PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Orchitis merupakan reaksi inflamasi akut dari testis sekunder terhadap infeksi. Sebagian besar
kasus berhubungan dengan infeksi virus gondong, namun virus lain dan bakteri dapat
menyebabkan orchitis.
Orchitis adalah reaksi inflamasi akut pada testis akibat sekunder dari infeksi(Emedicine, 2010).
Insidensi orchitis umumnya ditemukan pada pria prepubertas terutama pasien yang mengalami
penyakit gondong. Bakteri yang menyebabkan orchitis antara lain Neisseria gonorrhoeae,
Staphylococcus, Sterptococcus, bakteri tersebut biasanya menyebar dari epididimitis terkait dalam
seksual pria aktif atau laki-laki dengan BPH (Benigna Prostat Hipertrofi).
Untuk menegakkan diagnosis orchitis diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik.
Pemeriksaan penunjang tidak terlalu membantu untuk menegakkan diagnosis orchitis. USG dapat
Penatalaksanaan dari orchitis terutama bersifat suportif karena biasanya sebagian besar pasien
orchitis akan kambuh spontan dalam 3-10 hari, kecuali bila penyebabnya bakteri perlu diberikan
antibiotik.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
11. Mahasiswa dapat mengetahui konsep asuhan keperawatan pasien dengan Orchitis
BAB II
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Orchitis adalah suatu inflamasi testis (kongesti testikular), biasanya disebabkan oleh faktor-faktor
piogenik, virus, spiroseta, parasit, traumatis, kimia atau faktor yag tidak diketahui ( Smeltzer,
2007).
Orchitis adalah peradangan testis yang jika bersama dengan epididimitis menjadi epididimoorkitis
Orchitis merupakan peradangan satu atau kedua testis, ditandai dengan pembengkakan dan nyeri.
Keadaan ini sering disebabkan oleh parotitis, sifilis, atau tuberculosis (Hartanto, 2008).
B. Klasifikasi
1. Orchitis viral
C. Epidemiologi
2. Dalam orchitis gondong, 4 dari 5 kasus terjadi pada laki-laki prepubertal (lebih muda dari 10
tahun)
3. Dalam orchitis bakteri, sebagian besar kasus berhubungan dengan epididimitis (epididimo-
orchitis), dan mereka terjadi pada laki-laki yang aktif secara seksual lebih tua dari 15 tahun
atau pada pria lebih tua dari 50 tahun dengan hipertrofi prostat jinak (BPH).
4. Di Amerika Serikat sekitar 20% dari pasien prepubertal dengan gondong berkembang
orchitis. Kondisi ini jarang terjadi pada laki-laki postpubertal dengan gondong.
D. Faktor Resiko
Menurut Ulfiyah, 2012 faktor resiko pada orchitis ada dua yaitu:
Faktor resiko untuk orchitis yang tidak berhubungan dengan penyakit menular seksual adalah
Faktor resiko untuk orkitis yang berhubungan dengan penyakit menular seksual adalah:
a) Berganti-ganti pasangan
E. Etiologi
Penyebab orchitis bisa piogenik bakteria, gonokokokus, basil tuberkal, atau virus seperti
paramiksovirus, penyebab dari gondongan (parotitis). Sekitar 20% dari orchitis timbul sebagai
Menurut Price virus adalah penyebab orchitis yang paling sering. Orchitis parotiditis adalah
infeksi virus yang paling sering terlihat, walaupun imunisasi untuk mencegah parotiditis pada
masa anak-anak telah menurunkan insiden. 20-30% kasus parotiditis pada orang dewasa terjadi
bersamaan dengan orchitis, terjadi bilateral pada sekitar 15% pria dengan orkitis parotiditis. Pada
laki-laki pubertas atau dewasa, biasanya terdapat kerusakan tubulus seminiferus dengan resiko
infertilitas, dan pada beberapa kasus, terdapat kerusakan sel-sel leydig yang mengakibatkan
prapubertas, namun bila ada, dapat diharapkan kesembuhan yang sempurna tanpa disfungsi
testiskular sesudahnya. Virus lain yang dapat menyababkan orchitis dan memberikan gambaran
Orchitis bakterial piogenik disebabkan oleh bakteri (Escherichia coli, Klebsiella pneumonia,
Pseudmonas aeruginosa) dan infeksi parasitik (malaria, filariasis, skistosomiasis, amebiasis) atau
