Kajian Teoritis
Oleh : Drs. H. M. Solihin
BAB I
Pendahuluan
BAB II
Kajian Tioritis Konsep Tentang Tuahan
Konsep tentang Tuhan berbagai rupa antara lain seperti orang yang percaya
pada TEISME, tetapi tidak pada DEISME atau PANTEISME tetapi tidak
pada PENENTEISME. Persepsi tentang Tuhan, antara satu kelompok agama
atau kepercayaan dengan kelompok lainnya pasti berbeda. persepsi dalam arti
sempit adalah penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan
dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang
memandang atau mengartikan sesuatu.
Konsep ketuhanan telah dikenal sejak manusia ada di dunia. Dasar dari konsep
ketuhanan ini ialah adanya sesuatu yang maha gaib. Konsep ketuhanan yang
paling awal ialah animisme dan dinamisme. Kedua konsep ini mulai ada sejak
zaman manusia purba dan sifatnya sangat sederhana. Segala sesuatu yang
sifatnya gaib dikatikan dengan keberadaan Tuhan. Kemudian, konsep ketuhanan
berkembang seiring terbentuknya struktur masyarakat pada manusia. Konsep
Tuhan ikut berkembang dengan terbentuknya hierarki ketuhanan.
Pada masa ini, terbenuklah politeisme yang meyakini bahwa Tuhan tidak
tunggal. Dalam konsep ini, Tuhan memiliki keluarga atau masyarakat seperti
pada masyarakat manusia. Dari politeisme berkembang konsep ketuhanan lain,
yaitu henoteisme. Dalam henotesime, Tuhan diyakini memiliki struktur
pemerintahan dengan pemerintah tertinggi oleh Dewa. Perkembangan
selanjutnya dari henoteisme memunculkan monoteisme dengan konsep bahwa
Tuhan adalah sesuatu yang esa.
Tidak ada kesepahaman mengenai konsep ketuhanan. Konsep ketuhanan
dalam agama samawi meliputi definisi monoteistis tentang Tuhan dalam agama
Yahudi, pandangan Kristen tentang Tritunggal, dan konsep Tuhan dalam Islam.
Agama-agama dharma juga memiliki pandangan berbeda-beda mengenai
Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Hindu tergantung pada wilayah, sekte,
kasta, dan beragam, mulai dari panenteistis, monoteistis, politeistis, bahkan
ateistis. Keberadaan sosok ilahi juga diakui oleh Gautama Buddha,
terutama Śakra dan Brahma.
Konsep Tuhan dalam Islam
Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi
yang nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi,
Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.
Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah (bahasa Arab: )هللاdan diyakini
sebagai Dzat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan
Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.
Islam menitikberatkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha
Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha
Kuasa. Menurut Al-Quran terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya:
"nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan
yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha
Tinggi dan Maha Luas. Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal
dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha
Penyayang" (ar-rahim).
Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan
kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji
keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut
ajaran Islam, Tuhan muncul di mana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk
apa pun. Al-Quran menjelaskan, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,
sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus
lagi Maha Mengetahui." (Al-'An'am 6:103).
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga
Tuhan yang personal: Menurut Al-Quran, Dia lebih dekat pada manusia
daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan
memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia
memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”
Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama
yang disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya
seperti Kristen dan Yahudi. Namun, hal ini tidak diterima secara universal oleh
kalangan kedua agama tersebut.
Di sini jelas bahwa sesuatu yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati
banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas
burung terbang), gigir panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas
cakrawala), yang merupakan sesuatu yang tidak tergambarkan atau tidak dapat
disepertikan.
Dengan pengertian sesuatu yang tak tergambarkan, itu mereka ingin menyatakan
bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah kekosongan, atau suwung, Kekosongan
adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam
kidung dhandhanggula di atas adalah kekosongan Susuh angin itu kosong, ati
banyu pun kosong, demikian pula tapak kuntul nglayang dan batas cakrawala.
Jadi hakekat Tuhan adalah kekosongan abadi yang padat energi, seperti areal
hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara
immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar
biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan
tidak saling bertabrakan. Sang kosong atau suwung itu meliputi
segalanya, suwung iku anglimputi sakalir kang ana. Ia seperti udara yang tanpa
batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di
dalamnya.
Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau pancaran
energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga kekosongan yang padat energi
itu. Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya ada Atman, tanpa ada
muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan, maka energi Atman itu akan
berhubungan atau menyatu dengan sang sumber energi. Untuk itu yang
diperlukan dalam usaha pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan”
antara Atman dengan Brahman itu.
Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah kekosongan maka untuk menyatukan
diri, maka diri kita pun harus kosong, sebab hanya yang kosonglah yang dapat
menyatu dengan sang maha kosong. Caranya dengan berusaha mengosongkan
diri atau membersihkan diri dengan menghilangan muatan-muatan yang
membebani Atman yang berupa berbagai nafsu dan keinginan.
Apabila kekosongan merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang di
bagian atasnya berbentuk kursi kosong, dan dianggap sebagai simbol singgasana
“Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang
dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya di Jawa tidak
ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di
Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena
masyarakat Jawa lebih mementingkan pemujaan leluhur, yang dianggap sebagai
pengejawantahan Tuhan. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran katon atau Orang
tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti adanya kepercayaan tersebut.
Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi lingga yoni. Baru
setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali. Konon
sementara sejarawan berpendapat bahwa Padmasana adalah karya
monumental Danghyang Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari
Jawa ke Bali, setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.
Menurut orang Jawa, apabila tujuan samadi itu berhasil, terdapat tanda-tanda
khusus. Konon, ketika puncak keheningan tercapai, orang serasa terjun ke
suasana heneng atau sunya, tenggelam dalam suasana kedamaian batin sejati,
rasa damai yang akut, yang dikatakan manjing jroning sepi, atau rasa damai
yang tak terkatakan.
Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa digambarkan
secara indah dengan kata-kata tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha
pesating supena sumusup ing rasa jati (ketika tiba di ambang batas kesadaran,
hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati).
Di sini makna kedamaian adalah kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari
beban apa pun, yang diistilahkan dengan suasana hening heneng atau kedamaian
sejati. Mungkin suasana demikian itulah yang dalam agama Hindu disebut sukha
tan pawali dukha. Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas
dari hukum rwa bhinneda.
Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses penyatuan
tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa Sang Atmanlah
diminta membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia Maha Energi yang
ada pada diri setiap manusia, karena itu oleh orang Jawa diberi
sebutan Pangeraningsun atau Tuhan yang ada dalam diriku.
Karena itulah ketika kita mengawali proses kramaning sembah dengan pertama-
tama menyebut OM Atma Tattvatma, orang Jawa menganggapnya sebagai ganti
dari kata-kata Duh Pangeraningsun, yang sebelumnya amat dikenal. Namun
sebelum Atman kita jadikan kawan utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih
dulu kita harus yakin bahwa ia adalah energi luar biasa. Kehebatan energi
Atman itu secara simbolis digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak
mrica binubut nanging lamun ginelar angebegi jagad. Artinya : Ia hanya sebesar
serbuk merica, namun bila dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya akan
tergenggam olehnya. Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”.
Namun untuk memanfaatkannya orang harus mengenalnya lebih jauh.
Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4
(empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat
suka maupun duka, hingga layak disebut “saudara”. Masing-masing ditandai
dengan simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (catur sanak). Posisi
mereka di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya
membentuk warna “pelangi”.
Gradasi warnanya menunjukkan kadar karma wasana seseorang. Konon peranan
mereka amat menentukan. Karena itu mereka harus selalu diperhatikan dan
dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak terurus, akan menjadi pengganggu
yang amat berbahaya.
Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air sebagai
pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa lentera, katak
menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa dan tanpa suara.
Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak
menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski
dengan nama yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan
damar adalah api, sama halnya dengan Atman adalah Brahman. Ia immanen
sekaligus transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun rasa.
Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa ditunjukkan
dengan perkataan kana kene padha bae artinya sana dan sini sama saja.
Penjelasan lebih lanjut tentang pelukisan Tuhan dalam bentuk patung adalah
suatu cetusan rasa cinta (bhakti). Sebagaimana halnya jika seorang pemuda jatuh
cinta pada kekasihnya, sampai tingkat madness (tergila-gila) maka bantal
gulingpun dipeluknya erat-erat, diumpamakan kekasihnya., diapun ingin
mengambarkan kekasihnya itu dengan sajak-sajak yang penuh dengan
perumpamaan. Begitu pula dalam peribadatan membawa sajen (yang berisi
makanan yang lezat dan buah-buahan) ke Pura, apakah berarti Tuhan umat
Hindu seperti manusia, suka makan yang enak-enak? Pura dihias dan diukir
sedemikian indah, apakah Tuhan umat Hindu suka dengan seni? Tentu saja
tidak. Semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan
rasa bhakti kepada Tuhan.
Tuhan Yang Maha Esa ini disebut dalam beberapa nama, antara lain:
Brahman: asal muasal dari alam semestea dan segala isinya
Purushottama atau Maha Purusha
swara (dalam Weda)
Parama Ciwa (dalam Whraspati tatwa)
Sanghyang Widi Wasa (dalam lontar Purwabhumi Kemulan)
Dhata: yang memegang atau menampilkan segala sesuatu
Abjayoni: yang lahir dari bunga teratai
Druhina: yang membunuh raksasa
Viranci: yang menciptakan
Kamalasana: yang duduk di atas bunga teratai
Srsta: yang menciptakan
Prajapati: raja dari semua makhluk/masyarakat
Vedha: ia yang menciptakan
Vidhata: yang menjadikan segala sesuatu
Visvasrt: ia yang menciptakan dunia
Vidhi: yan menciptakan atau yang menentukan atau yang mengadili.
Penggambaran tentang Tuhan Yang Maha Esa ini, meskipun telah berusaha
menggambarkan Tuhan semaksimal mungkin, tetap saja sangat terbatas. Oleh
karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan definisi atau pengertian apapun
yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas
itu tidaklah menjangkau kebesaranNya. Sehingga kitab-kitab Upanisad
menyatakan tidak ada definsi yang tepat untukNya, Neti-Neti (Na + iti, na + iti),
bukan ini, bukan ini.
Untuk memahami Tuhan, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran
agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu
merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Sedangkan kitab
suci Veda dan temasuk kitab-kitab Vedanta (Upanisad) adalah sumber yang
paling diakui otoritasnya dalam menjelaskan tentang Brahman (Tuhan Yang
Maha Esa).
3. Ananda
Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka duka.
Maya yang diciptakan Brahman menimbulkan illusi, namun tidak berpengaruh
sedikitpun terhadap kebahagiaan Brahman. Pada hakikatnya semua
kegembiraan, kesukaran, dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan oleh
materi bersumber pula pada Ananda ini bersumber pula pada Ananda ini,
bedanya hanya dalam tingkatan. Kebahagiaan yang paling rendah ialah
berwujud kenikmatan instingtif yang dimiliki oleh binatang pada waktu
menyantap makanan dan kegiatan sex. Tingkatan yang lebih tinggi ialah
kesenangan yang bersifat sementara yang kemudian disusul duka. Tingkatan
yang tertinggi adalah suka tan pawali duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya
tarik atau kemelekatan terhadap benda-benda duniawi.
Jiwa atau atma yang menghidupi alam ini dari makhluk yang terendah sampai
manusia yang tersuci adalah unsur Brahman yang lebih tinggi. Adapun bnda-
benda (materi) di alam semesta ini adalah unsur Brahman yang lebih rendah.
Walaupun alam semesta merupakan ciptaan namun letaknya bukan di luar
Brahman melainkan di dalam tubuh Brahman.
Dalam kitab suci Rgveda seperti halnya Atharvaveda disebutkan jumlah dewa-
dewa itu sebanyak 33 dewa. Bila kita membaca mantram-mantram lainnya dari
kitab suci Rgveda ternyata jumlah Dewa-dewa sebanyak 3339
Personal God dan Impersonal God
Tuhan Yang Maha Esa di dalam Veda digambarkan sebagai Personal God, dapat
dibagi menjadi tga kategori:
1. Penggambaran Antrophomorphic: sebagai manusia dengan berbagai
kelebihan seperti bermata seribu, berkaki tiga, bertangan empat dan
sebagainya.
2. Penggambaran Semianthrophomorphic: sebagai setengah manusia atau
setengah binatang. Hal ini lebih menonjol dalam kitab-kitab Purana seperti
dewa Ganesha (manusia berkepala gajah), Hayagriwa (manusia berkepala
kuda, dan sebagainya.
3. Penggambaran Unantrophomorphic: tidak sebagai manusia melainkan
sebagai binatang saja, misalnya Garutman (Garuda), sebagai tumbuh-
tumbuhan, misalnya Soma dan lain-lain.
Dalam mewujudkan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan sifat-Nya
yang Acintya (tidak dapat terfikirkan), manusia dengan sifatnya
yang Awidya (tidaksempurna) memuja Tuhan dengan berbagai rupa, nama dan
sebutan, serta berbagai interprestasi. Ini seperti tertuang dalam kitab suci
Weda: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti (Hanya satu Tuhan, namun orang
bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama).
Ketika ada orang yang mengatakan bahwa kamu memiliki Tuhan yang berbeda
dengan saya; atau mengatakan Tuhan yang saya sembah lebih bagus dari
Tuhanmu dan kamu harus menyembah Tuhan yang saya sembah, jika tidak
kamu adalah manusia yang tidak ber-Tuhan; sesungguhnya itu adalah
pernyataan keliru. Kita memuja Tuhan dengan berbagai manifestasi-Nya, karena
sesungguhnya Tuhan meresapi seluruh yang telah ada, yang ada dan yang akan
ada. Tuhan berada di semua ciptaan-Nya dan secara bersamaan berada juga di
luar ciptaa-Nya, tidak terbatas oleh ruang dan waku dan ada di mana-mana,
bahkan di dalam diri kita.
Tuhan bersifat Acintya atau tidak terfikirkan oleh manusia. Artinya, manusia
tidak dapat menggambarkan Tuhan dengan sempurna. Sebagai makhluk yang
dikarunia akal dan fikiran, manusia memiliki cara untuk mewujudkan bhaktinya
kepada Sang Penguasa Alam Semesta dengan berbagai cara berdasarkan nilai-
nilai dharma (kebenaran).
Kita sebagai manusia tidak dapat menggambarkan Tuhan secara utuh. Kita
hanya dapat menggambarkan Tuhan seperti apa yang kita pikirkan dan untuk
diri kita sendiri. Karena definisi Tuhan menurut saya akan berbeda dengan
definisi Tuhan menurut anda. Namun kebenaran yang mutlak itu adalah Tuhan
itu satu tunggal adanya.
Kita seperti orang buta yang meraba gajah dalam menggambarkan keagungan
Tuhan. Orang buta pertama, ketika diberi kesempatan meraba gajah dan yang
diraba adalah kaki gajah, maka dia akan memberikan definsi berdasarkan
pengalaman indrawinya; bahwa gajah itu seperti tiang-tiang yang kokoh.
Selanjutnya, orang buta kedua yang meraba telinga, maka akan mendifinisikan
bahwa gajah seperti kipas yang besar. Demikian juga orang buta ketiga yang
meraba ekor gajah, maka dia akan memberikan kesimpulan bahwa gajah itu
seperti cambuk cemeti.
Apakah orang buta tadi meraba objek yang sama? Tentu iya. Namun apakah
memiliki pandangan dan kesimpulan yang sama atas objek yang dirabanya,
tentu tidak. Kebenarannya adalah dia meraba gajah yang sama, tapi tidak bisa
menggambarkan gajah itu dengan utuh. Jika orang buta satu memaksakan
pandangannya untuk dapat diterima oleh orang buta lainnya, maka akan terjadi
konflik.
Demikian juga kita dalam memahami Tuhan. Tidak ada satu orangpun di dunia
ini yang dapat menggambarkan Tuhan dengan utuh. Mereka memuja Tuhan
dengan cara yang berbeda. Jadi Pujalah Tuhan itu berdasarkan keyakinan yang
mendalam yang tumbuh dari hati sanubarimu yang terdalam. Karena kebenaran
itu muncul dari hati sanubari kita yang terdalam. Maka tanamkan nilai-nilai
keTuhanan itu ke dalam diri kita masing-masing. Ketika nilai-nilai Ketuhanan
yang ada dalam diri kita tumbuh subur, maka tidak ada kesengsaraan, karena
yang ada hanya kedamaian.
Konsep Ketuhanan Menurut Agama Budha
Konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha berbeda dengan
konsep ketuhanaan agama-agama lain, khususnya agama-agama samawi
(Abrahamic religions). Dalam kitab Sutta Pitaka, Udana VII, dijelaskan bahwa
Tuhan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam
Akatam Asamkhatam, subjek yang dipersepsikan sebagai Tuhan sesuatu yang
tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, tetapi keadaan-Nya
Mahamutlak. Kemahaesaannya tanpa “aku” (anatta), tidak dapat
dipersonifikasikan, dan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun.
Konsep Tuhan dalam agama Buddha berbeda dengan ajaran agama lainnya.
Dalam kepercayaan Buddha, tidak diakui konsep Tuhan yang personal seperti
keberadaan Tuhan dalam Islam, Kristen, maupun agama samawi yang lain.
Agama Buddha lebih menekankan pada ajaran kebaikan demi mencapai
kebahagiaan yang mutlak dan sempurna. Ajaran tersebut pertama kali
diperkenalkan dan disebarkan oleh Sidharta Gautama alias Sang Buddha, lebih
dari 2.500 tahun yang lalu di India.
Dijelaskan lebih lanjut dalam laman History, penganut Buddhisme tidak percaya
atas dewa tertentu. Bagi mereka, Sang Buddha bukanlah dewa, melainkan
makhluk luar biasa yang mengajarkan mereka untuk fokus pada pencapaian
pencerahan, yaitu kedamaian batin dan kebijaksanaan. Jalan menuju pencerahan
itu sering kali dicapai dengan meditasi. Itu sebabnya umat Buddha sering
melakukan meditasi sebagai pemusatan pikiran untuk memperoleh ketenangan
tingkat tertinggi (Nibbana).
Keberadaannya tidak berkondisi (asankhata). Berbeda dengan makhluk, seperti
manusia yang berkondisi (sankhata). Manusia yang berusaha untuk mencapai
puncak kebebasan dari lingkaran hidup yang penuh kesengsaraan (samsara),
harus aktif menjalankan meditasi, yaitu perenungan suci atau kontemplasi
terhadap hakikat alam semesta. Dalam kitab suci Tripitaka dijelaskan tidak
hanya konsep ketuhanannya yang berbeda, tetapi juga konsep asal-usul kejadian
alam semesta manusia, kiamat, dan keselamatan atau pembebasan diri manusia.
Konsep ketuhanam dalam agama Buddha lebih bersifat nonteistik, yakni tidak
menekankan keberadaan Tuhan Sang Pencipta atau bergantung kepada-Nya,
tetapi bagaimana mengejawantakan sifat buddhisme. Buddha Gautama sendiri
juga tidak dilukiskan sebagai Tuhan, tetapi sebagai pembimbing atau guru yang
menunjukkan jalan menuju Nirwana. Buddha Gautama sendiri jarang menyebut
kata Tuhan, tetapi lebih menekankan pentingnya kesucian perilaku di dalam
menjalani kehidupan.
Mungkin dari segi ini, kalangan ahli perbandingan agama ada yang melihat
agama Buddha lebih menonjol sebagai ajaran moral belaka. Bahkan, sejumlah
khotbah Buddha Gautama cenderung penyembahahan kepada banyak Tuhan
atau Dewa Dewi membebani kebebasan manusia, meskipun pada sisi lain masih
memberikan pengakuan terhadap Brahma sebagai Tuhan. Buddha Gautama
pernah biarkan Tuhan menjadi pencipta segala sesuatu, tetapi manusia harus
memelihara kesucian ciptaan Tuhan. Kesempurnaan kesucian itulah inti
ketuhanan dan kesucian itu harus ada pada setiap manusia.
Bagi agama Buddha, tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan
(annutara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana batin manusia tidak
perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Manusia tidak memerlukan bantuan
atau pertolongan pihak lain, termasuk Dewa-Dewi. Jika manusia ingin selamat,
satu-satunya jalan ialah menjelmakan sifat dan sikap kebuddhaan di dalam
dirinya. Namun demikian, Buddha sendiri itu bukan Tuhan dan tidak pernah
diklaim sebagai Tuhan oleh pengikut agama Buddha.
Agama Buddha tidak terlalu menekankan peran Tuhan sebagaimana halnya
agama-agama besar lainnya. Agama Buddha lebih menekankan ”pragmatisme”
dalam arti mengutamakan tidakan-tindakan cepat dan tepat yang lebih
diperlukan di dalam menyelamatkan hidup seseorang yang pernah mengalami
problem. Karena itu, budi pekerti selalu menjadi hal yang amat substansial
dalam agama Buddha. Kolaborasinya dengan agama-agama lain gampang
karena agama Buddha tidak memiliki sistem birokrasi spiritual yang ribet
sebagaimana halnya agama-agama lain.
Umat Buddha Indonesia tidak pernah ada masalah dengan redaksi Pancasila,
khususnya keberadaan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Meski agama
Buddha tidak banyak menyinggung Tuhan dalam pengembangan misi
ajarannya, tak seorangpun warga penganut agama Buddha mengingkari
keberadaan Tuhan. Tidak mengherankan jika komunitas penganut agama
Buddha lebih cair dengan komunitas pengikut agama lain.
Ada banyak filosofi dan interpretasi dalam Buddha, sehingga agama ini sering
dianggap sebagai agama yang toleran. Untuk mengetahui lebih lengkap
bagaimana konsep Tuhan dalam Agama Buddha dan ajaran pokoknya, simak
penjelasannya berikut ini. Seperti yang dijelaskan, agama Buddha lebih fokus
pada perbuatan kebaikan di dunia demi mencapai pencerahan. Meski begitu,
menurut Al-Asmaa’ BT Dollah Abdul Aziz dalam jurnal Ketuhanan dalam
Agama Hindu dan Agama Buddha, ajaran Buddha tetap mengakui bahwa Tuhan
Maha Esa.
Hal itu tertulis dalam kitab suci Udana yang berbunyi: Sang Bhagava
mengucapkan sebait syair Udana: “Para Bhikkhu. Ada sesuatu yang tidak
dilahirkan. Tidak menjelma. Tidak terciptakan. Tidak tersenyawa. Para
Bhikkhu,jika tidak ada yang dilahirkan, tidak dijelma, tidak dicipta, tidak
disenyawa, maka tidak akan ada yang terlepas dari kelahiran, penjelmaan,
ciptaan, persenywaan. Tetapi, para Bhikkhu, oleh karena tidak ada dilahirkan,
tidak menjelma, tidak tercipta, tidak bersenyawa… maka, pembebasan dari
kelahiran, penjelmaan, ciptaan, persenyawaan merupakan sesuatu yang nyata.”
(Udana, VIII: iii)
Ada beberapa sebutan Tuhan dalam agama Buddha, di antaranya Parama
Buddha, Sanghyang Adi Buddha, Hyang Tathagata, dan lain-lain.
Ajaran Pokok Agama Buddha
Inti pokok ajaran Buddha terkandung dalam empat kenyataan yang dikenal
dengan istilah Kesunyataan Mulia. Kesunyataan Mulia berlaku kepada siapa pun
tanpa membeda-bedakan suku, ras, budaya, dan agama.
Hukum kebenaran ini terdiri dari empat, yaitu:
1. Kebenaran tentang Dukkha
Kebenaran ini mengajarkan bahwa hidup manusia tidak luput dari
penderitaan.
Ada tiga konsep yang diajarkan, yaitu:
Dukkha-dukkha, merupakan derita biasa. Contohnya sakit, pertambahan
usia, kematian, dan bekerja sama dengan orang yang tidak disukai.
Viparinama Dukkha, yaitu penderitaan akibat adanya perubahan.
Misalnya, kesedihan yang datang setelah rasa bahagia.
Sankhara Dukhha, yaitu penderitaan sebagai manusia biasa. Misalnya,
sakit flu, sakit gigi, dan sebagainya.
Aliran Deisme
Aliran deisme yaitu suatu paham atau aliran yang meyakini bahwa
Tuhan jauh berada diluar alam. Tuhan menciptakan alam dan memperhatikan
alam tersebut. Alam telah dilengkapi dengan peraturan-peraturan berupa
hukum-hukum alam yang tetap dan tidak berubah, sehingga secara mekanis
akan berjalan dengan sendirinya. Tuhan ibarat pembuat jam (the clookmaker)
yang tidak campur tangan lagi dalam proses bergeraknya setelah jam itu selesai
dibuat. Seorang Deis tidak memandang suatu buku sebagai wahyu tuhan dan
tidak ikut serta dalam sembahyang kelompok/individual karna ia tidak mau
menyembah kepada Tuhan yang tidak hadir. Disebutkan bahwa karena alam
berjalan sesuai dengan mekanisme tertentu yang tidak berubah-ubah, maka
dalam deisme tidak terdapat konsep mukjuzat-kejadian yang bertentangan
dengan hukum alam. Begitu juga wahyu dan doa dalam deisme tidak diperlukan
lagi. Tuhan telah memberikan akal kepada manusia, sehingga dia mampu
mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Jadi menurut deisme manusia
dan akalnya mampu mengurus kehidupan dunia.
Menurut Deisme, Tuhan merupakan pencipta alam semesta, tetapi tidak ikut
campur dalam kejadian di alam semesta. Deisme (berasal dari bahasa Latin
"deus" yang berarti "Tuhan") adalah kepercayaan filosofis yang menyatakan
bahwa Tuhan ada sebagai suatu Sebab Pertama yang tidak bersebab,
yang bertanggung jawab atas penciptaan alam semesta, tetapi kemudian tidak
ikut campur dengan dunia yang diciptakan-Nya. Secara ekuivalen, deisme juga
dapat didefinisikan sebagai pandangan yang menempatkan keberadaan Tuhan
sebagai penyebab segala sesuatu, mengakui kesempurnaannya akan tetapi
menolak wahyu ilahi atau campur tangan langsung Tuhan di alam semesta oleh
mukjizat. Pandangan ini juga menolak wahyu sebagai sumber pengetahuan
agama dan menegaskan bahwa dengan akal dan pengamatan terhadap
dunia cukup untuk menentukan adanya keberadaan seorang pencipta tunggal
atau prinsip absolut dari alam semesta.
Deist biasanya menolak kejadian gaib (kenabian, mukjizat) dan cenderung
menegaskan bahwa Tuhan (atau "Arsitek Yang Maha Esa") memiliki rencana
untuk semesta yang tidak terubahkan, baik oleh campur dalam urusan kehidupan
manusia atau menangguhkan hukum alam dari semesta. Apa yang agama
terorganisir lihat sebagai wahyu ilahi dan buku-buku suci, deists melihatnya
sebagai interpretasi yang dibuat oleh manusia lain, bukan berasal dari Tuhan.
Deisme mengajarkan bahwa Tuhan sukar dipahami oleh akal manusia. Menurut
penganut deisme, Tuhan itu ada, tetapi tidak ikut campur dalam urusan kejadian
di dunia setelah Ia selesai menciptakan alam semesta. Menurut pandangan ini,
Tuhan tidak memiliki sifat-sifat kemanusiaan, tidak serta-merta menjawab doa
umat-Nya dan tidak menunjukkan mukjizat. Secara umum, deisme meyakini
bahwa Tuhan memberi kebebasan kepada manusia dan tidak mau tahu mengenai
apa yang diperbuat manusia. Dua cabang deisme, pandeisme dan panendeisme
mengkombinasikan deisme dengan panteisme dan panenteisme. Pandeisme
dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa Tuhan menciptakan alam semesta
kemudian mengabaikannya, sebagaimana panteisme menjelaskan asal mula dan
maksud keberadaan alam semesta.
Disteisme, yang terkait dengan teodisi, adalah bentuk teisme yang mengajarkan
bahwa Tuhan tidak sepenuhnya baik namun juga tidak sepenuhnya jahat sebagai
konsekuensi adanya masalah kejahatan. Salah satu contoh aplikasi pandangan
ini berasal dari kisah karya Dostoevsky, Karamazov Bersaudara.
