Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Orchitis merupakan reaksi inflamasi akut dari testis sekunder terhadap infeksi. Sebagian besar

kasus berhubungan dengan infeksi virus gondong, namun virus lain dan bakteri dapat

menyebabkan orchitis.

Orchitis adalah reaksi inflamasi akut pada testis akibat sekunder dari infeksi(Emedicine, 2010).

Insidensi orchitis umumnya ditemukan pada pria prepubertas terutama pasien yang mengalami

penyakit gondong. Bakteri yang menyebabkan orchitis antara lain Neisseria gonorrhoeae,

Chlamydia trachomatis, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa,

Staphylococcus, Sterptococcus, bakteri tersebut biasanya menyebar dari epididimitis terkait dalam

seksual pria aktif atau laki-laki dengan BPH (Benigna Prostat Hipertrofi).

Untuk menegakkan diagnosis orchitis diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik.

Pemeriksaan penunjang tidak terlalu membantu untuk menegakkan diagnosis orchitis. USG dapat

membantu menyingkirkan diagnosis lainnya seperti torsio testis.

Penatalaksanaan dari orchitis terutama bersifat suportif karena biasanya sebagian besar pasien

orchitis akan kambuh spontan dalam 3-10 hari, kecuali bila penyebabnya bakteri perlu diberikan

antibiotik.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari Orchitis?

2. Bagaimana klasifikasi dari Orchitis?

3. Bagaimana epidemiologi dari Orchitis?

4. Apa faktor resiko dari Orchitis?

5. Apa etiologi dari Orchitis?

6. Bagimana patofisiologi dari Orchitis?

7. Apa tanda dan gejala dari Orchitis?


8. Apa komplikasi dari Orchitis?

9. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari Orchitis?

10. Bagaimana manajemen asuhan keperawatan dari Orchitis?

11. Bagaimana konsep asuhan keperawatan klien dengan Orchitis?

C. Tujuan

1. Mahasiswa dapat memahami definisi dari Orchitis

2. Mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi dari Orchitis

3. Mahasiswa dapat mengetahui epidemiologi dari Orchitis

4. Mahasiswa dapat menjelaskan faktor resiko dari Orchitis

5. Mahasiswa dapat menjelaskan etiologi dari Orchitis

6. Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi dari Orchitis

7. Mahasiswa dapat menjelaskan tanda dan gejala dari Orchitis

8. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari Orchitis

9. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan diagnostik dari Orchitis

10. Mahasiswa dapat menjelaskan manajemen asuhan keperawatan dari Orchitis

11. Mahasiswa dapat mengetahui konsep asuhan keperawatan pasien dengan Orchitis
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Definisi

Orchitis adalah suatu inflamasi testis (kongesti testikular), biasanya disebabkan oleh faktor-faktor

piogenik, virus, spiroseta, parasit, traumatis, kimia atau faktor yag tidak diketahui ( Smeltzer,

2007).

Orchitis adalah peradangan testis yang jika bersama dengan epididimitis menjadi epididimoorkitis

dan merupakan komplikasi yang serius dari epididimitis (Price, 2007).

Orchitis merupakan peradangan satu atau kedua testis, ditandai dengan pembengkakan dan nyeri.

Keadaan ini sering disebabkan oleh parotitis, sifilis, atau tuberculosis (Hartanto, 2008).

B. Klasifikasi

Menurut Price, 2008 infeksi testis diklasifikasikan sebagai:

1. Orchitis viral

2. Orchitis bacterial piogenik atau orchitis granulomatosa

C. Epidemiologi

Epidimologi menurut Ulfiyah, 2012 adalah:

1. Kejadian diperkirakan 1 diantara 1.000 laki-laki

2. Dalam orchitis gondong, 4 dari 5 kasus terjadi pada laki-laki prepubertal (lebih muda dari 10

tahun)

3. Dalam orchitis bakteri, sebagian besar kasus berhubungan dengan epididimitis (epididimo-

orchitis), dan mereka terjadi pada laki-laki yang aktif secara seksual lebih tua dari 15 tahun

atau pada pria lebih tua dari 50 tahun dengan hipertrofi prostat jinak (BPH).

4. Di Amerika Serikat sekitar 20% dari pasien prepubertal dengan gondong berkembang

orchitis. Kondisi ini jarang terjadi pada laki-laki postpubertal dengan gondong.

D. Faktor Resiko
Menurut Ulfiyah, 2012 faktor resiko pada orchitis ada dua yaitu:

 Faktor resiko untuk orchitis yang tidak berhubungan dengan penyakit menular seksual adalah

a) Imunisasi gondongan yang tidak adekuat

b) Usia lanjut (lebih dari 45 tahun)

c) Infeksi saluran berkemih berulang

d) Kelainan saluran kemih

 Faktor resiko untuk orkitis yang berhubungan dengan penyakit menular seksual adalah:

a) Berganti-ganti pasangan

b) Riwayat penyakit menular seksual pada pasangan

c) Riwayat gonore atau penyakit menular seksual lainnya

E. Etiologi

Penyebab orchitis bisa piogenik bakteria, gonokokokus, basil tuberkal, atau virus seperti

paramiksovirus, penyebab dari gondongan (parotitis). Sekitar 20% dari orchitis timbul sebagai

komplikasi dari gondongan (parotitis) setelah pubertas (Baradero, 2007).

Menurut Price virus adalah penyebab orchitis yang paling sering. Orchitis parotiditis adalah

infeksi virus yang paling sering terlihat, walaupun imunisasi untuk mencegah parotiditis pada

masa anak-anak telah menurunkan insiden. 20-30% kasus parotiditis pada orang dewasa terjadi

bersamaan dengan orchitis, terjadi bilateral pada sekitar 15% pria dengan orkitis parotiditis. Pada

laki-laki pubertas atau dewasa, biasanya terdapat kerusakan tubulus seminiferus dengan resiko

infertilitas, dan pada beberapa kasus, terdapat kerusakan sel-sel leydig yang mengakibatkan

hipogonadisme difesiensi testosterone. Orchitis paroditisis jarang terjadi pada laki-laki

prapubertas, namun bila ada, dapat diharapkan kesembuhan yang sempurna tanpa disfungsi

testiskular sesudahnya. Virus lain yang dapat menyababkan orchitis dan memberikan gambaran

klinis yang sama adalah : virus Coxsakie B, Varisela, dan mononukleosis.

Orchitis bakterial piogenik disebabkan oleh bakteri (Escherichia coli, Klebsiella pneumonia,

Pseudmonas aeruginosa) dan infeksi parasitik (malaria, filariasis, skistosomiasis, amebiasis) atau
kadang-kadang infeksi riketsia yang ditularkan pada epididimitis. Seseorang dengan orchitis

parotiditis terlihat sakit akut dengan demam tinggi, edema, peradangan hidrokel akut, dan

terdapat nyeri skrotum yang menyebar ke kanalisis inguinalis. Komplikasinya termasuk infark

testis, abses, dan terdapatnya pus dalam skrotum.

Orchitis granulomaktosa dapat disebabkan oleh sifilis, penyakit mikrobakterial, aktinomikosis,

penyakit jamur, mycobacterium tuberculosis, dan mycobacterium leprae. Infeksi dapat menyebar

melalui funikulus spermatikus menuju testis. Penyebaran selanjutnya melibatkan epididimis dan

testis, kandung kemih, dan ginjal.

F. Patofisiologi

Kebanyakan penyebab orchitis pada laki-laki yang sudah puber adalah gondongan (mumps),

dimana manifestasinya biasanya muncul mendadak dalam 3 sampai 4 hari setelah pembengkakan

kelenjar parotis. Virus parotitis juga dapat mengakibatkan orchitis sekitar 15 % – 20% pria 

menderita orchitis akut bersamaan dengan parotitis. Anak laki-laki pra pubertas dengan orchitis

parotitika dapat diharapkan untuk sembuh tanpa disertai disfungsi testis. Pada pria dewasa atau

pubertas, biasanya terjadi kerusakan tubulus seminiferus dan pada beberapa kasus merusak sel-sel

leydig, sehingga terjadi hipogonadisme akibat defisiensi testosteron. Ada resiko infertilitas yang

bermakna pada pria dewasa dengan orchitis parotitika. Tuberkukosis genitalia yang menyebar

melalui darah biasanya berawal unilateral pada kutub bawah epididimis. Dapat terbentuk nodula-

nodula yang kemudian mengalami ulserasi melalui kulit. Infeksi dapat menyebar melalui

fenikulus spermatikus menuju testis. Penyebaran lebih lanjut terjadi pada epididimis dan testis

kontralateral, kandung kemih, dan ginjal. (Price, 2008)

G. Tanda dan gejala

Menurut Price, 2008 tanda dan gejala orchitis berkisar dari ketidaknyamanan ringan pada

testikular dan edema hingga nyeri testicular yang parah dan terbentuknya edema dalam waktu

sekitar 4 hingga 6 hari setelah awitan penyakit dengan demam tinggi, mual, dan muntah.

Gejala yang dirasakan meliputi nyeri pada testis hingga ke pangkal paha, pembengkakan dan

kemerahan pada testis, menggigil, dan demam yang dapat bilateral atau unilateral, mual, muntah,

nyeri saat buang air kecil dan nyeri saat hubungan seksual, darah pada semen. Keadaan ini dapat
berakibat steril atau impotensi. Terapi terhadap inflamasi ini dengan istirahat di tempat tidur,

kompres panas atau hangat, dan antibiotik (bila perlu).

H. Komplikasi

Menurut Price, 2008 komplikasi dari orchitis dapat berupa:

1. Testis yang mengecil (Atrofi)

2. Abses (Nanah) pada kantong testis

3. Infertilitas (Sulit memiliki keturunan), terutama jika orkhitis terjadi pada kedua testis.

4. Kemandulan jarang dalam kasus-kasus orchitis unilateral.

5. Hidrokel communican atau pyocele mungkin memerlukan drainase bedah untuk

mengurangi tekanan dari tunika.

6. Infark testis

7. Rekurensi

8. Epididimitis kronis

9. Impotensi tidak umum setelah epididimitis akut, walaupun kejadian sebenarnya yang

didokumentsikan tidak diketahui. Gangguan dalam kualitas sperma biasanya hanya

sementara.

I. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostic pada pasien orchitis:

1. Pemeriksaan urin kultur

2. Urethral smear (tes penyaringan untuk klamidia dan gonorhoe)

3. Pemeriksaan darah CBC (complete blood count)

4. Dopller ultrasound, untuk mengetahui kondisi testis, menentukan diagnosa dan

mendeteksi adanya abses pada skrotum.

5. Testicular scan

6. Analisa air kemih

7. Pemeriksaan kimia darah


J. Manajemen asuhan keperawatan

Menurut Baradero manajemen asuhan keperawatan pada orchitis ada dua:

 Kolaboratif

Pria dewasa atau anak pasca-pubertas perlu diberi gamma globulin apabila ada kemungkinan

kontak dengan penderita gondongan kecuali apabila ia pernah mengalami gondongan atau

sudah menerima vaksin untuk gondongan. Apabila ada keraguan, gamma globulin harus

diberikan. Gamma globulin tidak akan mencegah gondongan tetapi bisa membuat serangan

gondongan menjadi lebih ringan dan komplikasi dapat dicegah.

Apabila ada hidrokel, cairan bisa diaspirasi untuk mengurangi tekanan pada testis. Antibiotika

spektrum luas dapat diberikan. Obat anti-inflamasi nonsteroid dapat diberikan untuk

mengurangi pembengkaakan dan rasa nyeri.

 Mandiri

Penyuluhan pasien, fokus dari pendidikan kesehatan adalah mengurangi rasa nyeri,

pembengkakan, dan gejala sistemis. Selama ada pembengkakan scrotum, pasien diberi tirah

baring, dan scrotum dapat ditinggikan dengan handuk.