kadang-kadang infeksi riketsia yang ditularkan pada epididimitis. Seseorang dengan orchitis
parotiditis terlihat sakit akut dengan demam tinggi, edema, peradangan hidrokel akut, dan
terdapat nyeri skrotum yang menyebar ke kanalisis inguinalis. Komplikasinya termasuk infark
penyakit jamur, mycobacterium tuberculosis, dan mycobacterium leprae. Infeksi dapat menyebar
melalui funikulus spermatikus menuju testis. Penyebaran selanjutnya melibatkan epididimis dan
F. Patofisiologi
Kebanyakan penyebab orchitis pada laki-laki yang sudah puber adalah gondongan (mumps),
dimana manifestasinya biasanya muncul mendadak dalam 3 sampai 4 hari setelah pembengkakan
kelenjar parotis. Virus parotitis juga dapat mengakibatkan orchitis sekitar 15 % – 20% pria
menderita orchitis akut bersamaan dengan parotitis. Anak laki-laki pra pubertas dengan orchitis
parotitika dapat diharapkan untuk sembuh tanpa disertai disfungsi testis. Pada pria dewasa atau
pubertas, biasanya terjadi kerusakan tubulus seminiferus dan pada beberapa kasus merusak sel-sel
leydig, sehingga terjadi hipogonadisme akibat defisiensi testosteron. Ada resiko infertilitas yang
bermakna pada pria dewasa dengan orchitis parotitika. Tuberkukosis genitalia yang menyebar
melalui darah biasanya berawal unilateral pada kutub bawah epididimis. Dapat terbentuk nodula-
nodula yang kemudian mengalami ulserasi melalui kulit. Infeksi dapat menyebar melalui
fenikulus spermatikus menuju testis. Penyebaran lebih lanjut terjadi pada epididimis dan testis
Menurut Price, 2008 tanda dan gejala orchitis berkisar dari ketidaknyamanan ringan pada
testikular dan edema hingga nyeri testicular yang parah dan terbentuknya edema dalam waktu
sekitar 4 hingga 6 hari setelah awitan penyakit dengan demam tinggi, mual, dan muntah.
Gejala yang dirasakan meliputi nyeri pada testis hingga ke pangkal paha, pembengkakan dan
kemerahan pada testis, menggigil, dan demam yang dapat bilateral atau unilateral, mual, muntah,
nyeri saat buang air kecil dan nyeri saat hubungan seksual, darah pada semen. Keadaan ini dapat
berakibat steril atau impotensi. Terapi terhadap inflamasi ini dengan istirahat di tempat tidur,
H. Komplikasi
3. Infertilitas (Sulit memiliki keturunan), terutama jika orkhitis terjadi pada kedua testis.
6. Infark testis
7. Rekurensi
8. Epididimitis kronis
9. Impotensi tidak umum setelah epididimitis akut, walaupun kejadian sebenarnya yang
sementara.
I. Pemeriksaan Diagnostik
5. Testicular scan
Kolaboratif
Pria dewasa atau anak pasca-pubertas perlu diberi gamma globulin apabila ada kemungkinan
kontak dengan penderita gondongan kecuali apabila ia pernah mengalami gondongan atau
sudah menerima vaksin untuk gondongan. Apabila ada keraguan, gamma globulin harus
diberikan. Gamma globulin tidak akan mencegah gondongan tetapi bisa membuat serangan
Apabila ada hidrokel, cairan bisa diaspirasi untuk mengurangi tekanan pada testis. Antibiotika
spektrum luas dapat diberikan. Obat anti-inflamasi nonsteroid dapat diberikan untuk
Mandiri
Penyuluhan pasien, fokus dari pendidikan kesehatan adalah mengurangi rasa nyeri,
pembengkakan, dan gejala sistemis. Selama ada pembengkakan scrotum, pasien diberi tirah
TINJAUAN TEORI
b. Ureter
Urin meninggalkan tubulus dan memasuki duktus pengumpul yang akan
mentranspor urin ke pelvis renalis. Sebuah ureter bergabung dengan setiap pelvis
renalis sebagai rute keluar pertama pembuangan urin. Ureter merupakan struktur
tubular yang memiliki panjang 25 sampai 30 cm dan berdiameter 1,25 cm pada
orang dewasa. Ureter membentang pada posisi reltroperitonrum untuk memasuki
kandung kemih di dalam rongga panggul (pelvis) pada sambungan
ureterovessikalis. urin yang keluar dari ureter ke kandung kemih umumnya steril.
Dinding ureter dibentuk dari tiga lapis jaringan bagian dalam merupakan
membrane mukosa yang berlanjut sampai lapisan pelvis renalis dan kandung
kemih. Lapisan tengah terdiri dari serabut otot polos yang mentranspor urin
dengan gerakan peristaltis yang distimulasi oleh distensi urin di kandung kemih.
Lapisan luar ureter adalah jaringan penyambung fibrosa yang menyokong ureter.
Gerakan peristalsis menyebabkan urin masuk ke dalam kandung kemih dalam
bentuk semburan, bukan dalam bentuk aliran yang tepat. Ureter masuk ke dalam
dinding posterior kandung kemih degan posisi miring. Pengaturan ini dalam
kondisi normal mencegah refluks urin dari kandung kemih ke dalam ureter
selama mikturisi (proses berkemih) dengan menekan ureter pada sambungan
ureterovesikalis (sambungan ureter dengan kandung kemih). Adanyanya
obstruksi di dalam salah satu ureter, seperti batu ginjal (kalkulus renalis),
menimbulkan gerakan peristaltis yang kuat ini menimbulkan nyeri yang sering
disebut sebagai kolik ginjal.
c. Kandung kemih
Kandung kemih (buli-buli – bladder) merupakan sebuah kantong yang terdiri
atas otot halus, berfungsi menanmpung urin. Dalam kandung kemih terdapat
beberapa lapisan jaringan otot yang paling dlam, memanjang ditengah, dan
melingkar yang disebut sebagai detrusor, berfungsi untuk mengeluarkan urin bila
terjadi kontraksi. Pada dasar kandung kemih terdapat lapisan tengah jaringan otot
berbentuk lingkaran bagian dalam atau disebut sebagai otot lingkar yang
berfungsi menjaga saluran antara kandung kemih dan uretra, sehingga uretra
dapat menyalurkan urin dari kandung kemih ke luar tubuh.
Penyaluran rangsangan ke kandung kemih dan rangsangan motoris ke otot
lingkar bagian dalam diatur oleh sistem simpatis. Akibat dari rangsangan ini, otot
lingkar menjadi kendor dan terjadi kontraksi sfingter bagian dalam sehingga urin
tetap tinggal dalam kandung kemih. Sistem parasimpatis menyalurkan
rangsangan motoris kandung kemih dan rangsangan penghalang ke bagian dalam
otot lingkar. Rangsangan ini dapat menyebabkan terjadinya kontraksi otot
destrusor dan kendurnya sfingter.
d. Uretra
Uretra merupakan organ yang berfungsi menyalurkan urin ke bagian luar.
Fungsi uretra pada wanita berbeda dengan yang terdapat pada pria. Pada pria,
uretra digunakan sebagai tempat pengaliran urin dan sistem reproduksi,
berukuran panjang 13,7 – 16,2 cm, dan terdiri atas tiga bagian, yaitu prostat,
selaput (membrane) dan bagian yang berongga (ruang). Pada wanita, uretra
memiliki panjang 3,7 – 6,2 cm dan hanya berfungsi sebagai tempat menyalurkan
urin ke bagian luar tubuh.
Saluran perkemihan dilapisi oleh membrane mukosa, dimulai dari meatus
uretra hingga ginjal. Meskipun mikroorganisme secara normal tidak ada yang
bisa melewati uretra bagian bawah, membrane mukosa ini pada keadaan
patologis yang terus-menerus akan menjadikannya media yang baik untuk
pertumbuhan beberapa patogen.
e. Proses berkemih
Berkemih (mictio, mycturition,voiding atau urination) adalah proses
pengosongan vesika urinaria (kandung kemih). Proses ini di mulai dengan
terkumpulnya urin dalam vesika urinaria yang merangsang saraf-saraf sensorik
dalam dinding vesika urinaria (dalam bagian reseptor). Vesika urinaria dapat
menimbulkan ransangan saraf bila berisi kurang lebih 250-450 cc (pada orang
dewasa) dan 200-250 cc (pada anak-anak).
Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi urine yang dapat
menimbulkan rangsangan, melalui medulla spinalis dihantarkan ke pusat
pengontrol berkemih yang terdapat dikorteks serebral, kemudian otak
memberikan impuls atau rangsangan melalui medulla spinalis ke neuromotoris di
daerah sakral, serta terjadi koneksasi oto detrusor dan relaksasi otot sfingter
internal.
