LAPORAN PENDAHULUAN
Visit 2
Oleh:
Mahasiswa
1. Kondisi Klien
Klien G. (38 Tahun) MRS dengan keluhan gelisah, bicara sendiri, jalan-jalan keluar rumah, dan
sulit tidur. Klien tercatat baru pertama menjalani perawatan di RSJ MM. Klien lebih senang
menyendiri, banyak diam dan merasa sulit berhubungan dengan orang lain, ada perasaan malu,
minder karena klien belum menikah dan bekerja. Hasil pemeriksaan klien didiagnosa isolasi
sosial, halusinasi, dan harga diri rendah kronik.
Kondisi klien pada visit ke 1 belum memiliki teman di kamar, banyak diam dan senang
menyendiri, berpikir sulit berinteraksi dengan orang lain, tampak sedih dan murung. TKN untuk
isolasi sosial telah diberikan yaitu menyebutkan penyebab isolasi sosial, menyebutkan orang yang
tinggal serumah, menyebutkan orang yang terdekat, menyebutkan orang yang tidak dekat, menjelaskan
penyebab tidak dekat dengan orang lain, menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain,
menyebutkan kerugian isolasi sosial. Kemudian klien dilatih berkenalan dengan diawali membuat daftar
teman yang akan diajak berkenalan yaitu Tn. D, Tn. F dan Tn.T. selanjutnya mempraktikan cara
berkenalan diri dan kenal dengan orang lain dengan sikap tubuh dan bahasa serta latihan menjawab
pertanyaan dan bertanya untuk memperjelas. Setelah itu membuat jadwal latihan berkenalan mandiri.
Pada kondisi klien G. ditemukan isolasi sosial lebih senang menyendiri, banyak diam, merasa
sulit berinteraksi dengan orang lain dan tidak memiliki teman di kamar.
Pada kondisi klien G. ditemukan mengalami sakit sejak dua tahun yang lalu, belum pernah
berobat sebelumnya dan baru pertama kali dirawat di RSJ MM.
2) Riwayat Pengobatan
Hospitalisasi dapat menyebabkan stressor bagi individu yang menjalani perawatan. Selain
itu, menjalani pengobatan juga dapat memicu perasaan cemas dan khawatir pada anggota
keluarga lainnya yang terlibat dalam proses perawatan (PH et al., 2018).
Klien G. tidak memiliki riwayat pengobatan sebelumnya, dan baru pertama kali rawat
inap di RSJ MM.
Pada klien G. tidak memiliki riwayat penyakit fisik selama satu tahun terakhir.
5) Riwayat Napza
Neurons sangat khusus, dan neurotransmitter melaksanakan fungsi vital di otak yang bekerja
normal. Ketidakadaan atau kelebihan neurons berperan penting dalam penyakit otak atau gangguan
prilaku (Stuart, 2016). Sesuai dengan penelitian baik di antara pasien psikiatri (Nehlin,
Grönbladh, Fredriksson, & Jansson, 2013) dan dalam populasi telah menemukan hubungan yang
signifikan antara merokok dan penggunaan alkohol (Chiolero et al., 2006, Falk et al., 2006).
Kerentanan bersama ini mungkin disebabkan oleh kontribusi genetik secara umum pada kedua
kondisi (Schlaepfer, Hoft, & Ehringer, 2008) atau karena efek alkohol dan nikotin yang saling
meningkatkan satu sama lain (Kouri et al., 2004, Rose et al., 2004). Kafein merupakan
perangsang susunan saraf pusat, dieuritik, merangsang otot jantung, dan melemaskan otot-
otot polos bronchus. Kopi/Kafein mengandung alkaloid jenis xantine, yang bertindak
memblokir reseptor adenosine A2A, ketika stres tubuh memproduksi banyak adenosine
yang menimbulkan berbagai gejala stres (Salma, 2015).
6) Herediter
Riwayat keluarga dengan gangguan jiwa, Diturunkan melalui kromosom orangtua
(kromosom keberapa masih dalam penelitian). Diduga kromosom no.6 dengan kontrmbasi
genetik tambahan nomor 4, 8, 15 dan 22. Pada anak yang kedua orangtuanya tidak
menderita, kemungkinan terkena penyakit adalah satu persen. Sementara pada anak yang
salah satu orangtuanya menderita kemungkinan terkena adalah 15%. Dan jika kedua
orangtuanya penderita maka resiko terkena adalah 35 persen. Kembar indentik berisiko
mengalami gangguan sebesar 50%, sedangkan kembar fraterna berisiko mengalami
gangguan 15%. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat kontribusi genetik untuk volume
PFC pada skizofrenia (Lawrie et al., 2001; Canon et al., 2002). Val allele pada lokus
tertentu Brain Imaging In Schizophrenia 48 dari gen katekol-O-metil-transferase (COMT)
memiliki hubungan dengan volume PFC. Hal ini merefleksikan dampaknya pada fungsi
PFC di seluruh perkembangannya (McIntosh et al., 2007). Variasi gen neurotropik otak
seperti brain derived neurotrophic factor (BDNF) juga telah diteliti dan mempublikasikan
adanya hubungan BDNF met allele dengan berkurangnya lobus temporal dan
perubahannya bersifat progresif (Ho, B.C. et al., 2007). Volume hipokampus dan ventrikel
pada skizofrenia dapat disebabkan oleh interaksi antara faktor risiko genetik dan faktor
lingkungan, seperti komplikasi obstetri (OCs). Penelitian McNeil pada tahun 2000
menemukan adanya pembesaran ventrikel dengan komplikasi perinatal dan perlambatan
perkembangan.
