KI2241 ENERGETIKA
Percobaan D1 dan D2
Sifat-Sifat Koligatif
Sifat-Sifat Koligatif
1. Menentukan keaktifan benzena sebagai pelarut dan naftalena sebagai zat terlarut
dengan menggunakan data penurunan titik beku (D1).
2. Menentukan berat molekul naftalena dengan menggunakan data kenaikan titik didih
(D2).
Suatu zat terlarut yang dilarutkan ke dalam zat pelarut akan mengalami perubahan
sifat pelarut. Terdapat empat sifat utama fisika yaitu tekanan uap, titik didih, didik beku,
dan tekanan osmosa. Sifat-sifat tersebut yang tidak bergantung pada macamnya dirujuk
sebagai sifat koligatif larutan.
(Rivai, 1995)
Sifat koligatif larutan dapat dibedakan menjadai dua macam, yaitu sifat larutan
nonelektrolit dan elektrolit. Hal itu disebabkan zat terlarut dalam larutan elektrolit
bertambah jumlahnya karena terurai menjadi ion-ion, sedangkan zat terlarut pada larutan
nonelektrolit jumlahnya tetap karena tidak terurai menjadi ion-ion, sesuai dengan hal-hal
tersebut maka sifat koligatif larutan nonelektrolit lebih rendah daripada sifat koligatif
larutan elektrolit. Larutan merupakan suatu campuran yang homogen dan dapat berwujud
padatan, maupun cairan. Akan tetapi larutan yang paling umum dijumpai adalah larutan
cair, dimana suatu zat tertentu dilarutkan dalam pelarut berwujud cairan yang sesuai
hingga konsentrasi tertentu.
(Sastrohamidjojo, 2001)
Larutan adalah campuran yang homogen. Ada empat sifat yang berhubungan
dengan larutan encer, terutama berhubungan dengan jumlah pertikel terlarutnya.
Keempat sifat tersebut adalah penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih, penurunan
titik beku dan tekanan osmosis. Penelitian sifat koligatif mempunyai peranan penting
dalam metode penetapan bobot molekul dan pengembangan teori larutan.
(Petrucci, 1985)
Suatu larutan yang mendidih lebih tinggi dari pelarutnya, selisihnya disebut
kenaikan titik didih larutan. Hal ini dapat dilihat jelas pada diagram P dan T. Apabila
kebanyakan larutan encer yang terjadi maka pelarut murni akan terkristal terlebih dahulu
sebelum ada zat terlarut yang mengkristalkannya. Dalam pelarut encer, penurunan titik
beku berbanding lurus dengan banyaknya molekul zat terlarut atau molnya dalam massa
tertentu dari pelarut.
(Keenan, 1998)
IV. ALAT DAN BAHAN
A. D1 - Penurunan Titik Beku
Alat :
1. Gelas kimia 500 mL
2. Gelas kimia 50 mL
3. Tabung kaca dengan penutup
4. Gelas ukur 50 mL
5. Corong
6. Gelas kaca besar
7. Ring pengaduk besar
8. Ring pengaduk kecil
9. Spatula
10. Termometer
11. Pipet tetes
12. Kaca pembesar
Bahan :
1. Naftalena
2. Benzena
Bahan :
1. Naftalena
2. Sikloheksana
V. CARA KERJA
A. Penurunan titik beku
Alat titik beku disiapkan dengan cara memasukkan es ke dalam gelas kaca besar.
Sejumlah larutan benzena dimasukkan ke dalam alat titik beku. Termometer dan
batang pengaduk dipasang pada tabung reaksi sedang. Larutan benzena diaduk secara
perlahan agar tidak membeku. Setiap 30 detik, suhu larutan diamati dan dicatat. Suhu
larutan akan menurun dan kemudian konstan. Pengamatan dihentikan saat suhu sudah
konstan. Sejumlah padatan naftalena ditimbang dengan neraca analitik. Kemudian,
langkah yang sama seperti di atas dilakukan kembali namun dengan larutan benzena
yang sudah ditambahkan naftalena yang sudah ditimbang.
B. Kenaikan titik didih
Beberapa batu didih dimasukkan ke dalam alat Cottrell. Sejumlah larutan
sikloheksena dimasukkan ke dalam alat Cottrell sampai bagian corong terbalik
terendam. Kemudian, heating mantel dihidupkan. Setelah larutan mendidih, suhu
larutan diamati dan dicatat setiap satu menit. Pengamatan dihentikan ketika suhu telah
konstan. Sejumlah padatan naftalena ditimbang. Kemudian, langkah-langkah yang
sama seperti di atas dilakukan lagi, namun dengan larutan sikloheksena yang sudah
ditambahkan naftalena yang sudah ditimbang.
𝑻𝒇 pelarut = 𝟏, 𝟗𝟎 ˚𝐂
𝑻𝒇 larutan 1 = 𝟐, 𝟖𝟓 ˚𝐂
𝑻𝒇 larutan 2 = 𝟑, 𝟔𝟎 ˚𝐂
B. Kenaikan titik didih (D2)
𝑻𝒃 pelarut = 𝟒, 𝟖𝟓 ˚𝐂
𝑻𝒃 larutan 1 = 𝟒, 𝟐𝟑 ˚𝐂
𝑻𝒃 larutan 2 = 𝟒, 𝟑𝟎 ˚𝐂
1. Perhitungan ∆𝑻𝒇
Penurunan titik beku, ∆𝑇𝑓 , dari setiap larutan dihitung dengan rumus,
∆𝑇𝑓 = 𝑇𝑓 larutan − 𝑇𝑓 pelarut
Sehingga, besarnya penurunan titik beku larutan 1 dan larutan 2 adalah,
∆𝑇𝑓,1 = 2,85 − 1,90 = 𝟎, 𝟗𝟓 ˚𝐂
∆𝑇𝑓,2 = 3,60 − 1,90 = 𝟏, 𝟕𝟎 ˚𝐂
3,50
0,1364; 2,9484
3,00
2,50
(1 - g)/m
2,00
1,00
0,50
0,10 0,15 0,20 0,25 0,30
m
VIII. PEMBAHASAN
Sifat koligatif larutan merupakan sifat fisik larutan yang hanya bergantung pada
jumlah partikel larutan namun tidak tergantung pada jenis larutan. Sifat koligatif larutan
ini dibedakan menjadi sifat koligatif larutan elektrolit dan sifat koligatif larutan non-
elektrolit yang dibedakan pada kemampuannya untuk mengion. Sifat koligatif larutan
terdiri atas kenaikan titik didih, penurunan titik beku, penurunan tekanan uap, dan tekana
osmotik. Dikenal juga istilah hipertonik dan hipotonik pada penerapannya. Hipertonik
terjadi ketika konsentrasi pelarut lebih tinggi dari konsentrasi zat terlarut. Sedangkan
hipotonik terjadi ketika konsentrasi pelarut lebih rendah dari konsentrasi zat terlarut.
Potensial kimia, atau yang biasa disebut energi bebas molar parsial, adalah
perubahan suatu sistem jika satu mol zat ditambahkan ke dalamnya. Potensial kimia
memegang peranan sangat penting dan utama dalam termodinamika. Potensial kimia
dapat dianggap sebagai suatu ukuran dari kecenderungan terlepas dari suatu komponen.
Jika potensial kimia dari suatu komponen tidak sama di dalam setiap fase, akan terjadi
kecenderungan bagi komponen tersebut untuk berpindah fase yang memiliki potensial
kimia yang lebih tinggi untuk komponen tersebut ke fase yang memiliki potensial kimia
yang lebih rendah. Ketika potensial kimianya sama di dalam kedua fase, tidak terdapat
kecenderungan terjadinya perpindahan netto dari satu fase ke fase lainnya. Salah satu
contoh dari potensial kimia yang sederhana dan terkenal adalah terdapat pada air dan es.
Jika es mencair, maka potensial kimia dari air akan lebih rendah dibandingkan dengan
es. Begitupula sebaliknya, jika air membeku, maka potensial air akan lebih tinggi
dibandingkan es.
Nilai dari potensial kimia bergantung pada keseimbangan relatif suatu komponen
yang ada, bukan pada jumlah komponen tersebut. Hal ini menyebabkan potensial kimia
merupakan besaran intensif. Potensial kimia dari setiap komponen ditetapkan sebagai
perubahan dalam energi bebas sistem jika satu mol komponen ditambahkan pada sistem
dengan jumlah tidak terhingga, sehingga tidak ada perubahan dalam komposisi yang
terjadi dalam sistem.
Pada larutan non-ideal, keaktifan dari suatu zat dalam larutan merupakan hasil kali
konsentrasi zat tersebut denagn koefisien aktivitasnya. Koefisien aktivitas merupakan
salah salu ukuran yang menyatakan penyimpangan dari keadaan ideal. Pada larutan ideal,
aktivitas sautu zat sama dengan konsentrasinya, atau nilai koefisien aktivitasnya sama
dengan 1. Ketika besar koefisien aktivitas suatu zat bernilai lebih dari 1 atau kurang dari
1, maka hal tersebut menunjukan adanya penyimpangan positif atau penyimpangan
negatif dari Hukum Raoult. Penyimpangan positif Hukum Raoult mengartikan bahwa zat
tersebut lebih mudah menguap, begitu pula sebaliknya.
Tujuan percobaan ini adalah menentukan keaktifan dari benzena dan naftalena, dan
menentukan massa molar relatif dari naftalena. Penentuan keaktifan benzena dan
naftalena pada percobaan ini memanfaatkan sifat koligatif larutan, yaitu penurunan titik
beku. Sedangkan penentuan massa molar relatif dari naftalena pada percobaan ini
memanfaatkan sifat koligatif larutan yang lain, yaitu kenaikan titik didih. Pada percobaan
yang pertama, benzena digunakan sebagai pelarut dan naftalena digunakan sebagai zat
terlarut. Naftalena bersifat non-polar sehingga tidak akan larut sempurna dalam air.
Karena alasan inilah benzena digunakan sebagai pelarut naftalena. Karena benzena juga
bersifat non-polar, maka benzena dapat melarutkan naftalena dengan lebih baik
dibandingkan dengan air. Selain itu, Benzena juga memiliki titik beku yang lebih tinggi
(± 5,4 ˚C) dari air sehingga benzena dapat dibekukan dengan penangas es. Untuk
percobaan yang kedua, sikloheksena digunakan sebagai pelarut dengan naftalena tetap
digunakan sebagai zat terlarut. Pelarut sikloheksena digunakan karena sikloheksena
memiliki titik didih yang relatif rendah (82,97 ˚C). Hal ini berguna agar proses
pemanasan larutan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk mendidihkan
larutannya.
Pada percobaan pertama, pelarut benzena dibekukan dengan penangas es. Selama
proses pembekuan, benzena diaduk terus dengan pengaduk cincin agar benzena tidak
langsung membeku. Pengaduk cincin digunakan karena pengadukan larutan di dalam
tabung reaksi akan lebih mudah jika menggunakan pengaduk cincin dibandingkan
dengan menggunakan batang pengaduk. Lalu, suhu larutan diamati sampai suhu larutan
konstan. Alat yang digunakan untuk mengamati suhu pada percobaan ini adalah
termometer Beckman. Termometer ini digunakan karena tingkat ketelitiannya lebih
tinggi dibandingkan dengan termometer biasa. Tingkat ketelitian termometer Beckman
ini mencapai 0,001 ˚C. Tingkat ketelitian alat yang tinggi akan membuat pengukuran
semakit akurat.
IX. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, diperoleh nilai keaktifan dari
benzena sebesar 0,991142 dan nilai keaktifan dari naftalena sebesar 0,4331. Dari hasil
percobaan juga diperoleh nilai massa molar relatif dari naftalena sebesar 240,613 g/mol
dengan galat sebesar 87,738%.
X. DAFTAR PUSTAKA
Atkins, P. W., Paula, J. D., & Keeler, J. (2018). Atkins' Physical Chemistry, 11th edition.
Oxford University Press.
Chang, R. (2004). Kimia Dasar Konsep-Konsep Inti, Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.
Petrucci, P. H. (1985). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Jakarta: Erlangga.
Shevla, V. (1990). Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Mikro dan Semimikro, Edisi
Kelima. Jakatra: PT Kalam Media Pustaka.
Underwood, & Day, R. (1990). Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi Kelima. Jakarta:
Erlangga.
LAMPIRAN