Anda di halaman 1dari 90

Untuk Kalangan Sendiri

TAFSIR PERJANJIAN BARU


Prinsip, Metode dan Langkah-langkah Penafsiran
[Buku Pegangan Kuliah Mahasiswa]
Oleh :

Pdt.S.Karo-karo, MTh, M.Pd

FKIP- UDA

MEDAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan, Materi Kuliah Tafsir PB ini dapat disusun sedemikian rupa, yang
kemudian dapat digunakan sebaagai “hand book”, bagi mahasiswa Jurusan PAK,
khususnya di prodi PAK RIAMA, Medan. Materi ini dipakai untuk kalangan sendiri dan
tidak untuk umum, namun dapat dibaca oleh siapapun untuk menambah wawasan
pengetahuan.

Belajar Tafsir PB merupakan kebutuhan bagi Mahasiswa Jurusan PAK sebagai bagian
dari Mata Kuliah Wajib. Dengan adanya materi ini semoga bermanfaat bagi Mahasiswa
khususnya dan pembaca umumnya. Bagaimana menjadi warga gereja yang baik, benar
dan bertanggungjawab kepada Tuhan dan gereja itu sendiri.

Tulisan ini dihimpun dari beberapa sumber lalu diedit dan disusun sedemikian
rupa menjadi sebuah bahan / materi kuliah yang kemudian sering disebut dengan
diktat. Sumber-sumber tersebut terlampir dibagian akhir tulisan ini.

Dengan sengaja di sini tidak dipakai istilah diktat, melainkan istilah BPKM (Buku
Pegangan Kuliah Mahasiswa); karena yang dibicarakan bukan tulisan yang akan
dikuliahkan saja, namun juga latihan /tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh
mahasiswa. Mahasiswa dituntut “bekerja” yaitu : berpikir, membandingkan,
menganalisa, dan terutama berlatih mengerjakan latihan-latihan. Dengan bekerja aktif,
maka pencapian hasil akan lebih maksimal.

Tentu, BPKM ini bukanlah buku Pelajaran yang “perfect” melainkan masih perlu
untuk terus dikembangkan dan dimatangkan yang nantinya dapat menjadi sebuah buku
ilmiah untuk layak untuk dipublikasikan. Oleh karenanya mohon masukan dan kritikan
dan doa untuk progres ke depan. Harapan kami kiranya para mahasiswa dan pembaca
materi ini dapat menjadi “lilin kecil” di tengah kegelapan.

Semoga Tuhan Yesus memberkati para pembaca, jadilah kutu buku,


karena buku adalah gudang limu dan ilmu itu adalah modal meraih masa depan .
Syaloom. Tuhan memberkati

Medan, September 2022

Penyusun

Pdt.S.Karo-Karo,S.Th, M.Th, M.Pd


DAFTAR ISI
Ikhtisar Mata Kuliah...3
KATA PENGANTAR...1
BAB I ISTILAH, ARTI DAN PENJELASANPENAFSIRAN...4
A. Hermeneutika...4
B. Eksegese..5
C. Ekposisi..6
BAB II MENGAPA ALKITAB PERLU DITAFSIRKAN?..7
A. Natur Alkitab sebagai karya Ilahi – Insani...8
B. Adanya Gap antara penulis dan pembaca modern (masakini)...8
BAB III KECENDERUNGAN-KECENDERUNGAN (PENGARUH-PENGARUH) DALAM PENAFSIRAN..12
A. Dipengaruhi olehpresuposisi dan iman...12
B. Subjectivitas dan Objectivitas...19
C. Dipengaruhi oleh kondisi sekitar..21
BAB IV Syarat-Syarat(Kualifikasi) Seorang Penafsir...26
A. Sudah lahir baru...27
B. Memiliki sikap dan motivasi yang benar...27
C. Mohon penerangan dari Roh Kudus (Yoh 16:13)..29
BAB V PRINSIP-PRINSIP PENAFSIRAN...31
A. Prinsip-prinsip Penafsiran Umum...31
1. Menafsirkan Menurut Konteksnya...31
2. Menafsirkan / Mempelajari Menurut kata aslinya (Defenisinya)..33
3. Memahami Tata Bahasanya..36
4. Menangkap maksud / tujuan Penulisnya..39
5. Menafsirkan / mempelajari Latar Belakangnya...41
6. Menafsirkan Ayat Dengan Ayat Alkitab (Keseluruhan)..44
B. PRINSIP-PRINSI KHUSUS (1) ...47

1. Mempelajari Kata-kata Kiasan ....47


2. Memahami Bentuk Simbol-simbol...51
3. Memahami Bentuk Gambaran / Tipe....52
4. Menafsirkan / Mempelajari Tujuan Perumpamaan dan Alegori...52
5. Menafsirkan / Mempelajari Idiom-idiom Bahasa Ibrani...53
6. Menafsirkan / Mempelajari Bentuk Puisi...53
7. Menafsirkan / Mempelajari Nubuat...54
8. Menafsirkan / Mempelajari Doktrin...54
C. PRINSIP-PRINSIP KHUSUS (2)...55
BAB VI METODE-METODE PENAFSIRAN...58
A. Metode-Metode Penafsiran Yang Kurang Baik...58
B. Metode-Metode Penafsiran Yang baik ...62
❖ Langkah-langkah dan Latihan praktis Eksegesis (Gramatikal-historikal-
kontekstual...64
C. Metode-Metode Baru Analisis Literer (Narasi)..70
❖ Langkah-langkah dan Sistem Kerja Eksegese Narasi...90
BAB VII MENGENAL ALKITAB, TERJEMAHAAN DAN REFERENSI...93
Ikhtisar Mata Kuliah

Mata Kuliah ini membawa mahasiswa PAK untuk memahami : APA DAN
BAGAIMANA MENAFSIR ALKITAB (PB) DENGAN BAIK DAN BENAR. Pembahasan
mencakup : Istilah / pengertian, prinsip-prinsip, metode-metode dan langkah-
langkah Penafsian.

Tujuan
Diharapkan setelah mengikuti mata kuliah ini maka diharapkan mahasiswa dapat:
1. Memahami penjelasan tentang arti, defenisi dan tujuan penafsiran
2. Dapat menafsirkan dengan menerapkan metode dan langkah-langkah 50
50
penafsiran
3. Dapat membedakan metode-metode penafsiran yang baik dan kurang baik.
4. Memhami berbagai jenis karya sastra Alkitab (PB)
5. Memahami Jenis dan metode Terjemahan Alkitab
BAB I: ISTILAH, ARTI DAN
PENJELASAN PENAFSIRAN
Ada tiga istilah yang dipakai dalam penafsiran. Ketiga istilah itu sbb :
A.Hermeneutika

Kata Hermenneutika awalnya di ambil dari kata Hermes, yaitu nama dewa Yunani yang
tugasnya membawa berita-berita dari dewa-dewa kepada manusia / juru bicara dewa Zeus , yang
akhirnya digunakan untuk HERMENEUTIKA, ilmu penafsiran. Kata ἑρμηνεια - hermênia
berasal dari kata kerja ἑρμηνεuω - hermêneuô, yang berarti menafsirkan, menjelaskan dengan
kata-kata. Jangkauan arti : “menterjemahkan / berarti, (Mat. 1:23; Mar. 15:22, 34; Yoh. 1:38, 41-
42; 9:17; Kis. 4:36; 9:36; 13:8); “ menjelaskan “ (Luk. 24:27; Ibr. 5:11), dan “menafsirkan” (1
Kor. 12:30; 14:5, 13, 28). Tujuan utama dari hermeneutika adalah menggali apa maksud penulis
Alkitab yang sebenarnya. Praktek hermeneutika juga dikenal dengan istilah eksegesis, menggali
makna penulis, dan bukan eisegesis, memasukkan ide sendiri ke dalam Alkitab. Dengan
sederhana hermeneutika adalah Ilmu mengartikan atau menerjemahkan. Memang itu adalah
"Ilmu", tetapi juga, di dalam pengertian beberapa orang, dilihat sebagai "Seni" olehkarena
penerapannya memerlukan ketrampilan. Penerapan Hermeneutika dalam teori penafsiran dapat
dilihat beberapa karakteristik dijelaskan berikut ini:

a) Metode hermeneutika adalah metode penafsiran teks atau penafsiran kalimat sebagai
symbol. Materi pembahasannya meliputi dua sector yaitu pertama perenungan filsofis
tentang dasar-dasar dan syarat-syarat konstruksi pemahaman. Kedua pemahaman dan
penafsiran teks itu sndiri melalui media bahasa.
b) Metode hermeneutika adalah metode yang mendasarkan pada pengkompromian filsafat
dan kritik sastra. Memahami teks sastra, seni, agama atau sejarah adalah paya
memahami realitas melalui bahasa atau bentuk keindahan. Keberadaan bentuk ini
menjadikan proses pemahaman menjadi mungkin, fleksibel dan lestari.
c) Kalau bolehdikatakan bahwa kritik sastra bersifat normatif dan deskriptif maka metode
hermeneutik adalah metode pamungkas. Sebab yang di capai olehhermeneutic adalah
makna terdalam atau nilai dari suatu teks. Dan nilai ini tidak berada di belakang teks tapi
melanglang ke depan teks. Dengan demikian arti suatu teks menurut metode ini adalah
berkelanjutan dan senantiasa baru.
d) Metode hermeneutika adalah metode penafsiran individual tapi melebur dengan yang
lain. Sebab metode ini mengkompromikan antara historis dan ahistoris, antara individu
satu dengan individu yang lain, antara makna lahir dan makna yang tersembunyi.
e) Metode hermeneutika mempunyai 2 ciri utama, yaitu optimis dan liberal. Maksudnya
penafsir teks -dalam hermeneutika- tidak menganggap teks sebagai guru yang
memenjarakan penafsir, tapi penafsir mempunyai otoritas untuk memperlakukan teks.
Sementara itu, keoptimisan penafsir adalah karena ia prcaya ada nilai tersembunyi dalam
kandungan teks.
f) Metode hermeneutika bisa pula dikompromikan dengan ilmu fisika, sebab hermenutika
mendasarkan pada :
- Eksperimen terus menerus yang menjauhkan dari generalisasi sebagaimana pada teori
standarisasi –yang menerapkan pedoman-pedoman yang menyebabkan suatu teks bisa
atau tidak bisa diterima ; atau pada strukturalisme – yang mengembalikan semua teks
pada bingkai kaidah yang baku, atau pada dekonstruksisme –yang mengatakan bahwa
semua teks tidak mempunyai makna atau nilai yang bisa diterima.

- Intuisi pada hermeneutika bukan emosional bukan pula generalis. Tapi intuisi di sini
adalah pertanyaan kritis terus menerus tentang kebenaran suatu teks. Atau dengan kata
lain bahwa intuisi pada hermeneutika berawal dari dugaan-dugaan kasar menuju suatu
keyakinan.

- Kalau metode ilmiah mengungkap sesuatu dari ketidaktahuan, dan


memperolehkebenaran dari eksperimen. Maka metode hermeneutika tidak berangkat dari
satu standar yang paten dan mempeolehkebenaran dari eksperimen. Makna yang ingin
dicapai olehhermeneutic dari suatu teks bukan makna final. Setiap analisa Hermeneutic
pada akhirnya selalu menyisakan pertanyaan-pertanyaan baru. Garapan Hermenutika jauh
lebih luas dari pada si penafsir itu, tapi justru ini memacu penafsir untuk berlomba-
lomba, bersungguh-sungguh untuk menemukan makna terdalam dari teks.

B. Eksegesis

Kata ini berasal dari bahasa Yunani exēgeomai. Secara etimologis kata ini
berarti menarik (sesuatu) keluar ---menraik ke luar arti yang sebenarnya dalam
teks.Lawan katanya εισηγησις (eisēgēsis) yang berarti memasukkan arti (dari luar)
ke dalam teks. Exēgeomai diartikan : menunjukkan (Im.14:57), menceritakan (
Hak. 7:13; 2 Raj. 8:5; Luk. 24:35; Kis. 15:14; 21:19), memperbincangkan (1 Mak.
3:26), melaporkan ( 2Mak. 2:13), mengakui (Ams. 28:13), menyatakan (Ay. 12:8;
28:27; Yoh. 1:18), menjelaskan (Kis. 10:1).

Jadi eksegesis dapat didefenisikan “menjelaskan suatu kata, kalimat, paragraf, atau
keseluruhan kitab dengan memimpin keluar pengertian yang sebenarnya (seperti yang
dimaksud si penulis) suatu teks”. Hal ini paling baik dilakukan dengan kembali pada
sumber mula-mula suatu teks dalam bahasa aslinya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tujuan eksegesis adalah mencari tahu isi dan
maksud si penulis dalam sebuah teks dengan memperhatikan corak gaya bahasa yang
digunakan. Isi dan maksud juga berhubungan dengan maksud si penulis. Dalam konteks
Alkitab, peran dan konteks yang ingin disampaikan olehRoh Kudus melalui kepribadian,
gaya bahasa dan keadaan masing-masing penulis juga perlu diperhatikan. Bagaimanapun
maksud si penulis hanyalah dibatasi olehkebersamaan pengertian yang ingin ia
sampaikan kepada para pembaca mula-mulanya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebaiknya ada kesamaan bagi si penafsir dengan si
penulis dalam beberapa aspek, diantaranya:
a. Memiliki teks asli atau salinan-salinan yang lebih mendekati yang asli. Dengan
demikian diperlukan kritik teks.
b. Memahami kritik sastra, yaitu studi tata bahasa, gaya bahasa dan pengertian kata
c. Menyelami sejarah si penulis. (Studi latar belakang sejarah, geografis dan
kebudayaaan). Rainer Scheunemann, Panduan Lengkap Penafsian Alkitab, Andi,
Yogyakarta, 2009, p. 12).

C.Eksposisi

Eksposisi berasal dari bahasa Latin exponere. Secara etimologis: ex= keluar +
ponere/ posit = meletakkan ---tindakan meletakkan sesuatu atau mengeluarkan,
keluar dari teks.

Dari sisi arti ketiga istilah ini sulit dibedakan karena pengartiannya hampir sama. Dari
penjelasan ketiga istilah ini, maka dapat disimpulkan bahwa penafsiran adalah tindakan
mengeluarkan/ menjelaskan teks untuk ditafsirkan. Namun dalam pemakaian dunia
teologi (secara umum) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

HERMENEUTIK

(prinsip-prinsip penafsiran » bersifat teoritis)

EKSEGESE

(penerapan prinsip-prinsip tersebutbersifat praktis dan detil

Menyelidiki “What did this text mean?” (masa lampau)

EKPOSISI

Penyusunan hasil eksegese secara berurutan, kata perkata


BAB II. MENGAPA ALKITAB
PERLU DITAFSIRKAN?
Pertanyaan paling utama, di dalam bagian ini adalah mengapa Alkitab perlu ditafsirkan?
Kalau kita mau bersikap jujur terhadap diri sendiri, maka setiap hari kita mau tidak mau
menafsirkan sesuatu, baik itu buku, perkataan seseorang, dll. Di dalam jurusan Sastra Inggris,
umumnyamempelajari pelajaran Discourse Analysis, sebuah analisa wacana, baik dalam bentuk
perkataan, bacaan, dll. Di dalam percakapan sekalipun, kita sering mengalami
miscommunication, diakibatkan kekurangmengertian kita di dalam menanggapi perkataan orang
lain. Kekurangmengertian kita itu pasti akibat dari tafsiran kita akan perkataan orang lain. Di
dalam pelajaran tersebut, dipelajari tentang Speech Act yang dibagi menjadi tiga hal, pertama,
Locutionary Act, kedua, Illocutionary Act dan ketiga Perlocutionary Act. Lalu, juga ada istilah
Illocutionary Force yang berarti maksud orang yang berbicara agar orang lain dapat mengerti
dan meresponi apa yang dikatakan olehsi pembicara dengan tepat.

Misalnya, Ani berkata kepada

Budi, “Saya lapar.” Ini dikategorikan sebagai Illocutionary Act yang berarti bahwa perkataan
Ani tidak sedang memberikan informasi kepada Budi bahwa Ani lapar, tetapi ada maksud Ani
dalam mengatakan hal tersebut, yaitu supaya Budi membelikan dia makanan atau menyiapkan
makanan bagi Ani. Maksud Ani inilah yang disebut Illocutionary Force. Kalau di dalam
kehidupan sehari-hari, kita menafsirkan sesuatu dan bisa terjadi miscommunication, maka
Alkitab pun mau tidak mau tidak lepas dari penafsiran ketika kita membacanya. Lalu, apakah
tafsiran kita terhadap Alkitab itu bisa salah ? Tentu bisa, seperti yang dikemukakan di dalam
pelajaran Discourse Analysis tadi khususnya contoh Ani dan Budi di atas, di mana Budi bisa saja
salah menafsirkan perkataan Ani lalu hanya mengangguk-angguk saja tanpa meresponi perkataan
Ani dengan tepat. Kemudian, bagaimana supaya tidak terjadi miscommunication ? Hanya satu,
yaitu bertanya langsung kepada yang berbicara (dalam hal ini, Ani) agar pendengar (dalam hal
ini, Budi) dapat mengerti yang diucapkan olehyang berbicara. Demikian pula, supaya tidak
terjadi misinterpretation terhadap Alkitab, kita perlu memahami kaidah-kaidah tafsiran Alkitab.
Alkitab adalah Firman Allah yang diwahyukan langsung dari Allah melalui sarana para nabi
dan rasul-Nya. KeKristenan mempercayai ketidakbersalahan Alkitab baik dari segi sejarah
maupun pesan (inerrancy and infallibility of the Bible.) di dalam naskah asli/autographanya.
Mengapa harus naskah aslinya tidak bersalah ? Karena naskah asli itu yang asli langsung
diwahyukan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya. Lalu, apakah berarti terjemahan-terjemahan
yang kita pakai sekarang mengandung kesalahan dan tidak dapat dipercaya seperti naskah
aslinya ? Kita percaya bahwa naskah asli Alkitab sudah tidak ada, mengapa ? Itu adalah
kedaulatan Allah yang mengizinkan segala sesuatu terjadi. Tetapi kalau mau ditafsirkan, naskah
asli Alkitab sudah tidak ada, mungkin ada kedaulatan Allah sengaja membiarkannya dengan
maksud agar orang Kristen tidak memberhalakan naskah asli tersebut, karena manusia cenderung
mengeramatkan hal-hal yang dianggap “suci” (misalnya, kain kafan Tuhan Yesus dikeramatkan,
lalu tempat Tuhan Yesus dilahirkan di Betlehem dikeramatkan dan dibangun gereja, dll), padahal
itu tidak sesuai dengan Alkitab. Memberhalakan sesuatu atau menganggap sesuatu yang “suci”
sekalipun sebagai “ilah” itu melanggar Titah Pertama di dalam Dasa Titah (10 Perintah Allah)
yang mengatakan, “Jangan menyembah ilah-ilah lain. Sembahlah Aku saja.” (Keluaran 20:3 ;
Bahasa Indonesia Sehari-hari).Karena naskah asli kita sudah tidak ada dan yang ada pada kita
sekarang hanyalah naskah-naskah terjemahan Alkitab, maka kita perlu mengerti satu prinsip
yaitu ketika Alkitab diterjemahkan dari bahasa Ibrani (PL) dan Yunani (PB) ke dalam bahasa-
bahasa lokal, maka pasti ada suatu gap bahasa, kebudayaan, dll. Olehkarenanya agar terhindar
dari miskomunikasi, seharusnya pahamilah “makna” dan “maksud” teks. Orang awam sering
hanya fokus pada maksud teks, sedangkan makna teks diabaikan. Namun bagi kaum rohaniawan
sering fokus hanya pada makna teks dan mengabaikan maksud teks. Olehkarena itu kedua porsi
tersebut harus berjalan beriring dan seimbang. Dan perlu dicatat “makna” harus jadi patokan.

A.NaturAlkitab sebagai karya Ilahi – insani

1. Karya ilahi, Alkitab adalah Firman Allah yang diwahyukan langsung dari Allah
melalui sarana para nabi dan rasul-Nya (2 Tim. 3:16; 2 Pet. 1:20-21; 3:16)
2. Karya insani: Allah berbicara melalui manusia, dengan bahasa manusia dan dalam
konteks historis tertentu.

Keduanya (sifat ilahi dan manusiawi) harus secara seimbang dipahami, karena Alkitab itu
adalah firman Allah yang diberikan dalam bahasa manusia melalui sejarah. Yang sering
terjadi adalah ada kebanyakan orang melihat Alkitab dari sisi sekumpulan perintah Tuhan
secara langsung/ Sebaliknya juga ada yang melihat dari sisi manusiawinya. (Rainer
Scheunemann, p.4)

B.Adanya Gap antara penulis dan pembaca modern (masakini)


1. Gap Bahasa (Linguistik)

Salah satu masalah utama yang kita temui adalah bahwa Alkitab pada mulanya ditulis
dalam 3 macam bahasa yang bukan bahasa kita, bahkan adalah bahasa yang secara umum sudah
tidak dipakai lagi, yaitu: Bahasa Ibrani Kuno, Kaldea Kuno (Aram) dan Yunani Koine. Dan
memang kita ketahui bahwa Alkitab pertama ditulis bukan untuk orang-orang modern sekarang,
jadi inilah gap pertama yang harus dihadapi, gap Linguistik.

Untuk kita mempelajari sendiri bahasa-bahasa kuno tsb. sehingga bisa membaca dan
memahami manuskrip-manuskrip Alkitab kuno tsb. tidaklah mungkin. Tapi kita bersyukur
bahwa ada orang-orang yang telah khusus belajar bahasa-bahasa tsb. sehingga memungkinkan
kita mempelajarinya dengan cara yang jauh lebih mudah. Telah tersedia kamus-kamus bahasa
(leksikon) yang dapat menolong kita mempelajari kosa kata bahasa asli Alkitab yang kita cari,
khususnya bila disertai dengan penjelasan tentang penggunaan tense yang dipakai. Juga telah
cukup tersedia (walaupun dalam bahasa Inggris) buku-buku yang menguraikan tentang arti dan
makna kata-kata/frasa/kalimat atau ayat-ayat penting Alkitab yang diambil dari bahasa aslinya.
Hal ini sangat menolong karena banyak kata/istilah-istilah yang sulit kita ketahui makna/artinya
jika tidak dimengerti dalam bahasa aslinya.
Misalnya, di dalam bahasa Yunani, kata “kebenaran” diartikan aletheia (=Truth) dan
dikaiosune? (=Righteousness), sedangkan di dalam bahasa Indonesia, kata dikaiosune? (dalam
Perjanjian Baru) mayoritas diterjemahan kebenaran, 9 ayat diterjemahkan sebagai keadilan
(Kisah Para Rasul 17:31; Roma 3:25, 26; Efesus 5:9; 1 Timotius 6:11 ; 2 Timotius 2:22; Ibrani
1:9; 2 Petrus 1:1; dan Wahyu 19:11) dan 1 ayat diterjemahkan sebagai kebaikan/yang baik (Titus
3:5). Sedangkan kata aletheia terdapat di dalam 97 ayat Alkitab Perjanjian Baru, hanya 8 ayat
Alkitab di dalam PB yang tidak diterjemahkan sebagai kebenaran, di antaranya : 4 ayat di dalam
PB diterjemahkan sebagai jujur (Matius 22:16; Markus 12:14; Roma 2:2; Filipi 1:18), 3 ayat di
dalam PB diterjemahkan sebagai sungguh/sesungguhnya (Lukas 22:59; Kisah 4:27; 10:34) dan 1
ayat di dalam PB diterjemahkan sebagai tulus (Markus 5:33). Kata “kebenaran” di dalam bahasa
Indonesia bisa memiliki begitu banyak arti di dalam bahasa Yunani, demikian pula kata “kasih”
yang dalam bahasa Yunani memiliki 4 kata yang berbeda, yaitu Agape, Philia, Storge dan Eros.
Kalau kita tidak menyelidiki Alkitab sampai ke bahasa aslinya, kita akan kehilangan begitu
banyak berkat Firman Tuhan yang dilimpahkan-Nya kepada kita. Banyak orang Kristen mengira
bahwa studi Alkitab sampai ke bahasa asli atau menggunakan terjemahan bahasa lain (misalnya,
Inggris, Mandarin, dll) adalah terlalu akademis. Anggapan ini adalah anggapan yang sama sekali
tidak bertanggungjawab.

2. Gap Budaya.

Budaya sekitar penulisan Alkitab sangat berbeda dengan konteks budaya modern para
pembacanya sekarang. Olehkarena itu gap budaya ini perlu dijembatani dengan mempelajari
budaya, khususnya budaya saat para penulis Alkitab hidup. Namun ini bukan masalah yang
mudah karena ada kira-kira 40 penulis Alkitab yang hidup dalam budaya yang berbeda satu
dengan yang lain.

Ada buku-buku yang dapat membantu kita mempelajari budaya Alkitab, misalnya
ensiklopedia Alkitab, dan buku-buku pengantar Alkitab. Disana kita bisa dapatkan informasi
tentang cara-cara tertentu mereka melangsungkan kehidupan bermasyarakat, misalnya cara
mereka bermata pencaharian, bagaimana mereka bersosialisasi, berkeluarga, melakukan
penyembahan atau menjalankan hukum adat istiadat. Juga hal-hal mengenai perumahan,
makanan, pakaian, alat-alat bercocok tanam, senjata perang, alat transportasi, benda-benda seni,
alat-alat penyembahan, alat-alat masak, dll.

Ketika di dalam Roma 16:16, Paulus berkata, “Bersalam-salamlah kamu dengan cium kudus.
Salam kepada kamu dari semua jemaat Kristus.”, maka beberapa kelompok sekte sesat di dalam
“keKristenan”, yaitu children of “God” menafsirkan ayat ini lalu diterapkan ke dalam anggota
jemaat gereja. Mengapa Paulus memerintahkan jemaat Roma untuk saling berciuman kudus ?
Apakah ini budaya free-sex ala Alkitab ?TIDAK ! Kata holy kiss diterjemahkan secara harafiah
sebagai cium kudus, tetapi kata kiss di sini dari bahasa Yunani phile.?ma yang akar katanya dari
phileo? yang merupakan kasih persaudaraan. Jadi, cium kudus ini berarti cium sebagai tanda
persaudaraan, bukan berdasarkan kasih birahi atau eros. Lalu, ketika Paulus berkata kepada
Timotius di dalam 1 Timotius 5:23, “Janganlah lagi minum air saja, melainkan tambahkanlah
anggur sedikit, berhubung pencernaanmu terganggu dan tubuhmu sering lemah.”, apakah itu
berarti bahwa anggur diperintahkan Paulus untuk diminum terus-menerus olehTimotius dan kita
juga? TIDAK ! Pada waktu itu, anggur dianggap sebagai obat. Begitu pula halnya dengan kata
“minyak” di dalam Yakobus 5:14, “Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia
memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan
minyak dalam nama Tuhan.” yang jangan sembarangan ditafsirkan bahwa itu adalah minyak
urapan seperti yang digembar-gemborkan olehPariadji/Tiberias. Kata “minyak” di sini dalam
bahasa Yunaninya elaion berarti olive oil atau minyak zaitun dan minyak ini adalah sebagai
obat. Itu adalah budaya setempat, jangan dipaksakan ke dalam budaya lain, termasuk Indonesia,
lalu mengoleskan sembarangan minyak, yang penting minyak menurut Alkitab, itu salah.
Kemudian, kata “Kerajaan Allah” di dalam Injil Matius hanya digunakan sebanyak 6x,
sedangkan kata “Kerajaan Surga” dipakai sebanyak 34x di dalam Injil Matius (menurut Alkitab
terjemahan baru lembaga Alkitab Indonesia/LAI), mengapa ? Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D.
di dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman mengungkapkan, “Alasannya, orang-orang Yahudi
yang berusaha untuk menghindari nama Allah, telah memakai kata sorga sebagai ganti nama
Allah ; ...” (Hoekema, 2004, p 57). Kalau kita tidak mengerti perbedaan kedua kata ini, kita tidak
akan mengerti keseluruhan berita utama di dalam Injil Matius yang menekankan Kristus adalah
Raja dan IA merekrut kita sebagai umat pilihan-Nya untuk menjadi anggota warga Kerajaan
Surga yang melayani-Nya. Contoh lain, di dalam 1 Korintus 14:34, “Sama seperti dalam semua
Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-
pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus
menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga olehhukum Taurat.” Seorang teman “Kristen”
saya menafsirkan ayat ini dan tanpa pikir panjang langsung berkomentar bahwa Paulus itu
melakukan diskriminasi. Inilah akibat tidak mempelajari gap budaya di dalam Alkitab.
Perempuan tidak bolehberbicara di dalam surat Korintus ini dikarenakan di dalam kota Korintus,
perempuan diidentikkan dengan pelacur (sebagian besar orang yang bertobat itu berasal dari latar
belakang kafir/penyembah berhala—Handbook to the Bible,” 2002), karena banyak perempuan
bekerja sebagai pelacur. Olehkarena itu, Paulus melarang perempuan berbicara.

3. Gap Latar Belakang (Historis)

Konteks sejarah penulis Alkitab adalah berkisar dari jaman Musa sampai Yohanes, yaitu
kira-kira 16 abad. Dibandingkan dengan pembaca Alkitab yang hidup pada jaman modern, maka
ada gap yang sangat besar. Untuk mempelajari tentang sejarah kita bisa dibantu dengan banyak
buku-buku sejarah Alkitab (PL dan PB), dimana didalamnya dapat kita pelajari misalnya tentang
peristiwa-peristiwa dan keadaan (latar belakang politik, ekonomi, agama) yang mempengaruhi
jalannya sejarah atau tindakan para tokoh-tokoh Alkitab.

Semua kitab di dalam Alkitab ketika ditulis pasti memiliki latar belakang tertentu. Kalau kita
tidak memahami dengan jelas, latar belakang setiap kitab, maka kita akan kehilangan makna
aslinya yang akhirnya itu juga tidak membawa berkat bagi kita sebagai pembaca di masa
sekarang. Seringkali banyak orang Kristen menganggap kitab-kitab di dalam Alkitab ditulis
untuk kita di masa sekarang, lalu mereka mengabaikan konteks dan latar belakang yang ada.
Olehkarena itu, Alkitab perlu ditafsirkan karena adanya gap latar belakang antara penulis kitab di
dalam Alkitab dengan kita sebagai pembaca di masa sekarang. Misalnya, ketika Paulus di dalam
Roma 10:13, “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.”
Banyak hamba Tuhan Injili memakai ayat ini ketika memberitakan Injil dan menyuruh orang
yang diinjili untuk berseru kepada nama Tuhan saja, nanti orang tersebut akan diselamatkan. Ini
akibat dari mengabaikan latar belakang di dalam kitab Roma. Kecenderungan banyak hamba
Tuhan yang dipengaruhi olehArminianisme/mayoritas theologia Injili adalah mengabaikan latar
belakang yang ada dan langsung menyampaikan relevansi Alkitab terhadap kehidupan masa
sekarang. Ini kesalahan di dalam penafsiran Alkitab. Kembali, Kitab Roma ditulis olehRasul
Paulus kepada jemaat di Roma yang sedang mengalami penganiayaan olehRomawi yang pada
waktu itu melarang orang Kristen menyembah Allah selain Kaisar Romawi, jika melanggar, akan
dihukum mati. Olehkarena itu, Paulus menyerukan kepada jemaat di Roma bahwa barangsiapa
yang berseru kepada Tuhan, tentu dengan resiko mati, akan diselamatkan. Nah, kalau ayat ini
dilepaskan dari konteksnya, akan berakibat fatal, lalu Injil yang diberitakan adalah “injil”
murahan, seperti yang banyak diberitakan di dalam banyak gereja kontemporer yang pop di
mana banyak “injil” palsu yang diberitakan, misalnya, yang miskin setelah percaya kepada
“Kristus” pasti kaya, dll.

4. Gap Geografis

Konteks geografi jaman Alkitab sangat asing bagi pembaca modern sekarang. Tetapi ini
penting dipelajari karena tempat dimana peristiwa-peristiwa dan penulisan-penulisan terjadi
dapat memberikan gambaran yang lebih tepat tentang arti peristiwa yang terjadi. Satu kendala
besar adalah perubahan yang cukup drastis antara keadaan waktu lampau dan sekarang sehingga
kadang-kadang kita sudah tidak mempunyai informasi lagi tentang tempat-tempat itu.Buku-buku
yang dapat membantu kita mengenal keadaan geografis penulisan Alkitab adalah buku-buku
hasil penelitian arkeologi tentang kota-kota, negara-negara dan bangsa-bangsa, juga tentang
iklim, susunan (formasi) tanah, laut-laut, sungai-sungai, tanaman dan jenis-jenis binatang pada
jaman Alkitab. Selain penemuan arkeologis, kita juga dapat dibantu dengan peta-peta kuno, foto-
foto dan membandingkan dengan peta modern
BAB III : KECENDERUNGAN-
KECENDERUNGAN (PENGARUH-
PENGARUH) DALAM PENAFSIRAN
Penafsiran Alkitab atau lebih dikenal dengan hermeneutika Alkitab bukanlah salah satu bidang di
dalam theologia sistematika yang diajarkan di sekolah theologia yang berdiri sendiri, tetapi
hermeneutika ini pasti berkaitan dengan semua theologia sistematika lainnya, misalnya Doktrin
Allah, Doktrin Alkitab, Doktrin Kristus, dll dan tentu dipengaruhi juga olehberbagai hal dalam
diri manusia sebagai si penafsir Alkitab. Olehkarena itu, marilah kita memperhatikan
kecenderungan-kecenderungan yang sering terjadi dalam menafsirkan Alkitab.

A. Dipengaruhi oleh Presuposisi dan Iman

Presuposisi atau praanggapan adalah suatu pola pikir manusia sebelum dia memiliki anggapan
tertentu. Misalnya, sebelum dia menyatakan bahwa X adalah seorang pencuri, mungkin sekali
dia sudah memiliki presuposisi yang mengakibatkan dia berhati-hati dalam memperhatikan si X.
Jadi, presuposisi seseorang menentukan tindakan selanjutnya dari orang tersebut. Begitu pula, di
dalam menafsirkan Alkitab, pengaruh presuposisi ini tidak bisa dilepaskan, karena presuposisi
ini nantinya pasti mengakibatkan si penafsir Alkitab dapat menafsir Alkitab dengan baik atau
malahan buruk dan menyesatkan.

Di dalam istilah atau konsep presuposisi ini, unsur iman termasuk di dalamnya. Konsep iman
yang dari titik awal sudah tidak beres, maka seluruh penafsiran Alkitab yang dihasilkannya pun
tidak beres, meskipun mengutip ribuan ayat Alkitab. Perhatikan, kutipan ribuan ayat Alkitab
tidak menjamin seorang pengkhotbah atau hamba Tuhan benar-benar mengerti presuposisi dasar
Alkitab sesungguhnya, mungkin sekali si pengkhotbah ini kurang persiapan di dalam berkhotbah
lalu mengutip banyak ayat Alkitab di luar konteks aslinya. Kembali, mengapa iman menjadi
kriteria pertama dalam mempengaruhi penafsiran Alkitab ? Karena iman itu adalah anugerah
Allah kepada umat pilihan-Nya. Iman sejati pasti menentukan penafsiran Alkitab yang beres.
Tetapi masalahnya, iman itu sendiri kadang kala disalahmengerti sebagai tindakan manusia,
sehingga dari konsep iman yang salah pasti mengakibatkan konsep penafsiran Alkitab yang salah
(metode eisegese yang berarti mencocok-cocokkan ide manusia dengan dukungan ayat Alkitab).
Mari kita selidiki dengan teliti kaitan antara doktrin Kristen di dalam theologia sistematika
dengan konsep penafsiran Alkitab

Pertama, Doktrin Alkitab.

Penafsiran Alkitab tentu tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan akan doktrin Alkitab si penafsir
Alkitab. Misalnya, seorang yang mempercayai ketidakbersalahan Alkitab dalam naskah
asli/autographanya, maka si penafsir Alkitab akan memandang Alkitab sebagai satu-kesatuan
yang menyeluruh, sehingga bagian Alkitab yang tidak seberapa jelas di dalam kitab tertentu akan
dijelaskan di dalam bagian kitab lainnya sehingga membentuk totalitas Alkitab yang dapat
dipercaya keotentikannya. Sebaliknya, jika di dalam diri si penafsir Alkitab, timbul suatu
keraguan akan ketidakbersalahan Alkitab, lalu mempercayai bahwa Alkitab itu sepenuhnya
karya manusia dan tidak diinspirasikan Allah (pandangan “theologia” liberal), maka sudah tentu
si penafsir Alkitab ini akan menganggap semua data di Alkitab khususnya berkaitan dengan
kelahiran Anak Dara Maria, hal-hal supranatural yang diberitakan oleh Alkitab, dll adalah
karangan manusia belaka. Misalnya, Yesus memberi makan 5000 0rangketika di dalam Alkitab
diceritakan bahwa Musa membelah Laut Teberau, dan lautnya kering, maka para penafsir
Alkitab yang liberal akan mengartikannya dengan menggunakan rumus-rumus fisika yang pada
akhirnya menolak terjadinya hal supranatural tersebut. Lain pula halnya, ketika si penafsir
Alkitab memiliki kepercayaan bahwa Alkitab itu bukan firman Allah, tetapi berisi firman Allah
(pandangan theologia Neo-Orthodoks dari Karl Barth dan Emil Brunner) yang mengajarkan
bahwa Alkitab hanya salah satu kunci manusia memahami firman Allah, yang penting adalah
pengalaman pribadi dalam mendengar suara Allah. Pandangan ini akan mengakibatkan si
penafsir Alkitab menganggap Alkitab itu hanya salah satu firman Allah dan yang penting
baginya adalah pengalaman pribadi mendengar suara Allah. Tidaklah heran, banyak gereja
kontemporer yang pop saat ini dipengaruhi olehtheologia Neo-Orthodoks yang muncul setelah
Perang Dunia I, lalu menganggap bahwa Alkitab itu tidak perlu ditafsirkan dengan metode yang
sulit-sulit, karena Alkitab itu bukan buku akademis, sehingga marilah masing-masing orang
dengan pengalaman pribadinya menafsirkan Alkitab. Meskipun pernyataan ini tidak berani
diungkapkan oleh mereka, tetapi secara implisit mereka mengakui dengan bulat di samping
mengakui ketidakbersalahan Alkitab secara akademis dan perkataan. Seorang apologet Protestant
ternama, Dr. Cornelius Van Til di dalam bukunya The Defense of the Faith mengatakan bahwa
banyak theolog Injili mempercayai Alkitab itu firman Allah, tetapi sayangnya mereka tidak
benar-benar mempercayainya, lalu mulai membuktikan keberadaan Allah bukan dari Alkitab,
tetapi dari bukti-bukti ilmiah dan rasio manusia. Lalu, tidak heran ketika Mazmur 1:3 bisa
ditafsirkan seenaknya lalu mengajarkan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan pasti berhasil.
Ini adalah akibat dari kepercayaan Neo-Orthodoks yang dimodernkan olehbanyak gereja
kontemporer yang pop yang tidak memperhatikan kaidah penafsiran Alkitab.
Kedua, Doktrin Allah.

Setelah penafsiran Alkitab berkaitan dengan doktrin Alkitab, maka hermeneutika pun berkaitan
juga dengan doktrin Allah. Theologia Protestant yang dipengaruhi olehJohn Calvin menekankan
akan kedaulatan Allah (the Sovereignty of God), Allah yang berada di dalam diri-Nya sendiri,
Allah yang tidak bergantung pada apa dan siapapun, Allah yang tidak berubah, dll. Iman sangat
menentukan sekali terhadap metode penafsiran Alkitab yang lebih mendekati Alkitab (metode
eksegese). Kedaulatan Allah yang dipercaya akan sangat menentukan dan memimpin arah
penafsiran Alkitab. Misalnya, ketika Kejadian 6:6, Allah bersabda, “maka menyesallah TUHAN,
bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.”, yang
menekankan kedaulatan Allah akan menafsirkan dan mengajarkan bahwa Allah itu adalah Allah
yang Berdaulat sehingga Ia tak mungkin menyesal (lalu “mengubah” rencana yang sudah
ditetapkan-Nya), maka ketika ayat ini berkata, “maka menyesallah TUHAN”, maka
sesungguhnya perkataan ini dimengerti dalam cara pandang manusia, bukan Tuhan. Kalau kita
memperhatikan tafsiran ini, maka konsep ini akan sinkron dengan keseluruhan bagian Alkitab
lainnya (misalnya, Mazmur 93:2, dll). Sedangkan para penganut theologia Arminian yang sama
sekali menolak kedaulatan Allah dan lebih menekankan kehendak bebas manusia, ketika
membaca Kejadian 6:6 di atas, lalu menafsirkan bahwa Allah itu dapat mengubah rencana-Nya
ketika manusia gagal mematuhi-Nya. Masalah yang selanjutnya terjadi, presuposisi mereka
dengan mudah dapat dijatuhkan, ketika Mazmur 93:2 berkata, “takhta-Mu tegak sejak dahulu
kala, dari kekal Engkau ada.” Kata “kekal” tidak dapat diartikan lain, kecuali selama-lamanya
dan tidak berubah. Kalau Allah itu adalah Allah yang kekal, apakah Ia dapat mengubah rencana-
Nya yang telah Ia tetapkan sebelum dunia dijadikan ? Kalau Allah yang kekal dapat mengubah
rencana-Nya, lalu apa bedanya Allah yang adalah Pencipta dengan manusia sebagai ciptaan-Nya
? Ini suatu ketidakmungkinan dan kesalahan paradigma di dalam bertheologia dan memahami
Alkitab. Di sini, kegagalan sangat fatal dari para penganut theologia Arminian (kebanyakan
Injili) dalam bertheologia secara mendasar dengan tidak membedakan secara kualitas antara
Allah sebagai Pencipta yang tidak terbatas (kekal) dan manusia sebagai ciptaan yang terbatas.
Lalu, doktrin Allah ini akan membuat jalur perbedaan yang sangat tajam antara para penganut
theologia Protestant yang menekankan supremasi Allah dan penundukan manusia dengan para
penganut theologia Arminian yang sama-sama mengagungkan supremasi Allah dan manusia
(meskipun tidak secara eksplisit mereka ungkapkan). Para penganut theologia Protestant yang
menekankan kedaulatan Allah akan melihat seluruh bagian Alkitab sebagai bagian yang Kristo-
sentris (berpusat kepada Kristus), sehingga manusia harus taat mutlak kepada-Nya. Ini
ditegaskan di dalam jawaban pertanyaan nomer satu dalam Katekismus Singkat Westminster
(salah satu pengakuan iman Protestant) yang berkata, “Tujuan utama manusia adalah
memuliakan Allah dan menikmati-Nya selama-lamanya.” (Meade : 2004, p. 1) Meskipun Rick
Warren di dalam bukunya The Purpose Driven Life mengungkapkan hal yang sama dengan
konsep Protestant ini, tetapi jika kita terus meneliti satu per satu, maka dapat disimpulkan bahwa
buku ini bukan buku yang berdasarkan sentralitas Alkitab dan kedaulatan Allah, tetapi lebih ke
arah human-centered, meskipun Warren menyangkali pernyataan ini. Sebaliknya, konsep
theologia Arminian yang human-centered sudah kelihatan dari cara penafsiran Alkitabnya yang
mencari-cari ayat-ayat Alkitab sekehendak hatinya cenderung kurang memperhatikan
konteksnya untuk mendukung bahwa manusia memiliki “supremasi” untuk menolak atau
menerima anugerah Allah. Misalnya, banyak theolog Injili dengan aliran theologia Arminian
yang dianutnya memahami Alkitab bukan dari presuposisi kedaulatan Allah, tetapi kehendak
bebas manusia, sehingga meskipun jelas-jelas Alkitab mengajarkan tentang anugerah Allah,
mereka pasti menafsirkannya dengan tetap menekankan kehendak bebas manusia, contoh,
meskipun Allah memberikan anugerah kepada manusia, manusia tetap harus meresponinya,
karena kalau tidak, manusia tersebut tidak dapat diselamatkan. Inilah gaya penafsiran Alkitab
yang keliru. Pandangan theologia Arminian ini diadaptasi dari konsep pemikiran Semi-
Pelagianisme yang merupakan “jalan tengah” dari ajaran Pelagius (yang mengajarkan bahwa
manusia dilahirkan tanpa dosa) dan Augustinus (manusia dilahirkan dalam keadaan berdosa).
Bapa Gereja Augustinus telah lama berperang melawan Pelagianisme dan Semi-Pelagianisme,
tetapi rupa-rupanya humanisme terus berjaya, dan sampailah kepada paham Arminianisme.

Ketiga, doktrin keselamatan (Soteriologi).

Doktrin keselamatan dapat mempengaruhi posisi penafsiran Alkitab seseorang. Misalnya,


seorang penganut theologia Protestant yang memegang kepercayaan bahwa anak-anak Tuhan
sejati tidak mungkin kehilangan keselamatannya dengan hanya mengerti keseluruhan Alkitab
lebih teliti dan bertanggungjawab. Yohanes 3:16 ; 10:27-29 ; Roma 8:33-35 adalah bagian-
bagian Alkitab yang mengajarkan secara ketat akan kepastian jaminan Kristen tentang
keselamatan (tanpa mengabaikan konteks aslinya). Sedangkan para penganut theologia Arminian
dan Katolik Roma yang mempercayai perbuatan baik lebih penting daripada iman akan mengutip
ayat-ayat Alkitab menurut kehendak mereka untuk mendukung ajaran mereka.

Keempat, doktrin Kristus (Kristologi).

Kristologi juga dapat mempengaruhi penafsiran Alkitab. Misalnya, seorang penganut theologia
Reformasi dan Protestant yang menganut paham dwi-natur sifat Kristus, yaitu 100% Allah dan
100% manusia akan menafsirkan Alkitab dengan kedua pandangan ini. Dan hal ini jelas
dibuktikan Alkitab secara eksplisit yaitu di dalam Yohanes 1:1 dan Roma 1:3-4. Tetapi para
penganut theologia non-Reformasi, misalnya theologia Orthodoks (Syria) yang menekankan
kemanusiaan Yesus dan menolak keilahian-Nya, maka mereka akan mengutip Yohanes 1:1
secara sebagian yaitu dengan menghilangkan pernyataan, “Firman itu adalah Allah.” Hal ini
dikhotbahkan seorang pemimpin gereja yang dulunya beragama mayoritas di Indonesia, lalu
kemudian menjadi “pendeta” yang sekarang ingin membawa keKristenan kembali kepada agama
dahulunya agar menurutnya, keKristenan bolehditerima olehagama dahulunya. Seorang penganut
Orthodoks Syria ini akan kebingungan dalam menafsirkan Roma 1:4 yang menyebutkan Tuhan
Yesus itu juga bernatur Ilahi selain bernatur manusia. Dengan kata lain, mereka akan
berkontradiksi dan melawan diri sendiri jika menjumpai ayat-ayat Alkitab yang tidak cocok
dengan formulasi doktrin mereka.

Kelima¸ Doktrin Roh Kudus (Pneumatologi).

Pneumatologi, baik dengan konsep yang benar maupun salah, sama-sama mempengaruhi cara
menafsirkan Alkitab. Theologia Reformasi dan Protestant yang percaya 100% bahwa Roh Kudus
adalah Pribadi Ketiga Allah Trinitas yang berperan melahirbarukan umat pilihan-Nya untuk
percaya di dalam Kristus dan menyempurnakan mereka serupa seperti Kristus kelak akan
menafsirkan Yohanes 15:26 dengan mengatakan bahwa Roh Kudus datang untuk memuliakan
Kristus dan juga Yohanes 16:8 bahwa Roh Kudus datang untuk menginsyafkan dunia akan dosa,
kebenaran dan penghakiman. Hal ini sinkron dengan keseluruhan berita Alkitab. Misalnya, di
dalam 1 Korintus 12:3, “Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorangpun
yang berkata-kata olehRoh Allah, dapat berkata: "Terkutuklah Yesus!" dan tidak ada
seorangpun, yang dapat mengaku: "Yesus adalah Tuhan", selain olehRoh Kudus.”, 1 Petrus 1:2
yang mengajarkan, “yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan
yang dikuduskan olehRoh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya.
Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu.” Jadi, apa yang Tuhan
Yesus ucapkan di dalam Injil Yohanes tentang Roh Kudus juga diajarkan dengan konsep yang
sama persis olehpara rasul-Nya, baik Paulus, maupun Petrus, dll. Inilah kekonsistenan seluruh
berita Alkitab yang tidak mungkin berkonflik (berkontradiksi) dengan dirinya sendiri. Puji
Tuhan. Lalu, kalau ada theologia Kristen yang non-Reformasi, misalnya, dipengaruhi
olehArminian yang human-centered, akan mengatakan secara implisit bahwa Roh Kudus bisa
diatur manusia, sehingga manusia seolah-olah dapat memerintah Roh Kudus. Kemudian, mereka
mengklaim kepada Roh Kudus jika mereka tidak dapat berkarunia lidah. Yang paling aneh lagi,
seorang penganut Karismatik Katolik yang tidak bisa berbahasa roh akan mengomel kepada
Maria ibu Yesus untuk membujuk Tuhan Yesus untuk memberikan karunia roh tersebut.
Sungguh aneh dan ajaran ini sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Alkitab.
Konsep yang tidak beres ini nantinya akan mempengaruhi cara menafsirkan Alkitab dengan
sengaja mencocok-cocokkan konsepnya yang salah itu agar bisa diterima olehmasyarakat Kristen
umum. Ambil contoh, banyak pemimpin gereja dari kalangan gereja kontemporer yang pop
sangat suka mengutip Yoel 2:28-32, “Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan
mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan
bernubuat; orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat
penglihatan-penglihatan. Juga ke atas hamba-hambamu laki-laki dan perempuan akan
Kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu. Aku akan mengadakan mujizat-mujizat di langit dan di
bumi: darah dan api dan gumpalan-gumpalan asap. Matahari akan berubah menjadi gelap gulita
dan bulan menjadi darah sebelum datangnya hari TUHAN yang Ibrat dan dahsyat itu. Dan
barangsiapa yang berseru kepada nama TUHAN akan diselamatkan, sebab di gunung Sion dan di
Yerusalem akan ada keselamatan, seperti yang telah difirmankan TUHAN; dan setiap orang
yang dipanggil TUHAN akan termasuk orang-orang yang terlepas.” lalu menafsirkan bahwa
zaman inilah zaman Roh Kudus, maka mari kita menantikannya. Ini adalah tafsiran yang
dicocok-cocokkan. Tafsiran ini salah di titik pertama, yaitu sengaja mengabaikan referensi yang
ada di bawah bagian Alkitab yang menunjukkan kedua ayat ini merupakan nubuat yang nantinya
digenapi di dalam peristiwa Pentakosta, Kisah Para Rasul 2:1-16, lalu Petrus mengutip Yoel
2:28-32 di dalam khotbah perdananya di dalam Kisah Para Rasul 2:17-21.

Keenam, Doktrin gereja (ekklesiologi).

Ekklesiologi sebagai theologia sistematika yang bolehdikategorikan sebagai hal praktis; yang
dapat mempengaruhi penafsiran Alkitab. Misalnya, gereja-gereja Protestant yang mengakui
adanya baptisan anak (infant baptism) akan memandang seluruh Alkitab secara totalitas yang
mengajarkan secara berkesinambungan akan perjanjian (covenant) Allah. Meskipun istilah
“baptisan anak” tetapi secara implisit istilah ini nampak jelas dari keseluruhan Alkitab Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru. Kisah Para Rasul 16:33 mengatakan, “Pada jam itu juga kepala
penjara itu membawa mereka dan membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya
memberi diri dibaptis.” Konteks ayat ini jelas, bahwa setelah kepala penjara itu menjumpai para
tahanan yang masih ada di dalam penjara padahal penjara pada waktu itu sudah rusak, maka ia
bertanya kepada Paulus dan Silas tentang apa yang harus ia perbuat supaya ia selamat.
Kemudian, Paulus dan Silas memberitakan tentang Injil Kristus, yang disusul dengan
pembaptisan kepala penjara ini. Di dalam ayat ini, dikatakan bahwa kepala penjara ini beserta
keluarganya memberi diri dibaptis. Kata “keluarga” tentu juga mencakup anak-anak. Tidaklah
mungkin, anak-anak tidak dibaptis, jikalau anak-anak tidak turut dibaptis, maka Alkitab akan
mengecualikannya, tetapi faktanya tidak demikian. Mengapa gereja-gereja Protestant
melaksanakan baptisan anak ? Karena baptisan bukan tanda orang masuk Surga atau
diselamatkan, tetapi baptisan adalah konfirmasi seseorang percaya kepada (di dalam) Tuhan
Yesus. Seorang yang sudah percaya di dalam Kristus meskipun tidak sempat dibaptis (mungkin
alasan kesehatan yang sangat buruk atau kasus penjahat di sebelah salib Tuhan Yesus),
nyawanya tetap bersama-Nya di Surga. Tetapi hal ini tidak berarti kita bolehbebas untuk tidak
perlu dibaptis. Baptisan pasti berkaitan erat dengan keselamatan (soteriologi). Kalau baptisan
adalah konfirmasi, maka pasti sebelum baptisan, ada karya Allah yang membuat orang yang
dibaptis ini akhirnya dapat mempercayai Kristus. Itulah karya Roh Kudus. Anak-anak pun (yang
termasuk umat pilihan Allah) juga diselamatkan bukan melalui “iman” pribadi, tetapi melalui
anugerah Allah yang telah memberikan iman kepada mereka. Sehingga theologia Protestant
dengan tegas menyatakan bahwa anugerah Allah mendahului respon manusia, sehingga manusia
murni diselamatkan melalui anugerah Allah, dan olehkarena itulah, anak-anak perlu dibaptis
tanpa perlu menunggu pengakuan iman yang keluar dari mulut mereka. Sedangkan kelompok
Anabaptis yang berkembang dan mempengaruhi gereja-gereja kontemporer yang pop dewasa ini
dengan menolak baptisan anak karena menurut mereka, anak-anak tidak dapat mengakui
imannya secara sadar adalah pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara prinsip
Alkitab tentang perjanjian (covenant).
Demikian pula halnya dengan konsep Perjamuan Kudus. Gereja-gereja Protestant mengikuti
tradisi dari John Calvin menganggap bahwa Perjamuan Kudus hanya sebagai simbol kematian
Kristus tetapi juga memiliki makna karena ada berkat Kristus di dalamnya. Ini berbeda dengan
konsep Luther yang mengajarkan bahwa Kristus menyertai/menaungi Perjamuan Kudus (disebut
dengan paham consubstansiasi ; hampir mirip dengan pandangan Katolik Roma :
transubstansiasi yang mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus langsung berubah
menjadi tubuh dan darah Kristus, dipengaruhi olehfilsafat Aristoteles yang membedakan antara
form dan matter) dan konsep Zwingli yang mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus hanya
lambang dan tidak memiliki makna. Paham Katolik Roma akan Perjamuan Kudus
(transubstansiasi) diangkat kembali ke permukaan olehseorang “pendeta” bernama Yesaya
Pariadji lalu mengajarkan bahwa roti dan anggur Perjamuan Kudus bukan sekedar lambang, lalu
Pariadji mengutip perkataan Tuhan Yesus sendiri, “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus
mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-
murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil
cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu
semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak
orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:26-28) lalu mengajarkan bahwa roti itu benar-benar
tubuh Kristus dan anggur adalah darah Kristus, olehkarena itu Perjamuan Kudus berkhasiat dan
“berkuasa” karena ada tubuh dan darah Kristus yang tercurah di kayu salib. Ini tafsiran Alkitab
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Ketujuh, doktrin akhir zaman (eskatologi).

Eskatologi menurut Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. di dalam bukunya Alkitab dan Akhir
Zaman adalah “sebuah paham yang integratif dengan seluruh bagian Alkitab.” (Hoekema, 2004,
p 3). Eskatologi ini menurut beliau dapat dibedakan menjadi dua, yaitu eskatologi yang telah
ditegakkan (inaugurated eschatology) dan eskatologi yang akan datang (future eschatology)
(Hoekema, 2004, p 1 dan 2). Di dalam bukunya, beliau memaparkan bahwa konsep paradoks
yang ada di dalam eskatologi ini menyangkut suatu paradoks antara eskatologi yang sudah dan
akan terjadi (ketegangan antara yang sudah terjadi dengan yang belum terjadi). Inilah konsep
eskatologi yang dipegang olehtheologia Protestant yang lebih mendekati Alkitab. Kemudian,
theologia Protestant mempercayai bahwa Kerajaan Allah bukanlah kerajaan secara literal dalam
arti Kerajaan itu terjadi secara nyata melalui wilayah/teritori tertentu di dalam suatu bangsa,
tetapi Kerajaan Allah adalah kerajaan rohani. Di dalam paham eskatologinya, theologia
Reformed berpaham amillenialisme. Sedangkan, para penganut theologia Injili yang mayoritas
cenderung Arminian akan berpaham premillenialisme yang bisa dikategorikan menjadi dua,
yaitu premillenialisme historis dan premillenialisme dispensasionalis yang berusaha membagi
sejarah/zaman menjadi 3, yaitu zaman Allah Bapa (sebelum kedatangan Kristus pertama), zaman
Allah Anak (pada waktu Kristus berinkarnasi) dan terakhir, zaman Roh Kudus (setelah
kebangkitan Kristus dan sebelum kedatangan Kristus yang kedua kalinya). Konsep pembagian
zaman ini (dispensasionalisme) sudah salah di titik awal yaitu berusaha memisahkan peran
masing-masing Pribadi Allah Trinitas, sehingga seolah-olah di zaman sebelum kedatangan
Kristus pertama, hanya Allah Bapa yang berperan (sedangkan Allah Anak dan Roh Kudus
“pensiun” alias tidak berperan), nanti pada giliran Kristus berinkarnasi, maka Allah Anak yang
berperan (sedangkan Allah Bapa dan Roh Kudus “pensiun”), dan terakhir, setelah kebangkitan
Kristus, Allah Roh Kudus lah yang berperan (sedangkan Allah Bapa dan Anak “pensiun”).
Konsep ini sudah menyeleweng dari kebenaran Alkitab. Dengan kata lain, paham
premillenialisme memandang Kerajaan Allah ini hadir secara literal di bumi ini, lebih tepatnya di
kota Yerusalem, sehingga tidak heran di kalangan Kristen, muncul istilah Kristen Zionis, ini
karena pengaruh premillenialisme yang ekstrim yang tidak diajarkan olehAlkitab. Sebaliknya,
kelompok liberal yang menganut paham postmillenialisme yang mengajarkan bahwa Kerajaan
Allah itu sudah terjadi akan menafsirkan Alkitab dengan konsep liberalnya dan akan menutup
mata akan fakta-fakta Alkitab tentang Kerajaan Allah di masa akan datang, lalu konsep ini akan
mengakibatkan mereka sendiri tidak memiliki pengharapan yang pasti di masa akan datang.
Inilah ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Di satu sisi, terlalu menekankan akhir zaman,
padahal keliru (paham premillenialisme), sedangkan di sisi lain, terlalu menyepelekan akhir
zaman, sehingga jatuh ke dalam paham postmillenialisme yang mengakibatkan para penganutnya
berada di dalam kondisi tak berpengharapan.

B. Subjectivitas dan Objectivitas

Bahaya penafsiran pribadi yang besar adalah bahasa subjectivisme dalam penafsiran Alkitab
masa kini. Bahayanya lebih meluas daripada yang dapat kita lihat secara langsung. Belajar dari
Pengalaman, bahwa banyak terjadi bahaya yang sulit dilihat olehsembarang orang pada waktu
diskusi dan perdebatan teologis.

Baru-baru ini ada diskusi panel bersama olehpara ahli Alkitab. diskusi pro dan kontra
mengenai Perjanjian Baru tertentu yang makna dan penerapannya mengundang perdebatan.
Dalam pernyataan pembukaannya, seorang ahli Perjanjian Baru berkata, "Saya berpendapat
bahwa kita harus terbuka dan jujur mengenai bagaimana metode pendekatan kita terhadap
Perjanjian Baru. Pada analisis terakhir kita akan membacanya seperti apa yang kita ingin baca.
Itu tidak menjadi soal.". Ada peserta begitu kaget sehingga tidak membantahnya. Keterkejutan
bercampur dengan perasaan kesia-siaan dalam mengusahakan kemungkinan bertukar pendapat
yang cukup berarti. Jarang sekali mendengar ahli yang menyatakan prasangkanya begitu terang-
terangan di depan umum. Kita semua mungkin bergumul melawan kecenderungan yang berdosa
melawan keinginan membaca Alkitab sesuai dengan keinginan kita, diharapkan kita tidak selalu
memakai cara itu. Kita percaya ada sarana-sarana yang tersedia bagi kita untuk mengekang
kecenderungan itu.

Pada tingkat umum, kemudahan untuk menerima semangat subjectivisme penafsiran Alkitab
ini juga sama lazimnya. Sering terjadi, setelah selesai membahas makna suatu pasal, orang
mendebat pernyataan dengan mengatakan, "Ah, itu kan pendapatmu." Komentar itu
menunjukkan apa? Pertama, jelas sekali bagi semua orang yang hadir di situ bahwa tafsiran yang
dikemukakan adalah pendapat (saya) sendiri. Seseorang tadi hanya mengemukakan pendapat.
Tetapi bukan demikian pendapat orang lain.
Kedua, mungkin komentar itu menunjukkan perdebatan tanpa suara dengan memakai
asosiasi yang salah. Dengan cara menunjuk bahwa pendapat yang dikemukakan itu hanya
pendapatnya sendiri, mungkin orang tersebut merasa bahwa itu saja yang diperlukan untuk
mendebat, karena setiap orang beranggapan sama menganai pendapatnya,meskipun tidak
dikatakan, yaitu begini: apa saja pendapat yang ke luar dari mulut R.C. Sproul pasti salah karena
ia tidak pernah dan tidak akan pernah betul. Betapapun bermusuhannya mereka terhadap
pendapat-pendapat yang lain, kita tidak yakin bahwa itulah yang mereka maksudkan ketika
mereka berkata, "Ah, itu kan pendapatmu."

Saya kira alternatif yang paling mungkin dapat digambarkan dengan kata-kata ini, "Itu
penafsiranmu yang baik untukmu saja. Saya tidak menyetujuinya, tetapi tafsiran saya sama
absahnya. Meskipun tafsiran-tafsiran kita bertentangan, keduanya mungkin betul. Apa yang saya
sukai itu betul bagi saya dan apa yang saya sukai itu betul bagimu." Inilah subjektivisme.

Subjektivisme tidak sama dengan subjektivitas. Mengatakan bahwa kebenaran memiliki


elemen subjektif, lain daripada mengatakan bahwa kebenaran itu sepenuhnya subjektif. Supaya
kebenaran atau kepalsuan dapat bermakna untuk hidup saya, haruslah diterapkan kepada hidup
saya dengan cara tertentu. Pernyataan, "Hujan turun di tempat itu" pada kenyataannya
bolehbenar secara objektif, tetapi tidak relevan dengan hidup saya. Saya baru dapat melihat
relevansinya, misalnya, kalau ditunjukkan bahwa hujan itu begitu derasnya sehingga banjir dan
merusakkan sawah ladang saya di dekat situ yang baru saja saya tanami. Baru waktu itu
pernyataan itu mempunyai relevansi subjektif dengan hidup saya. Pada waktu kebenaran suatu
proposisi memukul dan mencekam saya, barulah persoalannya menjadi subjektif. Penerapan teks
Alkitab kepada kehidupan saya mungkin bernada sangat subjektif. Tapi ini bukan yang kita
maksudkan dengan subjektivisme. Subjektivisme terjadi jikalau kita membengkokkan
makna objektif istilah-istilah supaya cocok dengan minat-minat kita sendiri. Mengatakan,
"Hujan turun di tempat itu" mungkin tidak berelevansi dengan hidup saya di sini, tetapi
perkataan itu tetap bermakna. Perkataan itu bermakna bagi kehidupan manusia di sana, bagi
tanaman-tanamannya dan binatang-binatangnya.

Subjektivisme terjadi apabila kebenaran suatu pernyataan tidak hanya diperluas atau
diterapkan pada subjeknya, tetapi apabila kebenaran itu secara mutlak ditetapkan olehsubjeknya.
Jika kita ingin menghindarkan diri dari pembengkokan atau penyimpangan Alkitab dari awal kita
sudah harus menghindari subjektivisme.

Dalam usaha memahami Alkitab secara objektif, kita tidak dapat menciutkan Alkitab
menjadi sesuatu yang dingin, abstrak dan mati. Yang harus kita lakukan adalah berusaha
memahami apa yang dikatakan olehnya di dalam konteksnya sebelum kita melaksanakan tugas
yang sama pentingnya, yaitu menerapkan pada diri kita sendiri. Suatu pernyataan tertentu
bolehsaja mempunyai kemungkinan adanya sejumlah penerapan-penerapan pribadi, tetapi
pernyataan itu hanya dapat memiliki satu arti saja yang benar. Penafsiran-penafsiran yang
berlain-lainan yang saling kontradiksi dan tidak dapat disatukan, tidak mungkin benar, kecuali
kalau Allah berbicara dengan lidah bengkok. Kita akan membahas persoalan kontradiksi dan
makna tunggal pernyataan-pernyataan secara lebih lengkap belakangan. Namun sekarang ini kita
membahas penetapan sasaran-sasaran penafsiran Alkitab yang sehat. Sasaran pertama ialah
kepada makna Alkitab yang objectif dan menghindari perangkap-perangkap pembengkokan yang
disebabkan olehmembiarkan penafsiran-penafsiran dikuasai olehsubjektivisme.

Ahli-ahli Alkitab membuat perbedaan penting antara apa yang mereka sebut sebagai
eksegesis dan eisegesis. Eksegesis berarti menerangkan apa yang dikatakan olehAlkitab. Kata itu
berasal dari kata Yunani yang berarti, "memimpin ke luar." Kunci kepada eksegesis ada pada
awalan "eks" yang berarti "dari" atau "ke luar dari". Melakukan eksegesis kepada Alkitab berarti
mengeluarkan makna yang terdapat pada kata-katanya, tanpa ditambahi dan tanpa dikurangi.
Sebaliknya kata eisegesis berasal dari akar kata yang sama, tetapi dengan awalan yang berlainan.
Awalan eis, juga berasal dari bahasa Yunani yang berarti "ke dalam". Jadi, eisogesis menyangkut
memasukkan ide sendiri ke dalam teks yang sebenarnya sama sekali tidak terdapat dalam kata-
kata teks tersebut. Eksegesis adalah usaha yang objektif. Eisegesis menyangkut praktik
subjektivisme.

Kita semua harus bergumul dengan problemsubjektivisme. Alkitab sering mengatakan hal-
hal yang tidak ingin kita dengar. Dalam hal ini kita dapat menutup telinga dan mata kita. Jauh
lebih mudah dan jauh lebih tidak menyakitkan untuk tidak mengkritik Alkitab daripada dikritik
olehAlkitab. Tidak heran Yesus sering menutup pembicaraan-Nya dengan, "Siapa mempunyai
telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!" (Luk. 8:8; 14:35).

Subjektivisme tidak saja menghasilkan kesalahan dan penyimpangan, tetapi juga


kesombongan. Mempercayai apa yang saya percayai hanya karena saya mempercayainya, atau
mempertahankan kebenaran pendapat saya hanya karena itu adalah pendapat saya, adalah contoh
kesombongan. Jikalau pandangan-pandangan saya tidak dapat lulus ujian analisis subjektif dan
pembuktian, kerendahan hati menuntut supaya saya meninggalkan pandangan itu. Seorang
penganut subjektivisme memiliki kesombongan untuk mempertahankan pendapatnya tanpa
dukungan atau bukti-bukti objektif. Perkataan, "jika kau ingin mempercayai apa yang kau
percayai, baiklah. Saya akan ingin mempercayai apa yang saya percayai," kedengarannya hanya
rendah hati di kulit saja.

Pandangan-pandangan pribadi harus dinilai dengan bukti dan pendapat di luar karena kita
cenderung membawa kelebihan bobot kepada Alkitab. Tidak ada seorang pun di bumi ini yang
memiliki pengertian tentang Alkitab dengan sempurna. Kita semua berpegang pada pandangan-
pandangan dan menyukai ide-ide yang bukan dari Allah. Mungkin jika kita tahu secara tepat
pandangan-pandangan kita yang mana yang salah itu sulit. Jadi pandangan-pandangan kita
memerlukan peralatan yang dapat mengeceknya, yaitu berupa riset dan keahlian orang-orang
lain.

C. Dipengaruhi oleh Kondisi Sekitar

Terakhir, penafsiran Alkitab juga dipengaruhi oleh kondisi sekitar. Ini adalah pengaruh yang
amat sangat buruk. Di dalam keKristenan, ada dua contoh ekstrim yang mencoba menafsirkan
Alkitab dengan pengaruh dari lingkungan/kondisi sekitar. Misalnya, pertama, gereja-gereja
kontemporer yang pop yang gemar sekali cho gereja (atau mencari untung di gereja) akan
mencomot ayat Alkitab sekehendak hatinya (2 Korintus 9:6, “Camkanlah ini: Orang yang
menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai
banyak juga.”) untuk mendukung pengajaran mereka misalnya tentang perpuluhan yang akan
dikembalikan berlipat kali ganda. Ayat ini dilepaskan dari ayat-ayat selanjutnya, ayat 7, yang
mengajarkan, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan
sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.”
Kalau ayat 7 ini dibacakan, maka jemaat akan berpikir beratus kali untuk memberikan
persembahan. Jadi, untuk mendapatkan profit sebanyak-banyaknya dari persembahan jemaat,
maka ayat 7 dengan sengaja tidak dibacakan, agar jemaat dapat memberikan uang sebanyak-
banyaknya. Ini namanya gereja yang memperhatikan demand dari jemaat (hukum supply and
demand di dalam gereja). Inilah corak gereja materialisme di abad postmodern ini. Di sisi lain,
banyak gereja-gereja Protestan mainline yang mengaku berlabel “Reformed” (sebenarnya: no-
formed atau de-formed) sudah mendegradasi fondasi theologia yang Alkitabiah dan
menggantinya dengan “theologia” religionum atau social “gospel”. Akibatnya, paham ini akan
mempengaruhi cara mereka menafsirkan Alkitab yang cocok dengan paham mereka. Mereka
akan menafsirkan Yohanes 14:6 bukan dengan menekankan finalitas Alkitab. Kemudian, penulis
pernah membaca sebuah artikel yang ditulis oleh“pendeta” macam ini dengan mengutip Yohanes
17:21, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan
Aku di dalam Engkau,…” lalu menafsirkan bahwa orang Kristen dan orang-orang non-Kristen
seharusnya bersatu sama seperti Kristus dan Bapa bersatu. Ini tafsiran yang sangat tidak
bertanggungjawab. Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang di dalam bukunya Theologia Abu-abu,
Pluralisme Agama (Edisi Revisi) mengetengahkan fakta tentang seorang “theolog” pluralis dari
gereja Presbyterian, Taiwan, Choan-Seng Song yang menggunakan pendekatan penafsiran yang
berhubungan dengan isu-isu sosial untuk mendukung “Theologia” Transposisinya. Berikut
penuturan beliau,
“Song juga menggunakan metode penafsiran radikal dalam membangun Teologi Transposisinya
yang liberal dan yang anti finalitas Yesus. Song memulai usahanya dengan menggunakan cerita-
cerita rakyat dan fakta-fakta mengenai keprihatinan sosial, kemudian mensinkronisasikannya
dengan Alkitab untuk membangun Teologi Transposisinya... Dalam hal ini, Alkitab berperan
hanya untuk mendukung konsep yang telah dibangunnya dari kesimpulan awalnya mengenai
situasi kondisi sosial yang pincang. Sistem hermeneutika Song, dikenal dengan istilah penafsiran
yang situasional mengenai isu-isu sosial (Socio-Critical Interpretation). Penafsiran kritik sosial
dapat diartikan : ‘tertarik kepada bentuk yang kelihatan untuk menyatakan suatu penafsiran yang
alamiah dalam kerangka pikir dari suatu tradisi mengenai asumsi sosial dan praktiknya.
Penafsiran teks-teks Alkitab mengenai perbudakan, kaum perempuan, kaum miskin. Contohnya
ialah Teologi Pembebasan dan Hermeneutika Feminisme.’... Dengan kata lain, Song membangun
Teologi Transposisinya dengan dasar penafsiran kritik sosial yang lahir dari keprihatinan sosial
di Asia. Song sangat prihatin dengan isu-isu sosial-politik di Asia...” (Lumintang, 2004, pp 335,
337)
Dengan jelas, semua ayat Alkitab dijadikan pendukung bukan sumber bagi pembentukan
“Theologia” model ini yang justru melawan Alkitab. Ini adalah “gereja” yang bercorak
humanisme di dalam era postmodern. Kedua contoh ini dapat mewakili apa yang Alkitab telah
nubuatkan di dalam 2 Timotius 3:1-2, “Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang
masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan
membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak
terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama,” Kalimat
“manusia akan mencintai dirinya sendiri” adalah ciri dari humanisme dan kalimat “menjadi
hamba uang” adalah ciri dari materialisme.

Bahwa untuk lebih memahami dan menghargai suatu kejadian, kita perlu mempelajari latar
belakang terjadinya kejadian tersebut. Maka untuk mempelajari Kitab Suci, kita perlu melihat
kaitan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, antara ayat yang satu dengan ayat yang
lainnya, untuk mendapat pengertian yang menyeluruh dan pemahaman yang benar akan Sabda
Allah itu. Perjanjian Lama yang merupakan latar belakang Perjanjian baru, merupakan kesatuan
dengan Perjanjian Baru. Sebab “Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan
Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru.”

Alkitab merupakan Sabda Allah yang disampaikan melalui tulisan penulis kitab yang
ditunjuk olehAllah untuk menuliskan hanya yang diinginkan olehTuhan. Maka jika kita ingin
memahami Alkitab, kita perlu mengetahui makna yang disampaikan olehpara pengarang kitab
dan apakah yang ingin disampaikan olehAllah melalui tulisannya. Dan karena Alkitab bersumber
pada Allah yang satu, maka kita harus melihat keseluruhan Alkitab sebagai satu kesatuan
yang saling melengkapi. Inilah yang menjadi dasar bagaimana kita memperolehpengertian
yang mendalam tentang Kitab Suci, dan dengan cara demikianlah jemaat awal mengartikan
Kitab Suci. (Masih sampai di sini)

PERANAN GURU
Dalam gereja-gereja pada abad ke-16 diadakan perbedaan antara dua macam tua-tua: tua-tua
pengajar dan tua-tua pengatur. Tua-tua pengatur dipanggil untuk memerintah dan mengurus
persoalan-persoalan jemaat. Tua-tua pengajar, atau gembala-gembala, terutama bertanggung-
jawab untuk mengajar dan melengkapi orang-orang suci untuk pelayanan.
Kira-kira dekade terakhir ini mengalami waktu yang luar biasa dalam pembaruan di banyak
tempat. Organisasi-organisasi para gereja (organisasi-organisasi Kristen yang tidak dapat disebut
gereja tetapi menjalankan aktivitas-aktivitas yang sejajar dengan gereja) telah berbuat banyak
untuk memulihkan fungsi penting kaum awam bagi gereja lokal. Konperensi-konperensi
pembaruan kaum awam sudah umum. Penekanannya tidak lagi pada pengkhotbah-pengkhotbah
besar, tapi pada program-program besar untuk dan olehkaum awam. Ini bukan zaman untuk
pengkhotbah besar, tetapi zaman untuk jemaat besar.

Salah satu perkembangan penting gerakan pembaruan kaum awam ialah munculnya sejumlah
kelompok pemahaman Alkitab kecil-kecil yang dilaksanakan di rumah-rumah tangga. Di sini
suasana keakraban dan informalitas terasa. Orang-orang yang dengan cara lain di tempat lain
tidak akan tertarik kepada Alkitab di sini maju dalam hal mempelajari Alkitab. Dinamika
kelompok dalam bentuk kecil pada dasarnya merupakan kunci untuk membuka hati kaum awam.
Kaum awam saling mengajar atau mengumpulkan ide-ide mereka sendiri dalam kelompok-
kelompok pemahaman Alkitab seperti itu. Kelompok-kelompok seperti itu telah berhasil
membarui gereja. Mereka akan lebih berhasil waktu mereka makin ahli memahami dan menafsir
Alkitab. Bahwa orang mulai membuka Alkitab dan mempelajarinya bersama-sama adalah hal
yang luar biasa besar. Tetapi ini juga sangat berbahaya. Mengumpulkan pengetahuan
membangun gereja. Mengumpulkan ketidaktahuan merusak gereja dan menunjukkan problem
orang buta memimpin orang buta.

Meskipun kelompok-kelompok kecil pemahaman Alkitab di rumah-rumah tangga dapat


menjadi sarana sangat efektif untuk pembaruan gereja dan perubahan masyarakat, ada waktunya
mereka harus menerima pengajaran sehat dari pihak yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya
tetap yakin bahwa gereja memerlukan rohaniwan yang telah terdidik. Studi pribadi dan
interpretasi pribadi harus diimbangi olehkebijaksanaan guru-guru secara kolektif. Jangan salah
paham. Kita memanggil gereja untuk kembali pada situasi pra-Reformasi waktu Alkitab ditawan
olehpara rohaniwan. Kita bergembira melihat orang mulai mempelajari Alkitab secara berdikari.
Dengan demikian darah para martir tidak percuma tumpah. Dalam hal ini yang ingin dikatakan
bahwa orang awam itu bijaksana kalau mengadakan pemahaman Alkitab yang tidak lepas dari
otoritas gembala-gembala atau guru-guru mereka. Kristus sendirilah mengaruniai gereja-Nya
dengan karunia mengajar. Karunia itu dan jawatan itu harus dihormati kalau umat Kristus ingin
menghormati Kristus.

Penting bagi para guru untuk mendapatkan pendidikan yang memadai. Sudah barang tentu
kadang-kadang muncul guru-guru yang meskipun tidak mendapatkan pendidikan formal, namun
memiliki wawasan ke dalam Alkitab yang luar biasa. Namun orang-orang seperti itu jarang
sekali. Lebih sering kita menghadapi problem dari orang-orang yang mengaku dirinya guru tapi
sama sekali tidak berkualitas mengajar. Seorang guru yang baik harus memiliki pengetahuan
yang sehat dan keahlian-keahlian yang diperlukan untuk menguraikan bagian-bagian Alkitab
yang sulit. Di sini diperlukan penguasaan bahasa asli, sejarah dan teologi, bahkan amat
diperlukan.

Jika meneliti sejarah orang Yahudi zaman Perjanjian Lama, kita melihat bahwa ancaman
yang paling keras dan terus menerus adalah ancaman dari pihak nabi atau guru palsu. Israel lebih
sering jatuh ke dalam kekuasaan guru pembohong yang membujuk mereka daripada jatuh ke
dalam tangan orang Filistin.

Perjanjian Baru menyaksikan problem yang sama dalam Gereja Kristen awal. Nabi palsu itu
seperti gembala upahan yang hanya berminat kepada upahnya sendiri daripada kepada
kesejahteraan domba-dombanya. Tidak semua bermaksud menyesatkan umat Allah, atau
memimpin mereka untuk berbuat kesalahan atau kejahatan. Banyak yang melakukannya karena
tidak tahu. Kita harus lari dari pemimpin-pemimpin yang tidak berpengetahuan dan tidak
berpikir panjang.

Sebaliknya, salah satu berkat besar bagi Israel ialah waktu Allah mengutus kepada mereka
nabi-nabi dan guru-guru yang mengajar mereka sesuai dengan pikiran Allah. Dengarlah
peringatan yang sungguh-sungguh yang Tuhan sabdakan kepada nabi Yeremia:
"Aku telah mendengar apa yang dikatakan olehpara nabi, yang bernubuat palsu demi nama-
Ku dengan mengatakan: Aku telah bermimpi, aku telah bermimpi! Sampai bilamana hal itu ada
dalam hati para nabi yang bernubuat palsu dan yang menubuatkan tipu rekaan hatinya sendiri,
yang merancang membuat umat-Ku melupakan nama-Ku dengan mimpi-mimpinya yang mereka
ceritakan seorang kepada seorang, sama seperti nenek moyang mereka melupakan nama-Ku
olehkarena Baal? Nabi yang berolehmimpi, biarlah menceritakan mimpinya itu, dan nabi yang
berolehfirman-Ku, biarlah menceritakan firman-Ku itu dengan benar! Apakah sangkut-paut
jerami dengan gandum? demikianlah firman TUHAN. Bukankah firman-Ku seperti api,
demikianlah firman TUHAN dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yer. 23:25-
29).
Dengan perkataan penghakiman seperti ini, tidak heran kalau Perjanjian Baru mengingatkan,
"Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu,
bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat" (Yak. 3:1). Kita
membutuhkan guru-guru yang memiliki pengetahuan sehat dan hatinya tidak melawan Firman
Allah.

Pemahaman Alkitab pribadi adalah sarana anugerah yang sangat penting bagi orang Kristen.
Itu adalah hak istimewa dan kewajiban kita semua. Dalam anugerah-Nya dan kebaikan-Nya
kepada kita, Allah tidak saja menyediakan guru-guru yang berkarunia dalam gereja-Nya untuk
menolong kita. Ia juga menyediakan Roh Kudus-Nya sendiri untuk menerangi Firman-Nya dan
untuk menunjukkan penerapan-Nya kepada kehidupan kita. Allah memberkati pengajaran sehat
dan studi yang rajin.

Sumber diambil dari: R.C. Sproul,Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen; Seminari


Alkitab Asia Tenggara, Malang, 1997, hal.26-39
BAB IV. Syarat-Syarat (Kualifikasi)
Seorang Penafsir
Keyakinan dasar orang Kristen seharusnya adalah bahwa semua orang percaya berhak
mambaca dan menafsirkan Alkitab. Namun perlu diperhatikan bahwa seorang penafsir yang baik
adalah seorang yang sudah memperoleh persiapan yang memadai. Dengan demikian ada suatu
keuntungan lebih dalam hal ini yaitu masalah pendidikan teologi yang cukup baik, sehingga ia
dapat membaca dengan lancar bahkan menguasai bebarapa bahasa asing. Bahkan ia juga akan
lebih mudah mengerti isi Alkitab jika ia sudah memiliki pengetahuan dasar tentang bahasa-
bahasa yang dipakai oleh pengarang-pengarang Alkitab.
Harus diakui pula untuk mempelajari dan memahami bahasa asli itu tidaklah perkara
yang mudah. Namun tidak berarti bagi mereka yang tidak berkesempatan mempelajarai bahasa
aslinya tidak dapat mengerti Alkitab. Dan perlu dipahami juga bahwa mereka yang mengerti
bahasa aslipun bukan berarti mereka pasti lebih mengerti Alkitab. Yang jelas pengetahuan
bahasa asli walaupun hanya dasar-dasar saja sangat menolong upaya penafsiran.
Selain bahasa, pengetahuan yang lain juga diperlukan dalam penafsiran seperti
sejarah, adat-istiadat, alam pikiran penulis, geografis, daerah dan zaman Alkitab juga perlu.
Secara mental dan intelek seorang penafsir harus adalah seorang yang sehat, dapat berfikir
dengan jelas, teratur bahkan sedikit “berfantasi”. Selain itu diharapkan juga ia seorang yang
bersikap obyektif, terbuka, jangan membatasi diri pada pandangan teologi belaka.
Di samping semua itu yang tidak boleh dilupakan adalah pengalaman dan
pertumbuhan kerohanian seseorang juga mengambil peranan yang sangat penting. Banyak
kebenaran Alkitab yang tidak dapat dijelaskan sekarang, mungkin suatu hari nanti seiring
pertambahan pengatahuan dan kerohanian seorang penafsir menjadi lebih jelas dan konkrit.
Penafsiran berhubungan erat dengan kesusasteraan, sehingga seorang penafsir yang ideal adalah
seorang yang tertarik kepada pengetahuan dasar tentang kesusasteraan.
Dengan demikian seorang penafsir yang baik adalah seorang yang senang membaca
dan sensitif terhadap apa yang ia baca. Selain syarat-syarat ini, masih terdapat yang lain yang
perlu dibicarakan secara khusus.

A. Sudah lahir baru

Tentu saja seorang yang belum lahir baru juga dapat mengerti arti kata-kata Alkitab,
tetapi ini tidak berarti ia sudah mengerti Alkitab. Bagi orang yang belum lahir baru segala
sesuatu yang bersifat rohani adalah kebodohan karena tidak masuk akal baginya (I Kor 2:14).
Penyebabnya jelas karena perhatian utama seorang yang belum lahir baru adalah hal-hal
duniawi, kepentingan pribadi dan selalu menghakimi Firman Allah dengan pikiran yang sempit.
Contoh sederhana dalam hal ini adalah Paulus sebelum diterangi Yesus, ia merasa
sudah paham Alkitab dan Yesus Kristus, tetapi barulah setelah lahir baru ia memahami firman
Tuhan dalam arti yang sesungguhnya, dan mengenal siapakah sebenarnya Tuhan Yesus. Hal ini
tidak berarti pendidikan Paulus tidak penting. Yang dimaksud di sini adalah sebelum lahir baru,
mata rohani seseorang belum terbuka untuk melihat kebenaran Allah.

B. Memiliki sikap dan motivasi yang benar

Kedua kenyataan ini kalau dimiliki oleh seorang penafsir maka ia akan dapat berkat
dari padanya, namun sebaliknya terjadi jika motivasi dan sikap yang tidak benar dalam menafsir.
Dengan demikian beberapa sikap ini hendaknya dimiliki seorang penafsir antara lain:
• Rindu firman Allah (Mz 119:103)
Jika seseorang mencintai Allah, pasti orang itu mencintai firman-Nya. Kemudian
jika penyelidikan firman tidak didasari dengan suatu kerinduan yang sungguh-sungguh terhadap
firman, maka pekerjaan itu pastilah membosankan dan tidak mendatangkan berkat. Kerinduan
yang sedemikian digambarkan Yesus dalam Mat 5:6 yaitu sebagai orang yang sedang lapar dan
haus akan kebenaran. Ini merupakan suatu keinginan naluri yang kuat, yang tidak dapat
diabaikan begitu saja. Jika seseorang datang kepada firman Allah dengan kerinduan demikian,
pasti ia akan dipuaskan

• Sikap seorang murid (Yes 50:4)

Karena seorang murid adalah seorang yang sedang belajar, maka seorang murid
yang baik adalah seorang yang bersedia mengakui kekuranganya dalam banyak hal terutama
dalam firman. Kesediaan mengakui kekurangan inilah yang menyiapkan hati yang bersedia
untuk terus belajar dengan rendah hati. Seorang murid dalam hal ini harus bersedia membayar
harga dalam penuntutannya menuju kebenaran Allah.
Seorang murid yang memiliki sikap demikian pasti diberkati Allah. Gambaran
seperti ini tampak dalam diri para nabi PL maupun para Rasul di PB yang ketika firman Tuhan
datang kepada mereka, mereka tidak menolak atau membantah, tetapi dengan rendah hati
menerima firman Allah. Jelas , kadang-kadang firman Allah ini tidak enak diterima dan sulit
untuk dijalankan, tetapi sebagai seorang murid dan hamba Tuhan, mereka bersedia berkorban
untuknya. Sikap demikian juga hartus dimiliki oleh orang yang ingin belajar Alkitab.

• Memiliki iman (Ibr 11:6)

Keyakinan mutlak yang harus dimiliki oleh seorang yang ingin menafsir Alkitab adalah
bahwa Alkitab adalah firman Tuhan yang tidak bersalah. Walaupn dalam Alkitab terdapat
mujizat-mujizat, ayat-ayat yang sulit dimengerti, tetapi bagi orang yang beriman, yang percaya
pada kebijaksanaan Allahsemua ini tidaklah menjadi soal. Pembaca Alkitab sebaiknya
diingatkan kembali bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang berkemampuan terbatas.
Kemampuan seorang manusia akan bertambah dengan bertambahnya pengetahuan dan
pengalamannya. Tetapi bagaimanapun juga manusia adalah tetap ciptaan Allah yang terbatas
kemampuannya. Jika terdapat orang yang ingin mengandalkan kemampuannya yang sangat
terbatas untuk menghakimi firman Tuhan, itu jelas suatu usaha yang pasti akan gagal. Adalah
lebih bijaksana bagi pembaca Alkitab bersikap percaya kepada firman Allah, dan menantikan
pertolongan dari Allah, yang diberi oleh-Nya pada waktu yang ditentukan, untuk mengerti
firman-Nya.

• Sikap rajin dan teliti (Kis 17:11)

Seorang awam yang rajin membaca Alkitab dan teliti dalam penyelidikannya
mungkin akan lebih mengerti firman Allah daripada seorang teolog yang tidak memperhatikan
Alkitab. Dengan demikian dapat dikatakan tidak ada jalan pendek/pintas bagi anak-anak Tuhan.
Dalam hal ini harus bersedia meluangkan waktu, mencari tempat yang tenang dan membaca
firman dengan tekun dan teliti. Seorang murid yang malas belajar sudah tentu tidak sanggup
mengiktui ujian dengn baik. Seorang pekerja yang malas bekerja tentu tidak akan memperoleh
hasil yang menggembirakan. Begitu juga para penafsir Alkitab, jika mereka ingin mengerti
firman Allah, sikap yang harus dimiliki oleh mereka adalah tekun dan teliti
• Memiliki tekad menjalankan firman Allah (Mat 7:24-25; Yak 1:22)

Tekad untuk menjalankan firman Tuhan adalah sangat penting. Sebab tanpa tekad
demikian orang Kristen bagaikan orang yang membangun fondasi rumahnya di atas pasir, tidak
sebaliknya orang bijaksana yang melakukan firman yang mendirikan rumahnya di atas batu
karang (Mat 7:24-27). Akibat dari ini fatal yaitu sekalipun rumah kelihatan indah dan megah,
tetapi jika hujan, badai, angin datang menerpa akan langsung roboh. Tanpa menjalankan firman
Tuhan, firman itu merupakan pengetahuan yang abstrak, teori yang tidak berfungsi. Sebaliknya
firman Tuhan akan menjadi hidup, berarti, bermanfaat, jika pembacsanya bersedia
menjalankannya. Seorang yang bersedia menjalankan firman Allah, ia juga akan diberikan
penerangan yang baru dari Allah.
Hal ini dapat dibuktikan dari banyak pengkhotbah yang walaupun sering berkhotbah
tetapi tidak akan kehabisan penerangan dari Allah. Sebab dalam kehidupan sehari-hari, mereka
bukan saja menyampaikan kebenaran Allah tetapi juga menjalankannya. Dengan demikian
firman Allah bagaikan mata air yang hidup, yang terus mengalir tiada henti.

C. Mohon penerangan dari Roh Kudus (Yoh 16:13)

Alkitab bukan suatu buku manusia yang biasa, melainkan firman yang diilhamkan
oleh Allah. Jadi Roh Kudus adalah Pengarang yang sesungguhnya dari Alkitab, yang bekerja
dalam hati penulis-penulis Alkitab. Jadi untuk mengerti firman Tuhan, seorang penafsir harus
dengan rendah hati datang kepada Roh Kebenaran dan mohon pertolongan daripada-Nya. Sudah
tentu ini bukan pelajaran mudah, sebab orang Kristen sering lebih senang bersandar pada diri
sendiri dari pada Roh Kudus. Sehingga kita tidak perlu heran, jika banyak orang Kristen yang
menamakan diri mereka bijaksana, justru tidak dapat menerima barkat dan kuasa dari firman
Allah
BAB V PRINSIP-PRINSIP
PENAFSIRAN
A.Prinsip-prinsip Penafsiran Umum

Seperti telah disebutkan dalam bab sebelumnya, prinsip-prinsip penafsiran dibagi menjadi
Prinsip Umum dan Prinsip Khusus. Prinsip Umum adalah aturan-aturan yang dapat dipakai
untuk menafsirkan segala macam bentuk sastra. Dalam Prinsip Umum ini mencakup beberapa
hal yakni :

1. Menafsirkan Menurut Konteksnya

Prinsip pertama adalah menafsirkan kata/frasa/ kalimat/ayat dengan lebih dahulu


mempertimbangkan konteksnya. Konteks berasal dari 2 kata, yaitu: kon (bersama-sama)
dan teks (tersusun)

Jadi secara khusus konteks diartikan sebagai ayat-ayat sesudah atau sebelum ayat (bagian)
yang dipelajari. Tapi secara umum konteks diartikan sebagai hubungan pikiran yang menyatukan
sebagian (konteks dekat) atau keseluruhan tulisan (konteks jauh). Sehubungan dengan Alkitab,
konteks diartikan sebagai hubungan pikiran yang menyatukan satu bagian perikop tertentu, atau
satu pasal tertentu atau satu kitab tertentu dalam Alkitab, atau bahkan keseluruhan Alkitab.

Secara terperinci konteks dapat dibagi dalam empat tingkat:

a. Konteks Seluruh Alkitab


Konteks dari setiap ayat adalah seluruh Alkitab. Tidak boleh ayat
ditafsirkan lepas di luar Alkitab. "Alkitab menafsir Alkitab".
b. Konteks Perjanjian
Dalam seluruh Alkitab, konteks dari setiap ayat adalah Kitab Perjanjian
dimana ayat itu berada. "PB ada didalam PL, PL diterangkan oleh PB"
c. Konteks Kitab
Dalam seluruh Alkitab dan Kitab Perjanjian, konteks dari setiap ayat
adalah kitab dalam Alkitab dimana ayat itu berada.
d. Konteks Perikop
Dalam seluruh Alkitab, Kitab Perjanjian dan Kitab dalam Alkitab, konteks
dari setiap ayat adalah perikop dimana ayat itu berada.

Kesimpulan:
Konteks ayat adalah perikop
Konteks perikop adalah Kitab (buku)
Konteks kitab adalah Kitab Perjanjian
Konteks Kitab Perjanjian adalah Alkitab

Mengapa MENAFSIRKAN / MEMPELAJARI konteks sangat penting? Pertama, karena


tanpa mempelajari konteksnya maka pengertian kita terhadap ayat tsb. menjadi tidak lengkap,
khususnya jika ada kaitan pengertian yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain. Kedua,
tanpa mengikutsertakan konteks seringkali kita tidak melihat kaitan pengertian yang lebih luas
sehingga sering memberi arti yang salah (Misalnya: kata-kata yang sama tetapi memiliki arti
yang berbeda).

Petunjuk MENAFSIRKAN / MEMPELAJARI konteks / langkah-langkah dasar :

1. Memperhatikan ayat yang dipelajari dan memikirkan


kemungkinan-kemungkinan artinya.
2. Membaca ayatnya beberapa kali bersama dengan konteksnya, satu-
dua kalimat atau paragraf.
3. Mempelajari kalimat/paragraf (konteks) dengan lebih teliti.
4. Mengamati kata-kata atau istilah-istilah yang diulangi atau
ditekankan dalam konteksnya.
5. Menjawab pertanyaan: Apakah arti ayat ini dalam konteksnya?

Tafsirkanlah kata-kata dan bagian-bagian Alkitab berdasarkan konteksnya.

Dari segi yang lain dapat dikatakan; kita harus selalu melihat konteksnya ketika ingin
mengerti suatu ayat atau bagian. Konteks biasanya berarti ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat
atau bagian yang kita pelajari.

Kemungkinan besar saudara sudah menghafal beberapa ayat tanpa kesadaran bahwa ayat itu
hanya sebagian dari suatu kalimat atau paragraf yang lebih besar, misalnya; Roma 3:23.
Sebenarnya artinya yang lengkap tidak dapat dimengerti tanpa membaca ayat seluruhnya. Apa
lagi, mungkin kita pernah menghafal satu janji dari Tuhan tanpa melihat bahwa di dalam ayat
sebelumnya atau ayat sesudahnya ada syarat yang mengikuti janji itu seperti di kitab Yesaya
58:11 "TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuasakan hatimu di tanah yang
kering ...". Tetapi perhatikan di dalam ayat ke-9 dan ke-10 bahwa "apabila engkau..." dipakai dua
kali.

Sering satu perkataan berbeda artinya dalam beberapa bagian Alkitab. Kata "Iman" bisa
dipakai sebagai contoh. Di dalam Gal 1:23 Paulus menulis, "ia yang dahulu menganiaya mereka,
sekarang memberitakan iman, yang pernah hendak dibinasakannya". Di sini "Iman" berarti -
doktrin Alkitab. Di dalam surat Roma Paulus menulis, "Tetapi barangsiapa yang bimbang, kalau
ia makan, ia telah dihukum, karena ia tidak melakukannya berdasarkan iman" (Roma 14:23).
Menurut konteksnya, iman disini berarti - keyakinan bahwa Tuhan menghendaki demikian.
Dalam nasihat Paulus kepada 1Timotius 5:11-12 tertulis, "memungkiri kesetian mereka yang
semula kepadanya". Dalam terjemahan lain kesetiaan disebutkan sebagai iman, yang berarti -
satu niat atau janji kepada Tuhan.

Lihat contoh "Darah". Khotbah Paulus di Atena dalam Kisah 17:24-26 mengatakan bahwa
"dari satu orang" yang dalam terjemahan lain dikatakan "satu darah". Dalam Efesus 1:7, "Darah"
mempunyai arti penebusan Kristus untuk kita. Dalam Ibrani 9:7 "Darah" mempunyai arti cairan
dalam nadi darah binatang. Jadi, konteksnya sangat mempengaruhi artinya bagi setiap perkataan.

Alkitab diterjemahkan dari tulisan asli. Dulu tidak dipakai titik atau koma. Pasal-pasal dan
ayat-ayatpun tidak dipakai dalam tulisan asli. Jadi, kita harus mengingat itu pada waktu mencari
arti satu perkataan atau bagian Alkitab. Kita harus rajin mempelajari konteks setiap perkataaan.

Penerapan dari prinsip ini di dalam mempelajari Alkitab secara pribadi seharusnya menjadi
kebiasaan. Biasanya konteksnya akan memberi keterangan mengenai arti satu kata atau bagian
yang dipelajari.

Ltihan / Tugas :

Bagian ini disediakan pada akhir setiap prinsip supaya saudara dapat mempraktekkan secara
langsung prinsip yang dibahas disini. Silakan mempelajari setiap ayat atau bagian dan melatih
diri untuk menggunakan prinsip ini.

1. Gal 1:23
Rom 14:23
1Tim 5:10-12
Lihat kata "iman" di dalam tiga ayat ini. Apakah berbeda ?
2. Yoh 9:2-3 "...Siapakah yang berbuat dosa...? Jawab Yesus, 'Bukan dia dan bukan juga
orang tuanya...'". Apakah berarti bahwa ketiga orang ini tidak berbuat dosa?
(Memperhatikan kitab Rom 3:9,10,23)
3. 1Kor 10:23 "Segala sesuatu diperbolehkan". Perhatikan ayatnya dengan teliti. Apakah
"segala" berarti bahwa tidak adanya batasan?. Kalau begitu dosa diperbolehkan! Bacalah
1Kor 10:6,7,8,14 dalam pasal yang sama. Lihatlah kata "makan" dan "minum" dalam
1Kor 10:18-22.
Baca juga 1Kor 10:25-33. Apa maksudnya "segala"?
4. Rom 14:14 "Aku tahu dan yakin dalam Tuhan Yesus, bahwa tidak ada sesuatu yang najis
dari dirinya".Apa arti najis di sini ?Bahaslah sama seperti no. 3 di atas.

2. Menafsirkan / Mempelajari Menurut kata aslinya (Defenisinya)

Prinsip kedua dalam menafsir adalah menafsirkan sesuai dengan arti kata(-kata) yang tepat
sebagaimana dimaksudkan olehpenulis aslinya. Masalah utama yang harus diperhatikan adalah
bagaimana menemukan definisi kata itu dan apa artinya yang tepat sesuai dengan konteks
jaman/budaya waktu penulisan.
Satu hal yang perlu diingat dalam melakukan studi kata adalah bahwa kata-kata dalam
Alkitab kita sekarang adalah hasil terjemahan dari bahasa asli Alkitab (Ibrani/Yunani), oleh
karena itu penyelidikan lebih lanjut harus dilakukan dengan membandingkan kata-kata yang ada
dalam Alkitab bahasa Ibrani/Yunani.

Kata-kata adalah buah dari pikiran, perkataan, dan komunikasi, dan dengan demikian kalau
digabung dengan kata-kata yang lain menjadi bahasa yang berarti. Cara komunikasi yang paling
utama yang dipakai semua manusia adalah bahasa. Di dalam Alkitab, Allah memakai bahasa
manusia untuk berkomunikasi dengan kita. Tetapi persoalan yang pertama adalah, apakah
definisi suatu kata yang dipakai di dalam Alkitab tetap sama pada zaman sekarang. Banyak kata
mempunyai lebih dari satu arti, dan kadang-kadang tidak jelas kalau melihat kata itu sendiri.

Sering penulis sendiri memberi artinya. Dalam Yoh 2:15 tertulis bahwa Yesus membuat
cambuk dan mengusir penukar-penukar uang dari Bait Suci. Orang Yahudi tidak suka perbuatan
Yesus itu dan berdebat dengan Yesus. Yesus menjawab mereka "Rombak Bait Allah ini dan
dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali". Ayat Yoh 2:21 mengatakan, "tetapi yang
dimaksudkanNya dengan Bait Allah ialah tubuhNya sendiri". Di sini Yesus menjelaskan arti
perkataan "Bait Allah". Tetapi Yohanes tidak menerangkan siapa penukar uang itu dan apa
pekerjaannya. Kita harus cari keterangan itu sendiri.

Rasul Paulus menafsirkan/menjelaskan arti dari kata "aku" di dalam kesaksian mengenai
kesusahan-kesusahan yang ia alami. "Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku
sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi
bukan hal berbuat apa yang baik" (Roma 7:18). Kata "aku" dapat berarti kehendak, intelek,
manusia rohani, atau manusia jasmani. Ataupun kata tersebut dapat berarti kepribadian seseorang
secara keseluruhan. Paulus membatasi arti kata itu di dalam ayat tersebut dan menjelaskan
kepada para pembaca arti yang dimaksudkannya.

Apabila MENAFSIRKAN / MEMPELAJARI suatu bagian Alkitab, janganlah melewati


perkataan-perkataan yang sukar. Mungkin perkataan-perkataan itu sungguh mengubah arti
teksnya dan perlu dipelajari. Dalam mempelajari arti suatu perkataan, pastikan empat hal:

1. Bagaimana kata itu dipakai olehpenulis di bagian yang lain. Misalnya, perkataan 'DOSA'
sangat penting bagi Rasul Yohanes, dan pengertian ini menolong kita mempelajari tulisan
Yohanes.
2. Hubungan perkataan itu dengan konteksnya. Apakah perkataan 'selamat' dalam
pertanyaan kepala penjara sama dengan perkataan 'selamat' dalam jawaban Paulus
kepadanya? Kis 16:30
3. Kebiasaan pemakaiannya pada waktu penulisan. Untuk ini bolehpakai beberapa
terjemahan atau tafsiran.
4. Arti dasar suatu perkataan. Ini untuk orang yang akan mempelajari lebih dalam.

Terjemahan-terjemahan baru banyak menolong tetapi ada juga yang kurang tepat. Kejadian
11:1 pernah diterjemahkan, "Pada sesuatu waktu" seolah itu satu dongeng. Bahasa Ibrani mulai
hanya dengan "dan". Jadi, cobalah mengerti maksud penulis waktu ia menulis bagian Alkitab itu.
Cobalah membebaskan diri dari pandangan yang berat sebelah ketika mempelajari sebagian dari
Alkitab, dan berusalah mengerti pikiran-pikiran penulis ~~ bukan apa yang disangka yang
seharusnya ditulisnya.

Latihan / Tugas :

Bagaimana ini disediakan pada akhir setiap prinsip supaya saudara dapat mempraktekkan
secara langsung prinsip yang dibahas disini. Silahkan MENAFSIRKAN / MEMPELAJARI
setiap ayat atau bagian dan melatih diri untuk menggunakan prinsip ini.

1. Perhatikanlah kata "singa"


1Pet 5:8
Wahy 5:5
Apakah "singa" mempunyai arti yang sama dalam kedua ayat ini?
2. Yoh 3:3 "lahir kembali"?
Apa arti kata “lahir kembali” dalam bahasa Yunani ?

3. Rom 3:21-22 "kebenaran" dikaiosune


Yoh 16:8
Ef 4:24
Rom 1:18,25 "kebenaran" adikian
Yoh 1:17
Ef 1:13
Apakah kata “kebenaran” dalam ayat-ayat tersebut memiliki arti yang sama ?
Bagaimanakah dapat dibedakan?
4. Kis 16:30-31. Dalam hal ini kata "selamat" ditemukan 2x
Kis 4:12 "keselamatan"
Jelaskan arti “selamat” atau “keselamatan” dalam ayat-ayat ini.
5. 1Kor 10:1-2 "dibaptis" baptisanto
1Kor 12:13 ebaptismen
-Apakah defenisi kedua pasal tersebut sama atau berbeda ?

-Apa bedanya? Dan persamaannya ?

