Anda di halaman 1dari 45

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN G. DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN


ISOLASI SOSIAL DI RUANG GATOT KACA 2

Visit 2

Jumat, 4 Maret 2022

Oleh:
Mahasiswa

PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL
Visit 2

1. Kondisi Klien
Klien G. (38 Tahun) MRS dengan keluhan gelisah, bicara sendiri, jalan-jalan keluar rumah, dan
sulit tidur. Klien tercatat baru pertama menjalani perawatan di RSJ MM. Klien lebih senang
menyendiri, banyak diam dan merasa sulit berhubungan dengan orang lain, ada perasaan malu,
minder karena klien belum menikah dan bekerja. Hasil pemeriksaan klien didiagnosa isolasi
sosial, halusinasi, dan harga diri rendah kronik.

Pada Visit 1 telah diberikan tindakan :


D/Halusinasi: E,V-TKN
D/HDRK: E,V-TKN
D/Isos: E,V-TKN + T/SST 1

Kondisi klien pada visit ke 1 belum memiliki teman di kamar, banyak diam dan senang
menyendiri, berpikir sulit berinteraksi dengan orang lain, tampak sedih dan murung. TKN untuk
isolasi sosial telah diberikan yaitu menyebutkan penyebab isolasi sosial, menyebutkan orang yang
tinggal serumah, menyebutkan orang yang terdekat, menyebutkan orang yang tidak dekat, menjelaskan
penyebab tidak dekat dengan orang lain, menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain,
menyebutkan kerugian isolasi sosial. Kemudian klien dilatih berkenalan dengan diawali membuat daftar
teman yang akan diajak berkenalan yaitu Tn. D, Tn. F dan Tn.T. selanjutnya mempraktikan cara
berkenalan diri dan kenal dengan orang lain dengan sikap tubuh dan bahasa serta latihan menjawab
pertanyaan dan bertanya untuk memperjelas. Setelah itu membuat jadwal latihan berkenalan mandiri.

2. Proses Terjadinya Isolasi Sosial


2.1 Pengertian
Isolasi sosial adalah ketidakmampuan untuk membina hubungan yang erat, hangat, terbuka, dan
interdependen dengan orang lain, (SDKI, 2017). Isolasi sosial adalah kesendirian yang dialami
individu dan dianggap timbul karena orang lain serta suatu keadaan negatif atau mengancam,
NANDA-1 (2018 dalam Keliat et al, 2019). Dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial adalah suatu
kondisi dimana individu merasa terasing atau terkucil sehingga tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain dan sekitarnya.
Individu mempersepsikan kehadiran orang lain sebagai suatu hal yang negatif yang mengancam
keberadaannya. Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
mengembangkan hubungan yang berarti dengan orang lain.

Pada kondisi klien G. ditemukan isolasi sosial lebih senang menyendiri, banyak diam, merasa
sulit berinteraksi dengan orang lain dan tidak memiliki teman di kamar.

2.2 Faktor Predisposisi dan presipitasi


Gangguan jiwa disebabkan oleh multifaktor tetapi dari beberapa penyebab sekaligus dari ketiga
faktor diatas yaitu biologis, psikologis, dan sosial budaya yang saling mempengaruhi atau terjadi
secara bersamaan kemudian memicu munculnya gangguan fisik ataupun gangguan jiwa.
2.2.1 Biologis
1) Riwayat gangguan jiwa
Faktor biologis yang berhubungan dengan gangguan jiwa adalah kerusakan struktur dan
fungsi otak, misalnya kerusakan pada lobus prefrontal maupun temporal yang berhubungan
dengan kemampuan kognitif. Pada kasus klien G. kemungkinan ada permasalahan pada
bagian korteks frontal, sistem limbik, dan amigdala. Lobus frontal dan amigdala
memainkan bagian penting dalam pengalaman emosional dan ekspresi suasana hati. Sistem
limbik berkaitan dengan perilaku agresif, motivasi, sensasi, submisif, seksual/kesenangan,
daya ingat dan pembelajaran. (Teoritikal terjadinya isos dari sistem limbik). Penelitian
meta analisis pada 42 penelitian (2058 klien skizofrenia dan 2058 kontrol) menemukan
defisit bermakna massa abu-abu di daerah temporal, frontal, korteks insular dan thalamus
dan terdapat peningkatan massa abu-abu di basal ganglia (Ellison-Wright, I. & Bullmore,
E., 2010). Terdapat kesepakatan bahwa terdapat pengurangan di singulat anterior, girus
temporalis superior (STG), kompleks lobus temporal media termasuk amigdala,
hipokampus dan parahipokampus (Fornito et al., 2009). Abnormalitas lobus temporal pada
MRI telah dikaitkan dengan derajat peningkatan halusinasi pendengaran, gangguan
berpikir, dan gejala negatif dan buruknya tes memori dan abstraksi. Ditemukan penurunan
volume di hipokampus, beberapa area di lobus medial temporalis, termasuk amigdala dan
area parahippocampal yang berfungsi sebagai memori yang terganggu pada klien
skizofrenia (McCarley. R.W., 2010).
Penyebab lainnya pada aspek biologis berhubungan dengan fungsi dari neurotransmitter
dan hormon yang terganggu seperti ketidakseimbangan kadar dopamin, serotonin,
norefinefrin, asetilkolin maupun glutamat yang menyebabkan terganggunya sinyal diantara
neuron sehingga terjadi penurunan kewaspadaan mental, status mood, dan gangguan pada
pemusatan perhatian (Frisch & Frisch, 2011). Neurotransmiter adalah suatu senyawa yang
digunakan sel saraf untuk saling berkomunikasi. Umumnya setiap neuron akan
mensintesis, menyimpan dan melepaskan satu macam neurotransmiter, tetapi neuron
tertentu ada yang dapat melepas lebih dari satu neurotransmiter, hal ini disebut ko-
transmiter (Ikawati, 2014). Antara ujung sel saraf satu dengan sel saraf yang lain
membentuk suatu celah yang dinamakan sinaps. Ujung sel saraf yang menghantarkan
impuls dinamakan sel presinaptik, sedangkan yang menerima impuls dinamakan sel
postsinaptik. Penghantaran impuls tersebut melibatkan mediator kimia yang dinamakan
neuroransmiter. Dalam perannya sebagai penghantar impuls, neurotransmiter bisa bersifat
penghambat (inhibitory neurotransmitter) dan pemacu (excitatory neurotransmitter) aksi
potensial ketika berinteraksi langsung dengan reseptornya (Nugroho, 2015).
Neurotransmiter eksitatorik yang paling umum di SSP adalah glutamat, sedangkan
neurotransmiter inhibitorik tersering GABA. Neurotransmiter inhibitorik di medula
spinalis adalah glisin. Asetilkolin dan norepinefrin adalah neurotransmiter terpenting pada
sistem saraf otonom, tetapi juga ditemukan pada SSP. Neurotransmiter penting lainnya
meliputi dopamin, serotonin, dan berbagai jenis neuropeptida (Bahrudin, 2014).

Pada kondisi klien G. ditemukan mengalami sakit sejak dua tahun yang lalu, belum pernah
berobat sebelumnya dan baru pertama kali dirawat di RSJ MM.

2) Riwayat Pengobatan
Hospitalisasi dapat menyebabkan stressor bagi individu yang menjalani perawatan. Selain
itu, menjalani pengobatan juga dapat memicu perasaan cemas dan khawatir pada anggota
keluarga lainnya yang terlibat dalam proses perawatan (PH et al., 2018).
Klien G. tidak memiliki riwayat pengobatan sebelumnya, dan baru pertama kali rawat
inap di RSJ MM.

3) Riwayat penyakit kronis


Penyakit fisik yang dialami dapat memperburuk tanda dan gejala yang dialami klien.
Beberapa gangguan fisik yang mungkin berhubungan adalah gangguan pada
kardiovaskuler dan pernapasan, gangguan pada endokrinologis, gangguan neurologis dan
gangguan zat terkait intoksikasi. Kondisi malnutrisi (kekurangan gizi), infeksi, trauma,
toksin dan kelainan hormonal, yang terjadi selama kehamilan juga dapat menyebabkan
gangguan perkembangan otak (Hawari, 2012).

Pada klien G. tidak memiliki riwayat penyakit fisik selama satu tahun terakhir.

4) Pernah mengalami trauma kepala/jatuh


Cedera kepala baik oleh pukulan langsung, adanya rotasi/deselerasi, tabrakan, dan peluru
dapat merusak fungsi otak. Gambaran klinisnya pasien dapat mengalami sakit kepala,
mual, muntah, frekuensi nadi menurun, peningkatan tekanan darah yang menunjukkan
adanya edema serebral. Perdarahan intraserebral merupakan perdarahan ke dalam substansi
otak yang menyebabkan kerusakan ireversibel. Usaha yang dilakukan untuk mencegah
cedera sekunder (kerusakan yang berkembang menjadi komplikasi) dengan memastikan
oksigenasi dan nutrisi yang adekuat (Grace, 2007).
Klien skizofrenia yang memperlihatkan defisit kognitif (fungsi eksekutif) dan perilaku
yang mengarah pada kerusakan di lobus frontalis (Blakemoore, J.S., 2002). Kelainan
struktural mempunyai keterkaitan yang lebih erat dengan faktor risiko etiologi untuk
skizofrenia dan faktor patofisiologi daripada fitur klinis pada saat ini, dan ada cukup
banyak bukti yang mendukung hal ini terjadi.
Hal ini memperkuat teori continuum of reproductive causality yang dinyatakan oleh
Pasamanick pada tahun 1956 yang menjelaskan proses trauma pre dan perinatal, besar
kecil traumanya dapat menyebabkan kematian, gangguan mental dan fisik yang parah dan
juga penyakit jiwa (Honey, R.A. et al., 2004).
Pada klien G. tidak ada riwayat kecelakaan, jatuh, maupun cedera kepala.

5) Riwayat Napza
Neurons sangat khusus, dan neurotransmitter melaksanakan fungsi vital di otak yang bekerja
normal. Ketidakadaan atau kelebihan neurons berperan penting dalam penyakit otak atau gangguan
prilaku (Stuart, 2016). Sesuai dengan penelitian baik di antara pasien psikiatri (Nehlin,
Grönbladh, Fredriksson, & Jansson, 2013) dan dalam populasi telah menemukan hubungan yang
signifikan antara merokok dan penggunaan alkohol (Chiolero et al., 2006, Falk et al., 2006).
Kerentanan bersama ini mungkin disebabkan oleh kontribusi genetik secara umum pada kedua
kondisi (Schlaepfer, Hoft, & Ehringer, 2008) atau karena efek alkohol dan nikotin yang saling
meningkatkan satu sama lain (Kouri et al., 2004, Rose et al., 2004). Kafein merupakan
perangsang susunan saraf pusat, dieuritik, merangsang otot jantung, dan melemaskan otot-
otot polos bronchus. Kopi/Kafein mengandung alkaloid jenis xantine, yang bertindak
memblokir reseptor adenosine A2A, ketika stres tubuh memproduksi banyak adenosine
yang menimbulkan berbagai gejala stres (Salma, 2015).

Klien memiliki riwayat merokok menghabiskan 2 batang perhari, tidak mengkonsumsi


kopi, tidak ada riwayat penggunaan NAPZA dan alkohol.

6) Herediter
Riwayat keluarga dengan gangguan jiwa, Diturunkan melalui kromosom orangtua
(kromosom keberapa masih dalam penelitian). Diduga kromosom no.6 dengan kontrmbasi
genetik tambahan nomor 4, 8, 15 dan 22. Pada anak yang kedua orangtuanya tidak
menderita, kemungkinan terkena penyakit adalah satu persen. Sementara pada anak yang
salah satu orangtuanya menderita kemungkinan terkena adalah 15%. Dan jika kedua
orangtuanya penderita maka resiko terkena adalah 35 persen. Kembar indentik berisiko
mengalami gangguan sebesar 50%, sedangkan kembar fraterna berisiko mengalami
gangguan 15%. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat kontribusi genetik untuk volume
PFC pada skizofrenia (Lawrie et al., 2001; Canon et al., 2002). Val allele pada lokus
tertentu Brain Imaging In Schizophrenia 48 dari gen katekol-O-metil-transferase (COMT)
memiliki hubungan dengan volume PFC. Hal ini merefleksikan dampaknya pada fungsi
PFC di seluruh perkembangannya (McIntosh et al., 2007). Variasi gen neurotropik otak
seperti brain derived neurotrophic factor (BDNF) juga telah diteliti dan mempublikasikan
adanya hubungan BDNF met allele dengan berkurangnya lobus temporal dan
perubahannya bersifat progresif (Ho, B.C. et al., 2007). Volume hipokampus dan ventrikel
pada skizofrenia dapat disebabkan oleh interaksi antara faktor risiko genetik dan faktor
lingkungan, seperti komplikasi obstetri (OCs). Penelitian McNeil pada tahun 2000
menemukan adanya pembesaran ventrikel dengan komplikasi perinatal dan perlambatan
perkembangan.
Penelitian lain menyebutkan adanya volume hipokampus yang lebih kecil pada klien
skizorenia dengan riwayat komplikasi kelahirannya dibandingkan dengan klien skizofrenia
yang tidak mengalami komplikasi pada kelahirannya (McNeil, Cantor-Graae, Weinberger,
2000). Berdasarkan penemuan sebelumnya dan yang terbaru dapat disimpulkan bahwa
pembesaran ventrikel dan sulkus otak yang terlihat pada skizofrenia merupakan proses
perkembangan yang menyimpang sehingga menghasilkan reduksi yang berlebihan pada
jaringan otak dibandingkan dengan yang normal. Hipotesis perkembangan saraf otak
menjelaskan bahwa etiologi skizofrenia sebagai proses patologis yang disebabkan oleh
faktor genetik dan lingkungan yang dimulai sebelum otak mencapai keadaan dewasanya.
Selama masa kehamilan trimester satu atau trimester dua, gen yang terlibat dengan migrasi
sel, proliferasi sel, perkembangan axonal, dan mielinisasi dapat dipengaruhi oleh gangguan
neurologis seperti infeksi virus. Gangguan perkembangan saraf otak dini dapat
menyebabkan disfungsi jaringan spesifik yang menjadi jelas pada masa remaja ketika
neuroplastisitas normal dan pemangkasan sinaptik berkurang atau terganggu (Boyd, 2018).

Tidak ada riwayat gangguan jiwa dalam keluarga.

Konsep Kasus Keterangan


No
Faktor Biologi
1 Riwayat MRS 1 Dx Skizofrenia Tidak dapat
gangguan jiwa diperbaiki, namun
sebelumnya dapat dipertahankan
dengan pengobatan
dan perwatan yang
maksimal.
2 Riwayat Tidak ada -
Traumatik/
kecelakaan
3 Penyakit Fisik Tidak ada -

4 Riwayat Belum pernah Dapat diperbaiki


Pengobatan mendapatkan dengan edukasi
pengobatan minum obat
sebelumnya
5 Mengkonsums Merokok 2 batang Dapat diperbaiki :
i Kopi, Rokok perhari Edukasi
dan Alkohol pengendalian faktor
dan NAPZA resiko
6 Herediter Tidak ada riwayat Tidak dapat
herediter diperbaiki , namun
dapat dirawat

2.2.2 Sosial Budaya


a) Pendidikan
Menurut Potter dan Perry (2005) bahwa pendidikan lebih tinggi akan memberikan pengetahuan
yang lebih besar sehingga menghasilkan kebiasaan mempertahankan kesehatan yang lebih baik.

Pendidikan klien yakni tamat SMA, tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya karena tidak ada
biaya.

b) Pekerjaan
Tingkat sosial ekonomi rendah merupakan salah satu faktor sosial yang menyebabkan tingginya
angka gangguan jiwa termasuk skizofrenia (Townsend, 2005).

Klien saat ini tidak bekerja, pemenuhan kebutuhan sehari-hari dibantu oleh orang tua dan adik
klien.

c) Status pernikahan
Mayoritas pasien skizofrenia fase akut yang dirawat inap berstatus belum menikah. Skizofrenia
memiliki insidensi pada usia 15 sampai 25 tahun (pria) dan 25 sampai 35 tahun (wanita). Apabila
gangguan jiwa skizofrenia muncul pada rentang usia tersebut, maka pasien tidak akan menikah
dalam keadaan sakit dan perlu pengobatan dalam jangka waktu lama karena skizofrenia yang
bersifat kronis sehingga kemampuannya dalam membangun relasi dengan baik (Sira, 2009).

Klien belum menikah, pernah memiliki teman dekat (pacar) namun sudah berpisah tahun 2021,
saat ini klien tinggal bersama dengan ayah dan adik.

d) Pola asuh dan komunikasi dalam keluarga


Pola asuh yang baik dapat mempengaruhi berkurangnya kecemasan anak. Bagi peneliti
selanjutnya hendaknya meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi anak yang mengalami
keterlambatan (delay) dan membutuhkan waktu lebih lama untuk berdaptasi pada masa sekolah.
Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada
anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak (childrearing) adalah bagian penting dan
mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Pengasuhan anak
menunjukkan kepada Pendidikan umum yang diterapkan pengasuh terhadap anak berupa suatu
proses interaksi antara orang tua (pengasuh) dengan anak (yang diasuh). Pendampingan orang
tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik anak-anaknya yang
disebut pola pengasuhan (Wahyuning, 2003).

Tahun 2012 ayah klien meninggal, tahun 2020 ibu klien meninggal. Pola komunikasi dalam
keluarga tertutup, berlangsung 1 arah, ekspresi emosi tinggi terutama adik klien.

e) Kegiatan sosial di masyarakat.


Secara teori menurut Nugroho disebutkan bahwa semakin bertambahnya usia maka akan
mengalami kemunduran, yang dalam hal ini adalah aktivitas fisik. Hal ini menyebabkan terjadi
gangguan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga berakibat pada ketergantungan
lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Namun sebagian besar Lansia di Panti Werdha
masih dapat melakukan aktivitasnya secara mandiri yaitu sebesar 87,5%. Hal ini disebabkan oleh
karena terjadinya penuaan yang optimal, dimana apabila lansia mengalami penuaan yang optimal
atau successful aging maka lansia tersebut akan tetap aktif serta tidak mengalami penurunan
dalam kehidupan sehari-hari. lansia dengan tingkat kecemasan sedang memiliki peluang untuk
terjadinya ketergantungan terhadap orang lain sebesar 1,6 kali dibandingkan dengan lansia yang
tidak mengalami kecemasan dan lansia dengan tingkat kecemasan berat berat memiliki peluang
untuk terjadinya ketergantungan terhadap orang lain sebesar 1,7 kali dibandingkan dengan lansia
yang tidak mengalami kecemasan.

Klien jarang mengikuti kegiatan sosial di masyarakat, tidak punya teman dekat, tidak punya
teman kelompok

f) Kegiatan spiritual
Kegiatan spiritualiatas dapat memainkan peran penting dalam penanganan ansietas pada
individu. Individu yang memiliki pengalaman spiritual yang baik mampu untuk mengatasi
ansietas yang menyerang. Lansia dengan aktivitas spiritualitas yang baik memiliki tingkat
kecemasan yang ringan dalam menghadapi masa tuanya (Ruaw et al., 2017). Tidak ada
kekhawatiran mengenai akhir kehidupan yang dijalani oleh lansia apabila memiliki aktivitas
spiritual yang baik, karena menyerahkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya kepada tuhan
YME.

Kegiatan ibadah berkurang selama sakit

Konsep Kasus Keterangan


No
Faktor Sosiokultural
1 Pendidikan Dapat dimanfaatkan:
Tamat SMA Edukasi Skizofrenia
dan Isolasi Sosial
2 Pekerjaan -
Bekerja
3 Status Pernikahan -
Belum menikah
4 Pola asuh dan Hubungan dan Dapat
komunikasi dalam komunikasi dengan dimanfaatkan :
keluarga keluarga kurang edukasi keluarga
baik (ekspresi (FPE)
emosi tinggi)
5 Kegiatan sosial di Dapat diperbaiki :
masyarakat Jarang berinteraksi mempertahankan
dengan lingkungan hubungan sosial di
RS dan masyarakat
6 Kegiatan spiritual Dapat diperbaiki:
Kurang baik Latihan spiritual
2.2.3 Psikososial
a) Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan
Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan krisis yang
dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional. Pengalaman masa lalu yang
tidak menyenangkan bisa berupa pengalaman tentang kegagalan. Kegagalan adalah
ketidakberdayaan manusia dalam melakukan suatu hal sehingga mudah menyerah dan
kurang bisa mengontrol diri dalam lingkungan sosial (Fogle, 1978). Menurut teori atribusi
yang dikembangkan Weiner (1980), keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat dianalisis
dalam tiga karakteristik, yakni pertama, penyebab keberhasilan atau kegagalan mungkin
internal atau eksternal. Artinya, keberhasilan atau kegagalan seseorang karena faktor-faktor
yang dipercaya memiliki asal usul dari dalam diri seseorang itu sendiri atau karena faktor
yang berasal dari lingkungannya.
Kedua, penyebab keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat berupa stabil atau tidak
stabil. Maksudnya, jika seseorang percaya penyebab stabil maka hasilnya mungkin akan
sama jika melakukan perilaku yang sama pada kesempatan lainnya. Ketiga, penyebab
keberhasilan atau kegagalan dapat berupa dikontrol atau tidak terkendali. Faktor terkendali
adalah salah satu yang diyakini seseorang dapat mengubah dirinya jika ingin melakukannya.
Adapun faktor tak terkendali adalah salah satu yang dari individu sendiri tidak percaya
dirinya dengan mudah dapat mengubahnya. Konflik emosional yang dialami individu dan
tidak terselesaikan dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan
kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.

Klien memiliki pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan saat kehilangan ayahnya
tahun 2012, kehilangan pekerjaan 2015, ibunya tahun 2021 dan berpisah dengan pacarnya
pada tahun yang sama 2021.

b) Konsep Diri
Konsep diri paling adaptif ialah aktualisasi diri yang meliputi realistis, mampu
menyesuaikan diri saat berinteraksi dengan orang lain, sikap tegas dan persepsi yang akurat,
mampu memperdiksi masa depan secara akurat, memahami semua aspek kehidupan seperti
seni, politik, musik dan filosofi, bersikap rendah hati, memiliki dedikasi yang baik dalam
bekerja, fleksibel, sikap kreatif, serta spontan dan selalu mengakui kesalahan, menerima ide
terbarukan, memiliki tingkat kepercayaan diri, mampu menghargai diri sendiri, memiliki
kepribadian yang dewasa, mampu mengambil keputusan, mampu berfokus terhadap masalah
yang dihadapi, dapat menerima semua yang dimiliki oleh dirinya, memegang teguh etika
serta dapat mengatasi kegagalan (Yusuf et al., 2015). Konsep diri mengacu pada persepsi,
cara berfikir yang membentuk keyakinan dan gagasan individu terhadap dirinya (Ducasse et
al., 2019).
Konsep diri yang positif sejalan dengan kondisi mental dan fisik yang sehat. Individu
dengan konsep diri yang positif dapat membangun dan mengatur hubungan interpersonal
serta mampu mengatasi masalah psikis dan fisik yang dihadapi, dan mampu beradaptasi
terhadap situasi dan perubahan pada diri maupun lingkungan yang terjadi. 4 dimensi dalam
konsep diri terdiri atas pengetahuan individu terkait kemampuan, sifat dan keterbatasan,
ekspektasi diri yang terdiri atas harapan individu terhadap dirinya yang bersifat realistis,
sosial diri yang merupakan perasaan individu dalam kehidupan bermasayarakat serta
evaluasi sosial yang berhubungan dengan penilaian diri sendiri terhadap hubungannya
dengan yang lain (Berman et al., 2016).

Kondisi yang ditemukan pada klien; ideal diri tidak sesuai dengan harapan, peran sebagai
anak terganggu, klien merasa tidak berguna, body image positif, klien menyukai dirinya,
identitas diri positif, harga diri terdapat penilaian diri negatif, merasa minder, malu dengan
kondisinya saat ini tidak bekerja dan belum menikah.

c) Motivasi dan Harapan


Skizofrenia yang terjadi memiliki pengaruh terhadap motivasi dan harapan individu.
Individu yang memiliki tingkat stres rendah mampu fokus untuk memenuhi harapan yang
diinginkan begitupun sebaliknya (Vivin et al., 2019). Tingkat stres yang rendah dapat
meningkatkan fokus individu untuk meraih harapan atau keinginannya, motivasi individu
untuk mewujudkan keinginannya menjadi meningkat apabila individu tidak mengalami
ansietas (Firda & Triastuti, 2020).

Motivasi klien ingin sembuh dengan harapan dapat bekerja, menikah dan merawat ayahnya
yang sudah lansia.

d) Tugas Perkembangan
Menurut Havighurst, tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang harus diselesaikan
individu pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu; dan apabila berhasil mencapainya
mereka akan berbahagia, tetapi sebaliknya apabila mereka gagal akan kecewa dan dicela
orang tua atau masyarakat dan perkembangan selanjutnya juga akan mengalami kesulitan.
Adapun yang menjadi sumber dari pada tugas-tugas perkembangan tersebut menurut
Havighurst adalah: Kematangan fisik, tuntutan masyarakat atau budaya dan nilai-nilai dan
aspirasi individu. Tugas perkembangan itu merupakan suatu hal yang muncul pada periode
tertentu dalam rentang kehidupan individu yang apabila berhasil dituntaskan akan membawa
kebahagiaan dan kesuksesan ke tugas perkembangan selanjutnya tapi jika gagal akan
menyebabkan ketidakbahagiaan pada individu yang bersangkutan dan kesulitan – kesulitan
dalam menuntaskan tugas berikutnya. Hurlock (1981) menyebut tugas – tugas
perkembangan ini sebagai social expectations yang artinya setiap kelompok budaya
mengharapkan anggotanya menguasai keterampilan tertentu yang penting dan memperoleh
pola perilaku yang disetujui oleh berbagai usia sepanjang rentang kehidupan.

Tugas perkembangan klien berada pada usia dewasa yaitu intimasi yaitu membina
hubungan dekat dengan lawan jenis baik itu teman dekat maupun pernikahan, hubungan
interaksi tersebut berupa hubungan sosial. Saat ini klien belum menikah dan tidak memiliki
teman dekat.

Konsep Kasus Keterangan


No
Faktor Psikologis
1 Pengalaman masa Kehilangan orang Dapat diperbaiki:
lalu yang tidak yang disayangi meningkatkan
menyenangkan (Ibu) kemampuan positif
yang dimiliki
2 Konsep diri Konsep diri negatif Dapat diperbaiki:
meningkatkan
kemampuan positif
yang dimiliki
3 Cita-cita Memiliki Dapat diperbaiki:
harapan/cita-cita meningkatkan
ingin menikah kemampuan positif
yang belum yang dimiliki
tercapai
3 Motivasi dan Harapan untuk Dapat dimanfaatkan:
harapan sembuh Edukasi pengobatan
dan perawatan
4 Tugas Belum tercapai Dapat diperbaiki:
perkembangan Edukasi perkembangan
usia dewasa mudah

Faktor Sept 2021-


Lahir-2002 2012 2015 2020 2021
Predis Presi Feb 2022

Biologis Gangguan Terdiagnosa


jiwa (sakit) Skizofrenia dan
pertama kali belum pernah
berobat
sebelumnya

hipertensi Merokok 2 batang


perhari
Psikologis Kehilang Sedih kehilangan Konsep diri negatif
an ayah Ibu

Sedih berpisah
dengan pacar
(teman dekat)
Sosial Tidak Kehilangan (konsep Tidak bekerja
melanjutkan Pekerjaan kehilangan)
Budaya Pendidikan
Belum menikah

Predisposisi klien dimulai dengan faktor biologis yakni pada tahun 2020 pertama kali klien sakit
dan ada hipertensi, belum pernah mendapatkan pengobatan untuk gangguan jiwanya. Pada
faktor predisposisi sosial budaya yakni klien tidak melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya
yang terjadi tahun 2002. Kemudian pada tahun 2015 klien kehilangan pekerjaan. Faktor
predisposisi dan presipitasi pada aspek psikologis yakni klien mengalami kesedihan ditinggal
ayahnya pada tahun 2012 dan tahun 2021 kehilangan ibunya, dan berpisah dengan pacarnya
pada tahun yang sama 2021.

3.1 Penilaian Terhadap Stresor


Model diatesis stres menyampaikan gejala skizofrenia berkembang berdasarkan pada
hubungan antara jumlah stres yang dialami oleh seseorang dan ambang batas toleransi stres
internal. Stres adalah penilaian seseorang terhadap stresor dan masalah yang terkait dengan
koping terhadap stres yang dapat memprediksi munculnya kembali gejala. Penilaian adalah
suatu evaluasi tentang kemaknaan suatu peristiwa terkait dengan kesejahteraan seseorang.
Penilaian individu terhadap stresor meliputi: penilaian kognitif, afektif, fisiologis, perilaku
dan sosial. Perubahan pada struktur neurologis klien schizofrenia memunculkan respon
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial.

a. Kognitif
Klien yang mengalami skizofrenia mengalami fungsi kognitif yang terganggu meliputi
ketidakmampuan klien dalam berpikir dan tidak memiliki persepsi yang realistis. Gejala ini
umumnya dikenal dengan sebutan halusinasi dan waham. Berduka adalah suatu keadaan
emosional yang paling kuat dan mempengaruhi semua aspek kehidupan seseorang. Hal ini
menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan aktifitas dan hanya berfokus pada perasaan
dan kebutuhan saat ini (Stuart, 2016). Kubler-Ross (1969), mengidentifikasi lima tahap
perasaan dan perilaku yang dialami individu sebagai respons terhadap kehilangan yang
nyata, dirasakan, atau diantisipasi yaitu denial, anger, bargaining, depression dan
acceptance (Mary C. Townsend, 2009). Respon maladaptif dapat terjadi ketika seorang
individu tidak mampu melalui tahapan berduka untuk mencapai resolusi. Respons ini
biasanya terjadi ketika seseorang menjadi terpaku pada tahap penolakan atau kemarahan dari
proses berduka. Resolusi dari proses berkabung/berduka dianggap telah terjadi ketika
seorang individu dapat melihat kembali hubungannya dengan kehilangan dan menerima
kesenangan dan kekecewaan (baik aspek positif dan negatif) dari asosiasi (Stuart, 2016).
Rasa sakit yang menyertai berduka dalam beberapa hal dapat berasal dari gangguan pada
keyakinan seseorang. Kehilangan dikatakan mengganggu ketika menghancurkan asumsi
dasar tentang makna dan tujuan hidup. Berduka sering menyebabkan seseorang mengubah
keyakinan tentang dirinya dan dunia, seperti persepsi tentang kebaikan duniawi, makna
hidup yang terkait dengan keadilan, dan takdir atau jalan hidup (Videbeck, 2020).
Respons kognitif klien isolasi sosial meliputi merasa tidak berguna, merasa kesepian atau
ditolak oleh orang lain, tidak mampu berkonsentrasi, kehilangan rasa tertarik kegiatan sosial,
tidak mampu menerima nilai dari masyarakat, tidak mampu membuat tujuan hidup, tidak
yakin dapat melangsungkan hidup, ketidakmampuan untuk memenuhi pengharapan orang
lain, sulit mengambil keputusan, merasa bosan, merasa tidak aman berada dekat orang lain,
tidak mampu menerima nilai dari masyarakat, dan merasa tidak aman berada dekat orang
lain (Keliat et al., 2019; Herdman et al., 2021).
Respon kognitif yang dialami klien G. adalah:

No Kognitif 3/3
1 Kesepian √
2 Berpikir tidak memiliki manfaat berhubungan sosial √
3 Berpikir dirinya akan ditolak oleh orang lain √
Berpikir tidak mampu mengikuti nilai dan norma di √
4 lingkungan sosial
5 Berpikir tidak mampu berhubungan sosial √
6 Berpikir dirinya tidak komunikatif √
7 Berpikir tidak aman berada dekat orang lain
8 Berpikir orang lain tidak pernah memberikan bantuan
9 Berpikir orang lain tidak memaafkan dirinya √
10 Berpikir sulit dalam bekerjasama dalam kelompok

b. Afektif
Gangguan afek yang tidak sesuai terjadi karena klien terlalu disibukkan oleh pikirannya
dan fantasinya sendiri. Sama halnya dengan gangguan kognitif, klien dengan gangguan
afek umumnya menunjukkan perasaan yang tidak sesuai (misalnya gembira dalam suasana
duka). Kondisi ini menyebabkan munculnya anggapan bahwa individu tersebut apatis dan
tidak peduli terhadap dirinya sendiri (Videbeck, 2008).

Respon afektif yang dialami klien G. adalah:

 No Afektif 3/3  


11 Afek datar √  
12 Afek tumpul  
13 Afek labil
13 Marah saat mendapatkan kritikan dari orang lain √  
14 Sedih saat menghadapi penolakan dari orang lain √  

c. Fisiologis
Fungsi fisiologis pasien seperti halnya kemampuan melakukan perawatan diri sering kali
terpengaruh akibat adanya masalah emosional. Klien juga gagal mengenali sensasi seperti
rasa lapar atau haus sehingga terkadang klien mengalami malnutrisi (Videbeck, 2008).

Respon Fisiologis yang dialami klien G. adalah:

No  Fisiologis 3/3


16 Lelah/letih √
17 Kurang bergairah √
18 Sulit tidur √
19 Nafsu makan berkurang
Hasil pengukuran TTV
TD/nadi/suhu/pernafasan: tinggi /rendah
20
Penampilan tampak kotor dan tidak rapi, rambut berketombe, gigi
21 kotor

d. Perilaku
Respon perilaku sebagai hasil dari respon fisiologis dan emosional (Stuart, 2016).

Respon perilaku yang dialami klien G. adalah:

 No Perilaku 3/3


19 Berdiam diri di kamar
20 Banyak melamun/asik dengan pikirannya sendiri √
21 Tidak ada kontak mata √
22 Tidak melakukan kegiatan sehari-hari
23 Negativism (kurang aktivitas fisik dan verbal)
24 Melakukan pekerjaan tidak tuntas
25 Bicara dengan suara yang pelan √
26 Bicara dengan bahasa yang tidak dapat dipahami orang lain
27 Tidak tersenyum saat berhubungan sosial
28 Gelisah saat berinteraksi dengan orang lain √

e. Sosial
Pada pasien isolasi sosial dapat mengalami permasalahan sosial dipicu oleh adanya
hambatan hubungan sosial yang dipengaruhi oleh adanya anhedonia, avolition dan defisit
perhatian terhadap realita (Stuart, 2016).

Respon sosial yang terlihat pada klien G. adalah:

  Sosial 3/3
29 Acuh terhadap lingkungan
30 Tidak berpartisipasi dalam kegiatan sosial
31 Kesulitan dalam berinteraksi √
Pohon Diagnosa

Halusinasi

Isolasi Sosial

HDRK

2.2 Sumber Koping


Sumber koping merupakan kekuatan yang dimiliki individu dalam berepon terhadap berbagai
stresor yang dihadapi. Dengan mengetahui sumber koping yang dimiliki klien perawat dapat
menentukan tindakan yang tepat dalam melakukan asuhan keperawatan. Sumber koping terdiri
dari kemampuan individu (personal ability), dukungan sosial (social support), ketersediaan
materi (material assets), dan kepercayaan atau positive beliefs (Stuart, 2016).

a) Personal Ability
Kemampuan individu (personal ability) merupakan hal-hal yang terkait individu itu sendiri
dalam memecahkan masalah, seperti motivasi, pengetahuan, kemampuan memecahkan masalah
dan lain-lain. Kemampuan yang diharapkan pada klien dengan masalah keperawatan isolasi
sosial adalah klien mampu berinteraksi dengan orang lain, mampu melakukan kegiatan bersama
orang lain dan mampu melakukan kegiatan sosial.
Tindakan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan masalah keperawatan isolasi sosial
adalah diskusikan kemampuan berinteraksi dengan orang lain, diskusikan keuntungan yang
diperoleh saat melakukan kegiatan Bersama orang lain, latihan berkenalan, latihan berinteraksi
dengan dengan orang lain sambil melakukan kegiatan harian dan latihan melakukan kegiatan
sosial. Hasil penelitian membuktikan bahwa pelaksanaan terapi keperawatan ners pada klien
isolasi sosial efektif membantu dan mempermudah klien dalam berinteraksi dengan orang lain
(Larasati, 2020). Pelaksanaan terapi keperawatan spesialis untuk mengatasi masalah isolasi
sosial adalah social skill training (SST). Hasil penelitian terkait penerapan SST pada klien isolasi
sosial mampu menunrunkan tanda dan gejala isolasi sosial serta meningkatkan kemampuan klien
dalam berinteraksi dengan orang lain (Sukaesti, 2019).
Kemampuan untuk dapat mengatasi masalah isolasi sosial dapat dicapai melalui pemberian
Terapi Keperawatan Ners dan Terapi Keperawatan Spesialis, diantaranya:

TKN a. Menjelaskan tanda dan gejala, penyebab dan


akibat isolasi sosial
b. Menjelaskan dan melatih klien berkenalan
c. Menjelaskan dan melatih pasien bercakap-cakap
saat melakukan kegiatan sehari-hari
d. menjelaskan dan melatih berbicara sosial
TAK 1. Berkenalan
2. Bercakap cakap
3. Bercakap cakap kehidupan pribadi
4. Bercakap cakap topic tertentu
5. Bekerjasama
TKS: 1. Latihan berkenalan:
Social Skill Training 1.1 Daftar orang yang akan diajak berkenalan
1.2 Latihan cara berkenalan
1.2.1 Sikap tubuh dan bahasa
1.2.2 Memperkenalkan diri dan mengenal
oranglain
1.2.3 Menjawab pertanyaan dan bertanya untuk
memperjelas
1.2.4 Latihan berkenalan secara terjadwal

2. Aktivitas dalam berkenalan:


2.1 Sikap tubuh dan bahasa
2.2 Memperkenalkan diri
2.3 Mengenal orang lain

3. Bekerjasama dalam kelompok:


3.1 Membentuk kelompok dan kegiatan yang akan
dilakukan
3.2 Melakukan kegiatan kelompok

4. Latihan menghadapi situasi sulit


4.1 Mengidentifikasi situasi sulit yang dihadapi
bersama sahabat dan kelompok
4.2 Latihan dalam memberikan kritikan pada
sahabat dan kelompok
4.3 Latihan menerima kritikan dari sahabat dan
kelompok
4.4 Latihan dalam menolak permintaan sahabat
dan kelompok
4.5 Latihan dalam menghadapi penolakan sahabat
dan kelompok

5. Evaluasi kemampuan sosialisasi

Berikut kemampuan TKN yang dimiliki oleh Klien G adalah:


Tanggal Evaluasi/hari ke-
No Aspek Penilaian
1 2 3 4 5
1 Menyebutkan penyebab isolasi sosial √      
2 Menyebutkan orang yang tinggal serumah √      
3 Menyebutkan orang yang terdekat √      
4 Menyebutkan orang yang tidak dekat √      
5 Menjelaskan penyebab tidak dekat dengan orang lain √      
6 Menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain √      
7 Menyebutkan kerugian isolasi sosial √      
8 Berkenalan      
9 Berbicara dengan orang lain saat aktivitas      
Berbicara dengan orang lain lebih dari 2 orang dalam kegiatan
10 kelompok      
Berbicara sosial saat belanja ke warung, meminta sesuatu dan
11 menjawab pertanyaan      
TOTAL KEMAMPUAN KLIEN 7      

Berikut kemampuan spesialis individu yang dimiliki oleh klien G:


Kemampuan Ners Spesialis
1.   Latihan berkenalan:
1.1     Daftar orang yang akan diajak berkenalan
1.2     Latihan cara berkenalan
1.2.1     Sikap tubuh dan bahasa
1.2.2     Memperkenalkan diri dan mengenal
oranglain
1.2.3     Menjawab pertanyaan dan bertanya
untuk memperjelas
1.2.4     Latihan berkenalan secara terjadwal
 
2.   Aktivitas dalam berkenalan:
2.1    Sikap tubuh dan bahasa
2.2    Memperkenalkan diri
2.3    Mengenal oranglain
 
3.   Bekerjasama dalam kelompok:
3.1    Membentuk kelompok dan kegiatan yang akan
dilakukan
3.2    Melakukan kegiatan kelompok
 
4.   Latihan menghadapi situasi sulit
4.1     Mengidentifikasi situasi sulit yang dihadapi
bersama sahabat dan kelompok
4.2     Latihan dalam memberikan kritikan pada
sahabat dan kelompok
4.3     Latihan menerima kritikan dari sahabat dan
kelompok
4.4     Latihan dalam menolak permintaan sahabat
dan kelompok
4.5     Latihan dalam menghadapi penolakan sahabat
dan kelompok
 
Evaluasi kemampuan sosialisasi

b) Possitive Belief
Sumber harapan untuk mempertahankan koping seseorang dalam situasi yang paling tidak
diharapkan. Keyakinan dan gambaran positif seseorang dapat menjadi dasar dari harapan yang
dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stresor. Keyakinan harus
dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat menguatkan afektif,
kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstruktif dan sosial yang baik (Stuart, 2016).

No Positif Believe Ya Tidak


1 Keyakinan klien terhadap kemampuan dirinya untuk bisa sembuh √
dan dapat berinteraksi dengan orang lain
2 Keyakinan klien terhadap petugas pelayanan Kesehatan untuk √
membantu menyembuhkan.

c) Social Support
Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok
atau orang-orang disekitar klien dan dukungan terbaik yang diperlukan oleh klien adalah
dukungan dari keluarga terutama caregiver. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota
keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, dalam konteks
ini adalah perubahan pada status kesehatan (Friedman, 2008). Dukungan tersebut akan
berdampak pada Main Effect Hypothesis / Direct Effect Hypothesis atau suatu dukungan sosial
dapat meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis individu dengan adanya ataupun tanpa
tekanan, dengan kata lain seseorang yang menerima dukungan sosial dengan atau tanpa adanya
tekanan ataupun stres akan cenderung lebih sehat. Dukungan sosial memberikan manfaat yang
sama baiknya dalam kondisi yang penuh tekanan maupun yang tidak ada tekanan (Sarafino
dalam Yayan, 2016).
Kemampuan pasien berinteraksi dengan lingkungan sosial dapat ditingkatkan dengan pemberian
asuhan keperawatan yang komprehensif dan terus menerus disertai dengan terapi modalitas
seperti Terapi Aktivitas Kelompok. hasil peneltiian menyebutkan bahwa pelaksanaan terapi
aktifitas kelompok sosialisasi efektik meningkatkan kemampuan interaksi klien dengan masalah
isolasi social (Hastutiningtyas & Setyabudi, 2016). Bahkan Terapi Aktivitas Kelompok
memberikan modalitas terapeutik yang lebih besar dari pada hubungan terapeutik antara dua
orang yaitu perawat dan klien (Stuart, 2016).
Terapi Aktivitas Kelompok adalah terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok
klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi dan
kelompok sebagai target asuhan. Terapi Aktivitas Kelompok dilakukan untuk meningkatkan
kematangan emosional dan psikologis pada pasien yang mengidap gangguan jiwa pada waktu
yang lama (Stuart, 2016). Didalam kelompok terjadi dinamika dimana setiap anggota kelompok
saling bertukar informasi dan berdiskusi tentang Pengalaman serta membuat kesepakatan untuk
mengatasi masalah anggota kelompok. TAK stimulasi persepsi juga bertujuan untuk
mendiskusikan pengalaman dan kehidupan dan hasil diskusi berupa kesepakatan persepsi dan
alternatif penyelesaian masalah.

N
O Aspek Penilaian Tanggal Evaluasi
Terapi Aktivitas Kelompok
1 Mampu memperkenalkan diri
2 Mampu berkenalan
3 Mampu bercakap-cakap tentang topik umum
4 Mampu bercakap-cakap tentang topik khusus
6 Mampu bercakap-cakap tentang masalah pribadi
7 Mampu bekerja sama secara kelompok
8 Mampu mengevaluasi kemampuan sosialisasi
Terapi Suportif
9 Mampu mengidentifikasi masalah
10 Mampu mengidentifikasi sumber pendukung didalam
dan diluar keluarga
11 Latihan menggunakan system pendukung dari dalam
keluarga
12 Latihan menggunakan system pendukung dari luar
keluarga
13 Mampu mengevaluasi hasil dan dan hambatan
penggunaan sumber pendukung
Total Kemampuan Kelompok

Dukungan keluarga juga penting untuk meningkatkan proses perawatan klien yang menderita
halusinasi, dukungan keluarga dapat ditingkatkan dengan pemberian Family Psycho Education
(FPE). Penggunaan FPE ini sudah banyak dibuktikan dalam penelitian-penelitian sebelumnya
bahwa FPE mampu untuk meningkatkan fungsi adaptif keluarga dan meningkatkan ketrampilan
mekanisme koping yang positif pada keluarga dalam merawat klien. Sebuah penelitian
menerangkan bahwa FPE dapat menurunkan tingkat kecemasan dan beban keluarga dalam
merawat anggota keluarga yang menderita katarak (Siswoyo et al., 2016). Klien dengan
skizofrenia termasuk waham sangat membutuhkan dukungan keluarga dalam proses recovery
sekaligus untuk mencegah relaps. Salah satu terapi kelurga yang dapat diterapkan adalah Family
Psychoeducation therapy (FPE) yang merupakan salah satu elemen program perawatan
kesehatan jiwa dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang
terapeutik (Stuart, 2013). Swank & Dixon (2004) mengungkapkan dalam sebuah review literatur
bahwa lebih dari 30 data clinical trial menunjukkan FPE efektif dalam menurunkan angka
kekambuhan, meningkatkan perbaikan gejala, dan meningkatkan outcome psikososial keluarga.
Selanjutnya, Khoshknab, Sheikhona, Rahgouy, Rahgozar, & Sodagari (2011) dalam
penelitiannya terhadap 71 caregiver klien dengan skizofrenia (36 kelompok intervensi, 35
kelompok kontrol), kelompok intervensi diberikan FPE selama empat minggu. Hasilnya
didapatkan pada kelompok intervensi terjadi penurunan Family Burden Index Schedule (FBIS)
atau indeks beban keluarga dalam merawat klien dengan skizofrenia setelah intervensi FPE dan
lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (p<0,001).

N Aspek Penilaian Tanggal Evaluasi


O Kemampuan Keluarga
1 Keluarga mampu mengidentifikasi masalah kesehatan
yang dihadapi dalam merawat klien
2 Kemampuan keluarga dalam mengidentifikasi
masalah Kesehatan yang dialami keluarga (caregiver)
3 Keluarga mampu mengambil keputusan dalam
merawat klien isolasi sosial
4 Keluarga mampu merawat masalah kesehatan klien
5 Keluarga mampu menciptakan suasana yang
kondusif untuk klien isolasi sosial
6 Keluarga mampu melakukan manajemen stress dalam
merawat klien
7 Keluarga mampu melakukan manajemen beban
dalam merawat klien
8 Keluarga mampu memanfaatkan system pendukung
dalam merawat klien
9 Keluarga mampu menggunakan fasilitas kesehatan
dalam merawat dan mengobati klien isolasi sosial
10 Keluarga mampu mencegah kekambuhan
11 Keluarga mampu melakukan monev
Total Kemampuan Keluarga

INTEGRASI TKN DAN TKS KELUARGA/FPE

No TKN No FPE
1 Keluarga mampu mengidentifikasi 1
Keluarga mampu mengidentifkasi
masalah kesehatan yang dihadapi
masalah klien
dalam merawat klien
Keluarga mampu mengidentifikasi
masalah keluarga dalam merawat klien
2 Keluarga mampu mengambil Keluarga mampu mengambil
keputusan dalam merawat klien isolasi keputusan dalam merawat klien isolasi
sosial sosial
3 Keluarga mampu merawat masalah 2
Merawat masalah pasien
kesehatan klien
4 Keluarga mampu menciptakan suasana
Keluarga mampu menciptakan suasana
yang kondusif untuk klien isolasi
yang kondusif untuk klien isolasi sosial
sosial
3 Manajemen stress keluarga
4 Manajemen beban
5 Keluarga mampu memanfaatkan 5
Memanfaatkan sistem pendukung
fasilitas kesehatan
Manajemen kekambuhan
d) Material Asset
Pekerjaan klien sebelum dirawat, penghasilan sebelum dirawat, siapa yang menanggung biaya
berobat klien, jaminan kesehatan yang digunakan dan apakah memiliki tabungan. Sumber koping
juga didukung oleh aset materi antara lain jaminan sumber, ketersediaan finansial, pelayanan
kesehatan, sumber. Ketersediaan seluruh aset material mendukung klien dalam berespon adaptif
dalam kondisi sakit. Ketersediaan aset materi membuat keleluasaan klien dalam berobat dan
mendapatkan akses pengobatan.

N
Material Aset Ket.
o
1 Finansial
Pekerjaan/Penghasilan Tidak Bekerja
Tabungan Tidak memiliki tabungan
Jaminan pelayanan kesehatan Memiliki BPJS Kesehatan

2 Fasilitas pelayanan kesehatan terdekat


Puskesmas Puskesmas dapat ditempuh dalam
waktu sekitar 30 menit
Dokter Praktik Terdapat praktik dokter di dekat tempat
tinggal klien
Klinik Kesehatan -
Rumah Sakit Terdapat rumah sakit daerah yang
berjarak sekitar 2 KM dengan waktu
tempuh sekitar 30 menit.

2.3 Mekanisme Koping


Mekanisme koping adalah beberapa usaha yang secara langsung dilakukan individu untuk
memanajemen stres yang dihadapi. Ada 3 (tiga) tipe mekanisme koping menurut Stuart (2016),
yaitu koping mekanisme yang berfokus pada masalah, koping mekanisme yang berfokus pada
kognitif dan koping mekanisme yang berfokus pada emosi. Mekanisme koping dapat bersifat
konstruktif dan destruktif. Dikatakan konstruktif apabila seseorang menerima stresor tersebut
sebagai suatu tantangan untuk dapat menyelesaikannya. Dikatakan destruktif apabila upaya yang
dilakukan tidak untuk menyelesaikan masalah bahkan menghindar (Stuart, 2016).
Mekanisme koping yang digunakan oleh klien untuk mengatasi isolasi sosial yang dialami
adalah lebih memilih banyak diam, lebih senang menyendiri.

2.4 Tindakan Keperarawatan


2.7.1 Rencana Tindakan Keperawatan
TERAPI 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Pengkajian (pre test) + Post
INDIVIDU ACT Latihan Mandiri + Post test (Pulang) Follow Up Daring
TKN + SST test
FPE
1
KELUARGA FPE FPE FPE FPE FPE Mandiri (Post Post
  + Pendampingan Follow Up Daring
(Daring) 2 3 4 5 6 test) test
Pre
test
Post
KELOMPOK   TAK sosialisasi (Isolasi Sosial) Terapi Suportif + Post test (Pulang) Follow Up Daring
test
2.6.2 Tindakan Keperawatan yang Telah Dilakukan
D/Isolasi Sosial: Scanning, TKN + T/SST 1
D/HDRK: Scanning, TKN
D/Halusinasi: Scanning, TKN
2.6.3 Rencana Tindakan Keperawatan yang Akan Dilakukan
D/Halusinasi: E,V-TKN
D/HDRK: E,V: TKN
D/Isolasi Sosial: E,V: TKN + T/SST 1 + SST 2

Tabel Integrasi TKN dan TKS pada Pasien Isolasi Sosial


No TKN No TKS
SOCIAL SKILL TRAINING (SST)
1 Diskusikan keuntungan dari: 1 Pilih dan sepakati kemampuan yang akan
- Berinteraksi dilatih
- Melakukan kegiatan bersama
2 Latihan berkenalan 2 Latihan berkenalan
2.1 Buat daftar orang
2.2 Latih sikap tubuh dan bahasa
2.3 Kenalkan diri dan kenal orang lain
2.4 Jawab pertanyaan dan bertanya untuk
memperjelas
2.5 Buat jadwal latihan berkenalan

3 Latihan bercakap-cakap saat 3 Latihan menjalin persahabatan


berkegiatan bersama 3.1 Evaluasi latihan berkenalan
3.2 Latih memberi pujian kepada orang yang
dikenal dan cara menerima pujian
3.4 Latih cara memberikan pertolongan dan
meminta pertolongan kepada orang yang
dikenal
3.5 Latih cara meminta maaf dan memberi
maaf kepada orang yang dikenal
3.6 Buat jadwal latihan menjalin
persahabatan

4 Latihan berkegiatan sosial: belanja, ke 4 Latihan bekerjasama dalam kelompok


rumah ibadah, arisan, di bank, dsb. 4.1 Evaluasi latihan berkenalan dan menjalin
persahabatan
4.2 Bentuk kelompok dari sahabat
4.3 Buat daftar kegiatan
4.4 Pilih satu kegiatan yang akan dilakukan
4.5 Bagi peran dalam kegiatan
4.6 Laksanakan kegiatan sambil bicara
4.7 Evaluasi kegiatan
4.8 Buat jadwal latihan bekerjasama dalam
kelompok
5 Latihan hadapi situasi sulit
5.1 Evaluasi latihan berkenalan, jalin
persahabatan dan bekerjasama dalam
kelompok
5.2 Identifikasi situasi sulit yang dihadapi
bersama sahabat dan kelompok
5.3 Latih cara beri kritikan
5.4 Latih cara terima kritikan
5.5 Latih cara menolak permintaan
5.6 Latih cara hadapi penolakan
5.7 Buat jadwal latihan cara hadapi situasi
sulit
6 Evaluasi kemampuan sosialisasi
DAFTAR PUSTAKA

Berman, A., Synder, S., & Frandsen, G. (2016). Kozier&Erb’s Fundamentals of Nursing
Concept, Process and Practice.

Ducasse, D., Van Gordon, W., Courtet, P., & Olié, E. (2019). Self-injury and self-concept.
Journal of Affective Disorders, 258(July), 115–116.
https://doi.org/10.1016/j.jad.2019.07.074

Firda, F. A., & Triastuti, N. J. (2020). Hubungan Tingkat Ansietas, Motivasi Belajar, Lama
Belajar, dan Status Merantau dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Kedokteran. Proceeding
Book Call for Paper Thalamus: Medical Research For Better Health, ISSN: 2721-2882,
137–148. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12000

Hastutiningtyas, & Setyabudi, I. (2016). Peran Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Terhadap
Kemampuan Interaksi Sosial Dan Maslah Isolasi Sosial. Jurnal Care, 4(3), 62–69.

Larasati, H. P. (2020). Penerapan Latihan Keterampilan Sosial: Bermain Peran Pada Pasien
Skizofrenia dengan Masalah Keperawatan Isolasi Sosial Di Ruang Puri Mitra RSJ Menur
Surabaya. Jurnal Biosains Pascasarjana, 22(2), 81.
https://doi.org/10.20473/jbp.v22i2.2020.81-86

PH, L., Ayu watini, S., & Sari, R. K. (2018). Gambaran Ansietas Keluarga Saat Menghadapi
Kekambuhan Anggota Keluarga Dengan Penyakit Kronis. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa,
1(1), 29. https://doi.org/10.32584/jikj.v1i1.34

Ruaw, G. A., Hadi, M., & Rondonuwu, P. (2017). Hubungan spiritualitas dengan tingkat
kecemasan menghadapi masa tua pada lansia di desa basaan dua kecamatan ratatotok. E-
Jurnal Sariputra, 4(3), 15–19.

Siswoyo, Setioputro, B., & Albarizi, C. (2016). Psychoeducation therapy reduces family anxiety
in treating family member who suffers from cataract. NurseLine Journal, 1(2), 237–245.

Stuart, G. W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart (J. P. Buni Anna
Keliat, Trans. J. P. Budi Anna Keliat Ed.). Elsevier.

Sukaesti, D. (2019). Sosial Skill Training Pada Klien Isolasi Sosial. Jurnal Keperawatan Jiwa,
6(1), 19. https://doi.org/10.26714/jkj.6.1.2018.19-24

Vivin, Marpaung, W., & Manurung, Y. S. (2019). Kecemasan dan motivasi belajar.
Persona:Jurnal Psikologi Indonesia, 8(2), 240–257.
https://doi.org/10.30996/persona.v8i2.2276

Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa, 1–366. https://doi.org/ISBN 978-xxx-xxx-xx-x
UNIVERSITAS INDONESIA

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)


PADA KLIEN G. DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN ISOLASI SOSIAL
DI RUANG GATOT KACA 2
Visit 2
Jumat, 4 Maret 2022

Mahasiswa

PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA

2022
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)
Visit 2

1. Kondisi pasien saat ini


Klien G. (38 Tahun) MRS dengan keluhan gelisah, bicara sendiri, jalan-jalan keluar rumah,
dan sulit tidur. Klien tercatat baru pertama menjalani perawatan di RSJ MM. Klien lebih
senang menyendiri, banyak diam dan merasa sulit berhubungan dengan orang lain, ada
perasaan malu, minder karena klien belum menikah dan bekerja. Hasil pemeriksaan klien
didiagnosa isolasi sosial, halusinasi, dan harga diri rendah kronik.

Pada Visit 1 telah diberikan tindakan :


D/Halusinasi: E,V-TKN
D/HDRK: E,V-TKN
D/Isos: E,V-TKN + T/SST 1

Kondisi klien pada visit ke 1 belum memiliki teman di kamar, banyak diam dan senang
menyendiri, berpikir sulit berinteraksi dengan orang lain, tampak sedih dan murung. TKN
untuk isolasi sosial telah diberikan yaitu menyebutkan penyebab isolasi sosial, menyebutkan orang
yang tinggal serumah, menyebutkan orang yang terdekat, menyebutkan orang yang tidak dekat,
menjelaskan penyebab tidak dekat dengan orang lain, menyebutkan keuntungan berhubungan
dengan orang lain, menyebutkan kerugian isolasi sosial. Kemudian klien dilatih berkenalan dengan
diawali membuat daftar teman yang akan diajak berkenalan yaitu Tn. D, Tn. F dan Tn.T.
selanjutnya mempraktikan cara berkenalan diri dan kenal dengan orang lain dengan sikap tubuh
dan bahasa serta latihan menjawab pertanyaan dan bertanya untuk memperjelas. Setelah itu
membuat jadwal latihan berkenalan mandiri.
2. Diagnosa Keperawatan :
a) Isolasi Sosial
b) Halusinasi
c) HDRK
3. Rencana Tindakan Keperawatan :
a) D/ Halusinasi: E,V:TKN
b) D/ HDRK: E,V:TKN
c) D/ Isolasi Sosial : E,V: TKN + T/SST 1 + SST 2
4. Strategi Pelaksanaan
4.1. Orientasi
a) Salam :
“Selamat siang pak G, bertemu lagi dengan saya Ners E perawat pendamping dari Ibu N,
perawat PPJA pak G ya. Bisa sebutkan kembali nama lengkapnya? tanggal lahirnya?
sambil saya cocokan dengan gelangnya ya.

b) Evaluasi :
“Bagaimana hari ini perasaannya? apakah masih ada suara suara yang didengar? Apakah
masih merasa malu, minder? Apakah masih ada pikiran sulit berhubungan dengan orang
lain?

c) Validasi :
“Apakah latihan untuk mengatasi suara-suaranya sudah dilakukan?apa manfaat yang pak
G peroleh setelah melakukan latihan? apakah sudah melakukan latihan untuk mengatasi
perasaan malu?apa manfaat yang diperoleh setelah melakukan latihan tersebut?” “apakah
sudah melakukan latihan untuk dapat berkenalan dengan orang lain?” “apa manfaat yang
pak G peroleh setelah melakukan latihan tersebut?”

d) Kontrak :
1) Tindakan dan tujuan :
“Baik pak G saya akan memeriksa 3 kondisi bapak yaitu tanda dan gejala mendengar
suara-suara, perasaan malu, minder serta pikiran sulit berhubungan dengan orang lain
kemudian saya akan cek latihan yang telah dilakukan dan manfaat dari latihan
tersebut”. “Selanjutnya hari ini saya akan tambahkan lagi latihan untuk menjalin
persahabatan dengan teman”.
2) Waktu:
“Waktunya sekitar 45 menit ya pak”
3) Tempat :
“tempatnya disini, apakah pak G sudah nyaman?”

4.2. Kerja
a). Dx Halusinasi
1) Pengkajian
Pengkajian predis presi.
Apakah pak G masih mendengar suara-suara setelah dirawat di RS?
Pengkajian tanda gejala (Cek instrument tanda gejala halusinasi)
Kognitif : “Bagaimana pak..apakah masih mendengar suara-suara?
Afektif : “Bagaimana perasaan saat halusinasi muncul ?
Fisiologis : “Bagaimana pak apakah masih ada letih dan sulit tidur?
Perilaku : Apakah pak G terganggu dengan suara itu?”
Sosial : “apakah masih ada rasa ingin menyendiri ?
2) Diagnosa
Nah pak G sekarang jumlah tanda gejalanya halusinasinya sudah berkurang ya,
jumlahnya sekarang ada…. bagus ya, hebat sudah membaik keadaannya.
3) Pengkajian kemampuan: mari kita lihat jadwal latihan di buku cara merawat
kesehatanku pak G ya..apakah latihannya sudah dikerjakan rutin….
Terapi Generalis
Mengontrol: Menghardik: 1 kali/hari jam 20.00 dan setiap kali muncul,
Mengabaikan : 1 kali/hari jam 20.00 dan setiap kali muncul
Distraksi: Bercakap-cakap : ngobrol dengan teman 1 kali/hari jam 09.00
Melakukan kegiatan:
Spiritual : Kegiatan Ibadahnya bagaimana ? apakah sesuai jadwal ?
Minum obat teratur : dengan 9 benar obat
“Baik pak G luar biasa sudah dilakukan latihan-latihannya bagus sekali…
“Bagaimana perasaan bapak setelah melakukan latihannya?”
Apakah ada manfaatnya yang bapak rasakan? Wah bagus….sangat merasakan
manfatnya ya latihan ini.
b. HDRK
1) Pengkajian
● Pengkajian Predis presi
“kemarin pak G mengatakan merasa malu, minder dengan kondisinya saat ini”
“apakah bapak masih merasa sedih memikirkan hal tersebut?”
“sekarang setelah bapak dirawat di rumah sakit ini, apakah masih ada sesuatu
yang membuat bapak malu dan sedih?”
● Pengkajian tanda dan gejala
Kognitif: “apa yang bapak pikirkan tentang diri sendiri yang saat ini sedang sakit,
belum menikah dan belum bekerja?”
Afektif: “bagaimana perasaan bapak ketika memikirkannya?”
Fisiologis: “apa keluhan fisik yang masih bapak rasakan saat ini? (sudah dikaji
pada diagnosa pertama)
Perilaku: “apa yang bapak lakukan ketika memikirkan masalah tersebut?”
Sosial: “bagaimana hubungan bapak dengan orang lain ketika memikirkan hal
tersebut tersebut?”
2) Diagnosa
“Tanda dan gejala harga diri rendah yang pak G alami sudah berkurang ya..hebat
sekali”
“latihannya tetap dilakukan ya, agar tanda dan gejala harga diri rendah yang pak G
alami semakin berkurang,

3) Kemampuan
“sekarang ayo dibuka buku cara merawat kesehatanku, ada berapa latihan yang harus
dilakukan untuk mengatasi perasaan malu dan sedih yang bapak rasakan?“

No Kemampuan Penilaian Pilih Latih


1 Merapikan Tanggal 3/3 Latihan 1x sehari
v
tempat tidur
2 Mencuci gelas v Tanggal 3/3 Latihan 1x sehari

3 Melap meja Tanggal 3/3 Latihan 2x sehari


v
makan
“Bagaimana perasaan pak G setelah melakukan latihannya?”
Apakah ada manfaatnya buat pak G? Wah bagus…bapak sangat merasakan
manfatnya ya latihan ini.

c. Isolasi Sosial
1) Pengkajian
● Pengkajian Predis presi
”Kemarin pak G katakan, belum memiliki teman di kamar lebih senang
menyendiri dan diam”
“apakah sekarang pak G masih tidak mau berteman dengan orang lain?”
“setelah dirawat disini, apakah masih ada lagi sesuatu yang membuat pak G tidak
mau untuk berteman dengan orang lain?”

● Pengkajian tanda dan gejala


Kognitif: “apakah pak G masih berpikir keramaian itu membosankan?”
Afektif: “bagaimana perasaan pak G saat tidak mau berinteraksi dengan orang
lain saat ini?” “apakah merasa sedih?”
Fisiologis “apakah masih ada keluhan fisik?” (jika sudah dikaji pada diagnosa
pertama, tidak perlu diulang lagi)
Perilaku : “kegiatan apa saja yang telah dilakukan setiap hari?” “apakah masih
sering berdiam diri?”
Sosial : “bagaimana kegiatan berkenalan dengan teman-teman dan perawat selama
di rawat disini?” apakah pak G sudah memiliki teman?”
Nah pak G sekarang tanda dan gejalanya telah berkurang dari…menjadi…, wah
hebat.
2) Diagnosa
“Latihannya tetap dilakukan yah agar kemampuan pak G dalam bercakap-cakap
dengan orang lain semakin meningkat”.
3) Kemampuan
Mari kita cek latihan yang telah dikerjakan kemarin, apakah telah dilakukan”
1) SST sesi 1: latihan sikap berkenalan (*integrasi TKN berkenalan)
- Apakah latihan berkenalan sudah dilakukan? Sudah. berapa orang? Siapa saja
- Berapa lagi mau berkenalan ?? bisa ditambah. Latihan untuk berkenalan? Ada 3 :
Pak D, pak T dan F.
- Mari kita cek Latihan berkenalan dengan pak D ya:
1. sikapnya ada berapa ? (5) sebutkan. pada waktu berkenalan dengan pak D
sudahkah kontak mata sejajar, tersenyum, sedikit membungkuk, tenang, suara
dan Bahasa jelas? Ooooh baik sudah bisa…. Yang seharusnya 5, Mari kita
Latihan Kembali pak…
2. Memperkenalkan diri , pada waktu berkenalan dengan pak D bagaimana
caranya : apakah sudah mengucapkan salam, menyampaikan nama lengkap dan
nama panggilan, menceritakan tentang dirinya (hobi, alamat, pekerjaan,
keluarga dll), memberi kesempatan untuk bertanya, dan menjawab
pertanyaan??? Oooh bagus bapak sudah bisa lakukan…
3. Mengenal orang lain: menanyakan nama lengkap dan nama panggilan,
menanyakan diri lawan bicara (hobi,alamat,pekerjaan, keluarga dll), bertanya
untuk memperjelas, mengucapkan terima kasih telah berkenalan….., wah
bagus bapak sudah melakukannya dengan baik……
- Baik nanti tambahin lagi ya pak untuk berkenalan dengan teman di
kamar….mau berapa orang ? mari kita tulis nama untuk berkenalan besok.
“Apakah latihannya bermanfaat pak?” “bagaimana kalau kita latihan lagi untuk
menjalin persahabatan dengan orang lain”.

4) Tindakan SST 2: menjalin persahabatan (integrasi TKN latihan bercakap-


cakap saat melakukan aktivitas)

“baiklah pak, sekarang kita masuk pada latihan keterampilan sosial sesi 2 yakni
latihan untuk menjalin persahabatan”
“apakah bapak bersedia untuk melanjutkan latihan untuk menjalin persahabatan ini?”
“sekarang siapa kenalan bapak yang ingin dijadikan sahabat?”
“apa kebaikan dari (sahabat yang dipilih)?
“dalam menjalin persahabat terdapat 3 kegiatan yang akan dilatih yaitu tentang
pujian, pertolongan, dan memaafkan.
“pertama kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjalin hubungan persahabatan
adalah memberikan pujian yakni mampu memberikan pujian dan mampu menerima
pujian”
“sekarang kita akan masuk pada latihan menerima dan memberikan pujian”
- Modelling: saya akan contohkan cara memberi pujian, bapak lihat saya ya
“Bapak baik sekali mau saya ajak berkenalan”. Apa jawaban bapak? Ya,
kemudian ucapkan terimakasih
- Roleplaying: sekarang kita mau memuji pak D, bapak silahkan lakukan memuji
pak D? Bagus sekali, (latihan dulu dengan perawat)
- Transfering: sekarang coba diulang sekali lagi dengan pak D, wah bagus sekali,
- Umpan balik : gimana perasaannya setelah memberikan pujian kepada pak D?
nanti kita latih lagi ya,
“Sekarang kita masuk pada latihan ke dua yaitu memberi pertolongan”
- Modelling: apa yang bisa bapak berikan untuk memberikan pertolongan? pak D
mari saya bantu merapikan tempat tidur,
- Roleplaying: sekarang kita mau memberikan pertolongan kepada pak D ya?
Bagaimana cara bapak memberi pertolongan kepada pak D?
- Transfering: sekarang coba diulang sekali lagi kita menolong pak D, wah bagus
sekali,
- Umpan balik :gimana perasaannya setelah memberikan pertolongan kepada pak
D?
“Sekarang kita masuk pada latihan ke tiga yaitu meminta tolong”
- Modelling: Apa yang bisa diminta tolong dari pak D? maaf pak, apakah saya
boleh minta tolong untuk membantu saya merapikan tempat tidur?”
- Roleplaying: sekarang kita mau meminta pertolongan kepada pak D? Bagaimana
cara bapak meminta pertolongan dari pak D untuk merapikan tempat tidur?
- Transfering: sekarang coba diulangi sekali lagi bapak minta tolong ke pak D ,
wah bagus sekali,
- Umpan balik : gimana perasaannya setelah meminta pertolongan kepada pak D?
“Sekarang kita masuk pada latihan berikutnya yaitu memberi maaf”
- Modelling: Apa kesalahan yang pernah dilakukan oleh pak pak D kepada bapak?
Jika bapak ingin tetap bersahabat dengan pak pak D, maka pak G harus bisa
memafkan pak D, cara memafkannya yaitu “pak saya telah memafkan kesalahan
bapak karena telah……..”
- Roleplaying: sekarang kita mau memberikan maaf kepada pak D? Bagaimana
cara bapak memberikan maaf kepada pak D telah…..?
- Transfering: sekarang coba diulangi sekali lagi memberi maaf pak D, wah bagus
sekali,
- Umpan balik : gimana perasaannya setelah memberi maaf kepada pak D?
“Sekarang kita masuk pada latihan berikutnya yaitu meminta maaf”
- Modelling: Apa kesalahan yang pernah bapak lakukan kepada pak D? Cara
minta maafnya adalah, pak maafkan saya karena saya telah berbuat kasar kepada
bapak.
- Roleplaying: sekarang kita mau meminta maaf kepada pak D? Bagaimana cara
bapak meminta maaf kepada pak D karena telah berbuat kasar?
- Transfering: sekarang coba diulangi sekali lagi meminta maaf kepada pak D,
wah bagus sekali,
- Umpan balik: gimana perasaannya setelah meminta pertolongan kepada pak D?

Nama kenalan yang akan menjadi sahabat :

D, T, F
Aktifi
No Tanggal
tas
Pujia
1
n
1.1 Memb
erikan
pujia
n
kepad
a
orang
yang
sudah
diken
al
1.1.1 Mengi
dentifi
kasi
kebaik
an dari
orang
yang
sudah
dikena
l
1.1.2 Memu
ji
kebaik
an dari
orang
yang
sudah
dikena
l
1.2 Mene
rima
pujia
n
1.2.1 Meng
ucapk
an
terima
kasih
kepad
a
orang
yang
memb
eri
pujian

2 Pertol
ongan
2.1 Memb
erikan
pertol
ongan
kepad
a
orang
yang
sudah
diken
al
2.1.1 Mengi
dentifi
kasi
kebutu
han
orang
yang
sudah
dikena
l.
2.1.2 Mena
warka
n
bantua
n
kepad
a
orang
yang
sudah
dikena
l
2.1.3 Memb
eri
bantua
n
kepad
a
orang
yang
sudah
dikena
l
2.2 Memi
nta
pertol
ongan
kepad
a
orang
yang
sudah
diken
al
2.2.1 Mengi
dentifi
kasi
kebutu
han
yang
diperl
ukan.
2.2.2 Menca
ri
orang
yang
sudah
dikena
l yang
dapat
memb
eri
bantua
n
2.2.3 Memi
nta
bantua
n
kepad
a
orang
yang
sudah
dikena
l
2.2.4 Meng
ucapk
an
terima
kasih
kepad
a
orang
yang
memb
antu
3 Maaf
3.1 Memb
erikan
maaf
kepad
a
orang
yang
sudah
diken
al
3.1.1 Mengi
dentifi
kasi
kesala
han
orang
yang
sudah
dikena
l
3.1.2 Mema
afkan
kesala
han
orang
yang
sudah
dikena
l
3.2 Memi
nta
maaf
kepad
a
orang
yang
sudah
diken
al
3.2.1 Mengi
dentifi
kasi
kesala
han
yang
dilaku
kan
kepad
a
orang
yang
sudah
dikena
l
3.2.2 Memi
nta
maaf
atas
kesala
han
yang
dilaku
kan
DAFTAR SAHABAT
1
2
3
4
5

“nanti latihannya dilanjutkan dikamarnya yah”


“latihannya sesuai dengan yang kita latih hari ini”
“saya masukan ke dalam jadwal yah bapak”
“latihannya mau berapa kali sehari bapak”
“bagaimana kalau 2 kali sehari bapak, yaitu pagi dan sore? Saya masukan ke jadwal
kegiatan hariannya yah bapak?”

4.3. Terminasi
a. Evaluasi Subjektif
Bagaimana perasaan bapak setelah kita latihan?
b. Evaluasi Objektif
1) Isolasi Sosial :
“Coba sebutkan berapa latihan yang sudah bapak lakukan untuk dapat
menjalin persahabatan?”
“sekarang ada berapa latihan yang harus bapak lakukan?”
“Latihannya adalah?”
2) HDRK:
“Coba sebutkan latihan untuk mengatasi mengatasi perasaan malu dan
sedih pada diri bapak?”
3) Halusinasi
“Coba sebutkan latihan untuk mengontrol suara-suara halusinasi yang
mengganggu?

c. Rencana Tindak Lanjut Klien


1) Isolasi Sosial:
● Latihan berkenalan dengan orang lain
● Latihan menjalin persahabatan dnegan orang lain:
- Latihan memberikan pujian kepada orang lain
- Latihan menerima pujian dari orang lain
- Latihan memberikan pertolongan kepada orang lain
- Latihan meminta pertolongan dari orang lain
- Latihan meminta maaf pada orang lain
- Latihan memberikan maaf pada orang lain

2) HDRK
● Merapikan tempat tidur 1 kali sehari
● Mencuci gelas 1 kali sehari
● Melap meja 2 kali sehari

d. Rencana Tindak Lanjut Perawat


1) Tindakan :
Tindakan yang akan datang: SST sesi “latihan bekerja sama dalam
kelompok”
2) Waktu :
Baik, hari Senin tanggal ya kita akan melanjutkan latihan lagi ya
pak ?
3) Tempat
Saya akan periksa bapak di ruang ini lagi ya .
4) Salam
Selamat siang, semoga cepat sembuh ya.

Anda mungkin juga menyukai