Anda di halaman 1dari 8

BAB III

MORAL PERKAWINAN
1. NORMA MORAL KRISTIANI
Moral adalah
Pedoman atau ajaran tentang “baik-buruk”, halal-haram, wajib-dosa mengatur sikap
batin dan prilaku kita. Atau: pedoman bagaimana kita harus mengatur hidup kita supaya
menjadi “baik”= sesuai dengan maksud Tuhan Pencipta Yang Maha Baik (dan dengan
demikian juga akan “bahagia”).
Ukuran untuk menilai tentang baik-buruknya sikap dan perbuatan kita pada dasarnya
ada dua.
 Hati Nurani atau suara hati yang berasal dari dalam.
 Norma (perintah, larangan atau pedoman) berasal dari luar, yang secara objektif
memberi tahu mana yang “baik” yang harus dilakukan dan mana yang “tidak
baik” yang harus dihindari supaya kita dapat hidup dengan tenang dalam
masyarakat.
 Salah = Objektif tidak sesuai dengan norma
 Dosa = Dengan sengaja (dengan tau dan mau) melanggar norma yang
diketahui.
Hati nurani adalah “pedoman” atau “guru dari dalam” yang
 Memberitahu kepada kita mana yang harus dilakukan;
 Menuntut kita untuk berbuat baik dan menjauhi yang buruk;
 Menilai perbuatan kita sebelum-sedang-sudah berbuat.
Kalau kita berbuat baik, hati kita tenteram. Tetapi kalau kita berbuat tidak baik, hati
nurani akan menegur. Oleh karena itu sering disebut sebagai “guru dari dalam” atau “suara
Tuhan dalam hati manusia”.
Tetapi suara hati juga dapat keliru; menganggap baik yang sebenarnya buruk;
menganggap tidak apa-apa padalah sebenarnya “apa-apa saja”; atau menganggap buruk apa
yang sebenarnya tidak buruk. Masalah timbul karena perkembangan zaman yang begitu
cepat, dimana banyak aturan/norma lama semakin ditinggalkan, tetapi yang baru belum
ditemukan. Misalnya hubungan seks sebelum menikah dianggap “enggak apa-apa”, baru
merasa bersalah kalau ketahuan/hamil-lalu dari pada mendapat malu “lebih baik” anak
dihilangkan saja. Oleh karena itu kita perlu belajar norma.

Norma tingkah laku kita diterima dari luar: dari pendidikan oleh orang tua, dari
lingkungan masyarakat sekitar, adat kebiasaan, hukum negara dan ajaran agama. Ada norma
yang hanya menunjukan yang “biasa” atau “normal”, mana yang tidak dapat diterima oleh
lingkungan kita. Ada juga yang mewajibkan kita melakukan (atau tidak melakukan) sesuatu,
disertai sanksi kalau tidak ditaanti.
Sumber Moral
Sumber moral kristiani ada dua (yang saling melengkapi)
 Kitab Suci dan Ajaran Gereja; pedoman/prinsif umum yang diberikan kepada
kita “dari atas”.
 Penalaran akal budi manusia, dilengkapi dengan pengalaman dan ilmu
pengetahuan yang “dari bawah”.
Pedoman dasar moral menurut Kitab Suci dan ajaran agama adalah hukum kasih.
Untuk mewujudkan hukum dasar tersebut, kita diberi sejumlah besar pedoman, baik
berupa perintah, nasehat maupun larangan. Tetapi, penerapannya dalam situasi konkert
masih tetap memerlukan pemikiran dan tanggung jawab sendiri. Selain itu untuk
berbagai masalah konkret sehari-hari, tidak ada pedoman yang mutlak dari agama (harus
begini, tak boleh begitu), sehingga mungkin timbul keraguan. Dalam hal itu kita harus
berpikir sendiri, berdoa mohon petunjuk dari Tuhan dan memikirkannya masak-masak
apa/bagaimana perbuatan kita, apa akibatnya, motivasinya, situasi dan kondisi yang ikut
mempengaruhi, dsb, dan juga mau belajar dari pengalaman (baik pengalaman sendiri
maupun pengalaman orang lain) dan juga perkembangan ilmu. Misalnya untuk menilai
baik-buruknya atau halal-haramnya cara-cara KB seperti spiran atau vasektomi jelas
tidak akan dapat ditemukan pedoman dari ayat-atat Kitab Suci. Maka penilaiannya harus
lain.
Orang bertindak dengan “baik” kalau bertindak sesuai dengan hati nurani yang
jujur dan benar (=sesuai norma moral) dan dapat mempertanggungjawabkan tingkah laku
dan perbuatannya dihadapan Tuhan dan sesama.