Petunjuk mempelajari kata:

1. Satu kata bisa mempunyai beberapa arti yang berbeda.


2. Kata-kata yang berbeda bisa mempunyai arti yang sama.
3. Selidiki hanya kata-kata yang penting yang memiliki arti teologis,
khususnya yang sering diulang-ulang.
4. Pelajari kata-kata penting tsb. dalam konteksnya.
5. Gunakan konkordansi atau referensi silang untuk mencari padanan arti.
6. Arti kata bisa berubah setelah melewati jangka waktu tertentu.
7. Alkitab kadang menggunakan kata-kata/terminologi yang mempunyai arti
yang berbeda dengan penggunaan umum.
8. Arti kata tsb. dalam bahasa Ibr./Yun. kadang berbeda dengan bhs.
Indonesia.
3. Memahami Tata Bahasanya
Prinsip yang ketiga adalah harus menafsir sesuai dengan tata bahasa dari kalimat tsb.

Setiap kata dalam kalimat tidak berdiri sendiri. Kata yang disusun bersama-sama
memberi kombinasi arti yang membangun alur pikiran. Arti dari kata itu sering ditentukan dari
hubungannya dengan kata-kata yang lain dalam kalimat. Tata Bahasa sendiri tidak
memperlihatkan arti sesungguhnya dari kata itu, tapi memperlihatkan kemungkinan arti lain yang
terdapat dalam kata (kalimat) itu. Tata Bahasa terdiri dari beberapa unsur penting, misalnya:
subjek, objek, kata kerja, kata keterangan waktu/tempat/cara, kata ganti dan kata sambung.
Masing-masing unsur ini akan memberikan bentukan kata dan hubungan kata dalam kalimat.

Apakah "tata bahasa"? Apa artinya? Bagaimana dapat dipakai? Apa pentingnya? Apa
hubungan dengan definisi dari satu kata.

Ahli-ahli dari bidang ini menjelaskan bahwa "tata bahasa" terdiri dari dua hal:

a. Bentuk dari kata-kata.


b. Hubungan di antara kata-kata.

Kedua-duanya mempengaruhi arti, tetapi disini kita secara khusus akan memperhatikan yang
kedua. Kita perlu mengerti bagaimana hubungan satu kata dengan kata-kata yang lain di dalam
kalimat atau konteksnya.

Sudah dijelaskan bahwa kata-kata selalu digunakan bersama-sama dan bukan secara
tersendiri, dan bahwa mereka mempunyai arti yang jelas dalam hubungan demikian. Ketika satu
kata dikombinasikan dengan kata-kata yang lain, apa arti yang muncul dan diketahui. Biasanya
satu kata sendiri tidak punya arti yang jelas. Misalnya, kata "aduh" mungkin mempunyai arti
tersendiri. Tetapi tidak jelas kepada yang mendengar ucapan itu. Apakah pembicara digigit
nyamuk, duduk di atas kawat duri, dipukul temannya, atau senang karena baru menang undian
besar? Kita perlu lebih banyak informasi untuk mengerti arti yang sebenarnya.

Jadi kata-kata, ketika digabung, menegaskan suatu pikiran dan pikiran itu dikomunikasikan
kepada orang-orang yang lain. Agar supaya pikiran saya dapat dikomunikasikan kepada orang
lain, kami berdua harus mempunyai pengertian yang sama mengenai bagaimana kata-kata
dikombinasikan. Itu berarti kami berdua harus mengerti "tata bahasa" yang sama. Tata bahasa
mengklasifikasikan cara-cara menggabungkan kata-kata.

Salah satu contoh dapat dilihat di Injil Yohanes 21:15 dimana ditulis, "..Yesus berkata
kepada Simon Petrus: 'Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada
mereka ini?'". Kemudian kita bertanya, 'Lebih daripada siapa atau apa'? Kita mengerti bahwa
kata "mereka" dapat menunjuk kepada orang atau benda. Apakah ada orang-orang yang lain
disana ketika Yesus berkata kepada Petrus? Memang beberapa murid Yesus. Apakah ada benda-
benda yang dekat dengan Petrus? Betul. Banyak ikan baru ditangkap olehmurid-murid Yesus.
Jadi, dengan pengertian tata bahasa dari ayat ini kita dibawa kepada dua kemungkinan dari kata
"mereka". Kita harus belajar lebih dalam lagi dan memakai prinsip-prinsip yang lain juga untuk
menentukan kemungkinan mana yang dimaksudkan olehYohanes.

Kalau kita memperhatikan konteksnya, kita mengerti bahwa sesudah Yesus dibangkitkan
lagi, Petrus kembali kepada pekerjaan dulu, menjala, walaupun sudah dipanggil Yesus dari
pekerjaan itu. Jadi, kemungkinan Petrus mengasihi ikan-ikan (atau pekerjaannya) lebih dari
Yesus. Petrus sendiri pernah mengatakan bahwa dia mengasihi Yesus lebih dari pada semua
murid yang lain (Mat 26:33), jadi mungkin Yesus sedang menantang dia mengenai perkataan itu.

Dengan melihat contoh di atas, kita dapat mengerti betapa penting prinsip tata bahasa.
Mungkin kepada kita tidak selalu diberitahukan arti sebenarnya dengan mudah, tetapi kita dapat
melihat beberapa kemungkinan yang baik. Jangan mengambil atau menerima arti dari suatu ayat
atau kalimat yang melawan tata bahasa dari bagian itu.

UNSUR-UNSUR DASAR:

1. Subyek kalimat

Kita harus mengerti bagian-bagian dasar dari kalimat, yaitu kata benda, kata kerja, kata ganti,
kata sifat, kata keterangan, kata depan, dan kata penghubung. Kita tidak perlu mengerti semua
hal secara terperinci, tetapi pengertian dasar mengenai tata bahasa akan sangat menolong.

Biasanya dalam bahasa Indonesia, subyek dari sebuah kalimat mudah dilihat dan hampir
selalu mendahului kata-kata sifat dan kata-kata yang menerangkannya. Kita membaca di Kitab
1Yohanes 4:8, "...Allah adalah kasih". Jelas dari perkataan itu bahwa Allah adalah subyeknya
dan kasih menerangkan pokok kalimat itu. Tetapi kalau kita mengatakan, "Kasih adalah Allah",
artinya sudah diubah, walaupun kita memakai kata-kata yang sama. Susunan kata-kata di dalam
setiap kalimat harus diperhatikan juga. Kita harus mengamati kalimat-kalimat di dalam Alkitab
dengan teliti dan memperhatikan kapan dan bagaimana susunan kata-kata mempengaruhi artinya.

2. Kata kerja dan waktu

Misalnya: aku sudah makan, aku sedang makan, aku akan makan. - masa lalu ==> sesuatu
yang sudah terjadi.
Rom 7:9-10

"...Akan tetapi sesudah datang perintah itu, dosa mulai hidup, sebaliknya akan mati".
1Kor 13:11

"Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata..., aku merasa..., aku berpikir... Sekarang sesudah
aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu".
Ini menunjukkan suatu hal yang sudah jadi.

• masa sekarang
• sesuatu yang sedang terjadi.
a. Kebenaran universal
Yoh 4:24
"Allah itu Roh..."
Bukan hanya sekarang, tetapi selama-lamanya.
b. hal yang tetap
Luk 12:54
"Apabila kamu melihat awan naik di sebelah barat,
segera kamu berkata:..."
Sikap atau kebiasaan yang tetap.
c. hal yang terjadi saat sekarang
Yoh 17:9
"Aku berdoa untuk mereka".
-masa depan
-sesuatu yang akan terjadi.

3. Kata ganti

Kata-kata ganti adalah kata-kata yang sederhana, tetapi harus diamati dengan hati-hati. Kata
ganti disebutkan demikian olehkarena ia mengganti kata benda.
"Yesus datang ke Betani dan besok Ia masuk Yerusalem".
Kata ganti "Ia" mengganti kata benda "Yesus". Biasanya tidak ada persoalan dalam hal ini, tetapi
kadang-kadang tidak jelas kata ganti dipakai untuk mengganti kata benda yang mana.
Luk 11:37 "Ketika Yesus selesai mengajar, seorang Farisi mengundang Dia untuk makan
dirumahnya. Maka masuklah Ia ke rumah itu, lalu duduk makan.
Siapa yang masuk dan makan? Tentu Yesus, walaupun "seorang Farisi" paling dekat dengan kata
ganti itu. Tetapi arti dari konteks sudah jelas. Dibuat lebih mudah juga karena huruf besar
dipakai untuk kata ganti bagi Allah dan Yesus.

4. Kata penghubung

Kata-kata yang menghubungkan bagian-bagian kalimat sangat penting juga untuk


mengetahui arti sebenarnya.
Lihat suatu kalimat yang sederhana. "Aku makan daging dan aku kuat sekali".
Dua fakta ini dapat berdiri sendiri. Sekarang "dan" akan diganti dengan kata penghubung yang
lain.

"Aku makan daging oleh karena aku kuat sekali".


"Aku makan daging ketika aku kuat sekali".
"Aku makan daging supaya aku kuat sekali".
"Aku makan daging walaupun aku kuat sekali".

Perhatikan betapa penting kata penghubung di dalam setiap kalimat di atas.


Ada beberapa unsur tata bahasa yang lain, tetapi tidak akan dibahas di sini. Kalau kita mau
menfsirkan Alkitab kita dengan benar, kita harus mau membiasakan diri dengan hal-hal tersebut.
Dibawah ada beberapa garis pedoman yang akan menolong kita menerapkan prinsip ini.
Langkah-langkah dasar /Petunjuk MENAFSIRKAN / MEMPELAJARI tata bahasa:

1. Kalau ada bagian (kalimat) yang tidak jelas artinya, cari tahu dahulu kunci
katanya dan analisa tata bahasanya.
2. Pelajari hubungannya dengan kata-kata yang lain dalam kalimat tsb.
3. Pelajari juga bentukan-bentukan katanya, khususnya dalam susunan kata
kerja bahasa aslinya (Ibr/Yun).
4. Jelaskan kata-kata penting (teologis). Kalau kemungkinan artinya lebih
dari satu, maka cari petunjuk lain, khususnya konteks.

Latihan/ Tugas

Bagian ini disediakan pada akhir setiap prinsip supaya saudara dapat mempraktekkan secara
langsung prinsip yang dibahas disini. Silahkan mempelajari setiap ayat atau bagian dan melatih
diri untuk menggunakan prinsip ini.

1. Ef 1:3-11 "Ia" "Dia" 6x ".........Nya" 13x


Semuanya dipakai untuk Allah dan Kristus. Catatlah yang mana menunjukkan kepada
Allah Bapa dan yang mana kepada Kristus.
2. Luk 12:13-15 Daftarkanlah semua kata penghubung di dalam tiga ayat di atas, dan
memperhatikan hubungan diantara bagian-bagian yang digabung olehkata-kata itu.
3. 2Kor 5:20-21 Siapakah yang "tidak mengenal dosa"? "...dibuatNya menjadi dosa..."
Siapakah Nya itu? "...dalam Dia..." Kita dibenarkan dalam siapa?
4. Yoh 8:44-47 Mengidentifikasikan dari setiap ayat:
a. subyeknya
b. kata kerja dan waktu
c. kata penghubung
5. Ibr 2:6-8 Apakah kata "Nya" disini menunjuk Kristus atau manusia? Ini kutipan dari
Mazmur 8:1-9.

4. Menangkap maksud / tujuan Penulisnya

Prinsip keempat dalam menafsir adalah kita harus menemukan tujuan dan maksud penulis
Alkitab. Adakalanya penulis-penulis Alkitab memberikan petunjuk dengan jelas maksud/tujuan
mereka menuliskan kitab/surat. Tetapi kebanyakan penulis Alkitab tidak jelas menunjukkan
tujuan penulisan kitab itu. Untuk itu pembaca harus membaca dengan teliti seluruh isi kitab,
khususnya dengan mempelajari garis besarnya. Setelah menemukan tujuan/maksud penulisan
kitab, maka penafsir harus menjadikan itu sebagai pedoman untuk menafsir dengan yang tepat.

Setiap penulis Alkitab mempunyai MAKSUD dan RENCANA yang tertentu dalam menulis
Kitabnya. Dua hal ini sangat dekat dan sulit dipisahkan, walaupun ada perbedaannya, jadi kita
akan membahas mereka bersama-sama dalam prinsip ini.

MAKSUD penulis adalah obyek di dalam pikiran dia ketika menulisnya. Seperti yang dilihat
di 1Yohanes 5:13; "Semuanya itu kutuliskan kepada kamu, SUPAYA kamu yang percaya
kepada nama Anak Allah, tahu, bahwa kamu memiliki hidup yang kekal".
Maksudnya ditulis dengan jelas.

RENCANA penulis adalah cara menyusun penulisan sesuai dengan maksudnya. Yang
ditunjukkan adalah struktur dari penulisnya, suatu struktur yang menentukan pola yang nyata-
nyata nampak. Paulus menunjukkan pola demikian di dalam Kitab Efesus, karena tiga pasal
pertama menjelaskan panggilan orang Kristen dan tiga pasal terakhir menjelaskan bagaimana dia
harus berjalan. Satu kunci yang membawa kita kepada pengertian demikian adalah kata "Sebab
itu" pada ayat pertama pasal keempat.

Dalam dua contoh tersebut, MAKSUD dan RENCANA penulis sangat mudah dilihat. Dalam
prakteknya tidak selalu sedemikian mudah, olehkarena itu di dalam kebanyakan Kitab dalam
Alkitab MAKSUD penulis tidak dijelaskan dan bahkan sulit ditafsirkan. RENCANA penulis
jauh lebih kelihatan daripada MAKSUDnya.

Olehkarena itu kita terhalang di dalam menerapkan prinsip ini kalau tidak mengerti kedua-
duanya, dan olehkarena sangat sulit mendapatkannya, prinsip ini lebih sukar dari pada beberapa
prinsip yang lain, dan dengan demikian kemungkinan tidak akan dipakai banyak di dalam
pemahaman Alkitab pribadi kita. Tetapi prinsip ini tetap penting dan untuk memperdalam
pengertian kita, marilah kita melihat beberapa contoh lagi. Yohanes menjelaskan dalam Injil
Yohanes 20:31 MAKSUD dia untuk menulis Kitab tersebut:

"tetapi semua (tanda-tanda dalam ayat 30) yang tercantum di sini telah dicatat, SUPAYA
kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan SUPAYA kamu olehimanmu
memperolehhidup dalam namaNya.

Ia menulis supaya orang-orang dapat percaya akan Yesus sebagai Anak Allah, dan melalui
iman mereka menerima hidup yang kekal dari Kristus. Ada tiga kenyataan di dalam ayat ini:

a. kepribadian Kristus
b. iman
c. hidup

dan Yohanes mengatakan bahwa ia menulis semua tanda dan mujizat supaya orang-orang
dapat mengalami ketiga kenyataan tersebut. Dengan demikian kita dibawa kepada kesimpulan
bahwa setiap tanda/mujizat dari Yesus akan menyatakan sesuatu mengenai salah satu dari ketiga
kenyataan tersebut. Hal ini harus diingat pada waktu kita mau mengerti arti dari setiap mujizat
Yesus di dalam Injil Yohanes.

Salah satu contoh lagi dari RENCANA penulis dapat dilihat dalam Kitab kejadian. Kalau
Kitab ini dibaca akan diamati bahwa istilah "Inilah keturunan ______________" dipakai
berulang kali (Kejadian 2:4; 5:1; Kejadian 6:9; 10:1; 11:10,27; 25:12,19; 36:1, 9; 37:2). Begitu
banyak kali satu perkataan dipakai bukan kecelakaan. Tetapi apakah pentingnya, dan
bagaimanakah dapat dipakai dalam penafsiran Kitab ini? Untuk melihat kepentingan istilah
tersebut, kita bisa membuat suatu tabel dengan beberapa kolom dan mendaftar fakta-fakta yang
diterangkan dalam setiap kali istilah itu dipakai. Kemudian memahami tabel itu dan beberapa hal
akan muncul dari padanya. Akan dilihat bahwa ada dua bagian yang pokok, yaitu Adam sampai
kepada Abraham, dan Abraham s/d Yusuf.

Pertanyaan utama dalam menerapkan prinsip ini adalah apakah kita mengetahui MAKSUD
dan TUJUAN penulis. Berikut adalah beberapa saran yang akan menolong kita menjawab
pertanyaan tersebut:

a. Perhatikan kalimat-kalimat yang mengandung kata sambung, "supaya"


atau sebab itu".
b. Jika tidak disebutkan dengan jelas makdud penulis, pelajarilah garis besar
struktur penulisan kitab tsb.
c. Pelajari juga latar belakang peristiwa/berita yang disampaikan dalam kitab
tsb. untuk menemukan maksud penulis menuliskan kitab/surat tsb.

Langkah-langkah dasar /Petunjuk :

Bagian ini disediakan pada akhir setiap prinsip supaya saudara dapat mempraktekkan secara
langsung prinsip yang dibahas disini. Silakan mempelajari setiap ayat atau bagian dan melatih
diri untuk menggunakan prinsip ini.

1. Fili 2:5-8
Apakah perikop ini menjadi MAKSUD penulisan kitab ini ?
Kalau tidak, jelaskan apakah yang menjadi maksud Paulus menulis Kitab ini?
2. Kol 2:4,6,18
Apakah dalam ayat-ayat ini merupakan MAKSUD/ TUJUAN penulisan kitab ini ?
Kalau tidak, uraikan apa yang menjadi maksud Paulus menulis Kitab ini?
3. Kitab Roma
Apakah yang menjadi tema-tema / garis-garis besar dalam Kitab ini?
Apakah itu menolong untuk mengerti MAKSUD penulisan?
4. 1Korintus 1:11,3:4,4:6, pasal 1Korintus 5:1-6:20,7:1,8:1,12:1
Apakah MAKSUD penulisan dapat dilihat dari ayat-ayat tersebut?
Jika ia jelaskan !
5. Lukas 1:1-4
Apakah perikop ini merupakan MAKSUD penulisan?
Jelaskan !

5. Menafsirkan / mempelajari Latar Belakangnya

Prinsip kelima adalah penafsiran harus diterangi dengan latar belakang sejarah, geografi
dan budaya yang ada dalam berita yang disampaikan penulis. Penulisan kitab dalam Alkitab
ditulis dalam kerangka waktu, tempat dan budaya yang tidak lagi sama dengan budaya si
penafsir. Untuk itu penafsir harus betul-betul memahami dunia Alkitab untuk dapat mengerti
keadaan dan maksud asli ayat/perikop/buku itu ditulis.

Ketika kita MENAFSIRKAN / MEMPELAJARI suatu bagian Alkitab, sebaiknya kita


memandang diri sebagai wartawan yang mencari fakta-fakta. Melacak bagian itu dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti:

1. Kitab ini ditulis kepada siapa?


2. Apakah latar belakang penulisnya?
3. Apakah pengalaman atau peristiwa yang mendorong Kitab ini ditulis?
4. Siapakah tokoh-tokoh utama dalam Kitab ini?

Tujuannya ialah menempatkan diri di dalam zaman dan keadaan penulis supaya dapat
merasakan bersama-sama dengan dia. Apakah beban-bebannya? Bagaimanakah pandangan Allah
terhadap situasi mereka?

Pengertian tentang latar belakang Kitab Galatia akan menolong banyak dalam pengertian
tentang arti dan pentingnya. Jemaat pertama di Yerusalem terdiri dari orang-orang Yahudi yang
baru diselamatkan. Pada Hari Pentakosta (Kis 2:1-47) kebanyakan yang diselamatkan adalah
orang-orang bukan Yahudi. Asumsi yang dipegang dalam permulaan olehorang-orang yang
percaya adalah bahwa jalan masuk kepada Kristus adalah melalui agama Yahudi. Bukan
keyakinan mereka, tetapi asumsinya.

Kemudian Kornelius serta keluarga menerima Kristus tanpa disunat dulu (Kis 10:1-48*), dan
ini membuat pertanyaan besar diantara orang-orang Yahudi yang sudah percaya. Beberapa tahun
kemudian, Paulus mulai melayani bukan hanya orang-orang yang berlatar belakang Yahudi yang
lain, tetapi juga orang Yunani dan orang-orang kafir. Jemaat-jemaat dibentuk tanpa lebih dahulu
memperhatikan hukum-hukum Keyahudian. Banyak orang Yahudi yang sudah percaya sulit
menerima hal ini.

Ketika kembali ke Yerusalem, Paulus mengikuti sidang pemimpin-pemimpin dan bertanya


kepada mereka, "Apakah orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk
menuruti hukum Musa?", "Bagaimanakah seorang dibenarkan dihadapan Allah?", "Olehkarena
iman kepada Kristus dan bukan olehkarena perbuatan-perbuatannya" jawab Paulus. Pemimpin-
pemimpin di Yerusalem setuju dengan Paulus, dan dari saat itu berubahlah pandangan dan arah
jemaat Kristus seterusnya. Mulai saat itu Kekristenan dipandang terpisah dari Keyahudian.

Bagaimanakah Paulus dapat menjelaskan hal ini kepada jemaat di Galatia? Paulus memakai
banyak ayat dari Perjanjian Lama untuk membuktikan bahwa setiap orang harus diselamatkan
olehiman, mulai dari Abraham sendiri.

Alkitab bersifat progresif, yaitu maju bertahap. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian
Baru merupakan bagian dasar dari pernyataan Allah dan membentuk suatu kesatuan. Sering kita
mendengar seorang berkata, "Allah dalam Perjanjian Lama berbeda dari Allah dalam Perjanjian
Baru". Kepercayaan ini dipegang banyak orang, tetapi tidak mempunyai dasar sama sekali dalam
Alkitab, dan kepercayaan ini akan menghalangi penafsiran Alkitab yang benar bagi kita.
Perjanjian Lama menjadi dasar untuk menafsirkan Perjanjian Baru dengan baik. Sangat berat
mengerti Perjanjian Baru kalau kita tidak mengerti atau mengetahui isi Perjanjian Lama seperti
penciptaan dunia atau kejatuhan manusia. Dari segi yang lain, Perjanjian Baru menjadi
penjelasan bagi Perjanjian Lama, bagaimanakah Allah menyatakan diriNya dan bagaimana
rencanaNya bersifat progresif.

Suatu ungkapan atau istilah mengandung arti tertentu di dalam satu kebudayaan atau waktu
tetapi tidak berarti sama sekali dalam kebudayaan atau waktu yang lain. Arti dari ungkapan-
ungkapan dan istilah-istilah berubah dengan waktu dan kebudayaan, jadi kita perlu menggali
teksnya supaya mengetahui artinya di dalam zaman yang ditulisnya. Dalam 2Raja 2:9* kita
membaca,

"...berkatalah Elia kepada Elisa: 'Mintalah apa yang hendak kulakukan kepadamu, sebelum
aku terangkat dari padamu'. Jawab Elisa: 'Biarlah kiranya aku mendapat dua bagian dari rohmu'".

Di dalam beberapa kebudayaan ini berarti bahwa Elisa minta dua kali lipat dari roh Elia
(mungkin Roh Kudus). Tetapi kalau mempelajari kebudayaan, ada kemungkinan yang muncul,
yaitu bahwa Elisa minta warisan sebagai anak sulung; dia ingin menjadi ahli waris Elia. Jadi
ingat bahwa arti sebenarnya dari suatu ungkapan atau istilah adalah arti dalam konteks
kebudayaan dan sejarah. Bagaimana ini dimengerti olehorang-orang dalam zaman itu?

Contoh Latar belakang :

A. Sejarah
1. Mat 2:22
▪ dari sejarah kita tahu bahwa Arkhelaus lebih keras dan lebih mengancam
Yesus dari pada ayahnya.
B. Geografis
1. Yoh 4:4
▪ Yesus harus melewati Samaria oleh karena propinsi itu di antara Yudea
dan Galilea.
C. Kebudayaan
1. Luk 9:59
▪ Menurut kebudayaan anak sulung bertanggungjawab menguburkan
ayahnya. Kadang-kadang berarti berarti harus menunggu bertahun-tahun
sebelum ia meninggal.

Untuk menafsirkan dengan benar dalam keterangan latar belakang kita harus
mengetahui dan mengerti latar belakang itu. Jadi persoalan yang pertama adalah
mendapatkan informasi seperti itu. Dalam hal ini kita bisa memakai buku-buku seperti:

o Kamus Alkitab
o Geografis Alkitab
o Komentar Alkitab
o Konkordasi Alkitab
Sesudah informasi ini diperoleh, kemudian kita siap memikirkan penafsirannya. Untuk hal
ini ada beberapa usul:

Langkah-langkah dasar/ Petunjuk MENAFSIRKAN / MEMPELAJARI latar


belakang:

a. Pelajari dunia Alkitab dengan teliti, jalan terbaik adalah dengan


membaca seluruh Alkitab secara berurutan.
b. Mencatat peristiwa/kejadian penting yang perlu pengetahuan
tambahan.
c. Memperhatikan hal-hal yang kurang jelas atau membingungkan dalam
bagian itu dan catat bagaimanakah pengetahuan akan hal-hal itu akan
menolong dalam penafsiran bagian itu
d. Memastikan apa arti bagian itu dalam zaman dan kebudayaan yang
ditulisnya.
e. Gunakan Kamus Alkitab/Ensiklopedia dan alat (buku) yang bisa
dipakai untuk menambah pengetahuan sejarah dalam Alkitab.
f. Cari Alkitab yang mempunyai referensi silang atau catatan kami
karena akan mempermudah mendapatkan Paralell informasi yang
dicari.

Latihan/ tugas :

Bagian ini disediakan pada akhir setiap prinsip supaya saudara dapat mempraktekkan secara
langsung prinsip yang dibahas disini. Silakan mempelajari setiap ayat atau bagian dan melatih
diri untuk menggunakan prinsip ini.

1. Mr 5:11-17 “roh-roh memasuki babi”


o Mengapakah roh-roh jahat meminta supaya memasuki babi-babi disitu?
2. Mat 5:41 berjalan sejauh satu mil
o Apakah ada sesuatu dalam kebudayaan yang akan menolong kita mengerti ayat
ini.

6. Menafsirkan Ayat Dengan Ayat Alkitab (Keseluruhan)

Prinsip keenam dalam menafsir adalah kita perlu mencari terang pengajaran Alkitab
secara utuh (keseluruhan kebenaran). Tidak mungkin kebenaran dari satu ayat
bertentangan dengan ayat yang lain, karena Alkitab tidak mungkin bertentangan
dengan diriNya sendiri. Inilah juga yang menjadi alasan kita MENAFSIRKAN /
MEMPELAJARI ayat dalam konteksnya.

Salah satu cara untuk mengerti keseluruhan kebenaran Alkitab adalah dengan
membandingkan perikop yang Paralell; yaitu bagian (ayat-ayat) yang membicarakan hal-hal
yang sama tetapi ada di tempat-tempat yang berbeda di Alkitab. Dari perbedaan (atau
persamaan) kita dapat melihat pengertian ayat-ayat itu lebih jelas. Tapi karena tidak banyak ayat-
ayat (perikop) Paralell ada di seluruh Alkitab maka cara ini tidak selalu dapat dijadikan acuan.
Prinsip konteks lebih memberikan kepastian yang jelas.

Petunjuk untuk MENAFSIRKAN / MEMPELAJARI prinsip menafsirkan ayat


dengan ayat:

a. Penafsir harus tahu garis besar pengajaran kebenaran seluruh Alkitab.


b. Mempelajari topik-topik penting dalam Alkitab.
c. Mempunyai pengetahuan isi Alkitab secara luas.
d. Gunakan Referensi Silang untuk mencari ayat-ayat yang membahas
tema-tema yang sama dalam seluruh Alkitab.
e. Prinsip konteks seringkali memegang peranan penting.

Kita sudah melihat dalam prinsip KONTEKS, bahwa satu ayat atau bagian harus dipelajari
dalam konteks dengan ayat-ayat, paragraf-paragraf, dan pasal-pasal sekelilingnya. Maksud dari
prinsip ini adalah Alkitab seluruhnya menjadi konteks pokok dari bagian yang akan kita pahami.

"Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa". Efesus 3:14 bd, 1 Tim 2:8, 1 Raja2 8:38, 54; 2
Taw.6:29. Lipat tangan amsal 6:10

Kemudian kita ambil kesimpulan bahwa posisi doa yang paling benar adalah "sujud" seperti
disaksikan penulis kitab Efesus. Tetapi dengan demikian kita mengabaikan ayat-ayat yang lain
yang menunjukkan berdiri, duduk, dan berbaring sebagai posisi yang lain yang dipakai olehorang
ketika berdoa. Apa lagi ayat-ayat yang menunjukkan bahwa sikap hati orang lebih penting dari
posisi tubuhnya dalam menyenangkan Allah.

Janganlah putus asa dan merasa gagal olehkarena terlalu sulit mengetahui seluruh Alkitab.
Memang betul, kebanyakan orang awam tidak mungkin akan mengerti atau menguasai seluruh
Alkitab dalam hidup kita. Tetapi kalau kita mempunyai suatu sistem membaca, mempelajari,
bahkan menghafal dari Alkitab dengan teratur, kita akan selalu bertumbuh dalam pengetahuan
dan penerapan dari Firman Tuhan. Ini sangat penting olehkarena hampir semua doktrin palsu dan
pengajaran palsu timbul di antara orang-orang Kristen sebab orang-orang yang mengajarkannya
memakai hanya bagian-bagian atau ayat-ayat tertentu dan mengabaikan yang lain. Setiap
pengajaran harus dipertimbangkan dengan dan dalam keterangan dari seluruh Alkitab.

Kitab Kejadian 3:1-5 menunjukkan bahwa Iblis adalah penafsir alkitab yang pertama.
"Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan olehTUHAN
Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu:

'Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya,
bukan?' Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: 'Buah pohon-pohonan dalam taman ini
bolehkamu makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah- tengah taman, Allah
berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati'. Tetapi ular itu berkata
kepada perempuan itu: 'Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada
waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu
tentang yang baik dan yang jahat'".
Allah telah berfirman kepada Adam, kataNya: "Semua pohon dalam taman ini bolehkau
makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu,
janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati" (Kej
2:16-17). Iblis tidak menyangkal kata-kata Allah secara langsung. Tetapi ia mengubah artinya.
Kesalahan seperti itu terjadi olehkarena dua hal: PENGHILANGAN atau PENAMBAHAN.

PENGHILANGAN -menghafal/mengutip hanya sebagian dari ayat atau konteksnya. Ada dua
macam kematian di dalam Alkitab, jasmani dan rohani. Ketika Allah berkata kepada Adam,
"pastilah engkau mati" (Kej 2:17), itu berarti kedua-duanya; kematian jasmani dan kematian
rohani. Tetapi ketika ular itu mengatakan kepada Hawa, "kamu tidak akan mati" (Kej 3:4), ia
dengan sengaja menghilangkan pengertian mengenai kematian rohani.

PENAMBAHAN - mengatakan lebih dari apa yang dikatakan Alkitab. Dalam pembicaraan
dengan ular itu, Hawa mengutip kembali apa yang dikatakan Allah kepada Adam. Tetapi ia
menambah kata-kata "ataupun raba buah itu" (Kej 3:3). Tidak jelas apakah dia menambah
dengan sengaja atau tidak, tetapi biasanya manusia mempunyai motivasi untuk membuat
perintah Allah keterlaluan dan dengan demikian membuat perintah itu tidak layak ditaati.

Penerapan dari penjelasan tersebut ialah pentingnya memakai ayat-ayat dari bagian-bagian
lain dari Alkitab sendiri. Ketika kita MENAFSIRKAN / MEMPELAJARI sebuah pasal atau
paragraf itu dan bukan hanya satu kata atau ungkapam. Alkitab akan menafsirkan dirinya sendiri
kalau kita menggunakan Prinsip-prinsip Penafsiran dengan benar.

Langkah-langkah dasar/ Petunjuk untuk MENAFSIRKAN / MEMPELAJARI


prinsip menafsirkan ayat dengan ayat:

1. Penafsir harus tahu garis besar pengajaran kebenaran seluruh Alkitab.


2. Mempelajari topik-topik penting dalam Alkitab.
3. Mempunyai pengetahuan isi Alkitab secara luas.
4. Gunakan Referensi Silang untuk mencari ayat-ayat yang membahas tema-
tema yang sama dalam seluruh Alkitab.

Latihan / tugas :

Bagian ini disediakan pada akhir setiap prinsip supaya saudara dapat mempraktekkan secara
langsung prinsip-prinsip yang dibahas disini. Silakan MENAFSIRKAN / MEMPELAJARI
setiap ayat atau bagian dan melatih diri untuk menggunakan prinsip ini.

1. Yak 2:21-26 atau


Rom 10:13
-Diselamatkan olehiman atau perbuatan?
2. Ibr 5:7-8 atau
Luk 2:51-5
-Bagaimanakah Yesus belajar ketaatan
3. Mal 3:10 atau
Luk 6:38
-Persembahan persepuluhan masih berlaku?
4. Kis 2:38 atau
Ef 2:8-9
-Harus dibaptis sebelum diselamatkan
(Kis 3:19; 10:43)
5. Mat 21:22 atau Yoh 15:7 atau Yak 4:2-3
-Apakah syarat-syarat doa?

Sumber Bacaan:
1. Alan D. Cox, Penafsiran Alkitab - (Hal. 6-30)
2. Hasan Sutanto, Hermeneutik; Prinsip dan Metode - (Hal.133-244)
3. Pdt. Ichwei G. Indra, 8 Prinsip Tafsir Alkitab - (Hal. 18-42)
4. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini - (Hal. 435-436)
5. Don L. Fisher, Pra Hermeneutik - (Hal. 42-100)
6. T. Norton Sterrett, How to Understand Your BibIe - (Hal. 49-89)

B.PRINSIP-PRINSI KHUSUS (1)

Prinsip-prinsip khusus apakah yang perlu dipelajari?Bagaimana menggunakannya?

