepada murid, tetapi peran
guru tetap besar dalam proses membentuk pembejaran yang berpusat dan berpihak kepada murid. Saya
tidak menyangka bahwa selama ini saya mengambil posisi kontrol yang kurang tepat, dan memberikan
dampak yang tidak baik dalam proses murid mencari jati diri. Demikian juga tentang pemberian
penghargaan, ternyata itu merupakan suatu bentuk hukuman lain bagi murid lain.

Sejujurnya dalam mempelajari modul ini, ada banyak pertentangan dengan konsep yang ada dalam
pemikiran saya. Bahkan saya bingung. Melalui materi pada modul ini pemahaman saya seperti
mengalami rekonstruksi, karena ada hal – hal yang sudah berakar yang harus diganti dengan yang sesuai
dengan kodrat zaman. Saya bangga kepada guru – guru saya di saat saya duduk di bangku sekolah, saya
tahu karakter saya yang keras, dan berkat didikan mereka, saya bisa ada di titik ini, namun setelah
mempelajari modul ini, saya mendapati sikap dari guru – guru saya kurang tepat bahkan di golongkan
dengan perilaku kontrol negatif. Saya sering termenung karena pertentangan dalam diri saya, namun
saya menyadari cara mereka sudah tidak sesuai dengan kodrat zaman pada masa ini, dan perkembangan
dalam pedagogik yang memunculkan pendekatan – pendekatan yang menyempurnakan proses
pembelajaran pada zaman ini.

Dalam berbagai hal dalam cara berpikir saya mengalami perubahan. Dalam cara pandang saya kepada
siswa yang bermasalah, dahulu saya sering melabel murid yang nakal, tetapi sekarang ketika
menemukan murid yang bemasalah, saya menyadari bahwa tidak murid yang berperilaku buruk, tapi
yang ada yaitu murid yang berusaha memenuhi kebutuhan dasarnya dengan cara yang tidak tepat.

Dalam pemilihan posisi kontrol dalam pembelajaran juga, saya lebih paham mengenai pembelajaran
yang berpusat pada murid. Pembelajaran yang berpusat pada murid akan menjadi nyata ketika saya
paham tentang teori kontrol dan posisi kontrol. Dengan menyadari bahwa guru tidak bisa mengontrol
murid, dan perlunya mengambil posisi manajer ketika murid memiliki masalah, bukan menghardik,
membuat merasa bersalah, memaparkan peraturan tapi membersamai murid bagaimana dia
menyelesaikan masalah, dan menguatkan nilai – nilai kebajikan dalam dirinya melalui masalah tersebut,
adalah proses pendidikan yang berpihak kepada murid sepenuhnya. Karena jika tidak dengan
pemahaman tentang teori pilihan, kontrol, dan motivasi, ketika kita mengaku pembelajaran kita adalah
pembelajaran yang berpusat kepada murid, sesungguhnya itu hanyalah cangkang belaka.

Kaitannya dengan menciptakan budaya positif, saya menjadi paham bahwa dalam menciptakan budaya
positif tidak dilakukan oleh satu orang saja, tapi perlu adanya kolaborasi setiap warga sekolah, karena
kalau berbicara tentang budaya, berarti berbicara tentang suatu nilai yang dengan sengaja diadopsi,
dilakukan, dibiasakan, dikerjakan secara konsisten untuk dijadikan suatu tabiat atau karakter yang
menjadi bagian dalam karakter seseorang. Selain kolaborasi, yang dibutuhkan adalah waktu. Yaitu
konsisten dalam melakukannya, dan bermuara pada budaya positif.

Jadi jika disimpulkan, budaya positif itu berawal dari keinginan yang berlandas dari pemahaman yang
tepat mengenai teori motivasi, teori pilihan dan teori kontrol. Dimulai dengan membentuk keyakinan
kelas yang berisi nilai – nilai kebajikan global, dan jika ada pelanggaran menggunakan teori restitusi
untuk mengembalikan murid yang terpisah karena perilaku yang tidak sesuai dengan nilai kebajikan
kembali pada kelompoknya sekaligus dikuatkan. Menjadikan warga sekolah yang memiliki disiplin
positif, dan melalui proses waktu menjadikan hal tersebut menjadi budaya positif, yang walaupun sudah
lulus, budaya positif tersebut yang sudah menjadi bagian dari pribadi murid akan di bawa ke kehidupan
bermasyarakat.

