Anda di halaman 1dari 49

PERSEPSI TENTANG “TUHAN dan AGAMA”

Kajian Teoritis
Oleh : Drs. H. M. Solihin

BAB I
Pendahuluan

Persepsi Tentang Tuhan


Penomena mencaci maki Tuhan Agama lain, merendahkan dan menghina
Tuhan Agama lain, adalah bukti kesalah pahaman seorang penganut agama
dalam mendefinisikan Tuhan-Nya. Pemahaman seseorang tentang Tuhannya,
sangat dipengaruhi oleh persepsi seseorang tentang penomena ke-Tuhanan yang
dipahaminya.
Persepsi seseorang tentang Tuhan, sangat dipengaruhi oleh informasi yang
diterima oleh orang tersebut dari berbagai sumber tentang Tuhan. Semakin
banyak informasi yang masuk tentang Tuhan pada dirinya, semakin sempurna
persepsi orang tersebut dalam mendefinisikan Tuhan-nya.
Dalam Islam, konon Tuhan sendiri yang mempersilahkan diri-Nya dikenal
sesuai dengan prasangka manusia terhadap Tuhan. “Aku sesuai prasangka
dirimu’. Tuhan mempersilahkan kepada makhluknya untuk membuat konsep
yang bisa manusia jangkau. Kapasitas manusia yang berbeda-beda dan kapasitas
manusia yang terbatas dalam mengenal Tuhan, yang membuat konsep manusia
tentang Tuhan akhirnya berbeda-beda. Bukan berarti Tuhan menjadi
imanen, dalam arti turun kesucian dan kesempurnaan-Nya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-
Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat
bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di
suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada
pada itu (kumpulan malaikat).” (Muttafaqun ‘alaih) - HR. Bukhari, no. 6970 dan
Muslim, no. 2675.
Proses ini dinamakan proses fisik. Stimulus (sinyal dalam bentuk gelombang
informasi) yang diterima alat indera dilanjutkan oleh syaraf sensori ke otak
(kecerdasan), kemudian terjadilah suatu proses di otak dalam bentuk nalar,
sehingga individu dapat menyadari apa yang diterima reseptor itu sebagai suatu
akibat dari stimulus yang diterima. Dengan demikian taraf terakhir dari
proses persepsi adalah individu menyadari tentang apa yang diterima melalui
alat indera atau reseptor.
Dalam masyarakat, sebagian besar percaya bahwa ada “Sesuatu” yang
berada di atas, di balik, di sebrang, atau “Sesuatu” yang lebih tinggi dari dunia
natural. Namun dibalik generalisasi kasar ini, terdapat pertentangan yang tak
berujung mengenai apakah “Yang Supernatural” itu, dan perdebatan-
perdebatan sengit tentangnya.
Prasangka (Persepsi) yang salah tentang Tuhan berakibat salah dalam
mendefinisikan Tuhan, dan akan salah dalam memahami firman Tuhan baik
dalam bentuk perintah, maupun dalam bentuk larangan. Proses terjadinya
Persepsi diawali ketika objek menimbulkan stimulus dan stimulus mengenai alat
indera atau reseptor. Persepsi tentang Tuhan diawali oleh Perasaan dan
keyakinan adanya Yang Maha Kuasa yang lebih besar dan lebih tinggi, yang
tidak dapat dijangkau dan dikuasai manusia.
Setiap kejadian menuntut suatu sebab. Tidak ada rangkaian tak terhingga dari
sebab, sehingga mesti ada suatu “Sebab Pertama” bagi sesuatu. Dan sebab itu
adalah Tuhan. Samuel Clarke dalam buku A Demontration of the Being and
Attributes of God (1978 menyatakan bahwa “tak ada yang lebih absurd daripada
menduga bahwa sesuatu ada, bukannya tiada.”
Ketika keterbatasan pengamatan atas sebuah gejala yang terjadi pada yang tidak
bisa dijelaskan melalui hukum kausalitas, maka terciptalah berbagai persepsi
tentang keberadaan dan keterlibatan Sang Penggerak terhadap keberlangsungan
realitas dalam diri individu dan keteraturan alam. Karena secara prinsipil, semua
objek dapat menjadi hierofani, sebab di dunia ini semuanya dilatar belakangi
oleh objek yang suci.
Para pemikir Yunani pra-Socrates, telah akrab dengan wacana ketuhanan
melalui bangunan mistis kehidupan masyarakat waktu itu. Dalam tahap
kepercayaan ini, pengetahuan ketuhanan dikatakan masih sangat sederhana.
Diskusi tentang Tuhan adalah cerita rakyat yang terkembangkan melalui mitos
dan kepercayaan primitif. Baru setelah sejarah mencatat awal manusia mengenal
cara berpikir diskusi yang melibatkan bermacam pertanyaan tentang tema
ketuhanan pun telah dimulai kembali dengan kualitas yang lebih tinggi.
Terkait uraian di atas, maka bagaimana proses manusia melakukan persepsi
terhadap Tuhan dapat dijelaskan sebagai berikut : Tuhan (sebagai objek yang
akan dipersepsikan), merupakan Dzat yang abstrak dan tidak dapat dilihat, akan
tetapi kata Tuhan sering diucapkan di lingkungan sehingga kata Tuhan sering
didengar oleh manusia. Ketika stimulus tentang Tuhan terdengar oleh manusia
melalui kata-kata yang diucapkan oleh orang disekitar lingkungan, maka
stimulus yang diterima akan masuk ke dalam telinga dan dilanjutkan oleh syaraf
sensori ke otak, kemudian terjadilah suatu proses di otak manusia tersebut,
sehingga manusia dapat menyadari adanya kata Tuhan yang terdengar olehnya.
Pada anak-anak, mereka masih dalam tahap berfikir konkret sehingga hal-hal
yang bersifat abstrak sulit diterima oleh anak. Hal ini berdasarkan konsep Piaget
(dalam Santrock, 2002:251), yang menyatakan bahwa tahap berfikir anak-anak
awal masih berada pada tahap pra operasional, dimana anak mulai
merepresentasikan dunia mereka dengan kata-kata, bayangan, dan gambar-
gambar.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, dikarenakan wujud Tuhan yang tidak
dapat dilihat oleh anak, akan tetap selalu didengar melalui kata-kata yang
diucapkan oleh orang dewasa, maka anak akan mulai dapat menyadari adanya
kata Tuhan tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas jelaslah bahwa proses persepsi anak tentang
Tuhan dimulai dari kata-kata yang sering didengar anak dari orang-orang
dewasa disekelilingnya, dimana pada saat itu pemikiran anak masih dipengaruhi
oleh imajinasi. Pemikiran anak yang bersifat imajinatif akan mempengaruhi
pandangan anak tentang Tuhan. Anak akan memandang Tuhan seperti
imajinasinya, menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan makhluk
(bisa manusia, atau benda lainnya).
Pertanyaannya : Siapa Tuhan anda dan apa ajaran-Nya ?
Apakah Tuhan anda memerintahkan anda untuk merendahkan dan menghina
Tuhan agama lain ?
Apakah Tuhan anda memerintahkan anda untuk merendahkan dan menghina
“Rasul” agama lain ?
Apakah Tuhan anda, Tuhan yang Angkuh, Congkak Dan Sombong, sehingga
“Firman-Nya “ memerintahkan pemeluknya untuk merendahkan Tuhan Agama
lain ?
Apakah Tuhan anda merasa tersaingi, atau terkooptasi oleh Tuhan agama lain,
atau Tuhan anda adalah Tuhan Yang Maha Sempurna sehingga tidak merasa
tersaingi, dan tidak merasa pengaruhnya (kemulyaan-Nya) akan berkurang ?
Apakah dihati sanubari anda tumbuh rasa kebencian dan permusuhan terhadap
pemeluk agama lain ?
Apakah anda sudah merasa benar mempersepsikan Tuhan anda yang ada
sembah dan anda ta’ati ajaran-Nya ?
Al-Qur’an adalah cerminan akhlak Rasulullah. Salah satu di antara akhlak yang
diajarkan Al-Qur’an dan diterapkan oleh Rasulullah adalah mengucapkan kata-
kata yang baik dalam berhubungan sosial. Termasuk menghindari mencela
agama lain ketika berdakwah. Tentu ini menjadi sebuah peringatan bagi kita
semua khususnya dengan banyaknya dai-dai muda yang terkadang secara
sengaja maupun tidak sengaja menjelekkan agama lain dalam ceramahnya.

َ ِ ‫ن الله ِ فَيَس ُُب ّوا الله َ ع َ ْدوًا ۢ بِغَيْرِ عِل ْ ۗم ٍ كَذٰل‬


‫ك‬ َ ْ ‫وَل َا تَس ُُب ّوا ال َ ّذ ِي‬
ِ ‫ن ي َ ْدعُوْنَ م ِنْ د ُ ْو‬
  َ‫م ث َُم ّ اِل ٰى ر َ ّبِه ِ ْم َمّ ْرجِعُه ُ ْم فَيُنَبُِّئه ُ ْم بِمَا ك َانُو ْا يَعْم َلُوْن‬
ۖ ْ ُ ‫ل ا َُمّة ٍ ع َمَلَه‬
ِ ّ ُ ‫ز َ َي َ ّن ّا لِك‬
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar
pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia
akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al-
An'am: 108).   Dalam ayat ini, Al-Qur’an mengajak umat Islam menunjuk
akhlak terpuji. Di antara seruan Al-Qur’an adalah meninggalkan mencaci agama
lain.
Larangan menghina agama lain dalam Injil
Larangan menghina agama lain dalam Injil sendiri menguatkan prinsip hidup
orang percaya dalam menanggapi perkara ini. Larangan menghina agama lain
dalam injil haruslah menjadi pedoman hidup orang percaya, seperti :
Tidak boleh menghina sesama
Tindakan penghinaan atau pemojokan terhadap orang lain sangat ditentang keras
oleh Alkitab, dalam kitab Amsal 11:12 mengatakan “Siapa menghina
sesamanya, tidak berakal budi. Tetapi orang pandai berdiam diri”. Allah
menciptakan manusia sebagai mahluk yang memiliki akal budi dan pikiran
sehingga bolehlah manusia dapat memancarkan dan menggambarkan sosok
Allah itu sendiri kepada mahluk yang lainnya.
Mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri
Kita sebagai manusia yang dikasihi oleh Allah kini bukan lagi hidup untuk diri
kita sendiri melainkan hidup hanya untuk Allah, tidak ada satu orangpun yang
diperkenankan oleh-Nya untuk menghakimi, menghina atau mengadili orang
lain karena pada akhirnya semua itu hanya boleh dilakukan oleh Tuhan ketika
pengadilan kelak dilaksanakan atas dunia.
Kasih bukan perbuatan yang tidak sopan atau tidak berakal budi, seperti ada
tertulis dalam Mazmur 37:10,11 “Hanya sedikit waktu lagi, orang fasik tidak
akan ada lagi. Orang-orang yang lembut hati akan memiliki bumi, dan mereka
akan benar-benar mendapatkan kesenangan yang besar atas limpahnya
kedamaian”.
Manusia tidak memiliki kuasa untuk menghakimi dan menghina orang lain
Larangan menghina agama lain dalam injil banyak sekali dicontohkan di dalam
Alkitab, seperti yang telah ditegaskan oleh Tuhan siapakah kita sebagai manusia
dapat melampaui kedaulatan dan keputusan Tuhan itu sendiri? Alkitab
menyuruh agar kita menerima orang yang lemah imannya tampa
mempercakapkan pendapatnya. Kita sebagai manusia yang dikasihi oleh Allah
kini bukan lagi hidup untuk diri kita sendiri melainkan hidup hanya untuk Allah,
tidak ada satu orangpun yang diperkenankan olehNya untuk menghakimi,
menghina atau mengadili orang lain karena pada akhirnya semua itu hanya
boleh dilakukan oleh Tuhan ketika pengadilan kelak dilaksanakan atas dunia.
Keberadaan alam semesta yang ada sekarang ini tidak ada dengan begitu saja,
tanpa ada yang mengadakan. Semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan
sebagai Pencipta yang sekaligus mengatur alam raya ini. Karena ini merupakan
sebuah fitrah yang dimiliki manusia. Kalau kita menengok sejarah, banyak
sekali konsep Tuhan kepercayaan manusia. Di antaranya seperti orangorang
Yunani yang menganut paham politeisme (keyakinan banyak Tuhan): Bintang
adalah Tuhan (Dewa). Venus adalah Dewa Kecantikan, Mars adalah Dewa
Peperangan, sedangkan Tuhan Tertinggi adalaha Apollo atau Matahari.
Selain itu ada orang-orang Hindu yang menyakini bahwa dewa-dewa dianggap
sebagai tuhan-tuhan mereka. Hal itu terlihat dalam Hikayat Mahabarata.
Masyarakat Mesir tidak terkecuali, mereka menyakini adanya Dewa Iziz, Dewi
Oziris dan yang tertinggi adalah Ra’. Masyarakat Persia pun demikian
menyakini bahwa ada tuhan Gelap dan Tuhan Terang.
Keyakinan tentang adanya Maha Penguasa ini juga dimiliki oleh masyarakat
Arab, mereka lebih bersifat politeisme. Walaupun ketika mereka ditanya tentang
Pencipta langit dan bumi, mereka menjawab “Allah”, namun anggapan mereka
keliru atas “Allah”. Mereka menganggap Allah merupakan golongan Jin,
memiliki anak-anak wanita dan manusia karena tidak mampu berdialog dengan
Allah, karena ketinggian dan kesucian-Nya. dengan begitu mereka, menjadikan
malaikat-malaikat dan berhala-berhala untuk disembah sebagai perantara
mereka dengan Allah.
Maka itulah diantara sekian banyak keyakinan tentang Pencipta dibalik
keberadaan langit dan bumi serta isinya. Memang bermacam-macam konsep
yang ditawarkan. Hal itu muncul karena masalah Tuhan adalah sebuah
permasalahan metafisika. Dimana metafisika berkenaan dengan sebab-sebab
puncak dari obyek-obyek yang berada di luar pengamatan dan pengalaman.
Agama Islam melalui kitab suci Al-Quran datang dengan membawa ajaran
tauhid untuk meluruskan keyakinan yang salah. Sebagaimana tujuan
diturunkannya Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia. Dimana Al-Quran
mengarahkan kita kepada tujuan hidup yang benar dan mampu membebaskan
diri dari kegelapan menuju terang benderang.
Persepsi Kekuatan Supranatural
Manusia, sejak mula pertama sejarah pemikiran, sudah mengenal adanya suatu
kekuatan-kekuatan yang mengatasi manusia, suatu yang dianggap Mahakuasa,
dapat mendatangkan kebaikan ataupun kejahatan serta dapat mengabulkan doa
dan keinginan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan
sudah sejak dini dimiliki oleh manusia. Masyarakat manusia diberbagai tempat
mengenal adanya kekuatan-kekuatan supranatural, orang melanesia
menyebutnya mana, orang Jepang menyebutnya kami, orang India
menyebutnya hari, orang Indian Amerika menyebutnya wakan, orenda dan
maniti. dan dalam bahasa Indonesia disebut TUAH. yang mereka yakini
kekuatan- kekuatan tersebut berada pada tempat-tempat tertentu seperti batu,
pohon besar, binatang, atau gunung.
Perasaan dan keyakinan adanya Yang Maha Kuasa yang lebih besar dan lebih
tinggi, yang tidak dapat dijangkau dan dikuasai manusia itu oleh Rudolf Otto
disebut niminous, yang merupakan dasar bagi setiap agama. Kekuatan-kekuatan
gaib yang dimaksud diatas, kecuali dalam agama-agama yang masih primitif,
disebut Tuhan. Persepsi tentang Tuhan merupakan proses yang melibatkan
aspek kognitif dan afektif individu untuk melakukan pemilihan, pengaturan, dan
pemahaman serta pengiterpretasian rangsang-rangsang indrawi melalui suatu
gambar objek tertentu secara utuh, sehingga individu menyadari dan mengerti
tentang apa yang diterima oleh alat indra atau reseptor.
Para cendekiawan menganggap berbagai sifat-sifat Tuhan berasal dari konsep
ketuhanan yang berbeda-beda. Yang paling umum, di antaranya adalah
Mahatahu (mengetahui segalanya), Mahakuasa (memiliki kekuasaan tak
terbatas), Mahaada (hadir di mana pun), Mahamulia (mengandung segala sifat-
sifat baik yang sempurna), tak ada yang setara dengan-Nya, serta bersifat kekal
abadi.
Banyaknya konsep tentang Tuhan dan pertentangan satu sama lain dalam hal
sifat, maksud, dan tindakan Tuhan, telah mengarah pada munculnya pemikiran-
pemikiran seperti omniteisme, pandeisme, atau filsafat Perennial, yang
menganggap adanya satu kebenaran teologis yang mendasari segalanya, yang
diamati oleh berbagai agama dalam sudut pandang yang berbeda-beda, maka
sesungguhnya agama-agama di dunia menyembah satu Tuhan yang sama, tetapi
melalui konsep dan pencitraan mental yang berbeda-beda mengenai-Nya.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah dalam bentuk
pertanyaan: Apa itu Tuhan ? Siapa itu Tuhan ? Siapa atau Apa Tuhan Anda ?
Apa Agama Anda ? Bagaimana Cara Menyembah Tuhan ?

Apa itu Tuhan ?