Selain prinsip-prinsip umum, ada prinsip-prinsip khusus yang dapat menolong


penafsir memberikan perhatian khusus pada jenis-jenis karya sastra yang dipakai dalam
Alkitab. Prinsip-prinsip khusus tsb. adalah sbb.:

1. Mempelajari kata-kata Kiasan

Kata Kiasan/Gaya Bahasa adalah kata atau ungkapan yang digunakan untuk
mengkomunikasikan sesuatu yang bukan untuk arti harafiahnya (sesungguhnya). Walaupun kata-
kata kiasan itu tidak membawa arti kata harafiahnya, tetapi mengungkapkan suatu berita
kebenaran tertentu dengan cara yang lebih menarik.Seperti halnya pada sebuah karya tulis pada
umumnya, peran gaya bahasa adalah sangat penting. Demikian juga pada Alkitab, sebab Allah
berbicara pada kita dengan menggunakan bahasa manusia. Maka kita perlu memahami gaya
bahasa yang digunakan, agar dapat lebih memahami isinya. Secara umum, gaya bahasa yang
digunakan dalam Alkitab sebenarnya tidaklah rumit, sehingga orang kebanyakan dapat
menangkap maksudnya. Dalam hampir semua perikop Alkitab, sebenarnya cukup jelas, apakah
pengarang Injil sedang membicarakan hal yang harafiah atau yang rohaniah, Bd. Yoh.6:53-54).
Memang ada kekecualian pada perikop-perikop tertentu, sehingga kita perlu mengetahui
beberapa prinsipnya:

a. Metafora :adalah perbandingan tidak langsung dengan mengambil sumber


sifat-sifat yang satu dan menerapkannya pada yang lain. Contoh 1,
“Jiwaku haus kepada Allah Yang hidup” (Mzm 42:3). Sesungguhnya, jiwa
yang adalah rohani tidak mungkin bisa haus, seperti tubuh haus ingin
minum. Jadi ungkapan ini merupakan metafor untuk menjelaskan
kerinduan jiwa kepada Allah
Contoh 2 (Latihan): "Akulah roti hidup;" .Joh 6:35,48. .;Why 21:6
b. Simili: adalah perbandingan langsung antara kedua hal yang tidak serupa.
Dan biasanya menggunakan kata “seperti”. Misalnya, pada kitab Dan
2:40, digambarkan kerajaan yang ke-empat ‘yang keras seperti besi’,
maksudnya adalah kekuatan kerajaan tersebut, yang dapat menghancurkan
kerajaan lainnya.“Matamu seperti kolam air”
Contoh lain misalnya: "Aku akan seperti embun bagi Israel,..." .Ho 14:6.
Maksud simili ini adalah.....................>Lih. Juga Mat.6:5, 10. 9:36.
Mat.3:16; Ro.3:13;13:9
c. Sinekdot. Artinya: bagian yang mewakili keseluruhan, atau sebaliknya.
Contoh: "semua penduduk Yerusalem" .Mr 1:5; Mat.26:31 “kamu semua
akan tergoncang imanmu karena Aku “ Yudas
d. Antromorf. Artinya: berbicara kepada benda mati yang diperlakukan
sebagai manusia.
Contoh: "Hai mezbah, hai mezbah" .1Ki 13:2. Bil. 21:17 “hai sumur”;
Mat.23:33 “Hai kamu ular-ular “. Contoh latihan: Cari dua contoh
antromorf................ Mzm 108:3
e. Personifikasi/antropomorfis : adalah pemberian sifat-sifat manusia
kepada sesuatu yang bukan manusia / berbicara mengenai benda yang
tidak hidup menjadi seolah-olah hidup Contohnya adalah ungkapan ‘wajah
Tuhan’ atau ‘tangan Tuhan’ (Kel 33: 20-23), meskipun kita mengetahui
bahwa Tuhan adalah Allah adalah Roh (Yoh 4:24) sehingga tidak terdiri
dari bagian-bagian tertentu.

Contoh latihan: "Biarlah sungai-sungai bertepuk tangan." Mzm 98:8.


Maksudnya adalah.................................

f. Hyperbolisme: adalah pernyataan dengan penekanan efek yang besar,


sehingga kekecualian tidak terucapkan. Contohnya adalah ucapan rasul
Paulus, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan
Allah” (Rom 3:23); di sini tidak termasuk Yesus, yang walaupun Tuhan
juga sungguh-sungguh manusia.

Contohlatihan ::Roma 11:13:.Aku berkata kepada kamu, hai bangsa-


bangsa bukan Yahudi...; Roma 15:11"Pujilah Tuhan, hai kamu semua
bangsa-bangsa, dan biarlah segala suku bangsa memuji Dia."

g. Interogasi. Artinya: bentuk pertanyaan, yang jawabannya sudah


diharapkan olehsi penanya.
Contoh: "Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?"
.Mzm 8:5.Diakan, berbuat baik, apakah dia masuk surga?
h. Ironi. Artinya: berlawanan dengan arti yang sebenarnya.(Kejadian atau
situasi yang bertentangan dengan apa yang diharapkan atau apa yang
seharusnya terjadi.
Contoh: "bersama-sama kamu hikmat akan mati" .Ayub 12:2. Contoh lain:
Pemerintah masih mengimpor bahan pangan dari negara tetangga pada hal
Indonesia adalah negara agraris.
i. Bahasa perkiraan: adalah penggambaran perkiraan, seperti jika
dikatakan pembulatan angka-angka perkiraan. Misalnya,“Yesus memberi
makan kepada lima ribu orang laki-laki” (Mat 14: 21; Mrk 6:44; Luk 9:14;
Yoh 6:10) dapat berarti kurang lebih 5000 orang, dapat kurang atau lebih
beberapa puluh. Kis 2:41
j. Cerita Perdebatan : adalah berlangsungnya diskusi-diskusi yang
hangat (perdebatan) di antara dua pihak atau lebih. Dalam perdebatan
masing-masing pihak saling membela dengan mengajukan argumen-
argumen. Contoh : (Mat. 9:11-13). Pada waktu orang Farisi melihat hal
itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: "Mengapa gurumu
makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?" (11),
Yesus mendengarnya dan berkata: "Bukan orang sehat yang memerlukan
tabib, tetapi orang sakit” (12).

Selanjutnya, ada juga kekecualian juga terjadi padakondisi berikut:

1. Jika Alkitab jelas mengatakan bahwa yang disampaikan adalah perumpamaan. Contoh
Yoh 10:6 “Itulah yang dikatakan Yesus dalam perumpamaan kepada mereka…” yang
kemudian dilanjutkan olehYesus, yang mengumpamakan Ia sebagai ‘pintu’ (Yoh 10:7).
Demikian juga dengan Mat 13:33 yang mengatakan bahwa Yesus mengajar dengan
perumpamaan. Di sini perumpamaan belum tentu terjadi secara nyata.
2. Interpretasi harafiah dilakukan sejalan dengan akal sehat, namun jika tidak masuk
akal, maka tidak mungkin dimaksudkan secara harafiah. Jadi misalnya, pada saat Yesus
mengatakan bahwa raja Herodes adalah ‘serigala’ (Luk 13:32), maka kita tidak akan
mengartikan bahwa pada waktu itu pemerintah di jaman Yesus dikepalai olehmahluk
mamalia, berambut, berekor, berkuping lancip yang bernama Herodes.
3. Jika pengartian secara harafiah malah menujukkan kontradiksi pada Allah, maka
gaya bahasa yang diucapkan tidak dimaksudkan untuk diartikan secara harafiah. Dalam
hal ini penting sekali kita melihat ayat-ayat lain untuk melihat gambaran yang lebih jelas
akan makna ayat tersebut. Contoh: Dalam Mat 23:9, Yesus berkata “Jangan memanggil
seorangpun sebagai bapa di bumi ini”, padahal baru sesaat sebelumnya Yesus
mengulangi perintah ke-4 dari kesepuluh perintah Allah, “Hormatilah ibu bapa-mu” (Mat
19:19) dan Ia juga menyebut Abraham sebagai “bapa” (Mat 3:9). Selanjutnya kita
melihat bagaimana Rasul Paulus kemudian menyebut dirinya sendiri sebagai “bapa” bagi
umat di Korintus (1 Kor 4:15) dan kepada Onesimus (Flm 10). Maka ayat Mat 23:9 tidak
mungkin diartikan secara harafiah. Dalam hal ini, Yesus menggunakan gaya bahasa
hyperbolisme untuk menyatakan otoritas ilahi yang mengatasi otoritas duniawi.

Tips utama dan contohnya


Jadi di sini kita perlu mengingat bahwa jika bahasa yang dipakai tidak menunjuk kepada arti
figurative, dan jika tidak ada kondisi kekecualian seperti yang disebutkan di atas, maka kita
harus menginterpretasikan perikop secara harafiah, kecuali adanya argumentasi yang sangat
meyakinkan untuk mengartikan sebaliknya. Kita tidak bolehmemilih-milih ayat mana yang
kelihatannya baik dan mudah untuk dicerna, dan mana yang tidak, untuk menentukan apakah
dapat diartikan secara harafiah atau tidak. Misalnya, ada banyak orang tidak menyukai adanya
neraka, maka mereka menganggap perkataan Yesus tentang neraka hanya sebagai ucapan
simbolis. Ini tentu saja keliru! Atau misalnya, banyak orang salah mengartikan perikop tentang
Roti Hidup pada Injil Yohanes 6. Mereka tidak dapat menerima ucapan Yesus secara
harafiah,“Jikalau kamu tidak makan daging-Ku dan minum darah-Ku, kamu tidak mempunyai
hidup di dalam dirimu; dan barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai
hidup yang kekal …” (Yoh 6:53-54). Mereka mengartikannya bahwa Yesus hanya berbicara
secara simbolik saja. Hal ini tentu adalah sikap yang keliru, yaitu mengartikan suatu
perikop secara harafiah atau simbolik hanya berdasarkan ‘selera’ saja atau
terbatas pada pemikiran yang sempit.

Jika seseorang menganggap perikop Roti Hidup sebagai ‘ayat yang sulit sehingga lebih baik
tidak diartikan secara literal tetapi figuratif saja’, maka orang itu memasukkan dirinya dalam
golongan orang-orang yang pada jaman Yesus juga menganggap ayat itu terlalu sulit, dan
memilih untuk meninggalkan Yesus. “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup
mendengarkannya?” (Yoh 6:60). Dan sungguh banyak murid-murid-Nya yang pergi
mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Dia, setelah Yesus mengajarkan demikian. (Yoh
6:66). Jika pengajaran ini hanya bermaksud simbolis, tentu Yesus akan mencegah mereka pergi.
Namun Alkitab mengatakan yang sebaliknya. Menanggapi hal ini, Yesus malah bertanya kepada
para rasulnya, apakah mereka mau pergi juga. Dan Petrus, mewakili para rasul menjawabNya,
“Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? PerkataanMu adalah perkataan hidup yang kekal”
(Yoh 6: 68). Maka kita ketahui bahwa hanya para Rasul dan mereka yang setia memegang
ajaran,Inilah,yang dijanjikan Yesus.Yesus berkata “Barangsiapa yang memakan Aku, akan
hidup olehAku… ia akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6: 57-58). Sekarang memang kita perlu
menilik ke dalam diri kita, termasuk golongan manakah kita ini: yang menerima ayat tersebut
secara harafiah ataukah yang figuratif? Jika kita menerima ayat itu secara harafiah sesuai
kehendak Yesus, dan kita sudah percaya kepada kehadiran Yesus yang nyata dalam Perjamuan
Kudus, selanjutnya, apakah sikap kita dalam menyambut Perjamuan Kudus sudah mencerminkan
iman kita itu?

Contoh yang lain adalah cerita Nabi Yunus yang ditelan olehikan besar selama 3 hari (Yun
1:17), sebelum dimuntahkan ke laut. Banyak orang menganggap kisah ini tidak masuk akal,
sehingga lebih baik dianggap figuratif saja. Namun bagi kita yang percaya pada Sabda Allah,
maka sesungguhnya tidaklah sulit bagi kita untuk percaya bahwa hal ini harafiah terjadi, apalagi
kisah inilah yang dipakai olehYesus untuk menggambarkan kematian-Nya sebelum Ia bangkit
pada hari ketiga (Mat 12:39-41; Luk 11:29-32). Melihat pentingnya misteri wafat dan
kebangkitan-Nya, tentulah tidak sekedar hanya mengambil kisah simbolis, namun kisah yang
sungguh terjadi.

Di sini kita melihat, bahwa jika kita mulai mempertanyakan terus dan hanya mau menerima
apa yang dapat dibuktikan dengan akal, maka kita dapat terjebak pada memilih-milih ayat sesuai
dengan keinginan kita, dan akhirnya dapat mempertanyakan segala mukjizat yang ada dalam
Kitab Suci. Hal inilah yang dimiliki olehbanyak ahli Kitab suci jaman modern, yang berusaha
merasionalisasikan Alkitab, dan sedapat mungkin mencoret unsur mukjizat dan intervensi ilahi.
Sikap yang demikian bukanlah sikap yang rendah hati yang disyaratkan untuk membaca Sabda
Tuhan, dan kita sungguh perlu berdoa agar kita tidak mempunyai sikap yang demikian.

Kesimpulan

Prinsip untuk menginterpretasikan Alkitab adalah pedoman bagi kita untuk mendapatkan
pengertian yang lebih mendalam akan ayat-ayat Kitab Suci. Prinsip-prinsip tersebut membantu
kita untuk dapat “membaca dan menginterpretasikan Kitab Suci dengan semangat roh
yang sama dengan bagaimana kitab tersebut dituliskan”, dan dengan demikian kita
dapat mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang makna ayat-ayat dalam Kitab suci,
karena kita melihat juga kaitan satu ayat dengan ayat-ayat yang lain. Sudah menjadi Tradisi
Gereja bahwa ayat-ayat Alkitab tidak untuk dipertentangkan satu dengan yang lain,
tetapi selalu dilihat dalam satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi. Mari kita
belajar dari teladan kebaikan Tuhan, yang walaupun tetap mempertahankan kebenaran dan
kekudusan-Nya, telah sedemikian menyesuaikan Diri-Nya untuk menjangkau kita semua dengan
menggunakan bahasa manusia. Mari kita melakukan bagian kita, dengan berusaha untuk
memahami apa yang hendak disampaikan-Nya kepada kita.

Petunjuk mempelajari kata-kata kiasan/gaya bahasa:

a.Kata-kata kiasan yang digunakan biasanya cukup mudah ditemukan.


b.Analisa kata-kata tsb. dan tempatkan pada konteksnya.
24/03/14
2. Memahami Bentuk Simbol-simbol

Lambang/simboldiartikan sebagai penambahan arti pada arti biasa yang sudah ada
(diketahui umum). Alkitab menggunakan banyak lambang/simbol untuk mengungkapkan
kebenaran atau justru menyembunyikannya. Kata-kata lambang itu bisa berupa orang, nama,
benda, warna, nomor dll. Dan sering kali Alkitab tidak memberikan arti terhadap simbol-simbol
itu dan pembacalah yang harus menemukannya. Itu sebabnya penafsir harus hati-hati untuk
bijaksana menentukan apakah simbol itu betul-betul dimaksudkan olehAlkitab atau tidak.
Contoh: baptisan (tanda pertobatan mat.3:11, kis 2:38) pengampunan , perjamuan kudus (Yoh
6:53-54) dll.Burung merpati, angin, nyala api, salib, warna putih (naik sidi, white colar), hitam
(jubah),

Beberapa petunjuk untuk menafsirkan simbol:

a. Pelajari cara Alkitab sendiri menafsirkan simbol.


b. Kalau itu benda, maka kualitas/sifat benda tsb. bisa menjadi petunjuk arti
yang dimaksud.
c. Pelajari konteksnya karena penting untuk membantu menentukan arti yang
dimaksud. Benda atau objek yang sama bisa memberikan simbol arti yang
berbeda, maka perlu melihat konteksnya.
d. Hindari berspekulasi. Kalau Alkitab tidak memberikan petunjuk maka
tidak perlu mereka-reka.

3. Memahami Bentuk Gambaran / Tipe

Gambaran dalam Alkitab menunjukkan aspek-aspek dari kebenaran Alkitab


yang sangat indah dan berharga untuk kita ketahui.

Gambaran-gambaran itu biasanya memiliki sifat sbb.:

a. Mempunyai maksud ilahi. Gambaran bisa ditentukan kepastiannya


kalau diParalellkan dengan PB. Tapi kalau tidak disebutkan dalam PB,
maka berarti harus hati-hati.
b. Gambaran adalah bayang-bayang dari kebenaran yang akan
diungkapkan, olehkarena itu penggambaran dalam PL akan
digenapkan dalam PB.
c. Bagaimana bila gambaran tertentu itu tidak disebutkan dalam PB.
Dalam hal ini para teolog berbeda pendapat:
Pertama: Semua gambaran harus mempunyai Paralell dalam PB, kalau
tidak berarti tidak perlu dicari artinya.
Kedua: Semua hal dalam PL merupakan gambaran dari apa yang akan
datang (PB). Jadi pasti harus dicari artinya.
Contoh: Imam Besar PL adalah gambaran dari Kristus dalam PB (Im.
9:7- menunjuk kepada .Ibr 5:3), Yunus diperut ikan gambaran Yesus
mati, Abraham mengorbankan anaknyapgambaran Allah
mengorbankan anakNya Yesus. Kemah suci Kel.26 Ibr.8:5

4. Menafsirkan / Mempelajari Tujuan Perumpamaan dan Alegori

Perumpamaan biasanya diartikan sebagai sebuah cerita yang mengandung kebenaran


hidup tetapi tidak sungguh-sungguh terjadi (tidak ada nilai sejarah) dan diceritakan dengan
maksud untuk memberikan kebenaran moral atau rohani. (bisa disebut sebagai perpanjangan dari
simili karena mengandung suatu perbandingan). Perumpamaan banyak terdapat dalam Injil-injil
Sinoptik. Ada beberapa motif mengapa Yesus memberikan perumpamaan. Kadang untuk
menjawab pertanyaan, kadang untuk ilustrasi kotbah, kadang untuk membungkam perdebatan
dll. (Mis. Markus 4:26 dst, bd. Lukas 8, biji sesawi, dirham

Petunjuk untuk memahami perumpamaan:

1. Perumpamaan biasanya mempunyai satu pesan/berita/tujuan. Jadi kita


tidak perlu mengartikan semua detailnya dengan arti rohani. Yang penting
temukan tujuan utamanya (inti berita yang akan disampaikan).
2. Pikirkan arti harafiahnya ketika pertama membaca perumpamaan. Karena
perumpamaan biasanya terdiri dari 3 unsur: Situasi, Cerita, dan Aplikasi,
maka kalau sulit mengerti artinya, pikirkan situasinya (latar belakang
budaya atau sejarahnya), lalu tujuan aplikasinya.
3. Periksa arti perumpamaan itu dengan pengajaran langsung dari Alkitab.

Alegorihampir sama dengan perumpamaan. Alegoribisa disebut


sebagai perpanjangan dari metafora. Yesus kadang menggunakan metode
Alegoridalam menyampaikan pengajaranNya (Joh 10 dan .Joh 15-), tetapi
artinya cukup jelas karena Yesus sendiri biasanya menjelaskan artinya.

5. Menafsirkan / Mempelajari Idiom-idiom Bahasa Ibrani

Idiom adalah ungkapan yang hanya khusus dipakai olehbahasa tertentu. Idiom sering
sama dengan pemakaian gaya bahasa (kata kiasan), tetapi karena kekhususan cara berpikir dalam
bahasa Ibrani maka hal ini dibedakan. Kesulitan utama untuk mengerti idiom bahasa Ibrani
Alkitab (PL dan PB) adalah kebanyakan pembaca tidak memahami latar belakang budaya Ibrani:

1.Antrophomorfisme. Artinya mengambil bentuk manusia. Dalam Alkitab banyak


dipakai khususnya untuk berbicara tentang Allah. Perlu diperhatikan bahwa
seringkali arti kata-kata tersebut bukan menunjuk kepada arti harafiahnya.
Contoh: "tanganNya yang kuat.." .De 11:2. (Ulangan 11:2)

2.Mengabsolutkan yang relatif. Menyebut sesuatu yang relatif dengan cara yang
absolut. Contoh: "Jikalau seseorang tidak datang kepadaKu dan ia tidak
membenci bapanya, ibunya...". .Lu 14:26.

3.Merelatifkan yang absolut. Menyebut sesuatu yang absolut dengan cara yang
relatif. Contoh: "Pada waktu penghakiman, orang-orang Niniwe akan bangkit
bersama angkatan ini dan mereka akan menghukumnya.". .Lu 11:32.

4."Anak dari.........".Menyebutkan arti lain dari arti harafiahnya. Contoh: "anak


Daud" artinya keturunan Daud.(Mat 1:1,20; 12:13; 15:22; Luk.18:38)

04-06-12

6. Menafsirkan / Mempelajari Bentuk Puisi

Puisi adalah alat pengekspresi perasaan dan pikiran manusia yang paling dalam. Bentuk
sastra Ibrani biasanya ditandai dengan struktur baris tertentu yang disebut Paralelisme, namun
tidak bersajak. Dalam Alkitab cukup banyak dijumpai bentuk-bentuk tulisan puisi; misalnya:
Nyanyian perang, .Ex 17:16. Nyanyian Cinta (Kidung Agung 1:2, 5), Ratapan (beberapa bagian
kitab Mazmur dan Kitab Ratapan), Nyanyian Pujian (Beberapa bagian kitab Mazmur 12:6, 36:6
Nyanyian Maria), Ucapan Hikmat/Pengajaran (beberapa bagian Kitab Mazmur).
Bentuk-bentuk Paralelisme yang sering dijumpai adalah:

a.Paralel Sinonim (mengandung ide yang searti), mis: .Mzm 24:3

b.Paralel Antitesis (mengandung ide yang bertentangan), mis: .Mzm 37:9

c.Paralel Sintesis (mengandung ide yang terpadu), mis Mzm 35:1-2

7. Menafsirkan / Mempelajari Nubuat

Nubuatanadalah salah satu bentuk sastra yang mungkin paling sulit untuk ditafsirkan
sehingga paling banyak disalah-tafsirkan. Dari banyaknya jumlah nubuatan yang ada di Alkitab,
maka sangat perlu kita memberi perhatian dalam menafsir. Ciri/karakteristik nubuatan: biasanya
menggunakan gaya bahasa/kata kiasan, sehingga artinya tidak jelas. Kata kerja yang digunakan
adalah bentuk-bentuk keakanan dan penggenapannya adalah untuk waktu yang akan datang (bisa
waktu dekat atau jauh), dan jelas memiliki perspektif nubuatan dengan bersyarat atau tidak
bersyarat.

Nubuatan dibedakan dalam beberapa macam:

1.Nubuatan yang akan terjadi langsung saat dikatakan


Contoh: "Aku akan mengeraskan hati Firaun" .Ex. 14:4.
2.Nubuatan PL yang digenapi kemudian pada masa PL
Contoh: .Jos 6:26, 1Ki 16:34-
3.Nubuatan PL yang digenapi kemudian pada masa PB
Contoh: Nubuatan-nubuatan tentang Mesias.
4.Nubuatan PB yang digenapi kemudian pada masa PB
Contoh: .Mr 13:2-
5.Nubuatan PL dan PB yang belum digenapi
Contoh: Kedatangan Kristus yang kedua kali.

8. Menafsirkan / Mempelajari Doktrin

Pengajaran/Doktrindiartikan sebagai suatu prinsip kebenaran yang berisi pokok-pokok


iman yang diajarkan olehAlkitab yang telah disusun secara sistematis. Alkitab adalah sumber
dari semua doktrin Kristen yang Tuhan ingin ajarkan kepada kita. Doktrin-doktrin Alkitab
mempunyai satu kesatuan yang utuh, olehkarena itu tidak mungkin mengajarkan kebenaran yang
saling bertentangan satu dengan yang lain, walaupun ada kemungkinan terdapat kebenaran yang
bersifat paradoks.

Petunjuk untuk menafsir doktrin

1.Dasarkan penafsiran doktrin pada pernyataan-pernyataan yang jelas arti


harafiahnya dan bukan berdasar dari kata-kata kiasan atau yang tidak jelas.
2.Dasarkan doktrin pada perikop-perikop (konteks) yang bersifat didaktik
(pengajaran) bukan sejarah.

3.Dasarkan doktrin pada seluruh kebenaran Alkitab, tidak cukup kalau


hanya sebagian kebenaran dan jangan merumuskannya dari kebenaran
yang tidak disebutkan dalam Alkitab.

4.Pakailah semua prinsip-prinisp umum Hermeneutik untuk menafsirkan


doktrin, khususnya studi kata.

5.Hindarkan unsur-unsur spekulasi dalam menafsirkan doktrin.

Sumber Bacaan:

1.Alan D. Cox, Penafsiran Alkitab - (Hal. 31-41)


2.Hasan Sutanto, Hermeneutik; Prinsip dan Metode - (Hal.245-334)
3.Ensiklopedia Alkitab Masa Kini - (Hal. 435-436)
4.Don L. Fisher, Pra Hermeneutik - (Hal. 34-100)
5.Pdt. Ichwei, 8 Prinsip Tafsir Alkitab - (Hal. 43-47)
6.T. Norton Sterrett, How to Understand Your Bible - (Hal. 93-156)

C.PRINSIP-PRINSIP KHUSUS (2)


Empat Prinsip Mengartikan Berita Alkitab

Secara umum, Alkitab mempunyai dua macam arti. Yang pertama disebut ‘literal/
harafiah’ sedangkan yang kedua disebut sebagai ‘spiritual/ rohaniah’. Kemudian arti
rohaniah ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu: alegoris, moral dan anagogis. Ke-empat macam
arti ini secara jelas menghubungkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

1. Arti literal/ harafiah.

Arti harafiah adalah arti yang berdasarkan atas penuturan teks yang ada secara tepat.
Mengikuti ajaran St. Thomas Aquinas, kita harus berpegang bahwa, “Tiap arti Kitab Suci
berakar di dalam arti harafiah”.Jadi dalam membaca Kitab suci, kita harus mengerti akan arti
kata-kata yang dimaksud secara harafiah yang ingin disampaikan olehpengarangnya, baru
kemudian kita melihat apakah ada maksud rohani yang lain. Arti rohani ini timbul berdasarkan
arti harafiah.

2. Arti alegoris

Arti alegoris adalah arti yang lebih mendalam yang diperolehdari suatu kejadian, jika kita
menghubungkan peristiwa tersebut dengan Kristus. Contohnya:
a) Penyeberangan bangsa Israel melintasi Laut Merah adalah tanda kemenangan yang
diperoleh umat beriman melalui Pembaptisan (lih.Kel14:13-31; 1Kor 10:2).
b) Kurban anak domba Paska di Perjanjian Lama merupakan tanda kurban Yesus Sang Anak
Domba Allah pada Perjanjian Baru (Kel 12: 21-28; 1 Kor 5:7)).
c) Abraham yang rela mengurbankan anaknya Ishak adalah gambaran dari Allah Bapa yang rela
mengurbankan Yesus Kristus Putera-Nya (Kej 22: 16; Rom 8:32).
d) Tabut Perjanjian Lama adalah gambaran dari Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru.
Karena pada tabut Perjanjian Lama tersimpan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16)
dan roti manna (Kel 25:30); sedangkan pada rahim Maria Sang Tabut Perjanjian Baru tersimpan
Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Roti Hidup (Yoh 6:35).

3. Arti moral

Arti moral adalah arti yang mengacu kepada hal-hal yang baik yang ingin disampaikan
melalui kejadian-kejadian di dalam Alkitab. Hal-hal itu ditulis sebagai “contoh bagi kita
…sebagai peringatan” (1 Kor 10:11).

a) Ajaran Yesus agar kita duduk di tempat yang paling rendah jika diundang ke pesta (Luk
14:10), maksudnya adalah agar kita berusaha menjadi rendah hati.
b) Peringatan Yesus yang mengatakan bahwa ukuran yang kita pakai akan diukurkan kepada kita
(Mrk 4: 24) maksudnya agar kita tidak lekas menghakimi orang lain.
c) Melalui mukjizat Yesus menyembuhkan dua orang buta, yang berteriak-teriak, “Yesus, Anak
Daud, kasihanilah kami!” (Mat 20: 29-34) Yesus mengajarkan agar kita tidak lekas menyerah
dalam doa permohonan kita. (lihat juga Yohanes 15 (pokok anggur).

4. Arti anagogis

Arti anagogis adalah arti yang menunjuk kepada surga sebagai ‘tanah air abadi’. Contohnya
adalah:

a) Gereja di dunia ini melambangkan Yerusalem surgawi (lih. Why 21:1-22:5).


b) Surga adalah tempat di mana Allah akan menghapuskan setiap titik air mata (Why 7:17).

Pepatah mengenai ke-4 arti Alkitab

Berikut ini adalah pepatah yang berasal dari Abad Pertengahan:

“Harafiah, Huruf [dari kata letter/ literal] mengajarkan kejadian; alegorimengajarkan apa
yang harus dipercaya,;moral, mengajarkan apa yang harus dilakukan; anagogimengajarkan ke
mana kau harus berjalan,.”

Contoh interpretasi Alkitab menggunakan ke-4 prinsip

Maka semua kejadian di dalam Alkitab memiliki makna harafiah, walaupun dapat
mengandung arti rohaniah juga. Contohnya adalah kisah Allah menurunkan roti manna di
padang gurun (Kel 16).
Secara harafiah, memang Allah memberi makan bangsa Israel dengan manna yang turun dari
langit selama 40 tahun saat mereka mengembara di padang gurun.

A. Secara alegoris, roti manna menjadi gambaran Perjamuan Kudus, di mana Yesus sebagai
Roti Hidup adalah Roti yang turun dari surga (Yoh 6:51), menjadi santapan rohani kita
umat beriman yang masih berziarah di dunia ini.
B. Secara moral, kisah ini mengajarkan kita untuk tidak cepat mengeluh dan bersungut-
sungut (Kel 16:2-3) kepada Allah. Umat Israel yang bersungut-sungut akhirnya dihukum
Allah sehingga tak ada dari generasi mereka yang dapat masuk ke tanah terjanji (selain
Yoshua dan Kaleb).
C. Secara anagogis, kita diingatkan bahwa seperti roti manna yang berhenti diturunkan
setelah bangsa Israel masuk ke Tanah Kanaan, maka Perjamuan Kudus juga akan
berakhir pada saat kita masuk ke Surga, yaitu saat kita melihat Tuhan muka dengan
muka.

Mat.17:1-
A.Alegoris : Gambaran pengagungan bagi umat sebagaimana Kristus dimuliakan, bhw siapa yg
menerima Yesus dan menjadikan yesus sebagai tumpuan hidupnya akan menang

b. Moral : org percaya harus selalu siap menghadapi penderitaan

c. Anagogis : org bertekun dlm penderitaan akan dimuliakan Tuhan


VI. Metode-Metode Penafsiran
A.Metode-Metode Penafsiran Yang Kurang Baik

Tujuan pokok penafsiran harus diketahui secara jelas oleh orang yang menaruh minat
pada usaha ini. Tujuannya sederhana sekali yaitu menemukan arti yang dimaksudkan oleh sang
penulis pada saat dia menulis. Dalam perjalanan waktu ternyata para penafsir sudah
mengembangkan beberapa metode yang dipakai dalam upaya ini. Metode-metode tersebut
sebetulnya berawal dari berbagai cara pendekatan yang berbeda terhadap penafsiran kitab suci.
Ketika cara-cara tersebut dikembangkan, cara-cara itu menjadi aneka sistem
penafsiran yang luas, dengan masing-masing memiliki perangkat aturannya sendiri. Sebagai
metode, masing-masing juga mencakup kelompok prinsip khususnya sendiri-sendiri. Berbagai
metode tersebut antara lain:
1.Metode Alegoris
a. Asal mula
Metode ini dimulai dari penyatuan antara agama dan filsafat Yunani. Dengan munculnya
filsafat, orang Yunani mulai menyadari bahwa mereka tidak mungkin menafsirkan tulisan-tulisan
agama mereka secara harfiah dan tetap berpegang pada filsafat mereka. Jika kedua-duanya
diambil secara harfiah, maka keduanya akan bertentangan. Karena kesetiaan baru mereka kepada
filsafat, maka untuk membuat agar agama dan filsafat mereka tidak berbenturan mereka harus
menyimpulkan bahwa tulisan-tulisan keagamaan mempunyai arti agak lain daripada arti
harafiahnya. Metode yang mereka ciptakan untuk maksud tersebut adalah alegorisme.

b. Definisi
Metode ini beranggapan bahwa di balik arti yang jelas dan nyata dari kitab suci terdapat
artinya yang sebenarnya. Metode ini yakin bahwa apa yang secara harfiah dikatakan oleh kitab
suci hanya merupakan “kulit” luar yang menyembunyikan “hal” rohani yang sesungguhnya dari
firman. Dalam membuat alegori, sebuah nas dengan arti harfiah yang jelas ditafsirkan dengan
memakai perbandingan pokok demi pokok , yang memunculkan suatu arti rohani yang
tersembunyai yang tidak jelas dalam bahasa biasa dari nas tersebut. Contoh: Penafsiran kitab
Ayub dikatakan: “Ketiga sahabat Ayub itu merupakan bidat atau orang sesat, ketujuh anaknya
adalah ketujuh rasul, ketujuhribu dombanya adalah umat Allah yang setia, dan tiga ribu unta
dengan punggung berponok ini adalah bangsa-bangsa non-Yahudi yang bejat akhlaknya” (oleh:
Paus Gregory Agung).

c. Evaluasi
Dalam perjalanan waktu terbukti bahwa metode penafsiran ini tidak memadai. Kesalahan
metode ini bermula pada asumsi dasarnya yaitu bahwa apa yang difirmankan Allah dengan
bahasa yang jelas bukanlah apa yang benar-benar Ia maksudkan. Metode ini berbahaya karena
tidak ada batasan alkitabiah untuk memandu pelaksanaannya. Ini pasti mengundang pertentangan
dan perdebatan antara penganut metode ini. Melalui metode ini, kitab suci ditafsirkan terlepas
dari pengertiannya berdasarkan sejarah dan gramatika. Apa yang disampaikan secara jelas oleh
penulis pertama kalinya secara nyaris diabaikan dan yang dikedepankan adalah apa yang penafsir
ingin sampaikan.Alegorisme mengaburkan baik unsur harafiah maupun unsur kiasan dalam kitab
suci. Dengan mengutamakan maksud penafsir dan mengabaikan maksud penulis pertama kalinya
jelas metode ini gagal untuk mencapai tujuan pokok penafsiran.

2. Metode Mistis
a. Asal-usul
Metode ini hampir sama dengan metode alegoris. Asal-usul metode mistis bisa ditelusuri
asalnya dari metode eksegesa Hagadis yang dikembangkan oleh orang-orang Yahudi Palestina
pada masa intertestamental. Metode ini meliputi baik penafsiran secara alegoris maupun secara
mistis atas Perjanjian Lama. Karena terlalu besar keinginan untuk menerapkan kitab suci dalam
kehidupan orang-orang, para penafsir salah mengira penerapan itu sebagai penafsiran dan
mereka menafsirkan ke dalam arti kitab suci dengan tidak jelas.
b. Definisi
Metode ini beranggapan bahwa di balik kata-kata dan penegrtiannya yang biasa itu
tersembunyi aneka ragam arti. Metode ini melangkah lebih jauh daripada metode alegoris
dengan membuka pintu bagi banyak ragam penafsiran. Dengan memakai metode ini, suatu nas
kitab suci dengan arti harfiah yang jelas dapat ditafsirkan dengan sejumlah arti rohani yang
tinggi. Karena mengaku ingin mencapai bukan hanya yang tersurat, tetapi juga yang tersirat atau
spirit dari firman, maka fungsi dari metode ini juga disebut “spiritualisasi”. Sebagai contoh
penafsiran: “Jangan membunuh” (Kel 20:13), dituliskan: “Waktu memakai tiga pengertian kitab
suci pada perintah ini, ia mengatakan bahwa pengertian lahiriahnya adalah bahwa membunuh,
membenci dan mendendam dilarang; pengertian rohaniahnya adalah bahwa melakukan kejahatan
dan menghancurkan jiwa manusia dilarang; lalu pengertian surgawinya adalah bahwa bagi para
malaikat, membenci Tuhan dan firman-Nya adalah sama dengan membunuh.

c. Evaluasi
Metode ini jelas berbahaya dan kurang berguna untuk penafsiran karena dapat menyesatkan.
Kesalahan dalam asumsi pokoknya melebihi kesalahan dari metode alegoris karena metode
mistis menganggap kitab suci bisa mempunyai sejumlah arti. Dengan kata lain, waktu menulis
kitab suci, Allah mempunyai banyak maksud lain di balik hal-hal yang secara nyata Ia
firmankan. Kitab suci dengan demikian dianggap sebagai alat komunikasi yang jelas dari Allah
menjadi sebuah teka-teki dan membuatnya mengatakan segala macam hal yang lain daripada hal
yang Allah maksudkan. Metode ini tidak menentu dan tidak terikat apapun. Mereka masing-
masing menjadi aturan penafsiran bagi diri mereka sendiri. Ddngan mengutamakan maksud-
maksud penafsir dan mengabaikan arti yang dimaksudkan oleh sang penulis, metode ini gagal
mencapai tujuan pokok dari penafsiran dan harus dibuang.
3. Metode Pengabdian
a. Asal-usul
Berasal dari eksegesa Hagadis zaman intertestimental yaitu dalam usaha menerapkan ayat-
ayat Alkitab pada kehidupan mereka, para ahli Taurat Yahudi mulai menafsirkan ayat-ayat itu
dari segi situasi kehidupan mereka sendiri. Dalam sejarah gereja, metode ini paling banyak
dipraktikkan di antara para orang saleh (pietis) zaman pasca reformasi. Karena itu metode ini
juga dikenal sebagai metode penafsiran Pietis.
b. Definisi
Metode ini beranggapan bahwa Alkitab ditulis untuk pembinaan pribadi setiap orang percaya
dan bahwa pengertiannya yang tersembunyi untuk setiap pribadi hanya bisa diungkapkan dengan
cahaya rohani batiniah yang besar (I Yoh 2:20 sering dipakai sebagai bukti). Metode ini
memeriksa Alkitab untuk menemukan arti yang dapat membangun kehidupan rohani. Dalam
menafsirkan hal yang paling penting bukanlah apa yang Allah katakan kepada orang lain,
melainkan apa yang Allah katakan kepada sang penafsir. Jadi tujuannya mencari di balik arti
harafiah yang jelas dari ayat-ayat itu pengertian rohani yang dapat diterapkan kepada kehidupan
si orang percaya. Contoh: Ketika menafsir Mat 10:9-11 dengan arti bahwa waktu mereka
mengadakan penginjilan mereka tidak boleh membawa perlengkapan materi dan juga tidak perlu
membuat persiapan rohani
c. Evaluasi
Sistem dalam metode ini sangat berbahaya bagi penafsiran. Bahaya utamanya adalah ketika
berusaha menerapkan Alkitab secara pribadi sang penafsir bisa mengabaikan arti harafiah yang
jelas dari apa yang Allah firmankan kepada orang-orang pada situasi sejarah tertentu dahulu,
sehingga dia menerapkan Alkitab dengan mengutamakan diri sendiri. Selanjutya bahaya lain
adalah penafsiran ini bergantung pada alegorisasi dan tipologi berlebihan dan bisa menggantikan
studi Alkitab tentang doktrin dan eksegesa yang justru sangat dibutuhkan. Memang seorang
penafsir harus mengetahui bahwa Alkitab dimaksudkan untuk diterapkan secara penuh
pengabdian, tetapi bahwa ini hanya bisa dilakukan secara tepat sesudah Alkitab ditafsirkan
secara harafiah dan secara historis. Penafsiran pengabdian harus juga diselaraskan dengan
penafsiran doktrin
4. Metode Penafsiran Rasionalistis
a. Asal-usul
Dimulai pasca reformasi yang berpusat di Jerman dengan penekanan penelitian pada sejarah
dan sastra dan berusaha mengurangi otoritas Alkitab.

b. Definisi
Metode ini beranggapan bahwa alkitab bukan firman Allah yang diilhamkan dengan otoritas.
Metode ini menafsirkan Alkitab sebagai dokumen buatan manusia dari segi nalar manusia. Jika
Alkitab bisa diselaraskan dengan pengetahuan sang penafsir maka Alkitab harus dipahami
sebagai apa yang tertulis di dalamnya, tetapi kalau tidak, Alkitab harus dianggap sebagai mitos
atau dongeng, atau digunakan sebagai bantuan. Dengan demikian daya pikir seorang penafsir
menjadi ukuran penafsiran, maka hal-hal adikodrati pasti disingkirkan. Contoh: Lazarus
disebutkan hanya mengalami koma dan bukan sudah mati, Yesus hanya kelihatan berjalan di atas
air dll.
Sumber:Robert M. Grant –David Tracy, Sejarah Alkitab Penafsiran, Jakarta, BPK GM, 2000,
hal. 111-122
c. Evaluasi
Metode ini lebih tepat disebut sebagai metode orang yang tidak percaya. Walalupun disebut
rasional tetapi sebenarnya metode ini paling tidak rasional, karena kebenaran dianggap sebagai
mitos belaka. Metode ini jelas meninggikan nalar melebihi otoritas firman Allah. Dengan metode
ini seorang penafsir menjadikan dirinya standar kebenaran dan ia hanya melihat manfaat Alkitab
untuk membenarkan kesimpulan-kesimpulannya. Metode ini jelas harus ditolak.

5. Metode Perenungan (Devotional)

Asal usul :

Berasal dari abad 20 (Hermeneutik Baru), tokohnya Rudolf Bultmann.


Defenisi :

Metode penafsiran ini adalah hanya pada pengaplikasiannya saja sehingga penganut metode
ini menafsirkan Alkitab dalam konteks pengalaman hidup mereka sehari-hari. Mereka percaya
bahwa Alkitab ditulis memang untuk tujuan pengkudusan pribadi semata-mata oleh karena itu
arti rohani ayat-ayat tsb. hanya akan dapat ditemukan dari terang pergumulan rohani pribadi.
Oleh karena itu yang paling penting dalam mengerti Alkitab adalah apa yang Tuhan katakan
kepada saya pribadi.

Evaluasi :

Bahaya dari metode penafsiran ini adalah menjadikan Firman Tuhan menjadi pusat aplikasi
pribadi saja dan mengabaikan memahami karya Tuhan dan campur tangan Tuhan dalam sejarah.
Kelemahan yang lain dari metode ini adalah akhirnya jatuh pada kesalahan yang sama dengan
metode Alegoris dan Mistis, karena mereka akhirnya mengalegoriskan dan merohanikan Firman
Tuhan untuk bisa sesuai dengan kebutuhan pribadi.

B. Metode-Metode Penafsiran Yang Baik

1. Metode Gramatikal – Historikal – Kontekstual


Metode penafsiran ini berusaha memahami suatu teks dengan memperhatikan aturan gramatikal
(tata bahasa), sastra, fakta historis dan kerangka konteks. Metode penafsiran ini dapat dikatakan
yang terbaik, karena metodenya mengikuti aturan dan unsur-unsur tersebut di atas. Artinya
bahwa dalam aplikasi penafsiran si penafsir memiliki kesamaan dengan si penulis (teks Kitab
Suci) dalam mengartikan teks. Dalam proses penafsiran ini tidak mengabaikan peranan Roh
Kudus yang menginspirasikan (mewahyukan) Alkitab (2 Tim. 3:14-17) dan dokumen-dokumen
dilihat sebagai kebenaran yang berkepribadian (personal) yang diberikan Allah kepada manusia.
Dalam hal ini manusia berperan sebagai subjek yaitu mengerti dan melaksanakan kehendak
Allah yang diwahyukan secara tertulis (objek). Sebagai subjek, manusia dituntuk untuk
memahami firman Tuhan, dan firman Tuhan itu menjadi hakim bagi manusia. Yang sering
terjadi adalah justru manusia itu sendiri yang menghakimi dan mengkritisi firman Tuhan. Hal ini
dipertegas oleh Mathin luther “bukan manusia yang menghakimi firman Tuhan. Manusialah
yang harus dikritik dan dihakimi firman Tuhan”. Ungkapan Marthin Luther ini terlontar akibat
dampak perkembangan penafsiran pada abad 17-18 Masehi. Pada zaman ini aliran filsafat begitu
dominan yang dikenal dengan masa pencerahan. Pada era tersebut peranan akal diagung-
agungkan, sehingga akal menjadi tolok ukur penilaian terhadap sesuatu . Kewibawaan Alkitab
sebagai firman Allah di ragukan, terutama hal-hal yang sifatnya sulit diterima akal (rasional),
seperti mujizat dan wahyu Allah.

Kita harus mengaminkan bahwa Alkitab sebagai firman Tuhan yang ditulis dengan tujuan dan
yang mencakup beberapa pokok penting yaitu :

a. Arti suatu bagian dari Alkitab oleh si penulis


b. Penulis memilih bentuk / corak sastra untuk menyampaikan maksud suatu bagian teks
c. Pengertian suatu teks tidak terlepas dari keseluruhan teks dari bagian kitab itu.

Oleh karena itulah diperlukan dasar-dasar penafsiran dalam metode “Gramatical – Historical –
Kontekstual” yang perlu diperhatikan :

a. Bahasa asli harus menjadi patokan pengertian istilah dan tata bahasa
b. Makna dan maksud si penulis harus nampak jelas
c. Memperhatikan prinsip penafsiran Gramatikal (struktur tata bahasa, arti kata dan kalimat)
d. Memperhatikan prinsip Historis (situasi historis, geografis dan kulturis / budaya)
e. Memperhatikan prinsip kontekstual, misalnya ayat-ayat atau pasal-pasal sebelum dan
sesudahnya, konteks umum dari sebuah kitab/ surat atau Alkitab secara keseluruhan.
Demikian pula konteks sosial-budaya-ekonomi pada sa at penulisan.
f. Pengertian suatu teks harus logis dalam arti memiliki korelasi dengan keseluruhan
kesaksian dalam Alkitab.
g. Memperhatikan prinsip analogis iman yaitu mengenai perkembangan wahyu. Maksudnya
apa yang merupakan wujud iman di masa lalu / perintah langsung di masa lalu belum
tentu berlaku pada masa kini. Misalny a :membawa korban sembelihan, cara berpakaian
dsb.
h. Memperhatikan prinsip lingkaran hermeneutis, yang meruapan penentu kualitas suatu
tafsiran. Dalam pengertian bahwa penafsiran yang teliti dalam satu bagian kitab akan
berpengaruh penuh pada pengertian suatu kitab yang akan ditafsir. Demikian sebaliknya.
i. Prinsip Induktif-deduktif dan deduktif-induktif (dari khusus ke umum; dan dari umum ke
khusus). Ini adalah metode logika dalam enafsiran. (Sumber, Rainer Scheunemann, p. 17-
20).

❖ Langkah-langkah praktis Eksegesis (gramatikal-historikal-kontekstual)


(Catatan : Metode ini merupakan salah satu bentuk metode penafsiran Gramatikal-Historikal-
Kontekstual)

a. Kritik Terjemahan atau Kritik teks ( karena pekerjaan ini begitu sulit, lebih baik pilih
salah satu saja).
⚫ Kritik Perbandingan (TB dan TL)
o Baca perikop beberapa kali, kemudian baca juga konteks sebelum dan
sesudahnya, lalu perhatikan hubungannya.
o Periksa masalah penting berhubungan dengan naskah agar dalam proses
penerjemahan terbantu dan hasil terjemahannya lebih akurat
o Buatlah terjemahan sendiri
o Susunlah terjemahan sehingga membentuk kalimat yang jelas
b. Bentuk / Struktur
o Tentukan struktur (umum dan khusus) perikop dalam kitab / surat keseluruhan
o Struktur perikop umum yaitu menentukan tempat dan peranan nats dalam
karangan (kitab) seluruhnya. Untuk itu kita harus mengetahui susunan/ bagan
kitab/ surat yang mau ditafsirkan tersebut.
o Struktur perikop khusus yaitu batas-batas kesatuan perikop (nats) yang mau
ditafsirkan.
c. Konteks sejarah
o Selidiki latar belakang sejarah perikop.
d. Bentuk / Jenis gaya sastra
o Selidiki bentuk / jenis gaya sastra. Bentuk / jenis sastra apa yang dipakai si
penulis.
o Buat daftar (bila lebih dari satu) corak atau gaya sastra yang dipakai.
e. Data gramatikal (tata bahasa)
o Perhatikan pengertian yang sulit dalam perikop nats
o Identifikasi istilah-istilah penting dan jelaskan

f. Tafsiran Terperinci
o Buat susunan / pembagian nats dari perikop yang akan ditafsirkan.
o Tafsirkan menurut susunan / pembagian nats tersebut dengan jelas.

g. Tujuan
o Satu atau dua kalimat menguraikan apa yang menjadi tujuan perikop ini ditulis
oleh si penulis Injil ini.
h. Penerapan :
o Catatlah persoalan kehidupan yang terdapat dalam perikop tafsiran
o Sifat dan bidang penerapan tidak menyimpang dari teks
o Penerapan sesuai dengan kategori pendengar

Catatan : Bandingkanlah tugas penafsiran saudara dengan bahan buku-buku tafsiran untuk
melihat apakah arah penafsiran saudara sudah tepat.

Latihan praktis Eksegesis “gramatikal-historikal-kontekstual”


Matius 9:9-13

1. Kritik Terjemahan (kritik perbandingan)


9 Setelah Yesus meneruskan perjalananNya dari sana, Ia melihat sambil lalu
seseorang yang bernama Matius duduk di pabean. Ia berkata kepadanya : "Ikutlah
Aku." Maka bangunlah dia serta mengikutiNya.
10 Dan ketika Yesus berbaring makan di rumah, lihatlah, banyak pemungut cukai
dan orang berdosa datang turut makan bersama dengan Yesus dan murid-muridNya.
11 Apabila orang Farisi melihat itu, berkatalah mereka kepada murid-muridNya:
“Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang
berdosa?”
12 tetapi Yesus mendengarnya dan baerkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan
tabib, melainkan orang sakit.”
13 Pergilah dan pelajarilah apa artinya:”Belaskasihan itulah yang Kukehendaki,
bukanlah persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang yang
benar, melainkan orang berdosa.”

Setelah diterjemahkan, lalu dibandingkan dengan Alkitab terbitan LAI, apakah ada perbedaan
signifikan atau tidak. Bila ada maka si penafsir harus membuat catatan perbaikan, dan bila tidak,
berarti no problem.

2. Bentuk / Struktur
(konteks Umum dan Khusus yaitu tempat perikop dalam konteks): Untuk mengetahui
konteks umum kita harus mengetahui Struktur/ bagan / susunan Injil Matius.
a. Konteks Umum
i. Memperkenalkan Mesias (Mat 1:1-4:11)
ii. Pelayanan Mesianis Yesus di dan sekitar Galilea (Mat 4:12-18:35)
iii. Puncak Pelayanan Mesianis Yesus di Yudea/Perea dan Yerusalem
(Mat 19:1- 26:46)
iv. Yesus Ditangkap, Diadili dan Disalibkan (Mat 26:47-27:66)
v. Yesus Bangkit (Mat 28:1-20)

Jadi konteks umum dari perikop Matius 9:9-13 adalah Pelayanan Mesianis Yesus di dan
sekitar Galilea (Mat 4:12-18:35).

b. Konteks Khusus. Yaitu batas ketentuan perikop yang akan ditafsirkan, lalu
melihat nats sebelum dan sesudahnya. Perikop yang ditafsir adalah Matius
9:9-13, dan nats sebelumnya Matius 9:1-8 (Penyembuhan orang sakit
lumpuh) dan nats sesudahnya Matius 9:14-17 (hal berpuasa). Konteks khusus
ini diperlukan untuk mempermudah penafsiran. Dan hubungan dengan
konteks sebelumnhya adalah Yesus mendarat (9:1) dan di jalan dari pantai
danau Genesaret menuju kota Kapernaum, Yesus bertemu dengan seorang
yang lumpuh (9:2-8), lalu Yesus melewati pabean yang letaknya berhadapan
dengan kota itu, memanggil Matius. Hubungan sesudahnya : bahwa sesudah
jamuan makan di rumah Matius pemungut cukai, murid-murid Yohanes
bertanya kepada Yesus. Kemudian datanglah murid-murid Yohanes kepada
Yesus dan berkata: "Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-
murid-Mu tidak?"(ayat 14).

3. Konteks sejarah

Konteks sejarah yang dimaksud adalah penjelasan tentang bagaimana perikop ini muncul.

a. Perikop ini mengkisahkan panggilan Matius. Dalam hal ini dijelaskan bagaimana lazimnya
terjadi suatu panggilan dan bagaimana sikap / reaksi orang yang dipanggil itu. Yesus sebagai
orang yang memanggil “penuh kuasa” dan yang dipanggil dengan spontan meresponi dengan
positip (spontan).
b. Perikop ini adalah cerita perdebatan yang mengandung tiga unsur pokok yakni, pertama :
perbuatan Yesus; kedua: reaksi terhadap perbuatan Yesus dan ketiga : reaksi Yesus atas
kecaman-kecaman. Bahwa perbuatan Yesus makan di rumah pendosa sesungguhnya tidak lazim
di kalangan Yahudi. Oleh karena itu tidaklah heran bila orang-orang Farisi mengecam perbuatan
Yesus itu. Yesus pun menyambangi mereka (orang-orang Farisi), dengan pertanyaan yang
mengandung jawaban (bidal). Ini adalah cerita perdebatan. Perdebatan atau diskusi hangat
merupakan tradisi Yahudi dan ciri khas orang-orang Yahudi. Itulah sebabnya orang-orang Farisi
dengan penuh keberanian mendebat (mengecam) Yesus.

4. Bentuk / Gaya bahasa (Sastra)


Menyimak bacaan dari perikop ini, maka dapat disimpulkan bahwa jenis gaya bahasanya adalah
cerita perdebatan, atau interogasi, karena berisi diskusi hangat dan terdapat juga interogasi
(bertanya dan sekaligus mengandung jawaban).

5. Data gramatikal (tata bahasa)

Data gramatikal yang ditemukan adalah :

Subjek Kalimat :Yesus, Ia (9, 12); Matius (9); orang farisi, pemungut cukai, orang berdosa(ayat
11)

Keterangan waktu : Setelah, lalu (9); kemudian (10), pada waktu (11)

Keterangan kata kerja : melihat 2x (9,11), berkata/lah 3x (9,11,12), berdiri (9,10), ikutlah,
mengikut (9), duduk (9), makan (10,11), pergilah, pelajari, memanggil
(13)

Kata ganti : Ia 2x , nya (9), Dia, murid-muridNya (10), orang-orang berdosa 3x (10,11,13),
gurumu, mereka (11), Ku, Aku (13)

Kata Penghubung : Maka (9), kemudian, (10), dan 6x (10,11,12,13), tetapi (12), melainkan (13)

Setelah menganalisa dan mengidentifikasi penggunaan tata bahasa, maka kata penting dan
menonjol adalah kata :Matius, orang-orang berdosa.

Matius adalah putera Alfeus. Jabatannya adalah Pemungut cukai di Kapernaum (Mark 2:14-17,
bekas pemungut cukai (Mat 9:9-13; 10:3; Mr 3:18; Luk 6:15; Kis 1:13).

Juga dipanggil Lewi (Mr 2:14-17; Luk 5:27-32).

Orang berdosa : Adalah sebutan untuk orang-orang yang :a. tidak percaya / kafir bukan pemeluk
agama Yahudi), b. orang-orang / pegawai negeri yang diangkat oleh pemerintahan
Romawi (pemungut cukai), c. Orang-orang yang dianggap hina-dina (pelacur, gembala,
miskin, cacat dsb).
6. Tafsiran Terperinci

a. Susunan / pembagian nats

→ 9:9 : Yesus memanggil Matius, si pemungut cukai


→ 9:10-13 : Yesus makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang-
orang berdosa
a) 9:10 Perjamuan makan
b)9:11 Kecaman orang Farisi
c) 9:12-13 Jawaban Yesus
Ayat 9 : Yesus berjalan dari pantai danau Genesaret menuju ke Kapernaum. Yesus melewati
sebuah rumah (kantor) pemungut cukai. Kantor cukai itu letaknya mungkin dekat dengan pantai,
agar segala urusan / transaksi bea dan cukai untuk kapal-kapal barang dan dagangan lainnya
dengan mudah dapat diselesaikan. Ketika Yesus melintasi kantor itu, Ia melihat si pegawai cukai
lagi duduk. Saat itulah perhatian Yesus tertuju pada Matius si pemungut cukai tersebut dan
Matius sendiri belum tahu maksud Yesus. Yesuspun menemui Matius dan berkata “ikutlah
Aku”, maka Matiuspun mengikutiNya. Inilah awal dari panggilan dan ketaatan. Di sini perlu
dijelaskan, mengapa Matius si pemungut cukai yang dipanggil ? Karena Yesus mengasihi dan
membutuhkannya untuk karyaNya. Dan mengapa pula serta merta mengikutiNya ? Karena
Yesus yang memanggilnya. Di sinilah nyata kuasa Yesus.

Ayat 10. Acara jamuan makan berlangsung di rumah Matius. Selain Yesus dan murid-murid
turut juga makan orang-orang berdosa bahkan orang banyak. Sesungguhnya pendosa dan orang
banyak ini ikut-ikutan makan di rumah Matius. Kita tidak tahu mengapa mereka datang dan turut
makan bersama. Mungkin mereka ini adalah sahabat Matius. Keikutsertaan orang-orang berdosa
dan orang banyak tidak mengubah suasana kesukacitaan. Justru bagi Yesus ini malah menambah
kehangatan karena semua melebur dalam keakraban. Orang berdosa dan orang banyak senang,
karena bak “tamu agung” karena diperlakukan baik. Mereka diperlakukan sama seperti Yesus,
dilayani dengan baik, duduk dan makan bersama. Mereka yang biasa hidup terisolerdari
masyarakat yang dihina oleh para alim diperbolehkan makan bersama dengan Yesus dan para
muridNya. Tuhan Yesus tidak menganggap mereka sebagai sampah dunia. Yesus meruntuhkan
tembok-tembok yang memisahkan mereka dari orang-orang yang beragama. Pergaulan Yesus
dengan para pendosa ini selain menunjukkan kesosialan Yesus namun juga bukti pengampunan
Yesus terhadap mereka, bahwa betapun besarnya dosa mereka, dosa itu ditebus olehNya.

Ayat 11: Orang Farisi mengecam mereka demi hukum Taurat. Hukum Taurat melarang
pergaulan dengan para pendosa, agar ketahiran tidak ternoda. Inilah alasan kaum Farisi ini
mendebat Yesus. Orang Farisi menyimpulkan bahwa Yesus telah melanggar peraturan Taurat
dan meniadakan adat istiadat agama yang menuntut penjauhan diri dari unsur-unsur yang dapat
menajiskan. Kebebsan terhadap tradisi menurut orang Farisi dapat meruntuhkan seluruh tatanan
agama. Pertanyaan orang-orang Farisi ini ditujukan kepada murid-murid Yesus, meminta
pernyataan tegas yang dapat mendasari kegiatan Yesus, yang merupakan batu sandungan bagi
penjaga-pejaga Hukum Taurat itu.

Ayat 12. Yesus mendengar pertanyaan yang berisi kecaman orang-orang Farisi tersebut. Yesus
menjawab dengan memakai suatu bidal “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang
sakit”. Kebenarannya logis. Yesus menyerupai seorang tabib. Jawaban perbandingan ini
membuka pikiran orang Farisi. Orang Farisi berpandangan bahwa pergaulan Yesus dengan orang
berdosa ini sebagai tanda untuk kecenderungan Yesus terhadap dosa. Namun bukan begitu
halnya. Yesus sebagai tabib mengunjungi orang sakit, orang sakit itu tak dapat menolong dirinya
sendiri lagi, jadi mereka membutuhkan pertolonganNya. Yesus tidak suka dengan dosa dan
perbuatan dosa seperti pemungut cukai. Tetapi Yesus tidak mengambil jarak dengan mereka
(pendosa) sbagaimana dipraktekkan orang-orang Farisi. Jika demikian para pendosa akan binasa.
Tugas seorang tabib ialah mendatangi dan menyembuhkan mereka, bukan sebaliknya. Jawaban
Yesus ini sebagai suatu pedoman untuk mengatur hubungn dengan mereka yang berdosa.
Mereka tidak bisa diasingkan atau ditolak, melainkan terbuka sebab mereka membutuhkan
pengampunan.

Ayat 13 (bd. 12:7). Untuk mempertegas argumenNya, Ia mengutip nats PL dari Hosea 6:6 yang
merupakan suatu penjelasan perbuatanNya menurut hikmat dan merupakan penggenapan
kehendak Allah yang asli, barulah lengkap pergaulanNya dengan orang berdosa. Ayat ini
berbunyi “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan”. Yesus menyuruh
orang Farisi pergi dan belajar untuk mempelajari trlebih dahulu arti firman Tuhan dari kitab Nabi
Hosea 6:6 itu. “Pergilah dan pelajarilah” merupakan istilah teologi Rabbiah. Artinya cobalah
memahami makna teologis ini ! Dari ayat ini kenyataannya orang Farisi belum memahami
kehendak Allah sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci. Keyakinan orang Farisi rupanya kaku,
bahwa Allah benci kejahatan, oleh karenanya harus menjauhkan diri dari orang-orang berdosa.
Tapi mereka lupa dan harus belajar bahwa Allah itu adalah kasih dan mengingini keselamatan
orang berdosa. Inilah kehendak Allah yang sebenarnya dan Yesuslah yang menyatakanNya
dengan terang melalui karya belas-kasihan. Yesus makan bersama dengan pemungut cukai dan
orang-orang berdosa, maka perbuatan itulah yang sesuaai dengan kehendak Allah yang
sesungguhnya. Persembahan memang bagian dari keheendak Allah, tetapi bukan merupakan
pusat perbauatan (ajaranNya) melainkan belas-kasihan. Inilah intisari Kitab Suci “ksih kepada
Allah dan kasih kepada sesama manusia 9Mat. 22:37-40).

7. Tujuan.
Agar orang berdosa beroleh pengampunan dosa dari Allah

8. Penerapan.
o Jadilah menjadi orang yang berbelaskasihan. Tidak menutup diri (eksklusif)
dengan mereka yang dianggap hina, najis dan sebagainya. Sebab mereka
membutuhkan pertolongan / pengampunan Allah.
o Nilai agama bukan berpusat pada pemberian persembahan. Perbuatan melalui
persembahan tidak berarti, jika mengabaikan belaskasihan
o Sering orang Kristen menganggap dirinya lebih benar dan orang berdosa lebih
berdosa dan najis. Pandangan ini harus dibuang jauh-jauh. Jika demikian kita
sama saja dengan orang-orang Farisi yang dikecam Yesus.

Sumber :
A.A. Sitompu;-U. Beyer, Methode Penafsiran Alkitab, BPK GM, Jakarta, hal. 132-168
Rainer Scheunemann, Panduan Lengkap Penafsian Alkitab, Andi, Yogyakarta, 2009. hal. 148-
150
1. Metode Harafiah
Metode ini paling tua dimulai dari zaman Ezra “Bapak Hermeneutik”
Metode ini beranggapan bahwa kata-kata dalam Alkitab dalam arti nyatanya yang jelas
itu bisa dipercaya, bahwa Allah memaksudkan agar penyataan-Nya dipahami oleh semua orang
yang percaya, bahwa kata-kata dalam Alkitab menyampaikan apa yang Allah ingin manusia
ketahui, dan bahwa Allah mendasarkan penyampaian kebenaran itu pada berbagai peraturan
biasa yang mengatur komunikasi tertulis, oleh karenanya Ia ingin agar kata-kata itu bisa
ditafsirkan dengan peraturan-peraturan yang sama. Ini tidak berarti menolak keterlibatan Roh
Kudus baik dalam penciptaan maupun dalam penafsiran Alkitab.Ungkapan “arti harafiah” bisa
didefinisikan sebagai arti yang biasa dan yang diterima masyarakat yang dibawa oleh perkataan
atau ungkapan di dalam konteks tertentunya. Tercakup di dalamnya arti satu kata tertentu yang
dimaksudkan oleh penulis dan pembaca pertamanya. Disadari bahwa sebuah kata bisa
mempunyai arti berbeda dalam konteks berbeda dan karenanya harus ditafsirkan dari segi
penggunaan kontekstualnya. Metode ini berpendapat bahwa walaupun satu kata kemungkinan
mempunyai bebarapa arti, dalam setiap pemnggunaan khusus kata itu biasanya akan mempunyai
hanya satu arti yang diharapkan.
Menafsirkan secara harafiah berati menjelaskan arti semula dari si pembicara atau penulis
sesuai dengan penggunaan yang normal dan biasa dari kata-kata dan bahasa. Dengan demikian
dapat disimpulkan:
a. Arti harafiah tidak mengesampingkan kiasan.
b. Metode harfiah tidak mengesampingkan arti rohaniah
c. Penafsiran harafiah tidak mengesampingkan penerapan
d. Metode harafiah tidak mengesampingkan kedalaman arti
Metode ini menonjol di antara metode-metode lainnya sebagai satu-satunya cara pendekatan
yang pantas, aman dan masuk akal untuk menafsirkan Alkitab. Setiap metode lain terbukti tidak
memadai karena metode-metode lain itu kurang mempunyai batas-batas yang ditentukan Allah
dan yang dirumuskan dengan baik.
Sebagai catatan bahwa metode ini selalu menggunakan prinsip-prinsipn penafsiran.
Daftar Pustaka
1. Hasan Sutanto, Hermeneutik. Malang: SAAT, 2002
2. Kevin J. Corner, Interpreting The Scriptures. Malang: Gandum Mas, 2004
3. Gordon D. Fee & Douglas Stuart, Hermeneutik. Malang: Gandum Mas, 2006
4. John H. Hayes &Holladay. Pedoman Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK GM, 1987
5. John Stott, Memahami Isi Alkitab,Jakarta: PPA, 20

C. Metode-Metode Baru Analisis Literer(Narasi)

Tidak ada metode ilmiah yang sungguh-sungguh memadai bagi studi Alkitab untuk memahami
teks-teks alkitabiah dalam seluruh kekayaannya. Kendati dengan segala keabsahannya sebagai
suatu metode, metode historis-kritis tidak dapat mengklaim diri sebagai metode paling memadai
berkenaan dengan hal ini. Metode ini terpaksa harus menyisakan banyak aspek dari teks yang
dikajinya. Tidak mengejutkan bahwa pada saat ini berbagai metode dan pendekatan lain
diusulkan sebagai usaha untuk menyelidiki secara lebih mendalam aspek-aspek lain yang juga
pantas diberi perhatian.

Bagian ini akan menghadirkan metode-metode tertentu dari analisis literer yang berkembang
baru-baru ini.

Dengan memanfaatkan kemajuan yang dibuat pada zaman kita melalui studi linguistik dan
sastra, eksegese alkitabiah terus-menerus menggunakan metode-metode baru dari analisis literer,
khususnya analisis retoris, analisis naratif, dan analisis semiotic

1. Analisis Retoris

Dalam dirinya sendiri sebenarnya analisis retoris bukanlah suatu metode baru. Yang baru adalah
penggunaannya secara sistematis untuk menafsirkan Alkitab, serta awal dan perkembangan dari
suatu "retorika baru".

Retorika adalah seni merangkai wacana (discourse) untuk tujuan persuasif. Fakta bahwa, dalam
kadar tertentu, semua teks alkitabiah mempunyai ciri persuasif, mengandung arti bahwa
beberapa pengetahuan ten tang retorika seharusnya menjadi bagian dari perangkat ilmiah yang
umum bagi para ahli tafsir. Analisis retoris harus dilakukan secara kritis, karena eksegese ilmiah
merupakan suatu kegiatan yang harus taat pada tuntutan-tuntutan pikiran kritis.
Cukup banyak studi dalam bidang Alkitab yang dibuat akhir-akhir ini memberikan perhatian
cukup besar pada keberadaan ciri-ciri retorika dalam Kitab Suci. Tiga pendekatan yang berlainan
bisa dibedakan. Yang pertama didasarkan pada retorika Yunani-Romawi; yang kedua
mencurahkan perhatian pada prosedur-prosedur Semitik bagi sebuah komposisi; sementara yang
ketiga mengambil inspirasinya dari studi terbaru-yaitu, apa yang disebut "Retorika Baru" (New
Rethoric).

Setiap situasi dalam wacana melibatkan tiga unsur: pembicara (atau pengarang), wacana (atau
teks), dan pendengar (atau yang dituju). Sesuai dengan hal ini Retorika klasik membedakan tiga
faktor yang menyumbang pada mutu suatu wacana sebagai suatu instrumen persuasi: otoritas
pembicara, kekuatan argumen, dan perasaan-perasaan yang muncul dalam diri pendengar. Secara
umum, keberagaman situasi dan pendengar sangat menentukan gaya pembicaraan yang
digunakan. Retorika klasik, sejak Aristoteles, membedakan tiga model berbicara di muka umum
(public speaking): model yudisial (yang diambil dari dunia pengadilan); model deliberatif (untuk
bidang politis), dan model demonstratif (untuk kesempatan perayaan). Mempertimbangkan
pengaruh retorika yang luar biasa dalam budaya Hellenis, semakin banyak ekseget mulai
menggunakan risalah-risalah retorika klasik sebagai bantuan untuk menganalisis aspek-aspek
tertentu dari teks-teks alkitabiah.rkhususnya teks-teks Perjanjian Baru.

Ekseget yang lain memusatkan perhatian pada sifat-sifat khas tradisi literer alkitabiah. Berakar
dalam budaya Semit, tradisi ini menunjukkan kecenderungan yang amat kentara pada komposisi-
komposisi yang simetris. Melalui komposisi ini orang dapat mendeteksi hubungan antara unsur-
unsur yang berbeda dalam teks itu. Studi mengenai aneka bentuk paralelisme dan aturan lain
yang merupakan ciri khas komposisi gaya Semit memungkinkan kita menentukan struktur teks
secara lebih tepat, dan dengan demikian tentu saja membawa pemahaman yang lebih memadai
akan pesan yang dikandung.

Retorika Baru mengambil sudut pandang yang lebih umum. Retorika Baru bertujuan untuk
menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar daftar macam-macam gaya bahasa, strategi oratoris, dan
berbagai jenis wacana. Retorika ini menyelidiki apa yang membuat penggunaan bahasa secara
khusus menjadi efektif dan berhasil dalam suatu komunikasi yang meyakinkan. Retorika ini
berusaha menjadi "realistis" dalam arti tidak ingin membatasi pada suatu analisis yang sungguh-
sungguh formal. Metode ini juga mempertimbangkan situasi pembicaraan atau diskusi yang
aktual. Retorika mempelajari gaya dan komposisi sebagai sarana untuk berpertn di hadapan
pendengar. Untuk tujuan ini, Retorika Baru memanfaatkan sumbangan yang dihasilkan oleh
bidang pengetahuan lain baru-baru ini, seperti linguistik, semiotik, antropologi, dan sosiologi.

Diterapkan pada Alkitab, "Retorika Baru" berusaha menembus sampai pada inti bahasa
pewahyuan persis sebagai wacana religius yang bersifat persuasif dan mengukur dampak dari
wacana itu dalam konteks sosial dari komunikasi yang telah dimulai. Karena kekayaan yang
dibawanya bagi studi kritis tentang teks, analisis retoris seperti itu pantas dinilai tinggi, terutama
dalam pandangan yang lebih mendalam yang dicapai pada karya yang lebih kemudian. Analisis
retoris berusaha mengejar ketinggalan yang sudah berlangsung lama dan membimbing kita untuk
menemukan kembali atau mengklarifikasi kembali perspektif asli yang telah hilang atau
dikaburkan.

"Retorika Baru" mengambil langkah yang tepat dengan memperhatikan kemampuan bahasa
untuk memberikan persuasi dan meyakinkan orang. Alkitab bukan hanya pernyataan akan
kebenaran-kebenaran iman, melainkan merupakan suatu pesan yang dalam dirinya sendiri
mengandung fungsi komunikasi dalam suatu konteks khusus, suatu pesan yang membawa
kekuatan argumen dan strategi retoris tertentu.