BAB III

TINJAUAN TEORI

I. Konsep Kebutuhan Eliminasi Urin


Kebutuhan eliminasi terdiri atas dua, yaitu eliminasi urin (buang air kecil) dan eliminasi
alvi/fekal (buang air besar), yang merupakan bagian dari kebutuhan fisiologi dan bertujuan
untuk mengeluarkan bahan sisa.
1.1. Definisi eliminasi urin
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sia metabolisme tubuh baik yang urin
maupun fekal. Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan sebagai hasil filtrasi
dari plasma darah di glomelurus. Dari 180 liter darah yang masuk ke ginjal untuk di
filterisasi, hanya 1-2 liter saja yang dapat berupa urin sebagian besar hasil filterisasi
akan diserap kembali ditubulus ginjal untuk di manfaatkan oleh tubuh. Pola fungsi
perkemihan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan eliminasi tingkat kebutuhan.
1.2. Fisiologi Eliminasi Urin
Ginjal Eliminasi urin tergantung kepada fungsi ginjal, ureter, kandung kemih dan
uretra. Ginjal menyaring produk limbah dari darah untuk membentuk urin. Ureter
mentranspor urin dari ginjal ke kandung kemih. Kandung kemih menyimpan urin
sampai timbul keinginan untuk berkemih. Urin keluar dari tubuh melalui uretra. Semua
organ sistem perkemihan harus utuh dan berfungsi supaya urin berhasil dikeluarkan
dengan baik.
a. Ginjal
Ginjal merupakan organ retroperitoneal (dibelakang selaput perut), terdiri atas
ginjal sebelah kanan dan kiri tulang punggung. Ginjal berperan sebagai pengatur
komposisi dan volume cairan dalam tubuh serta penyaring darah untuk dibuang
dalam bentuk urin sebagai zat sisa yang tidak diperlukan oleh tubuhdan
menahannya agar tidak bercampur dengan zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh.
Pada bagian ginjal terdapat nefron (berjumlah kurang lebih satu juta) yang
merupakan unit dari struktur ginjal. Melalui nefron, urin disalurkan ke dalam
bagian pelvis ginjal, kemudian, kemudian di salurkan melalui ureter ke kandung
kemih.

b. Ureter
Urin meninggalkan tubulus dan memasuki duktus pengumpul yang akan
mentranspor urin ke pelvis renalis. Sebuah ureter bergabung dengan setiap pelvis
renalis sebagai rute keluar pertama pembuangan urin. Ureter merupakan struktur
tubular yang memiliki panjang 25 sampai 30 cm dan berdiameter 1,25 cm pada
orang dewasa. Ureter membentang pada posisi reltroperitonrum untuk memasuki
kandung kemih di dalam rongga panggul (pelvis) pada sambungan
ureterovessikalis. urin yang keluar dari ureter ke kandung kemih umumnya steril.
Dinding ureter dibentuk dari tiga lapis jaringan bagian dalam merupakan
membrane mukosa yang berlanjut sampai lapisan pelvis renalis dan kandung
kemih. Lapisan tengah terdiri dari serabut otot polos yang mentranspor urin
dengan gerakan peristaltis yang distimulasi oleh distensi urin di kandung kemih.
Lapisan luar ureter adalah jaringan penyambung fibrosa yang menyokong ureter.
Gerakan peristalsis menyebabkan urin masuk ke dalam kandung kemih dalam
bentuk semburan, bukan dalam bentuk aliran yang tepat. Ureter masuk ke dalam
dinding posterior kandung kemih degan posisi miring. Pengaturan ini dalam
kondisi normal mencegah refluks urin dari kandung kemih ke dalam ureter
selama mikturisi (proses berkemih) dengan menekan ureter pada sambungan
ureterovesikalis (sambungan ureter dengan kandung kemih). Adanyanya
obstruksi di dalam salah satu ureter, seperti batu ginjal (kalkulus renalis),
menimbulkan gerakan peristaltis yang kuat ini menimbulkan nyeri yang sering
disebut sebagai kolik ginjal.
c. Kandung kemih
Kandung kemih (buli-buli – bladder) merupakan sebuah kantong yang terdiri
atas otot halus, berfungsi menanmpung urin. Dalam kandung kemih terdapat
beberapa lapisan jaringan otot yang paling dlam, memanjang ditengah, dan
melingkar yang disebut sebagai detrusor, berfungsi untuk mengeluarkan urin bila
terjadi kontraksi. Pada dasar kandung kemih terdapat lapisan tengah jaringan otot
berbentuk lingkaran bagian dalam atau disebut sebagai otot lingkar yang
berfungsi menjaga saluran antara kandung kemih dan uretra, sehingga uretra
dapat menyalurkan urin dari kandung kemih ke luar tubuh.
Penyaluran rangsangan ke kandung kemih dan rangsangan motoris ke otot
lingkar bagian dalam diatur oleh sistem simpatis. Akibat dari rangsangan ini, otot
lingkar menjadi kendor dan terjadi kontraksi sfingter bagian dalam sehingga urin
tetap tinggal dalam kandung kemih. Sistem parasimpatis menyalurkan
rangsangan motoris kandung kemih dan rangsangan penghalang ke bagian dalam
otot lingkar. Rangsangan ini dapat menyebabkan terjadinya kontraksi otot
destrusor dan kendurnya sfingter.
d. Uretra
Uretra merupakan organ yang berfungsi menyalurkan urin ke bagian luar.
Fungsi uretra pada wanita berbeda dengan yang terdapat pada pria. Pada pria,
uretra digunakan sebagai tempat pengaliran urin dan sistem reproduksi,
berukuran panjang 13,7 – 16,2 cm, dan terdiri atas tiga bagian, yaitu prostat,
selaput (membrane) dan bagian yang berongga (ruang). Pada wanita, uretra
memiliki panjang 3,7 – 6,2 cm dan hanya berfungsi sebagai tempat menyalurkan
urin ke bagian luar tubuh.
Saluran perkemihan dilapisi oleh membrane mukosa, dimulai dari meatus
uretra hingga ginjal. Meskipun mikroorganisme secara normal tidak ada yang
bisa melewati uretra bagian bawah, membrane mukosa ini pada keadaan
patologis yang terus-menerus akan menjadikannya media yang baik untuk
pertumbuhan beberapa patogen.
e. Proses berkemih
Berkemih (mictio, mycturition,voiding atau urination) adalah proses
pengosongan vesika urinaria (kandung kemih). Proses ini di mulai dengan
terkumpulnya urin dalam vesika urinaria yang merangsang saraf-saraf sensorik
dalam dinding vesika urinaria (dalam bagian reseptor). Vesika urinaria dapat
menimbulkan ransangan saraf bila berisi kurang lebih 250-450 cc (pada orang
dewasa) dan 200-250 cc (pada anak-anak).
Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi urine yang dapat
menimbulkan rangsangan, melalui medulla spinalis dihantarkan ke pusat
pengontrol berkemih yang terdapat dikorteks serebral, kemudian otak
memberikan impuls atau rangsangan melalui medulla spinalis ke neuromotoris di
daerah sakral, serta terjadi koneksasi oto detrusor dan relaksasi otot sfingter
internal.
Komposisi urin
1. air (96%).
2. Larutaan (4%).
a. Larutan organik : Urea, ammonia, kreatinin, dan uric acid.
b. Larutan anorganik : Natrium (stodium), klorida, kalium (potassium),
sulfat, magnesium, dan fosfor. Natrium klorida merupakan garam
anorganik yang paling banyak.
1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urin
1. Diet dan asupan
Jumlah dan tipe makanan merupakan factor utama yang mempengaruhi output atau
jumlah urin. Protein dan natrium dapat menentukan jumlah urin yang dibentuk.
Selain itu, kopi juga dapat meningkatkan pembentukan urin.
2. Respons keinginan awal untuk berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat menyebabkan urin
banyak bertahan di dalam vesika urinaria sehingga mempengaruhi ukuran vesika
urinaria dan jumlah pengeluaran urin.
3. Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi,
dalam kaitannya dengan ketersedian fasilitas toilet.
4. Stress psikologis
Meningkatnya stress dapat mengakibatkan seringnya frekuensi keinginan berkemih.
Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih dan jumlah urin
yang diproduksi.
5. Tingkat aktivitas
Eliminasi urin membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi
sfingter. Hilangnya tonus otot vesika urinaria menyebabkan kemampuan
pengontrolan berkemih menurun dan kemampuan tonus otot didapatkan dengan
beraktivitas.
6. Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan dapat mempengaruhi pola berkemih. Hal
tersebut dapat ditemukan pada anak-anak, yang lebih memiliki kecenderungan
untuk mengalami kesulitan mengontrol buang air kecil. Namun dengan
bertambahnya usia, kemampuan untuk mengontrol buang air kecil meningkat.
7. Kondisi penyakit
Kondisi penyakit tertentu, seperti diabetes mellitus, dapat mempengaruhi produksi
urin.
8. Sosiokultural
Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urin, seperti adanya
kultur masyarakat yang melarang untuk buang air kecil ditempat tertentu.
9. Kebiasaan seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasan berkemih ditoilet dapat mengalami kesulitan
untuk berkemih dengan melalui urinal atau pot urin bila dalam keadaan sakit.
10. Tonus otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu proses berkemih adalah
kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam
kontraksi pengontrolan pengeluaran urin.
11. Pembedahan
Efek pembedahan dapat menurunkan filtrasi glomelurus yang dapat menyebabkan
penurunan jumlah produksi urin karena dampak dari pemberian obat anestesi.
12. Pengobatan
Efek pengobatan menyebabkan peningkatan atau penurunan jumlah urin. Misalnya,
pemberian diuretic dapat meningkatan jumlah urin, sedangkan pemberian obat
antikolinergik atau antihipertensi dapat menyebabkan retensi urin.
1.4. Masalah – masalah eliminasi urin
a. Sering berkemih : berkemih lebih sering dari biasanya tanpa peningkatan volume
urin secara total, tetapi sering kali disertai dengan penurunan volume urin pada
setiap kali berkemih.
b. Urgensi : keinginan atau sensasi perlu berkemih dengan segera.
c. Disuria : sensasi nyeri atau terbakar ketika berkemih (sebagian besar
dihubungkan dengan infeksi)
d. Nokturia : sering berkemih atau berkemih berulang kali selama malam hari.
e. Enuresia : berkemih secara involunter (tidak disengaja) ktu di tempat tidur.
f. Poliuria : peningkatan jumlah urin dari yang diperkirakan diekskresikan dalam
periode waktu tertentu
g. Supresi berkemih : penghentian atau hambatan berkemih
h. Oliguria : penurunan jumlah urin dari yang diperkirakan disekresikan dan
diekskresikan oleh individu (< 500mL)
i. Anurisia : tidak adanya urin yang disekresikan oleh ginjal (<100mL/hari).
j. Retensi urin : penumpukan urin dalam kandung kemih untuk pengosongan
kandung kemih dan ketidak mampuan kandung kemih untuk mengosongkan
kandung kemih. Penyebab distensi kandung kemih adalah urin yang terdapat
dalam kandung kemih melebihi 400 ml. normalnya 250-400ml
k. Inkontinensia urin : ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau
menetap untuk mengontrol ekskresi urin.

II. Rencana Asuhan Klien Dengan Gangguan Kebutuhan Eliminasi


2.1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan
Pada riwayat keperawatan, hal-hal yang harus dikaji, antara lain :
1) Pola berkemih
a) Frekuensi (beberapa kali/perhari)
b) Apakah frekuensi tersebut pernah berubah?
c) Apa penyebabnya?
2) Gejala dari perubahan berkemih
a) Apakah klien sebelumnya pernah mengalami gejala seperti ini?
b) Apa penyebabnya?
3) Faktor yang mempengaruhi berkemih
a) Apa yang mempengaruhi faktor berkemih ?
b) Deskripsi urin
c) Warna
d) Bau
e) Kejernihan
a. Pemeriksaan fisik : data fokus
1) Abdomen (dalam posisi terlentang)
a) Inspeksi : amati abdomen untuk melihat bentuknya, kesimetrisan, adanya
distensi atau gerak peristaltic
b) Auskultasi : dengarkan bising usus, perhatikan intensitas, frekuensi, dan
kualitasnya.
c) Perkusi : mengetahui adanya distensi berupa cairan, massa, atau udara.
Mulailah pada bagian kanan atas dan seterusnya.
d) Palpasi : mengetahui konsistensi abdomen serta adanya nyeri tekan atau
massa di permukaan abdomen
2) Genetalia wanita.
a) Inspeksi : amati daerah perineal untuk melihat adanya tanda – tanda
inplamasi nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, keadaan atropi jaringan
vagina.
3) Genetalia laki – laki
a) Inspeksi : amati untuk melihat adanya kebersihan, adanya lesi, tenderness.
b) Palpasi : rasakan adanya pembesaran skrotum
b. Pemiriksaan penunjang
1) Pemeriksaan labolatorium
a) Pemeriksaan urin
Hal yang dikaji adalah warna, kejernian, dan bau urin. Untuk melihat
kejanggalan dilakukan pemeriksaaan protein, glukosa dll.
b) Tes darah
Hal yang dikaji BUN, bersih kreatinin, nitrogen non protein, sistoskopi,
intravenous dan pyelogram.
2) Pemeriksaan diagnostic
a) Pyelogram intra vena
Memvisosialisasi duktus dan pelvis renalis serta memperlihatkan ureter,
kandung kemih dan uretra. Prosedur ini tidak bersifat invasive. Klien
perlu menerima injeksi pewarna radiopaq secara intravena.
b) Sitoure Terogram Pengosongan (volding cystoure terogram)
Pengisian kandung kemih dengan zat kontras melalui kateter. Di ambil foto
saluran kemih bagian bawah sebelum, selama dan sesudah mengosongkan
kandung kemih. Kegunaannya untuk mencari adanya kelainan uretra
(missal, stenosis) dan untuk menemukan apakah terdapat refleks
fesikoretra.
c) Ultra sonografi
Alat ini menggunakan gelombang suara yang tidak dapat di dengar,
berfrekuensi tinggi, yang memantul dari struktur jaringan.
2.2. Diagnosa Keperawatan
a. Retensi urin
Definisi : pengosongan kandung kemih tidak komplit
Batasan karakteristik :
 Tidak ada haluaran urin
 Distensi kandung kemih
 Menetes
 Disuria
 Sering berkemih
 Inkontinensia aliran berlebih
 Residu urin
 Sensasi kandung kemih penuh
 Bekemih sedikit

Faktor yang berhubungan :

 Sumbatan
 Tekanan ureter tinggi
 Inhibisi arkus refleks
 Sfingter kuat

Intervensi Rasional
Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan Meminimalkan retensi urin distensi berlebihan
tiba-tiba dirasakan. pada kandung kemih.
Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan
kekuatan. pilihan intervensi.
Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Retensi urin meningkat tekanan dalam saluran
Perhatikan penurunan haluaran urin dan perkemihan atas yang dapat mempengaruhi
perubahan berat jenis. fungsi ginjal. Adanya deficit aliran darah ke
ginjal mengganggu kemampuannya untuk
memfilter dan menkonsentrasikan substansi.
Perkusi/palpasi area suprapubik Distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea
suprapubik.

b. Inkontinensia urin
Definisi : kehilangan urin involunter pada interval yang dapat diprediksi ketika tercapai
volume kandung kemih tertentu.
Batasan karakteristik :
 Ketidakmampuan untuk mengahambat berkemih secara volunter
 Ketidakmampuan untuk memulai berkemih secara volunter
 Pengosongan tidak tuntas pada lesi diatas pusat mikturisi sacral
 Tidak ada sensasi penuhnya kandung kemih
 Tidak ada sensasi berkemih
 Pola berkemih yang dapat diprediksi
 Sensasi dorongan tanpa hambatan polunter kontraksi kandung kemih
 Sensasi yang dikaitkan dengan kandung kemih penuh

Tujuan/kriteria hasil :

Pasien akan :

 Tidak mengalami kerusakan kulit


 Menunjukan prosedur kateterisasi intermitten mandiri.

Intervensi Rasional
Kaji haluaran urin dan sistem kateter/drainase, Retensi dapat terjadi karena edema, area bedah,
khususnya selama irigasi kandung kemih. bekuan darah dan spasme kandung kemih.
Bantu pasien posisi normal untuk berkemih, Mendorong pasase urin dan meningkatkan rasa
contoh berdiri, berjalan ke kamar mandi, dengan normalitas.
frekuensi sering setelah kateter di lepas.
Dorong pasien untuk berkemih bila terasa Berkemih dengan dorongan mencegah retensi
dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per urin. Keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam
protocol. (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung
kemih dan membantu latihan ulang kandung
kemih.
Ukur volume residu bila ada kateter suprapubik. Mengawasi keefektifan pengosongan kandung
kemih. Residu lebih dari 50 ml menunjukan
perlunya kontinuitas kateter sampai tonus
kandung kemih membaik.
Intruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh Membantu meningkatkan control kandung
mengencangkan bokong, menghentikan dan kemih/sfingter urin, meminimalkan
memulai aliran urin. inkontinensia.

Pengkajian pada kebutuhan eliminasi urin meliputi :


1. Kebiasaan berkemih
Pengkajian ini meliputi bagaimana kebiasaan berkemih serta hambatannya.
Frekuensi berkemih bergantung pada kebiasaan dan kesempatan. Banyak orang
berkemih setiap hari pada waktu bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk
berkemih pada malam hari.
2. Pola berkemih meliputi
 Frekuensi berkemih
Frekuensi berkemih menentukan berapa kali individu berkemih dalam waktu 24
jam.
 Urgensi
Perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang sering ke toilet karena
takut mengalami inkontinensia jika tidak berkemih.
 Disuria
Keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih. Keadaan demikian dapat
ditemukan pada struktur uretra, infeksi saluran kemih, trauma pada vesika
urinaria, dan uretra.
 Poliuria
Keadaan produksi urin yang abnormal dalam jumlah besar tanpa adanya
peningkatan asupan cairan. Keadaan demikian dapat terjadi pada penyakit
diabetes mellitus, defisiensi ADH, dan penyakit ginjal kronis.
 Urinaria supresi
Keadaan produksi urin yang berhenti secara mendadak. Bila produksi kurang
dari 100 ml/hari dapat dikatakan sebagai anuria, tetapi bila produksinya antara
100-500 ml/hari dapat dikatakan sebagai oligouria. Kondisi demikian dapat
ditemukan pada penyakit ginjal, kegagalan jantung, luka bakar, dan renjatan
(syok). Secara normal, produksi urin oleh ginjal pada orang dewasa memiliki
kecepatan 60-120 ml/jam (720-1.440 ml/hari).

3. Volume urin
Volume urin menentukan berapa jumlah urin yang dikeluarkan dalam waktu 24
jam. Berdasarkan usia, volume urin normal dapat ditentukan sebagai berikut.

No. Usia Jumlah/Hari


1. 1-2 hari 15-60 ml
2. 3-10 hari 100-300 ml
3. 10-2 bulan 250-400 ml
4. 2 bulan - 1 tahun 400-500 ml
5. 1-3 tahun 500-600 ml
6. 3-5 tahun 600-700 ml
7. 5-8 tahun 700-1000 ml
8. 8-14 tahun 800-1400 ml
9. 14 tahun – Dewasa 1500 ml
10. Dewasa Tua ≤ 1500 ml

o Factor yang mempengaruhi kebiasaan buang air kecil adalah :


 Diet dan asupan (diet tinggi protein dan natrium) dapat mempengaruhi
jumlah urin yang dibentuk, sedangkan minum kopi dapat meningkatkan
jumlah urin.
 Gaya hidup.
 Stress psikologis dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih.
 Tingkat aktivitas.
o Keadaan urin, meliputi :

No. Keadaan Normal Interpretasi


1. Warna Kekuning-kuningan Urin berwarna oranye
gelap menunjukan
adanya pengaruh obat,
sedangkan warna
merah dan kuning
kecoklatan
mengindikasikan
adanya penyakit
2. Bau Aromatik Bau menyengat
merupakan indikasi
adanya masalah
seperti infeksi atau
penggunaan obat
tertentu
3. Berat Jenis 1,010 – 1,030 Menunjukan adanya
konsentrasi urin
4. Kejernihan Terang dan transparan Adanya kekeruhan
karena mukus atau
pus
5. pH Sedikit asam (4,5 - 7,5) Dapat menunjuakan
keseimbangan asam
basa : bila bersifat
alkali menunjukan
adanya aktivitas
bakteri
6. Protein Molekul protein yang besar Pada kondisi
seperti : albumin, fibrinogen, atau kerusakan ginjal,
globulin tidak dapat disaring molekul tersebut
melalui ginjal – urin dapat melewati
saringan masuk ke
urin
7. Darah Tak tampak jelas Hematuria
menunjukan trauma
atau penyakit pada
saluran kemih bagian
bawah
8. Glukosa Adanya sejumlah glukosa dalam Apabila menetap
urin tidak berarti bila hanya terjadi pada pasien
bersifat sementara, misalnya pada diabetes mellitus
seseorang yang makan gula
banyak

o Tanda klinis gangguan eliminasi urin seperti tanda retensi urin, inkontinensia uria,
enuresis, dan lain-lain.

BAB IV

KASUS

A. PENGKAJIAN

Tgl pengkajian : 27 april 2017 No register : 680. 896

Jam : 10:10 WIB Tgl MRS : 26 April 2017

Ruang / kelas : Teluk Jambe / II

I. IDENTITAS

1. Indentitas 2. Indentitas Penanggung Jawab

Nama : Tn. R Nama : Tn. K

Umur : 56 Tahun Umur : 30 Tahun

Jenis Kelamin : laki-laki jenis kelamin : laki-laki

Agama : Islam Agama : Islam

Pendidikan : SD Pekerjaan : Buruh

Pekerjaan : Buruh Alamat : Pangkalan

Gol darah :A Hub. dgn klien : Saudara

Alamat : Pangkalan

Diagnosa medis: Orchitis

II. Keluhan utama saat pengkajian

P : Klien kurang menjaga kebersihan celana dalam karena faktor pekerjaan dan klien

mempunyai riwayat ISK.

Q : Klien mengatakan nyeri nya seperti ditimpa beban berat.


R : Klien mengatakan nyeri nya menyebar ke selangkangan.

S : Klien mengatakan nyeri nya skala 6

T : Klien mengatakan nyeri nya mulai dari 2 bulan yang lalu.

III. Riwayat Kesehatan

1. Alasan masuk Rs : Klien mengatakan masuk Rs di karenakan nyeri pada bagian buah

zakar serta rujukan dari dokter.

2. Riwayat penyakit sekarang : Klien mengatakan muncul nyeri pada testis dan sakit pada

saat di sentuh dan nyeri nya menyebar keselangkangan, nyeri saat buang air kecil, serta

nyeri pada saat melakukan hubungan seksual.

3. Riwayat kesehatan lalu : klien mengatakan mempunyai riwayat ISK sejak 4 bulan

yang lalu.

4. Riwayat kesehatan keluarga : Klien mengatakan keluarga tidak menpunyai riwayat

penyakit tersebut.

IV. Riwayat pola pemeliharaan klien

ADL DI RUMAH DI RUMAH SAKIT

Pola pemenuhan kebutuhan Makan / minum Makan / minum

nutrisi dan cairan Jumlah : 1 porsi habis Jumlah : ½ porsi

Jenis : Jenis :

- Nasi : nasi putih - Nasi : nasi putih

biasa biasa

- Lauk : ikan pepes - Lauk : ayam rebus

- Sayur : sayur asem kuning

- Minum : air teh - Sayur : bening

tawar bayam jagung

- Air putih mineral.

Pola eliminasi
BAK : jumlah nya Sedikit-sedikit sering. Sedikit

Warna Kuning keruh Keruh ( kemerahan)

Bau Amoniak Amis

Masalah Adanya linu saat berkemih Nyeri saat berkemih

Cara mengatasi Minum yang banyak Minum air putih 1 hari 8

gelas

BAB : jumlahnya

Warna Kuning terang Kuning kecoklatan

Bau Khas Khas

Tidak terdapat konsistensi

Pola istirahat tidur

- Jumlah /waktu - Tidur nyenyak - Tidur hanya 2 jam

- Gangguan tidur selama 4 jam - Nyeri

- upaya mengatasi gangguan - Kaki dinaikan lebih - Berikan obat anti

tidur tinggi dari kepala nyeri

- hal-hal yang mempermudah - Saat kondisi - Saat di berikan terapi

tidur lingkungan sepi obat

- hal – hal yang - Berkemih pada - Saat merasakan

memepermudah bangun malam hari nyeri

Pola kebersihan diri

- Frekuensi mandi - Klien mandi sehari - Klien belum mandi

- Frekuensi mencuci 2x sudah 2 hari

rambut - Klien mencuci - Klien belum

- Frekuensi gosok gigi rambut seminggu 3x mencuci rambut

- Klien menggosok selama 4 hari

gigi sehari 2x - Klien belum

menggosok gigi
selam 2 hari.

Aktivitas lain yang diisi klien - Klien biasa ikut - Klien hanya bisa

ketika waktu luang pengajian di mesjid berdoa sambil

setelah salat magrib berbaring.

V. Riwayat Psikologi

a) Status emosi pasien

1) Perasaan klien tampak cemas dan sedikit meringis kesakitan pada saat klien

mengeluarkan urine

2) Tingkah laku klien yang menonjol saat kesakitan klien mudah marah.

3) Suasana yang membahagiakan untuk klien saat istri klien berada di samping

klien pada saat sakit maupun sehat.

b) Gaya komunikasi

1) Klien tampak hati – hati dalam bicara

2) Pola komunikasi klien lambat

3) Klien tidak menolak saat di ajak komunikasi

4) Komunikasi dengan klien jelas

5) Klien tidak menggunakan isyarat. Klien memiliki kepribadian yang terbuka.

c) Pola pertahanan

Klien megatasinya dengan cara melihat istrinya karena satu satu nya cara klien untuk

mengatasi mekanisme koping selalu dekat istri dan tidak mau jauh dengan istrinya.

d) Dampak di rawat di Rumah Sakit

Klien mengalami kesulitan bergerak karena di pasang selang kateter yang kurang

nyaman dan klien merasa cemas akan penyakitnya.

e) Kondisi emosi / Perasaan klien

1) Klien tampak sedih

2) Emosi klien sesuai dengan ekspresi wajah


VI. Riwayat sosial

1) Saat dilakukan pengkajian klien berespon hanya sedikit lambat.

2) Orang yang paling dekat dan dipercayai pasien adalah istrinya.

3) Klien tampak pasif dalam berinteraksi.

4) Klien selalu mengikuti kerja bakti setiap 1x se minggu.

VII. Riwayat spiritual

1) Pada saat di rumah sakit kebutuhan spiritual klien tidak terpenuhi.

2) Saat ini klien tampak merasa minder karena keterbatasan gerak yang di batasi karena

nyeri yang dialami.

3) Klien hanya bisa berdoa untuk kesembuhannya agar bisa melakukan kewajibannya.

VIII. Konsep diri

1) Klien memandang bahwa dirinya sudah tidak berguna.

2) Klien adalah seorang pekerja keras bagi keluarganya.

3) Hidung adalah anggota tubuh yang paling disukai klien .

4) Klien mengatakan pada saat sakit klien lemah dan tidak berguna

5) Klien tidak suka dengan keadaan yang serba dibatasi karena keterbatasan gerak yang

dikarenakan nyeri.

IX. Pola Seksual / reprosuksi

1) Klien merasa sakit pada saat berhubungan seksual

2) Penyakit yang di derita klien menyebabkan terganggunya fungsi seksual.

X. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum

Klien tampak lemas, tampak kotor tercium bau dikarenakan belum mandi selama 2

hari, pada bagian testis terlihat bengkak.

b. Kesadaran

Kesadaran composmentis
1. Pemeriksaan tanda – tanda vital

Klien mengatakan erakhir mengetahui TTV pada saat klien belum masuk RS :

Tekanan darah : 120/90 mmHg

Nadi : 80x/menit

Suhu : 38,5 ºC

RR : 26x/menit

Sesudah klien masuk RS di dapatkan hasil :

Tekanan darah : 120/90mmHg

Nadi : 66x/menit

Suhu : 38,5 ºC

RR : 24x/menit

2. Pemeriksaan Wajah

a. Mata

Mata simetris, kelopak mata ptosis, tidak terdapat peradangan, tidak terdapat

benjolan, bulu mata tidak rontok, konjungtiva anemis, warna iris hitam, miosis, pupil

isokor, warna kornea hitam.

b. Hidung

Inspeksi dan palpasi : tidak ada pemebngkokan area hidung, tidak ada perdarahan,

tidak ada kotoran, tidak ada pembengkakan, tidak ada pembesaran atau polip.

c. Mulut

Tidak ada kelainan, warna bibir pucat, tidak ada lesi, bibir tmpak pecah – pecah, gigi

terlihat ada caries terdapat kotoran, warna lidah putih, tidak ada perdarahan dan

abses.

d. Telinga

Bentuknya simetris, ukurannya sama besar, warna sawo matang, tidak ada lesi, tidak

ada nyeri tekan, tidak ada peradangan, terlihat penumpukan serumen, tidak ada

perdarahan dan tidak ada perforasi.


3. Pemeriksaan kepala dan leher

a. Kepala

o Inspeksi : bentuk kepala lonjong, simetris, tidak ada lesi, tidak ada luka

o Palpasi : tidak ada nyeri tekan.

b. Leher

o Inspeksi : bentuk leher simetris, tidak ada peradangan, tidak ada jaringan

parut, tidak ada perubahan warna, tidak ada massa.

o Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar limfe, tidak ada pembesaran kelenjar

tiroid, posisi trakea simetris, tidak ada pembesaran vena jugularis.

4. Pemeriksaan thorax / dada

a. Pemeriksaan paru

o Inspeksi :

1) Bentuk thorax normal, susunan tulang belakang lordosis

2) Bentuk dada simetris

3) Keadaan kulit lebih cerah dari kulit yang lain, tidak ada lesi.

4) Retraksi otot bantu pernafasan, tidak ada pernafasan cuping hidung.

5) Pola nafas eupnea

6) Tidak ada cianosis.

o Auskultasi :

1) Suara nafas area vesikuler halus

2) Suara ucapan terdengar bronkophioni

3) Suara nafas terdengar ronchi

b. Pemeriksaan jantung

o Inspeksi :

Tidak ada pelebaran ictus cardio


o Palpasi

dinding thorax teraba kuat

o Perkusi

Batas – batas jantung normal adalah :

Batas atas : ICS II

Batas bawah : ICS V

Batas kiri : ICS V Mid clavicula sinistra

Batas kanan : ICS IV Mid sternalis dextra

o Auskultasi

BJ I terdengar reguler

BJ II terdengar reguler

BJ III terdengar bunyi jantung tambahan

Tidak terdapat keluhan

c. Pemeriksaan abdomen

o Inspeksi

Bentuk abdomen adanya massa

o Auskultasi

Frekuensi peristaltik usus 25x/menit

o Palpasi

Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran hepar, tidak terdapat

benjolan.

o Perkusi

Tympani : tidak ada keluhan pada saat di perkusi.

d. Pemeriksaan genetalia dan rektal

1. Genetalia pria

o Inspeksi
Tidak terdapat rambut pubis (sudah di kerok oleh klien), tidak ada lesi,

terdapat benjolan pada testis, lubang uretra terpasang kateter.

o Palpasi

Skrotum klien takut untuk diraba terdapat benjolan pada kedua testis.

8. Pemeriksaan punggung dan tulang belakang

Tidak ada lesi pada kulit punggung, tidak terdapat kelainan bentuk tulang

belakang, tidak ada fraktur dan nyeri tekan.

9. Pemeriksaan ekstermitas / muskulo skeletal

o Inspeksi

Otot antar sisi kanan dan kiri simetris, tidak ada deformitas, tidak

terdapat fraktur.

o Palpasi

Terdapat odema pada tangan kekuatan otot tangan 4

10. Pemeriksaan pendengaran hidung / tenggorokan

o Uji webber : seimbang

o Uji rinne : hantaran sama besar

o Uji swabach : memendek

o Ketajaman bau : memakai kayu putih.

o Pemeriksaan tenggorokan

Tidak tedapat lesi, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada

pemebesaran trakeal, tidak ada nyeri tekan.

11. Pemeriksaan fungsi penglihatan

o Pemeriksaan visus dengan snallencart : 5/5

o Tanpa snallencart : penglihatan baik

o Pemeriksaan lapang pandang : normal

12. Pemeriksaan neurologi


a) Mengkaji tingklat kesadaran GCS

 Menilai dengan respon membuka mata :5

 Menilai dengan respon verbal : 5

 Menilai dengan respon motorik :4

 Kesadaran : composmetis

b) Memeriksa tanda rangsang otak

Peningkatan suhu tubuh, adanya mual muntah, tidak ada penurunan

kesdaran.

c) Memeriksa nervus

 Nervus I Olfaktori : pada saat diberikan kayu putih klien bisa

mencium kayu putih

 Nervus II : pada saat di visus penglihatan klien normal

 Nervus IV throclearis : miosis

 Nervus V trigeminus : somamotorik

 Nervus V I abdusen : refleks cahaya (normal)

 Nervus VII facialis : wajah simetris, ekspresi wajah sedih,

pengecpan normal.

 Nervus IX glosopharingeal : ada refleks muntah

 Nervus X vagus : fungsi somatomotorik normal, viseromotorik,

somatosensorik normal.

 Nervus XI : fungsi somamotorik normal, klien bisa mengikuti

apa yang di instruksikan.

 Nervus XII : gerakan lidah normal dan terkoordinasi dengan

baik.

d) Memeriksa fungsi motorik :

 Ukuran otot simetris


e) Memeriksa fungsi sensorik :

 Kepekaan terhadap benda tajam dan tumpul.

 Sensasi dingin panas : normal

f) Memberikan refleks kedalaman tendon

 Refleks fisiologis normal

 Refleks patologis normal

13. Pemeriksaan intelgumen

a. Kulit

1. Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada jaringan parut, warna kulit sawo matang

2. Palpasi : tekstur kasar, turgor kulit tidak elastis (edema), nyeri tekan pada

daerah ektermitas atas dan bawah.

3. Tidak terdapat luka atau lesi

14. Pemeriksaan penunjang

a. Radiologi : sedang USG Doppler ke Rumah Sakit Bayukarta

15. Terapi yang di berikan

no Hari/tgl Nama obat Dosis Cara manfaat

pemberian

1 Rabu 26 Keroprope 2x1 Intravena Untuk

april 2017 meredakan rasa

sakit

Paracetamol 3x1 Intravena Meredakan

sakit dan

menurunkan

demam
Nacl 0.9 % Infus Untuk

mengembalikan

keseimbangan

cairan dan

elektrolit

Cepeperazon 2x1 Intravena Untuk

mengobati

infeksi karena

bakteri

2. Kamis 27 Keropropen 2x1 Intravena Untuk

april 2017 meredakan rasa

sakit

Nacl 0,9 % Infus Untuk

mengembalikan

keseimbangan

cairan dan

elektrolit

Cepoperaazon 2x1 Intravena Mengobati

infeksi karena

bakteri

3 Jumat Sedang usg Di rs

doppller bayukarta
B. Analisa data

Data / symptoms Etiologi Masalah

Ds : klien mengeluh sakit Virus mumps Pembengkakan pada scrotum

poada buah zakar / skrotum dan nyeri pada saat

mengalami pembengkakan, Virus mononucleosis berkemih.

nyeri menjalar ke

selangkangan, dan nyeri saat Bakteri

berkemih, demam, mual,

muntah. Epididimitis

Do : terjadi pembengkakan

pada skrotum, konjungtiva ISK

anemis, terdapat oedema

pada ekstermitas atas dan Penurunan imunitas

ekstermitas bawah, Suhu

38,5ºC, nadi 80x/menit, RR Pembekakan scrotum

24x/menit

Orchitis
C. Diagnosa keperawatan proritas

1. Nyeri berhubungan dengan infeksi saluaran kemih

2. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan pada sistem urinaria

3. Gangguan pemenuhan kebutuhan seksual berhubungan dengan nyeri pada saat

berhubungan seksual

4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan, peran, fungsi

5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan stress psikologis.

D. Intervensi dan Implementasi

No Diagnosa Tujuan Intervensi Implementasi Evaluasi

1 Nyeri b.d infeksi S: untuk  Ulangin  Munculn  Pada

saluran kemih menghilangka rekaman ya saat

n rasa nyeri intraoperasi narkotik diber

M: /penyembu dimana ikan

menurunkan han tipe klien obat

skala nyeri anastesi dibius nyeri

A: nyeri klien dan dengan berku

berkurang medikasi flouthane rang

R : dalam yang dan untuk


waktu 1 jam diberikan ethrane seme

setelah sebelumny yang ntara

diberikan a tidak  Klien

terapi  Evaluasi memilik mam

T : setelah rasa sakit analgesik pu

selama 1 jam secara residual meng

di berikan regular,  Sediakan ungk

terapi klien catat informasi apka

tidak karakteristi mengenai n

mengeluh k neyeri kebutuha rasa

nyeri lokasi dan n atau nyeri

intesitas efektivita  Klien

skal nyeri s masi

 Berikan intervensi h

informasi  Pahami belu

ketidaknya penyebab m

manan ketidakny nyam

sesuai amanan n tapi

kebutuhan  Lepaskan klien

 Dorong tegangan mam

penggunaa emosiona pu

n teknik l dan meng

relaksaksi otot. atur

emos

ional.

2 Perubahan pola S:  Informasi  

eliminasi urine b.d mempertahank ini sangat


sistem urinaria an pola penting

eliminasi untuk

efektif renacana

M : menaikan keperawata

jumlah urine n

yang 

dikeluarkan

A: banyak nya

urine yang

dikeluarkan

diukur setiap

24 jam

R : setiap urine

yang diukur

setiap hari ada

peningkatan

T : dalam

waktu 3 hari
Daftar pustaka

Baradero, Mary Dkk. 2006. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan System Reproduksi & Seksualitas.

Jakarta: EGC

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan

Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai