Kalangan seniman tergabung dalam Dewan Kesenian Palembang (DKP) bersama sejarawan, budayawan serta praktisi
hukum belum lama ini membahas seputar kebudayaan di Palembang yang terus terkikis zaman. Banyak sebab diutarakan.
Seputar masalah globalisasi, kurangnya perhatian pemerintah serta masyarakat Palembang sendiri membuat masalah kebudayaan
Palembang, dikenal sejak zaman kerajaan Sriwijaya, bernuansa religius ketika dibawah kerajaan Palembang Darussalam terus
menghilang.
Dari dokumentasi Sumeks Minggu, hadir sejak tahun 2010 lalu dengan rubriknya Hitam Putih, beberapa kebudayaan
Palembang jelas kurang mendapat perhatian pemerintah. Dimulai dari Wayang Palembang. Kebudayaan diadopsi dari pulau Jawa
ini dulunya booming. Kini, dalangnya tinggal satu, Kgs Wirawan Rusdi, warga Jl Sido Ing Lautan, Rt 10, Rt 10, No 243, Lrg Cik
Latah, Kelurahan 36 Ilir, Tangga Buntung. Berbekal beban moral melestarikan budaya lokal, akulturasi Jawa-Palembang yang
sempat diembang ayah serta kakeknya, Wirawan berhasil bertahan. Itupun berkat binaan Persatuan Perdalangan Indonesia
(Pepadi) Sumsel.
Budaya lain, akulturasi Jawa dan Melayu, menjadi bagian masyarakat sejak zaman kerajaan Palembang Darussalam
ialah bebaso. Atau sering disebut bahasa Keraton, bahasa Bari, atau bahasa kulo iki. Hingga pertengahan abad ke-20, bahasa
lembut, penuh sopan santun, menunjukan jati diri daerah Palembang masih sering terdengar. Kini, hanya dikuasai segelintir orang
tua asli Plembang. Tanpa regenerasi, bahasa inipun diambang punah. Sedangkan rencana Pemkot Palembang menjadikannya
sebagai mutan lokal di Sekolah Dasar (SD) agar dikuasai generasi muda tak kunjung terealisasi.
Untuk kesenian seperti Dulmuluk, para seniman merasa terpinggirkan. Keterangan Jonhar Saad, sejak mendalami
Dulmuluk tahun 1962, mendirikan sanggar Harapan Jaya tahun 1982, mereka dan seniman lain harus berjuang sendiri agar
kesenian ini terus hidup. Tanpa bantuan pemerintah, mereka bertahan dengan undangan masyarakat meski uang didapat sangat
minim.
Lembaran sejarah perjuangan Palembang pada pada bungker Jepang di Jl AKPB H Umar, Rt 21, Kelurahan Rimba Kemuning,
Kecamatan Kemuning, Km-5, Palembang pun terancam hilang.Meski meninggalkan kenangan pahit, bungker dibangun tahun
1940 an ini sejatinya bisa dijadikan objek wisata. Seperti dilakukan pemerintah Sumatera Barat (Sumbar). Dari keterangan
masyarakat setempat, ternyata banyak warga Jepang, keturunan tentara yang pernah bertugas di Palembang, datang beramai-
ramai berkunjung.
Belum lagi masyarakat umum yang penasaran dengan isu bungker yang konon kabarnya tembus ke bungker di RSK Charitas.
Sang pemilik tanah dibungker tersebut dibuat bingung oleh sikap pemerintah. Pemilik dilarang membangun di kawasan dengan
alasan bungker tersebut memiliki nilai sejarah, namun pemerintah samasekali tidak memiliki gerakan nyata. Sedangkan kondisi
bungker sudah banyak mengalami kerusakan dan tanahnya terus dikeduk warga.
Nah, cerita suram terjadi pada makam Komplek Pangeran Krama Djaya di Jl Segaran, Lrg Gubah Pangeran, belakang SDN 46,
Kecamatan Ilir Timur (IT) I. Makam ini sejak lama dirusak diduga untuk kepentingan bisnis semata. Pengrusakan makam ini
diyakini sebagai bentuk penghilangan sejarah. Meski banyak pihak menekan pemerintah membenahi masalah ini, toh sosok
Pangeran Krama Djaya dianggap sebagai orang berjasa bagi perjuangan wong Plembang melawan penjajah hingga sempat
hendak diusulkan almarhum budayawan/sejarawan Djohan Hanafiah sebagai Pahlawan Nasional tetap terabaikan.
Bahkan, keterangan salah satu zuriatnya, RH Abdullah Roni Azhari kemarin (21/1), kondisi makam, sekarang jauh lebih parah.
Makam sudah rata dengan tanah, sekeliling komplek tertutup rapat oleh seng. “Entah jasad makam di komplek itu sekarang
dimana?,” ungkap Roni bertanya-tanya. Pangeran Krama Djaya sendiri merupakan menantu SMB II, tercatat sebagai penguasa
Palembang tahun 1823 hingga 1825. Akibat bertentangan dengan Belanda, sang pangeran dibuang ke Purbolinggo (Banyumas).
Budaya bersifat religi, ziarah kubra, dilakukan para pecinta ulama serta au’liya, terbukti menyedot belasan ribu umat muslim
jelang puasa ramadhan pun belum mendapat perhatian. Panitia ziarah kubra sejak lama menginginkan wisata religi ini masuk
dalam agenda tetap pemerintah agar dapat lebih luas terexposes ke berbagai daerah hingga luar negeri. Berulang kali melakukan
pertemuan, usaha mereka belum membuahkan hasil.
Terkait gagasan Perda Kebudayaan ini, Wakil Walikota Palembang, H Romi Herton SH MH tidak berkomentar banyak. Ditemui
koran ini usai menghadiri Ulang Tahun Walikota Ir H Eddy Santana Putra dua hari lalu, Romi hanya mengatakan akan
mempelajari gagasan terlebih dulu. “Nanti kita pelajari dulu ya,” ujarnya sembari berlalu masuk ke mobil.
Sementara Kadin Budpar Palembang, Mirza Fansyuri mengaku mendukung gagasan tersebut. Dengan catatan ada payung hukum
untuk membuat Perda tersebut. Dikatakan Mirza, Pemkot Palembang memiliki keinginan memajukan kebudayaan Palembang.
Namun diakuinya, dibalik keinginan tersebut ada keterbatasan.
Pihaknya sejauh ini telah memiliki rencana kerja serta anggaran. “Masalah makam buyut Silaberanti, Ariodillah itu akan kita
teliti. Kalau budaya yang hilang itu budaya mana?. Budaya berkendara, budaya malu, agama, berpakaian, itu tidak semua
dihitung dengan duit,” tandasnya.
Sementara Ketua Komisi IV DPRD Palembang, Agus Tridasa mendukung gagasan tersebut. “Kalau ada payung hukumnya tidak
masalah. Cuma tidak semua kebudayaan tidak diperhatikan. Banyak yang sudah dapat perhatian. Kalau memang ada yang belum
itu karena masalah di pemerintahan tidak hanya budaya. Pendidikan, kesehatan juga perlu,” ujarnya cepat.
Jika memang memungkinkan, Agus menilai eksekutif lebih tepat untuk membuat Perda ini. “Kalau eksekutif lebih simple.
Sedangkan legislatif urusannya lebih panjang,” tukasnya. (wwn)
lebih ribet. jika memang ada payun ituJika dikatakan banyak kebudayaan terkikis dan diambang kepunahan Mirza balik bertanya
budaya dimaksud kalanganpihaknya kan
Kadin budpar, ada tujuh macam bahasa, religi, ekonomi, seni,,,, bla bla, apa budaya yg hilang budaya berkendara, malu, budaya
agama, tidak semua dihitung dengan duit, orang-orang juga ngidupin, sekarang budaya berpakaian, apakah celana, ketat, budaya
luas,
Perda ada dua, pemkot atau dprd, mereka pengen kita garap, kita setuju, kalau disetujui dewan jd produk, kalau memang ada
aturan, sejauh ini ada dak PP UU, UU kepariwisataan, budaya salah satu bagian pariwisata,
Anggaran budpar, tidak ada dana minus, tahun lalu hampir 7 m sama gaji, naik 30 persen, belum toron DPRD, rancangan ke
depan, seperti apa? Dak hapal, kita ada rencana kerja, yg ada anggaran kita sudah siapkan, misalnya buyut silaberanti, kita coba
teliti, ariodillah, potensi banyak perlu pendanaan tp pemkot ada keterbatasaan.