Konsepsi deisme di atas juga memberikan masukan konstruktif bagi pemikiran
keagamaan, namun demikian deisme juga tidak luput dari kritik dan kelemahan,
seperti antara lain dalam kosepssi deisme adalah peranan akal dikedepankan
dalam memahami problem-problem agama secara lebih kritis misalnya tentang
kedudukan akal dalam membedakan mana mu’jizat yang sebenarnya dan mana
mu’jizat yang tidak sebenarnya. Dengan akal seseorang mampu membedakan
antara keterangan yang benar dengan keterangan yang tidak benar. Dalam
konsep deisme alam berjalan secara sinerji. Keteraturan alam menurut
keyakinan kepada pengatur yang terampil. Dari konsep ini disme mengakui
adanya pengatur yang Maha Sempurna, yaitu Tuhan.
Walaupun deisme memberi masukan yang konstruktif terhadap pemikiran
keagamaan, deisme tidak luput dari kelemahan-kelemahan seperti antaran lain:
a. Paham atau aliran deisme menolak mukjizat padahal deisme mengakui
bahwa Tuhan yang menciptakan alam dari tiada. Maksudnya Tuhan
mampu menciptakan air dari tidak ada kenapa deisme menolak kemampuan
Tuhan menjalankan seseorang diatas air. Pikiran ini dianggap tidak masuk
akal karena masalah yang lebih besar dan berat, Tuhan mampu
melakukannya apalagi hal yang lebih kecil, kata pengkritik deisme.
b. Selanjutnya jika Tuhan menciptakan alam, tentu bertujuan untuk kebaikan
makhluk-Nya. Untuk mencapai tujuan tersebut Tuhan tidak membiarkan saja
hasil ciptaan-Nya terbengkalai. Dengan demikian, Tuhan selalu dekat
dengan makhluk-Nya agar selalu berjalan sesuai dengan petunjuk-Nya.
Pada masa kini, beberapa konsep yang lebih abstrak telah dikembangkan,
misalnya teologi proses dan teisme terbuka. Filsuf Prancis kontemporer Michel
Henry menyatakan suatu pendekatan fenomenologi dan pengertian
Tuhan sebagai esensi fenomenologis dari kehidupan.
Tuhan juga diyakini sebagai zat yang tak berwujud, sesuatu yang
berkepribadian, sumber segala kewajiban moral, dan "hal terbesar yang dapat
direnungkan". Atribut-atribut tersebut diakui oleh teolog Yahudi, Kristen awal,
dan muslim, yang terkemuka di antaranya adalah: Maimonides, Agustinus dari
Hippo, dan Al-Ghazali.
Panteisme adalah suatu aliran atau kepercayaan bahwa Tuhan berada dalam
segala sesuatu dan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan. Tuhan disepadankan
dengan segala sesuatu, karena kehadiran-Nya yang langsung dan aktif di dunia
ini mengenakan bentuk yang riil. Paham panteisme yang bersifat personal
menyatakan bahwa karena Tuhan sendiri yang benar-benar ada, maka apa yang
ada itu adalah Tuhan atau setidak-tidaknya suatu perwujudan dari Tuhan.
Terdapat pandangan lain yang menganggap Tuhan tidak personal, yakni sebagai
jiwa universal atau realitas total. Dalam pandangan ini semua wujud adalah pada
Tuhan. Panteisme baik yang bersifat personal maupun nonpersonal
menganggap eksistensi total sebagai realitas suci yang mengandung segala-
galanya.
Menurut Panteisme, Tuhan merupakan alam semesta itu sendiri.
Panteisme adalah keyakinan bahwa alam semesta merupakan manifestasi dari
tuhan, atau bahwa segala sesuatu merupakan tuhan, dewa atau
dewi imanen yang mencakup segalanya. Keyakinan panteisme tidak mengakui
adanya tuhan pribadi secara spesifik, baik antropomorfik atau tidak. Akan tetapi,
panteisme bercirikan berbagai doktrin dalam bentuk hubungan antara realitas
dengan keilahian. Konsep panteistik telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, dan
elemen panteistik telah dikenali dalam berbagai tradisi keagamaan.
Istilah panteisme diciptakan oleh matematikawan Joseph Raphson pada tahun
1697, dan sejak saat itu telah digunakan untuk mendeskripsikan kepercayaan
dari berbagai orang dan organisasi.
Panteisme dipopulerkan dalam budaya Barat sebagai pandangan teologi dan
filsafat berdasarkan buku karya filsuf abad ke-17 Baruch Spinoza, "Etika".
Sikap panteistik juga dimiliki oleh filsuf dan kosmolog Giordano Bruno pada
abad ke-16. Ide-ide panteisme terdapat dalam agama-agama Asia
Selatan dan Asia Timur (terutama Sikhisme, Hinduisme, Sanamahisme,
Konfusianisme, dan Taoisme) dan dalam Tasawuf (Sufisme) dalam Islam.
Konsepsi panteisme dalam agama Islam
Dalam Islam paham panteisme ini dikenal dengan sebutan wahdat al-wujud
(kesatuan wujud) sebagai tokohnya adalah Ibnu Al-arabi. Antara paham wahdat
al-wujud dan paham panteisme, disamping memiliki persamaan juga terdapat
perbedaan. Dalam panteisme alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam,
sedangkan dalam wahdat al-wujud alam bukan Tuhan, tetapi bagian dari Tuhan.
Karena itu, dalam paham wahdat al-wujud alam dan Tuhan tidak identik,
sedangkan dalam panteisme identik. Bagi penganut paham panteisme
mengatakan “itu Tuhan” sedangkan bagi penganut paham wahdatul wuju,
mereka berkata “dalam pohon itu ada aspek ketuhanan”.
Sedangkan Panenteisme menyatakan bahwa Tuhan meliputi alam semesta,
tetapi alam semesta bukanlah Tuhan. Konsep ini merupakan pandangan dalam
ajaran Gereja Katolik Liberal, Theosophy, beberapa mazhab agama
Hindu, Sikhisme, beberapa divisi Neopaganisme dan Taoisme. Kabbalah,
mistisisme Yahudi, melukiskan pandangan Tuhan yang panteistis/panenteistis
yang diterima secara luas oleh aliran Yahudi Hasidik, khususnya dari pendiri
mereka, Baal Shem Tov namun hanya sebagai tambahan terhadap pandangan
Yahudi mengenai Tuhan personal, tidak dalam pandangan panteistis murni yang
menolak batas-batas persona Tuhan.
Konsepsi panteisme dalam agama Kristen
Plotinis adalah salah satu tokoh paham panteisme dalam agama Kristen, dan dia
sebagai tokoh panteisme emanasi, abad ke-3 masehi. Menurut Plotinus, alam
mengalir dari Tuhan dan berasal dari-Nya. Tuhan tidak terbagi-bagi dan tidak
mengandung arti banyak. Yang banyak mengalir dari yang satu melalui emanasi,
yakni hanya satu yang bisa keluar dari yang satu. Plotinus menegaskan bahwa
hanya ada satu yang wajib ada, sederhana, dan absolud. Dari yang satu keluar
jiwa. Jiwa memikirkan dirinya muncullah pengetahuan dan jiwa memikirkan
Tuhan keluarlah materi sebagai sumber yang banyak.
Konsepsi panteisme zaman modern
Spinoza dianggap sebagai filosof berpaham panteisme modern. Paham
panteismenya tergambar dari pendapatnya yang menyatakan bahwa allah
sama dengan alam sama dengan sebstansi. Menurut Spinoza, seliruh realita
merupakan kesatuan, dan kesatuan ini, - sebagai satu-satunya substansi - itu
sama dengan Allah dan Alam. Selajutnta Ia berpendapat segala sesuatu
“termuat” dalam Allah – Alam, sebagai tanda-tanda atas sehelai “kertas”. Allah
itu sama dengan aturan kosmus. Kehendak Allah, itu kehendak Alam, maka
hukum-hukum alam itu kehendak Allah. Penyelenggaraan itu sama dengan
keperluan mutlak sama dengan nasib.
Disinilah letak perbedaan antara teisme dengan panteisme dalam teisme Tuhan
adalah zat yang personal yang menciptakan alam, tetapi panteisme menganggap
Tuhan adalah kesatuan umum, yang mengungkapkan dirinya dalam alam.
Dalm panteisme segala sesuatu adalah Tuhan, tidak satupun yang tidak tercakup
didalam-Nya dan tidak satupun yang bisa berada tanpa Tuhan. Teisme tidak
mengidentikkan Tuhan dengan alam, alam berbeda dengan Tuhan sebab Tuhan
adalah pencipta, sedangkan alam adalah ciptaan-Nya. Antara pencipta dan yang
dicipta tidak sama. Sebagaian besar pengnut teisme sepakat bahwa alam
diciptakan dari tidak ada, sedangkan paham teisme mengatakan bahwa alam
tercipta dari Tuhan.
Mukjizat menurut panteisme tidak mungkin terjadi karena seluruhnya adalah
Tuhan dan Tuhan adalah seluruhnya. Seandainya mukjizat diartikan sebagai
pristiwa yang menyalahi hukum alam, maka hal tersebut tidak berlaku dalam
panteisme sebab Tuhan identik dengan alam. Oleh karena itu, tidak ada
kekuatan dari luar yang bisa mengganggu tatanan yang sudah ada.
Sebagaimana teisme dan deisme panteismepun juga memberikan masukan
konstruktif terhada pemikiran keagamaan. Namun panteispun mempuyai
kelemahan-kelemahan antara lain: sumbangan pemikiran yang positif
a. Panteisme diakui menyumbangkan pemikiran satu pemikiran yang
menyeluruh tetang sesuatu, parsial.
b. Panteisme menekankan imanensi Tuhan sehingga seseorang selalu sadar
bahwa Tuhan selalu dekat dengan dirinya. Dengan demikian, dia
mampu mengusai diri dan berusaha berbuat sesuai dengan ketentuan Tuhan.
Kelemahan-kelemahanya
a. Menurut panteisme, manusia adalah Tuhan, sedangkan Tuhan dalam
pandangan ini tidak berubah dan abadi. Realitanya, manusia berubah dan
tidak abadi. Karena itu, bagaimana manusia menjadi Tuhan, ketika manusia
berubah, sedangkan Tuhan tidak.
b. Jika Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan sebagaimana
dinyatakan oleh panteisme, tidak ada konsep kejahatan atau tidak ada
kemutlakan kejahatan dan kebaikan.
Kritik terhadap panteisme di atas berasal dari para agamawan karena panteisme
tidak memperhatikan moral dan mu’jizat. Dalam agama Kristen, Islam dan
Yahudi kedudukan moral amad signifikan karena moral itulah yang menentukan
nasib manusia dikemudian hari nanti. Tanpa ada kejelasan antara yang baik dan
tidak baik, maka akhirat tidak maknanya. Kalau akherat tidak bermakna, tentu
tujuan hidup orang-orang agama sama dengan kaum materialis.
Panenteisme
Panenteisme, berasal dari kata pan-en-teisme (segala sesuatu ada didalam
Tuhan). K. C. F. Krause (perumus istilah ini), mengatakan bahwa dunia tidak
dicampuradukkan dengan Tuhan, namun tidak pula dipisahkan. Dunia
merupakan ungkapan empiris Tuhan yang berada didalam segala hal yang
imanen dan sekaligus transenden.
Panenteisme nampak mirip dengan panteisme, tetapi berbeda dalam
konsepsinya tentang Tuhan. Panteisme menyatakan semua adalah Tuhan,
tetapi panenteisme menyatakan bahwa semua dalam tubuh Tuhan.
Ada beberapa kelainan antara teisme dan penenteisme. Dalam teisme Tuhan
adalah pencipta dari tidak ada, berkuasa atas alam, tidak terganting pada alam,
tidak berubah, maha sempurna, dan tidak terbatas. Sedangkan dalam
penenteisme adalah Tuhan pengatur dari materi yang sudah ada, bekerja sama
dengan alam, tergantung pada alam, berubah, menuju kesempurnaan. Selain itu
masih ada perbedaannya antara paham teisme dan panenteisme.
Teisme berpandangan bahwa hubungan Tuhan dengan dunia bagaikan pelukis
dengan lukisannya. Pelukis tidak tergantung pada lukisannya. Namun,
pikirannya diungkapkan dalam luksan tersebut, sebab pikiran itulah yang
mewujudkan lukisan. Tetapi, panenteisme memandang hubungan Tuhan dan
alam sama dengan pikiran berhubungan dengan tubuh. Tetapi, panenteisme
menganggap “tubuh” (alam) Tuhan adalah satu kutub dan”akal” (yang diluar
alam)-Nya adalah kutub yang lain. Pendapat ini selaras dengan para pemikir
modern yang menyatakan bahwa dari akal tergantung pada otak, begitu juga
dalam penenteisme meyakini bahwa tuhan tergantung pada alam dan alampun
tergantung pada tuhan.
Panenteisme lebih menekankan Tuhan pada aspek terbatas, berubah, mengatur
alam, dan bekerja sama dengan alam untuk mencapai kesempurnaan ketimbang,
memandang Tuhan sebagai Zat yang tidak terbatas, menguasai alam, dan tidak
berubah. Namun pada dasarnya, panenteisme setuju bahwa Tuhan terdiri atas
dua kutup. Kutup potensi, yakni Tuhan yang abadi, tidak berubah, dan
transenden, dan kutup aktual, yaitu Tuhan yang berubah, tidak abadi dan
imanen.
Sebagaimana aliran-aliran teisme, deisme, panteisme, dan panenteismepun telah
menyumbangkan pemikiran yang konstruktif terhadap pemikiran keagamaan
antara lain:
a. Panenteisme dianggap memberi sumbangan konstruktif dalam
pemikiran keagamaan dalam memahami realitas secara holistik dan tidak
parsial. Panenteisme menganggap bahwa pendekat parsial tentang realitas
tidak memadai. Sebaliknya, panenteisme telah mengembangkan suatu
pandangan rasional tentang keseluruhan yang ada.
b. Panenteisme berhasil menjelaskan koneksitas Tuhan dan alam secara
radikal tanpa menghacurkan salah satunya, sebagaimana dalam pantaisme.
Tuhan berada dalam alam, tetapi alam di anggap tidak ada hanya maya.
Sebagaimana aliran teisme, disme, dan panteisme, panenteisme juga tidak luput
dari kelemahan dan kritik seperti sebagai berikut:
a. Ide tentang satu Tuhan yang sekaligus terbatas dan tidak terbatas,
mungkin dan tidak mungkin, apsolut dan relatif adalah suatu
kerancuan berpikir.
Kontradiksi muncul ketika hal yang berlawanan terwujud dalam zat yang
sama, waktu yang sama dan cara yang sama.
b. Panenteisme mengadapi suatu problem. Panenteisme meyakini Tuhan
meliputi keseluruhan jakat raya dalam waktu yang sama. Namun,
panenteisme juga meyakini Tuhan terbatas dalam watu dan ruang. Sesuatu
yang terbatas oleh waktu dan ruang tidak mampu berfikir, mengetahui dan
melebihi kecepatan cahaya. Karena jaka raya terlalu luas, maka seseorang
yang akan mengelilingya perlu masa bertahu-tahun dengan kecepatan
186.000 mill perdetik oleh sebab itu, mustahil Tuhan yang terbatas
oleh waktu dan ruang mampu meliputi semua jakat raya.
Menurut Amsal Bakhtiar konsepsi ketuhanan teisme, deisme, dan penenteisme
tidak ada yang benar-benar memuaskan para agamawan dan para filosof.
Deisme mengakui adanya Tuhan, tetapi Tuhan yang transenden sebaliknya,
penteisme mengakui juga adanya Tuhan, tetapi Tuhan yang imenen saja.
Teisme dan penenteisme kelihatan ingin menawarkan jalan tengah, yaitu
Tuhan yang transenden dan sekaligus imanen. Teisme berpendapat bahwa
Tuhan tidak terjangkau oleh pengetahuan manusia dan Dia pencipta alam, tetapi
setelah penciptaan, Tuhan tetap memelihara hasil ciptaan-Nya.
Tuhan, menurut teisme, tidak seperti tukang jam, tetapi seperti tukang kebun,
yang selalu memelihara kebunnya. Berbeda halnya dengan penenteisme,
tuhan terdiri atas dua kutup yakni kutup tidak terbatas dan kutup terbatas. Kutup
tidak terbatas jauh dari alam, sedangkan kutup terbatas tergantung pada alam
yang terbatas dan alam yang mutlak tergantung pada alam yan terbatas
tidak dapat diterima. Sebaliknya, bagi penenteisme, Tuhan yang tidak
terbatas tidak mungkin mengatur dunia yang terbatas.
Ketidak puasan para agamawan dan filosof di atas adalah wajar karena hal itu
permainan semantik dan kategori-kategori akal. Selain hal tersebut, ruang
metafisika terbuka untuk mengadakan spekulasi sebanyak mungkin dan
sedalam-dalamnya. Menurut agamawan, penjelasan yang sangat memuaskan
tentang Tuhan bukan berasal dari rasio, tetapi dari wahyu. Wahyulah yang
mendatangkan kejelasan tentang Tuhan. Akal sekedar sebagai alat bantu untuk
menginterpretasikan wahyu tersebut, bukan sebagai sumber utama.