Tuhan adalah Maha Sempurna tanpa ketergantungan sedikitpun dengan
makhluknya. Para teolog lebih menekankan aspek transedensi Tuhan. Ia seolah-
olah jauh dari keterjangkauan manusia dan seluruh makhluk-Nya. Ia tak pernah
terbayangkan zat dan substansi dirinya.
Tuhan adalah suatu dzat abadi dan supranatural yang menciptakan langit, bumi
beserta isinya dan menciptakan makhluk-makhluk yang ada di bumi.Untuk
menjelaskan konsep tentang Tuhan, yaitu: a. Pengertian Tuhan menurut para
ahli Dalam pandangan Syeikh Siti Jenar (dalam Kandito,2012:69-70), Tuhan
merupakan Dzat yang melingkupi materi dan alam jiwa sekaligus, sehingga
wujud Tuhan tidak mampu diindera oleh manusia dan makhluk lain yang
diciptakan olehNya. Indera manusia hanya bisa digunakan untuk mengindera
hal-hal yang berwujud materi saja, yang sangat terbatas jumlahnya.
Dengan demikian, Dzat Tuhan yang juga melingkupi alam jiwa dan alam esensi
tak akan mampu diserep oleh indera. Pemaknaan tentang Tuhan tidak akan
mampu menunjukkan kesejatian Tuhan. Berdasarkan uraian diatas mengenai
konsep Tuhan menurut Syeikh Siti Jenar dapat disimpulkan bahwa Tuhan tidak
dapat didefenisikan secara mendasar, sebab pemahaman maupun bahasa yang
digunakan oleh manusia tidak akan pernah mampu untuk mengungkapkan
esensi dan kesejatian dari Tuhan itu sendiri. Menurut Nasr (dalam Hunafa,
2006:43-64).
Tuhan adalah Dzat yang Maha Suci, sehingga untuk mendekati Nya seseorang
harus dalam keadaan suci. Oleh karena itu, orang-orang sufi berusaha untuk
mensucikan dirinya demi perjumpaannya dengan Dzat yang Maha Suci
tersebut. Sementara itu, menurut Al-Suhrawadi ( dalam Hunafa, 2006:4)
Tuhan adalah “Nur al-Anwar” atau cahaya dari segala cahaya dan
merupakan wujud realitas yang bersifat absolute dan tidak terbatas, karena tidak
terbatas sehingga atas kehendak Nya, maka segala sesuatu yang ada di dunia ini
beserta isinya tercipta. Nur al-Anwar adalah Dzat Tuhan, yaitu Allah swt yang
memancarkan cahaya-cahaya terus menerus secara berkesinambungan dan
melalui sinar-sinar itu, maka terciptalah segala wujud dari segala kehidupan.
Menurut Ibnu Thufail (dalam Hamdan, 1994:34) Tuhan adalah Dzat yang
sempurna yang memberi eksistensi kepada segala sesuatu.Thufail mengatakan
bahwa Tuhan merupakan Wajibul Wujud, maksudnya yang memberikan bentuk
kepada segala yang ada dan Dia adalahsebab effesien yang menciptakannya.
Dia mendengarsebagaimana manusia mendengar dan melihat sebagaimana
manusia melihat.Dia mengetahui setiap saat partikel kecil sekalipun baik di
bumi maupun di surga.
Menurut al Kindi (dalam Sharifah, 1994:35) Tuhan adalah Dzat tunggal yang
tak terlihat karena ia tidak tersusun dan tak ada susunan baginya, tetapi
sesungguhnya Ia terpisah dari segala apa yang dilihat. Ia bukan materi, tak
berbentuk, tak berjumlah dan tak berkualitas. Al-Kindi menganggap Tuhan
sebagai “Al-Wahidul haq” yakni Tuhan yang satu dalam hakikatnya.
Menurut al Farabi (dalam Sharifah, 1994:42) Tuhan sebagai “Al-Maujud Al-
Awwal” yakni wujud yang pertama yang harus dimengerti sebagai zat yang
qadim. Keqadimannya itu bukan karena sesuatu yang lain, melainkan karena
dirinya sendiri. Oleh karena Dirinya merupakan Dzat yang qadim, mau tidak
mau mestilah hubungannya dengan alam atau sesuatu diluar diri Nya tidak
menyentuh secara langsung. Menurut Ibnu Rush(dalam Sharifah, 1994:32)
Tuhan adalah pencipta sesungguhnya, artinya Ia mencipta dengan tujuan
tertentu, manfaat tertentu, serta nilai-nilai tertentu. Yang sangat jelas dalam Al-
quran adalah diciptakannya alam semesta.
Berdasarkan uraian di atas mengenai konsep persepsi dan konsep Tuhan
(sebagai objek yang dipersepsi dalam kajian ini), maka dapat disimpulkan
bahwa persepsi tentang Tuhan merupakan suatu proses mengiterpretasikan,
memahami, dan memaknai Tuhan sebagai Dzat yang Maha suci dan sempurna
yang memberi eksistensi kepada segala sesuatu, yang diterima oleh alat indera.
Stimulus tentang Tuhan tidak dapat diinterpretasikan melalui mata, dan tidak
dapat pula diinterpretasikan lewat hidung, akan tetapi stimulus tentang Tuhan
dapat diinterpretasikan melalui telinga, yaitu dari kata-kata yang
terdengar dari lingkungan.

Tuhan Menurut Etimologi


Kata Tuhan dalam bahasa Melayu berasal dari kata tuan. Buku pertama yang
memberi keterangan tentang hubungan kata tuan dan Tuhan adalah Ensiklopedi
Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ (1976). Menurut buku tersebut, arti
kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu tuan yang berarti
atasan/penguasa/pemilik. Kata "tuan" ditujukan kepada manusia, atau hal-hal
lain yang memiliki sifat menguasai, memiliki, atau memelihara. Digunakan pula
untuk menyebut seseorang yang memiliki derajat yang lebih tinggi, atau
seseorang yang dihormati. Penggunaannya lumrah digunakan bersama-sama
dengan disertakan dengan kata lain mengikuti kata "tuan" itu sendiri, dimisalkan
pada kata "tuan rumah" atau "tuan tanah" dan lain sebagainya (dalam bahasa
Inggris: Lord). Kata ini biasanya digunakan dalam konteks selain keagamaan
yang bersifat ketuhanan.
Ahli bahasa Remy Sylado menemukan bahwa perubahan kata "tuan" yang
bersifat insani, menjadi "Tuhan" yang bersifat ilahi, bermula dari terjemahan
Alkitab ke dalam bahasa Melayu karya Melchior Leijdecker yang terbit pada
tahun 1733. Dalam terjemahan sebelumnya, yaitu kitab suci Nasrani bahasa
Melayu beraksara Latin terjemahan Brouwerius yang muncul pada tahun 1668,
kata yang dalam bahasa Yunaninya, Kyrios, dan sebutan yang diperuntukkan
bagi Isa Almasih ini diterjemahkannya menjadi "tuan".
Kata yang diterjemahkan oleh Brouwerius sebagai "Tuan" sama dengan bahasa
Portugis Senhor, Prancis Seigneur, Inggris Lord, Belanda Heere melalui
Leijdecker berubah menjadi "Tuhan" dan kemudian, penerjemah Alkitab bahasa
Melayu melanjutkan penemuan Leijdecker tersebut. Kini kata Tuhan yang
awalnya ditemukan oleh Leijdecker untuk mewakili dua pengertian pelik insani
dan ilahi dalam teologi Kristen atas sosok Isa Almasih akhirnya menjadi lema
khas dalam bahasa Indonesia. 
Di dalam Alkitab Terjemahan Baru (1974), kata Tuhan (dan keluarga katanya,
mis. Tuhanku) disebutkan sebanyak 7677 kali dalam 6510 ayat di seluruh
protokanonika Perjanjian Lama (Ibrani) dan Perjanjian Baru (Yunani). Kata ini
paling sering digunakan untuk menerjemahkan kata Kurios (Yunani) dan
Adonai (Ibrani).
Selain itu, khusus untuk menerjemahkan Tetragrammaton YHWH, penerjemah
TB dalam edisi cetak menggunakan huruf kapital (smallcaps) TUHAN,
mengikuti tradisi terjemahan yang sudah ada, misalnya dalam Kejadian 2:4,
"Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan.
Ketika TUHAN Allah (YHWH Elohim) menjadikan bumi dan langit, ". (Namun
untuk menulis "Adonai YHWH" digunakan "Tuhan ALLAH", misalnya dalam
Yesaya 61:1, "Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah
mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada
orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk
memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-
orang yang terkurung kelepasan dari penjara,")
Dalam bahasa Indonesia modern, kata "Tuhan" pada umumnya dipakai untuk
merujuk kepada suatu Dzat abadi dan supernatural. Dalam konteks rumpun
agama samawi, kata Tuhan (dengan huruf T besar) hampir selalu mengacu
pada Allah, yang diyakini sebagai Dzat yang Maha sempurna, pemilik langit dan
bumi yang disembah manusia. Dalam bahasa Arab kata ini sepadan dengan
kata rabb. Menurut Ibnu Atsir, Tuhan dan tuan secara bahasa diartikan pemilik,
penguasa, pengatur, pembina, pengurus dan pemberi nikmat. 
Kata Tuhan disebutkan lebih dari 1.000 kali dalam Al-Qur'an. Dalam
monoteisme, biasanya dikatakan bahwa Tuhan mengawasi dan memerintah
manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk
merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini, misalnya
sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, yang
keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan
yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apa pun yang tak
bisa dimengerti atau dijelaskan.
Di dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, dua konsep atau nama yang
berhubungan dengan ketuhanan, yaitu: Tuhan sendiri, dan dewa. Penganut
monoteisme biasanya menolak menggunakan kata dewa, karena merujuk kepada
entitas-entitas dalam agama politeistis. Meskipun demikian, penggunaan kata
dewa pernah digunakan sebelum penggunaan kata Tuhan. Dalam Prasasti
Trengganu, prasasti tertua di dalam bahasa Melayu yang ditulis menggunakan
huruf Arab (huruf Jawi) menyebut Sang Dewata Mulia Raya.
Dewata yang dikenal orang Melayu berasal dari kata devata, sebagai
hasil penyebaran agama Hindu-Buddha di Nusantara. Bagaimanapun, pada masa
kini, pengertian istilah Tuhan digunakan untuk merujuk Tuhan yang tunggal,
sementara dewa dianggap mengandung arti salah satu dari banyak Tuhan
sehingga cenderung mengacu kepada politeisme. Selain itu dalam teks terkadang
juga digunakan kata "tuhan" dengan huruf kecil (mirip dengan kata "allah"
dengan huruf kecil), terutama ketika memperbandingkan antara Tuhan Allah
yang esa dengan tuhan (tuan) yang lain, misalnya dalam Ulangan 10:17: "Sebab
TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang
besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap;
" 1 Korintus 8:5, dan Mazmur 136:3
Tuhan Allah SWT.
Yang dimaksud “Allah is a God” dalam tulisan ini ialah personifikasi Tuhan
(Personal God), yaitu Allah SWT yang telah memperkenalkan dirinya sebagai
pribadi (as a person) yang tak bisa dibandingkan dengan apapun dan siapapun,
sebagaimana ditegaskan dalam ayat: “Tidak sesuatupun yang serupa dengan
Dia,” (QS al-Syura: 11). Dalam ayat lain dipertegas lagi: “Sesungguhnya Allah
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali Imran: 97).
Sedangkan, “Allah is the God” ialah Tuhan Maha Meliputi (al-Muhith) segala
sesuatu (Impersonal God), sebagaimana Ia memperkenalkan diri-Nya di dalam
beberapa ayat, antara lain: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.
Dan Allah Maha melihat dengan apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hadid:
4), “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” QS Qaf: 16),
dan “Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap disitulah wajah Allah.” (QS al-Baqarah: 115).
Allah SWT sebagai personal God dan impersonal God dapat dihubungkan
dengan konsep al-tanzih dan al-tasybih, sebagaimana pernah dibahas tersendiri
di dalam harian Republika beberapa waktu lalu. Kedua terminologi ini menjadi
sangat mendasar karena memengaruhi suasana batin dan etos kerja seorang
Muslim. Konsep ini juga menjadi salah satu pangkal perbedaan mendasar
antara mutakallimin/teolog dan para sufi. Secara kebahasaan tanzih berarti jauh
dan tasbih berarti menyerupai.
Wacana Tuhan sebagai A God dan The God sebetulnya muncul juga sebagai
perdebatan suatu perdebatan konseptual di dalam agama-agama lain. Dalam
agama Hindu, sebuah agama yang jauh lebih tua dari pada agama Islam, juga
dikenal aliran Adwita Wedanta (non-duality) yang menganggap Tuhan memiliki
privasi dan distingtifnya sendiri, dan aliran Dwita Wedanta yang
mengakomodasi paham dualitas, yakni adanya Brahma Saguna yang memiliki
entitas sendiri sesuai kapasitasnya sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa, dan
Brahma Nirguna yang tidak memiliki entitas dan privasi sendiri, melainkan
menyebar kemana-mana.
Konsep ini mengingatkan kita kepada konsep jauhar dan ‘aradl di dalam teologi
Islam. Dalam Taoisme juga muncul wacana serupa, yang sering disimbolkan
dengan Yan dan Yin. Demikian pula dalam tradisi Zohar dalam agama Yahudi,
yang lebih dikenal dengan Ein Sof dan Sefirot. Hanya keberadaan Brahma yang
Mutlak, dalam agama Hindu umumya, konsep yang dipakai adalah monoteisme.
Konsep disebut dikenal sebagai filsafat Adwita Wedanta yang berarti “tak ada
duanya”. Selayaknya konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya.
Dalam konsep Adwita Wedanta menganggap Tuhan merupakan pusat segala
kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan
sebutan Brahma. Hanya Brahma yang dapat disebut Sat (exsistence or truth),
artinya hanya Brahma yang demikian keberadaan dan Ananda (Bliss). Di luar
Brahma keberadaanya adalah a-sat (conciousness), artinya bukan keberadaan
yang ada secara kekal. Namun, di dalam pengalaman hidup sehari-hari dunia
kelihatannya benar-benar nyata, yang dapat dilihat dan diamati. Ajaran Advaita
dari Sankara menegaskan sifat Transenden dari Brahma yang tiada dua-Nya dan
juga dualisme daripada alam semesta termasuk Isvara yang memerintahnya.
Yang nyata adalah Brahma atau Atma.
Wacana dalam agama Hindu di atas mengingatkan kita kepada
konsep Tanzih (dari kata Nazzaha berarti menjauh, berjarak, dan
membersihkan), sebuah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan
bahwa Tuhan dan Makhluk-Nya amat jauh dan tak berbandingkan
(uncomparable). Tuhan tak dapat digambarkan dan dibandingkan dengan
Makhluk-Nya. Ia berbeda secara Mutlak dengan makhluk-Nya dan tidak ada
kata sifat yang mampu melukiskan-Nya. Sedangkan tasybih (dari
kata syabbaha berarti menyerupakan), yakni menyerupakan sesuatu dengan
sesuatu yang lain. Tasybih adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
bahwa Tuhan mempunyai kemiripan dengan alam sebagai makhluk-Nya karena
alam adalah lokus penampakkan (madhhar) diri-Nya. Dengan kata lain, alam
(secara harfiah berarti tanda) adalah ayat untuk mengungkap identitas Tuhan.
Para teolog atau mutakallimin lebih sering menekankan Tuhan sebagai A God,
sebagai konsekuensi dari pemahaman ontologisnya yang menekankan aspek
ketakterbandingan (tanzih/incomparable) Tuhan dengan makhluk-Nya. Bahkan,
di antara mereka ada yang mengatakan siapa yang mengimajinasikan
keserupaan Tuhan dengan Makhluknya maka ia musyrik. Bagi para tolog, Tuhan
harus beda dengan Makhluk karena Ia mau disebut Tuhan. Sebaliknya, makhluk
tidak boleh dan memang tidak akan pernah mungkin menyerupai Tuhannya.
Tuhan harus A God, sosok sang Maha Pencipta yang tidak memiliki keserupaan
atau dihubungkan secara substansial dengan makhluk-Nya. Mengasumsikan
Tuhan sebagai The God, dalam arti Ia bermanifestasi pada setiap makhluk,
dengan kata lain alam adalah locus manifestation of the God, sebagaimana
dipersepsikan kalangan teosofi, tiak bisa dibenarkan.
Jika diasumsikan Tuhan bermanifestasi (tajassud) terhadap alam, sementara
alam ini baharu, maka sendirinya Tuhan pun akan terpengaruh atau tereduksi
dengan kebaharuan alam semesta. Lagi pula, jika diasumsikan alam semesta ber-
tajassud pada alam semesta, maka sudah barang tentu terjadi keabadian ganda
(al-a’taddud al-qudama’/double eternity), dan ini tidak mungkin terjadi. Para
teolog mendasarkan pandangan mereka pada sejumlah ayat dan hadis di
samping logika. Mereka sering mengutip ayat antara lain: ”Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS al-Syura [42]: 11). Demikian pula
Tuhan menjadi tumpuan kosmos dan seluruh makhluk, ”Sesungguhnya Allah
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali-Imran [3]:
97).
Para teolog sejak semula tidak pernah membayangkan Tuhan serupa dengan
Makhluk-Nya. Bagaimana Tuhan bisa disebut Tuhan kalau tidak lebih Maha
Istimewa dibanding Makhluk-Nya? Pokoknya Tuhan harus berbeda dengan
makhluk-Nya yang bersifat baharu. Seandainya manusia kufur atau semuanya
berperilaku kufur atau semuanya berperilaku iblis, maka tidak akan menurunkan
kewibawaan dan Maha Kesempurnaan Tuhan. Sebaliknya seandainya manusia
semuanya berperilaku ideal seperti malaikat, maka tidak juga akan menambah
kewibawaan dan kesempurnaan Tuhan. Tuhan adalah Maha Sempurna tanpa
ketergantungan sedikitpun dengan makhluknya.
Para teolog lebih menekankan aspek transedensi Tuhan. Ia seolah-olah jauh dari
keterjangkauan manusia dan seluruh makhluk-Nya. Ia tak pernah terbayangkan
zat dan substansi dirinya. Pikiran dan memori manusia sama sekali tidak
menampung Tuhan dalam diri manusia. Bukan Tuhan kikir tidak mau
memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, tetapi seperti kata penyair Jalaludin
Rumi dalam Matsnawi-nya: ”Apa arti sebuah cangkir untuk menampung air
samudra.”
Dalam menafsirkan Alquran, para teolog menyapu bersih adanya pemahaman
keserupan (tajassudiyah) Allah dengan Makhluk. Kata “tangan Tuhan”(Qs al-
Fath [48]: 10) dipahami sebagai “kekuasaan Tuhan”, “mata Tuhan” (QS al-Thur
[52]: 48) dipahami sebagai “pengawasan Tuhan”, dan “wajah Tuhan” (QS al-
Baqarah [2]: 272) dipahami sebagai “ridha Allah”. Bahkan, hal-hal tertentu yang
bisa menjurus kepada pemahaman tasybih diarahkan pengertiannya ke arah
pengertian yang lebih aman, meskipun kadang mengganggu kelurusan makna
logika kalimat, misalnya kata: Wa nafakhtu fihi min ruhi fa qa’u lahu
sajidin (Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniupkan kedalam ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya
dengan bersujud) (QS al-Hijr [15]: 29). Kata min ruhi diselipkan penafsiran
dalam kurung “ciptaan”. Ini dilakukan demi mencegah pemahaman bahwa
Tuhan meniupakn ruh-Nya ke dalam diri manusia.
Logika pendekatan para teolog sebagaimana diuraikan di atas tidak bebas dari
kerawanan logika. Jika ditelusuri melalui pendekatan Ilmu Mantik (Ilmu
Logika), pendapat para teolog diatas bisa menimbulkan kerancuan. Bukankah
dengan menekankan aspek distinctvinees/atau keterbandingan Tuhan dan
Makhluk-Nya justru akan melahirkan dualitas, yaitu adanya Sang Pencipta (al-
Khaliq) dan ciptaan (al-makhluq)? Bukankah Tauhid Sejati justru yang
menghilangkan kesan dualitas (the duality of God)?
Para teolog lebih menekankan aspek transedensi dan ketakterbandingan
(incomparability) antara Tuhan dan Makhluk. Logika seperti ini mirip dengan
paham Dvita Vedanta dalam agama Hindu, yang membayangkan Tuhan sebagai
yang Maha Pencipta yang berada di dalam segala kekhususan dan
keistimewaan-Nya.
Dalam pandangan teolog, Allah SWT digambarkan lebih menonjol sebagai
Tuhan Maskulin, yang lebih menekankan aspek kebesaran, kekuasaan, dan
keagungan, dan ketakterbandingan-Nya. Pemahaman para teolog terhadap ayat-
ayat Alquran lebih terasa exoteric oriented dan formal logic, yang terkesan kaku
dan kering. Siapapun yang ingin selamat harus melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan-Nya. Jika tidak, maka yang bersangkutan harus bersedia
untuk mendapatkan balasan Tuhan.
Dalam lintasan sejarah Pemikiran Dunia Islam di Indonesia, pandangan para
teolog lebih terlihat dominan ketimbang pandangan para teosofi (akan dibahas
dalam artikel mendatang). Kita bisa merasakan ketika membaca terjemahan dan
tafsir Alquran yang dikeluarkan Kementerian Agama. Kesan ini juga sesuai
dengan sejumlah penelitian mahasiswa yang pernah mengkaji kitab terjemahan
tersebut. Meskipun demikian, secara umum menurut penulis, terjemahan
Alquran berbahasa Indonesia masih tetap yang diterbitkan Kementerian Agama.
Sudah waktunya kita membaca ulang Alquran dalam perspektif lain, agar
nuansa pemahaman kita terhadap Kitab Suci Alquran lebih komperhensif.

BAB II
Kajian Tioritis Konsep Tentang Tuahan
Konsep tentang Tuhan berbagai rupa antara lain seperti orang yang percaya
pada TEISME, tetapi tidak pada DEISME atau PANTEISME tetapi tidak
pada PENENTEISME. Persepsi tentang Tuhan, antara satu kelompok agama
atau kepercayaan dengan kelompok lainnya pasti berbeda. persepsi dalam arti
sempit adalah penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan
dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang
memandang atau mengartikan sesuatu.
Konsep ketuhanan telah dikenal sejak manusia ada di dunia. Dasar dari konsep
ketuhanan ini ialah adanya sesuatu yang maha gaib. Konsep ketuhanan yang
paling awal ialah animisme dan dinamisme. Kedua konsep ini mulai ada sejak
zaman manusia purba dan sifatnya sangat sederhana. Segala sesuatu yang
sifatnya gaib dikatikan dengan keberadaan Tuhan. Kemudian, konsep ketuhanan
berkembang seiring terbentuknya struktur masyarakat pada manusia. Konsep
Tuhan ikut berkembang dengan terbentuknya hierarki ketuhanan.
Pada masa ini, terbenuklah politeisme yang meyakini bahwa Tuhan tidak
tunggal. Dalam konsep ini, Tuhan memiliki keluarga atau masyarakat seperti
pada masyarakat manusia. Dari politeisme berkembang konsep ketuhanan lain,
yaitu henoteisme. Dalam henotesime, Tuhan diyakini memiliki struktur
pemerintahan dengan pemerintah tertinggi oleh Dewa. Perkembangan
selanjutnya dari henoteisme memunculkan monoteisme dengan konsep bahwa
Tuhan adalah sesuatu yang esa.
Tidak ada kesepahaman mengenai konsep ketuhanan. Konsep ketuhanan
dalam agama samawi meliputi definisi monoteistis tentang Tuhan dalam agama
Yahudi, pandangan Kristen tentang Tritunggal, dan konsep Tuhan dalam Islam.
Agama-agama dharma juga memiliki pandangan berbeda-beda mengenai
Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Hindu tergantung pada wilayah, sekte,
kasta, dan beragam, mulai dari panenteistis, monoteistis, politeistis, bahkan
ateistis. Keberadaan sosok ilahi juga diakui oleh Gautama Buddha,
terutama Śakra dan Brahma.
Konsep Tuhan dalam Islam
Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi
yang nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi,
Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.
Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah (bahasa Arab: ‫ )هللا‬dan diyakini
sebagai Dzat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan
Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.
Islam menitikberatkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha
Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha
Kuasa. Menurut Al-Quran terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya:
"nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan
yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha
Tinggi dan Maha Luas. Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal
dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha
Penyayang" (ar-rahim).
Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan
kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji
keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut
ajaran Islam, Tuhan muncul di mana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk
apa pun. Al-Quran menjelaskan, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,
sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus
lagi Maha Mengetahui." (Al-'An'am 6:103).
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga
Tuhan yang personal: Menurut Al-Quran, Dia lebih dekat pada manusia
daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan
memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia
memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”
Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama
yang disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya
seperti Kristen dan Yahudi. Namun, hal ini tidak diterima secara universal oleh
kalangan kedua agama tersebut.

Konsep Tuhan Menurut Agama Kristen


Agama Kristen mengenal konsep Tritunggal, yang
maksudnya Tuhan memiliki tiga pribadi: Bapa, Putra,
dan Roh Kudus. Konsep ini terutama dipakai dalam
Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Konsep ini
merupakan paham monoteistis yang dipakai sejak
Konsili Nicea I pada tahun 325 M.
Ajaran Kristen mainstream meyakini Tritunggal secara
dogmatis. Dogma Tritunggal mengimani ketuhanan Allah, Yesus Kristus, dan
Roh Kudus sekaligus sebagaimana tercantum dalam kredo iman rasuli. Ketiga
pribadi itu adalah pribadi Allah dan ketiga pribadi tersebut adalah Allah. Allah
adalah Tuhan, Yesus adalah Tuhan, dan Roh Kudus juga Tuhan. Terdapat aliran
Kristen yang bernama Saksi-Saksi Yehuwa yang menolak dogma Tritunggal ini.
Menurut Saksi-Saksi Yehuwa, Tuhan itu Satu bernama Yehuwa. Hanya Yehuwa
Yang Maha Kuasa dan Pencipta. Konsekwensinya, Yesus bukanlah Tuhan
karena ia diciptakan atau makhluk. Konsep ketuhanan Saksi-Saksi Yehuwa ini
bersifat monoteistik. Konsep ketuhanan yang monoteistik ini dijelaskan bahwa
Hanya ada Satu Tuhan, Tidak ada Tuhan selain Yehuwa dalam ajaran Kristen
Saksi Yehuwa (Kejadian 17:1); Tuhan memiliki sifat-sifat; dalam Alkitab
dijelaskan Allah Yehuwa itu Maha Tinggi (Mazmur 83:18), Maha Kuasa
(Penyingkapan 15:3), Raja kekekalan (Mazmur 90:2), Pencipta (Penyingkapan),
dan Kudus (Yesaya 6:3).
Dalam agama Kristen Katolik maupun Protestan sebagaimana diuraikan dalam
Kredo Iman Rosuli, ajaran Ketuhan Kristen, adalah Tritunggal, yakni terdiri dari
Allah (baca: Alah) Bapa, Allah Putera dan Roh Kudus. Ketiga-tiganya adalah
pribadi Allah. Allah Maha Kuasa, Maha Sempurna, Maha Tahu, Maha Kuasa
dan bersifat Kekal. Oleh karenanya maka ketiganya dihormati dan disembah
dengan cara yang sama. Namun, walaupun unsurnya tiga, ia hanya satu Allah,
karena tiga per satu; maka disebut dengan Tri Tunggal Yang Maha Kudus.
Untuk dapat mengetahui ajaran Ketuhan Kristen tersebut, manusia memerlukan
akal Illahi, yang justru tidak dimiliki oleh manusia. Manusia dapat mengetahui
bahwa Allah terdiri dari tiga pribadi, karena Yesus Kristus mewahyukan rahasia
tersebut kepada manusia.
Umat Kristiani pada umumnya bersyukur kepada Allah Tritunggal, karena Allah
Bapa adalah pencipta segala sesuatu, karena Allah Putera telah menebus dosa
manusia dan karena Roh Kudus mensucikan manusia. Secara ringkas,
kepercayaan umat Kristen mengenai Tritunggal tersebut akan diuraikan berikut
ini.
Allah Bapa
Allah Bapa adalah pencipta langit dan bumi serta segala yang terdapat di
dalamnya. Allah Bapa ada di dalam surga. Allah Maha Kasih terhadap segala
ciptaan-Nya, terutama kepada manusia. Oleh karena itu, Allah senantiasa
menampakkan diri-Nya kepada manusia, sebagaimana pernah dilakukannya
kepada Nabi Musa. Allah selalu bersabda kepada manusia sebagaimana
digambarkan dalam perjanjian lama, yaitu Allah bersabda melalui bangsa-
bangsa dan para Nabi. Tujuannya Allah menampakkan diri dan bersabda melalui
para nabi itu adalah untuk menunjukkan kepada manusia siapa Dia dan apa yang
dilakukannya. Namun, penampakan Allah dengan cara-cara seperti itu masih
memungkinkan manusia jatuh dalam kesalahan memandang diri-Nya. Puncak
penampakan Allah kepada manusia itu adalah kedatangannya ke dunia dalam
diri Yesus Kristus sebagai tanda kasihNya.
Allah Bapa kekal adanya. Tiada permulaan dan tidak ada berpenghabisan.
Senantiasa ada dan akan selalu ada. Allah tidak berubah seperti ciptaan-Nya.
Allah Bapa juga selalu memelihara umat manusia dan segala ciptaan lainnya.
Allah tidak menghendaki kesengsaraan bagi manusia dan tidak menginginkan
manusia terkena mati. Sengsara dan maut datang di dunia karena dosa. Dosa
manusia itulah yang mendatangkan sengsara bagi dirinya sendiri dan bagi
sesama manusia. Jika Tuhan mendatangkan kesengsaraan kepada manusia, maka
itu adalah tidak lain untuk keselamatannya sendiri. Sengsara dapat merupakan
hukuman yang bermanfaat, di samping juga dapat merupakan cara untuk
memelihara manusia.
Yesus Kristus
Yesus Kristus sebagai penebus dosa umat manusia tampak berbeda dengan para
nabi sebelumnya dan para ahli kitab. Doktrin umat Kristiani memang
mengajarkan kepercayaan bahwa Yesus lah yang menanggung sengsara di kayu
salib, bukan orang lain, bukan penjahat, tetapi Tuhan sendiri. Yesus Kristus rela
mati disalib karena dia memenuhi kehendak Allah Bapa untuk menebus dosa
manusia. Tanpa itu, dosa manusia tidak akan terampunkan.
Roh Kudus
Roh Kudus keluar dari Allah Bapa dan Allah Putera. Roh Kudus diutus oleh
Yesus Kristus dari Bapa kepada manusia, karena Yesus tidak menghendaki
manusia sendirian. Roh Kudus turun ke dunia, yaitu kepada para rasul dan
murid-murid Yesus dan selanjutnya kepada gereja pada hari Pantekosta, hari ke-
50 sesudah Paskah atau hari ke- 10 setelah kenaikan Yesus ke surga. Dapat
dikatakan bahwa yang bekerja di dunia sekarang ini adalah Roh Kudus.
Apabila seorang karena imannya, karena selalu berdoa, mengikuti segala
kemauan dan ketentuan aturan Tuhan, maka ia akan dipenuhi Roh Kudus,
sehingga ia akan mendapatkan apa yang disebut dalam Gereja Katholik
“kehidupan berahmat”, yaitu orang-orang yang termasuk orang-orang yang suci
tanpa dosa.
Agama Nasrani memuja dan menyembah Tuhan yang Maha Esa dengan jejer
tiga, yaitu Tuhan Bapa, Tuhan Putera (Yesus Kristus) dan Roh Kudus
Konsep Ketuhanan Kejawen
Tuhan adalah Sangkan Paraning Dumadi. Ia adalah sang Sangkan sekaligus
sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. Ia hanya satu,
tanpa kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan Gusti Pangeran iku mung sajuga,
tan kinembari.
Sangkan Paraning Dumadi, merupakan filosofi atau ajaran dalam ilmu Kejawen
(kepercayaan tradisional Jawa) tentang bagaimana cara manusia menyikapi
kehidupan.
Dalam bahasa Jawa kuno, sangkan  berarti asal muasal, paran adalah tujuan, dan
dumadi artinya menjadi, yang menjadikan atau pencipta. Dengan begitu bahwa
yang dimaksud Sangkan Paraning Dumadi  adalah pengetahuan tentang "Dari
mana manusia berasal dan akan kemana ia akan kembali."
Orang Jawa biasa menyebut Gusti Pangeran artinya raja, sama dengan
pengertian “Ida Ratu” di Bali.
Katanya pangeran berasal dari kata pangengeran, yang artinya tempat bernaung
atau berlindung”. Sedang wujudnya tak tergambarkan, karena pikiran tak
mampu mencapainya dan kata kata tak dapat menerangkannya. Didefinisikan
pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat
digunakan untuk menggambarkan kebenarannya. Karena itu orang Jawa
menyebutnya tan kena kinaya ngapa (tak dapat disepertikan).
Artinya sama dengan sebutan Acintya dalam ajaran Hindu.
Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan
peranannya. Karena itu kepadanya diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti
Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang
Pembuat Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua
mahluk) , Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain.
Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai peranannya ini sama
seperti dalam ajaran Hindu: Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti Tuhan itu satu
tetapi para bijak menyebutnya dengan banyak nama.
Keberadaan manusia dan alam semesta merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi,
yaitu Dzat Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Esa.   Kelak pada
akhirnya seluruh alam semesta akan kembali kepada-Nya.
Sangkan Paraning Dumadi  dalam filosofi Kejawen mengajarkan bahwa tujuan
akhir dari kehidupan manusia adalah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam
menjalani kehidupan ini kita harus mendekati nilai-nilai luhur ketuhanan.  Nilai-
nilai luhur ketuhanan antara lain adalah jujur, adil, tanggung-jawab, peduli,
sederhana, ramah, disiplin dan komitmen.
Karena itu, ada sebagian orang yang mengidentikkan pengetahuan Sangkan
Paraning Dumadi dengan filosofi 'Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojii'un. Yang
artinya "Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami
kembali."   Bacaan tersebut biasa diucapka oleh umat Islam apabila mendengar
kabar duka cita kematian atau musibah. 
Dalam al-Quran kalimat tersebut terdapat pada surat Al-Baqarah: 155-157,
"Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-
orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillaahi wa
innaa ilaihi raaji'uun." Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna
dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk."
Filosofi Sangkan Paraning Dumadi
Tubuh manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmaniah berupa badan tubuh dan
ruhaniah sebagai isinya.
a. Jasmani sebagai materi benda diciptakan dari unsur alam, yaitu tanah, air,
udara dan api (panas). Karena asalnya dari bahan sari pati alam, maka kelak
jasmani akan kembali ke alam lagi. Yang tanah kembali kepada tanah, yang
udara kembali kepada udara, yang api kembali kepada api, dan yang air akan
menyatu kembali kepada air.
b. Ruh yang didalamnya terkandung Jiwa, merupakan sesuatu yang tidak
berwujud materi, terdiri dari tiga unsur ruhaniah yaitu akal, nafsu dan
hati/perasaan.  Dari unsur-unsur itulah diri manusia bisa melihat,
mendengar, sedih, gembira, marah, benci, cinta, iba, kasih sayang,  berfikir
dan sebagainya.
Dalam kitab suci Al-Qur'an, Allah berfirman: "Kemudian Dia menyempurnakan
dan meniupkan ruh (ciptaan) Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan
pendengaran, penglihatan dan hati bagi kamu".(Q.S. As-Sajdah, 32: 9).
Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui mistik yang
berkembang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada. Bahwa tujuan hakiki
dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup
sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara manusia dan Sang
Pencipta (jumbuhing kawula Gusti) /pendekatan kepada Yang Maha Kuasa
secara total.
Falsafah kejawen merupakan falsafah yang menjaga keseimbangan relasi
manusia, alam, dan Tuhan. Falsafah yang tidak terlepas dari ketuhanan, dengan
salah satu ajarannya yaitu mengenai sangkan paraning dumadi. Ajaran ini
bertujuan menuntun manusia untuk mengenal Tuhan dengan menelusuri alur
atau jalan kehidupannya, yaitu dengan mencari, mengenali, menghayati, dan
menyadari asal-usul kehidupan, perjalanan hidup, dan tujuan hidup manusia di
dunia sampai berjumpa dengan Tuhan. Sangkan paran secara literal bermakna
mana (sangkan) dan akan ke mana (paran) atau berarti sebuah konsep yang
menyoalkan muasal dan akhir seluruh alam raya. Konsep sangkan paran dalam
tradisi Jawa mempunyai tujuan untuk menyoalkan permulaan dan akhir dari
penciptaan (Firdausy & Syarifah, 2017). 
Sangkan paran dalam konsep ini disebut sebagai simbolitas dari Tuhan
(okultisme). Okultisme Jawa mampu menjangkau kebenaran dengan bercorak
etis-mistis. Dengan intuisi seseorang akan mampu menunaikan pendekatan diri
kepada Tuhan (Siti Nur Laili, 2020). Ada tiga hal substansial dari konsep
tersebut, yakni: Pertama, sangkan paraning dumadi yang berarti awal dan akhir
dari adanya penciptaan alam semesta. Kedua, sangkan paraning manungsa yang
berarti awal dan akhir dari adanya penciptaan manusia. Ketiga, sangkan
paraning dumadining manungsa yang berarti awal dan akhir dari adanya
penciptaan alam semesta maupun manusia (Firdausy & Syarifah, 2017).
Sangkan paran merupakan jawaban dari pertanyaan bagaimana manusia
memberi makna dalam realitas. Dengan hadirnya simbol “sangkan paran”,
manusia akan lebih memahami spiritualitasnya sendiri. Pengalaman spiritual itu
merupakan langkah untuk mendapatkan kesempurnaan hubungan manusia
dengan Penciptanya.
Tampak bahwa falsafah Jawa selalu memposisikan Tuhan sebagai pusat dari
segala penciptaan mutlak. Tuhan selalu dianggap ada dan “mengada”. Dari
hubungan mistik semacam inilah, kesempurnaan manusia akan terwujud dan
tidak terbelenggu pada dunia yang kasar (Harahap, 2017). Kehadiran
falsafah kejawen di era kontemporer ini diyakini mampu mengatasi krisis
spiritual, karena kejawen berperan penting mempertahankan keseimbangan
antara budaya dengan agama, menguasai perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, industrialisasi serta meningkatkan iman dan taqwa, mengisi
kegersangan rohani dan memberi makna spiritual bagi keberhasilan dunia.
Pentingnya mengetengahkan kembali prinsip sangkan paraning dumadi juga
didasari fakta bahwa materialisme dan pragmatisme menguasai sebagaian
dimensi hidup manusia modern. Selain itu, sangkan paraning dumadi sebagai
produk tasawuf juga bisa diposisikan sebagai jalan (thariq) dan wasilah
keselamatan hati manusia dari segala macam penyakit dan sikap destruktif.
Pandangan Kejawen tentang Tuhan mencakup konsep mengenai siapa yang
disembah (sesembahan) dan siapa yang menyembah serta bagaimana cara
menyembahnya (panembah). Kitab Tantu Penggelaran menuliskan, konsep awal
Tuhan Jawa adalah tunggal atau esa, yaitu Sang Hyang Tunggal atau Sang
Hyang Wenang yang merupakan konsep transenden (di luar kemampuan
manusia), imanen (berada dalam kesadaran atau akal budi), dan esa.
Ajaran Kejawen mengedepankan laku pribadi dan menolak adanya konsep
malaikat. Mereka memiliki kedekatan khusus secara spiritual saat menyebutkan
konsep Tuhan dengan sebutan “Pangeran” atau “Gusti”.
Hubungan Tuhan dengan Ciptaannya.
Dalam ajaran Kejawen dikatakan bahwa Tuhan itu menyatu dengan ciptaannya.
Persatuan antara Tuhan dan ciptaannya itu digambarkan sebagai curiga manjing
warangka, warangka manjing curiga, seperti keris masuk ke dalam sarungnya,
seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaannya selalu berubah atau
“menjadi” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada
ciptaannya.
Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan:
Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni,
nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu.
Artinya Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar,
mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah.
Hal tersebut memiliki persamaan persepsi dengan pengertian wyapi, wyapaka
dan nirwikaradalam agama Hindu. Oleh karena itu, visualisasi Tuhan sering
disimbolkan sebagai bunga “teratai” atau “sekar tunjung”, yang tidak pernah
basah dan kotor meski bertempat di air keruh. Ceritera tentang Bima bertemu
dengan “Hanoman”, kera putih lambang kesucian batin, dalam usahanya
mencari “tunjung biru” atau “teratai biru” adalah sehubungan dengan pencarian
Tuhan. Menyatunya Tuhan dengan ciptaan-NYA secara simbolis juga
dikatakan kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng (seperti
katak menyelimuti liangnya dan seperti katak terselimuti liangnya).
Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus transenden dalam filsafat
modern, yang dalam Bhagavad Gita dikatakan DIA ada pada-KU dan AKU ada
pada-NYA. Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan
ciptaannya pun menjadi tak terukur lagi.
Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa
senggolan, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya ajaran kejawaen
memiliki persamaan sudut pandang dengan ajaran Hindu, yang monotheisme
pantheistis.
Karena itu pengertian Brahman Atman Aikyam, atau Tuhan dan Atman
Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-kata Gusti lan kawula iku tunggal. Di sini
pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah
Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat Tat Twam Asi pun secara tepat
dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau Engkau adalah Aku, yang
artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”.
Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir,
karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari
pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata ya
ngono ning ora ngono, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”.
Mungkin sikap demikian inilah yang menyebabkan sesekali muncul anggapan
bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheistis, sebab
pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan
sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja
bisa diTuhankan.
Anggapan demikian tentulah salah, sebab Brahman bukan Atman dan Gusti
bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu. Brahman adalah
sumber energi, sedang Atman cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna
oleh para dalang wayang sering digambarkan seperti api dan cahayanya, yang
dalam bahasa Jawa kaya geni lan urube.
Upaya mencari Tuhan
Berdasar pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaan-NYA itu, maka orang
Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan keberadaan Tuhan. Mereka
menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan sistim simbol untuk
memudahkan pemahaman. Sebagai contoh pada sebuah kidung dhandhanggula,
digambarkan sebagai berikut:

Ana pandhita akarya wangsit,


kaya kombang anggayuh tawang,
susuh angin ngendi nggone,
lawan galihing kangkung,
watesane langit jaladri,
tapake kuntul nglayang lan gigiring panglu.

Di sini jelas bahwa sesuatu yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati
banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas
burung terbang), gigir panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas
cakrawala), yang merupakan sesuatu yang tidak tergambarkan atau tidak dapat
disepertikan.
Dengan pengertian sesuatu yang tak tergambarkan, itu mereka ingin menyatakan
bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah kekosongan, atau suwung, Kekosongan
adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam
kidung dhandhanggula di atas adalah kekosongan Susuh angin itu kosong, ati
banyu pun kosong, demikian pula tapak kuntul nglayang dan batas cakrawala.
Jadi hakekat Tuhan adalah kekosongan abadi yang padat energi, seperti areal
hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara
immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar
biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan
tidak saling bertabrakan. Sang kosong atau suwung itu meliputi
segalanya, suwung iku anglimputi sakalir kang ana. Ia seperti udara yang tanpa
batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di
dalamnya.
Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau pancaran
energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga kekosongan yang padat energi
itu. Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya ada Atman, tanpa ada
muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan, maka energi Atman itu akan
berhubungan atau menyatu dengan sang sumber energi. Untuk itu yang
diperlukan dalam usaha pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan”
antara Atman dengan Brahman itu.
Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah kekosongan maka untuk menyatukan
diri, maka diri kita pun harus kosong, sebab hanya yang kosonglah yang dapat
menyatu dengan sang maha kosong. Caranya dengan berusaha mengosongkan
diri atau membersihkan diri dengan menghilangan muatan-muatan yang
membebani Atman yang berupa berbagai nafsu dan keinginan.
Apabila kekosongan merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang di
bagian atasnya berbentuk kursi kosong, dan dianggap sebagai simbol singgasana
“Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang
dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya di Jawa tidak
ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di
Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena
masyarakat Jawa lebih mementingkan pemujaan leluhur, yang dianggap sebagai
pengejawantahan Tuhan. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran katon atau Orang
tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti adanya kepercayaan tersebut.
Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi lingga yoni. Baru
setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali. Konon
sementara sejarawan berpendapat bahwa Padmasana adalah karya
monumental Danghyang Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari
Jawa ke Bali, setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.
Menurut orang Jawa, apabila tujuan samadi itu berhasil, terdapat tanda-tanda
khusus. Konon, ketika puncak keheningan tercapai, orang serasa terjun ke
suasana heneng atau sunya, tenggelam dalam suasana kedamaian batin sejati,
rasa damai yang akut, yang dikatakan manjing jroning sepi, atau rasa damai
yang tak terkatakan.

Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa digambarkan
secara indah dengan kata-kata tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha
pesating supena sumusup ing rasa jati (ketika tiba di ambang batas kesadaran,
hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati).
Di sini makna kedamaian adalah kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari
beban apa pun, yang diistilahkan dengan suasana hening heneng atau kedamaian
sejati. Mungkin suasana demikian itulah yang dalam agama Hindu disebut sukha
tan pawali dukha. Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas
dari hukum rwa bhinneda.

Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses penyatuan
tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa Sang Atmanlah
diminta membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia Maha Energi yang
ada pada diri setiap manusia, karena itu oleh orang Jawa diberi
sebutan Pangeraningsun atau Tuhan yang ada dalam diriku.
Karena itulah ketika kita mengawali proses kramaning sembah dengan pertama-
tama menyebut OM Atma Tattvatma, orang Jawa menganggapnya sebagai ganti
dari kata-kata Duh Pangeraningsun, yang sebelumnya amat dikenal. Namun
sebelum Atman kita jadikan kawan utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih
dulu kita harus yakin bahwa ia adalah energi luar biasa. Kehebatan energi
Atman itu secara simbolis digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak
mrica binubut nanging lamun ginelar angebegi jagad. Artinya : Ia hanya sebesar
serbuk merica, namun bila dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya akan
tergenggam olehnya. Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”.
Namun untuk memanfaatkannya orang harus mengenalnya lebih jauh.
Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4
(empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat
suka maupun duka, hingga layak disebut “saudara”. Masing-masing ditandai
dengan simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (catur sanak). Posisi
mereka di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya
membentuk warna “pelangi”.
Gradasi warnanya menunjukkan kadar karma wasana seseorang. Konon peranan
mereka amat menentukan. Karena itu mereka harus selalu diperhatikan dan
dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak terurus, akan menjadi pengganggu
yang amat berbahaya.

Pada dasarnya proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai usaha


memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun,
atau antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah Jawa disebut ngudi
chineseet ing Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan (caket
= dekat).
Di sini jelas bahwa pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata
sebagian orang ada yang tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman,
Sang Maha Energi itu. Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda.
Kepada mereka, yang tidak mempercayai adanya Atman itu:
Apek banyu pikulane warih,
apek geni dedamaran,
kodhok ngemuli elenge,
tanpa suku lumaku,
tanpa una lan tanpa uni,

Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air sebagai
pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa lentera, katak
menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa dan tanpa suara.
Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak
menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski
dengan nama yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan
damar adalah api, sama halnya dengan Atman adalah Brahman. Ia immanen
sekaligus transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun rasa.
Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa ditunjukkan
dengan perkataan kana kene padha bae artinya sana dan sini sama saja.

Konsep Tuhan Menurut Agama Hindu


Dalam ajaran agama Hindu, tidak ada pandangan bahwa Tuhan itu berbeda,
antara yang dipuja umat agama yang satu dan lainnya. Konsep dasar memahami
Ketuhanan dalam agama Hindu adalah, bahwa Tuhan itu satu dan dipuja dengan
berbagai cara dan jalan berdasarkan etika. Sastra Veda dalam Upanisad IV.2.1.
menyebutkan: Ekam Ewa Adwityam Brahman (Tuhan itu hanya satu, tidak ada
duanya). Sementara dalam Narayana Upanisad ditegaskan: Eko Narayana
Nadwityo Astikacit (Hanya satu Tuhan, sama sekali tidak ada duanya). 
Dalam agama Hindu, kepercayaan adanya Tuhan adalah dasar-dasar keyakinan
umat beragama Hindu yang disebut sebagai Panca Sraddha. Dalam menuju
kejalan Tuhan, umat beragama Hindu perlu menghayati apa yang diajarkan
dalam Panca Sraddha kerna pada akhir keyakinan Panca Sraddha ini adalah
Moksa yaitu peringkat menuju Tuhan.
Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika bersembahyang di pura, adalah untuk
menjalani proses penyatuan diri dengan Tuhan dengan melaksanakan yoga
secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang tentu diawali
dengan pranayama yang merupakan salah satu cara untuk mengosongkan diri
dengan mengatur irama pernafasan. Hasil minimal yang dicapai adalah
mempertenang diri ketika memuja Tuhan dengan bersimpuh di hadapan
Padmasana, yang diyakini sebagai tahta Sang Hyang Widhi.

Ketika memuja itulah mereka berusaha mengosongkan diri dengan


berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan Sang Maha Kosong. Dengan
demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai
sebenarnya.
Wujud Tuhan
Pertanyaan awal yang menarik terkait dengan agama Hindu: Apakah Tuhan
Agama Hindu mempunyai wujud? Hal ini terkait dalam sistem pemujaan agama
Hindu para pemeluknya membuat bangunan suci, arca (patung-patung), pratima,
pralinga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain-lain. Hal ini
menimbulkan prasangka dan tuduhan yang bertubi-tubi dengan mengatakan
umat Hindu menyembah berhala.

Penjelasan lebih lanjut tentang pelukisan Tuhan dalam bentuk patung adalah
suatu cetusan rasa cinta (bhakti). Sebagaimana halnya jika seorang pemuda jatuh
cinta pada kekasihnya, sampai tingkat madness (tergila-gila) maka bantal
gulingpun dipeluknya erat-erat, diumpamakan kekasihnya., diapun ingin
mengambarkan kekasihnya itu dengan sajak-sajak yang penuh dengan
perumpamaan. Begitu pula dalam peribadatan membawa sajen (yang berisi
makanan yang lezat dan buah-buahan) ke Pura, apakah berarti Tuhan umat
Hindu seperti manusia, suka makan yang enak-enak? Pura dihias dan diukir
sedemikian indah, apakah Tuhan umat Hindu suka dengan seni? Tentu saja
tidak. Semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan
rasa bhakti kepada Tuhan.

Brahman/ Tuhan Yang Maha Esa


Tuhan dalam agama Hindu sebagaimana yang disebutkan dalam Weda adalah
Tuhan tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan, bahkan tidak bisa
dipikirkan. Dalam bahasa Sanskerta keberadaan ini disebut Acintyarupa yang
artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia.

Tuhan Yang Maha Esa ini disebut dalam beberapa nama, antara lain:
 Brahman: asal muasal dari alam semestea dan segala isinya
 Purushottama atau Maha Purusha
 swara (dalam Weda)
 Parama Ciwa (dalam Whraspati tatwa)
 Sanghyang Widi Wasa (dalam lontar Purwabhumi Kemulan)
 Dhata: yang memegang atau menampilkan segala sesuatu
 Abjayoni: yang lahir dari bunga teratai
 Druhina: yang membunuh raksasa
 Viranci: yang menciptakan
 Kamalasana: yang duduk di atas bunga teratai
 Srsta: yang menciptakan
 Prajapati: raja dari semua makhluk/masyarakat
 Vedha: ia yang menciptakan
 Vidhata: yang menjadikan segala sesuatu
 Visvasrt: ia yang menciptakan dunia
 Vidhi: yan menciptakan atau yang menentukan atau yang mengadili.

Tuhan Yang Maha Esa ini apapun nama-Nya digambarkan sebagai:


 Beliau yang merupakan asal mula. Pencipta dan tujuan akhir dari seluruh
alam semesta
 Wujud kesadaran agung yang merupakan asal dari segala yang telah dan
yang akan ada
 Raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang
dengan makanan
 Sumber segalanya dan sumber kebahagiaan hiudp
 Maha suci tidak ternoda
 Mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, tiada
terucapkan, tiada duanya.
 Absolut dalam segala-galanya, tidak dilahirkan karena Beliau ada dengan
sendirinya (swayambhu)

Penggambaran tentang Tuhan Yang Maha Esa ini, meskipun telah berusaha
menggambarkan Tuhan semaksimal mungkin, tetap saja sangat terbatas. Oleh
karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan definisi atau pengertian apapun
yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas
itu tidaklah menjangkau kebesaranNya. Sehingga kitab-kitab Upanisad
menyatakan tidak ada definsi yang tepat untukNya, Neti-Neti (Na + iti, na + iti),
bukan ini, bukan ini.

Untuk memahami Tuhan, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran
agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu
merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Sedangkan kitab
suci Veda dan temasuk kitab-kitab Vedanta (Upanisad) adalah sumber yang
paling diakui otoritasnya dalam menjelaskan tentang Brahman (Tuhan Yang
Maha Esa).

Brahman memiliki 3 aspek:


1. Sat: sebagai Maha Ada satu-satunya, tidak ada keberadaan yang lain di
luar beliau
Dengan kekuatan-Nya Brahman telah menciptakan bermacam-macam bentuk,
warna, serta sifat banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan
kembali pada Tuhan bila saatnya pralaya tiba. Tidak ada satupun benda-benda
alam semesta ini yang tidak bisa bersatu kembali dengan Tuhan, karena tidak
ada barang atau zat lain di alam semesta ini selain Tuhan.
2. Cit: sebagai Maha Tahu
Beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan pengetahuan agama, tetapi sumber
segala pengetahuan. Dengan pengetahuan maka dunia ini menjadi berkembang
dan berevolusi, dari bentuk yang sederhana bergerak menuju bentuk yang
sempurna. Dari avidya (absence of knowledge- kekurangtahuan) menuju vidya
atau maha tahu.

3. Ananda
Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka duka.
Maya yang diciptakan Brahman menimbulkan illusi, namun tidak berpengaruh
sedikitpun terhadap kebahagiaan Brahman. Pada hakikatnya semua
kegembiraan, kesukaran, dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan oleh
materi bersumber pula pada Ananda ini bersumber pula pada Ananda ini,
bedanya hanya dalam tingkatan. Kebahagiaan yang paling rendah ialah
berwujud kenikmatan instingtif yang dimiliki oleh binatang pada waktu
menyantap makanan dan kegiatan sex. Tingkatan yang lebih tinggi ialah
kesenangan yang bersifat sementara yang kemudian disusul duka. Tingkatan
yang tertinggi adalah suka tan pawali duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya
tarik atau kemelekatan terhadap benda-benda duniawi.

Alam semesta ini adalah fragmenNya Tuhan. Brahman memiliki prabawa


sebagai asal mula dari segala yang ada. Brahman tidak terbatas oleh waktu
tempat dan keadaan. Waktu dan tempat adalah kekuatan Maya (istilah
sansekerta untuk menamakan sesuatu yang bersifat illusi, yakni keadaan yang
selalu berubah baik nama maupun bentuk bergantung dari waktu, tempat dan
keadaan) Brahman.

Jiwa atau atma yang menghidupi alam ini dari makhluk yang terendah sampai
manusia yang tersuci adalah unsur Brahman yang lebih tinggi. Adapun bnda-
benda (materi) di alam semesta ini adalah unsur Brahman yang lebih rendah.
Walaupun alam semesta merupakan ciptaan namun letaknya bukan di luar
Brahman melainkan di dalam tubuh Brahman.

Devata atau Deva


Prasangka banyak orang yang menganggap konsep teologis Hindu adalah
politeistik berangkat dari pemahaman yang salah tentang Deva. Deva adalah
sesuatu yang memancar dari Tuhan Yang Maha Esa. Beraneka Deva itu adalah
untuk memudahkan membayangkanNya.

Dewa-dewa atau devata digambarkan dalam berbagai wujud, yang


menampakkan diri sebagai yang personal, yang berpribadi dan juga yang tidak
berpribadi. Yang Berpribadi dapat kita amati keterangan tentang dewa Indra,
Vayu, Surya, Garutman, Ansa yang terbang beas di angkasa, dan sebagainya.
Sedang Yang Tidak Berpribadi, antara lain sebagai Om (Omkara/Pranava), Sat,
Tat, dan lain-lain.

Dalam kitab suci Rgveda seperti halnya Atharvaveda disebutkan jumlah dewa-
dewa itu sebanyak 33 dewa. Bila kita membaca mantram-mantram lainnya dari
kitab suci Rgveda ternyata jumlah Dewa-dewa sebanyak 3339
Personal God dan Impersonal God

Tuhan menurut monotheisme Trancendent digambarkan dalam wujud Personal


God (Tuhan Yang Maha Esa Berpribadi). Sedangkan menurut monotheisme
Immanent, Tuhan Yang Maha Esa selalu digambarkan Impersonal God.
Memang menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang abstrak (Impersonal God)
tanpa mempergunakan sarana jauh lebih sulit dibandingkan dengan menyembah
Tuhan Yang Personal God melalui Bhakti dan Karma Marga.

Tuhan Yang Maha Esa di dalam Veda digambarkan sebagai Personal God, dapat
dibagi menjadi tga kategori:
1. Penggambaran Antrophomorphic: sebagai manusia dengan berbagai
kelebihan seperti bermata seribu, berkaki tiga, bertangan empat dan
sebagainya.
2. Penggambaran Semianthrophomorphic: sebagai setengah manusia atau
setengah binatang. Hal ini lebih menonjol dalam kitab-kitab Purana seperti
dewa Ganesha (manusia berkepala gajah), Hayagriwa (manusia berkepala
kuda, dan sebagainya.
3. Penggambaran Unantrophomorphic: tidak sebagai manusia melainkan
sebagai binatang saja, misalnya Garutman (Garuda), sebagai tumbuh-
tumbuhan, misalnya Soma dan lain-lain.

Dalam mewujudkan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan sifat-Nya
yang Acintya (tidak dapat terfikirkan), manusia dengan sifatnya
yang Awidya (tidaksempurna) memuja Tuhan dengan berbagai rupa, nama dan
sebutan, serta berbagai interprestasi. Ini  seperti tertuang dalam kitab suci
Weda: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti (Hanya satu Tuhan, namun orang
bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama). 
Ketika ada orang yang mengatakan bahwa kamu memiliki Tuhan yang berbeda
dengan saya; atau mengatakan Tuhan yang saya sembah lebih bagus dari
Tuhanmu dan kamu harus menyembah Tuhan yang saya sembah, jika tidak
kamu adalah manusia yang tidak ber-Tuhan; sesungguhnya itu adalah
pernyataan keliru. Kita memuja Tuhan dengan berbagai manifestasi-Nya, karena
sesungguhnya Tuhan meresapi seluruh yang telah ada, yang ada dan yang akan
ada. Tuhan berada di semua ciptaan-Nya dan secara bersamaan berada juga di
luar ciptaa-Nya, tidak terbatas oleh ruang dan waku dan ada di mana-mana,
bahkan di dalam diri kita. 
Tuhan bersifat Acintya atau tidak terfikirkan oleh manusia. Artinya, manusia
tidak dapat menggambarkan Tuhan dengan sempurna. Sebagai makhluk yang
dikarunia akal dan fikiran, manusia memiliki cara untuk mewujudkan bhaktinya
kepada Sang Penguasa Alam Semesta dengan berbagai cara berdasarkan nilai-
nilai dharma (kebenaran).
Kita sebagai manusia tidak dapat menggambarkan Tuhan secara utuh. Kita
hanya dapat menggambarkan Tuhan seperti apa yang kita pikirkan dan untuk
diri kita sendiri. Karena definisi Tuhan menurut saya akan berbeda dengan
definisi Tuhan menurut anda. Namun kebenaran yang mutlak itu adalah Tuhan
itu satu tunggal adanya.
Kita seperti orang buta yang meraba gajah dalam menggambarkan keagungan
Tuhan. Orang buta pertama, ketika diberi kesempatan meraba gajah dan yang
diraba adalah kaki gajah, maka dia akan memberikan definsi  berdasarkan
pengalaman indrawinya; bahwa gajah itu seperti tiang-tiang yang kokoh.
Selanjutnya, orang buta kedua yang meraba telinga, maka akan mendifinisikan
bahwa gajah seperti kipas yang besar. Demikian juga orang buta ketiga yang
meraba ekor gajah, maka dia akan memberikan kesimpulan bahwa gajah itu
seperti cambuk cemeti. 
Apakah orang buta tadi meraba objek yang sama? Tentu iya. Namun apakah
memiliki pandangan dan kesimpulan yang sama atas objek yang dirabanya,
tentu tidak. Kebenarannya adalah dia meraba gajah yang sama, tapi tidak bisa
menggambarkan gajah itu dengan utuh. Jika orang buta satu memaksakan
pandangannya untuk dapat diterima oleh orang buta lainnya, maka akan terjadi
konflik.
Demikian juga kita dalam memahami Tuhan. Tidak ada satu orangpun di dunia
ini yang dapat menggambarkan Tuhan dengan utuh. Mereka memuja Tuhan
dengan cara yang berbeda. Jadi Pujalah Tuhan itu berdasarkan keyakinan yang
mendalam yang tumbuh dari hati sanubarimu yang terdalam. Karena kebenaran
itu muncul dari hati sanubari kita yang terdalam. Maka tanamkan nilai-nilai
keTuhanan itu ke dalam diri kita masing-masing. Ketika nilai-nilai Ketuhanan
yang ada dalam diri kita tumbuh subur, maka tidak ada kesengsaraan, karena
yang ada hanya kedamaian. 
Konsep Ketuhanan Menurut Agama Budha
Konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha berbeda dengan
konsep ketuhanaan agama-agama lain, khususnya agama-agama samawi
(Abrahamic religions). Dalam kitab Sutta Pitaka, Udana VII, dijelaskan bahwa
Tuhan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam
Akatam Asamkhatam, subjek yang dipersepsikan sebagai Tuhan sesuatu yang
tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, tetapi keadaan-Nya
Mahamutlak. Kemahaesaannya tanpa “aku” (anatta), tidak dapat
dipersonifikasikan, dan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun.
Konsep Tuhan dalam agama Buddha berbeda dengan ajaran agama lainnya.
Dalam kepercayaan Buddha, tidak diakui konsep Tuhan yang personal seperti
keberadaan Tuhan dalam Islam, Kristen, maupun agama samawi yang lain.
Agama Buddha lebih menekankan pada ajaran kebaikan demi mencapai
kebahagiaan yang mutlak dan sempurna. Ajaran tersebut pertama kali
diperkenalkan dan disebarkan oleh Sidharta Gautama alias Sang Buddha, lebih
dari 2.500 tahun yang lalu di India.
Dijelaskan lebih lanjut dalam laman History, penganut Buddhisme tidak percaya
atas dewa tertentu. Bagi mereka, Sang Buddha bukanlah dewa, melainkan
makhluk luar biasa yang mengajarkan mereka untuk fokus pada pencapaian
pencerahan, yaitu kedamaian batin dan kebijaksanaan. Jalan menuju pencerahan
itu sering kali dicapai dengan meditasi. Itu sebabnya umat Buddha sering
melakukan meditasi sebagai pemusatan pikiran untuk memperoleh ketenangan
tingkat tertinggi (Nibbana).
Keberadaannya tidak berkondisi (asankhata). Berbeda dengan makhluk, seperti
manusia yang berkondisi (sankhata). Manusia yang berusaha untuk mencapai
puncak kebebasan dari lingkaran hidup yang penuh kesengsaraan (samsara),
harus aktif menjalankan meditasi, yaitu perenungan suci atau kontemplasi
terhadap hakikat alam semesta. Dalam kitab suci Tripitaka dijelaskan tidak
hanya konsep ketuhanannya yang berbeda, tetapi juga konsep asal-usul kejadian
alam semesta  manusia, kiamat, dan keselamatan atau pembebasan diri manusia.
Konsep ketuhanam dalam agama Buddha lebih bersifat nonteistik, yakni tidak
menekankan keberadaan Tuhan Sang Pencipta atau bergantung kepada-Nya,
tetapi bagaimana mengejawantakan sifat buddhisme. Buddha Gautama sendiri
juga tidak dilukiskan sebagai Tuhan, tetapi sebagai pembimbing atau guru yang
menunjukkan jalan menuju Nirwana. Buddha Gautama sendiri jarang menyebut
kata Tuhan, tetapi lebih menekankan pentingnya kesucian perilaku di dalam
menjalani kehidupan.
Mungkin dari segi ini, kalangan ahli perbandingan agama ada yang melihat
agama Buddha lebih menonjol sebagai ajaran moral belaka. Bahkan, sejumlah
khotbah Buddha Gautama cenderung penyembahahan kepada banyak Tuhan
atau Dewa Dewi membebani kebebasan manusia, meskipun pada sisi lain masih
memberikan pengakuan terhadap Brahma sebagai Tuhan. Buddha Gautama
pernah biarkan Tuhan menjadi pencipta segala sesuatu, tetapi manusia harus
memelihara kesucian ciptaan Tuhan. Kesempurnaan kesucian itulah inti
ketuhanan dan kesucian itu harus ada pada setiap manusia.
Bagi agama Buddha, tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan
(annutara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana batin manusia tidak
perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Manusia tidak memerlukan bantuan
atau pertolongan pihak lain, termasuk Dewa-Dewi. Jika manusia ingin selamat,
satu-satunya jalan ialah menjelmakan sifat dan sikap kebuddhaan di dalam
dirinya. Namun demikian, Buddha sendiri itu bukan Tuhan dan tidak pernah
diklaim sebagai Tuhan oleh pengikut agama Buddha.
Agama Buddha tidak terlalu menekankan peran Tuhan sebagaimana halnya
agama-agama besar lainnya. Agama Buddha lebih menekankan ”pragmatisme”
dalam arti mengutamakan tidakan-tindakan cepat dan tepat yang lebih
diperlukan di dalam menyelamatkan hidup seseorang yang pernah mengalami
problem. Karena itu, budi pekerti selalu menjadi hal yang amat substansial
dalam agama Buddha. Kolaborasinya dengan agama-agama lain gampang
karena agama Buddha tidak memiliki sistem birokrasi spiritual yang ribet
sebagaimana halnya agama-agama lain.
Umat Buddha Indonesia tidak pernah ada masalah dengan redaksi Pancasila,
khususnya keberadaan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Meski agama
Buddha tidak banyak menyinggung Tuhan dalam pengembangan misi
ajarannya, tak seorangpun warga penganut agama Buddha mengingkari
keberadaan Tuhan. Tidak mengherankan jika komunitas penganut agama
Buddha lebih cair dengan komunitas pengikut agama lain.
Ada banyak filosofi dan interpretasi dalam Buddha, sehingga agama ini sering
dianggap sebagai agama yang toleran. Untuk mengetahui lebih lengkap
bagaimana konsep Tuhan dalam Agama Buddha dan ajaran pokoknya, simak
penjelasannya berikut ini. Seperti yang dijelaskan, agama Buddha lebih fokus
pada perbuatan kebaikan di dunia demi mencapai pencerahan. Meski begitu,
menurut Al-Asmaa’ BT Dollah Abdul Aziz dalam jurnal Ketuhanan dalam
Agama Hindu dan Agama Buddha, ajaran Buddha tetap mengakui bahwa Tuhan
Maha Esa.
Hal itu tertulis dalam kitab suci Udana yang berbunyi: Sang Bhagava
mengucapkan sebait syair Udana: “Para Bhikkhu. Ada sesuatu yang tidak
dilahirkan. Tidak menjelma. Tidak terciptakan. Tidak tersenyawa. Para
Bhikkhu,jika tidak ada yang dilahirkan, tidak dijelma, tidak dicipta, tidak
disenyawa, maka tidak akan ada yang terlepas dari kelahiran, penjelmaan,
ciptaan, persenywaan. Tetapi, para Bhikkhu, oleh karena tidak ada dilahirkan,
tidak menjelma, tidak tercipta, tidak bersenyawa… maka, pembebasan dari
kelahiran, penjelmaan, ciptaan, persenyawaan merupakan sesuatu yang nyata.”
(Udana, VIII: iii)
Ada beberapa sebutan Tuhan dalam agama Buddha, di antaranya Parama
Buddha, Sanghyang Adi Buddha, Hyang Tathagata, dan lain-lain.
Ajaran Pokok Agama Buddha
Inti pokok ajaran Buddha terkandung dalam empat kenyataan yang dikenal
dengan istilah Kesunyataan Mulia. Kesunyataan Mulia berlaku kepada siapa pun
tanpa membeda-bedakan suku, ras, budaya, dan agama.
Hukum kebenaran ini terdiri dari empat, yaitu:
1. Kebenaran tentang Dukkha
Kebenaran ini mengajarkan bahwa hidup manusia tidak luput dari
penderitaan.
Ada tiga konsep yang diajarkan, yaitu:
 Dukkha-dukkha, merupakan derita biasa. Contohnya sakit, pertambahan
usia, kematian, dan bekerja sama dengan orang yang tidak disukai.
 Viparinama Dukkha, yaitu penderitaan akibat adanya perubahan.
Misalnya, kesedihan yang datang setelah rasa bahagia.
 Sankhara Dukhha, yaitu penderitaan sebagai manusia biasa. Misalnya,
sakit flu, sakit gigi, dan sebagainya.

2. Kebenaran tentang Dukkha Samudaya


Ajaran ini meyakini bahwa ketiga penderitaan tadi muncul karena adanya
Avijja/Avidya (ketidaktahuan atau kebodohan), Tanha (kehausan atau
keinginan nafsu), dan Moha (kegelapan batin) yang menyelimuti seseorang.

3. Kebenaran tentang Dukkha Niroda


Penderitaan yang dialami seseorang bisa berakhir jika orang tersebut
menghilangkannya dengan cara-cara yang benar hingga mencapai
kebahagiaan Nirwana.
Nirwana adalah kondisi saat seorang umat Buddha telah memiliki pemikiran
yang jernih serta terbebas dari segala sifat buruk dan kegelapan batin.

4. Kebenaran tentang Dukkha Niroda Gamini Patipada Magga


Ajaran ini berisi cara melenyapkan Dukkha dalam diri. Ada delapan cara
yang dapat diterapkan, yaitu:
 Pengertian yang benar
 Pikiran yang benar
 Perbuatan yang benar
 Berkata yang benar
 Bermata pencaharian yang benar
 Berusaha benar
 Memperhatikan hal-hal yang benar
 Memusatkan pikiran yang benar

Monoteisme dan henoteisme


Penganut monoteisme mengklaim bahwa Tuhan hanya ada satu, dan beberapa
ajaran monoteistis mengklaim bahwa Tuhan sejati adalah Tuhan yang dipuja
oleh semua agama dengan nama yang berbeda-beda. Pandangan bahwa seluruh
pemuja Tuhan (dalam agama yang berbeda-beda) sesungguhnya memuja satu
Tuhan yang sama-entah disadari atau tidak disadari oleh umat tersebut-terutama
diajarkan dalam agama Hindu dan Sikh.
Agama samawi atau dikenal juga sebagai rumpun agama abrahamis (karena
meyakini Abraham/Ibrahim sebagai nabi) atau agama langit dimaksudkan untuk
menunjuk agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Agama-agama ini dikenal sebagai
agama monoteistis karena hanya menekankan keberadaan satu Tuhan. Yahudi
dan Islam bahkan menolak visualisasi Tuhan karena menurut mereka tidak ada
sesuatu yang dapat menyerupai Tuhan. Meskipun serumpun, agama-agama ini
menggunakan sebutan/panggilan yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan
bahasa dan rentang sejarahnya. Adapun nama yang sering disebutkan
yaitu: Yahweh dalam agama Yahudi; Bapa atau Yesus dalam Kristen;
Allah dalam Islam.
Agama Kristen mengenal konsep Tritunggal, yang maksudnya Tuhan memiliki
tiga pribadi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Konsep ini terutama dipakai
dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Konsep ini merupakan paham
monoteistis yang dipakai sejak Konsili Nicea I pada tahun 325 M. Kata
"Tritunggal" sendiri tidak ada dalam Alkitab. Di dalam Ulangan 6:4 ditulis
bahwa Tuhan itu Esa. Keesaan ini pada bahasa aslinya (ekhad) adalah "kesatuan
dari berbagai satuan". Contohnya, pada Kejadian 2:24 ditulis "keduanya
(manusia dan istrinya) menjadi satu (ekhad) daging" berarti kesatuan dari 2
manusia. Di Kejadian 1:26 Allah menyebut diri-Nya dengan kata ganti "Kita",
mengandung kejamakan dalam sifat Tuhan. Pengertiannya adalah satu substansi
ketuhanan, tetapi terdiri dari tiga pribadi.
Di samping monoteisme yang menolak keberadaan dewa-dewi, ada
ajaran henoteisme yang meyakini dan memuja satu Tuhan, tetapi juga meyakini
keberadaan dewa-dewi lainnya dan bahkan dapat turut memuja mereka. Variasi
istilah tersebut adalah "monoteisme inklusif" dan "politeisme monarkis", dipakai
untuk membedakan ragam dari fenomena tersebut. Henoteisme mirip namun
kurang eksklusif daripada monolatri (pemujaan satu Tuhan) karena monolator
hanya memuja satu Tuhan (menolak keberadaan dewa-dewi untuk disembah),
sedangkan penganut henoteisme dapat memuja dewa-dewi dari panteon yang
mereka yakini, tergantung keadaan, meskipun biasanya mereka hanya akan
memuja satu Tuhan saja sepanjang hidup mereka (kecuali ada konversi tertentu).
Dalam beberapa agama, pemilihan Tuhan Mahakuasa dalam kerangka
henoteistis dapat saja terjadi, tergantung alasan kultural, geografis, historis,
bahkan politis.

1. TEISME, DEISME, DAN PANTEISME


Pembahasan tentang konsepsi-konsepsi Ketuhanan yang merupakan salah satu
kajian pokok dalam filsafat agama dianggap penting untuk dilakukan suatu
penelitian yang lebih mendalam. Tuhan dipahami sebagai Zat Pencipta Yang
Mahakuasa dan asas dari suatu kepercayaan. Tidak ada kesepakatan bersama
mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada berbagai konsep ketuhanan meliputi
Teisme, Deisme, Panteisme, dan lain-lain.
Dalam pandangan Teisme, Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala
kejadian di alam semesta. Teisme adalah aliran atau paham yang mengakui
Tuhan sebagai ada yang personal dan transenden, dan berpartispasi secara
imanen dalam penciptaan dunia dari ketiadaan melalui aktus pencipta-Nya yang
bebas.
Teisme pada umumnya mengajarkan bahwa Tuhan ada secara realistis, objektif,
dan independen. Tuhan diyakini sebagai pencipta dan pengatur segala hal;
mahakuasa dan kekal abadi; personal dan berinteraksi dengan alam semesta
melalui pengalaman religius dan doa-doa umat-Nya. Teisme menegaskan bahwa
Tuhan sukar dipahami oleh manusia sekaligus kekal selamanya; maka, Tuhan
bersifat tak terbatas sekaligus ada untuk mengurus kejadian di dunia. Meski
demikian, tidak seluruh penganut teisme mengakui dalil tersebut. Teologi
Katolik menyatakan bahwa Tuhan Mahakuasa sehingga tidak akan terikat pada
waktu. Banyak penganut teisme percaya bahwa Tuhan Mahakuasa, Mahatahu,
dan Mahapenyayang, meskipun keyakinan ini memicu timbulnya pertanyaan
mengenai tanggung jawab Tuhan terhadap adanya kejahatan dan penderitaan di
dunia. Beberapa penganut teisme menganggap Tuhan menahan diri meskipun
memiliki kuasa, tahu apa yang akan terjadi, dan penuh kasih sayang. Sebaliknya,
menurut teisme terbuka, karena adanya sifat asasi waktu, atribut Mahatahu tidak
berarti bahwa Tuhan juga dapat memprediksikan masa depan. "Teisme" kadang
kala digunakan untuk mengacu kepada kepercayaan terhadap adanya Tuhan dan
dewa/dewi secara umum, contohnya monoteisme dan politeisme.
Teisme secara luas didefinisikan sebagai kepercayaan terhadap
keberadaan Tuhan atau dewa-dewi. Dalam pengertian awam, atau bila
dibandingkan dengan deisme, istilah tersebut mendeskripsikan konsep
ketuhanan klasik yang ditemukan dalam monoteisme (yang juga disebut
sebagai teisme klasik) atau dewa-dewi yang ditemukan dalam agama-
agama politeistik suatu kepercayaan terhadap Tuhan maupun dewa-dewi tanpa
menafikan keberadaan wahyu sebagaimana yang terdapat dalam deisme.
Sebutan teisme pertama digunakan oleh Ralph Cudworth (1617-1688), dan
digunakan sebagai lawan kata ateisme, sebutan yang dicetuskan sekitar tahun
1587.
Para penganut Teisme sepakat bahwa Tuhan Esa dan jauh dari alam. Serta Maha
Sempurna. Mereka juga sependapat bahwa tidak melakukan interfensi pada alam
lewat kekuat supernatural. Bagaimanapun, tidak semua peganut deis
setuju tentang keterlibatan Tuhan dalam dan kehidupan sesudah mati. Menurut
Amsal Bakhtiar, atas dasar perbedaan tersebut deisme dapat digolongkan atas
empat tipologi, seperti:
a. Tuhan tidak terlibat dengan peraturan alam. Dia menciptakan alam dan
memprogramkan perjalanannya tetapi dia tidak menghiraukan apa yang
teah terjadi atau apa yang akan terjadi setelah penciptaan.
b. Tuhan terlibat dengan kejadian-kejadian yang sedang berlangsung di alam
tetapi bukan mengenai perbuatan moral manusia. Manusia memiliki
kebebasan untuk berbuat baik atau buruk dan lain sebagainya.
Semuanya itu bukan urusan Tuhan.
c. Tuhan mengatur alam dan sekaligus memperhatikan perbuatan moral
manusia. Sesungguhnya Tuhan ingin menegaskan bahwa manusia harus
tunduk pada hukum moral yang telah Tuhan tetapkan dijagad raya.
Bagaimanapun, manusia tidak akan hidup sesudah mati. Ketika seorang
mati, maka kehidupannya berakhir.
d. Tuhan mengatur alam dan mengharapkan manusia mematuhui hukum moral
yang berasal dari alam. Pandangan ini berpendapat bahwa kehidupan setelah
mati. Seseorang berbuat baik akan dapat pahala dan berbuat jahat akan dapat
hukuman.

Konsepsi Teisme Dalam Agama Islam


Tokoh Islam yang mengemukakan gagasannya tentang TEISME antara lain
adalah Al-Ghazali. Menurutnya Allah adalah zat yang Esa dan Pencipta alam
serta berperan aktif dalam mengendalikan alam. Allah menciptakan alam dari
tidak ada. Karena itu, menurut Al-Ghazali Mukjizat adalah suatu pristiwa
yang wajar karena Tuhan bisa mengubah hukum alam yang dianggap tidak bisa
berubah menjadi berubah. Menurut Al- Ghazali, karena Maha Kuasa dan
berkehendak mutlak, Tuhan mampu mengubah segala ciptaan-Nya sesuai
dengan kehendak mutlak-Nya.
Menurut Amsal Bakhtiar, Al-Ghazali diakhir hayatnya menitik tekankan pada
imenensi Tuhan. Tuhan sangat dekat dengan dirinya kemudian dalam berdoa
pun tidak perlu dengan suara dan gerak bibir. Bagi Al-Ghazali bahwa kedekatan
Tuhan tersebut sekaligus membuka tabir pengetahuan.
Al-Ghazali adalah pencari kebenaran yang hakiki. Pertama Al-Ghazali meyakini
bahwa kebenaran itu dapat diperoleh melalui indera. Akan tetapi menurutnya
ternyata indera bohong. Sebab, mata ketika melihat bulan hanya sebesar
bola, pada hal besar bulan hampir sama dengan bumi. Kedua, dia berpendapat
bahwa pengetahuan yang berasal dari akal dapat dipercaya. Sebab, akal yang
mampu menetapkan bahwa bulan itu jau lebih besar dari bola. Tapi, menurut Al-
Ghazali, pengetahuan yanng diperoleh lewat akal tidak dapat juga dipegang
karena ketika seseorag bermimpi, ia benar-benar merasa mengalami kejadian
dalam mimpi tersebut. Padahal, ketika ia bangun, kejadian dalam mimpi hanya
ilusi.
Oleh karena itu, Al-Ghazali berusaha mencari pengetahuan yang benar dan tidak
dapat diragukan lagi. Pengetahuan yang demikian itu ialah pengetahuan yang
langsung dari sumber Yang Maha Benar, yaitu Tuhan, selanjutnya tidak ada lagi
hijab antara hamba pencari pengetahuan dengan yang memiliki pengetahuan.
Inilah kata Al-Ghazali pengetahuan yang ketiga dan paling hakikih.
Demikian Amsal Bakhatiar menjelaskan.
Pengetahuan yang demikian bagaikan cahaya yang mempu mengungkap
rahasia-rahasia alam dan Tuhan. Istilah yang dipakai Al-Ghazali adalah kasb
(terbukanya tabir), yakni terbukanya tabir antara dia dengan Tuhan, sehingga
tidak ada pengetahuan yang tersembunyi antara dia dengan Tuhan. Pengetahuan
ini, bagi Al- Ghazali, adalah pengetahuan yang didambakannya. Namun, tidak
semua orang yang mendapat pengetahuan tersebut, hanya orang- orang tertentu
yang bisa mencapai derajad itu, yaitu para sufi.
Dalam agama Islam kejelasan tentang Tuhan adalah Esa, sekaligus transenden
dan imanen terdiskripsi dalam beberapa ayat Al-Quran, antara lain Qul Huwa
Allah Ahad. Artinya “Katakanlah wahai Muhammad, Dia (Allah) adalah satu
(QS:112:1) Transendensi Tuhan terdeskripsi dalam surat Al-A’rof ayat 54 yang
artinya “Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam diatas Arsy. Imanensi Tuhan
terdeskripsi dalam suarat Qaf ayat 16, yang artinya, dan sesungguhnya kami
telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya, dan
kami telah dekat kepadanya dari pada urat lehernya”.
Adapun ayat yang sekaligus menunjukkan bahwa Tuhan disamping transenden
dan imanen adalah surat Yunus ayat 3, yang artinya, sesungguhnya Tuhan kamu
adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian
Dia bersemayam diatas arsy untuk mengatur semua urusan. Menurut Amsal
Bakhtiar, awal ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan berada di Arsy yang
mengesankan Tuhan jauh dari alam. Namun, diakhir ayat dia mengatur semua
urusan yang mengesankan bahwa Tuhan selalu memperhatikan alam (imanen).
Oleh karena itu, ayat tersebut menegaskan bahwa Tuhan adalah transenden
sekaligus imanen. Demikian gambaran teisme dalam Islam.
Konsepsi Teisme Dalam Agama Kristen
St. Augustinus adalah salah satu tokoh teisme dalam agama Kristen. Bagi
Augustinus, Tuhan ada dengan sendirinya, tidak diciptakan, tidak berubah,
Abadi, bersifat personal, dan Maha Sempurna. Tuhan adalah kekuatan yang
personal yang terdiri atas tiga person yaitu Bapak, Anak, Dan Roh Kudus bagi
Augustinus, Tuhan menciptakan alam, jauh dari alam, diluar dimensi
waktu,tetapi Dia mengendalikan setiap kejadian dalam alam. Karena itu, bagi
dia, mukjizat adalah benar-benar ada karena Tuhan selalu mengatur ciptaan-
Nya. Setiap kejadian yang dianggap reguler dan tidak reguler adalah perbuatan
Tuhan. Alam diciptakan dari tiada, karena itu alam adalah baru dan tidak abadi.
Ala m memiliki permulaan dan batas akhir serta tidak diciptakan dalam waktu,
tetapi bersama dengan waktu.
Menurut Augustinus, manusia sama dengan alam, tidak abadi, manusia terdiri
atas jasad yang fana dan jiwa yang tidak mati. Setelah kematian, jiwa menunggu
penyatuan, baik dengan jasad lain maupun dengan keadaan yang lebih tinggi,
yaitu surga atau neraka. Ketika dibangkitkan, jiwa akan mencapai
kesempurnaan, hakikat yang sebenarnya dari manusia yaitu jiwa, bukan
jasadnya. Menurut Augustinus jiwa yang bersih akan kembali pada tuhan.
Menurut Ahmad Tafsir, bahwa ajaran Augustinus dapat dikatakan berpusat pada
dua Pool : Tuhan dan manusia. Akan tetapi, dapat juga dikatakan bahwa seluruh
ajaran Augustinus berpusat pada Tuhan. Kesimpulan ini diambil karena ia
mengatakan bahwa ia hanya ingin mengenal Tuhan dan ruh, tidak lebih dari
pada itu.
Seorang filosof pengritik adalah Sigmund Freud ia berpendapat “we say to
ourself, it would indeed be very nice if there were a Gad, who was both creator
of the world and benevolent providence, if there were a moral world order and a
future life, but at the same time it is very odd that this is all just as we shold wish
it ourselfves” Kita berkata kepada diri kita sendiri, sesungguhnya sangat
menyenangkan jika ada satu Tuhan, pencipta alam dan dermawan, serta jika
ada suatu tatanan dunia moral dan kehidupan akhirat. Namun pada saat yang
sama sangat aneh bahwa ini semua hanya sekedar keinginan diri kita sendiri”.
Hal di atas sebenarnya Freud ingin menyatakan bahwa agama manusia tidak lain
hanyalah refleksi dan keinginan- keinginan saja. Kemudian keinginan tersebut
dipersonifikasikan dengan bentuk yang abstrak. Kritik yang lain terhadap teisme
ialah datang dari Karl Marx menurut Marx agama adalah bagian kelas buruh
yang menderita. Mereka tidak mampu melawan strutur kelas yang begitu
nkuat,sehingga mereka mencara kekuatan “supranatural” untuk menolong
mereka.
Dari sini muncullah tuhan-tuhan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Orang
miskin Tuhannya adalah yang kaya, orang tertindas Tuhannya adalah yang kuat,
dan orang berperang Tuhan mereka adalah yang cinta damai. Menurut Marx
jika sosialisme muncul, tidak seorangpun akan lapar, dan tidak seorangpun
akan tertindas. Agama akan mati dengan sendirinya sebagaimana halnya
dengan Negara, demikian tegas Marx.
Kosepsi Teisme dalam agama Yahudi
Ibn Maimun adalah tokoh teisme dalam agama Yahudi. Menurut ibn Maimun,
Tuhan meliputi semua posisi yang penting, tidak berjasad dan tidak
berpotensi, dan tidak menyerupai makhluk. Pendeknya, ketika seseorang
berbicara tentang Tuhan dia hanya bisa menggunakan sifat-sifat yang negatf.
Dalam hal ini, Tuhan adalah transenden. Demikian Ibn Maimun
menjelaskan. Apakah hal ini berarti Tuhan tidak memperhatikan keadaan
mahklunya? Apakah doa tidak dikabulkannya? Bahwa Tuhan memperhatikan
nasib mahkluknya dan mendengar doa kita. Demikian Ibn Maimun menjawab
pertayaan tersebut.
Bukti Tuhan memperhatikan nasib mahklunya, bagi Ibnu Maimun, dia
memberikan nikmad pada mahkluk bertingkat- tingkat. Semakin penting sesuatu
itu untuk kebutuhan hidup, semakin mudah dan murah diperolehnya.
Sebaliknya, semakin tidak dibutuhkan, hal itu semakin jarang dan mahal.
Demikianlah, menurut Ibn Maimun, Tuhan sangat memperhatikan kebutuhan
Mahkluknya.
Bila dicermati secara mendalam dapat dilihat bahwa dari ketiga filosof yang
berlainan agama di atas, kelihatan benang merah yang mengkaidkan pemikiran
mereka. Bahwa Al-Ghazali, Augustinus, ataupun Ibnu Maimun mereka
sama-sama menyatakan bahwa Tuhan secara zat adalah transenden dan jauh dari
pengetahuan manusia. Akan tetapi, dilihat dari aspek perbuatan-Nya, Tuhan
berada dalam alam dan bahkan memperhatikan nasib mahkluk-Nya.
Pemikiran atau konsepsi paham teisme di atas memiliki beberapa masukan
positif dan juga tidak lepas dari kritikan. Menurut Amsal Bakhatiar masukan
positif yang terdapat dalam teisme dapat dikemukakan antara lain sebagai
berikut: Sebagian besar pemikir mengakui adanya suatu realitas tertinggi yang
perlu diyakini. Beda halnya dengan moral ateisme tidak bisa di identiikasi
secara jelas dan dilacak asalnya. Sedangkan moral teisme dapat di
indentifikasi dan dilacak asalnya, yakni Tuhan. Tuhan teisme adalah pucak
kesempurnaan moral dan pantas untuk disembah. Lagi pula, Tuhan teisme
merupakan pribadi yang jelas, sehingga tidak heran ada penganut teisme yang
rela mengorbankan dirinya untuk teistik, seperti mati sahid.
Walaupun memberikan masukan pemikiran yang berharga teisme tak lupa dari
kritikan salah seorang pengkritik yang cukup tajam adalah Sigmund Frued, dia
menyatakan “we say to ourself, it would indeed be very nice if there were a Gad,
who was both creator of the world and benevolent providence, if there were a
moral world order and a future life, but at the at the same time it is very odd that
this is all just as we shold wish it ourselfves” “Kita berkata kepada diri kita
sendiri, sungguh sangat menyenangkan jika ada satu Tuhan, pencipta alam dan
dermawan, serta jika ada suatu tatanan dunia moral dan kehidupan akhirat.
Namun pada saat yang sama sangat aneh bahwa ini semua hanya sekedar
keinginan diri kita sendiri”.
Hal di atas sebenarnya Freud ingin menyatakan bahwa agama manusia tidak lain
hanyalah refleksi dan keinginan- keinginan saja. Kemudian keinginan tersebut
dipersonifikasikan dengan bentuk yang abstrak.
Kritik yang lain terhadap teisme ialah datang dari Karl Marx menurut Marx
agama adalah bagian kelas buruh yang menderita. Mereka tidak mampu
melawan strutur kelas yang begitu kuat sehingga mereka mencarai kekuatan
“Supernatural” untuk menolong mereka. Dari sini muncullah tuhan-tuhan yang
sesuai dengan kebutuhan mereka. Orang miskin Tuhannya adalah yang kaya,
orang tertindas Tuhannya adalah yang kuat, dan orang berperang Tuhan
mereka adalah yang cinta damai.26 Menurut Marx jika sosialisme muncul,
tidak seorangpun akan lapar, dan tidak seorangpun akan tertindas. Agama akan
mati dengan sendirinya sebagaimana halnya dengan Negara, demikian tegas
Marx.
Kritik Freud dan Marx di atas memandang realitas Tuhan melalui analisis,
psikologis dan sosiologis. Oleh karenanya Marx sangat terhadap agama yang
waktu itu sangat menyengsarakan rakyat kecil, tetapi memperkaya kaum
kapitalis dan pendeta.

Keadaan waktu Marx hidup mendorong Marx untuk menganalisis fenomena


sosial, sehingga Marx dengan terburu-buru menyimpulkan bahwa keyakinan
kepada Tuhan itulah yang menyebabkan kelas-kelas dalam masyarakat semakin
tajam. Kemudian, kritik yang tajam di arahkan kepada para tab
spemimpin agama. Padahal kalau Marx mau mengelaborasi isi kitab suci
problemnya akan menjadi lain, karena isi kitab suci tidak bermaksud menindas
terhadap kaum buruh, bahkan sebaliknya. Lagi pula bahwa wawasan Marx
sangat sempit sekedar pada agama yang terdapat di Eropa pada waktu itu.
Kesalahan Marx, kelihatan juga pada ukuran yang digunakan. Marx
mengukur kepercayaan agama melalui ukuran ilmu empiris. Padahal, agama
tidak bisa di ukur melalui ukuran yang bersifat empiris. Fenomena agama
memang dapat diukur melalui ukuran yang empiris, tetapi tidak digunakan
untuk mengukur kepercayaan. Kepercayaan ukurannya adalah kafir dan iman,
sedangkan ilmu empiris ukurannya adalah benar dan tidak benar, logis dan tidak
logis. Oleh karena itu kritik Marx terhadap agama terlalu tergesah-gesah dan
parsial.

Aliran Deisme
Aliran deisme yaitu suatu paham atau aliran yang meyakini bahwa
Tuhan jauh berada diluar alam. Tuhan menciptakan alam dan memperhatikan
alam tersebut. Alam telah dilengkapi dengan peraturan-peraturan berupa
hukum-hukum alam yang tetap dan tidak berubah, sehingga secara mekanis
akan berjalan dengan sendirinya. Tuhan ibarat pembuat jam (the clookmaker)
yang tidak campur tangan lagi dalam proses bergeraknya setelah jam itu selesai
dibuat. Seorang Deis tidak memandang suatu buku sebagai wahyu tuhan dan
tidak ikut serta dalam sembahyang kelompok/individual karna ia tidak mau
menyembah kepada Tuhan yang tidak hadir. Disebutkan bahwa karena alam
berjalan sesuai dengan mekanisme tertentu yang tidak berubah-ubah, maka
dalam deisme tidak terdapat konsep mukjuzat-kejadian yang bertentangan
dengan hukum alam. Begitu juga wahyu dan doa dalam deisme tidak diperlukan
lagi. Tuhan telah memberikan akal kepada manusia, sehingga dia mampu
mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Jadi menurut deisme manusia
dan akalnya mampu mengurus kehidupan dunia.
Menurut Deisme, Tuhan merupakan pencipta alam semesta, tetapi tidak ikut
campur dalam kejadian di alam semesta. Deisme (berasal dari bahasa Latin
"deus" yang berarti "Tuhan") adalah kepercayaan filosofis yang menyatakan
bahwa Tuhan ada sebagai suatu Sebab Pertama yang tidak bersebab,
yang bertanggung jawab atas penciptaan alam semesta, tetapi kemudian tidak
ikut campur dengan dunia yang diciptakan-Nya. Secara ekuivalen, deisme juga
dapat didefinisikan sebagai pandangan yang menempatkan keberadaan Tuhan
sebagai penyebab segala sesuatu, mengakui kesempurnaannya akan tetapi
menolak wahyu ilahi atau campur tangan langsung Tuhan di alam semesta oleh
mukjizat. Pandangan ini juga menolak wahyu sebagai sumber pengetahuan
agama dan menegaskan bahwa dengan akal dan pengamatan terhadap
dunia cukup untuk menentukan adanya keberadaan seorang pencipta tunggal
atau prinsip absolut dari alam semesta.
Deist biasanya menolak kejadian gaib (kenabian, mukjizat) dan cenderung
menegaskan bahwa Tuhan (atau "Arsitek Yang Maha Esa") memiliki rencana
untuk semesta yang tidak terubahkan, baik oleh campur dalam urusan kehidupan
manusia atau menangguhkan hukum alam dari semesta. Apa yang agama
terorganisir lihat sebagai wahyu ilahi dan buku-buku suci, deists melihatnya
sebagai interpretasi yang dibuat oleh manusia lain, bukan berasal dari Tuhan.
Deisme mengajarkan bahwa Tuhan sukar dipahami oleh akal manusia. Menurut
penganut deisme, Tuhan itu ada, tetapi tidak ikut campur dalam urusan kejadian
di dunia setelah Ia selesai menciptakan alam semesta. Menurut pandangan ini,
Tuhan tidak memiliki sifat-sifat kemanusiaan, tidak serta-merta menjawab doa
umat-Nya dan tidak menunjukkan mukjizat. Secara umum, deisme meyakini
bahwa Tuhan memberi kebebasan kepada manusia dan tidak mau tahu mengenai
apa yang diperbuat manusia. Dua cabang deisme, pandeisme dan panendeisme
mengkombinasikan deisme dengan panteisme dan panenteisme. Pandeisme
dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa Tuhan menciptakan alam semesta
kemudian mengabaikannya, sebagaimana panteisme menjelaskan asal mula dan
maksud keberadaan alam semesta.
Disteisme, yang terkait dengan teodisi, adalah bentuk teisme yang mengajarkan
bahwa Tuhan tidak sepenuhnya baik namun juga tidak sepenuhnya jahat sebagai
konsekuensi adanya masalah kejahatan. Salah satu contoh aplikasi pandangan
ini berasal dari kisah karya Dostoevsky, Karamazov Bersaudara.
Konsepsi deisme di atas juga memberikan masukan konstruktif bagi pemikiran
keagamaan, namun demikian deisme juga tidak luput dari kritik dan kelemahan,
seperti antara lain dalam kosepssi deisme adalah peranan akal dikedepankan
dalam memahami problem-problem agama secara lebih kritis misalnya tentang
kedudukan akal dalam membedakan mana mu’jizat yang sebenarnya dan mana
mu’jizat yang tidak sebenarnya. Dengan akal seseorang mampu membedakan
antara keterangan yang benar dengan keterangan yang tidak benar. Dalam
konsep deisme alam berjalan secara sinerji. Keteraturan alam menurut
keyakinan kepada pengatur yang terampil. Dari konsep ini disme mengakui
adanya pengatur yang Maha Sempurna, yaitu Tuhan.
Walaupun deisme memberi masukan yang konstruktif terhadap pemikiran
keagamaan, deisme tidak luput dari kelemahan-kelemahan seperti antaran lain:
a. Paham atau aliran deisme menolak mukjizat padahal deisme mengakui
bahwa Tuhan yang menciptakan alam dari tiada. Maksudnya Tuhan
mampu menciptakan air dari tidak ada kenapa deisme menolak kemampuan
Tuhan menjalankan seseorang diatas air. Pikiran ini dianggap tidak masuk
akal karena masalah yang lebih besar dan berat, Tuhan mampu
melakukannya apalagi hal yang lebih kecil, kata pengkritik deisme.
b. Selanjutnya jika Tuhan menciptakan alam, tentu bertujuan untuk kebaikan
makhluk-Nya. Untuk mencapai tujuan tersebut Tuhan tidak membiarkan saja
hasil ciptaan-Nya terbengkalai. Dengan demikian, Tuhan selalu dekat
dengan makhluk-Nya agar selalu berjalan sesuai dengan petunjuk-Nya.
Pada masa kini, beberapa konsep yang lebih abstrak telah dikembangkan,
misalnya teologi proses dan teisme terbuka. Filsuf Prancis kontemporer Michel
Henry menyatakan suatu pendekatan fenomenologi dan pengertian
Tuhan sebagai esensi fenomenologis dari kehidupan.
Tuhan juga diyakini sebagai zat yang tak berwujud, sesuatu yang
berkepribadian, sumber segala kewajiban moral, dan "hal terbesar yang dapat
direnungkan". Atribut-atribut tersebut diakui oleh teolog Yahudi, Kristen awal,
dan muslim, yang terkemuka di antaranya adalah: Maimonides, Agustinus dari
Hippo, dan Al-Ghazali.
Panteisme adalah suatu aliran atau kepercayaan bahwa Tuhan berada dalam
segala sesuatu dan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan. Tuhan disepadankan
dengan segala sesuatu, karena kehadiran-Nya yang langsung dan aktif di dunia
ini mengenakan bentuk yang riil. Paham panteisme yang bersifat personal
menyatakan bahwa karena Tuhan sendiri yang benar-benar ada, maka apa yang
ada itu adalah Tuhan atau setidak-tidaknya suatu perwujudan dari Tuhan.
Terdapat pandangan lain yang menganggap Tuhan tidak personal, yakni sebagai
jiwa universal atau realitas total. Dalam pandangan ini semua wujud adalah pada
Tuhan. Panteisme baik yang bersifat personal maupun nonpersonal
menganggap eksistensi total sebagai realitas suci yang mengandung segala-
galanya.
Menurut Panteisme, Tuhan merupakan alam semesta itu sendiri.
Panteisme adalah keyakinan bahwa alam semesta merupakan manifestasi dari
tuhan, atau bahwa segala sesuatu merupakan tuhan, dewa atau
dewi imanen yang mencakup segalanya. Keyakinan panteisme tidak mengakui
adanya tuhan pribadi secara spesifik, baik antropomorfik atau tidak. Akan tetapi,
panteisme bercirikan berbagai doktrin dalam bentuk hubungan antara realitas
dengan keilahian. Konsep panteistik telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, dan
elemen panteistik telah dikenali dalam berbagai tradisi keagamaan.
Istilah panteisme diciptakan oleh matematikawan Joseph Raphson pada tahun
1697, dan sejak saat itu telah digunakan untuk mendeskripsikan kepercayaan
dari berbagai orang dan organisasi.
Panteisme dipopulerkan dalam budaya Barat sebagai pandangan teologi dan
filsafat berdasarkan buku karya filsuf abad ke-17 Baruch Spinoza, "Etika".
Sikap panteistik juga dimiliki oleh filsuf dan kosmolog Giordano Bruno pada
abad ke-16. Ide-ide panteisme terdapat dalam agama-agama Asia
Selatan dan Asia Timur (terutama Sikhisme, Hinduisme, Sanamahisme,
Konfusianisme, dan Taoisme) dan dalam Tasawuf (Sufisme) dalam Islam.
Konsepsi panteisme dalam agama Islam
Dalam Islam paham panteisme ini dikenal dengan sebutan wahdat al-wujud
(kesatuan wujud) sebagai tokohnya adalah Ibnu Al-arabi. Antara paham wahdat
al-wujud dan paham panteisme, disamping memiliki persamaan juga terdapat
perbedaan. Dalam panteisme alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam,
sedangkan dalam wahdat al-wujud alam bukan Tuhan, tetapi bagian dari Tuhan.
Karena itu, dalam paham wahdat al-wujud alam dan Tuhan tidak identik,
sedangkan dalam panteisme identik. Bagi penganut paham panteisme
mengatakan “itu Tuhan” sedangkan bagi penganut paham wahdatul wuju,
mereka berkata “dalam pohon itu ada aspek ketuhanan”.
Sedangkan Panenteisme menyatakan bahwa Tuhan meliputi alam semesta,
tetapi alam semesta bukanlah Tuhan. Konsep ini merupakan pandangan dalam
ajaran Gereja Katolik Liberal, Theosophy, beberapa mazhab agama
Hindu, Sikhisme, beberapa divisi Neopaganisme dan Taoisme. Kabbalah,
mistisisme Yahudi, melukiskan pandangan Tuhan yang panteistis/panenteistis
yang diterima secara luas oleh aliran Yahudi Hasidik, khususnya dari pendiri
mereka, Baal Shem Tov namun hanya sebagai tambahan terhadap pandangan
Yahudi mengenai Tuhan personal, tidak dalam pandangan panteistis murni yang
menolak batas-batas persona Tuhan.
Konsepsi panteisme dalam agama Kristen
Plotinis adalah salah satu tokoh paham panteisme dalam agama Kristen, dan dia
sebagai tokoh panteisme emanasi, abad ke-3 masehi. Menurut Plotinus, alam
mengalir dari Tuhan dan berasal dari-Nya. Tuhan tidak terbagi-bagi dan tidak
mengandung arti banyak. Yang banyak mengalir dari yang satu melalui emanasi,
yakni hanya satu yang bisa keluar dari yang satu. Plotinus menegaskan bahwa
hanya ada satu yang wajib ada, sederhana, dan absolud. Dari yang satu keluar
jiwa. Jiwa memikirkan dirinya muncullah pengetahuan dan jiwa memikirkan
Tuhan keluarlah materi sebagai sumber yang banyak.
Konsepsi panteisme zaman modern
Spinoza dianggap sebagai filosof berpaham panteisme modern. Paham
panteismenya tergambar dari pendapatnya yang menyatakan bahwa allah
sama dengan alam sama dengan sebstansi. Menurut Spinoza, seliruh realita
merupakan kesatuan, dan kesatuan ini, - sebagai satu-satunya substansi - itu
sama dengan Allah dan Alam. Selajutnta Ia berpendapat segala sesuatu
“termuat” dalam Allah – Alam, sebagai tanda-tanda atas sehelai “kertas”. Allah
itu sama dengan aturan kosmus. Kehendak Allah, itu kehendak Alam, maka
hukum-hukum alam itu kehendak Allah. Penyelenggaraan itu sama dengan
keperluan mutlak sama dengan nasib.
Disinilah letak perbedaan antara teisme dengan panteisme dalam teisme Tuhan
adalah zat yang personal yang menciptakan alam, tetapi panteisme menganggap
Tuhan adalah kesatuan umum, yang mengungkapkan dirinya dalam alam.
Dalm panteisme segala sesuatu adalah Tuhan, tidak satupun yang tidak tercakup
didalam-Nya dan tidak satupun yang bisa berada tanpa Tuhan. Teisme tidak
mengidentikkan Tuhan dengan alam, alam berbeda dengan Tuhan sebab Tuhan
adalah pencipta, sedangkan alam adalah ciptaan-Nya. Antara pencipta dan yang
dicipta tidak sama. Sebagaian besar pengnut teisme sepakat bahwa alam
diciptakan dari tidak ada, sedangkan paham teisme mengatakan bahwa alam
tercipta dari Tuhan.
Mukjizat menurut panteisme tidak mungkin terjadi karena seluruhnya adalah
Tuhan dan Tuhan adalah seluruhnya. Seandainya mukjizat diartikan sebagai
pristiwa yang menyalahi hukum alam, maka hal tersebut tidak berlaku dalam
panteisme sebab Tuhan identik dengan alam. Oleh karena itu, tidak ada
kekuatan dari luar yang bisa mengganggu tatanan yang sudah ada.
Sebagaimana teisme dan deisme panteismepun juga memberikan masukan
konstruktif terhada pemikiran keagamaan. Namun panteispun mempuyai
kelemahan-kelemahan antara lain: sumbangan pemikiran yang positif
a. Panteisme diakui menyumbangkan pemikiran satu pemikiran yang
menyeluruh tetang sesuatu, parsial.
b. Panteisme menekankan imanensi Tuhan sehingga seseorang selalu sadar
bahwa Tuhan selalu dekat dengan dirinya. Dengan demikian, dia
mampu mengusai diri dan berusaha berbuat sesuai dengan ketentuan Tuhan.
Kelemahan-kelemahanya
a. Menurut panteisme, manusia adalah Tuhan, sedangkan Tuhan dalam
pandangan ini tidak berubah dan abadi. Realitanya, manusia berubah dan
tidak abadi. Karena itu, bagaimana manusia menjadi Tuhan, ketika manusia
berubah, sedangkan Tuhan tidak.
b. Jika Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan sebagaimana
dinyatakan oleh panteisme, tidak ada konsep kejahatan atau tidak ada
kemutlakan kejahatan dan kebaikan.
Kritik terhadap panteisme di atas berasal dari para agamawan karena panteisme
tidak memperhatikan moral dan mu’jizat. Dalam agama Kristen, Islam dan
Yahudi kedudukan moral amad signifikan karena moral itulah yang menentukan
nasib manusia dikemudian hari nanti. Tanpa ada kejelasan antara yang baik dan
tidak baik, maka akhirat tidak maknanya. Kalau akherat tidak bermakna, tentu
tujuan hidup orang-orang agama sama dengan kaum materialis.
Panenteisme
Panenteisme, berasal dari kata pan-en-teisme (segala sesuatu ada didalam
Tuhan). K. C. F. Krause (perumus istilah ini), mengatakan bahwa dunia tidak
dicampuradukkan dengan Tuhan, namun tidak pula dipisahkan. Dunia
merupakan ungkapan empiris Tuhan yang berada didalam segala hal yang
imanen dan sekaligus transenden.
Panenteisme nampak mirip dengan panteisme, tetapi berbeda dalam
konsepsinya tentang Tuhan. Panteisme menyatakan semua adalah Tuhan,
tetapi panenteisme menyatakan bahwa semua dalam tubuh Tuhan.
Ada beberapa kelainan antara teisme dan penenteisme. Dalam teisme Tuhan
adalah pencipta dari tidak ada, berkuasa atas alam, tidak terganting pada alam,
tidak berubah, maha sempurna, dan tidak terbatas. Sedangkan dalam
penenteisme adalah Tuhan pengatur dari materi yang sudah ada, bekerja sama
dengan alam, tergantung pada alam, berubah, menuju kesempurnaan. Selain itu
masih ada perbedaannya antara paham teisme dan panenteisme.
Teisme berpandangan bahwa hubungan Tuhan dengan dunia bagaikan pelukis
dengan lukisannya. Pelukis tidak tergantung pada lukisannya. Namun,
pikirannya diungkapkan dalam luksan tersebut, sebab pikiran itulah yang
mewujudkan lukisan. Tetapi, panenteisme memandang hubungan Tuhan dan
alam sama dengan pikiran berhubungan dengan tubuh. Tetapi, panenteisme
menganggap “tubuh” (alam) Tuhan adalah satu kutub dan”akal” (yang diluar
alam)-Nya adalah kutub yang lain. Pendapat ini selaras dengan para pemikir
modern yang menyatakan bahwa dari akal tergantung pada otak, begitu juga
dalam penenteisme meyakini bahwa tuhan tergantung pada alam dan alampun
tergantung pada tuhan.
Panenteisme lebih menekankan Tuhan pada aspek terbatas, berubah, mengatur
alam, dan bekerja sama dengan alam untuk mencapai kesempurnaan ketimbang,
memandang Tuhan sebagai Zat yang tidak terbatas, menguasai alam, dan tidak
berubah. Namun pada dasarnya, panenteisme setuju bahwa Tuhan terdiri atas
dua kutup. Kutup potensi, yakni Tuhan yang abadi, tidak berubah, dan
transenden, dan kutup aktual, yaitu Tuhan yang berubah, tidak abadi dan
imanen.
Sebagaimana aliran-aliran teisme, deisme, panteisme, dan panenteismepun telah
menyumbangkan pemikiran yang konstruktif terhadap pemikiran keagamaan
antara lain:
a. Panenteisme dianggap memberi sumbangan konstruktif dalam
pemikiran keagamaan dalam memahami realitas secara holistik dan tidak
parsial. Panenteisme menganggap bahwa pendekat parsial tentang realitas
tidak memadai. Sebaliknya, panenteisme telah mengembangkan suatu
pandangan rasional tentang keseluruhan yang ada.
b. Panenteisme berhasil menjelaskan koneksitas Tuhan dan alam secara
radikal tanpa menghacurkan salah satunya, sebagaimana dalam pantaisme.
Tuhan berada dalam alam, tetapi alam di anggap tidak ada hanya maya.

Sebagaimana aliran teisme, disme, dan panteisme, panenteisme juga tidak luput
dari kelemahan dan kritik seperti sebagai berikut:
a. Ide tentang satu Tuhan yang sekaligus terbatas dan tidak terbatas,
mungkin dan tidak mungkin, apsolut dan relatif adalah suatu
kerancuan berpikir.
Kontradiksi muncul ketika hal yang berlawanan terwujud dalam zat yang
sama, waktu yang sama dan cara yang sama.
b. Panenteisme mengadapi suatu problem. Panenteisme meyakini Tuhan
meliputi keseluruhan jakat raya dalam waktu yang sama. Namun,
panenteisme juga meyakini Tuhan terbatas dalam watu dan ruang. Sesuatu
yang terbatas oleh waktu dan ruang tidak mampu berfikir, mengetahui dan
melebihi kecepatan cahaya. Karena jaka raya terlalu luas, maka seseorang
yang akan mengelilingya perlu masa bertahu-tahun dengan kecepatan
186.000 mill perdetik oleh sebab itu, mustahil Tuhan yang terbatas
oleh waktu dan ruang mampu meliputi semua jakat raya.
Menurut Amsal Bakhtiar konsepsi ketuhanan teisme, deisme, dan penenteisme
tidak ada yang benar-benar memuaskan para agamawan dan para filosof.
Deisme mengakui adanya Tuhan, tetapi Tuhan yang transenden sebaliknya,
penteisme mengakui juga adanya Tuhan, tetapi Tuhan yang imenen saja.
Teisme dan penenteisme kelihatan ingin menawarkan jalan tengah, yaitu
Tuhan yang transenden dan sekaligus imanen. Teisme berpendapat bahwa
Tuhan tidak terjangkau oleh pengetahuan manusia dan Dia pencipta alam, tetapi
setelah penciptaan, Tuhan tetap memelihara hasil ciptaan-Nya.
Tuhan, menurut teisme, tidak seperti tukang jam, tetapi seperti tukang kebun,
yang selalu memelihara kebunnya. Berbeda halnya dengan penenteisme,
tuhan terdiri atas dua kutup yakni kutup tidak terbatas dan kutup terbatas. Kutup
tidak terbatas jauh dari alam, sedangkan kutup terbatas tergantung pada alam
yang terbatas dan alam yang mutlak tergantung pada alam yan terbatas
tidak dapat diterima. Sebaliknya, bagi penenteisme, Tuhan yang tidak
terbatas tidak mungkin mengatur dunia yang terbatas.
Ketidak puasan para agamawan dan filosof di atas adalah wajar karena hal itu
permainan semantik dan kategori-kategori akal. Selain hal tersebut, ruang
metafisika terbuka untuk mengadakan spekulasi sebanyak mungkin dan
sedalam-dalamnya. Menurut agamawan, penjelasan yang sangat memuaskan
tentang Tuhan bukan berasal dari rasio, tetapi dari wahyu. Wahyulah yang
mendatangkan kejelasan tentang Tuhan. Akal sekedar sebagai alat bantu untuk
menginterpretasikan wahyu tersebut, bukan sebagai sumber utama.

Penganut monoteisme percaya bahwa Tuhan hanya ada satu, serta tidak


berwujud (tanpa materi), memiliki pribadi, sumber segala kewajiban moral, dan
"hal terbesar yang dapat direnungkan". Banyak filsuf abad pertengahan dan
modern terkemuka yang mengembangkan argumen untuk mendukung dan
membantah keberadaan Tuhan.
Ada banyak nama untuk menyebut Tuhan, dan nama yang berbeda-beda melekat
pada gagasan kultural tentang sosok Tuhan dan sifat-sifat apa yang dimiliki-
Nya. Atenisme pada zaman Mesir Kuno, kemungkinan besar merupakan agama
monoteistis tertua yang pernah tercatat dalam sejarah yang mengajarkan Tuhan
sejati dan pencipta alam semesta, yang disebut Aten. Kalimat "Aku adalah Aku"
dalam Alkitab Ibrani, dan "Tetragrammaton" YHVH digunakan sebagai nama
Tuhan, sedangkan Yahweh, dan Yehuwa kadang kala digunakan dalam agama
Kristen sebagai hasil vokalisasi dari YHWH.
Dalam bahasa Arab, nama Allah digunakan, dan karena predominansi Islam di
antara para penutur bahasa Arab, maka nama Allah memiliki konotasi dengan
kepercayaan dan kebudayaan Islam. Umat muslim mengenal 99 nama suci bagi
Allah, sedangkan umat Yahudi biasanya menyebut Tuhan dengan
gelar Elohim atau Adonai (nama yang kedua dipercaya oleh sejumlah pakar
berasal dari bahasa Mesir Kuno, Aten).  Dalam agama Hindu, Brahman biasanya
dianggap sebagai Tuhan monistis. Agama-agama lainnya memiliki panggilan
untuk Tuhan, di antaranya: Baha dalam agama Baha'i, Waheguru dalam
Sikhisme, dan Ahura.
Aliran Teisme
Teisme adalah aliran atau paham yang mengakui Tuhan sebagai ada yang
personal dan transenden, dan berpartispasi secara imanen dalam penciptaan
dunia dari ketiadaan melalui aktus pencipta-Nya yang bebas. Antara Tuhan dan
manusia dapat terjalin hubungan I-Thou.

Harun Nasution dalam buku “Filsafat Agama” mennjelaskan bahwa teisme


sepaham dengan deisme, berpendapat bahwa Tuhan adalah transenden,
menyatakan bahwa Tuhan, sungguhpun berada diluar alam, juga dekat pada
alam. Berlainan dengan deisme, teisme menyatakan bahwa alam setelah
diciptakan Tuhan, bukan tidak lagi berajat pada Tuhan, malahan tetap
terdapat-Nya. Tuhan adalah sebab bagi yang ada di alam ini. Segala-galanya
bersandar kepada sebab ini. Tuhan adalah dasar dari segala yang ada dan yang
terjadi dalam alam ini. Alam ini tidak bisa berwujud dan berdiri tampa Tuhan.
Tuhanlah yang terus menerus secara langsung mengatur alam ini.
Selanjutnya Harun Nasution menyatakan dalam faham teisme alam ini tidak
beredar menurut hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang tak berubah,
tetapi beredar menurut kehendak mutlak Tuhan. Oleh karena itu teisme
mengakui adanya “Mujizat”. Dalam Teisme doa juga mempunyai tempat.
Aliran teisme dapat dibedakan dalam beberapa tipe antara lain dapat dibedakan
dalam hal kepercayaan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam. Menurut
Amsal Bakhtiar sebagian besar penganut teisme percaya bahwa materi alam
adalah riil, sedangkan yang lain menyatakan abstrak, itu hanya eksis dalam
pikiran dan idea. Dari sebagaian besar mereka yakin bahwa Tuhan tidak
berubah, tetapi sebagian ada yang terpengaruh oleh panteisme, sehingga
mengatakan bahwa Tuhan berubah dalam beberapa hal.
Sebagian teis berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam dan selalu ada
bersamanya, sementara yang lain yakin bahwa alam harus memilikisuatu
permulaan yang berbeda. Perbedaan yang cukup menonjol dalam teisme adalah
antara agama Yahudi dan Islam disatu pihak dengan Kristen Ortodoks
dipihak lain. Dalam keyakinan orang-orang Yahudi dan Islam Tuhan adalah Zat
Yang Esa, sedangkan dalam Kristen yakin bahwa Tuhan adalah tiga pribadi
(trinitas).
Keberadaan Tuhan
Ada banyak persoalan filosofis mengenai keberadaan Tuhan. Beberapa definisi
Tuhan tidak bersifat spesifik, sementara yang lainnya menguraikan sifat-sifat
yang saling bertentangan. Argumen tentang keberadaan Tuhan pada umumnya
meliputi tipe metafisis, empiris, induktif, dan subjektif, sementara yang lainnya
berkutat pada teori evolusioner, aturan, dan kompleksitas di dunia. Pendapat
yang menentang keberadaan Tuhan pada umumnya meliputi tipe empiris,
deduktif, dan induktif.
Ada banyak pendapat yang dikemukakan dalam usaha pembuktian keberadaan
Tuhan.  Beberapa pendapat terkemuka adalah Quinque viae, argumen dari
keinginan yang dikemukakan oleh C.S. Lewis, dan argumen ontologis yang
dikemukakan oleh St. Anselmus dan Descartes. Bukti-bukti tersebut
diperdebatkan dengan sengit, bahkan di antara para penganut teisme sekalipun.
Beberapa di antaranya, misalnya argumen ontologis, masih sangat kontroversial
di kalangan penganut teisme. Aquinas menulis risalah tentang Tuhan untuk
menyangkal bukti-bukti yang diajukan Anselmus.
Pendekatan yang dilakukan Anselmus adalah untuk mendefinisikan Tuhan
sebagai "tidak ada yang lebih besar daripada-Nya untuk bisa direnungkan".
Filsuf panteis Baruch Spinoza membawa gagasan tersebut lebih ekstrem:
"Melalui Tuhan aku memahami sesuatu yang mutlak tak terbatas, yaitu, suatu
zat yang mengandung atribut-atribut tak terbatas, masing-masing menyiratkan
esensi yang kekal dan tidak terbatas". Bagi Spinoza, seluruh alam semesta
terbuat dari satu zat, yaitu Tuhan, atau padanannya, yaitu alam. Bukti
keberadaan Tuhan yang diajukannya merupakan variasi dari argumen ontologis.
Fisikawan kondang, Stephen Hawking, dan penulis Leonard Mlodinow
menyatakan dalam buku mereka, The Grand Design, bahwa merupakan hal yang
wajar untuk mencari tahu siapa atau apa yang membentuk alam semesta, tetapi
bila jawabannya adalah Tuhan, maka pertanyaannya berbalik menjadi siapa atau
apa yang menciptakan Tuhan. Terkait pertanyaan ini, lumrah terdengar bahwa
ada sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak perlu pencipta, dan sesuatu itu
disebut Tuhan. Hal ini dikenal sebagai argumen sebab pertama untuk
mendukung keberadaan Tuhan. Akan tetapi, kedua penulis tersebut mengklaim
bahwa pasti ada jawaban masuk akal secara ilmiah, tanpa mencampur keyakinan
tentang hal-hal gaib.
Beberapa teolog, misalnya ilmuwan sekaligus teolog A.E. McGrath,
berpendapat bahwa keberadaan Tuhan bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab
dengan metode ilmiah. Agnostik Stephen Jay Gould berpendapat bahwa ilmu
pengetahuan dan agama tidak bertentangan dan tidak saling menjatuhkan.
Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari berbagai argumen yang mendukung
dan menentang keberadaan Tuhan adalah: "Tuhan tidak ada" (ateisme kuat);
"Tuhan hampir tidak ada" (ateisme de facto); "tidak jelas apakah Tuhan ada atau
tidak" (agnostisisme); "Tuhan ada, tetapi tidak bisa dibuktikan atau dibantah
(teisme lemah); dan "Tuhan ada dan dapat dibuktikan" (teisme kuat).
Tuhan dalam sudut pandang Nonteistis
Menurut ajaran nonteisme, alam semesta dapat dijelaskan tanpa mengungkit hal-
hal gaib atau sesuatu yang tak teramati. Beberapa nonteis menghindari konsep
ketuhanan, sementara menurut yang lain, hal itu amat penting; nonteis lainnya
memandang sosok Tuhan sebagai simbol nilai-nilai dan aspirasi
manusia. Ateis asal Inggris, Charles Bradlaugh menyatakan bahwa ia menolak
untuk berkata "Tuhan itu tidak ada", karena kata 'Tuhan' sendiri terdengar
sebagai ungkapan untuk maksud yang tidak jelas atau tak nyata; secara lebih
spesifik, ia berkata bahwa ia tidak meyakini Tuhan menurut agama Kristen.
Stephen Jay Gould melakukan pendekatan dengan membagi dunia filosofi
menjadi "non-overlapping magisteria" (NOMA). Menurut pandangan tersebut,
pertanyaan seputar hal-hal gaib/supernatural, seperti halnya keberadaan dan
sifat-sifat Tuhan, bersifat non-empiris dan lebih layak diulas dalam
bidang teologi. Metode ilmiah seyogianya dipakai untuk menjawab pertanyaan
mengenai dunia nyata, dan teologi dipakai untuk menjawab pertanyaan tentang
tujuan sejati dan nilai-nilai moral. Menurut pandangan ini, kurangnya bukti
empiris tentang kekuatan supernatural terhadap kejadian alam, menyebabkan
ilmu pengetahuan menjadi pilihan pokok dalam menjelaskan fenomena di dunia.
Menurut pandangan lainnya, yang dikembangkan oleh Richard Dawkins,
dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan adalah pertanyaan empiris, dengan alasan
bahwa "alam semesta dengan tuhan akan sungguh berbeda dengan yang tanpa
tuhan, dan itu tentu merupakan perbedaan ilmiah." Carl Sagan berpendapat
bahwa doktrin Pencipta Alam Semesta sulit dibuktikan maupun dibantahkan,
dan penemuan ilmiah yang dapat menyangkal keberadaan Sang Pencipta tentu
menjadi penemuan bahwa usia alam semesta tidak terbatas.
2. Tuhan antropomorfis
Pascal Boyer berpendapat bahwa dalam dunia yang dipenuhi oleh berbagai
konsep seputar hal gaib yang berbeda-beda, secara umum, makhluk gaib
tersebut cenderung bertindak selayaknya manusia. Penggambaran dewa-dewi
dan makhluk gaib lainnya selayaknya manusia adalah ciri yang mudah dikenali
dari suatu agama. Sebagai contoh, mitologi Yunani, yang menurutnya cenderung
menyerupai opera sabun masa kini daripada suatu sistem kepercayaan. Bertrand
du Castel dan Timothy Jurgensen mendemonstrasikan melalui formalisasi
bahwa penjelasan Boyer cocok dengan epistemologi fisika dalam memosisikan
entitas yang diamati sebagai intermedian tidak secara
langsung. Antropolog Stewart Guthrie berpendapat bahwa masyarakat
memproyeksikan ciri manusia kepada aspek-aspek non-manusia di dunia karena
itu akan membuat aspek-aspek tersebut lebih familier. Sigmund Freud juga
menyatakan bahwa konsep ketuhanan adalah proyeksi sosok ayah bagi
seseorang.
Émile Durkheim adalah salah seorang pertama yang menyatakan bahwa tuhan
merepresentasikan ekstensi kehidupan sosial manusia untuk memasukkan unsur-
unsur gaib. Mengimbangi pernyataan tersebut, psikolog Matt
Rossano berpendapat bahwa ketika manusia mulai hidup dalam kelompok-
kelompok yang lebih besar, mereka menciptakan sosok tuhan sebagai penegakan
atas moralitas. Dalam kelompok yang lebih kecil, moralitas dapat dijaga dengan
kekuatan sosial seperti penyebaran gosip atau penjagaan nama baik. Akan tetapi,
lebih sulit untuk menjaga moralitas dalam kelompok besar dengan
menggunakan kekuatan sosial. Rossano menyatakan bahwa dengan
menambahkan kepercayaan akan tuhan dan makhluk gaib yang mahatahu, maka
manusia menemukan strategi efektif untuk mengendalikan keegoisan dan
membangun kelompok yang lebih kooperatif.
Persentase Kepercayaan akan Tuhan
Sampai tahun 2000, sekitar 53% populasi dunia teridentifikasi sebagai penganut
salah satu dari tiga agama samawi terbesar (33% Kristen, 20% Islam, <1%
Yahudi), 6% Buddhis, 13% umat Hindu, 6% penganut kepercayaan tradisional
Tionghoa, 7% penganut agama lainnya, dan kurang dari 15% mengaku tak
beragama. Kebanyakan agama yang dianut mengandung kepercayaan akan
Tuhan, roh, dewa-dewi, dan makhluk gaib. Agama samawi selain Kristen, Islam,
dan Yahudi meliputi agama Baha'i, Samaritanisme, Gerakan
Rastafari, Yazidisme, dan Gereja Unifikasi.

Peran Pada Kemanusiaan


Pemikiran mengenai peran Tuhan dalam keberadaan manusia di alam semesta
telah dikembangkan oleh Giovanni Pico della Mirandola dan Marsilio Ficino.
Pico meyakini bahwa Tuhan telah memberikan kesadaran kepada manusia
mengenai hakikat keberadaannya di alam semesta sebagai ketetapanNya.
Berdasarkan kesadaran ini, manusia memiliki tanggung jawab atas kehidupan
yang diberikan kepadanya oleh Tuhan. Sedangkan Ficino berpendapat bahwa
manusia merupakan makhluk rasional. Tuhan berperan membimbing manusia di
dalam kehidupannya. Tanpa keberadaan Tuhan, manusia tidak dapat melakukan
perbaikan apapun pada dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai