Anda di halaman 1dari 4

Moral Perkawinan Katolik

Pengantar
Moral Hukum
Kitab Suci dan Ajaran Gereja
Pertanyaan untuk Diskusi

Pengantar
Pada bagian ini kita membicarakan Moralitas Perkawinan Kristiani yang memberikan pemahaman
mengenai Moral Katolik dan sejumlah pedoman bertindak yang sebaiknya diikuti oleh suami-istri Katolik
dalam usaha mewujudkan perkawinan Katolik yang bahagia.
Beberapa teks Kitab Suci dan Ajaran Gereja disajikan untuk membantu pasangan Katolik
memahami dengan lebih baik moralitas perkawinan Katolik beserta tuntutan dan harapan-harapan yang
terkandung di dalamnya yang seharusnya diusahakan serta diperjuangkan oleh setiap pasangan Katolik.
Kita percaya bahwa setiap usaha dan perjuangan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan
membawa kesuksesan dalam hal ini berarti kesuksesan dalam hidup perkawinan.

MORAL UMUM
a. Pengertian Moral
Ada dua pemahaman dasar mengenai moral. Moral dapat diartikan sebagai: pedoman tentang baik dan
buruk, halal dan haram, wajib-dosa, benar-salah. Pedoman ini bersifat normatif, sedangkan pedoman
bagaimana kita mengatur hidup supaya menjadi “baik” yaitu sesuai dengan maksud Tuhan Pencipta, dan
dengan demikian juga akan “bahagia”, disebut sebagai pedoman moral yang bersifat imperatif, artinya mau
menunjukkan apa yang sebaiknya kita buat dan apa yang seharusnya kita hindari. Contohnya: supaya hidup
perkawinan itu langgeng hendaknya kedua belah pihak berusaha untuk menghayati janji setia perkawinan
dan memelihara komunikasi yang baik di antara mereka.
Ukuran yang kita pakai untuk menilai baik-buruknya sikap dan perbuatan kita pada dasarnya ada
dua:
- Hati Nurani atau Suara Hati yang berasal dari dalam, yaitu “pedoman” atau “guru dari dalam” yang
memberitahu kepada kita mana yang harus kita lakukan dan yang harus kita hindari; yang
menuntun kita untuk berbuat baik dan menjauhi yang buruk; yang menilai perbuatan kita: sebelum-
sedang-sesudah berbuat. Kalau kita berbuat baik, hati kita tenteram, tetapi kalau kita berbuat yang
tidak baik, hati nurani akan menegur. Oleh karena itu, suara hati sering disebut “guru dari dalam”
dan sebagai “suara Tuhan” dalam hati manusia. Namun demikian, suara hati saja belumlah cukup;
kita juga perlu memakai ukuran lain yang sifatnya lebih objektif dan berlaku untuk semua orang;
ukuran ini disebut “norma”.
- Norma (perintah, larangan, atau pedoman) yang berasal dari luar diri manusia, misalnya dari
orangtua, dari lingkungan masyarakat sekitar, adat istiadat, budaya, agama, atau dari peraturan
pemerintah yang secara obyektif memberitahu mana yang “baik” yang harus dilakukan dan mana
yang “tidak baik” yang barus dihindari supaya kita dapat hidup dengan tenang dalam masyarakat.
Misalnya, orang tua mengajarkan bahwa berbohong itu tidak baik; membantu orang lain itu baik;
agama mengajarkan bahwa kita harus mencintai orang lain seperti diri kita sendiri; melakukan
hubungan seks di luar pernikahan yang sah adalah dosa; hukum negara menegaskan bahwa kita
tidak boleh mencuri milik orang lain, bila kita lakukan itu negara akan menghukum; adat kebiasaan
mewariskan nilai gotong-royong: saling membantu dalam kesulitan, dan sebagainya.

b. Sumber Moral Kristiani


Ada dua dasar yang menjadi sumber dan titik pijak pertimbangan moral:
- Kitab Suci dan ajaran Gereja: pedoman/prinsip umum yang datang dari Allah serta kuasa mengajar
iman dan moral Gereja yang tampak dalam beberapa dokumen Gereja.
- Pengalaman, penalaran akal budi manusia, dan ilmu pengetahuan: pikiran dan pertimbangan akal
sehat manusia sendiri berdasarkan kenyataan riil yang de facto dihadapi.

1) Kitab Suci dan Ajaran Gereja


Pedoman dasar dan moral menurut Kitab Suci dan ajaran agama adalah Hukum Kasih. Untuk
mewujudkan hukum dasar itu, kita menerima sejumlah besar pedoman, baik berupa perintah, nasihat
maupun larangan, tetapi penerapannya pada situasi konkret masih tetap memerlukan pemikiran dan
tanggung jawab sendiri.
Demikian juga untuk berbagai masalah konkret sehari-hari, tidak ada pedoman mutlak dari agama
(yang menunjukkan bahwa kita harus begini, tidak boleh begitu) sehingga mungkin timbul keraguan.
Dalam hal ini kita harus berpikir sendiri, berdoa mohon petunjuk dari Tuhan dan mempertimbangkan
secara saksama tentang perbuatan kita: apa akibat yang ditimbulkan, apa motivasi yang mendorong kita
untuk bertindak, manakah situasi/kondisi yang ikut mempengaruhinya.

2) Pengalaman, Penalaran

1
Selain atas dasar pertimbangan itu, kita juga mau belajar dari pengalaman (pengalaman sendiri
maupun pengalaman orang lain) maupun dari perkembangan ilmu. Dengan demikian, diharapkan kita
memperolah cukup banyak “pedoman” untuk bertindak, sehingga tindakan yang kita lakukan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral. Contohnya: untuk menilai baik-buruknya atau halal-haramnya
cara-cara KB seperti spiral, vasektomi, IUD, atau pun tubektomi jelas tidak akan dapat ditemukan
pedomannya dari ayat-ayat Kitab Suci. Maka, cara menilainya harus lain, yaitu dengan menggunakan
ajaran para pejabat Gereja serta pendapat dari para ahli berdasarkan kemajuan ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan masalah ini.
Orang dapat dikatakan bertindak dengan “baik” bila ia bertindak sesuai dengan hati nurani
yang jujur dan benar, artinya ia bertindak sesuai dengan norma moral yang ada dan dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di hadapan Tuhan dan sesama.

“Moral Perkawinan” bermaksud memberikan pedoman: apa yang harus kita lakukan dan apa
yang kita hindarkan supaya perkawinan kita benar-banar sesuai dengan maksud Tuhan Pencipta. Kita
perlu bertanya: Manakah pedoman yang dapat kita temukan dalam Kitab Suci dan Ajaran Gereja
tentang maksud perkawinan? Manakah pelajaran yang dapat kita petik dari pengalaman (diri sendiri
dan orang lain) dan dari ilmu pengetahuan? Dari pengalaman orang lain mungkin kita bisa belajar
bagaimana caranya membangun keluarga yang baik; atau melihat ada keluarga yang berantakan, kita
bisa bertanya pada diri: apa sebabnya atau sumbernya sehingga kita dapat menghindarinya.

KITAB SUCI DAN AJARAN GEREJA


a. Beberapa Teks Penting dari Kitab Suci
- Kejadian 1:27-28, 1:31, 2:23-24 tentang penciptaan manusia.
- Ulangan 5:1-22 tentang Sepuluh Perintah Allah.
- Matius 19:1-12//Markus 10:1-12 tentang perceraian dan zina.
- Yohanes 2:1-12 tentang perkawinan di Kana, di mana Yesus untuk pertama kalinya membuat
tanda/mukjizat.
- Yohanes 8:1-11 tentang wanita yang berzina.
- Yohanes 13:35//Yohanes 15:12 tentang perintah untuk saling mencintai.
- Efesus 5:22-23 tentang suami mencintai istrinya sama seperti ia mencintai dirinya sendiri – sama
seperti Kristus mencintai Gereja-Nya.. suatu Sakramen yang agung.
- 1 Korintus 7:2-11 tentang kewajiban suami-istri dalam bidang seksual.
- 1 Korintus 6:12-20 tentang hormat terhadap tubuh.
- 1 Korintus 13:1-13 tentang sifat cinta kasih.
- 1 Tesalonika 4:3-8; Kolose 3:12-21 tentang suasana dalam keluarga.
- Amsal 5:30; Kidung Agung 2.6.7 tentang bahasa cinta.

b. Beberapa Pokok Ajaran Kitab Suci dan Ajaran Gereja Katolik tentang Perkawinan
Kitab suci mengawalinya dengan kisah penciptaan. Bab-bab pertama Kitab Kejadian mau
menunjukkan maksud Allah yang sebenarnya dengan manusia dan dunia. Intinya ialah dunia seisinya
dinyatakan “baik” oleh Tuhan karena berasal dari Sang Pencipta-Sumber Segala Kebaikan yang
mencerminkan keagungan Allah sendiri. Iman kita mengakui bahwa Kasih Allah sebagai Awal dan
Sumber Kehidupan.
Allah menciptakan manusia “menurut citra dan gambaran-Nya sendiri sebagai pria dan wanita.
Lalu Allah memberkati mereka dan berfirman: beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi
ini dan taklukkanlah...” (Kej 1:27-28). Teks ini mau menunjukkan bahwa ada dua jenis kelamin yang
berbeda dengan segala daya tarik antar-keduanya. Dengan kata lain, seksualitas manusia diakui
keberadaannya, hubungan seks dan akibatnya yaitu munculnya keturunan dilihat oleh sang Penulis
Kitab Kejadian sebagai berasal dari Sang Pencipta; diberkati oleh Tuhan dan dimaksudkan untuk
kebahagiaan manusia. Maka, dalam Kitab Suci dinyatakan semunya “sungguh amat baik”. Dengan
demikian, seks dan seksualitas dipandang secara positif, sebagai anugerah dari Allah untuk
kebahagiaan manusia.
Pria dan wanita diciptakan untuk saling melengkapi, saling membantu sebagai teman hidup
dalam menempuh jalan hidup bersama. Hal ini ditegaskan dalam kitab Kejadian “Tidaklah baik kalau
manusia itu sendirian saja. Maka, Aku (Allah) akan memberikan kepadanya seorang penolong yang
sepadan dengan dia”. Maka Allah menciptakan Hawa dan menghantarkannya kepada Adam. “Maka
berserulah Adam: Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej 2:4). Yang
diungkapkan di sini adalah kesamaan harkat, derajat, dan martabat antara pria dan wanita sebagaimana
yang dimaksudkan Allah. Kalau kenyataan sekarang kedudukan wanita kerap kali “di bawah” pria,
jelaslah itu bukan maksud dan rencana Allah, tetapi akibat ulah manusia itu sendiri (dosa).
Tuhan menciptakan manusia sebagai pria dan wanita dengan maksud agar mereka bersatu
dalam ikatan perkawinan dan membentuk satu keluarga. Hal itu diungkapkan dengan jelas oleh Kitab
Kejadian: “dari sebab itu, seorang pria akan meninggalkan ayah dan ibunya dan mengikat diri pada

2
istrinya” (Kej 2:24; Mat 19:5; Mrk 10:7-8; Ef 5:31). Ungkapan “meninggalkan ayah dan ibu” berarti
bahwa hubungan dengan orang tua harus berubah. Dengan menikah, baik suami maupun istri telah
membentuk keluarga baru, maka seluruh waktu, pikiran, dan tenaga tercurah untuk keluarga baru yang
dibentuknya, sehingga relasi dengan keluarga asal (orang tua) juga mengalami perubahan/pergeseran.
Dengan kata lain, relasi itu harus ditata secara baru, yang diprioritaskan adalah keluarga baru. Secara
fisik berarti tidak lagi tinggal serumah dan secara ekonomi, tidak lagi menggantungkan diri pada orang
tua. Tanggung jawab, pokok perhatian, dan ikatan batin yang utama bagi suami-istri adalah pasangan
serta anak-anaknya-tanpa (tentu saja) mengabaikan rasa hormat terhadap orang tua dan saudara-i.
Maksud perkawinan adalah agar pria dan wanita sebagai suami-istri “menjadi satu” dalam
hubungan dan ikatan yang stabil dan tetap. Kitab Kejadian merumuskannya: “mereka akan hidup
bersatu padu jiwa dan raganya” atau “menjadi satu daging”. Kesatuan itu harus diwujudkan secara
konkret dalam hidup sehari-hari: sejiwa, sehati, tinggal serumah, tidur seranjang, juga bersetubuh.
Suami-istri saling mencintai dengan kasih yang eksklusif (satu dengan satu = monogami) untuk seumur
hidup (tak terceraikan) dan dinamis. Dinamis juga berarti subur dan berkembang, termasuk
berkembang (biak) dalam keturunan.
Tujuan pokok perkawinan menurut Kitab Suci adalah kesatuan dan kebahagiaan bersama
suami-istri dengan saling mencintai. Maka, unsur inilah yang harus diutamakan, yaitu “ke-suami-istri-
an” dan bukan “ke-ibu-bapak-an”. Kesatuan suami-istri ini harus diperjuangkan setiap hari dengan
saling memberi perhatian, dengan komunikasi yang baik serta keterbukaan dalam segala segi
kehidupan, dengan kesediaan untuk saling menerima apa adanya, dengan kasih sayang, kelembutan dan
kesabaran tanpa paksaan, rela berkorban, saling membantu dan saling memaafkan (1Kor13), berdoa
bersama, dan saling menanggung beban.
Untuk memupuk kesatuan dan kerukunan dalam keluarga, Kitab Suci memberikan banyak
petunjuk konkret, misalnya, “Bila Anda marah jangan amarahmu kausimpan sampai matahari
terbenam”. Ini berarti bahwa rasa amarah hendaklah cepat diselesaikan jangan sampai dibiarkan
berlarut-larut sebab hal ini akan merugikan relasi cinta suami-istri. Saling memaafkan harus menjadi
“menu” harian dalam hidup pasangan. Dalam kenyataan hidup, suami-istri memang dapat saling
menyakiti hati, tetapi juga dapat saling menyembuhkan.
Yesus dengan tegas menolak zina dan perceraian. Hal ini berarti suatu tuntutan mutlak untuk
setia satu sama lain seumur hidup, “yang dipersatukan Allah, janganlah diceraikan oleh manusia”.
Ungkapan “dipersatukan oleh Allah” juga sebagai gambaran, pertanda dan lambang dari Perjanjian
Tuhan dengan umat-Nya. Inti sari upacara perkawinan adalah Janji Setia dalam suka dan duka, dalam
untung dan malang, sampai kematian memisahkan mereka berdua. Suami berjanji bahwa ia akan tetap
setia, sekalipun istrinya tidak cantik lagi seperti dulu ketika masih muda, tidak selincah ketika masih
muda, tidak lagi memuaskan kebutuhan seksualnya, sekalipun membelanjakan uang dengan kurang
bijaksana. Demikian sebaliknya, istri akan tetap setia kepada suaminya sekalipun suaminya menjadi
botak, tua dan peyot, tidak kaya lagi, tidak gagah dan ganteng seperti pertama dikenal, serta sakit-
sakitan.
Suami-istri mempunyai kewajiban suci untuk saling memenuhi kebutuhan seksual pasangannya
(bdk. 1 Kor 7). Hubungan seks dalam perkawinan adalah hal yang baik, halal, dan suci. Seks bukanlah
hal yang tabu, kotor, atau memalukan, melainkan anugerah luhur yang telah disucikan dalam Sakramen
Perkawinan yang dimaksudkan sebagai sarana pemersatu suami-istri. Perintah Allah “jangan berzina”
secara jelas mau melarang adanya hubungan intim seperti layaknya hubungan suami-istri dengan pihak
ketiga. Secara positif perintah itu berarti “hendaklah setia satu sama lain”. Hubungan seks di luar
pernikahan merusak rencana dan maksud Tuhan terhadap perkawinan.
Seks (dalam arti sempit: alat kelamin dan hubungan kelamin) hanya merupakan salah satu segi
pribadi manusia yang tidak boleh dipisahkan dari segi-segi psikologis, perasaan, spiritual, tanggung
jawab, budaya, dan ekspresi pribadi manusia yang kita sebut “cinta”. Kitab Suci menunjukkan sikap
yang sangat positif terhadap “tubuh” (disebut daging), sebagai “anggota Kristus” dan “bait Roh Kudus”
yang akan dibangkitkan bersama Kristus. Maka, kepuasan dan kenikmatan seks diterima sebagai
pemberian Allah, tidak perlu dirusak oleh rasa bersalah, takut, malu, dan tabu. Seks ikut diselamatkan
oleh Kristus dan diangkat menjadi sarana penyaluran rahmat Allah. Seks dilindungi dengan rasa malu
bukan karena seks itu jorok atau porno, melainkan karena menyangkut hal yang sangat pribadi dan
suci, yaitu keintiman hubungan dua orang kekasih. Yang jorok dan salah adalah penyalahgunaannya di
luar perkawinan.
Kesatuan pria dan wanita dalam perkawinan yang diragakan dalam hubungan seks secara
psikologis dimaksudkan untuk mewujudkan kesatuan jiwa dan hati antara suami-istri. secara biologis
hubungan seks dimaksudkan untuk mendapatkan keturunan. Dengan cara demikian, suami-istri
terpanggil untuk ikut ambil bagian dalam karya penciptaan Tuhan. Hubungan seks bukan sekedar
melampiaskan nafsu birahi saja, tetapi dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab penuh
bahwa hal itu merupakan pelaksanaan dari sabda Tuhan. Oleh karena itu, hubungan seks yang sesuai
dengan kehendak Tuhan adalah hubungan seks yang disertai kesediaan untuk menerima hidup baru bila
hal itu terjadi.

3
Tanggung jawab suami terhadap istri menurut ajaran Kitab Suci dapat diringkas dalam dua
kata: “memimpin” dan “mengasihi”. Memimpin menurut Kitab Suci berarti melayani (Mat 20;20-28;
Yoh 13:1-15), memperhatikan kepentingan dan keselamatan orang yang menjadi tanggungannya.
Suami disebut kepala istri dan kepala keluarga, sama seperti Kristus adalah kepala umat-Nya (Ef 5:23)
yang mendampingi, menjaga, menghibur, mengajar, mendoakan, dan menyelamatkan umat-Nya.
Demikian juga hendaknya suami harus berjaga, melindungi, dan “menyelamatkan” istrinya-mengasihi
istrinya seperti dirinya sendiri, bahkan sama seperti Kristus mengasihi umat-Nya.
Kasih Kristus adalah kasih yang tanpa syarat, rela berkurban, dan setia sampai mati. Suami
membuktikan cintanya pada istrinya dengan menyediakan segala keperluannya tidak hanya kebutuhan
jasmani atau uang, tetapi juga kebutuhan emosional, intelektual, sosial, seksual, hiburan/rekreasi,
rohani yang ditunjukkan dalam sikap yang lemah lembut, sopan, kata-kata pujian, penghargaan yang
tulus, membantu dalam tugas-tugas dan kewajibannya, mendampinginya dalam suka duka hidupnya.
Sebaliknya, tanggung jawab istri terhadap suami menurut Kitab Suci (Kej 2:18-25; Ams 31:10-
31; Ef 5:23-33; Tit 2:4-5; 1Ptr 3:1-6) disebutkan “tunduk kepada suaminya” dan menolong dia.
Patuh/tunduk kepada suami tidaklah berarti bahwa istri menjadi seorang “pembantu” seperti halnya
seorang pembantu rumah tangga yang tidak berhak berbicara, diam, dan tunduk saja; melainkan suatu
ketaatan/ketundukan “sama seperti umat taat kepada Kristus”. Sama seperti umat tunduk kepada
Kristus – Kepala Jemaat- demikianlah ketaatan istri kepada suami. Kepatuhan istri berarti bahwa
sebagai pendamping suami yang sepadan dengan dia, istri menghormati dan melengkapi suaminya serta
rela memakai segala bakat kemampuannya demi kebaikan suami dan anak-anaknya dalam kerja sama
dan di bawah pimpinan suami.
Setiap orang pasti pernah mengalami cobaan dan godaan. Godaan terkuat rupa-rupanya adalah
godaan akan kekayaan, kekuasaan, kedudukan, dan kenikmatan seks. Godaan seks memang memiliki
daya tariknya yang sangat kuat, tetapi “Tuhan tidak mencobaimu melebihi kekuatanmu. Bersama
dengan cobaan, Ia juga memberikan kekuatan untuk mengatasinya”. Perhatikan bahwa “digoda” tidak
sama dengan “dosa”! Dosa dalam hubungan suami-istri tidak hanya terjadi dengan berbuat serong,
tetapi juga bila menolak tanggung jawab atas akibat perbuatannya sendiri, egois, tertutup, menolak
berkomunikasi, mencari kepuasannya sendiri di luar relasi, menutup diri, dan sebagainya.
Abortus atau pengguguran yang disengaja dilarang keras tidak hanya oleh hukum agama, tetapi
juga oleh undang-undang negara dan diancam dengan hukuman yang berat. Suami-istri Kristiani
dipanggil oleh Tuhan agar bersikap murah hati dalam menerima dengan suka cita anugerah hidup yang
diberikan Tuhan kepada mereka dengan kesediaan untuk menjauhkan diri dari hal-hal atau tindakan
yang dapat digolongkan sebagai yang melawan kehidupan seperti pengguguran, eutanasia, dan
pembunuhan.
Hidup bersama menyangkut komunikasi. Menurut maksud Tuhan, dua orang yang dipersatukan
oleh Allah harus membagikan segala sesuatu: tubuh, milik kepunyaan, pengetahuan, pendapat,
kemampuan, persoalan, cita-cita, keberhasilan, tetapi juga kegagalan dan penderitaan mereka. Karena
itu, segala masalah yang muncul di antara mereka harus diselesaikan bersama dalam damai. Maka,
segala hal yang sifatnya “rawan”, yang dapat mempengaruhi relasi di antara keduanya – seperti:
hubungan dengan orangtua/mertua, keluarga lainnya, teman-teman dan sahabat-sahabat, hubungan
dengan Tuhan, urusan keuangan dan ekonomi rumah tangga, hobi, rekreasi dan waktu terluang, jumlah
anak dan jarak kelahirannya, pembagian tugas dalam rumah tangga dan sejuta hal lainya yang
menyangkut hidup bersama dalam keluarga – harus dibicarakan dengan baik di antara keduanya.
Sebagai yang dipersatukan oleh Tuhan, suami-istri mempunyai kedudukan, serta hak dan tanggung
jawab yang sama dalam keluarga.

Pertanyaan untuk diskusi


1. Bagaimana perkawinan yang “baik” menurut Anda?
2. Apa artinya suami-istri “menjadi satu daging”?
3. Apa artinya seorang pria harus “meninggalkan ayah-ibunya”?
4. Apa artinya istri harus “tunduk” kepada suaminya?

Anda mungkin juga menyukai