Penelitian lain menyebutkan adanya volume hipokampus yang lebih kecil pada klien
skizorenia dengan riwayat komplikasi kelahirannya dibandingkan dengan klien skizofrenia
yang tidak mengalami komplikasi pada kelahirannya (McNeil, Cantor-Graae, Weinberger,
2000). Berdasarkan penemuan sebelumnya dan yang terbaru dapat disimpulkan bahwa
pembesaran ventrikel dan sulkus otak yang terlihat pada skizofrenia merupakan proses
perkembangan yang menyimpang sehingga menghasilkan reduksi yang berlebihan pada
jaringan otak dibandingkan dengan yang normal. Hipotesis perkembangan saraf otak
menjelaskan bahwa etiologi skizofrenia sebagai proses patologis yang disebabkan oleh
faktor genetik dan lingkungan yang dimulai sebelum otak mencapai keadaan dewasanya.
Selama masa kehamilan trimester satu atau trimester dua, gen yang terlibat dengan migrasi
sel, proliferasi sel, perkembangan axonal, dan mielinisasi dapat dipengaruhi oleh gangguan
neurologis seperti infeksi virus. Gangguan perkembangan saraf otak dini dapat
menyebabkan disfungsi jaringan spesifik yang menjadi jelas pada masa remaja ketika
neuroplastisitas normal dan pemangkasan sinaptik berkurang atau terganggu (Boyd, 2018).
Pendidikan klien yakni tamat SMA, tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya karena tidak ada
biaya.
b) Pekerjaan
Tingkat sosial ekonomi rendah merupakan salah satu faktor sosial yang menyebabkan tingginya
angka gangguan jiwa termasuk skizofrenia (Townsend, 2005).
Klien saat ini tidak bekerja, pemenuhan kebutuhan sehari-hari dibantu oleh orang tua dan adik
klien.
c) Status pernikahan
Mayoritas pasien skizofrenia fase akut yang dirawat inap berstatus belum menikah. Skizofrenia
memiliki insidensi pada usia 15 sampai 25 tahun (pria) dan 25 sampai 35 tahun (wanita). Apabila
gangguan jiwa skizofrenia muncul pada rentang usia tersebut, maka pasien tidak akan menikah
dalam keadaan sakit dan perlu pengobatan dalam jangka waktu lama karena skizofrenia yang
bersifat kronis sehingga kemampuannya dalam membangun relasi dengan baik (Sira, 2009).
Klien belum menikah, pernah memiliki teman dekat (pacar) namun sudah berpisah tahun 2021,
saat ini klien tinggal bersama dengan ayah dan adik.
Tahun 2012 ayah klien meninggal, tahun 2020 ibu klien meninggal. Pola komunikasi dalam
keluarga tertutup, berlangsung 1 arah, ekspresi emosi tinggi terutama adik klien.
Klien jarang mengikuti kegiatan sosial di masyarakat, tidak punya teman dekat, tidak punya
teman kelompok
f) Kegiatan spiritual
Kegiatan spiritualiatas dapat memainkan peran penting dalam penanganan ansietas pada
individu. Individu yang memiliki pengalaman spiritual yang baik mampu untuk mengatasi
ansietas yang menyerang. Lansia dengan aktivitas spiritualitas yang baik memiliki tingkat
kecemasan yang ringan dalam menghadapi masa tuanya (Ruaw et al., 2017). Tidak ada
kekhawatiran mengenai akhir kehidupan yang dijalani oleh lansia apabila memiliki aktivitas
spiritual yang baik, karena menyerahkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya kepada tuhan
YME.
Klien memiliki pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan saat kehilangan ayahnya
tahun 2012, kehilangan pekerjaan 2015, ibunya tahun 2021 dan berpisah dengan pacarnya
pada tahun yang sama 2021.
b) Konsep Diri
Konsep diri paling adaptif ialah aktualisasi diri yang meliputi realistis, mampu
menyesuaikan diri saat berinteraksi dengan orang lain, sikap tegas dan persepsi yang akurat,
mampu memperdiksi masa depan secara akurat, memahami semua aspek kehidupan seperti
seni, politik, musik dan filosofi, bersikap rendah hati, memiliki dedikasi yang baik dalam
bekerja, fleksibel, sikap kreatif, serta spontan dan selalu mengakui kesalahan, menerima ide
terbarukan, memiliki tingkat kepercayaan diri, mampu menghargai diri sendiri, memiliki
kepribadian yang dewasa, mampu mengambil keputusan, mampu berfokus terhadap masalah
yang dihadapi, dapat menerima semua yang dimiliki oleh dirinya, memegang teguh etika
serta dapat mengatasi kegagalan (Yusuf et al., 2015). Konsep diri mengacu pada persepsi,
cara berfikir yang membentuk keyakinan dan gagasan individu terhadap dirinya (Ducasse et
al., 2019).
Konsep diri yang positif sejalan dengan kondisi mental dan fisik yang sehat. Individu
dengan konsep diri yang positif dapat membangun dan mengatur hubungan interpersonal
serta mampu mengatasi masalah psikis dan fisik yang dihadapi, dan mampu beradaptasi
terhadap situasi dan perubahan pada diri maupun lingkungan yang terjadi. 4 dimensi dalam
konsep diri terdiri atas pengetahuan individu terkait kemampuan, sifat dan keterbatasan,
ekspektasi diri yang terdiri atas harapan individu terhadap dirinya yang bersifat realistis,
sosial diri yang merupakan perasaan individu dalam kehidupan bermasayarakat serta
evaluasi sosial yang berhubungan dengan penilaian diri sendiri terhadap hubungannya
dengan yang lain (Berman et al., 2016).
