KRANIOMAKSILARIS
MAKALAH
Dosen Pembina
drg. N. R. Yuliawati Zenab, Sp. Ort
disusun oleh:
Wafa Sahilah 160110130107
Brigita Nadia Wirawan 160110130108
Wiana Ariztriani 160110130109
Bunga Hasna Adilah 160110130110
Magdalena Napitupulu 160110130111
Yosia Christi Vesara Manurung 160110130112
Edwin Christian 160110130113
Nurayni Tri Hapsari 160110130114
Nadya Runi Rahima 160110130115
Mulia Ayu Hanifa 160110130116
Benazir Amriza Dini 160110130117
Ester Vioni 160110130118
Dhea Ferrani Permatasari 160110130119
Puji syukur para penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa, karena
atas rahmat dan berkatNya lah para penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.
Makalah yang tim penulis telah selesaikan berjudul ”Perkembangan dan Pertumbuhan
Kompleks Kraniomaksilaris”.
Selain sebagai tugas mata kuliah DSP 2, makalah ini juga bertujuan untuk
cranium, nasomaksilaris dan tentang remodelling tulang yang mana merupakan topik penting
bagi kita sebagai calon dokter gigi yang erat hubungannya dengan daerah-daerah ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya para penulis sampaikan kepada yang
terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Gigi, Dr. Nina Djustiana, drg. M.Kes., dan kepada drg.
N. R. Yuliawati Zenab, Sp. Ort selaku dosen pembimbing. Kepada para orang tua tercinta
yang tetap selalu memberi dukungan moril dan materil, para penulis ucapkan pula terima
Tim penulis berharap makalah yang telah dibuat ini bermanfaat untuk semua
pembacanya, tidak hanya dalam jangka pendek tetapi juga dalam jangka panjang.
Makalah ini telah disusun dengan usaha yang maksimal. Namun, jika masih ada
kekurangan atau kesalahan, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun.
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Seorang anak berusia 7 tahun memiliki kelainan pada wajahnya, yaitu anterior basis
craniinya pendek dan hypoplastik pada wajah bagian. Gejala ekstra oral lainnya adalah
exophtalmus (mata menonjol keluar) , hypertelorism (Jarak antar mata jauh) serta pangkal
Sebelum kondisinya sekarang, kelainan sudah terlihat sejak lahir namun semakin
parah seiring bertambahnya umur. Menurut orang tuanya, bukan hanya anak ini yang
memiliki kelainan ini tetapi sepupunya juga memiliki kelainan yang sama.
mengidap Crouzon syndrome. Terjadinya penyakit ini disebabkan oleh fusi prematur dari
satu atau beberapa sutura pada cranium. Maka dari itu, pada makalah ini akan dibahas
I.II Tujuan
kraniofasialis?
PEMBAHASAN
Kerangka kraniofasial didapatkan dari tiga proses unik, yakni kondrogenesis, yang
merupakan pembentukan kartilago; endokondral berupa pembentukan tulang, prosesnya
adalah mengubah kartilago menhadi tulang; dan pembentukan tulang intramembranosa,
yakni proses pembentukan tulang dari jaringan mesenkim yang tidak berdiferensiasi. Tulang
dapat dibentuk pula secara langsung dari osteoblast, prosesnya disebut osifikasi
intramembranosa, atau memiliki prekusor kartilago yang disebut osifikasi endokondral.
Dalam kasus yang terahir, kondroblast awalnya membentuk tulang rawan, yang kemudian
kalsifikasi dan dinvasi oleh jaringan osteogenik dari tulang. Perbandingan antara tulang dan
kartilago, terdapat pada tabel berikut ini
Tulang sejati bersifat sensitif terhadap tekanan. Tulang yang mengalami osifikasi
intramembranosa berasal dari sel krista neural. Bukti pertama dari osifikasi intramembranosa
pada tengkorak terjadi pada mandibula selama akhir minggu keenam intrauterin. Pada
minggu kedelapan intrauterin, pusat osifikasi terjadi pada regio calvaria dan wajah. Berikut
lima tahap osteogenesis intramembranosa:
Osteogenesis intramembranosa
Deposisi osteoid oleh osteoblas terus berlangsung, sel-sel tulang terbungkus dan
menjadi osteosit. Pembuluh darah tertahan di dalam ruang dan lama-kelamaan
pembuluh dikelilingi tulang. Hal ini adalah sebagai awal sistem Havers yang akan
menutrisi tulang.
4. Kalsifikasi osteoid.
Membran luar tulang disebut periosteum sedangkan membran dalam tulang disebut
endosteum. Periosteum dan endosteum penting bagi kelangsungan hidup tulang. Jika
membran atau suplai vaskular rusak dapat menyebabkan kematian sel tulang dan
lama-kelamaan dapat menyebabkan keropos tulang.
Tulang-tulang panjang, ruas tulang belakang dan dasar tulang tengkorak disebut pula sebagai
tulang kartilago, karena kejadiannya melalui pembentukan kartilago hialin.
Bukti pertama bahwa kartilago diubah menjadi tulang pada kerangka kraniofasial terjadi
selama minggu ke delapan prenatal. Dalam kerangka kraniofasial, hanya tulang basis
cranium dan bagian calvarium yang berasal dari osteogenesis endokondral. Untuk
membandingkan dan membedakan osteogenesis endokondral dan intramembranosa, berikut
lima langkah yang terdapat dalam osteogenesis endokondral:
Sel-sel yang diletakkan pada matriks kartilago akan bertindak sebagai osteoblast.
Osteoblast ini akan mensekresikan matriks osteoid dan dilapiskan pada matriks kartilago
yang mengapur. Dari sel-sel prekusor jaringan ikat, osteoblast berdiferensiasi dan
menyimpan osteoid pada sisa kalsifikasi matriks kartilago.
Sama halnya dengan pembentukan membrane tulang, baik itu intramembranosa ataupun
endokondral, membrane sangat penting untuk proteksi.
Osteogenesi enkodondralis
Remodeling tulang merupakan satu proses aktif dan dinamik yang mengandalkan pada
keseimbangan yang benar antara penyerapan tulang oleh osteoklas dan deposisi tulang oleh
osteoblas. Lebih jauh, dua buah fungsi ini haruslah secara ketat berdampingan tidak saja
secara kuantitatif namun juga dalam waktu dan ruang. Ketika keberdampingan hilang, massa
tulang yang benar dapat menjadi terganggu, mengawali ke pada banyak jenis patologi skelet.
Misalnya osteoporosis.
Remodeling tulang mengandalkan fungsi yang benar dari dua jenis sel utama jaringan tulang:
osteoklas, sel-sel berinti banyak yang menghancurkan matriks tulang, dan osteoblas, yang
memiliki fungsi-fungsi osteogenik. Sel-sel osteosit, tipe sel penting lainnya yang berasal dari
osteoblas, adalah juga terlibat dalam proses remodeling.
Pada keadaan normal, kecuali pada jaringan tulang yang sedang tumbuh, kecepatan
pembentukan dan absorpsi tulang sama satu dengan yang lainnya, sehingga total masa tulang
tetap dipertahankan konstan. Osteoklas biasanya terdapat dalam jumlah kecil namun
terkonsentrasi, dan begitu sebuah masa osteoklas mulai terbentuk, osteoklas biasanya akan
mulai memakan tulang selama kira-kira 3 minggu yang akan menciptakan terowongan
dengan kisaran diameter 0,2 sampai 1 milimeter dan panjang beberapa millimeter. Pada akhir
tahap ini, osteoklas menghilang dan terowongan akan ditempati osteoblast; kemudian tulang
yang baru mulai terbentuk pembentukan tulang kemudian berlanjut sampai beberapa bulan.
Tulang yang baru berada dalam lingkaran konsentris berlapis (lamella) pada permukaan
dalam rongga sampai terowongan dipenuhi. Pembentukan tulang berhenti apabila tulang telah
mencapai pembuluh darah yang memasok daerah tersebut. Kanal tempat berjalannya
pembuluh-pembuluh darah ini , yang disebut kanal Havers, adalah semua sisa peninggalan
rongga tulang yang asli. Setiap daerah baru dari tulang yang dibentuk dengan cara demikian
dinamakan osteon.
pembentukan dan absorpsi tulang secara kontinu memiliki beberapa fungsi fisiologis penting.
Pertama, tulang biasanya menyesuaikan kekuatannya agar sebanding dengan derajat tekanan
yang diterimanya. Akibatnya, tulang akan menbal jika menerima beban berat. Kedua, bentuk
tulang bahkan dapat disusun kembali agar berfungsi sebagai penyangga daya mekanik, oleh
proses pembentukan dan absorpsi tulang sesuai dengan pola stress pada tulang. Ketiga,
karena tulang yang tua menjadirelatif lemah dan rapuh, matriks organic yang baru diperlukan
ketika matriks organic tua berdegenerasi, dengan cara ini kekuatan tulang dipertahankan.
Bahkan, tulang anak-anak dengan kecepatan pembentukan dan absorpsi yang tinggi
memperlihatkan sedikit kerapuhan dibandingkan dengan tulang usia lanjut, dengan kecepatan
pembentukan dan absorpsi yang lambat.
Pembentukan tulang sesuai dengan beban tekanan yang diterima tulang tersebut. Contohnya,
tulang atlet menjadi lebih berat dibandingkan tulang nonatlet. Selain itu, jika seseorang
memiliki satu tungkai yang dibidai dan kaki yang lain mampu berjalan, tulang kaki yang
dibidai akan menjadi tipis dan sebanyak 30 persen tulang tersebut akan mengalami
dekalsifikasi selama beberapa minggu, sedangkan tulang kaki yang satunya tetap tebal dan
mengalami kalsifikasi normal. Oleh karenanya, stress fisik yang kontinu akan merangsang
pembentukan dan kalsifikasi tulang oleh osteoblast.
Stress tulang juga menentukan bentuk tulang dalam keadaan-keadaan tertentu. Misalnya, jika
sebuah tulang panjang patah dibagian tengahnya dan selanjutnya mengalami pemulihan
dibagian sudut, stress tekanan di bagian dalam sudut menyebabkan peningkatan pembentukan
tulang, dan peningkatan absorpsi terjadi pada sisi luar sudut yaitu bagian tulang yang tidak
tertekan. Setelah beberap tahun peningkatan pembentukan di sisi dalam tulang dan absorpsi
di permukaan luarnya, bentuk tulang dapat menjadi hampir lurus, terutama pada anak-anak,
karena proses remodeling tulang yang cepat pada usia lebih tua.
Fraktur tulang dalam beberapa cara akan mengaktifkan semua osteoblast intraoseus dan
periosteum secara maksimal di daerah yang mengalami cedera. Selain itu, sejumlah
osteoblast baru dibentuk tidak lama kemudian dari sel osteoprogenitor, yang merupakan sel
induk tulang di jaringan permukaan yang melapisi tulang, yang disebut “membrane tulang”.
Oleh sebab itu, dalam waktu singkat, suatu penonjolan besar dari jaringan osteoblastik dan
matriks tulang organic baru, yang diikuti dengan pembentukan garam kalsium, terbentuk
diantara dua ujung tulang yang patah. Penonjolan ini disebut kalus.
Banyak ahli ortopedi yang menggunakan fenomena stress tulang untuk mempercepat
kecepatan penyembuhan tulang. Hal tersebut dicapai dengan penggunaan alat fiksasi mekanik
khusus untuk menahan ujung-ujung tulang yang patah sehingga pasien dapat segera
mengunakan tulangnya. Pengunaan alatini akan menimbulkan stress pada ujung tulang yang
patah, yang akan mempercepat aktivitas osteoblast pada tempat patahan dan sering kali dapat
memperpendek masa penyembuhan.
Cranial vault dibentuk oleh mesenkim yang pada awalnya tersusun seperti membran
kapsul yang melapisi otak yang masih berkembang. Membran tersebut terdiri dari 2 lapisan,
endomeninx yang berasal dari krista neuralis dan ektomeninx yang berasal dari mesodermal.
Lapisan endomeninx membentuk 2 lapisan yang menutupi otak yaitu piamater dan
arachnoid. Lapisan ektomeninx berdiferensiasi menjadi duramater (lapisan terluar otak) dan
outter superficial membrane, yang mempunyai sifat kondrogenik dan osteogenik.
Osteogenesis dari ektomeninx merupakan osifikasi intramembranosa yang terjadi pada
lengkungan puncak otak, membentuk tempurung kepala (Cranial Vault).
Osifikasi pada calvaria bergantung pada ada atau tidaknya otak, apabila tidak terdapat
otak maka tidak akan ada tulang yang berkembang. Hasil osifikasi adalah terbentuknya
sejumlah tulang pipih membranosa yang ditandai oleh adanya spikula tulang berbentuk
jarum. Spikula tulang menyebar secara progresif dari pusat osifikasi primer ke arah tepi.
Satu pasang os frontale muncul dari pusat osifikasi primer pada minggu ke-8 intra
uterin. Dua os parietal tumbuh dari dua pusat osifikasi primer, masing-masing berasal dari
eminensia parietal pada minggu ke-8 intra uterin. Apabila osifikasi dibagian parietal
terlambat maka dapat menghasilkan fontanel sagital saat lahir. Os occipital mengalami
osifikasi pada minggu ke-8 intra uterin.
Saat lahir, tulang-tulang pipih tengkorak dipisahkan satu sama lain oleh suatu anyaman
sempit jaringan ikat, sutura yang juga berasal dari dua sumber: sel krista neuralis (sutura
sagitalis) dan mesoderm paraksial (sutura koronalis). Proses penulangan ini belum sempurana
sehingga beberapa tulang masih dala, bentuk membran fibrosa sehingga membentuk jaringan
lunak yang disebut fontanel (ubun-ubun). Di titik-titik inilah tempat lebih dari dua tulang
bertemu, sutura tampak lebar.
Fontanel paling mencolok adalah fontanel anterior, yang terletak pada tempat pertemuan
dua tulang parietal dan dua tulang frontal. Sutura dan fontanel memungkinakan tulang
tengkorak untuk bertumpang tindih (molase) saat lahir. Segera setelah lahir, tulang-tulang
membranosa kembali ke posisinya semula, dan tengkorak tampak bulat dan besar. Pada
kenyataannya, ukuran kubah lebih besar dibandingkan dengan daerah wajah yang kecil.
Beberapa sutura dan fontanel tetap bersifat membranosa untuk beberapa waktu setelah
lahir. Tulang-tulang kubah tengkorak terus tumbuh setelah lahir, terutama karena otak
tumbuh. Meskipun seorang anak berusia 5 sampai 7 tahun telah memiliki hampir samua
kapasitas kraniumnya, sebagian sutura tetap terbuka sampai masa dewasa. Pada beberapa
tahun pertama setelah lahir, palpasi fontanel anterior (ubun-ubun besar) dapat memberi
informasi berharga tentang apakah osifikasi tulang-tulang tengkorak berjalan dengan normal
dan apakah tekanan intrakranium normal.
Sutura-sutura yang berada pada tulang tegkorak bersifat adaptif karena akan
menyesuaikan ukuran seiring pertumbuhan otak yang pesat.
GAMBAR 9.5 pandangan dorsal kondrokranium atau dasar tengkorak, pada orang dewasa
yang memperlihatkan tulang-tulang yang terbentuk melalui osifikasi endokondral. Tulang-
tulang yang membentuk bagian rostral dan separuh rostral sela tursika berasal dari krista
neuralis dan membentuk kondrokranium prekordal (di depan notokard) (biru). Tulang-tulang
yang membentuk bagian posterior dari bagian ini berasal dari mesoderm paraksial
(kondrokranium kordal) (merah)
Neurokranium
kartilaginosa
(kondrokranium) terdiri dari beberapa kartilago yang bergabung dan melalui osifikasi
endokontral untuk memberikan pertumbuhan pada basis cranii. Pertemuan kartilago antara
dua tulang disebut sinkondrosis. Sel-sel kartilago baru secara terus menerus terbentuk pada
tengah sinkondrosis, berpindah secara perifer, dan kemudaian melakui osifikasi endokondral
sepanjang margin lateral. Os occipital terbentuk pertama, diikuti oleh badan os sphenoid, lalu
os ethmoid. Struktur lain yang terbentuk dari kondrokranium termasuk os vomer dari nasal
septum dan bagian petrosus serta mastoideus dari os temporal (Bishara, 2001)
Pada minggu keempat intra uterin, mesenkim yang berasal dari mesodermal paraksial
dan neural crest berkondensasi dengan otak yang sedang berkembang dan foregut untuk
membentuk dasar kapsul ektomeningeal. Kondensasi ini merupakan pembentukan awal dari
tengkorak. Selama periode somit akhir, mesenkim sklerotomal oksipital terkonsentrasi di
sekitar notokord yang terletak di bawah otak yang sedang berkembang. Dari daerah ini,
mesenkim terkonsentrasi ke sephalik, dan membentuk dasar otak. Perubahan ektomenik
mesenkim menjadi tulang rawan merupakan permulaan dari kondrokranium. Pembentukan
tulang rawan kondrokranium tergantung pada adanya otak dan struktur neural lainnya, dan
merangsang pembentukan epitelium. Kondrogenesis akan terjadi setelah terbentuknya
interaksi mesenkimal epitelial.
Pusat kondrofikasi terbentuk di sekitar ujung kranial notokord yang disebut tulang
rawan parakordal. Dari sini, perluasan kaudal dari kondrofikasi bergabung dengan gabungan
sklerotom yang keluar dari keempat oksipital somit yang mengelilingi neural tube. Tulang
rawan sklerotom, yang merupakan bagian pertama dari tengkorak yang terbentuk,
membentuk batas foramen magnum, menyediakan anlagen untuk bagian basilar dan kondilar
tulang oksipital.
Kapsul yang mengelilingi organ indra nasal (olfaktori) dan otik (vestibulocochlear)
berkondrifikasi dan bergabung menjadi tulang rawan basis cranii. Kapsul nasal (ectethmoid)
berkondrifikasi pada bulan kedua intra uterin, membentuk kotak tulang rawan dengan atap
dan dinding lateral yang dipisahkan oleh septum tulang rawan medial (mesetmoid). Pusat
osifikasi di dinding lateral membentuk massa lateral (labirin) dari tulang etmoid dan concha
nasal inferior.
Septum nasal median tetap berupa tulang rawan kecuali di posteroinferior, dimana
dalam membran dari setiap sisi septum, pusat osifikasi intramembranosa membentuk mula-
mula sepasang tulang vomer, kedua bagiannya bergabung sebelum lahir tetapi mengandung
septum tulang rawan nasal sampai pubertas. Alae vomer meluas ke posterior ke atas
basispenoid, membentuk atap nasofaring, dimana merupakan suatu fitur khusus manusia.
Pertumbuhan tulang aposisional periode postnatal pada tepi posterosuperior vomer ikut
berperan pada pertumbuhan septum nasal dan secara tidak langsung berperan pada
pertumbuhan ke bawah dan ke depan dari wajah.
Kapsul nasal yang berkondrifikasi membentuk tulang rawan lubang hidung dan tulang
rawan septum nasal. Pada fetus, tulang rawan septum memisahkan basis cranii di atas dan
vomer premaksila serta prosesus palatal maksila di bawah. Tulang rawan septum nasal
berperan dalam pertumbuhan ke bawah dan ke depan dari bagian tengah wajah/midface
(berfungsi sebagai matriks fungsional).
Kapsul otik terkondrifikasi dan bergabung dengan tulang rawan parakordal untuk
nantinya berosifikasi sebagai bagian mastoud dan petrosal tulang temporal. Kapsul otik tidak
berkondrifikasi pada manusia.
Pusat kondrifikasi basis cranii yang awalnya terpisah bergabung menjadi bidang basal
tunggal, tidak teratur, dan berlubang-lubang. Pembentukan awal (prekondrifikasi) dari
pembuluh darah, saraf kranial, dan spinal cord antara otak yang sedang berkembang dan
ekstrakranialnya, berperan dalam terbentuknya lubang-lubang (foramen) pada bidang tulang
rawan basal dan dasar tulang kranial.
Serat saraf olfaktoris (I) menentukan pembentukan lubang dari bidang kribriform
tulang etmoid. Perluasan tulang rawan orbitospenoid di sekitar saraf optik (II) dan arteri
optalmik, saat bergabung dengan bagian kranial bidang basal akan membentuk foramen
optik. Ruang antara tulang rawan orbitospenoid dan alispenoid akan tetap ada, suatu jalan
untuk saraf okulomotor (III), troklear (IV), optalmik (V), dan abdusen (VI) serta vena
optalmik seperti fisura orbital superior. Pertemuan alispenoid (sayap yang lebih besar) dan
tulang rawan prespenoid dari tulang spenoid dilewati oleh saraf maksilaris (V 2) untuk
membentuk foramen rotundum, saraf mandibula (V3) untuk membentuk foramen ovale, dan
arteri meningeal tengah untuk membentuk foramen spinosum. Adanya tulang rawan diantara
daerah-daerah osifikasi alispenoid dan kapsul otik berperan dalam pembentukan foramen
laserum. Osifikasi di sekitar arteri karotid internal dan kanalisnya terletak di pertemuan
tulang rawan alispenoid dan postspenoid serta kapsul otik.
Masuknya saraf wajah/fasialis (VII) dan vestibulocochlear (VIII) melalui kapsul otik
memastikan patensi dari internal akustik meatus. Saraf glossofaringeal (IX), vagus (X), dan
spinal asesoris (XI) serta vena jugular internal yang lewat diantara kapsul otik dan tulang
rawan parakordal berperan dalam membentuk foramen jugular yang besar. Saraf hipoglosal
(XII) berjalan di antara sklerotom oksipital berperan dalam pembentukan kanalis hipoglosal
atau kondilar kanal anterior. Sedangkan spinal cord menentukan pembentukan foramen
magnum.
Hampir 110 pusat osifikasi terletak di tengkorak embrio manusia. Beberapa pusat ini
bergabung membentuk 45 tulang di tengkorak neonatal. Pada orang dewasa muda terlihat 22
tulang tengkorak.
Pusat osifikasi dalam bidang basal meluas bersama alispenoid pada minggu ke 8 intra
uterin, membentuk dasar untuk bagian tulang endokondral dari tulang oksipital, spenoid dan
temporal (dimana semuanya memiliki komponen tulang intramembranosis) dan untuk seluruh
tulang endokondral etmoid dan concha nasal inferior.
Sisa kondrokranial yang tidak terosifikasi akan tetap ada pada saat lahir sebagai alae
dan septum dari hidung, pertemuan speno-oksipital dan spenopetrosal, apeks tulang petrosal,
diantara bagian-bagian tulang oksipital yang terpisah, dan pada foramen laserum.
Berawal dari tulang rawan basikranial (berperan melalui sklerotom oksipital) dan
membran desmokranial, tulang oksipital berosifikasi dari tujuh pusat (dua intramembranosis,
lima endokondral) di sekitar medula oblongata, dan menentukan pembentukan foramen
magnum. Tulang oksipital berkembang dalam berbagai pola, dengan komponen-
komponennya yang merupakan sentrum, prosesus transversal, dan lengkung neural dari
beberapa vertebra oksipital yang berurutan. Tulang rawan basioksipital, seperti tubuh
vertebral, dilewati oleh notokord, vestigeal yang masih ada pada saat lahir. Bagian squamous
di atas garis nukal superior berosifikasi dari sepasang pusat osifikasi intramembranosis pada
minggu ke delapan intra uterin, dan intranukal dari sepasang pusat osifikasi endokondral pada
minggu ke 10 intra uterin.
Pusat osifikasi basikranial endokonral medial tunggal muncul pada minggu ke 11,
membentuk tulang basioksipital di depan foramen magnum dan sepertiga anterior condyle
oksipital. Sepasang pusat osifikasi endokondral muncul pada minggu ke 12, membentuk
tulang eksosipital di lateral foramen magnum, termasuk dua-pertiga posterior condyle
oksipital dan mengelilingi saraf hipoglossal untuk membentuk kelenjar hipoglossal. Squama
oksipital mulai bergabung dengan eksosipital pada sinkondrosis intraoksipital posterior
selama tahun ke 2-3 postnatal. Eksosipital bergabung dengan basioksipital pada sinkondrosis
intraoksipital anterior yang terletak pada condyle. Selama tahun ketiga dan keempat,
sinkondrosis anterior ini mulai hilang dan pada umur 7 tahun bagian eksosipital, squomous,
dan basilar bergabung untuk membentuk tulang oksipital tunggal. Tuberkel basioksipital
muncul pada permukaan ventral basioksipital untuk tempat perlekatan raphe faringeal medial.
Komponen squamous dan timpani dari tulang ini berosifikasi dalam membran,
sedangkan elemen petrosal dan stiloid berosifikasi endokondral diantara 21 pusat osifikasi.
Bagian squamous berosifikasi intramembranosis dari satu pusat yang muncul pada minggu ke
8 intra uterin, dan prosesus sigomatik meluas dari pusat osifikasi ini. Cincin timpani
mengelilingi eksternal akustik meatus, berosifikasi dari empat pusat intramembranosis,
dimulai pada bulan ke 3 intra uterin. Otosit telinga dalam merangsang kondrogenesis pada
mesenkim periotik, baik neural crest maupun mesodermal untuk membentuk kapsul otik,
sedangkan represi lokal dari kondrogenesis menyebabkan terbentuknya ruang perilimfatik
dalam kapsul. Bagian petrosal berosifikasi endokondral dalam kapsul otik dari 14 pusat.
Pusat ini mulai muncul minggu ke 16 dan bergabung saat bulan ke 6 intra uterin, ketika
labirin telingan dalam sudah mencapai ukuran maksimal. Kapsul otik mulanya berhubungan
dengan tulang rawan basioksipital, tetapi sinkondrosis berubah menjadi foramen laserum dan
jugular.
Tulang petrosal membentuk kapsul otik dewas, terdiri dari tiga lapisan: endosteal dan
lapisan periosteal di bagian luar yang mengandung kanalis haversian, dan lapisan dalam
terdiri dari tulang endokondral seperti fetus, yang tetap ada sepanjang hidup dan tidak
digantikan oleh tulang kanalikus haversian. Labirin osseous tetap tidak berubah sepanjang
hidup sebagai anyaman kapsul tulang yang melindungi labirin membranosis. Sebaliknya,
lapisan petrosal periosteal luar teremodelling menjadi tulang lamelar dan beradaptasi
terhadap tekanan fungsional. Prosesus stiloid berosifikasi dari dua pusat di lengkung tulang
rawan brankial hioid (kedua), dimana pusat atas terbentuk tepat sebelum lahir dan pusat
bawah tepat setelah lahir.
Pada minggu ke 22 intra uterin, bagian petrosal dan cincin timpani bergabung kurang
sempurna, sehingga meninggalkan fisura petrotimpani yang dilewati oleh saraf korda timpani
dan ligamen diskomaleolar. Pada saat lahir, cincin timpani bergabung tidak sempurna dengan
bagian squamous tulan gtemporal, membentuk fisura squamoutimpani. Kemudian, cincin
tumbuh secara lateral untuk membentuk bidang timpani. Prosesus petrosal, squamous dan
stiloid proksimal bergabung selama tahun pertama kehidupan, dan prosesus stiloid distal dan
proksimal bergabung sekitar periode pubertas.
Fossa mandibula (glenoid) hanya merupakan cekungan dangkal pada saat lahir, yang
kemudian menjadi dalam dengan berkembangnya eminensia artikular. Prosesus matoid
terbentuk setelah tahun kedua, ketika terlewati oleh perluasan antrum timpani, untuk
membentuk rongga udara mastoid.
Resorpsi dari permukaan endokranial dari cribriform plates, dengan deposisi pada
seberang permukaan nasal, menghasilkan perpindahan ke bawah dari lantai kranium anterior.
Pertumbuhan postnatal dari cribriform plate sedikit dan sempurna pada usia 4 tahun.
Pertumbuhan postnatal dari elemen nasal lain merupakan faktor penting pada perluasan
sepertiga tengah wajah.
Ekspansi pada basis cranii menghasilkan (1) sisa-sisa pertumbuhan kartilago pada
kondrokranium yang terus ada di antara tulang dan (2) tekanan ekspansif yang muncul dari
otak yang tumbuh (capsular functional matrix), memindahkan tulang ada garis sutura. Oleh
karena pertumbuhan interstisialnya, kartilago perantara (sinkondrosis) dapat berpisah pada
tulang yang berdekatan sebagai penambahan pertumbuhan tulang aposisi pada ujung
suturanya. Oleh karena itu, pertumbuhan tulang dalam ventral midline (cribriform plate dari
tulang ethmoid, presphenoid, basisphenoid, dan basioccipital) berkontribusi pada
pertumbuhan basis cranii. Kartilago antara tulang ini berkontribusi secara bervariasi dari
fossa cranii anterior tergantung pada pertumbuhan sutura sphenofrontal, frontoethmoidal, dan
sphenoethmoidal. Pada akhir dua sutura berhenti berkontribusi pada pertumbuhan sagittal-
plane setelah usia 7 tahun. Permukaan internal dari os frontale dan cribriform plate berhenti
melakukan remodeling pada usia 4 tahun. Dengan demikian menjadi “stabil” dari sekitar 6
sampai 7 tahun. Pertumbuhan lebih lanjut pada basis cranii anterior (anterior ke foramen
cecum) diasosiasikan melalui ekspasi pada perkembangan sinus frontalis.
Pada fase prenatal, sinkondrosis ini bukan merupakan pusat pertumbuhan yang utama.
Saat postnatal, deposisi tulang yang lebih besar muncul pada occipital daripada sisi
sphenoidal dari sinkondrosis, yang berproliferasi secara intersitisial pada bagian midzone.
Kelanjutan pertumbuhan pada aspek inferior dari sinkondrosis yang terjadi setelah fusi pada
bagian permukaan superiornya (cerebral) akan menghasilkan displacement ke atas dan ke
bawah dari basioocciput yang berhubungan dengan sphenoid, cenderung untuk mendatarkan
sudut sphenooccipital, dan pada akhirnya, basis cranii. Kecenderungan ini ditiadakan oleh
internal resorpsi dari clivus, sehingga mempertahankan sudut spheno-occipital dengan
konstan selama pertumbuhan.
Tambahan pula, untuk proliferatif pertumbuhan sinkondrosal, basis cranii melalui
remodeling selektif dengan resorpsi dan deposisi. Clivus, sementara melakukan resorbing
pada permukaan cerebralnya, menunjukkan aposisi pada permukaan nasofaring (inferior) dari
tulang basiooccipital dan margin anterior dari foramen magnum; oleh karena itu, ini dapat
berlanjut untuk perpanjangan setelah penutupan sphenooccipital syncondrosis. Untuk
mempertahankan ukuran foramen magnum, resorpsi muncul pada bagian posterior margin.
Pemisahan bagian squamous, condylar, dan basilar dari tulang occipital bergabung bersama
setelah lahir. Os temporal dibentuk dari bagian yang terpisah petrosus, squamosus, styloideus
dan tympanic-ring pada saat lahir, ketika penyatuan dari bagian-bagian ini dimulai. Pada saat
lahir, fossa temporomandibularis datar dan kurang sebuah tuberkulum artikularis; condylus
occipitalis juga datar dan akan menjadi jelas hanya selama masa kanak-kanak.
Selama pertumbuhan, resorpsi yang jelas pada dasar cranial fossa memperdalam
ruang endocranialnya, sebuah prosessus disokong pemindahan dasar fossa oleh ekspansi
sutura pada dinding lateral neurocranium.
Perluasan sella turcica disebabkan karena remodeling dari kontur (garis) terdalamnya;
meskipun bagian dinding anteriornya stabil dalam usia sampai 6 tahun, bagian dinding
posteriornya dan (untuk berbagai tingkatan) lantainya akan melakukan resorbing sampai usia
16 sampai 17 tahun. Karena remodeling variabel pada sella turcica, reference-point sella
(pertengahan sella turcica) tidak dapat dianggap stabil sampai setelah pubertas. Bagian dari
porsi petrosus os temporal tidak melakukan resorbing dan merupakan tempat pada beberapa
deposisi tulang.
2.5.3 Anomali pada Perkembangan Basis Cranii
Derita dari pertumbuhan kartilago menghasilkan basis cranii yang berkurang dengan
peningkatan angulasi karena hilangnya efek pemipihan atau pendataran pada pertumbuhan
sinkondrosis sphenooccipital. Hal ini menghasilkan “dished” deformity pada sepertiga tengah
dari tulang wajah, yang diaksentuasikan oleh pembengkakan neurocranium. Beberapa kondisi
berbeda seperti akondroplasia, kretinisme, dan Down syndrome (sindrom trisomi 21)
menghasilkan karakteristik kelainan yang serupa dengan cara menghambat efek dari
pertumbuhan kondrokranium. Anencephalics menahan acute cranial-base flexure yang khas
pada fetus awal; hal ini mengingatkan bahwa pertumbuhan otak berkontribusi pada
pemipihan (perataan) basis cranii.
Pertumbuhan dari cranium dan kerangka wajah berada pada tingkatan yang berbeda.
Oleh perbedaan pertumbuhan itulahm wajah sesungguhnya bersatu dibawah cranium. Bagian
atas wajah, cenderung dipengaruhi oleh basis cranii, bergerak ke atas dan ke depan. Bagian
bawah wajah bergerak ke bawah dan ke depan pada ‘expanding V’.
Sejak Maxillary complex melekat pada basis cranii, terdapat pengaruh yang besar
kemudian terhadap pembentukannya. Meskipun begitu, disana tidak terdapat garis yang jelas
dari batas antara cranium dan gradient pertumbuhan maxilla. Pertumbuhan dari maxilla
bergantung pada pertumbuhan pada sinkondrosis spheno-occipital dan sinkondrosis spheno-
ethmoidal.
Kedua hal tersebut saling berkaitan dan berinringan. Enlow dan Bang menerapkan
prinsip “daerah relokasi” terhadap pergeralan kompleks dan multidireksional dari
pertumbuhan ini, sebagai sebuah proses dinamik yang berkelanjutan. “daerah local
yang spesifik menempati tempat baru , yang sebenarnya, dalam pergantian,
sebagaimana seluruh tulang mengalami pemanjangan.
Moos dan green berg berpendapat bahwa bagian dasar dari tulang maksila adalah
infraorbital neuropascular triad dimana tulang basal maksila sebagian besar berfungsi
sebagai mekanisme perlindungan bagi nervus trigeminus. Ini merupakan pengaruh
neuro trophoca dimana mempertahankan konsistensi jarak untuk canalis infraorbital
dengan anterior basis crania. Secara tidak langsung, hal tersebut menghasilkan
konstansi yang serupa dari bagian relative kerangka basal maksila terhadap basis
yang sama.
1. Perubahan yang berhubungan dengan kompensasi untuk gerakan pasif tulang yang
dibawa oleh expansi primer dari kapsula orofacial.
2. Terdapat perubahan pada morfologi tulang yang berhubungan dengan perubahan
pada volume absolute, bentuk ukuran atau posisi jarak dari satu atau seluruh
matrix fungsional maksila yang independen seperti massa orbital
3. Terdapat perubahan pada tulang untuk mempertahanan bentuk tulang itu sendiri.
Dari semua perubahan diatas tidak muncul secara simultan tetapi lebih secara berbeda
atau berurutan.
Usia : 7 tahun
2.8.4 Hipotesis
(1) Penutupan sutura lebih dini
(2) Perkembangan midface lebih lambat daripada dahi, mata, dan mandibula
2.8.5 Mekanisme
Faktor genetik mengenai reseptor pertumbuhan tulang abnormalitas
pertumbuhan dan perkembangan cranial pada masa embrio pertumbuhan
tulang terlalu cepat penutupan sutura lebih dini basis cranium anterior
pendek midface tidak berkembang secara normal (bagian nasal dan maksila)
hypoplastic midface yang ditandai dengan exopthalmus, hypertelorism, dan
broad root of the nose Crouzon’s syndrome
2.8.6.1 Tengkorak
Pembedahan dapat dilakukan untuk membuang sutura yang tertutup dan membentuk kembali
tengkorak. Anak-anak dengan multiple-suture synostosis yang menyebabkan deformitas
tengkorak parah membutuhkan pembedahan di awal tahun pertama.
2.8.6.2 Mata
Anak dengan crouzon syndrome memiliki posisi dan bentuk kantung mata yang tidak normal.
Penderita berisiko mengalami kekurangan penglihatan karena mata mengalami misalignment
dan tekanan intra cranial meningkat. Penderita dengan kantung mata yang terlalu dangkal
sehingga penutupan kelopak mata tidak sempurna dan berisiko mengalai iritasi kornea
(keratitis). Penderita dianjurkan untuk datang ke opthalmologist. Fronto orbital advancement
(pemindahan bagian depan tengkorak ke depan) dapat dilakukan sebagai penanganan.
2.8.6.3 Otak
Anak-anak dengan crouzon’s syndrome sebaiknya dicek apakah ada tanda atau gejala dari
hidrocephalus (kelebihan cairan pada otak). Beberapa anak dengan crouzon syndrome
memiliki Chiari malformation (abnormalitas pada bagian belakang otak) karena bentuk basis
cranium yang abnormal. Kadang, otak tertekan oleh basis cranium sehingga dapat
menyebabkan sakit kepala atau gejala neurological lainnya.
Hal ini dapat ditangani dengan pembedahan untuk memperlebar basis cranium.
2.8.6.4 Pendengaran
Anak-anak dengan crouzon syndrome dapat mengalami kehilangan pendengaran atau
abnormalitas pada canalis telinga. Kehilangan pendengaran, tingginya palatum, dan cavitas
nasalis yang kecil dapat menyebabkan kesulitan berbicara. Dapat ditangani dengan cara
terapi.
2.8.6.5 Pernapasan
Penderita crouzon syndrom anak memiliki kesulitan bernapas lewat hidungnya. Hal ini dapat
ditanganin dengan surgical tracheostomy (penempatan tube pernapasan pada jalan udara dari
laring ke bronkus)
2.8.6.6 Gigi
Penderita crouzon syndrome memiliki rahang atas yang lebih kecil. Hal ini menyebabkan gigi
berjejal dan kelainan susunan rahang seiring pertumbuhan anak. Beberapa gigi rahang atas
harus dicabut karena rahang atas tidak memiliki ruang yang cukup bagi semua gigi untuk
tumbuh. Pembedahan serta emakaian alat orthodonti untuk memperlebar palatum dan
merapikan susunan gigi dapat dilakukan untuk menangani kelainan gigi penderita akibat
Crouzon’s syndrome.
1. Pfeiffer Syndrome
Suatu cacat lahir bawaan yang sangat langka yang memperlihatkan adanya
malformasi pada bagian tengkorak, tangan dan rahang dikarenakan penutupan dini
dari sutura (craniosyntosis) pada bagian tulang tengkorak. Anak-anak yang seperti
ini mempunyai beberapa ciri yang khas seperti ibu jari yang pendek dan lebar,
syndactyly, bola mata yang lebih menonjol, rahang atas yang tidak berkembang
dan hidung yang bengkok.
Sindrom ini diwariskan dalam sifat autosomal dominan, yang berarti bahwa
hanya diperlukan salah seorang dari orang tua untuk mewariskan gen FGFR1 atau
FGFR2 yang rusak sehingga anak dikatakan menderita sindrom ini. Anak-anak
yang menderita Pfeiffer syndrome yang ringan (tipe 1) masih dapat menjalani
kehidupan yang normal dengan kemampuan intelektual yang normal apabila
dilakukan pembedahan kraniofasial sejak dini. Namun, bagi mereka yang
menderita tipe 2 dan 3 mempunyai resiko kematian dini yang lebih besar
dikarenakan pada tipe 3 ada saluran pernafasan yang tertutup dengan parah.
2. Apert Syndrome
Suatu kelainan genetik yang memperlihatkan adanya bentuk wajah yang khas
seperti rahang yang tidak berkembang dan hidung yang bengkok karena adanya
malformasi pada bagian tengkorak, wajah, tangan dan kaki yang disebabkan oleh
penutupan dini dari sutura. Kelainan pembentukan tengkorak ini tampak seperti
Crouzon syndrome, yang membedakannya adalah pada kelainan ini dijumpai ciri-
ciri tambahan berupa jari tangan dan kaki yang berselaput.
Kondisi ini dapat disembuhkan melalui bedah kraniofasial. Anak-anak yang
menderita Apert syndrome ini dapat bertahan hidup seperti anak yang normal,
tetapi mereka mengalami gangguan intelektual yang ringan. Pada beberapa kasus,
anak-anak tersebut juga mengalami beberapa komplikasi yang berakibat kematian,
seperti kelainan pada jantung, ginjal polikistik dan atresia paru. Sindrom ini
diwariskan dalam sifat autosomal dominan, yang berarti bahwa hanya diperlukan
salah seorang dari orang tua untuk mewariskan gen FGFR2 yang rusak sehingga
anak dikatakan menderita sindrom ini.
3. Jackson-Weiss
Kelainannya mirip dengan kelainan yang terjadi pada penderita apert
syndrome namun tanpa adanya syndactyly tangan
4. Akondroplasia
Kelainannya disebabkan dari FGFR 3 pada kromoson 4P16, ciri-ciri yang
disebabkan kelainan ini adalah kekerdilan dan kelainan ekstremitas.
BAB III
PENUTUP
III. I Kesimpulan
Dari hasil diskusi dan pembahasan kasus ini, dapat disimpulkan bahwa clara
menderita Crouzon syndrome karena gejala yang dialami memang mengarah ke penyakit
tersebut.
Untuk treatmentnya akan dilakukan operasi pada bagian wajah yang mengalami
gangguan atau disebut distraksi osteogenesis craniofacial oleh bagian Bedah Mulut.
Walau clara sudah menjalankan treatment namun masih ada kemungkinan keturunan
clara nantinya akan ada yang terkena crauzon sindrom ini, karena penyakit ini bersifat
genetik
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Arthur C. Guyton, MD, dan John E. Hall, PhD