Pengalaman yang sangat berarti yaitu saat saya menggunakan segitiga restitusi dan keyakinan kelas.
Saya menyadari bahwa tidak harus dengan hardikan atau bujukan murid dapat memahami nilai – nilai
kebajikan. Apalagi saya yang mengajar di sekolah dasar, awalnya saya berpikir murid nanti mengerti
kalau sudah dewasa, untuk saat ini cukup ikuti peraturan yang ada. Ternyata mereka bisa memahami
bagaimana cara mereka untuk nyaman dan bahagia, dan tidak terlalu jauh berbeda dengan orang
dewasa, bahkan mereka bisa memutuskan keyakinan kelas yang sesuai. Hanya dari guru saja yang belum
memberikan kesempatan kepada mereka. Dari keyakinan kelaspun, bisa terwujud kepemimpinan murid
salah satu peran dari guru penggerak. Memang saat mengutarakan peraturan sesuai versi mereka, ada
tercipta kuis tebak kata dadakan, karena penggunaan bahasa dayak yang kental di daerah tempat tinggal
mereka, sehingga saat mengutarakan dalam bahasa Indonesia sedikit terbatas, tapi setelah
mendiskusikan bersama – sama, terciptalah keyakinan kelas yang sesuai dengan harapan saya, bahkan
lebih dari itu, ada ide – ide yang tidak terpikirkan sebelumnya, tetapi mereka mampu menyebutkannya.

Setelah mengalami pengalaman tersebut, saya kagum dan terkesima, ternyata murid bisa terlibat
sedalam itu. Awalnya tentang peraturan, di tentukan oleh guru atau pihak sekolah, karena pendapat
kami murid tidak mengerti, tetapi kenyataannya mereka bisa. Saya juga bergembira karena saya bisa
mengerti akan teori – teori ini, dan saya mendapatkan perbaikan dalam cara berpikir saya, dan saya
mendapatkan strategi yang bisa meningkatkan kompetensi saya sebagai guru, untuk menciptakan
pembelajaran yang menghambakan kepada murid.

Dalam memberikan kesempatan kepada murid dalam menentukan keyakinan kelas sungguh sangat
efektif, karena selain nilai – nilainya kita jelaskan kepada murid, secara otomatis muncul rasa memiliki
atas keyakinan yang mereka buat dan munculnya motivasi dari dalam untuk menyanggupi keyakinan
tersebut. Yang perlu saya perbaiki, adalah dalam memaksimalkan tabel T dan Y, sebelumnya karena
masih hal yang baru bagi saya, tapi setelah diterapkan dan mendapatkan menguatan saat lokakarya dari
Pengajar Praktik juga, saya menyadari ada langkah – langkah yang perlu dimantapkan dalam
penyusunan keyakinan kelas, demikian juga dalam pelaksanaan segitiga restitusi kepada siswa yang
melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan keyakinan kelas ataupun nilai –nilai kebajikan.

Sebelum mempelajari modul ini, saya memandang posisi penghukum dan pembuat merasa bersalah
adalah suatu posisi yang wajar, setidaknya ada satu guru yang mengambil posisi ini supaya murid bisa
lebih tertib. Namun saya secara pribadi, saya lebih ke posisi teman dan pemantau. Ada saat saya
mengakrabkan diri dengan murid seperti teman, ada saatnya saya bisa menjadi pemantau yang
menuntut mereka sesuai dengan peraturan sekolah. Saya merasa kecewa, kenapa saya baru mengetahui
tentang teori posisi kontrol ini. Saya merasa sayang kepada murid – murid saya yang dahulu, seharusnya
mereka bisa mendapatkan perlakukan yang lebih baik lagi, dan keterbentukan karakter mereka bisa
lebih baik lagi.

Setelah mempelajari modul ini, sangat berbeda ketika saya sebelum mempelajari modul ini, karena
sebelumnya saya dominan ke posisi kontrol teman dan pemantau, tapi untuk kedepannya akan lebih
kepada posisi manajer, karena bagi saya posisi manajer sudah merangkum posisi teman dan pemantau,
tapi dengan cara yang sesuai dengan kodrat zaman murid pada zaman ini. Saya percaya dengan posisi
kontrol manajer sungguh sangat tepat dalam menuntun murid – murid saya dalam membentuk karakter
mereka sesuai dengan nilai – nilai kebajikan dari Profil Pelajar Pancasila.

Sebelum mempelajari modul ini, dalam menghadapi permasalahan murid saya sudah menerapkan
segitiga restitusi ini, biarpun tahapannya tidak lengkap. Untuk yang bertengkar, saya langsung dengan
memvalidasi kesalahan dan menanyakan keyakinan sesuai dengan ajaran agama. Untuk anak yang sakit
hati, saya biasanya menstabilkan identitas. Tapi pada kenyataanya memang tidak lengkap. Namun
sesudah mempelajari segitiga restitusi, saya bisa menyaring tindakan yang tidak perlu, bahkan bisa
merugikan murid dalam proses restitusinya.

Dalam proses menciptakan budaya positif, perlunya untuk guru memahami tentang pengelolaan
kesehatan mental dan emosi serta macam – macam tantangan mengenai hal tersebut. Bisa jadi ada
kelainan, atau kasus khusus, supaya nanti jika guru menghadapi hal tersebut, sudah memiliki teori dalam
menciptakan budaya positif di sekolah.

Anda mungkin juga menyukai