Kondisi yang ditemukan pada klien; ideal diri tidak sesuai dengan harapan, peran sebagai
anak terganggu, klien merasa tidak berguna, body image positif, klien menyukai dirinya,
identitas diri positif, harga diri terdapat penilaian diri negatif, merasa minder, malu dengan
kondisinya saat ini tidak bekerja dan belum menikah.
Motivasi klien ingin sembuh dengan harapan dapat bekerja, menikah dan merawat ayahnya
yang sudah lansia.
d) Tugas Perkembangan
Menurut Havighurst, tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang harus diselesaikan
individu pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu; dan apabila berhasil mencapainya
mereka akan berbahagia, tetapi sebaliknya apabila mereka gagal akan kecewa dan dicela
orang tua atau masyarakat dan perkembangan selanjutnya juga akan mengalami kesulitan.
Adapun yang menjadi sumber dari pada tugas-tugas perkembangan tersebut menurut
Havighurst adalah: Kematangan fisik, tuntutan masyarakat atau budaya dan nilai-nilai dan
aspirasi individu. Tugas perkembangan itu merupakan suatu hal yang muncul pada periode
tertentu dalam rentang kehidupan individu yang apabila berhasil dituntaskan akan membawa
kebahagiaan dan kesuksesan ke tugas perkembangan selanjutnya tapi jika gagal akan
menyebabkan ketidakbahagiaan pada individu yang bersangkutan dan kesulitan – kesulitan
dalam menuntaskan tugas berikutnya. Hurlock (1981) menyebut tugas – tugas
perkembangan ini sebagai social expectations yang artinya setiap kelompok budaya
mengharapkan anggotanya menguasai keterampilan tertentu yang penting dan memperoleh
pola perilaku yang disetujui oleh berbagai usia sepanjang rentang kehidupan.
Tugas perkembangan klien berada pada usia dewasa yaitu intimasi yaitu membina
hubungan dekat dengan lawan jenis baik itu teman dekat maupun pernikahan, hubungan
interaksi tersebut berupa hubungan sosial. Saat ini klien belum menikah dan tidak memiliki
teman dekat.
Sedih berpisah
dengan pacar
(teman dekat)
Sosial Tidak Kehilangan (konsep Tidak bekerja
melanjutkan Pekerjaan kehilangan)
Budaya Pendidikan
Belum menikah
Predisposisi klien dimulai dengan faktor biologis yakni pada tahun 2020 pertama kali klien sakit
dan ada hipertensi, belum pernah mendapatkan pengobatan untuk gangguan jiwanya. Pada
faktor predisposisi sosial budaya yakni klien tidak melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya
yang terjadi tahun 2002. Kemudian pada tahun 2015 klien kehilangan pekerjaan. Faktor
predisposisi dan presipitasi pada aspek psikologis yakni klien mengalami kesedihan ditinggal
ayahnya pada tahun 2012 dan tahun 2021 kehilangan ibunya, dan berpisah dengan pacarnya
pada tahun yang sama 2021.
a. Kognitif
Klien yang mengalami skizofrenia mengalami fungsi kognitif yang terganggu meliputi
ketidakmampuan klien dalam berpikir dan tidak memiliki persepsi yang realistis. Gejala ini
umumnya dikenal dengan sebutan halusinasi dan waham. Berduka adalah suatu keadaan
emosional yang paling kuat dan mempengaruhi semua aspek kehidupan seseorang. Hal ini
menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan aktifitas dan hanya berfokus pada perasaan
dan kebutuhan saat ini (Stuart, 2016). Kubler-Ross (1969), mengidentifikasi lima tahap
perasaan dan perilaku yang dialami individu sebagai respons terhadap kehilangan yang
nyata, dirasakan, atau diantisipasi yaitu denial, anger, bargaining, depression dan
acceptance (Mary C. Townsend, 2009). Respon maladaptif dapat terjadi ketika seorang
individu tidak mampu melalui tahapan berduka untuk mencapai resolusi. Respons ini
biasanya terjadi ketika seseorang menjadi terpaku pada tahap penolakan atau kemarahan dari
proses berduka. Resolusi dari proses berkabung/berduka dianggap telah terjadi ketika
seorang individu dapat melihat kembali hubungannya dengan kehilangan dan menerima
kesenangan dan kekecewaan (baik aspek positif dan negatif) dari asosiasi (Stuart, 2016).
Rasa sakit yang menyertai berduka dalam beberapa hal dapat berasal dari gangguan pada
keyakinan seseorang. Kehilangan dikatakan mengganggu ketika menghancurkan asumsi
dasar tentang makna dan tujuan hidup. Berduka sering menyebabkan seseorang mengubah
keyakinan tentang dirinya dan dunia, seperti persepsi tentang kebaikan duniawi, makna
hidup yang terkait dengan keadilan, dan takdir atau jalan hidup (Videbeck, 2020).
Respons kognitif klien isolasi sosial meliputi merasa tidak berguna, merasa kesepian atau
ditolak oleh orang lain, tidak mampu berkonsentrasi, kehilangan rasa tertarik kegiatan sosial,
tidak mampu menerima nilai dari masyarakat, tidak mampu membuat tujuan hidup, tidak
yakin dapat melangsungkan hidup, ketidakmampuan untuk memenuhi pengharapan orang
lain, sulit mengambil keputusan, merasa bosan, merasa tidak aman berada dekat orang lain,
tidak mampu menerima nilai dari masyarakat, dan merasa tidak aman berada dekat orang
lain (Keliat et al., 2019; Herdman et al., 2021).
Respon kognitif yang dialami klien G. adalah:
No Kognitif 3/3
1 Kesepian √
2 Berpikir tidak memiliki manfaat berhubungan sosial √
3 Berpikir dirinya akan ditolak oleh orang lain √
Berpikir tidak mampu mengikuti nilai dan norma di √
4 lingkungan sosial
5 Berpikir tidak mampu berhubungan sosial √
6 Berpikir dirinya tidak komunikatif √
7 Berpikir tidak aman berada dekat orang lain
8 Berpikir orang lain tidak pernah memberikan bantuan
9 Berpikir orang lain tidak memaafkan dirinya √
10 Berpikir sulit dalam bekerjasama dalam kelompok
b. Afektif
Gangguan afek yang tidak sesuai terjadi karena klien terlalu disibukkan oleh pikirannya
dan fantasinya sendiri. Sama halnya dengan gangguan kognitif, klien dengan gangguan
afek umumnya menunjukkan perasaan yang tidak sesuai (misalnya gembira dalam suasana
duka). Kondisi ini menyebabkan munculnya anggapan bahwa individu tersebut apatis dan
tidak peduli terhadap dirinya sendiri (Videbeck, 2008).
c. Fisiologis
Fungsi fisiologis pasien seperti halnya kemampuan melakukan perawatan diri sering kali
terpengaruh akibat adanya masalah emosional. Klien juga gagal mengenali sensasi seperti
rasa lapar atau haus sehingga terkadang klien mengalami malnutrisi (Videbeck, 2008).
d. Perilaku
Respon perilaku sebagai hasil dari respon fisiologis dan emosional (Stuart, 2016).
e. Sosial
Pada pasien isolasi sosial dapat mengalami permasalahan sosial dipicu oleh adanya
hambatan hubungan sosial yang dipengaruhi oleh adanya anhedonia, avolition dan defisit
perhatian terhadap realita (Stuart, 2016).
Sosial 3/3
29 Acuh terhadap lingkungan
30 Tidak berpartisipasi dalam kegiatan sosial
31 Kesulitan dalam berinteraksi √
Pohon Diagnosa
Halusinasi
Isolasi Sosial
HDRK
a) Personal Ability
Kemampuan individu (personal ability) merupakan hal-hal yang terkait individu itu sendiri
dalam memecahkan masalah, seperti motivasi, pengetahuan, kemampuan memecahkan masalah
dan lain-lain. Kemampuan yang diharapkan pada klien dengan masalah keperawatan isolasi
sosial adalah klien mampu berinteraksi dengan orang lain, mampu melakukan kegiatan bersama
orang lain dan mampu melakukan kegiatan sosial.
Tindakan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan masalah keperawatan isolasi sosial
adalah diskusikan kemampuan berinteraksi dengan orang lain, diskusikan keuntungan yang
diperoleh saat melakukan kegiatan Bersama orang lain, latihan berkenalan, latihan berinteraksi
dengan dengan orang lain sambil melakukan kegiatan harian dan latihan melakukan kegiatan
sosial. Hasil penelitian membuktikan bahwa pelaksanaan terapi keperawatan ners pada klien
isolasi sosial efektif membantu dan mempermudah klien dalam berinteraksi dengan orang lain
(Larasati, 2020). Pelaksanaan terapi keperawatan spesialis untuk mengatasi masalah isolasi
sosial adalah social skill training (SST). Hasil penelitian terkait penerapan SST pada klien isolasi
sosial mampu menunrunkan tanda dan gejala isolasi sosial serta meningkatkan kemampuan klien
dalam berinteraksi dengan orang lain (Sukaesti, 2019).
Kemampuan untuk dapat mengatasi masalah isolasi sosial dapat dicapai melalui pemberian
Terapi Keperawatan Ners dan Terapi Keperawatan Spesialis, diantaranya:
b) Possitive Belief
Sumber harapan untuk mempertahankan koping seseorang dalam situasi yang paling tidak
diharapkan. Keyakinan dan gambaran positif seseorang dapat menjadi dasar dari harapan yang
dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stresor. Keyakinan harus
dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat menguatkan afektif,
kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstruktif dan sosial yang baik (Stuart, 2016).
c) Social Support
Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok
atau orang-orang disekitar klien dan dukungan terbaik yang diperlukan oleh klien adalah
dukungan dari keluarga terutama caregiver. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota
keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, dalam konteks
ini adalah perubahan pada status kesehatan (Friedman, 2008). Dukungan tersebut akan
berdampak pada Main Effect Hypothesis / Direct Effect Hypothesis atau suatu dukungan sosial
dapat meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis individu dengan adanya ataupun tanpa
tekanan, dengan kata lain seseorang yang menerima dukungan sosial dengan atau tanpa adanya
tekanan ataupun stres akan cenderung lebih sehat. Dukungan sosial memberikan manfaat yang
sama baiknya dalam kondisi yang penuh tekanan maupun yang tidak ada tekanan (Sarafino
dalam Yayan, 2016).
Kemampuan pasien berinteraksi dengan lingkungan sosial dapat ditingkatkan dengan pemberian
asuhan keperawatan yang komprehensif dan terus menerus disertai dengan terapi modalitas
seperti Terapi Aktivitas Kelompok. hasil peneltiian menyebutkan bahwa pelaksanaan terapi
aktifitas kelompok sosialisasi efektik meningkatkan kemampuan interaksi klien dengan masalah
isolasi social (Hastutiningtyas & Setyabudi, 2016). Bahkan Terapi Aktivitas Kelompok
memberikan modalitas terapeutik yang lebih besar dari pada hubungan terapeutik antara dua
orang yaitu perawat dan klien (Stuart, 2016).
Terapi Aktivitas Kelompok adalah terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok
klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi dan
kelompok sebagai target asuhan. Terapi Aktivitas Kelompok dilakukan untuk meningkatkan
kematangan emosional dan psikologis pada pasien yang mengidap gangguan jiwa pada waktu
yang lama (Stuart, 2016). Didalam kelompok terjadi dinamika dimana setiap anggota kelompok
saling bertukar informasi dan berdiskusi tentang Pengalaman serta membuat kesepakatan untuk
mengatasi masalah anggota kelompok. TAK stimulasi persepsi juga bertujuan untuk
mendiskusikan pengalaman dan kehidupan dan hasil diskusi berupa kesepakatan persepsi dan
alternatif penyelesaian masalah.
N
O Aspek Penilaian Tanggal Evaluasi
Terapi Aktivitas Kelompok
1 Mampu memperkenalkan diri
2 Mampu berkenalan
3 Mampu bercakap-cakap tentang topik umum
4 Mampu bercakap-cakap tentang topik khusus
6 Mampu bercakap-cakap tentang masalah pribadi
7 Mampu bekerja sama secara kelompok
8 Mampu mengevaluasi kemampuan sosialisasi
Terapi Suportif
9 Mampu mengidentifikasi masalah
10 Mampu mengidentifikasi sumber pendukung didalam
dan diluar keluarga
11 Latihan menggunakan system pendukung dari dalam
keluarga
12 Latihan menggunakan system pendukung dari luar
keluarga
13 Mampu mengevaluasi hasil dan dan hambatan
penggunaan sumber pendukung
Total Kemampuan Kelompok
Dukungan keluarga juga penting untuk meningkatkan proses perawatan klien yang menderita
halusinasi, dukungan keluarga dapat ditingkatkan dengan pemberian Family Psycho Education
(FPE). Penggunaan FPE ini sudah banyak dibuktikan dalam penelitian-penelitian sebelumnya
bahwa FPE mampu untuk meningkatkan fungsi adaptif keluarga dan meningkatkan ketrampilan
mekanisme koping yang positif pada keluarga dalam merawat klien. Sebuah penelitian
menerangkan bahwa FPE dapat menurunkan tingkat kecemasan dan beban keluarga dalam
merawat anggota keluarga yang menderita katarak (Siswoyo et al., 2016). Klien dengan
skizofrenia termasuk waham sangat membutuhkan dukungan keluarga dalam proses recovery
sekaligus untuk mencegah relaps. Salah satu terapi kelurga yang dapat diterapkan adalah Family
Psychoeducation therapy (FPE) yang merupakan salah satu elemen program perawatan
kesehatan jiwa dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang
terapeutik (Stuart, 2013). Swank & Dixon (2004) mengungkapkan dalam sebuah review literatur
bahwa lebih dari 30 data clinical trial menunjukkan FPE efektif dalam menurunkan angka
kekambuhan, meningkatkan perbaikan gejala, dan meningkatkan outcome psikososial keluarga.
Selanjutnya, Khoshknab, Sheikhona, Rahgouy, Rahgozar, & Sodagari (2011) dalam
penelitiannya terhadap 71 caregiver klien dengan skizofrenia (36 kelompok intervensi, 35
kelompok kontrol), kelompok intervensi diberikan FPE selama empat minggu. Hasilnya
didapatkan pada kelompok intervensi terjadi penurunan Family Burden Index Schedule (FBIS)
atau indeks beban keluarga dalam merawat klien dengan skizofrenia setelah intervensi FPE dan
lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (p<0,001).
No TKN No FPE
1 Keluarga mampu mengidentifikasi 1
Keluarga mampu mengidentifkasi
masalah kesehatan yang dihadapi
masalah klien
dalam merawat klien
Keluarga mampu mengidentifikasi
masalah keluarga dalam merawat klien
2 Keluarga mampu mengambil Keluarga mampu mengambil
keputusan dalam merawat klien isolasi keputusan dalam merawat klien isolasi
sosial sosial
3 Keluarga mampu merawat masalah 2
Merawat masalah pasien
kesehatan klien
4 Keluarga mampu menciptakan suasana
Keluarga mampu menciptakan suasana
yang kondusif untuk klien isolasi
yang kondusif untuk klien isolasi sosial
sosial
3 Manajemen stress keluarga
4 Manajemen beban
5 Keluarga mampu memanfaatkan 5
Memanfaatkan sistem pendukung
fasilitas kesehatan
Manajemen kekambuhan
d) Material Asset
Pekerjaan klien sebelum dirawat, penghasilan sebelum dirawat, siapa yang menanggung biaya
berobat klien, jaminan kesehatan yang digunakan dan apakah memiliki tabungan. Sumber koping
juga didukung oleh aset materi antara lain jaminan sumber, ketersediaan finansial, pelayanan
kesehatan, sumber. Ketersediaan seluruh aset material mendukung klien dalam berespon adaptif
dalam kondisi sakit. Ketersediaan aset materi membuat keleluasaan klien dalam berobat dan
mendapatkan akses pengobatan.
N
Material Aset Ket.
o
1 Finansial
Pekerjaan/Penghasilan Tidak Bekerja
Tabungan Tidak memiliki tabungan
Jaminan pelayanan kesehatan Memiliki BPJS Kesehatan
Berman, A., Synder, S., & Frandsen, G. (2016). Kozier&Erb’s Fundamentals of Nursing
Concept, Process and Practice.
Ducasse, D., Van Gordon, W., Courtet, P., & Olié, E. (2019). Self-injury and self-concept.
Journal of Affective Disorders, 258(July), 115–116.
https://doi.org/10.1016/j.jad.2019.07.074
Firda, F. A., & Triastuti, N. J. (2020). Hubungan Tingkat Ansietas, Motivasi Belajar, Lama
Belajar, dan Status Merantau dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Kedokteran. Proceeding
Book Call for Paper Thalamus: Medical Research For Better Health, ISSN: 2721-2882,
137–148. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12000
Hastutiningtyas, & Setyabudi, I. (2016). Peran Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Terhadap
Kemampuan Interaksi Sosial Dan Maslah Isolasi Sosial. Jurnal Care, 4(3), 62–69.
Larasati, H. P. (2020). Penerapan Latihan Keterampilan Sosial: Bermain Peran Pada Pasien
Skizofrenia dengan Masalah Keperawatan Isolasi Sosial Di Ruang Puri Mitra RSJ Menur
Surabaya. Jurnal Biosains Pascasarjana, 22(2), 81.
https://doi.org/10.20473/jbp.v22i2.2020.81-86
PH, L., Ayu watini, S., & Sari, R. K. (2018). Gambaran Ansietas Keluarga Saat Menghadapi
Kekambuhan Anggota Keluarga Dengan Penyakit Kronis. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa,
1(1), 29. https://doi.org/10.32584/jikj.v1i1.34
Ruaw, G. A., Hadi, M., & Rondonuwu, P. (2017). Hubungan spiritualitas dengan tingkat
kecemasan menghadapi masa tua pada lansia di desa basaan dua kecamatan ratatotok. E-
Jurnal Sariputra, 4(3), 15–19.
Siswoyo, Setioputro, B., & Albarizi, C. (2016). Psychoeducation therapy reduces family anxiety
in treating family member who suffers from cataract. NurseLine Journal, 1(2), 237–245.
Stuart, G. W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart (J. P. Buni Anna
Keliat, Trans. J. P. Budi Anna Keliat Ed.). Elsevier.
Sukaesti, D. (2019). Sosial Skill Training Pada Klien Isolasi Sosial. Jurnal Keperawatan Jiwa,
6(1), 19. https://doi.org/10.26714/jkj.6.1.2018.19-24
Vivin, Marpaung, W., & Manurung, Y. S. (2019). Kecemasan dan motivasi belajar.
Persona:Jurnal Psikologi Indonesia, 8(2), 240–257.
https://doi.org/10.30996/persona.v8i2.2276
Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa, 1–366. https://doi.org/ISBN 978-xxx-xxx-xx-x
UNIVERSITAS INDONESIA
Mahasiswa
2022
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)
Visit 2
Kondisi klien pada visit ke 1 belum memiliki teman di kamar, banyak diam dan senang
menyendiri, berpikir sulit berinteraksi dengan orang lain, tampak sedih dan murung. TKN
untuk isolasi sosial telah diberikan yaitu menyebutkan penyebab isolasi sosial, menyebutkan orang
yang tinggal serumah, menyebutkan orang yang terdekat, menyebutkan orang yang tidak dekat,
menjelaskan penyebab tidak dekat dengan orang lain, menyebutkan keuntungan berhubungan
dengan orang lain, menyebutkan kerugian isolasi sosial. Kemudian klien dilatih berkenalan dengan
diawali membuat daftar teman yang akan diajak berkenalan yaitu Tn. D, Tn. F dan Tn.T.
selanjutnya mempraktikan cara berkenalan diri dan kenal dengan orang lain dengan sikap tubuh
dan bahasa serta latihan menjawab pertanyaan dan bertanya untuk memperjelas. Setelah itu
membuat jadwal latihan berkenalan mandiri.
2. Diagnosa Keperawatan :
a) Isolasi Sosial
b) Halusinasi
c) HDRK
3. Rencana Tindakan Keperawatan :
a) D/ Halusinasi: E,V:TKN
b) D/ HDRK: E,V:TKN
c) D/ Isolasi Sosial : E,V: TKN + T/SST 1 + SST 2
4. Strategi Pelaksanaan
4.1. Orientasi
a) Salam :
“Selamat siang pak G, bertemu lagi dengan saya Ners E perawat pendamping dari Ibu N,
perawat PPJA pak G ya. Bisa sebutkan kembali nama lengkapnya? tanggal lahirnya?
sambil saya cocokan dengan gelangnya ya.
b) Evaluasi :
“Bagaimana hari ini perasaannya? apakah masih ada suara suara yang didengar? Apakah
masih merasa malu, minder? Apakah masih ada pikiran sulit berhubungan dengan orang
lain?
c) Validasi :
“Apakah latihan untuk mengatasi suara-suaranya sudah dilakukan?apa manfaat yang pak
G peroleh setelah melakukan latihan? apakah sudah melakukan latihan untuk mengatasi
perasaan malu?apa manfaat yang diperoleh setelah melakukan latihan tersebut?” “apakah
sudah melakukan latihan untuk dapat berkenalan dengan orang lain?” “apa manfaat yang
pak G peroleh setelah melakukan latihan tersebut?”
d) Kontrak :
1) Tindakan dan tujuan :
“Baik pak G saya akan memeriksa 3 kondisi bapak yaitu tanda dan gejala mendengar
suara-suara, perasaan malu, minder serta pikiran sulit berhubungan dengan orang lain
kemudian saya akan cek latihan yang telah dilakukan dan manfaat dari latihan
tersebut”. “Selanjutnya hari ini saya akan tambahkan lagi latihan untuk menjalin
persahabatan dengan teman”.
2) Waktu:
“Waktunya sekitar 45 menit ya pak”
3) Tempat :
“tempatnya disini, apakah pak G sudah nyaman?”
4.2. Kerja
a). Dx Halusinasi
1) Pengkajian
Pengkajian predis presi.
Apakah pak G masih mendengar suara-suara setelah dirawat di RS?
Pengkajian tanda gejala (Cek instrument tanda gejala halusinasi)
Kognitif : “Bagaimana pak..apakah masih mendengar suara-suara?
Afektif : “Bagaimana perasaan saat halusinasi muncul ?
Fisiologis : “Bagaimana pak apakah masih ada letih dan sulit tidur?
Perilaku : Apakah pak G terganggu dengan suara itu?”
Sosial : “apakah masih ada rasa ingin menyendiri ?
2) Diagnosa
Nah pak G sekarang jumlah tanda gejalanya halusinasinya sudah berkurang ya,
jumlahnya sekarang ada…. bagus ya, hebat sudah membaik keadaannya.
3) Pengkajian kemampuan: mari kita lihat jadwal latihan di buku cara merawat
kesehatanku pak G ya..apakah latihannya sudah dikerjakan rutin….
Terapi Generalis
Mengontrol: Menghardik: 1 kali/hari jam 20.00 dan setiap kali muncul,
Mengabaikan : 1 kali/hari jam 20.00 dan setiap kali muncul
Distraksi: Bercakap-cakap : ngobrol dengan teman 1 kali/hari jam 09.00
Melakukan kegiatan:
Spiritual : Kegiatan Ibadahnya bagaimana ? apakah sesuai jadwal ?
Minum obat teratur : dengan 9 benar obat
“Baik pak G luar biasa sudah dilakukan latihan-latihannya bagus sekali…
“Bagaimana perasaan bapak setelah melakukan latihannya?”
Apakah ada manfaatnya yang bapak rasakan? Wah bagus….sangat merasakan
manfatnya ya latihan ini.
b. HDRK
1) Pengkajian
● Pengkajian Predis presi
“kemarin pak G mengatakan merasa malu, minder dengan kondisinya saat ini”
“apakah bapak masih merasa sedih memikirkan hal tersebut?”
“sekarang setelah bapak dirawat di rumah sakit ini, apakah masih ada sesuatu
yang membuat bapak malu dan sedih?”
● Pengkajian tanda dan gejala
Kognitif: “apa yang bapak pikirkan tentang diri sendiri yang saat ini sedang sakit,
belum menikah dan belum bekerja?”
Afektif: “bagaimana perasaan bapak ketika memikirkannya?”
Fisiologis: “apa keluhan fisik yang masih bapak rasakan saat ini? (sudah dikaji
pada diagnosa pertama)
Perilaku: “apa yang bapak lakukan ketika memikirkan masalah tersebut?”
Sosial: “bagaimana hubungan bapak dengan orang lain ketika memikirkan hal
tersebut tersebut?”
2) Diagnosa
“Tanda dan gejala harga diri rendah yang pak G alami sudah berkurang ya..hebat
sekali”
“latihannya tetap dilakukan ya, agar tanda dan gejala harga diri rendah yang pak G
alami semakin berkurang,
3) Kemampuan
“sekarang ayo dibuka buku cara merawat kesehatanku, ada berapa latihan yang harus
dilakukan untuk mengatasi perasaan malu dan sedih yang bapak rasakan?“
c. Isolasi Sosial
1) Pengkajian
● Pengkajian Predis presi
”Kemarin pak G katakan, belum memiliki teman di kamar lebih senang
menyendiri dan diam”
“apakah sekarang pak G masih tidak mau berteman dengan orang lain?”
“setelah dirawat disini, apakah masih ada lagi sesuatu yang membuat pak G tidak
mau untuk berteman dengan orang lain?”
“baiklah pak, sekarang kita masuk pada latihan keterampilan sosial sesi 2 yakni
latihan untuk menjalin persahabatan”
“apakah bapak bersedia untuk melanjutkan latihan untuk menjalin persahabatan ini?”
“sekarang siapa kenalan bapak yang ingin dijadikan sahabat?”
“apa kebaikan dari (sahabat yang dipilih)?
“dalam menjalin persahabat terdapat 3 kegiatan yang akan dilatih yaitu tentang
pujian, pertolongan, dan memaafkan.
“pertama kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjalin hubungan persahabatan
adalah memberikan pujian yakni mampu memberikan pujian dan mampu menerima
pujian”
“sekarang kita akan masuk pada latihan menerima dan memberikan pujian”
- Modelling: saya akan contohkan cara memberi pujian, bapak lihat saya ya
“Bapak baik sekali mau saya ajak berkenalan”. Apa jawaban bapak? Ya,
kemudian ucapkan terimakasih
- Roleplaying: sekarang kita mau memuji pak D, bapak silahkan lakukan memuji
pak D? Bagus sekali, (latihan dulu dengan perawat)
- Transfering: sekarang coba diulang sekali lagi dengan pak D, wah bagus sekali,
- Umpan balik : gimana perasaannya setelah memberikan pujian kepada pak D?
nanti kita latih lagi ya,
“Sekarang kita masuk pada latihan ke dua yaitu memberi pertolongan”
- Modelling: apa yang bisa bapak berikan untuk memberikan pertolongan? pak D
mari saya bantu merapikan tempat tidur,
- Roleplaying: sekarang kita mau memberikan pertolongan kepada pak D ya?
Bagaimana cara bapak memberi pertolongan kepada pak D?
- Transfering: sekarang coba diulang sekali lagi kita menolong pak D, wah bagus
sekali,
- Umpan balik :gimana perasaannya setelah memberikan pertolongan kepada pak
D?
“Sekarang kita masuk pada latihan ke tiga yaitu meminta tolong”
- Modelling: Apa yang bisa diminta tolong dari pak D? maaf pak, apakah saya
boleh minta tolong untuk membantu saya merapikan tempat tidur?”
- Roleplaying: sekarang kita mau meminta pertolongan kepada pak D? Bagaimana
cara bapak meminta pertolongan dari pak D untuk merapikan tempat tidur?
- Transfering: sekarang coba diulangi sekali lagi bapak minta tolong ke pak D ,
wah bagus sekali,
- Umpan balik : gimana perasaannya setelah meminta pertolongan kepada pak D?
“Sekarang kita masuk pada latihan berikutnya yaitu memberi maaf”
- Modelling: Apa kesalahan yang pernah dilakukan oleh pak pak D kepada bapak?
Jika bapak ingin tetap bersahabat dengan pak pak D, maka pak G harus bisa
memafkan pak D, cara memafkannya yaitu “pak saya telah memafkan kesalahan
bapak karena telah……..”
- Roleplaying: sekarang kita mau memberikan maaf kepada pak D? Bagaimana
cara bapak memberikan maaf kepada pak D telah…..?
- Transfering: sekarang coba diulangi sekali lagi memberi maaf pak D, wah bagus
sekali,
- Umpan balik : gimana perasaannya setelah memberi maaf kepada pak D?
“Sekarang kita masuk pada latihan berikutnya yaitu meminta maaf”
- Modelling: Apa kesalahan yang pernah bapak lakukan kepada pak D? Cara
minta maafnya adalah, pak maafkan saya karena saya telah berbuat kasar kepada
bapak.
- Roleplaying: sekarang kita mau meminta maaf kepada pak D? Bagaimana cara
bapak meminta maaf kepada pak D karena telah berbuat kasar?
- Transfering: sekarang coba diulangi sekali lagi meminta maaf kepada pak D,
wah bagus sekali,
- Umpan balik: gimana perasaannya setelah meminta pertolongan kepada pak D?
D, T, F
Aktifi
No Tanggal
tas
Pujia
1
n
1.1 Memb
erikan
pujia
n
kepad
a
orang
yang
sudah
diken
al
1.1.1 Mengi
dentifi
kasi
kebaik
an dari
orang
yang
sudah
dikena
l
1.1.2 Memu
ji
kebaik
an dari
orang
yang
sudah
dikena
l
1.2 Mene
rima
pujia
n
1.2.1 Meng
ucapk
an
terima
kasih
kepad
a
orang
yang
memb
eri
pujian
2 Pertol
ongan
2.1 Memb
erikan
pertol
ongan
kepad
a
orang
yang
sudah
diken
al
2.1.1 Mengi
dentifi
kasi
kebutu
han
orang
yang
sudah
dikena
l.
2.1.2 Mena
warka
n
bantua
n
kepad
a
orang
yang
sudah
dikena
l
2.1.3 Memb
eri
bantua
n
kepad
a
orang
yang
sudah
dikena
l
2.2 Memi
nta
pertol
ongan
kepad
a
orang
yang
sudah
diken
al
2.2.1 Mengi
dentifi
kasi
kebutu
han
yang
diperl
ukan.
2.2.2 Menca
ri
orang
yang
sudah
dikena
l yang
dapat
memb
eri
bantua
n
2.2.3 Memi
nta
bantua
n
kepad
a
orang
yang
sudah
dikena
l
2.2.4 Meng
ucapk
an
terima
kasih
kepad
a
orang
yang
memb
antu
3 Maaf
3.1 Memb
erikan
maaf
kepad
a
orang
yang
sudah
diken
al
3.1.1 Mengi
dentifi
kasi
kesala
han
orang
yang
sudah
dikena
l
3.1.2 Mema
afkan
kesala
han
orang
yang
sudah
dikena
l
3.2 Memi
nta
maaf
kepad
a
orang
yang
sudah
diken
al
3.2.1 Mengi
dentifi
kasi
kesala
han
yang
dilaku
kan
kepad
a
orang
yang
sudah
dikena
l
3.2.2 Memi
nta
maaf
atas
kesala
han
yang
dilaku
kan
DAFTAR SAHABAT
1
2
3
4
5
4.3. Terminasi
a. Evaluasi Subjektif
Bagaimana perasaan bapak setelah kita latihan?
b. Evaluasi Objektif
1) Isolasi Sosial :
“Coba sebutkan berapa latihan yang sudah bapak lakukan untuk dapat
menjalin persahabatan?”
“sekarang ada berapa latihan yang harus bapak lakukan?”
“Latihannya adalah?”
2) HDRK:
“Coba sebutkan latihan untuk mengatasi mengatasi perasaan malu dan
sedih pada diri bapak?”
3) Halusinasi
“Coba sebutkan latihan untuk mengontrol suara-suara halusinasi yang
mengganggu?
2) HDRK
● Merapikan tempat tidur 1 kali sehari
● Mencuci gelas 1 kali sehari
● Melap meja 2 kali sehari