NB. Ada perkembangan dalam cara berpikir Gereja tentang moral


 Dulu lebih menekankan bahwa kita harus menolak segala dosa dan menghindari apa yang
jahat. Maka agak bernada negatif-banyak larangan dan pantangan (meskipun maksudnya
positif). Mungkin terpengaruh oleh rumusan ke-10 Perintah Allah yang sebagian besar
dirumuskan sebagai larangan.
 Sekarang norma-norma moral lebih dipandang sebagai pedoman positif, bagaimana kita
harus mengatur hidup kita agar sesuat dengan maksud Tuhan yang menghendaki kebaikan
dan kebahagiaan kita. Jadi, perintah dan larangan-larangan kita terima sebagai petunjuk
bagaimana kita sebagai orang beriman dapat menjawab Kasih Allah yang memanggil kita
dalam Kristus untuk menyelamatkan manusia seutuhnya.

Moral perkawinan bermaksud memberikan pedoman: apa yang harus kita


lakukan supaya perkawinan kita betul-betul sesuai dengan maksud Tuhan Pencipta (tentu
saja dengan menghindari dosa dan penyelewengan). Maka kita bertanya.
 Pedoman apa yang dapat kita temukan dalam Kitab Suci dan Ajaran Gereja
tentang maksud perkawinan?
 Kita dapat belajar apa dari pengalaman dan dari ilmu pengetahuan?
Bagaimana keluarga yang baik, supaya kita meniru. Bagaimana keluarga yang
“berantahkan”. Apa sebab-sebab atau sumbernya, agar kita dapat
menghindarinya.
2. KITAB SUCI DAN AJARAN GEREJA
A. Beberapa Teks Penting dari Kitab Suci
 Kejadian 1:27-28, 1:31, 2:23-24 (penciptaan manusia).
 Ulangan 5:1-22 (kesepuluh Firman/Perintah Allah).
 Matius 19:1-12 // Markus 10:1-12 (Perceraian dan zinah).
 Yohanes 2:1-11 (Perkawinan di Kana: tanda Yesus yang pertama), Yoh 8:1-11
(Wanita berzinah).
 Yohanes 13:35 // 15:12 (saling mencintai, sama seperti Aku...).
 Efesus 5:22-33 (Suami mencintai istri sama seperti dirinya sendiri-sama seperti
Kristus... satu Sakramen yang agung).
 1 Korintus 7:2-11 (Kewajiban suami-istri dibidang seksual), 6:12-20 (Hormat
terhadap tubuh), 13: 1-13 (sifat cinta kasih).
 1 Tesalonika 4:3-8, Kol 3:12-21 (Suasana dalam keluarga).
 Galatia 5:18-24 (Buah-buah Roh). 1Petrus 3, 1Yohanes 4.
 Amsal 5:30, Kidung 2.6.7 (Bahasa cinta), dsb.