Namun demikian, analisis retoris mempunyai keterbatasan-keterbatasannya. Jika analisis retoris


ini tetap tinggal pada level deskripsi, hasilnya sering hanya mencerminkan suatu perhatian pada
gaya bahasa saja. Pada dasarnya analisis retoris yang bersifat sinkronis tidak bisa mengklaim diri
sebagai metode independen yang dalam dirinya sendiri sudah memadai. Penerapannya pada teks-
teks alkitabiah memunculkan beberapa pertanyaan. Apakah para pengarang teks-teks int
mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan masyarakatnya? Sejauh manakah
mereka mengikuti kaidah-kaidah retorika dalam mengerjakan karyanya? Retorika manakah yang
relevan untuk menganalisis teks tertentu: retorika Greko-Romawi atau retorika Semitik? Apakab
.kadang-kadang tidak muncul suatu risiko jika kita mengaitkan suatu struktur retorik yang terlalu
canggih pada suatu teks alkitabiah tertentu? Pertanyaan-pertanyaan ini-dan juga yang lainnya-
tidak perlu menimbulkan keragu-raguan untuk menggunakan analisis ini; pertanyaan-pertanyaan
itu hanya menyarankan bahwa analisis retoris bukanlah suatu jalan lain yang bisa digunakan
tanpa sikap kritis.

2.Analisis Naratif

Tafsir naratif menawarkan suatu metode untuk memahami dan mengomunikasikan pesan
alkitabiah yang sesuai dengan bentuk kisah dan kesaksian personal, sesuatu yang merupakan ciri
khas dari Kitab Suci dan, tentu saja, suatu model fundamental dari komunikasi antarmanusia.
Perjanjian Lama dalam kenyataannya menghadirkan kisah penyelamatan. Penyampaian kisah
tersebut dengan penuh daya bisa memberikan substansi pernyataan iman, liturgi, dan katekese
(bdk. Mzm 78:3-4; KeI12:24-27; Ul 6:20-25; 26:5-11). Dalam konteksnya, pewartaan iman
Kristen pada dasarnya sama dengan rangkaian yang menceritakan kisah kehidupan, kematian,
dan kebangkitan Yesus Kristus. Katekese tentang hal-hal itu juga muncul dalam bentuk narasi
(bdk. lKor 11:23-25).

Berkaitan dengan pendekatan naratif, pendekatan ini membantu membedakan metode-metode


analisis di satu sisi, dan refleksi teologis di lain sisi. Pada kenyataannya, sekarang banyak
metode analitis ditawarkan. Beberapa mulai dengan studi ten tang model-model narasi kuno.
Yang lain mendasarkan dirinya pada "naratologi"saat ini dalam satu atau lain bentuk, di mana
dalam banyak hal berhubungan dengan semiotika. Dengan memberi perhatian secara khusus
pada unsur-unsur dalam teks yang berkaitan dengan alur (Plot), penokohan, dan sudut pandang
(point of vievJ) yang diambil oleh seorang narator, analisis naratif mempelajari bagaimana
sebuah teks menceritakan suatu kisah sedemikian rupa sehingga mampu mengikat pembaca
(reader) dalam dunia naratifnya dan sistem nilai yang terkandung di dalamnya.

Beberapa metode memperkenalkan perbedaan antara "pengarang real" (real author) dan
"pengarang tersirat" (implied author), "pembaca real" (real reader) dan "pembaca tersirat"
(implied reader). Sang "pengarang real" adalah pribadi yang secara aktual menyusun kisah. Yang
dimaksud dengan "pengarang tersirat" adalah gambaran pengarang yang diciptakan secara
bertahap oleh teks dalam kegiatan membaca (dengan budaya, karakter, kecenderungan, imannya
sendiri, dan seterusnya). "Pembaca real" adalah semua orang yang berhadapan dengan teks-dari
orang yang pertama kali membacanya atau mendengarnya dulu, sampai pada orang yang
membaca atau mendengarnya sekarang. Yang dimaksud dengan "pembaca tersirat" adalah
pembaca yang diandaikan dan sebenarnya juga diciptakan oleh teks. Pembaca tersirat ini adalah
seorang yang mampu menggerakkan mental dan afeksi yang diperlukan untuk masuk ke dalam
dunia naratif teks tersebut dan menanggapinya dengan cara yang dibayangkan oleh pengarang
real melalui perantaraan pengarang tersirat.

Sebuah teks akan terus mempunyai pengaruh sejauh para pembaca real (misalnya, kita yang
hidup pada akhir abad ke-20) dapat mengidentifikasi sang pengarang tersirat.
Analisis naratif melibatkan cara baru untuk memahami bagaimana sebuah teks bekerja. Metode
historis-kritis menganggap teks sebagai 'jendela" yang memberikan jalan masuk ke masa lampau
(tidak hanya pada situasi yang dirujuk olek kisah, tetapi juga pada situasi komunitas untuk siapa
kisah itu diceritakan. Sementara analisis naratif menuntut bahwa teks juga berfungsi sebagai
"cermin", dalam arti bahwa teks memroyeksikan gambaran tertentu-suatu "dunia naratif'-yang
memberikan pengaruh bagi persepsi pembaca sedemikian rupa sehingga pembaca mampu
mengambil alih nilai-nilai tertentu.

Yang terkait dengan jenis kajian ini, yang terutama berciri literer, adalah suatu model rejleksi
teologis tertentu, ketika orang mempertimbangkan implikasi-implikasi dari karakter "kisah" (dan
juga "kesaksian") yang dimiliki Kitab Suci berkaitan dengan kesepakatan iman dan ketika orang
menarik dari metode ini suatu hermeneutika yang lebih bersifat praktis dan pastoral. Di sini
terdapat suatu reaksi melawan pendekatan yang mereduksi teks yang diinspirasikan menjadi
serangkaian tesis teologis, yang sering kali dirumuskan dalam kategori-kategori dan bahasa yang
tidak alkitabiah. Yang diharapkan dari eksegese naratif adalah bahwa eksegese ini merehabilitasi
model-model komunikasi dan penyampaian makna yang tepat bagi Kitab Suci dalam konteks
historis yang baru, untuk menampilkan secara lebih efektif kekuatannya yang menyelamatkan.
Analisis naratif menuntut perlunya menceritakan kisah penyelamatan (aspek "informatif') dan
menceritakan kisah dari sudut pandang penyelamatan (aspek "performatif"). Sebenarnya cerita
Alkitab, entah secara eksplisit atau implisit tergantung kasusnya, berisi suatu ajakan eksistensial
yang ditujukan kepada pembaca.

Manfaat analisis naratif untuk penafsiran Alkitab sudah jelas. Analisis naratif sangat sesuai
dengan ciri narasi yang ditampilkan banyak teks-teks alkitabiah. Analisis naratif dapat
memudahkan peralihan, yang sering begitu sulit, dari makna teks dalam konteks historisnya
(objek khas metode historis-kritis) kepada maknanya bagi pembaca sekarang. Di sisi lain,
perbedaan antara "pengarang real" dan "pengarang tersirat" cenderung membuat masalah-
masalah penafsiran menjadi agak lebih kompleks.

Ketika diterapkan pada teks-teks Alkitab, analisis naratif tidak dapat berpuas diri dengan
memaksakan kepada teks-teks Alkitab model-model tertentu yang sudah jadi. AnaIisis
naratifharus berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan kekhasannya sendiri. Pendekatan
sinkronis yang dibawa metode ini kepada teks-teks, perlu dilengkapi dengan penelitian-
penelitian diakronis juga. Tambahan lagi, pendekatan sinkronis harus menyadari kecenderungan
yang mungkin timbul, yaitu mengesampingkan elaborasi doktriner apa pun dari kandungan
narasi alkitabiah. Dalam kasus ini, analisis naratif mengambillangkah yang berseberangan
dengan tradisi biblis sendiri, yang justru menjalankan elaborasi semacam itu, dan juga dengan
tradisi Gereja, yang terus melanjutkan cara yang sama. Akhirnya, pantas dicatat bahwa
efektivitas subjektif eksistensial dari dampak Sabda Allah dalam penerusan narasinya, dalam
dirinya sendiri, tidak dapat dianggap sebagai indikasi yang memadai bahwa kebenaran alkitabiah
yang utuh sudah ditangkap secara memadai.

3. Analisa Semiotik

Yang juga terhitung di antara metode yang bisa diidentifikasi sebagai metode sinkronis, yaitu
metode yang memusatkan pada studi teks alkitabiah sebagaimana ada di hadapan pembaca dalam
bentuk finalnya, adalah analisis semiotik. Analisis semiotik mengalami perkembangan yang
pantas dicatat dalam bidang-bidang tertentu selama dua puluh tahun terakhir ini: Metode ini
aslinya dikenal dengan istilah yang lebih umum Strukturalisme. dapat mengklaim sebagai
perintisnya, linguis Swiss Ferdinand de Saussure, yang pada awal abad ini menghasilkan suatu
teori yang mengatakan bahwa semua bahasa merupakan suatu sistem relasi yang menaati hukum-
hukum yang sudah tertentu. Beberapa linguis dan kritikus sastra mempunyai pengaruh yang
pantas dicatat dalam perkembangan metode ini. Sebagian besar ahli Kitab Suci yang
memanfaatkan semiotika dalam kajian Alkitab mendasarkan wibawanya pada Algirdas J.
Greimas dan Mazhab Paris yang didirikannya. Berbagai pendekatan dan metode serupa, yang
didasarkan pada linguistik modern, berkembang di mana-mana. Akan tetapi, metode Creimaslah
yang hendak kita paparkan dan kita analisis secara singkat di sini.

Semiotik didasarkan pada tiga prinsip atau pengandaian utama:


Prinsip imanensi: masing-masing teks membentuk satu unit makna yang lengkap dalam dirinya
sendiri. Analisis ini mempertimbangkan keseluruhan teks tetapi semata-mata hanya teks saja;
analisis ini tidak memperhatikan data-data "eksternal" apa pun dari teks, seperti pengarang,
pembaca, peristiwa apa pun yang dilukiskan atau kemungkinan proses penyusunannya.

Prinsip struktur makna: tidak ada makna yang diberikan kecuali dalam dan melalui relasi,
khususnya relasi "perbedaan". Analisis teks dicapai dengan membangun jaringan relasi-relasi
(relasi oposisi, konfirmasi, dst.) antara berbagai unsur. Dari sinilah makna teks dibangun. Prinsip
tata bahasa teks: masing-masing teks mengikuti suatu "tata bahasa", artinya sejumlah aturan atau
struktur tertentu. Di dalam kumpulan kalimat yang kita sebut wacana ada berbagai tahap,
masing-masing tahap mempunyai tata bahasanya sendiri-sendiri yang satu sama lain berbeda.

Seluruh isi teks dapar dianalisis pada tiga tahap berbeda.

Tahap naratif. Di sini orang mempelajari di dalam kisah bagaimana transformasi yang
menggerakkan adegan dari situasi awal ke situasi akhir terjadi. Dalam perjalanan kisah, analisis
ini berusaha melacak kembali fase-fase yang berbeda, yang secara logis terkait satu sama lain,
yang menandai transformasi dari satu keadaan ke keadaan lain. Dalam masing-masing fase ini,
analisis ini membentuk hubungan antara "peran" yang dimainkan oleh "pelaku" (actants) yang
menentukan berbagai tahap perkembangan dan menghasilkan perubahan.

Tahap wacana. Di sini, analisis ini terdiri dari tiga operasi: (a) menentukan dan menggolongkan
gambaran atau tokoh, yakni unsur-unsur penentu makna dalam teks (aktor, waktu, tempat); (b)
mengikuti arus setiap gambaran atau tokoh dalam teks itu untuk menentukan bagaimana teks itu
memanfaatkan tiap-tiap gambaran; (c) menyelidiki nilai tematis dari gambaran-gambaran itu.
Operasi terakhir irii dicapai dengan menentukan "atas nama apa" suatu gambaran atau tokoh itu
mengikuti suatu arah di dalam teks yang dipertimbangkan dengan cara ini.

Tahap logiko-semantik. Tahap ini biasa disebut struktur dalam (deep level), namun juga paling
abstrak. Tahap ini berangkat dari pengandaian asumsi bahwa suatu bentuk tertentu dari logika
dan makna mendasari pengorganisasian narasi dan wacana dalam semua teks. Pada tahap ini, un
sur pokok dari analisis semiotik adalah mengidentifikasi logika yang mengatur artikulasi-
artikulasi dasar aliran naratif dan figuratif dari suatu teks. U ntuk mencapai jalan lain ini sering
kali diperlukan suatu instrumen yang disebut "segi empat semiotik" (carre semiotiquei, suatu
diagram yang menggunakan relasi an tara dua istilah "berlawanan" (contrary) dan dua istilah
"bertentangan" ("kontra-diktoris"), misalnya, hitam dan putih, putih dan bukan-putih; hitam dan
bukan-hitam,

Para pendukung teori yang berada di balik metode semiotik terus menghasilkan perkembangan
baru. Penelitian baru-baru ini memusatkan terutama pada pengucapan (enunsiasi) dan
interteksualitas. Walaupun metode ini pertama kali diterapkan pada teks-teks narasi alkitabiah,
yang kiranya paling sesuai, kini penggunaan metode ini semakin meluas juga pada teks-teks
yang berbentukwacana.
Deskripsi semiotik yang telah diuraikan di atas dan terutama rumusan pengandaian-
pengandaiannya seharusnya memperjelas keunggulan dan keterbatasan metode ini. Dengan
mengarahkan perhatian yang lebih besar pada fakta bahwa setiap teks alkitabiah adalah suatu
keseluruhan yang koheren, yakni ketaatan pada operasi linguistik yang tepat dan mekanistik,
metode semiotik memberikan sumbangan pada pemahaman kita mengenai Alkitab sebagai Sabda
Allah yang diungkapkan dalam bahasa manusia.

Semiotik dapat digunakan dalam studi Alkitab secara berhasil guna hanya sejauh metode itu
dilepaskan dari asumsi-asumsi tertentu yang dikembangkan dalam filsafat strukturalis, yaitu
menolak untuk menerima identitas pribadi individual dalam teks dan referensi ekstratekstual.
Alkitab adalah Sabda yang berhubungan dengan realitas, Firman yang diucapkan Allah dalam
konteks historis dan disampaikan Allah kepada kita saat ini melalui perantaraan para pengarang
manusia. Pendekatan semiotik harus terbuka terhadap sejarah: pertama-tama pada sejarah orang-
orang yang mengambil bagian di dalam teks; kemudian terhadap sejarah para pengarang dan
para pembaca. Risiko besar yang hams dihadapi oleh mereka yang menggunakan analisis
semiotik adalah tetap tinggal pada level studi formal atas isi teks-teks, tetapi gagal untuk menarik
suatu pesan tertentu dari sebuah teks.

Bila analisis semiotik tidak terse sat dalam bahasa yang jauh dan kompleks dan bila unsur-unsur
utamanya bisa disampaikan dalam istilah-istilah sederhana, analisis semiotik dapat memberi
orang Kristen suatu cita rasa tertentu untuk mempelajari teks biblis dan menemukan beberapa
dimensinya, tanpa hams lebih dahulu mempelajari sejumlah besar instruksi tentang soal-soal
historis yang berkaitan dengan proses penyusunan teks dan dunia sosio-kulturalnya. Oleh karena
itu, dalam praksis pastoral analisis semiotik terbukti bermanfaat, dengan menawarkan sesuatu
yang bisa ditarik dari Kitab Suci kepada umat yang tidak mahir dalam bidang ini.

sumber

[Metode Historis-Kritis]
[Metode-Metode Baru Analisis Literer]
[Pendekatan-Pendekatan yang Didasarkan pada Tradisi]
[Pendekatan-Pendekatan yang Menggunakan Ilmu-Ilmu Manusia]
[Pendekatan-Pendekatan Kontekstual]
[Penafsiran Fundamentalis]
http://www.imankatolik.or.id/

Dari ketiga jenis metode eksegese literer tersebut, penulis memilih satu metode sebagai bahan
pelajaran yaitu Metode Analisa Narasi. Untuk itu mari kita melihat penjelasan dari artikel
Thomy J. Matakupan yang dipaparkan berikiut ini:
Eksegese Narasi :

TINJAUAN TERHADAP METODE PENAFSIRAN ALKITAB

Pendahuluan

Perkembangan metode cara menafsirkan Alkitab secara khusus pada tahun 70-an ditandai
dengan adanya pengaruh dari aliran strukturalisme yang mulai mempermasalahkan berbagai
metode eksegese yang dipakai selama ini.Metode struktural ini mempunyai kaitan yang sangat
erat dengan ilmu bahasa yang kemudian mempengaruhi di dalam bidang sastra. Penyelidikan
terhadap karya sastra sebagai cerita kemudian membawa pengaruh terhadap metode tafsir.
Bentuk cerita (narasi) dianalisa dan diperbandingkan satu sama lain dalam usaha memahami
apakah maksud penulis yang tersembunyi di balik cerita yang disampaikannya itu.

Eksegese dengan menggunakan metode strukturalis ini menggunakan anggapan bahwa hanya
dengan memperhatikan setiap teks yang ada sudah cukup untuk menangkap maksud penulis.
Hal-hal sebagaimana yang dianggap sangat penting seperti penyelidikan latar belakang sejarah,
konteks jaman, siapa penulis dan penerima pertama dari suatu surat/kitab tertentu di dalam
Alkitab dianggap tidak perlu lagi menempati tempat utama di dalamnya. Cara sedemikian, di
kalangan para ahli tafsir disebut dengan istilah “close reading.”

Di dalam konteks metode struktural semacam inilah muncul eksegese narasi yang pada dasarnya
mempunyai kemiripan karena juga memusatkan perhatian hanya pada teks dan tidak terlalu
merasa perlu bertanggung jawab semua aspek lain yang ada di belakang teks tersebut. Pada
akibatnya, cara pandang semacam ini mengakibatkan apresiasi yang sedemikian tinggi terhadap
suatu teks tertentu.

Metode eksegese ini pada akibatnya memberikan proposal baru bagaimana mendekati Alkitab
dengan cara memahami suatu cerita dan juga memakainya dengan kaidah-kaidah yang tepat dan
efektif. Tidak dapat dipungkiri pula perkembangan keilmuan dalam bidang bahasa dan sastra
juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit di dalamnya. Metode ini diharapkan dapat
memperkaya pekerjaan menafsirkan dan menyimpulkan suatu teologia tertentu atau makna yang
terkandung dalam suatu cerita, baik itu cerita lisan dalam tradisi masyarakat dalam bentuk teks
tertulis. Itulah sebabnya cara baru ini kemudian menimbulkan semacam kegairahan baru di
dalam semangat menggali dan memahami setiap kebenaran yang ada di dalam Alkitab. Banyak
buku mulai ditulis dan berusaha menyatakan setiap detail bagaimana menggunakan dan menarik
kemanfaatan dari metode baru ini.

Pengertian

Di dalam bukunya, The Art of Biblical Narrative, Robert Alter, mencoba membawa pembaca
menggali dan menghargai seni-seni di dalam Alkitab oleh karena setiap cerita yang ada di
dalamnya sarat dengan makna. Ia mencoba mengungkapkan berbagai macam seni cerita yang
ada di dalam Alkitab dan mengajak setiap pembaca untuk lebih menghargai setiap seni itu
sekaligus mencari makna yang ada di dalamnya.

Di dalam usahanya ini, ia mulai beranjak dari pendekatan eksegese selama ini yang dianut oleh
para pakar yang menggunakan metode historikal-gramatikal. Ia mengajak untuk bergeser dari
analisis struktur formal ke pengertian-pengertian yang lebih mendalam terhadap nilai serta
pandangan moral yang terwujud dalam sebuah narasi. Di dalam upayanya ini, Alter
menggunakan pendekatan Midrash, yaitu menggabungkan menjadi satu kesatuan dari teks-teks
yang berbelit-belit.Menurutnya tidak ada ayat atau perikop yang merupakan tambahan atau
sisipan yang lepas dari rangkaian cerita, melainkan saling terkait dan berkesinambungan.Ini
adalah cara yang baik untuk melihat Alkitab secara utuh.

One of the attractions a narrative approach to the Bible offers is its way of seeing the
Bible as a whole. Educational research has established that the biggest variable in a
learner’s ability to assimilate data is the presence or absence of a unifying framework
within which to place individual items. Viewing the Bible as a story provides such a
framework for the Bible as a whole.

Cerita-cerita di dalam Alkitab menyatakan tindakan atau perbuatan aktual yang terlalu beragam
dan bahkan tidak teratur untuk di kategorikan di dalam suatu kerangka sistimatis tertentu.

Selain itu, Alter juga mengasumsikan sebuah tafsiran tertentu tidak harus akan disetujui oleh
pembaca. Ia mencoba memfokuskan diri hanya pada hal-hal yang unik dalam seni cerita Alkitab,
misalnya seni dalam kata-kata, seni dalam tindakan, seni dalam dialog, seni dalam cerita. Yang
penting adalah memperhatikan bagaimana penulis cerita mengungkapkan sebuah pesan tertentu
dengan menggunakan berbagai cara seni-seni tersebut. Meskipun demikian tidak berarti ia
menolak teks yang pernah dipikirkan memiliki arti absolut. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa
ia menolak doktrin kontemporer tentang semua makna literar. Alkitab sendiri yang akan
berbicara dan bercerita melalui berbagai seni yang ada di dalamnya. Dengan demikian pembaca
akan lebih dekat dengan makna yang dimaksud Alkitab, baik makna teologi, moral, psikologi
maupun makna lainnya.

Alter sangat memberikan perhatian pada “close reading,” maksudnya dengan membaca seperti
ini pembaca akan ditolong memelihara aspek-aspek tertentu di dalam pikiran untuk kemudian
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu agar dapat memahami secara tepat cerita Alkitab
yang menurutnya sangat singkat dan dinyatakan secara halus.

Berpikir Kritis-Literaris

Realita sastra dari Alkitab dapat dipelajari dengan menggunakan metode berpikir kritis-literaris.
Cara kritis-literatis ini berbeda dengan pola historis-kritis dari kelompok H. Gunkel. Ada dua
istilah yang diusulkan, yaitu “Narratologi” dan “poetic of narrative” di dalam kritis-literaris. Baik
“Narratology” yang muncul tahun 1976 maupun “Poetician” yang muncul tahun 1982 memiliki
pengertian sejalan yaitu studi terhadap naratif teks. Keduanya mengambil pengertian sastrawi
sebagai dasar penyelidikan.Meir Sternberg memberikan beberapa anggapan dasar di dalam studi
kritis-literaris ini.

1. Pendekatan terhadap Alkitab sebagai literatur berarti memberikan penekanan kepada teks itu
sendiri. Dengan kata lain, sama sekali tidak mempertimbangkan latar belakang dan sejarah
sebagaimana yang biasa dilakukan di dalam metode penelitian hermeneutik yang digunakan
selama ini.
2. Mengasumsikan adanya kesatuan teks.
3. Fokus perhatian ditujukan pertama-tama pada bagaimana sebuah teks distrukturkan.
4. Realita sastra dipahami sebagai metode-metode kritis-literaris yang digunakan oleh setiap
teks Alkitab
Sebagai sebuah literatur, Alkitab akan mempunyai kedudukan yang sama dengan berbagai
macam literatur lainnya. Hal ini dikatakan sebagai benar apapun alasannya Alkitab itu
dihargai apakah sebagai laporan karya Tuhan dalam sejarah (His-story) atau sebagai
penuntun di dalam keputusan etis.

Prinsip Eksegese Narasi : Bagaimana Membaca sebuah Cerita

Bagaimanakah kiranya cara Alkitab menjalin sebuah komunikasi dengan pembacanya? Cerita
Alkitab di dalam metode narasi merupakan suatu ungkapan tertulis dari suatu fakta tertentu.
Cerita yang dipaparkan sebenarnya sedang menunjukkan kepada pembaca suatu dunia lain yang
disebut sebagai “Dunia cerita.” Dunia cerita ini menjadi semacam sarana/alat yang dipakai
penulis untuk mengungkapkan “sesuatu” yang bukan hanya sekedar sebuah gambaran yang
bersifat fiksi belaka, melainkan sebuah gambaran yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Di
dalam dunia ini semua benda yang muncul adalah sebuah konsep dan sama sekali tidak
menunjuk kepada benda itu ansich. Walaupun tidak diragukan bahwa benda cerita itu bersumber
dari sejarah yang sungguh-sungguh terjadi.

Stories are full of the concrete experiences of everyday life. Storytellers are never content
with abstract propositions. Their impulse is to show, not merely to tell about event. Stories
help readers relive an experience in the order in which the events happened and as vividly
as possible. Stories incarnate their meaning in concrete form.

Ketika seseorang atau pembaca ingin mengerti apa yang dimaksud oleh penulis di dalam
ceritanya, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah masuk ke dalam dunia cerita yang
dibangun oleh penulis tersebut. Di sini berarti dunia cerita tersebut menjadi sebuah objek
penelitian. Dapat dikatakan, proses eksegese narasi dan semua kerumitannya terjadi di dalam
dunia ini. Kondisi semacam ini sekaligus berarti pembaca akan memasuki dunia pemikiran
teologia dari penulis atau iman penulis. Semua dinamika pergumulan imannya menjadi begitu
dekat dan menjadi bagian yang dialami juga oleh pembaca. Setiap detail pergumulan iman
penulis menjadi begitu nyata sehingga pembaca dapat merasakan bagaimana pengalaman itu
secara pribadi. Hal ini berarti pula terbukanya kesempatan dialog iman antara penulis sebagai
sumber iman dengan pembaca. Komunikasi iman semacam ini yang menjadikan cerita itu hidup
dan sekaligus menjadi “milik” pembaca pula. Pergumulan iman yang begitu konkrit
dimunculkan dengan cara yang sangat nyata dengan cara penulis membawa setiap pembaca
ceritanya untuk mengalami dan menghayati peristiwa tersebut. Pembaca diajak menghayati
peran dari tokoh utama, situasi dan segala aspek yang ada di dalam cerita. Dengan cara semacam
ini jarak antara penulis Alkitab dan pembaca kontemporer menjadi semakin kecil, demikian pula
antara pembaca (ahli tafsir) dan jemaat.

Metode Eksegese Narasi

Dalam mengerjakan eksegese narasi, seorang penafsir harus bertindak berada di bawah penulis
untuk menghindari adanya kerancuan posisi antara dirinya dan penulis. Di sini pembaca harus
melihat dan mengerti semua yang ada di dalam teks dari sudut pandang penulis (the narrators
point of view). Hal ini harus dilakukan oleh karena setiap penulis memiliki cara pandang, sikap,
perilaku, perasaan dari setiap pemeran yang dimunculkan di dalam ceritanya. Oleh karena itu
pembaca harus mengajukan berbagai pertanyaan di dalam usahanya mengerti apakah yang dapat
diberikan oleh sebuah pembacaan di dalam cerita Alkitab bagi kehidupannya, misalnya seperti
apakah karakter dari subjek di dalam pembacaannya? Bagaimanakah komunitas subjek dan
bagaimanakah relasinya dengan subjek tersebut? Bagaimana konteks dan relasi yang ada di
dalamnya menajamkan peranan subjek? Apakah yang menjadi worldview yang dapat
memberikan pengertian keutuhan cerita itu? Apakah yang menjadi pusat keyakinan antara subjek
dan komunitas? Apakah yang menjadi central image atau metafora (baik bersifat teologis,
biblical, moral, etika, dsb) yang dapat memberikan pengertian kehidupan subjek pada masa itu
dan apakah artinya serta bagaimana semua hal ini dapat memberikan sebuah pengertian di dalam
kehidupan iman Kristen?

Berdasarkan pada prinsip dan metode di atas, kemudian di bangun semacam dasar bagaimana
mendekati Alkitab dengan cara eksegese narasi ini.

1. Allah akan selalu menempati posisi karakter pusat. Alkitab adalah cerita tentang Allah.
Itulah sebabnya perlu diwaspadai karakter sentral yang lain, misalnya hal-hal yang berkaitan
dengan kehidupan sosial, sejarah atau ilmu tidak dapat mengambil alih posisi ini.
2. Narasi tidaklah merupakan sebuah laporan data yang utuh dan karena itu tidak akan
memberikan jawaban terhadap setiap pertanyaan yang pembaca ajukan.
3. Alkitab tidak selalu memberikan pengajaran secara langsung. Alkitab bukanlah sebuah
proposition tentang segala sesuatu. Kerap pengajaran Alkitab bersifat tidak langsung dan
bersifat interaktif, bahkan memanggil kita untuk memutuskan apakah yang menjadi inti atau
pesan yang hendak disampaikan, dan apakah setiap karakter yang ada di dalamnya bertindak
sebagaimana seharusnya.
4. Tidak semua narasi memberikan pesan yang positif. Narasi memang mencoba
mengungkapkan suatu kehidupan yang nyata, namun karakter yang ada di dalamnya
tidaklah selalu merupakan seorang pahlawan. Terkadang mereka menunjukkan sikap yang
menurut pembaca tidak seharusnya dilakukan olehnya. Terkadang pula, hal-hal seperti
berdoa ditunjukkan dengan cara yang negatif untuk menunjukkan cara yang tidak boleh
dilakukan oleh seseorang ketika mendekati Allah.
5. Konteks mempunyai tempat yang penting. Setiap perkataan tidak langsung secara otomatis
memiliki pesan moral; cerita yang lebih utuh selalu menjadi bingkai untuk menetapkan
apakah arti dari sebuah perkataan di dalam cerita tertentu.
6. Narasi harus menjadi titik tolak memahami narasi itu sendiri, bukan memakai berbagai
elemen yang ada di luar dan memasukkannya ke dalam cerita, kecuali elemen tersebut
menjadi bagian dari setting cerita. Itulah sebabnya narasi harus dipahami dari konteks yang
lebih besar.
7. Setiap elemen yang ada di dalam cerita adalah pembimbing untuk memahami arti yang ada.
Ada banyak petunjuk atau tanda di dalam sebuah cerita. Terkadang hal ini disebut sebagai
konteks dekat. Misalnya apakah sebuah cerita harus dibaca secara sarkastik atau ironis perlu
memperhatikan setiap petunjuk yang ada di dalamnya. Mengabaikan setiap petunjuk yang
diberikan akan menghilangkan inti cerita.
8. Narasi tidak akan memberikan sebuah model yang bersifat langsung dari sudut historis dan
konteks budaya pada sebuah cerita oleh karena pembaca pada masa ini tidak akan dapat
berbagian di dalamnya. Itulah sebabnya tindakan dari setiap karakter yang ada di dalam
Alkitab tidak secara langsung memberikan pembaca norma hidup untuk kehidupan di dalam
konteks pembaca – walaupun memberikan ilustrasi secara positif atau konsekuensi secara
negatif dari sebuah tindakan tertentu.
9. Aplikasi sebuah pesan dari narasi harus dimengerti di dalam konteks yang memberikan
beberapa dimensi dari cerita yang ada. Dengan kata lain, semua narasi bukanlah kebenaran
tentang segala sesuatu; they are “incarnated” truth. Sebuah cerita tidak dapat digunakan
untuk menyatakan sesuatu.
10.Narasi biblikal bukan dan tidak akan pernah menjadi atau mengembangkan sebuah
sistimatik teologi. Narasi biblikal muncul sebagai sebuah komunitas iman yang
merefleksikan dan menjadi sebuah proses dari cerita tentang Allah di dalam cara berpikir,
situasi, kondisi serta kebutuhan yang berbeda dari sebuah komunitas iman tertentu.

Sumbangsih : Metode Penafsiran yang dapat diterima?

Memang perlu diakui bahwa penggunaan metode narasi di dalam upaya mendekati, memahami
dan mengaplikasikan isi Alkitab menjadi sebuah cara baru yang sangat menarik. Betapa tidak!
Pada waktu seseorang membaca Alkitab, ia dibawa masuk menelusuri setiap pergumulan yang
terjadi pada masa lalu, ke dalam dunia cerita yang diciptakan penulis. Dunia itu menjadi begitu
nyata dan membawa setiap pembaca “hadir” di sana dan terjun ke dalam setiap peristiwa yang
terjadi tersebut. Merasakan dan mengalami secara nyata setiap detail kejadian.
Melalui jalan masuk ke dalam dunia cerita ini, apabila kemudian pembaca “disadarkan kembali”
ke dalam dunia saat ini, ia akan banyak sekali ditolong untuk memahami realita pergumulan
iman yang seharusnya dimasukinya. Sebuah pergumulan iman dengan titik tolak yang benar oleh
karena ia “pernah hadir di sana.” Sehingga jika kemudian sebuah tuntunan di dalam pergumulan
imannya dibangun, maka akan berada pada dasar pijak yang tepat, dasar pijak yang sama seperti
yang dialami oleh penulis di dalam setting ceritanya itu. Misalnya bagaimana seorang pembaca
Alkitab dapat memahami catatan yang ada di dalam kitab Yudas 4, “… mereka adalah orang-
orang yang fasik … dan yang menyangkal satu-satunya Penguasa dan Tuhan kita, Yesus
Kristus.” Kitab ini memang diakui oleh para ahli, ditulis Yudas, adik kandung dari Yesus
Kristus. Pertanyaan yang dimunculkan di sini adalah bagaimana pergeseran pengakuan iman dari
melihat Yesus Kristus dari seorang kakak – oleh karena lahir dari satu rahim yang sama, pernah
tinggal di dalam satu atap, dsb menjadi melihat Yesus Kristus sebagai Tuhan. Pergeseran ini
pasti tidak mudah untuk dilakukan kecuali mengalami sendiri berbagai peristiwa yang
membawanya kepada kesimpulan bahwa Yesus Kristus sungguh bukan sekedar seorang
manusia, melainkan adalah Tuhan. Pergumulan iman – pergeseran atau perubahan sikap – di
dalam memandang Kristus sebagai Tuhan seperti yang dialami seorang Yudas adalah
pergumulan iman yang sungguh nyata. Bagaimana proses tersebut terjadi dan bagaimana
kemudian ia dapat sampai kepada sebuah kesimpulan yang benar perlu dicermati dengan
seksama. Proses yang dilewati ini akan juga menjadi proses nyata yang akan dialami oleh setiap
pembaca kontemporer. Mereka akan dibawa masuk ke dunia pada masa itu, mengalami berbagai
kesulitan iman dan kemudian akan dituntun oleh penulis (sang Yudas) sampai pada kesimpulan
yang sama.

Pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah, apakah penggunaan metode eksegese narasi dapat
membawa dan membantu pembaca membangun iman sejati? Apakah memang metode ini dapat
dipertanggungjawabkan? Tidak mudah menjawab pertanyaan semacam. Untuk itu perlu
dipertimbangkan beberapa catatan di bawah ini.

Problema Kebenaran Pewahyuan

Jika Alkitab dipercaya berisi beragam peristiwa semenjak kejadian sampai kepada akhir jaman
dan semua ini dinyatakan di dalam keindahan sastra dalam runtutan kisah-kisah, maka pembaca
akan dibawa kepada suatu kemustahilan. Maksudnya, secara nyata pembaca tidak akan pernah
hadir di dalam masa penciptaan. Namun Narator mampu untuk mengatasi kemustahilan ini. Ia
dapat menceritakan secara detail peristiwa tersebut dan bahkan dapat mengungkapkan pula apa
yang akan terjadi kelak di masa mendatang. Secara sastra, inilah yang disebut sebagai sebuah
seni, namun sekaligus pula membuka pintu untuk mempertanyakan kebenaran cerita itu. Kalau
memperhatikan karya-karya sastra yang indah lain, model semacam ini juga akan dengan mudah
dijumpai, namun sekaligus dianggap sebagai sebuah kemustahilan. Ada banyak manipulasi yang
dilakukan dengan tujuan meyakinkan para pembaca bahwa cerita tersebut adalah objektif
adanya.
Dengan demikian, Alkitab juga akan dianggap sarat dengan muatan manipulasi yang
bertujuan untuk menimbulkan efek tertentu kepada para pembacanya. Semua ini dilakukan oleh
penulis agar pembaca dapat melihat adanya dimensi-dimensi lain dalam sebuah kisah.
Problem Otoritas
Problem memasuki dunia cerita dan mengalami pergumulan yang sama dengan penulis Alkitab
menjadikan kedudukan pembaca dan penulis pertama tersebut menjadi setara atau setingkat.
Pembaca dan penulis akan sama benarnya padahal di dalam kondisi semacam ini komunikasi
atau dialog iman antara pembaca dan penulis tidak pernah terjadi. Pembaca tidak akan pernah
dapat menghayati sebuah cerita jika tidak ada penulis atau pencerita berdiri di antara peristiwa
dan pendengar. Kedudukan para penulis Alkitab mempunyai keunikan tersendiri oleh karena
mereka adalah yang dipilih dan dipercaya menerima wahyu pertama kali.

Kesamaan kedudukan pembaca dan penulis di sini mengaburkan konsep wahyu dan pewahyuan.
Memang sebagai jalan keluar untuk mengatasi masalah ini, para pembaca diharapkan tunduk
dibawah otoritas penulis, sudut pandang penulis atau mengembangkan sikap percaya dan
mempercayai penulis akan segala hal yang disampaikannya.

Problem Imajinasi

Masuk ke dalam “dunia cerita” dan membayangkan kira-kira pergumulan apakah yang dialami
penulis pada masa itu akan membuka peluang penafsiran sekehendak hati. Mengapa? Karena di
sini pembaca mengambil alih keunikan pergumulan penulis. Walaupun pembaca masuk ke dalam
dunia semacam ini, tetap perlu diakui bahwa dunia kreasi yang ada di dalam pikiran pembaca
tidak dapat mewakili atau bahkan menyatakan dunia yang dialami penulis. Dunia penulis adalah
unik, khusus dan “dunia pada saat itu” dengan segala macam dinamikanya. Tentu hal ini juga
tidak terlepas dari maksud Allah di dalam sejarah pewahyuan. Pembaca tidak akan pernah dan
tidak akan mungkin kembali ke masa itu. Yang mungkin dilakukan adalah berupaya
mendekatinya dengan sederetan perlengkapan pengetahuan yang ia ketahui tentang dunia saat itu
dari berbagai sumber literatur tertentu.

Problem Narator

Kehadiran narator dan perannya dalam menyatakan setiap kisah/kejadian di dalam Alkitab
sangat dominan. Ia seakan mewakili suara seseorang tetapi sebenarnya bukan orang.
Keberadaannya tidak sama dan tidak dapat dicampur-adukkan dengan penulis. Narator hanya ada
sebagai sebuah konstruksi dari pembaca yang mengolahnya sedemikian rupa di dalam usaha
mengerti sebuah cerita. Ia adalah sebuah fungsi yang mengekspresikan diri dalam bahasa yang
membentuk kisah. Kesan yang ditimbulkan dari keistimewaan narator membawa dia sampai
pada posisi “tahu segalanya.” Mengapa? Karena ia adalah seorang yang memiliki jalan masuk ke
peristiwa di masa lalu, mengetahui pikiran dan perasaan karakter mulai dari Tuhan sampai
manusia biasa. Ia adalah seorang yang membawa suara kenabian sehingga pembaca harus
percaya kepadanya dan mendapatkan informasi yang perlu.

Sebenarnya ada banyak cerita di dalam Alkitab yang menunjukkan ketidak-tahuan narator.
Misalnya kejadian Yesus menulis ditanah pada peristiwa seorang perempuan yang tertangkap
berbuat zinah. Jika ditanya, tulisan apakah yang dibuat Yesus di tanah itu? Narator akan
menggelengkan kepala dan mengangkat bahu tanda ketidak-tahuannya. Selain itu pembedaan
antara narator dan penulis seperti disebutkan di atas akan membawa kepada problem otorisasi di
dalam pewahyuan pula, maksudnya apakah narator dapat dikatakan seseorang atau “sesuatu”
yang juga menerima wahyu? Sekali lagi, muncul masalah pengertian wahyu dan pewahyuan.

Problem Hermeneutik

Pendekatan narasi yang cenderung mengabaikan prinsip hermeneutika justru membawa ke suatu
problem hermeneutika baru. Memang hasil pendekatan ini membawa pembaca dan pendengar
masuk ke dalam dimensi cerita yang unik dan bersifat pribadi. Mereka di bawa masuk
“bertualang” di dalam “dunia cerita” yang diciptakan oleh penulis. Namun jika dicoba telusuri,
maka terdapat problem serius yang terjadi di dalam pendekatan ini. Titik tolak perdekatan yang
digunakan justru mengabaikan keutamaan Alkitab sebagai firman dengan memilih-milah
sedemikian rupa perihal pewahyuan sehingga tidak dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh.

1. Penekanan kepada “dunia cerita” ciptaan penulis mengabaikan prinsip “segala tulisan yang
diilhamkan Allah.” Pembaca akan terfokus perhatian kepada “dunia cerita” tersebut dan
mengabaikan Alkitab sebagai firman Allah, di mana di dalamnya nyata segala kebenaran
Allah. Tuntutan atau ajaran tertentu yang muncul menjadi bagian refleksi dari sebuah cerita
dan bukan karena tuntutan Allah di dalam firmanNya.
2. Alkitab menjadi salah satu dari sekian banyak buku cerita yang agung, hanya bedanya
adalah label yang diberikan kepadanya sebagai “Firman Allah.” Label ini menjadi Alkitab
sedikit lebih tinggi dari buku-buku cerita lain itu, namun pada intinya atau hakekatnya,
secara posisi tetap sama. Karena adanya label ini pulalah pembaca mau tidak mau harus
memberikan pengakuan bahwa Alkitab lebih dari sekedar sebuah buku cerita.
3. Posisi pembaca dan penulis menjadi setara dan mungkin sekali pembaca mengatas namakan
pendapat pribadi sebagai pendapat penulis. Ini dikarenakan hal penulis pertama tidak
mendapat posisi penting di dalam upaya mengerti apakah maksud pertama dari isi tulisannya
di dalam Alkitab. Memang jalan keluar yang diusulkan adalah menempatkan diri di bawah
posisi penulis, namun hal ini tidak serta merta menjadi sebuah jaminan tidak adanya unsur
subjektivitas semacam ini.
4. Hal pengabaian konteks pembaca atau penerima pertama dari tulisan penulis pertama juga
menjadi problema serius. Setiap tulisan yang lahir dari tangan penulis pertama tidak pernah
lahir di dalam kevakuman, dalam arti pasti ada suatu alasan tertentu yang melatar-belakangi
munculnya tulisan tersebut. Dalam kaitannya dengan peristiwa pewahyuan, memang hal ini
dipercaya sebagai bentuk intervensi Ilahi pula di dalam penyataan wahyuNya.

Rangkum Pikiran

Cerita merupakan salah satu wahana penting dan efektif di dalam penyampaikan dan
penyimpanan suatu pesan. Semua orang dari berbagai golongan usia akan menyukai apa yang
disebut sebagai cerita. Untuk dapat memahami suatu cerita tertentu dan memakainya dengan
baik, perlu dipelajari berbagai kaidah dan segi-segi dari sebuah cerita. Pada waktu berbicara
tentang Alkitab, perlu diakui bahwa di dalamnyapun ada banyak cerita.

Tidak sedikit para ahli Alkitab menggunakan metode bercerita – pendekatan literer kritis – untuk
menggali isi Alkitab ini dan menyajikan hasil penggalian tersebut sebagai sebuah “penemuan
baru.” Tentu akibatnya akan menimbulkan kesan bahwa pendekatan gramatikal-historis yang
selama ini dipakai disingkirkan jauh-jauh karena tidak membawa hasil yang lebih membumi.
Metode ini hanya menghasilkan kumpulan dogmatik yang dingin, kaku dan tidak bersangkut
paut secara langsung.

Walaupun memang harus diakui pendekatan ini telah memberikan “sesuatu” yang baru di dalam
disiplin ilmu hermeneutik, namun hal ini diperoleh dengan mengorbankan banyak prinsip
penting di dalam konsep Alkitab tentang wahyu dan pewahyuan, konsep wahyu dan inspirasi.

Eksegese narasi memang berhasil merekonstruksi pengalaman hidup untuk menyatakan suatu
kehidupan yang mendalamdan sangat hakiki, namun pengalaman ini berada pada level
horizontal. Aspek vertikal antara seseorang dengan Allah menjadi kabur atau bahkan cenderung
terabaikan sama sekali.

Terlalu banyak dunia simbolik yang dihasilkannya daripada memberikan tempat kepada dunia
realitas. Dunia semacam ini mendapatkan tempat yang sangat ultimat dan Eksegese yang
dilakukan justru mengajak para pembaca ke dalam situasi penyesuaian diri kepadanya. Semua ini
dilakukan dengan suatu anggapan bahwa narasi Alkitab mampu mengatasi semua hambatan
dunia Alkitab dan dunia kontemporer.

Eksegese semacam ini dapat dikatakan sebuah eisegese terselubung karena telah mengabaikan
fakta kebenaran yang bersifat sejarah dan semua yang terkait di dalamnya di dalam sejarah
pewahyuan dan hanya memberikan fokus perhatian pada hasil akhirnya belaka. Meminjam
perkataan Ronald Thiemann, “Teks berdiri di tempat di mana seharusnya Allah berdiri.”

Diangkat dari tulisan :Thomy J. Matakupan (Judul asli: THE NEW BIBLE COMMENTARY –
Revised)

Kepustakaan
Alter, Robert & F. Kermode (Ed). The Literary Guide to the Bible. Fontana Press. 1986.
Alter, Robert. The Art of Biblical Narrative. London: George Allen & Unwin. 1981
Berlin, Adele. Poetics and Interpretation of Biblical Narrative. Sheffield: The Almond Press,
1983.
Meir Sternberg. The Poetics of Bibical Narrative, Ideological Literature and the Drama of
Reading, Bloomington: Indiana University Press, 1987.
Leland Ryken. “Words of Delight”: The Bible as Literature. Bibliotheca Sacra. Vol. 147. No.
585.
__________ . “And It Came to Pass”: The Bible as God’s Storybook. Bibliotheca Sacra. Vol.
147. No. 586.
__________ . “I Have Used Similitudes”: The Poetry of the Bible. Bibliotheca Sacra. Vol. 147.
No. 587.
__________ . “With Many Such Parables”: The Imagination as a Means of Grace. Bibliotheca
Sacra. Vol. 147. No. 588.
__________ . How to Read the Bible as Literature. Grand Rapids: Zondervan, 1984.
Santosa, Jakub. “Metode Exegese Narasi,” Gema Duta Wacana. No. 41. Th.
Setio, Robert. “Alkitab sebagai Kumpulan Narasi.” Gema Duta Wacana No. 41/1991
Thiemann, Ronald. “Response to George Lindbeck.” Theology Today 48:3 (October 1986)
❖ Langkah-langkah dan Sistem Kerja Eksegese Narasi

1. Bca keseluruhan teks (perikop)


2. Setting (Latar geografis atau ruang peristiwa narasi)
3. Tokoh dan penokohan (protogonis / antagonis). Menjelaskan karakter para tokoh yang
terlibat dalam narasi. Siapa tokoh/ pemeran utama, pembantu atau sebaliknya. Apa peran
masing-masing tokoh, dalam hal ini karakter tokoh dapat diklasifikasikan menjadi 6 point
yaitu
a.PENGUTUS (SENDER),
b.PENERIMA (RECIVER),
c.SUBJEK (SUBJECT),
d. OBJEK (OBJECT),
e.PENOLONG (HELPER),
f.MUSUH (OPPONENT).
4. Tafsiran ayat per ayat (mencari keterangan tentang teks itu dengan bertanya, kemudian
menjawab dengan memperhatikan teks itu sendiri).
5. Pesan (Titik penekanan dari perikop)
6. Aplikasi (penerapan)
7. Kesimpulan
Contoh Latihan Yohanes 4:1-21

1. Baca dua kali perikop (Sampai anda memahami alur ceritanya)


2. Setting:
3. Tokoh / Penokohan
a. Yesus : Sebagai Subjek / penolong
b. Perempuan Samaria : Objek / penerima
c. Orang-orang Farisi : musuh (opponent)
4. Tafsiran ayat per ayat. (Analisa sastra, seni dialog, seni berkata-kata, dsb)
Ayat 1-3 : Mengapa Yesus menghindari orang-orang farisi? Mengapa juga Ia
meninggalkan Yudea ? Mungkin keadaan di Yudea saat itu tidak nyaman bagi Yesus.
Yesus berusaha menghindari daerah yang dapat memperburuk keadaan, sebab orang-
orang Farisi membenci / dengki kepada Yesus, mengingat semakin banyak pengikutNya.
Ini dapat diketahui dari keterangan ayat 1 tersebut bahwa semakin banyak orang yang
sudah dibaptis.
Ayat 4-5: Mengapa Yesus harusmelewati daerah Samaria ? Frasa “harus” dapat
diartikan dengan dua hal yaitu, pertama: karena keterpaksaan mengingat adanya
ketidakharmonisan historis Yahudi dengan Samaria; Kedua: karena daerah Samaria
merupakan jalan pintas/ jalan potong dari Yudea menuju Galilea. Bila dibandingkan
dengan ayat 7, maka perjalanan Yesus sesungguhnya keterpaksaan. Namun apakah bagi
Yesus suatu keterpaksaan juga ? Tentu tidak! Sebab Yesus tidak pernah membatasi
diriNya dan pekerjaanNya dengan siapa dan bangsa apapun. MisiNya bersifat universal.
Di daerah Samaria samapailah Ia di sebuah kota yaitu Sikhar.

Ayat 6-8: Mengapa disebut sumur Yakub ? Dan mengapa pula peempuan Samaria itu
mengambil air di sumur tersebut pukul 12.00 siang ? Karena sumur itu dibangun oleh
Yakub. Pukul 12.00. siang sumur pasti sepi, dan juga perempuan ini berusaha tidak
bertemu dengan orang banyak, sebab sudah menjadi rahasia umum akan moralnya.
Yesus terlebih dahulu menyapanya “Berilah Aku Minum”. Ucapan Yesus menunjukkan
Yesus adalah manusia yang butuh minum dan sebagai sapaan perkenalan. Sementara para
murid pergi mencari/ membeli makan siang, berhubung sudah tiba makan siang.

Ayat 9-14: Mengapa Yesus menyapa perempuan Samaria itu ? (Sebab orang Yahudi
tidak bergaul dengan orang Samaria). Orang Yahudi menganggap Samaria najis, karena
masalah kawin campur. Itulah sebabnya Perempuan itu heran ketika Yesus
menyapanya. Yang menjadi pertanyaan: Bagaimana perempuan itu bisa tahu bahwa Ia
(Yesus) seorang Yahudi? Pertama : Yesus tidak bawa timba (bd. Ayat 11). Orang yang
tidak bawa timba ke sumur sudah tentu orang asing; kemudian logat bahasa dan juga
model pakaian, menunjukkan Yesus adalah seorang Yahudi. Mengapa Yesus menjawab
dengan kata-kata pada ayat 10 itu ? Sekali lagi missi universal yang mencari dan
menyelamatkan orang berdosa bagai bangsa Yahudi maupun non-Yahudi. Sebab karunia
Allah adalah milik semua orang yang bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus. Frasa
“berilah Aku minum” dan “memberikan kepadamu air hidup” adalah bahasa lambang
yang diartikan dengan kehidupan. Air adalah lambang kehidupan. Artinya bila air yang
dari sumur dapat memberikan kehidupan jasmani, maka “air” yang yang dikaruniakan
Yesus memberi kehidupan keka (bd. Ayat 13). Dalam hal ini ada dua aspek keselamat
yaitu “tawaran keselamatan Yesus ” dan “respon atau sambutan” bagi perempuan
Samaria”.

Ayat 15-18 : Apakah respon perempuan Samaria ini pada ayat 15 menunjukkan
sebuah sikap pertobatan ? Tentu belum, namun sudah ada respon awal. Karena ia belum
mengerti maksud Yesus yang sesungguhnya. Pada ayat 16, Yesus mau menyelesaikan
“dosa” perempuan tersebut. Karena unsur pertobatan adalah pengakuan dosa. Yesus tahu
siapa dan bagaimana perempuan ini. Pada ayat 17 perempuan ini berusaha menutupi
boroknya sebagai perempuan sundal. Namun ada ayat 18 Yesus “menelanjangiNya”
sebab engkau mempunyai lima suami, dan yang ada sekarang padamu, bukanlah
suamimu”.

Ayat 19: Sekarang perempuan ini mengaku dan percaya bahwa Yesus adalah seorang
nabi.
Ayat 20-21: Setelah pertobtan, maka ada langkah berikutnya yaitu soal penyembahan
(ibadah). Yesus menyatakan bahwa penyembahan kepada Allah bukan lagi di gunung,
melainkan meerhala sedangkan Yerusalem adalah kiasan penyembahan kepada Allah,
karena di Yerusalem didirikan Bait Allah.
5. Pesan : Keselamatan bagi mereka yang bertobat dan percaya
6. Aplkasi : Dengan mengaku dosa, berbalik kepada Tuhan, percaya dan taat akan
kehendakNya, maka akan beroleh hidup kekal.
7. Kesimpulan : Keselamatan diperoleh melalui perjumpaan dengan Yesus Kristus. Dan
keselamatan dikaruniakan secara universal, bukan hanya kepada bangsa Israel saja.

(Langkah-langkah Eksegese Narasi dan Latihan ditulis oleh :Pdt.S.Karo-Karo,STH, MTh.)

VII. Mengenal Alkitab, Terjemahan dan Referensi

Apakah Alkitab Itu?


Mazmur 19:8 menggambarkan perihal Alkitab sebagai peraturan dan hikmat Allah.
Yakobus menyebut Alkitab sebagai cermin (Yak 1:23-24). Paulus menggambarkan Alkitab
sebagai makanan, sebagai susu bagi bayi dan daging bagi orang dewasa rohani (I Kor 3:2-3).
Pemazmur menambahkannya sebagai emas yang memperkaya dan madu yang manis (Maz
19:10). Dalam hal ini terlihat dengan jelas beberapa kenyataan tentang pertanyaan apakah
Alkitab itu?
1. Alkitab adalah hakim yang mengoreksi (2 Tim 3:16)
2. Alkitab adalah pelita dan terang (Maz. 119:105). Yesus adalah terang (Yoh 8:12)
3. Alkitab adalah api yang menghanguskan bagi yang melalaikan kewajibannya (Yer 20:9),
bagi yang fasik (Yer 23:25-29)
4. Alkitab adalah palu yang menghancurkan hati yang keras seperti batu (Yer 23:29)
5. Alkitab adalah pedang yang memisahkan (Ef 6:17; Ibr 4:12)
Alkitab adalah firman Allah karena alasan sebagai berikut:
1. Karena isinya mencerdaskan (Maz. 32:8-9). Karena dengan Alkitab seseorang dapat
diterangi hati dan pikirannya sehingga ia tahu siapa Allah, apa yang dikerjakan-Nya dan
apa yang dikatakan-Nya.
2. Karena isinya menjawab kebutuhan manusia (Maz. 19:8-9). Alkitab tidak saja berbicara
perihal masalah dan pergumulan manusia, tetapi Alkitab juga berisikan jawaban atas
masalah dan kebutuhan manusia. Keajaiban Alkitab justru terletak pada kuasa-Nya dalam
menjawab masalah manusia (tubuh, jiwa dan roh)
3. Karena daya tariknya yang luar biasa (Maz. 119:77). Alkitab adalah buku yang sangat
kuno tetapi tidak pernah usang. Tahun demi tahun, abad demi abad. Alkitab tetap
digemari dan isinya selalu relevan dengan situasi yang sedang dihadapi. Dapat dikatakan
Alkitab adalah buku kemarin, hari ini dan buku hari esok, dari generasi ke genarasi yang
lain. Alkitab meninggalkan kesan yang tak terlupakan dan Alkitab digemari semua orang
4. Karena ketepatan ilmiahnya (Kej 1:1-31). Para ilmuwan memperkuat dan membenarkan
semua urutan dan kejadian penciptaan bumi selama enam hari seperti yang tertera dalam
kitab Kejadian. Bukti-bukti kuat yang ditemukan menopang kejadian-kejadian dalam
Alkitab perihal pembagian terang dan gelap, pembagian lapisan udara, pemisahan antara
lautan dan daratan dsb. Bagaimana Musa menulis penulis kitab Kejadian dapat
mengetahui peristiwa yang tidak dilihat, namun ajaib ini secara tepat? Jawaban yang
dapat memuaskan kita adalah bahwa Allah satu-satunya yang memberi petunjuk kepada
Musa
5. Karena nubuatannya digenapi (Daniel 5:24-28). Banyak sekali nubuatan dalam Alkitab
dan nubuatan itu adalah hak sepenuhnya Allah. Tidak seorangpun manusia yang dapat
menyingkapkan keadaan hari depan. Kalaupun ada yang mencobanya itu adalah usaha
sia-sia. Ternyata lebih dari 25% semua bahan yang terdapat dalam Alkitab adalah
nubuatan. Ada bebarapa nubuat yang ditulis 1500 tahun sebelum itu digenapi, yang lain
ada yang 700 tahun dan ada juga yang 1000 tahun. Tetapi sebagian besar nubuatan-
nubuatan itu telah digenapi dengan sempurna.
6. Karena terpelihara dari masa ke masa (Yes 40:8). Kalau hari ini kita masih memiliki
Alkitab jelas itu adalah mujizat, mengapa? Karena sejarah membuktikan bahwa Alkitab
penuh dengan tantangan, perlawanan dan penganiayaan sepanjang abad. Yang mengkritik
Alkitab bukan saja orang jahat tetapi Alkitab juga sangat dibenci oleh iblis dan kuasa
kejahatan. Kebencian manusia terhadap Alkitab semakin menggila sehingga ada
keinginan yang kuat untuk melenyapkan Alkitab, tetapi kenyataannya Alkitab tetap jaya
sepanjang masa. Itu berarti ada Allah di balik Alkitab. Alkitab adalah buku di atas segala
buku .
7. Karena kuasanya yang mengubah hidup manusia (Maz. 19:8-9). Alkitab memiliki kuasa
untuk mencapai lapisan yang paling bawah dalam masyarakat perampok, pembunuh,
pelacur dan pelaku kejahatan diubah menjadi orang suci, jujur, terhormat
8. Karena isinya bersifat kristosentris (Yes 53:3). 700 tahun sebelum Mesias datang sudah
dinubuatkan oleh Yesaya. Sepertinya nabi ini menyaksikan dengan mata kepala sendiri
penyaliban Kristus di atas kayu salib. Ungkapan perihal Yesus bukan hanya di kitab Yesaya ini
tetapi juga dari kitab lainnya seperti Kejadian sampai Wahyu. Alkitab ceritakan perihal
kehidupan-Nya, pribadi-Nya, perbuatan-Nya, dan nasib-Nya. Bahkansetiap halaman dari Alkitab
membicarakan Dia, Ia mempersatukan setiap bahagian Alkitab secara sempurna. Yesus dan
Alkitab tidak dapat dipisahkan, karena Ia adalah benar-benar Yesus yang ditulis dalam Alkitab,
dan Alkitab selama-lamanya merupakan kitab mengenai Yesus Kristus. Ia adalah firman Allah
yang hidup dan Alkitab adalah firman Allah yang tertulis.
Terjemahan-Terjemaahan Alkitab Perdana –Kini
1. Terjemahan PL pertama terjadi pada permulaan abad ke-lima sebelum Masehi, oleh
Nehemia. Proses terj. Dilakukan di Mesir
2. Septuaginta (LXX). Terjemahan bahasa Ibrani ke dalam bahsa Yunani. Terj. Ini
dilakukan mengingat orang-orang Yahudi di Mesir sudah tidak mengetahui lagi bahasa
Ibrani. Untuk mengerti dan memahami isi Kitab Suci, maka diterjemahkan ke dalam
bahasaYunani
3. Akhir Abad ke-enam ke bahasa Ge’ez (Ethopia) yg digunakan di seluruh Eropah, bahasa
Syria (dipakai di India).
4. Abad 14-15 William Tyndale
5. Pada tahun 1811 dari bahsa Syiria dterjemhkan ke dalam bahasa Mayalayam
Alkitab dan Permasalahan Terjemahan
Mula-mula Alkitab ditulis dalam tiga bahasa yaitu Ibrani kuno, Aram (setengah dalam
Daniel dan dua bagian Ezra), dan Yunani. Sebagian besar pemalam baca Alkitab sekarang ini
tidak mengerti bahasa itu, sehingga bagi kita sekarang yang paling diperlukan adalah alat untuk
membaca serta mempelajari Alkitab adalah terjemahan Alkitab yang baik dalam bahasa Inggris
dan bahasa Indonesia. Membaca Alkitab yang telah diterjemahkan berarti seorang pembaca telah
terlibat dalam suatu penafsiran, entah dia mau atau tidak, suka atau tidak karena itu bukanlah hal
yang buruk, tetapi hanya tidak terelakkan.
Satu hal yang harus diingat ketika seseorang membaca Alkitab terjemahan sebenarnya ia
telah berada di bawah “kekuasaan” para penerjemah, dan para penerjemah seringkali
mengadakan pemilihan kata tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh teks bahasa Ibrani
atau bahasa Yunani asli. Dengan demikian menggunakan hanya satu terjemahan yang baik tentu
saja kita berada dalam satu pilihan penafsiran. Dan tentu bisa saja benar tetapi juga bisa saja
salah. Lalu terjemahan manakah yang harus kita gunakan dalam penafsiran? Dalam hal ini
masing-masing orang harus menetukan pilihannya sendiri. Namun pulihan kita jangan hanya
karena menyukai terjemahan yang satu atau karena terjemahan ini mudah dibaca. Dengan
demikian utuk membuat pilihan yang bijaksana kita perlu mengetahui beberapa hal, baik tentang
ilmu penerjemahan itu sendiri maupun tentang beberapa di antara berbagai terjemahan Alkitab
dalam bahasa Inggris.

Ilmu Penerjemahan
Ada dua macam pilihan yang harus dibuat oleh seorang penerjemah yaitu tekstual dan
linguistik. Jenis tekstual berkenaan dengan susunan kata-kata yang sebenarnya dari teks asli,
yaitu seorang penerjemah memastikan bahwa teks Ibrani atau Yunani sedekat mungkin kepada
susunan kata asli yang ditulis oleh tangan-tangan penulisnya. Sedangkan jenis linguistik adalah
berkenaan dengan teori penerjemahan seseorang.
Yang akan kita bahasa berikut ini adalah yang kedua yaitu pertanyaan tentang bahasa
(linguistik) dengan asumsi kita sudah memahami jenis tekstual yaitu dengan mengembanagkan
metode kritik apparatus.
Pertanyaan tentang bahasa. Persoalan yang muncul adalah berkenaan dengan pemindahan kata
dan gagasan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Untuk itu kita harus kenali beberapa
istilah teknis terkait:
1. Bahasa asal: Ibrani, Aram dan Yunani (bahasa yang darinya orang menterjemahkan)
2. Bahasa penerima: Bahasa Indonesia (bahasa yang digunakan untuk menterjemahkan bahasa
asal)
3. Jarak historis: Berhubungan dengan perbedaan yang ada di antara bahasa asal dengan bahasa
penerima (kata, tata bahasa, idiom, budaya, sejarah)
4. Teori penerjemahan: Berhubungan dengan soal sampai ke tingkat manakah kita ingin
berusaha untuk menghilangkan perbedaan di antara kedua bahasa tersebut. Mis: haruskan
“pelita” diterjemahkan “obor” atau “senter”, di dalam kebudayaan mana benda-benda
penerang itu melakukan fungsi pelita dulu? Atau haruskah orang menterjemahkannya tetap
“pelita” dan membiarkan pembaca menghilangkan perbedaan itu sendiri?. Kemudian apakah
“cium kudus” dapat diterjemahkan “jabatan tangan” dalam kebudayaan di mana mencium di
depan umum merupakan perbuatan tidak sopan?
Ada tiga istilah diterapkan pada teori penerjemahan dasar:
1. Harfiah: usaha untuk menterjemahkan sedapat mungkin menggunakan kata-kata dan
penyusunan yang tepat sama dengan yang digunakan dalam bahasa asal, namun masih
mempunyai arti dalam bahasa penerima. Terjemahan harafiah akan menjaga keutuhan jarak
historis dalam segala segi. Contoh terjemahan ini adalah KJV, NASB, sebagian RSV
2. Bebas: usaha untuk menterjemahkan gagasan-gagasan dari satu bahasa ke bahasa yang lain,
dengan kurang memperhatikan pemakaian kata-kata yang tepat dari bahasa asal, coba
menghilangkan sebanyak mungkin jarak historisnya. Contoh terjemahan ini adalah
PHILIPS, LB
3. Kesesuaian Dinamis: usaha untuk menterjemahkan berbagai kata, idiom dan susunan tata
bahasa dari bahasa asal ke dalam padanan yang tepat dalam bahasa penerima. Terjemahan
ini menjaga jarak historis dalam semua hal yang berhubungan dengan sejarah dan dalam
kebanyakan hal yang berdasarkan fakta, tetapi “memodernkan” soal-soal bahasa, tata bahasa
dan gaya bahasa. Contoh terjemahan ini adalah NIV, NAB, GNB, JB, NEB.
Teori penerjemahan terbaik adalah Kesesuaian Dinamis. Terjemahan harafiah sering
bermanfaat sebagai sumber kedua yang memberi keyakinan mengenai bagaimana sebenarnya
rupa naskah Yunani dan Ibrani. Terjemahan bebas juga bermanfaat untuk merangsang pemikiran
tentang kemungkinan arti suatu teks. Maka NIV adalah terjemahan dasar untuk belajar yang
baik.
Cara berbagai terjemahan menangani persoalan “jarak historis”
1. Kata “bobot”, “ukuran”, “uang”.
Apakah kita menyalin huruf-huruf berbagai istilah Yunani dan Ibrani (“ephah”, “homer”
dsb), atau kita coba menemukan padanannya dalam bahasa Inggris atau Indonesia? Jika kita
putuskan untuk mencari padanan dalam berat dan ukuran, apakah kita gunakan standar “pounds”
dan “feet” untuk bahasa Inggris atau kita melihat ke masa depan dan meneterjemahkannya “liter”
dan “meter”? Dalam beberapa tahun saja inflasi dapat mempermainkan padanan moneter.
Persoalannya diperparah dengan fakta bahwa ukuran dan uang sering dipakai untuk
menyarankan pertentangan atau hasil-hasil yang mengejutkan, seperti Mat 18:24-28, Yes 5:10.
Untuk menyalinnya saja dalam hal ini kemungkinan menyebabkan pembaca Inggris/Indonesia
tidak mengerti maksud ayat-ayat itu.
Lihat perbandingan beberapa terjemahan untuk menterjemahkan kata itu:
a. KJV diikuti RSV tidak konsekuen dalam hal ini. Sebagian terbesarnya menyalin
huruf-huruf dari abjad bahasa asal, dan hal ini juga terdapat dalam Alkitab Indonesia Terjemahan
Baru sehingga kita temukan kata-kata “bat”, “efa”, “homer”, “syikal”, dan “talenta”. Namun kata
Ibrani “ammah” diterjemahkan “hasta”, “zereth” menjadi “jengkal” danb kata Yunani “mna”
(mina) di salin ke bahasa Indonesia menjadi “uang mina” sedangkan kata “denarius” menjadi
“dinar”
b. Terjemahan NASB menggunakan kata “cubit” (hasta) dan “span” (jengkal). Cara ini
juga dipakai oleh NIV, kecuali untuk “cubits” yang diubah menjadi “feet” (kaki) dan semua
catatn pinggir diberikan baik dalam standar Inggris maupun dalam padanan metrik.
c. Alkitab Living Bible, sebagaimana dapat diharapkan mengubah segala sesuatu
menjadi padan kata, tetapi sering mereka tidak teliti. Mengubah dinar menjadi dollar dengan kurs
tahun 1960 paling banter adalah suatu produk yang sulit.
Coba bandingkan betapa jauhnya terjemahan yang diberikan oleh BIS dengan
Terjemahan Baru untuk Yes 5:10 dan Mat 18:24-28
2. Eufeminisme (ungkapan pelembut)
Penggunaan kata yang berhubungan dengan toilet dan seks diungkapkan secara lembut.
Ada tiga pilhan untuk itu:
a. menerjemahkan secara harfiah, tetapi mungkin pembaca yang berbicara bahasa
Inggris/Indonesia itu akan menerka-nerka artinya
b. menerjemahkan padan-kata yang harfiah, tetapi mungkin menyingggung perasaan atau
mengejutkan pembaca
c. menerjemahkan dengan suatu padanan ungkapan pelembut.
Diantara ketiga itu barangkali yang terbaik adalah pilihan yang ketiga, jikalu ada eufeminisme
yang sesuai. Jikalu tidak, lebih baik mengikuti pilihan kedua khususnya untuk perkara-perjkara
yang pada umumnya tidak lagi menuntut eufeminisme dalam bahasa Indonesia. Contoh kata
“aku sedang haid” (Kej 31:35, ATB,NIV) adalah lebih baik dibandingkan terjemahan harfiah
“adat perempuan sedang berlaku atas hamba” (NASB,KJV)
Pilihan sutau Terjemahan
Kalau demikian, terjemahan mana yang harus kita baca? Yang pertama NIV sebagai
terjemahan yang amat baik. GNB (BIS/KABAR BAIK) dan NAB juga baik sekali. Sebaiknya
gunakan dua dari terjemahan tersebut atau ketiganya di samping Alkitab LAI yang biasa kita
pakai.
1. Hasan Sutanto, Hermeneutik. Malang: SAAT, 2002
2. Kevin J. Corner, Interpreting The Scriptures. Malang: Gandum Mas, 2004
3. Gordon D. Fee & Douglas Stuart, Hermeneutik. Malang: Gandum Mas, 2006
4. John H. Hayes &Holladay. Pedoman Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK GM, 1987
5. John Stott, Memahami Isi Alkitab,Jakarta: PPA, 20
NO NAMA NATS MID.SEM.
1 Aris Mat.18:15
2 Agnes Yoh. 13:36-38
3 Elly Theresia Lukas 4:42-44
4 Erwin Yoh.12:9-12
5 Dedy Dores Ibr.2:1-4
6 Lastriana Markus 12:41-44
7 Lita Mat.7:12-14
8 Elisna Lukas 9:43b-45
9 Hamonangan Matius 22:34-40
10 Hotmaida Lukas 6:43-45
11 Riama Markus 11:12-14
12 Sriulina Mat.19:13-15

Anda mungkin juga menyukai