Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM

KI2241 ENERGETIKA

Percobaan D1 dan D2

Sifat-Sifat Koligatif

Nama : Teuku M. Rafif A.


NIM : 10519005
Hari : Rabu
Tanggal : 3 Maret 2021
Asisten : Rifaa Widasmara

LABORATORIUM KIMIA FISIK


PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2021
I. JUDUL PERCOBAAN

Sifat-Sifat Koligatif

II. TUJUAN PERCOBAAN

1. Menentukan keaktifan benzena sebagai pelarut dan naftalena sebagai zat terlarut
dengan menggunakan data penurunan titik beku (D1).
2. Menentukan berat molekul naftalena dengan menggunakan data kenaikan titik didih
(D2).

III. TEORI DASAR

Suatu zat terlarut yang dilarutkan ke dalam zat pelarut akan mengalami perubahan
sifat pelarut. Terdapat empat sifat utama fisika yaitu tekanan uap, titik didih, didik beku,
dan tekanan osmosa. Sifat-sifat tersebut yang tidak bergantung pada macamnya dirujuk
sebagai sifat koligatif larutan.
(Rivai, 1995)
Sifat koligatif larutan dapat dibedakan menjadai dua macam, yaitu sifat larutan
nonelektrolit dan elektrolit. Hal itu disebabkan zat terlarut dalam larutan elektrolit
bertambah jumlahnya karena terurai menjadi ion-ion, sedangkan zat terlarut pada larutan
nonelektrolit jumlahnya tetap karena tidak terurai menjadi ion-ion, sesuai dengan hal-hal
tersebut maka sifat koligatif larutan nonelektrolit lebih rendah daripada sifat koligatif
larutan elektrolit. Larutan merupakan suatu campuran yang homogen dan dapat berwujud
padatan, maupun cairan. Akan tetapi larutan yang paling umum dijumpai adalah larutan
cair, dimana suatu zat tertentu dilarutkan dalam pelarut berwujud cairan yang sesuai
hingga konsentrasi tertentu.
(Sastrohamidjojo, 2001)
Larutan adalah campuran yang homogen. Ada empat sifat yang berhubungan
dengan larutan encer, terutama berhubungan dengan jumlah pertikel terlarutnya.
Keempat sifat tersebut adalah penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih, penurunan
titik beku dan tekanan osmosis. Penelitian sifat koligatif mempunyai peranan penting
dalam metode penetapan bobot molekul dan pengembangan teori larutan.
(Petrucci, 1985)
Suatu larutan yang mendidih lebih tinggi dari pelarutnya, selisihnya disebut
kenaikan titik didih larutan. Hal ini dapat dilihat jelas pada diagram P dan T. Apabila
kebanyakan larutan encer yang terjadi maka pelarut murni akan terkristal terlebih dahulu
sebelum ada zat terlarut yang mengkristalkannya. Dalam pelarut encer, penurunan titik
beku berbanding lurus dengan banyaknya molekul zat terlarut atau molnya dalam massa
tertentu dari pelarut.
(Keenan, 1998)
IV. ALAT DAN BAHAN
A. D1 - Penurunan Titik Beku
Alat :
1. Gelas kimia 500 mL
2. Gelas kimia 50 mL
3. Tabung kaca dengan penutup
4. Gelas ukur 50 mL
5. Corong
6. Gelas kaca besar
7. Ring pengaduk besar
8. Ring pengaduk kecil
9. Spatula
10. Termometer
11. Pipet tetes
12. Kaca pembesar

Bahan :
1. Naftalena
2. Benzena

B. D2 – Kenaikan Titik Didih


Alat :
1. Alat Cottrel
2. Termometer Beckmann

Bahan :
1. Naftalena
2. Sikloheksana

V. CARA KERJA
A. Penurunan titik beku
Alat titik beku disiapkan dengan cara memasukkan es ke dalam gelas kaca besar.
Sejumlah larutan benzena dimasukkan ke dalam alat titik beku. Termometer dan
batang pengaduk dipasang pada tabung reaksi sedang. Larutan benzena diaduk secara
perlahan agar tidak membeku. Setiap 30 detik, suhu larutan diamati dan dicatat. Suhu
larutan akan menurun dan kemudian konstan. Pengamatan dihentikan saat suhu sudah
konstan. Sejumlah padatan naftalena ditimbang dengan neraca analitik. Kemudian,
langkah yang sama seperti di atas dilakukan kembali namun dengan larutan benzena
yang sudah ditambahkan naftalena yang sudah ditimbang.
B. Kenaikan titik didih
Beberapa batu didih dimasukkan ke dalam alat Cottrell. Sejumlah larutan
sikloheksena dimasukkan ke dalam alat Cottrell sampai bagian corong terbalik
terendam. Kemudian, heating mantel dihidupkan. Setelah larutan mendidih, suhu
larutan diamati dan dicatat setiap satu menit. Pengamatan dihentikan ketika suhu telah
konstan. Sejumlah padatan naftalena ditimbang. Kemudian, langkah-langkah yang
sama seperti di atas dilakukan lagi, namun dengan larutan sikloheksena yang sudah
ditambahkan naftalena yang sudah ditimbang.

VI. DATA PENGAMATAN

A. Penurunan titik beku (D1)

Massa benzena = 28,6 g


Massa naftalena larutan 1 = 0,5 g
Massa naftalena larutan 2 = 1,0 g

Tabel 6.1 Data pengamatan titik beku tiap larutan


Waktu T pelarut T lar. 1 T lar. 2 Waktu T pelarut T lar. 1 T lar. 2
(min) (˚C) (˚C) (˚C) (min) (˚C) (˚C) (˚C)
1 0,50 0,68 0,54 14 2,16 - 3,30
2 0,61 1,00 0,88 15 2,10 - 3,35
3 0,77 1,37 1,11 16 2,08 - 3,40
4 0,85 1,65 1,36 17 2,02 - 3,43
5 1,02 1,98 1,58 18 1,90 - 3,55
6 1,13 2,18 1,72 19 1,90 - 3,65
7 1,17 2,34 2,05 20 1,90 - 3,70
8 1,20 2,53 2,21 21 - - 3,60
9 1,65 2,75 2,55 22 - - 3,55
10 1,88 2,89 2,76 23 - - 3,60
11 1,98 2,85 3,04 24 - - 3,60
12 2,05 2,85 3,10 25 - - 3,60
13 2,05 2,85 3,20

𝑻𝒇 pelarut = 𝟏, 𝟗𝟎 ˚𝐂
𝑻𝒇 larutan 1 = 𝟐, 𝟖𝟓 ˚𝐂
𝑻𝒇 larutan 2 = 𝟑, 𝟔𝟎 ˚𝐂
B. Kenaikan titik didih (D2)

Massa sikloheksena = 30,0 g


Massa naftalena larutan 1 = 0,5 g
Massa naftalena larutan 2 = 1,0 g

Tabel 6.2 Data pengamatan titik didih tiap larutan


Waktu T pelarut T lar. 1 T lar. 2 Waktu T pelarut T lar. 1 T lar. 2
(min) (˚C) (˚C) (˚C) (min) (˚C) (˚C) (˚C)
1 0,78 3,27 3,55 15 4,02 - 4,30
2 1,69 3,92 3,87 16 4,10 - -
3 2,27 4,12 4,11 17 4,13 - -
4 2,85 4,18 4,16 18 4,20 - -
5 3,00 4,20 3,98 19 4,25 - -
6 3,13 4,20 4,02 20 4,38 - -
7 3,37 4,21 4,15 21 4,53 - -
8 3,52 4,23 4,21 22 4,50 - -
9 3,65 4,23 4,25 23 4,50 - -
10 3,86 4,23 4,29 24 4,55 - -
11 3,92 - 4,32 25 4,58 - -
12 4,00 - 4,29 26 4,58 - -
13 3,95 - 4,30 27 4,58 - -
14 4,00 - 4,30

𝑻𝒃 pelarut = 𝟒, 𝟖𝟓 ˚𝐂
𝑻𝒃 larutan 1 = 𝟒, 𝟐𝟑 ˚𝐂
𝑻𝒃 larutan 2 = 𝟒, 𝟑𝟎 ˚𝐂

VII. PENGOLAHAN DATA

A. Penurunan titik beku (D1)

1. Perhitungan ∆𝑻𝒇
Penurunan titik beku, ∆𝑇𝑓 , dari setiap larutan dihitung dengan rumus,
∆𝑇𝑓 = 𝑇𝑓 larutan − 𝑇𝑓 pelarut
Sehingga, besarnya penurunan titik beku larutan 1 dan larutan 2 adalah,
∆𝑇𝑓,1 = 2,85 − 1,90 = 𝟎, 𝟗𝟓 ˚𝐂
∆𝑇𝑓,2 = 3,60 − 1,90 = 𝟏, 𝟕𝟎 ˚𝐂

2. Perhitungan keaktifan pelarut benzena (𝒂𝒑 )

Persamaan keaktifan pelarut untuk benzena adalah sebagai berikut,


2
ln(𝑎𝑝 ) = −6,68 . 10−3 . ∆𝑇𝑓 − 2,6 . 10−5 . (∆𝑇𝑓 )
Sehingga, keaktifan pelarut pada larutan 1 dan larutan 2 adalah,
ln(𝑎𝑝,1 ) = −6,68 . 10−3 . (0,95) − 2,6 . 10−5 . (0,95)2 = −0,006369
⇒ 𝑎𝑝,1 = 0,993651
ln(𝑎𝑝,2 ) = −6,68 . 10−3 . (1,70) − 2,6 . 10−5 . (1,70)2 = −0,011431
⇒ 𝑎𝑝,2 = 0,988634
Rata-rata dari keakifan pelarut pada dua larutan adalah,
𝑎𝑝,1 + 𝑎𝑝,2
𝑎𝑝 = = 𝟎, 𝟗𝟗𝟏𝟏𝟒𝟐
2

3. Perhitungan molalitas larutan (m)


Molalitas (m) larutan di atas dirumuskan sebagai
massa naftalena (g) 1000
𝑚= ×
𝑀𝑟 naftalena (g/mol) massa benzena (g)
Sehingga, molalitas larutan pada larutan 1 dan larutan 2 adalah,
0,5 g 1000
𝑚1 = × = 0,1364 𝑚
128,164 g/mol 28,6 g
1,0 g 1000
𝑚2 = × = 0,2728 𝑚
128,164 g/mol 28,6 g
Rata-rata molalitas pada kedua larutan adalah,
𝑚1 + 𝑚2
𝑚
̅= = 𝟎, 𝟐𝟎𝟒𝟔 𝒎
2

4. Perhitungan koefisien osmosis (g)


Koefisien osmosis (g) larutan dirumuskan dengan,
1000
𝑔=− . ln(𝑎𝑝 )
𝑚 . 𝑀𝑟 benzena
Sehingga, koefisien osmosis pada larutan 1 dan larutan 2 adalah,
1000
𝑔1 = − . (−0,006369) = 0,597819
0,1364 𝑚 . 78,108 g/mol
1000
𝑔2 = − . (−0,011431) = 0,536446
0,2728 𝑚 . 78,108 g/mol
Rata-rata koefisien osmosis pada kedua larutan adalah,
𝑔1 + 𝑔2
𝑔= = 𝟎, 𝟓𝟔𝟕𝟏𝟑𝟐
2

5. Perhitungan koefisien keaktifan (𝜸)

a) Cara luas trapesium

3,50
0,1364; 2,9484
3,00

2,50
(1 - g)/m

2,00

1,50 0,2728; 1,6992

1,00

0,50
0,10 0,15 0,20 0,25 0,30
m

Gambar 7.1 Grafik m terhadap (1 – g)/m


Luas daerah di bawah kurva di atas adalah,
(𝑑1 + 𝑑2 )
𝐴= .ℎ
2
(2,9484 + 1,6992)
𝐴= . (0,2728 − 0,1364) = 0,31698
2
Sehingga, diperoleh koefisien keaktifan naftalena sebagai berikut,
ln(𝛾) = (1 − 𝑔) + 𝐴 = 1 − (0,567132) + (0,31698) = 0,749847
⇒ 𝛾 = 𝟐, 𝟏𝟏𝟔𝟔𝟕𝟓
b) Cara persamaan

Koefisien keaktifan naftalena dihitung dengan persamaan berikut,


𝑚2 (1 𝑚2
− 𝑔) 1
ln(𝛾) = (1 − 𝑔) + ∫ d𝑚 = (1 − 𝑔) + (1 − 𝑔) ∫ d𝑚
𝑚1 𝑚 𝑚1 𝑚
𝑚2 0,2728
ln(𝛾) = (1 − 𝑔) . (1 + ln ) = (1 − 0,567132) . (1 + ln )
𝑚1 0,1364
ln(𝛾) = 0,732909
𝛾 = 𝟐, 𝟎𝟖𝟏𝟏𝟐𝟓

6. Perhitungan keaktifan zat terlarut naftalena (𝒂𝒕 )


Keaktifan suatu zat dirumuskan dengan,
𝑎 = 𝛾. 𝑚
Sehingga, keaktifan dari zat terlarut naftalena di dalam larutan diatas adalah,
̅ = (2,116675). (0,2046) = 𝟎, 𝟒𝟑𝟑𝟏
𝑎𝑡 = 𝛾. 𝑚

B. Kenaikan titik didih (D2)


1. Perhitungan ∆𝑻𝒃
Penurunan titik didih, ∆𝑇𝑏 , dari setiap larutan dihitung dengan rumus,
∆𝑇𝑏 = 𝑇𝑏 pelarut − 𝑇𝑏 larutan
Sehingga, besarnya penurunan titik didih larutan 1 dan larutan 2 adalah,
∆𝑇𝑏,1 = 4,58 − 4,23 = 0,35 ˚C = 𝟎, 𝟑𝟓 𝐊
∆𝑇𝑏,2 = 4,58 − 4,30 = 0,28 ˚C = 𝟎, 𝟐𝟖 𝐊
2. Perhitungan 𝑴𝒓 naftalena
∆𝐻𝑣 sikloheksena = 29,97 kJ/mol
𝑇𝑏 sikloheksena = 82,97 ˚C = 355,97 K
Harga 𝑀𝑟 dari naftalena dapat dihitung dengan rumus,
𝑀𝑟 sikloheksena. 𝑅. (𝑇𝑏 )2 m naftalena 1000
𝑀𝑟 naftalena = × .
1000. ∆𝐻𝑣 ∆𝑇𝑏 m sikloheksena
Sehingga, diperoleh nilai 𝑀𝑟 naftalena dari larutan 1 dan larutan 2 sebesar,
82,139 g/mol. 8,314 J/K. mol . (355,97 𝐾)2 0,5 g
𝑀𝑟 naftalena 1 = ×
29970 J/mol 0,35 𝐾. 30 g
𝑀𝑟 naftalena 1 = 𝟏𝟑𝟕, 𝟒𝟗𝟑 𝐠/𝐦𝐨𝐥
82,139 g/mol. 8,314 J/K. mol . (355,97 𝐾)2 1,0 g
𝑀𝑟 naftalena 2 = ×
29970 J/mol 0,28 𝐾. 30 g
𝑀𝑟 naftalena 2 = 𝟑𝟒𝟑, 𝟕𝟑𝟐 𝐠/𝐦𝐨𝐥
Massa molar relatif rata-rata dari naftalena yang diperoleh adalah,
𝑀𝑟1 + 𝑀𝑟2
̅̅̅̅𝑟 =
𝑀 = 𝟐𝟒𝟎, 𝟔𝟏𝟑 𝐠/𝐦𝐨𝐥
2
Massa molar relatif naftalena yang diperoleh dari literatur adalah,
𝑀𝑟 naftalena = 𝟏𝟐𝟖, 𝟏𝟔𝟒 𝐠/𝐦𝐨𝐥
Sehingga, galat dari perhitungan ini adalah sebesar
|𝑀𝑟 literatur − 𝑀𝑟 percobaan|
% galat = × 100% = 𝟖𝟕, 𝟕𝟑𝟖%
𝑀𝑟 literatur

VIII. PEMBAHASAN

Sifat koligatif larutan merupakan sifat fisik larutan yang hanya bergantung pada
jumlah partikel larutan namun tidak tergantung pada jenis larutan. Sifat koligatif larutan
ini dibedakan menjadi sifat koligatif larutan elektrolit dan sifat koligatif larutan non-
elektrolit yang dibedakan pada kemampuannya untuk mengion. Sifat koligatif larutan
terdiri atas kenaikan titik didih, penurunan titik beku, penurunan tekanan uap, dan tekana
osmotik. Dikenal juga istilah hipertonik dan hipotonik pada penerapannya. Hipertonik
terjadi ketika konsentrasi pelarut lebih tinggi dari konsentrasi zat terlarut. Sedangkan
hipotonik terjadi ketika konsentrasi pelarut lebih rendah dari konsentrasi zat terlarut.

Potensial kimia, atau yang biasa disebut energi bebas molar parsial, adalah
perubahan suatu sistem jika satu mol zat ditambahkan ke dalamnya. Potensial kimia
memegang peranan sangat penting dan utama dalam termodinamika. Potensial kimia
dapat dianggap sebagai suatu ukuran dari kecenderungan terlepas dari suatu komponen.
Jika potensial kimia dari suatu komponen tidak sama di dalam setiap fase, akan terjadi
kecenderungan bagi komponen tersebut untuk berpindah fase yang memiliki potensial
kimia yang lebih tinggi untuk komponen tersebut ke fase yang memiliki potensial kimia
yang lebih rendah. Ketika potensial kimianya sama di dalam kedua fase, tidak terdapat
kecenderungan terjadinya perpindahan netto dari satu fase ke fase lainnya. Salah satu
contoh dari potensial kimia yang sederhana dan terkenal adalah terdapat pada air dan es.
Jika es mencair, maka potensial kimia dari air akan lebih rendah dibandingkan dengan
es. Begitupula sebaliknya, jika air membeku, maka potensial air akan lebih tinggi
dibandingkan es.
Nilai dari potensial kimia bergantung pada keseimbangan relatif suatu komponen
yang ada, bukan pada jumlah komponen tersebut. Hal ini menyebabkan potensial kimia
merupakan besaran intensif. Potensial kimia dari setiap komponen ditetapkan sebagai
perubahan dalam energi bebas sistem jika satu mol komponen ditambahkan pada sistem
dengan jumlah tidak terhingga, sehingga tidak ada perubahan dalam komposisi yang
terjadi dalam sistem.

Pada larutan non-ideal, keaktifan dari suatu zat dalam larutan merupakan hasil kali
konsentrasi zat tersebut denagn koefisien aktivitasnya. Koefisien aktivitas merupakan
salah salu ukuran yang menyatakan penyimpangan dari keadaan ideal. Pada larutan ideal,
aktivitas sautu zat sama dengan konsentrasinya, atau nilai koefisien aktivitasnya sama
dengan 1. Ketika besar koefisien aktivitas suatu zat bernilai lebih dari 1 atau kurang dari
1, maka hal tersebut menunjukan adanya penyimpangan positif atau penyimpangan
negatif dari Hukum Raoult. Penyimpangan positif Hukum Raoult mengartikan bahwa zat
tersebut lebih mudah menguap, begitu pula sebaliknya.

Tujuan percobaan ini adalah menentukan keaktifan dari benzena dan naftalena, dan
menentukan massa molar relatif dari naftalena. Penentuan keaktifan benzena dan
naftalena pada percobaan ini memanfaatkan sifat koligatif larutan, yaitu penurunan titik
beku. Sedangkan penentuan massa molar relatif dari naftalena pada percobaan ini
memanfaatkan sifat koligatif larutan yang lain, yaitu kenaikan titik didih. Pada percobaan
yang pertama, benzena digunakan sebagai pelarut dan naftalena digunakan sebagai zat
terlarut. Naftalena bersifat non-polar sehingga tidak akan larut sempurna dalam air.
Karena alasan inilah benzena digunakan sebagai pelarut naftalena. Karena benzena juga
bersifat non-polar, maka benzena dapat melarutkan naftalena dengan lebih baik
dibandingkan dengan air. Selain itu, Benzena juga memiliki titik beku yang lebih tinggi
(± 5,4 ˚C) dari air sehingga benzena dapat dibekukan dengan penangas es. Untuk
percobaan yang kedua, sikloheksena digunakan sebagai pelarut dengan naftalena tetap
digunakan sebagai zat terlarut. Pelarut sikloheksena digunakan karena sikloheksena
memiliki titik didih yang relatif rendah (82,97 ˚C). Hal ini berguna agar proses
pemanasan larutan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mendidihkan
larutannya.

Pada percobaan pertama, pelarut benzena dibekukan dengan penangas es. Selama
proses pembekuan, benzena diaduk terus dengan pengaduk cincin agar benzena tidak
langsung membeku. Pengaduk cincin digunakan karena pengadukan larutan di dalam
tabung reaksi akan lebih mudah jika menggunakan pengaduk cincin dibandingkan
dengan menggunakan batang pengaduk. Lalu, suhu larutan diamati sampai suhu larutan
konstan. Alat yang digunakan untuk mengamati suhu pada percobaan ini adalah
termometer Beckman. Termometer ini digunakan karena tingkat ketelitiannya lebih
tinggi dibandingkan dengan termometer biasa. Tingkat ketelitian termometer Beckman
ini mencapai 0,001 ˚C. Tingkat ketelitian alat yang tinggi akan membuat pengukuran
semakit akurat.

Pada percobaan pertama, ketika naftalena ditambahkan ke dalam benzena, maka


titik beku larutan akan menurun. Penurunan titik beku ini bergantung pada jumlah
naftalena yang ditambahkan. Semakin banyak naftalena yang ditambahkan, penurunan
titik bekunya pun akan semakin besar. Sifat inilah yang dimaksud dengan sifat koligatif
larutan. Hal ini juga terjadi pada percobaan kedua. Semakin banyak naftalena yang
ditambahkan ke dalam sikloheksena, titik didih larutan akan semakin meningkat.
Hubungan antara kenaikan titik didih atau penurunan titik beku larutan dengan jumlah
zat terlarut dalam larutan tersebut dirumuskan sebagai berikut,
∆𝑇𝑓 = 𝐾𝑓 . 𝑚
∆𝑇𝑏 = 𝐾𝑏 . 𝑚
Dengan ∆𝑇𝑓 adalah penurunan titik beku (˚C), ∆𝑇𝑏 adalah kenaikan titik didih (˚C), 𝐾𝑓
adalah konstanta penurunan titik beku (˚C/m), 𝐾𝑏 adalah konstanta kenaikan titik didih
(˚C/m), dan 𝑚 adalah molalitas dari zat terlarut dalam larutan (𝑚). Molalitas adalah
jumlah mol suatu zat terlarut dalam setiap 1 kg pelarut. Molalitas dirumuskan dengan,
𝑛𝑠𝑜𝑙𝑢𝑡𝑒 (mol) m solute (g) 1000 g/kg
𝑚= = ×
m solvent (kg) 𝑀𝑟 solute (g/mol) m solvent (g)
Konstanta kenaikan titik didih, 𝐾𝑏 , bergantung pada titik didih murni pelarut dan
perubahan entalpi penguapan dari pelarut dan dirumuskan dengan,
𝑀𝑟 solvent × 𝑅 × 𝑇𝑏 2
𝐾𝑏 =
1000 × ∆𝐻𝑣𝑎𝑝
Dari ketiga persamaan di atas, massa molekul relatif dari zat terlarut dapat ditentukan
dengan persamaan:
𝑀𝑟 sikloheksena. 𝑅. (𝑇𝑏 )2 m naftalena 1000
𝑀𝑟 naftalena = . ×
1000. ∆𝐻𝑣 ∆𝑇𝑏 m sikloheksena

IX. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, diperoleh nilai keaktifan dari
benzena sebesar 0,991142 dan nilai keaktifan dari naftalena sebesar 0,4331. Dari hasil
percobaan juga diperoleh nilai massa molar relatif dari naftalena sebesar 240,613 g/mol
dengan galat sebesar 87,738%.
X. DAFTAR PUSTAKA

Atkins, P. W., Paula, J. D., & Keeler, J. (2018). Atkins' Physical Chemistry, 11th edition.
Oxford University Press.

Chang, R. (2004). Kimia Dasar Konsep-Konsep Inti, Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.

Petrucci, P. H. (1985). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Jakarta: Erlangga.

Shevla, V. (1990). Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Mikro dan Semimikro, Edisi
Kelima. Jakatra: PT Kalam Media Pustaka.

Underwood, & Day, R. (1990). Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi Kelima. Jakarta:
Erlangga.
LAMPIRAN

1. Bagaimana definisi larutan ideal? Besaran-besaran apa yang digunakan untuk


menggambarkan penyimpangan-penyimpangan dari keadaan ideal tersebut?
Larutan ideal terjadi ketika interaksi molekul antara sesama pelarut, sesama zat
terlarut, dan pelarut-zat terlarut sama besar. Ada tiga besaran yang digunakan untuk
menggambarkan penyimpangan keadaan ideal tersebut, yaitu:
• Aktivitas zat ≠ 1,
• Tekanan uap larutan tidak memenuhi hukum Raoult,
• ∆𝐻𝑚𝑖𝑥 ≠ 0
2. Tunjukan bagaimana pengaruh ketidakidealan larutan terhadap sifat koligatif?
Pada larutan non-ideal, interaksi antar komponennya berbeda sehingga entropi
meningkat. Akibatnya, perbedaan entropi kedua fasa mengecil. Oleh karena itu, sifat
koligatif yang terjadi akan lebih besar dari biasanya.
3. Bagaimana kurva yang didapatkan bila larutan mengalami keadaan lewat beku
“super cooled”?

4. Bagaimana pengaruh tekanan udara atas percobaan ini?


Titik didih dan titik beku larutan bergantung pada tekanan udara. Tekanan udara
dapat membuat titik didih dan titik beku larutan sedikit menyimpang. Akan tetapi, pada
percobaan ini, tekanan udara dianggap 1 atm sehingga pengaruh tekanan udara dapat
diabaikan. Namun tetap harus diberi faktor koreksi walaupun nilainya sangat kecil.
5. Bagaimana hasil yang akan diperoleh bila zat terlarut mengalami disosiasi atau
pelarut mengalami asosiasi?
Ketika zat terlarut terdisosiasi, maka jumlah partikel zat terlarut menjadi semakin
banyak sehingga sifat koligatifnya akan semakin besar. Sebaliknya, ketika zat terlarut
mengalami asosiasi, jumlah partikel zat terlarut menjadi semakin sedikit sehingga sifat
koligatif larutan menjadi semakin kecil.

Anda mungkin juga menyukai