Komposisi urin
1. air (96%).
2. Larutaan (4%).
a. Larutan organik : Urea, ammonia, kreatinin, dan uric acid.
b. Larutan anorganik : Natrium (stodium), klorida, kalium (potassium),
sulfat, magnesium, dan fosfor. Natrium klorida merupakan garam
anorganik yang paling banyak.
1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urin
1. Diet dan asupan
Jumlah dan tipe makanan merupakan factor utama yang mempengaruhi output atau
jumlah urin. Protein dan natrium dapat menentukan jumlah urin yang dibentuk.
Selain itu, kopi juga dapat meningkatkan pembentukan urin.
2. Respons keinginan awal untuk berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat menyebabkan urin
banyak bertahan di dalam vesika urinaria sehingga mempengaruhi ukuran vesika
urinaria dan jumlah pengeluaran urin.
3. Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi,
dalam kaitannya dengan ketersedian fasilitas toilet.
4. Stress psikologis
Meningkatnya stress dapat mengakibatkan seringnya frekuensi keinginan berkemih.
Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih dan jumlah urin
yang diproduksi.
5. Tingkat aktivitas
Eliminasi urin membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi
sfingter. Hilangnya tonus otot vesika urinaria menyebabkan kemampuan
pengontrolan berkemih menurun dan kemampuan tonus otot didapatkan dengan
beraktivitas.
6. Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan dapat mempengaruhi pola berkemih. Hal
tersebut dapat ditemukan pada anak-anak, yang lebih memiliki kecenderungan
untuk mengalami kesulitan mengontrol buang air kecil. Namun dengan
bertambahnya usia, kemampuan untuk mengontrol buang air kecil meningkat.
7. Kondisi penyakit
Kondisi penyakit tertentu, seperti diabetes mellitus, dapat mempengaruhi produksi
urin.
8. Sosiokultural
Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urin, seperti adanya
kultur masyarakat yang melarang untuk buang air kecil ditempat tertentu.
9. Kebiasaan seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasan berkemih ditoilet dapat mengalami kesulitan
untuk berkemih dengan melalui urinal atau pot urin bila dalam keadaan sakit.
10. Tonus otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu proses berkemih adalah
kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam
kontraksi pengontrolan pengeluaran urin.
11. Pembedahan
Efek pembedahan dapat menurunkan filtrasi glomelurus yang dapat menyebabkan
penurunan jumlah produksi urin karena dampak dari pemberian obat anestesi.
12. Pengobatan
Efek pengobatan menyebabkan peningkatan atau penurunan jumlah urin. Misalnya,
pemberian diuretic dapat meningkatan jumlah urin, sedangkan pemberian obat
antikolinergik atau antihipertensi dapat menyebabkan retensi urin.
1.4. Masalah – masalah eliminasi urin
a. Sering berkemih : berkemih lebih sering dari biasanya tanpa peningkatan volume
urin secara total, tetapi sering kali disertai dengan penurunan volume urin pada
setiap kali berkemih.
b. Urgensi : keinginan atau sensasi perlu berkemih dengan segera.
c. Disuria : sensasi nyeri atau terbakar ketika berkemih (sebagian besar
dihubungkan dengan infeksi)
d. Nokturia : sering berkemih atau berkemih berulang kali selama malam hari.
e. Enuresia : berkemih secara involunter (tidak disengaja) ktu di tempat tidur.
f. Poliuria : peningkatan jumlah urin dari yang diperkirakan diekskresikan dalam
periode waktu tertentu
g. Supresi berkemih : penghentian atau hambatan berkemih
h. Oliguria : penurunan jumlah urin dari yang diperkirakan disekresikan dan
diekskresikan oleh individu (< 500mL)
i. Anurisia : tidak adanya urin yang disekresikan oleh ginjal (<100mL/hari).
j. Retensi urin : penumpukan urin dalam kandung kemih untuk pengosongan
kandung kemih dan ketidak mampuan kandung kemih untuk mengosongkan
kandung kemih. Penyebab distensi kandung kemih adalah urin yang terdapat
dalam kandung kemih melebihi 400 ml. normalnya 250-400ml
k. Inkontinensia urin : ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau
menetap untuk mengontrol ekskresi urin.
Sumbatan
Tekanan ureter tinggi
Inhibisi arkus refleks
Sfingter kuat
Intervensi Rasional
Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan Meminimalkan retensi urin distensi berlebihan
tiba-tiba dirasakan. pada kandung kemih.
Observasi aliran urin, perhatikan ukuran dan Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan
kekuatan. pilihan intervensi.
Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Retensi urin meningkat tekanan dalam saluran
Perhatikan penurunan haluaran urin dan perkemihan atas yang dapat mempengaruhi
perubahan berat jenis. fungsi ginjal. Adanya deficit aliran darah ke
ginjal mengganggu kemampuannya untuk
memfilter dan menkonsentrasikan substansi.
Perkusi/palpasi area suprapubik Distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea
suprapubik.
b. Inkontinensia urin
Definisi : kehilangan urin involunter pada interval yang dapat diprediksi ketika tercapai
volume kandung kemih tertentu.
Batasan karakteristik :
Ketidakmampuan untuk mengahambat berkemih secara volunter
Ketidakmampuan untuk memulai berkemih secara volunter
Pengosongan tidak tuntas pada lesi diatas pusat mikturisi sacral
Tidak ada sensasi penuhnya kandung kemih
Tidak ada sensasi berkemih
Pola berkemih yang dapat diprediksi
Sensasi dorongan tanpa hambatan polunter kontraksi kandung kemih
Sensasi yang dikaitkan dengan kandung kemih penuh
Tujuan/kriteria hasil :
Pasien akan :
Intervensi Rasional
Kaji haluaran urin dan sistem kateter/drainase, Retensi dapat terjadi karena edema, area bedah,
khususnya selama irigasi kandung kemih. bekuan darah dan spasme kandung kemih.
Bantu pasien posisi normal untuk berkemih, Mendorong pasase urin dan meningkatkan rasa
contoh berdiri, berjalan ke kamar mandi, dengan normalitas.
frekuensi sering setelah kateter di lepas.
Dorong pasien untuk berkemih bila terasa Berkemih dengan dorongan mencegah retensi
dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per urin. Keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam
protocol. (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung
kemih dan membantu latihan ulang kandung
kemih.
Ukur volume residu bila ada kateter suprapubik. Mengawasi keefektifan pengosongan kandung
kemih. Residu lebih dari 50 ml menunjukan
perlunya kontinuitas kateter sampai tonus
kandung kemih membaik.
Intruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh Membantu meningkatkan control kandung
mengencangkan bokong, menghentikan dan kemih/sfingter urin, meminimalkan
memulai aliran urin. inkontinensia.
3. Volume urin
Volume urin menentukan berapa jumlah urin yang dikeluarkan dalam waktu 24
jam. Berdasarkan usia, volume urin normal dapat ditentukan sebagai berikut.
o Tanda klinis gangguan eliminasi urin seperti tanda retensi urin, inkontinensia uria,
enuresis, dan lain-lain.
BAB IV
KASUS
A. PENGKAJIAN
I. IDENTITAS
Alamat : Pangkalan
P : Klien kurang menjaga kebersihan celana dalam karena faktor pekerjaan dan klien
1. Alasan masuk Rs : Klien mengatakan masuk Rs di karenakan nyeri pada bagian buah
2. Riwayat penyakit sekarang : Klien mengatakan muncul nyeri pada testis dan sakit pada
saat di sentuh dan nyeri nya menyebar keselangkangan, nyeri saat buang air kecil, serta
3. Riwayat kesehatan lalu : klien mengatakan mempunyai riwayat ISK sejak 4 bulan
yang lalu.
penyakit tersebut.
Jenis : Jenis :
biasa biasa
Pola eliminasi
BAK : jumlah nya Sedikit-sedikit sering. Sedikit
gelas
BAB : jumlahnya
menggosok gigi
selam 2 hari.
Aktivitas lain yang diisi klien - Klien biasa ikut - Klien hanya bisa
V. Riwayat Psikologi
1) Perasaan klien tampak cemas dan sedikit meringis kesakitan pada saat klien
mengeluarkan urine
2) Tingkah laku klien yang menonjol saat kesakitan klien mudah marah.
3) Suasana yang membahagiakan untuk klien saat istri klien berada di samping
b) Gaya komunikasi
c) Pola pertahanan
Klien megatasinya dengan cara melihat istrinya karena satu satu nya cara klien untuk
mengatasi mekanisme koping selalu dekat istri dan tidak mau jauh dengan istrinya.
Klien mengalami kesulitan bergerak karena di pasang selang kateter yang kurang
2) Saat ini klien tampak merasa minder karena keterbatasan gerak yang di batasi karena
3) Klien hanya bisa berdoa untuk kesembuhannya agar bisa melakukan kewajibannya.