B. Beberapa Pokok Ajaran Kitab Suci dan Ajaran Gereja Katolik


1) Kitab Suci dibuka dengan kisah penciptaan. Bab-bab pertama buku Kejadian
mau menunjukan maksud Allah yang sebenarnya dengan manusia dan dunia.
Intinya ialah bahwa dunia seisinya dinyatakan “baik”, berasal dari Allah sang
pencipta dan mencerminkan sesuatu dari keagungan Allah sendiri. Iman kita
mengakui kasih Allah sebagai awal dan sumber kehidupan.
2) Allah menciptakan manusia “menurut citra dan gambar-Nya sendiri” sebagai
pria dan wanita. Lalu, Allah memberkati mereka dan berfirman: beranak
cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah...”(Kej 1:27-
28). Ini berarti adanya pria dan wanita; adanya dua jenis kelamin dengan segala
daya tarik antara keduanya. Dengan kata lain, adanya seksualitas manusia, juga
adanya hubungan seks dan akibatnya yaitu mempunyai keturunan itu berasal
dari Sang Pencipta; diberkati-Nya dan dimaksudkan untuk kebahagiaan
manusia. Maka dalam Kitab Suci dinyatakan “sungguh amat baik”. Berarti suatu
pandangan yang amat positif tentang seks dan seksualitas manusia!
3) Pria dan wanita diciptakan untuk saling melengkapi sebagai teman hidup dan
menempuh hidup bersama. “Tidaklah baik kalau manusia itu sendirian saja.
Maka, Aku akan memberikan kepadanya seorang “penolong” yang sepadan
dengan dia”. (Istilah penolong sama seperti yang dikatakan sebagai Allah
“penolong” umat-Nya). Allah menciptakan Hawa dan mengantarkannya kepada
Adam. “Maka berserulah Adam: Inilah dia tulang dari tulangku dan daging
dari dagingku.” (Kej 2:4). Yang diungkapkan disini adalah kesamaan harkat,
derajad dan martabat pria dan wanita sebagaimana yang dimaksud Allah. Kalau
kenyataannya sekarang kedudukan wanita kerap kali “di bawah” pria, itu bukan
karena maksud dan rencana Allah tetapi akibat ulah manusia sendiri (dosa).
Tetapi, sejak dari permulaan Allah telah menjanjikan seorang “penyelamat”
yang akan mengalahkan dosa dan “membangun kembali segala-
galanya”sebagaimana yang sebenarnya dimaksud oleh Allah.
Janji ini telah terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Dan tugas kita sebagai umat-
Nya adalah ikut melaksanakan usaha besar “membangun kembali segala-
galanya” itu termasuk kehidupan keluarga dan kedudukan wanita dalam
masyarayat.
4) Tuhan menciptakan manusia sebagai pria dan wanita dengan maksud agar
mereka bersatu dalam ikatan perkawinan dan membentuk satu keluarga.
Keluarga dimaksudkan sebagai suatu unit yang baru. “Dari sebab itu seorang
pria akan meninggalkan ayah dan ibunya dan mengikat diri pada istrinya” (Kej
2:24; Mat 9:15; Mrk 10:7-8; Ef 5:31). Dengan demikian, keluarga menjadi sel
masyarakat dan sumber kehidupan baru.
“meninggalkan ayah dan ibu” berarti bahwa hubungan dengan orang tua
(harus) berubah; tidak lagi menggantungkan diri pada orang tua melainkan
secara batin (juga sebaiknya secara nyata) berpisah dengan mereka dan menjadi
mandiri. Tanggungjawab, pokok perhatian dan ikatan batin yang utama bagi
seorang suami adalah istrinya (dan anak-anaknya) sendiri-tentu saja dengan
tetap menghormati orang tua.
5) Maksud Tuhan dengan perkawinan adalah agar pria dan wanita sebagai
sepasang suami-istri “menjadi satu” dalam ikatan lahir batin yang stabil dan
tetap. Istilah Kitab Suci untuk itu adalah “Mereka akan hidup bersatu-padu
jiwa-raganya” atau “menjadi satu daging”. Kesatuan itu didasarkan atas “kasih
setia” sebagai ikatan pemersatu dan diwujudkan secara konkret dalam
persekutuan hidup bersama: tinggal serumah, makan semeja, tidur seranjang,
juga setubuh. Suami-istri saling mencintai dengan kasih sayang yang “ekslusif”
(satu dengan satu=monogami), untuk seumur hidup (tak terceraikan) dan
dinamis. Dinamis juga dalam arti subur dan berkembang, termasuk
berkembang-biak dalam keturunan.
6) Tujuan pokok perkawinan menurut Kitab Suci adalah kesatuan dan kebahagiaan
bersama suami-istri dalam cinta-mencintai. Maka itulah yang harus diutamakan
bukan keibu-bapakan melainkan “kesuami-istrian”. Kesatuan suami-istri itu
harus dibangun setap hari kembali, dengan saling memberi perhatian; dengan
keterbukaan dan kerelaan berkomunikasi; dengan saling menerima “apa
adanya”; dengan kasih sayang, kelembutan dan kesabaran tanpa paksaan;
dengan rela saling berkurban; saling membantu, saling memaafkan (1Kor 13);
dengan berdoa bersama dan saling menanggung bebannya. Kemesraan dan
tanda-tanda kasih sayang hendaknya menjadi kebiasaan dalam keluarga
kristiani.
Untuk memupuk kesatuan dan kerukunan dalam keluarga, Kitab Suci
memberikan banyak petunjuk konkret lainnya, misalnya “ apabila anda marah,
jangan sampai matahari terbenam, engkau masih menyimpan amarahmu itu.”
Berarti malam hari mesti berdamai kembali, dengan doa malam bersama dan
saling memaafkan. Suami-istri dapat saling menyakiti hati-tetapi juga dapat
paling saling menyembuhkan; dapat saling membahagiakan-tetapi juga saling
mencelakakan.
7) Kristus dengan tegas menolak zinah dan perceraian. Secara positif hal ini berarti
tuntutan mutlak untuk tetap SETIA satu sama lain, apapun yang terjadi. “Apa
yang dipersatukan Allah, janganlah diceraikan oleh manusia”. Ungkapan
“dipersatukan oleh Allah” juga sebagai gambaran, pertanda dan lambang dari
perjanjian Tuhan dengan umat-Nya. Inti sari upacara perkawinan adalah JANJI
SETIA: “Dalam suka dan duka, dalam untung dan malang”. Suami berjanji
bahwa ia akan tetap setia, sekalipun istrinya sudah tidak cantik lagi, tidak serapi
atau sepenurut seperti yang diharapkanya, sekalipun dia tidak memuaskan
keinginan seksnya sepenuhnya, sekalipun ia membelanjakan uang dengan cara
yang tidak bijaksana, atau tidak pandai memasak. Istri berjanji bahwa ia akan
tetap setia, sekalipun suaminya menjadi botak, tidak kaya lagi, tidak sesehat dan
segagah seperti yang dikiranya, juga jika datang orang lain yang lebih ganteng.
8) Suami-istri saling memiliki, dan mempunyai kewajiban suci untuk saling
memenuhi kebutuhan seksual yang satu terhadap yang lain (1Kor 7). Hubungan
seks dalam perkawinan adalah baik, halal, dan suci. Seks bukanlah hal yang
tabu, kotor atau memalukan, melainkan ikut disucikan oleh sakramen
perkawinan sebagai sarana pemersatu suami-istri. Perintah Allah “Jangan
berzinah” melarang adanya hubungan intim (seperti suami-istri) dengan pihak
ketiga yang harus dinilai sudah tidak wajar lagi bagi yang bukan suami-istri.
Secara positif perintah itu berarti “hendaklah setia satu sama lain”. Tetapi juga
berarti bahwa penyaluran kebutuhan seksual harus terjadi dalam ikatan
perkawinan, sehingga tidak ada yang “terbakar” (kebutuhan seks tidak
terpenuhi) atau menimbulkan godaan untuk mencari kepuasan ditempat lain.
Hubungan seks diluar pernikahan betul-betul merusak rencana Tuhan terhadap
perkawinan. Oleh karena itu dilarang (berzinah=berdosa).
9) Seks (dalam arti sempit=hubungan kelamin) hanya merupakan salah satu segi
dari pribadi manusia, yang tidak boleh dipisahkan dari segi-segi psikologis,
emosional, spiritual, tanggungjawab, budaya, dan ekspresi manusia yang disebut
“cinta”. Kitab Suci menunjukan sikap yang amat positif terhadap
“tubuh”(disebut “daging”= awake dhewe) sebagai “anggota Kristus” dan “bait
Roh Kudus” yang akan dibangkitkan bersama Kristus. Maka, kepuasan dan
kenikmatan seks diterima sebagai pemberian Allah, dan tidak perlu dirusak oleh
rasa bersalah, takut, malu dan tabu. Seks ikut diselamatkan oleh Kristus dan
diangkat menjadi sarana penyaluran rahmat Allah. Tentu saja dengan
mengindahkan prinsif dasar bahwa nafsu birahi seseorang tidaklah untuk dirinya
sendiri tetapi untuk pasangannya. Setiap seks yang hanya mencari kenikmatan
dirinya sendiri adalah “salah arah”.
Seks dilindungi dengan rasa malu, tidak karena seks itu jorok dan porno,
melainkan karena menyangkut hal yang pribadi dan suci, keintiman hubungan
dua orang kekasih. Yang jorok dan salah adalah penyalahgunaan, yaitu diluar
pager ayu perkawinan. Maka hendaklah disadari adanya perbedaan dalam
menghayati perintah Allah ke-6 dan ke-9 untuk orang yang belum menikah dan
sudah menikah. Untuk suami-istri hubungan seks dengan segala variasi dan
seninya adalah wajar.
10) Kesatuan pria dan wanita yang diragakan dalam hubungan seks secara
psikologis dimaksudkan untuk mewujudkan (meragakan) kesatuan jiwa dan hati
(disebut segi unitif). Secara biologis hubungan seks dimaksudkan untuk
mendapatkan keturunan (disebut segi reproduksi atau pro-kreatif). Dengan cara
demikian suami-istri ikut terpanggil untuk ambil bagian dalam karya penciptaan
Tuhan sendiri. Hubungan seks bukan sekedar untuk melampiaskan nafsu birahi
saja, tetapi dilakukan dengan kesadaran dan tanggungjawab penuh bahwa itu
merupakan pelaksanaan dari sabda Tuhan. Oleh karena itu disertai kesediaan
untuk menerima hidup baru tersebut.
11) Tanggungjawab suami terhadap istri menurut ajaran Kitab Suci dapat diringkas
dalam dua kata, “memimpin” dan “mengasihi”. Memimpin menurut Kitab Suci
berarti melayani (Mat 20:20-28, Yoh 13:1-15), memperhatikan kepentingan,
keselamatan dan keperluan orang yang ditanggungnya. Pria disebut kepala
istrinya dan kepala keluarga, sama seperti Kristus adalah kepala umat-Nya (Ef
5:23). Kistus tidak datang untuk dilayani melaikan untuk melayani dan rela
mengurbankan hidup-Nya sendiri. Ia mendampingi, menjaga, menghibur,
mengajar, mendoakan, menjadi teladan dan menjadi panutan murid-murid-Nya.
Ia memberi kepercayaan dan tanggungjawab kepada mereka serta melibatkan
mereka dalam karya keselamatannya.
Mengasihi istri haruslah “seperti dirinya sendiri” (Jw. Kaya awake dhewe),
bahkan sama seperti Kristus mengasihi umat-Nya. Tentang kasih Kristus kita
tahu dari Kitab Suci: tanpa syarat, rela berkurban, setia sampai mati. Suami
membuktikan cintanya kepada istri dengan menyediakan segala keperluannya,
tidak hanya kebutuhan jasmani atau uang tetapi juga kebutuhan emosional,
intelektual, sosial, seksual, hiburan, rohani; dengan mendampingi, melindungi
dan membantu tugas-tugas dan kewajibannya; dengan mengikutsertakan dia
dalam suka maupun duka; dengan menunjukan melalui sikap dan kata-katanya
bahwa ia sungguh menjadi buah hatinya; dan memperlakukan dia dengan lemah
lembut, sopan, ksatria; dengan saling memberikan kata-kata pujian dan
penghargaan, dsb.
12) Tanggungjawab istri terhadap suaminya menurut Kitab Suci (Kej 2:18-25, Ams
31:10-31, Ef 5:22-33, Tit 2:4-5, 1Ptr 3:1-6) disebutkan “tunduk kepada
suaminya” dan menolong dia. Patuh kepada suami bukan berarti bahwa istri
seorang “pembantu” yang tak boleh buka mulut, harus diam dan tunduk,
melainkan “sama seperti umat kepada Kristus”. Kepatuhan istri berarti bahwa
ia sebagai pendamping suami yang sepadan dengan dia, menghormati dan
melengkapi suaminya, dan rela memakai segala bakat dan kemampuannya demi
kebaikan suami dan anak-anaknya dalam kerjasama dan dibawah pimpinan
suami sebagaimana seharusnya dalan Tuhan.
13) Setiap orang pasti juga mengalami percobaan dan godaan. Godaan terkuat rupa-
rupanya adalah godaan akan kekayaan, kekuasaan, kedudukan dan kenikmatan
seks. Godaan dibidang seksual memang ada daya tariknya yang sangant kuat.
Tetapi “Tuhan tidak akan mencobaimu melebihi kekuatanmu; bersama dengan
percobaan Ia juga akan memberikan kekuatan untuk mengatasinya”. Perhatikan
bahwa “digoda” tidak sama dengan dosa!
Doa dalam hubungan suami-istri tidak hanya terjadi dengan berbuat serong
(=melanggar janji setia) tetapi juga menolak tanggungjawab atas akibat
perbuatanya sendiri; egois, bertindak secara kasar, memaksakan kehendaknya
sendiri, tetutup, menolak komunikasi, mencari kepuasannya sendiri diluar relasi,
dan sebagainya.
Sebagai pedoman yang mudah untuk menilai perbuatannya sendiri, bertanyalah
dalam hati: apa dia boleh tau atau melihat apa yang aku lakukan? Seandainya
dia tau, akan bagaimanakan reaksinya? Menyetujui? Atau justru marah, kecewa,
curiga, cemburu?
Ada tanda-tanda tertentu bila suami/istri menyeleweng.
14) Abortus atau pengguguran yang disengaja dilarang keras tak hanya oleh agama
tetapi juga undang-undang negara dan diancam dengan hukuman yang berat.
Pesan para uskup dimuat antara lain dalam surat “sayangilah kehidupan”(1992).
Tentang KB dan kontrasepsi-lihat Bab VII.
15) Hidup bersama juga menyangkut komunikasi. Menurut maksud Tuhan dua
orang yang dipersatukan oleh Allah harus membagi segala sesuatu-tubuh
mereka, milik mereka, kemampuan dan persoalan mereka, cita-cita dan
keberhasilan, tetapi juga kegagalan dan penderitaan mereka. Karena suami-istri
Kristiani telah saling mengikat diri untuk seumur hidup “sampai kematian
memisahkan mereka berdua”, maka segala masalah-yang pada orang lain
menjadi alasan meminta cerai-harus diselesaikan bersama. Oleh karena itu,
segala “titik rawan” untuk suami-istri mesti dibicarakan bersama dan diputuskan
bersama. Misalnya saja mengenai hubungan dengan orang tua/mertua; family
lainnya; teman-tenan dan sahabat-sahabat (lama maupun baru); hubungan
dengan Tuhan; pelaksanaan penghayatan agama dalam keluarga dan Gereja;
urusan keuangan dan ekonomi ruamh tangga; hobi, rekerasi dan waktu luang;
jumlah dan jarak kelahiran anak; sikap dalam pendidikan anak; pembagian tugas
dalam urusan rumah tangga; dan sejuta hal lain menyangkut kehidupan berumah
tangga.

Ulasan diatas dapat diringkas dalam dua prinsip


Tugas suami-istri adalah “menjadi satu” karena telah “dipersatukan oleh
Allah”. Maka dari itu:
a. Segala apa yang mendukung, menunjang, menunjukan, memperkuat,
memesrakan dan mengembangkan KESATUAN dan CINTA suami-isrti
adalah BAIK (termasuk hubungan seks dan segala seninya). Dasarnya adalah
kasih yang diwujudkan dan dijabarkan dalam situasi konkret.
b. Segala apa yang merusak, melanggar, mengancam, merongrong atau
meretakan kesatuan itu adalah TIDAK BAIK.
PERTANYAAN UNTUK DISKUSI

1. Bagaimana perkawinan yang “baik” menurut anda?


Sebutkan satu keluarga yang anda kenal yang Anda sebut sungguh-sungguh baik. Apa
kira-kira rahasianya?
2. Apa artinya suami-istri “menjadi satu daging”? kiranya apa halangan terbesar untuk
sungguh-sungguh menjadi satu?
3. Apa artinya seorang pria harus “meninggalkan ayah-ibunya”?
4. Apa artinya seorang istri harus “tunduk” kepada suaminya?
5. Bandingkan dan rumuskan artinya: Kasih-Cinta-asmara-sayang-birahi-
persahabatan.
6. 1Kor 13 menyebutkan 9 sifat “kasih”. Perhatikan satu persatu dan berikan
penjelasan bagaimana Anda dapat menerapkan sikap kasih tersebit dalam
perkawinan dan keluarga anda. Bandingkan dengan Ef 5: 1-2.
7. Apa pokok pesan Tuhan dalam Ef 5:22-33?
8. Perintah apa yang diberikan Tuhan Yesus tentang “mengasihi sesama manusia”
dalam Yoh 13:35-35, Mrk 12:28-34, Mat 7:12, 1Yoh 4:12.

Anda mungkin juga menyukai