4) Klien mengatakan pada saat sakit klien lemah dan tidak berguna
5) Klien tidak suka dengan keadaan yang serba dibatasi karena keterbatasan gerak yang
dikarenakan nyeri.
X. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Klien tampak lemas, tampak kotor tercium bau dikarenakan belum mandi selama 2
b. Kesadaran
Kesadaran composmentis
1. Pemeriksaan tanda – tanda vital
Klien mengatakan erakhir mengetahui TTV pada saat klien belum masuk RS :
Nadi : 80x/menit
Suhu : 38,5 ºC
RR : 26x/menit
Nadi : 66x/menit
Suhu : 38,5 ºC
RR : 24x/menit
2. Pemeriksaan Wajah
a. Mata
Mata simetris, kelopak mata ptosis, tidak terdapat peradangan, tidak terdapat
benjolan, bulu mata tidak rontok, konjungtiva anemis, warna iris hitam, miosis, pupil
b. Hidung
Inspeksi dan palpasi : tidak ada pemebngkokan area hidung, tidak ada perdarahan,
tidak ada kotoran, tidak ada pembengkakan, tidak ada pembesaran atau polip.
c. Mulut
Tidak ada kelainan, warna bibir pucat, tidak ada lesi, bibir tmpak pecah – pecah, gigi
terlihat ada caries terdapat kotoran, warna lidah putih, tidak ada perdarahan dan
abses.
d. Telinga
Bentuknya simetris, ukurannya sama besar, warna sawo matang, tidak ada lesi, tidak
ada nyeri tekan, tidak ada peradangan, terlihat penumpukan serumen, tidak ada
a. Kepala
o Inspeksi : bentuk kepala lonjong, simetris, tidak ada lesi, tidak ada luka
b. Leher
o Inspeksi : bentuk leher simetris, tidak ada peradangan, tidak ada jaringan
o Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar limfe, tidak ada pembesaran kelenjar
a. Pemeriksaan paru
o Inspeksi :
3) Keadaan kulit lebih cerah dari kulit yang lain, tidak ada lesi.
o Auskultasi :
b. Pemeriksaan jantung
o Inspeksi :
o Perkusi
o Auskultasi
BJ I terdengar reguler
BJ II terdengar reguler
c. Pemeriksaan abdomen
o Inspeksi
o Auskultasi
o Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran hepar, tidak terdapat
benjolan.
o Perkusi
1. Genetalia pria
o Inspeksi
Tidak terdapat rambut pubis (sudah di kerok oleh klien), tidak ada lesi,
o Palpasi
Skrotum klien takut untuk diraba terdapat benjolan pada kedua testis.
Tidak ada lesi pada kulit punggung, tidak terdapat kelainan bentuk tulang
o Inspeksi
Otot antar sisi kanan dan kiri simetris, tidak ada deformitas, tidak
terdapat fraktur.
o Palpasi
o Pemeriksaan tenggorokan
Tidak tedapat lesi, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada
Kesadaran : composmetis
kesdaran.
c) Memeriksa nervus
pengecpan normal.
somatosensorik normal.
baik.
a. Kulit
1. Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada jaringan parut, warna kulit sawo matang
2. Palpasi : tekstur kasar, turgor kulit tidak elastis (edema), nyeri tekan pada
pemberian
sakit
sakit dan
menurunkan
demam
Nacl 0.9 % Infus Untuk
mengembalikan
keseimbangan
cairan dan
elektrolit
mengobati
infeksi karena
bakteri
sakit
mengembalikan
keseimbangan
cairan dan
elektrolit
infeksi karena
bakteri
doppller bayukarta
B. Analisa data
nyeri menjalar ke
muntah. Epididimitis
Do : terjadi pembengkakan
24x/menit
Orchitis
C. Diagnosa keperawatan proritas
berhubungan seksual
Berikan intervensi h
ketidaknya penyebab m
penggunaa emosiona pu
emos
ional.
eliminasi untuk
efektif renacana
M : menaikan keperawata
jumlah urine n
yang
dikeluarkan
A: banyak nya
urine yang
dikeluarkan
diukur setiap
24 jam
R : setiap urine
yang diukur
peningkatan
T : dalam
waktu 3 hari
Daftar pustaka
Baradero, Mary Dkk. 2006. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan System Reproduksi & Seksualitas.
Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan