Anda di halaman 1dari 42

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KOMPLEKS

KRANIOMAKSILARIS

MAKALAH

disusun sebagai tugas mata kuliah DSP 2

Dosen Pembina
drg. N. R. Yuliawati Zenab, Sp. Ort

disusun oleh:
Wafa Sahilah 160110130107
Brigita Nadia Wirawan 160110130108
Wiana Ariztriani 160110130109
Bunga Hasna Adilah 160110130110
Magdalena Napitupulu 160110130111
Yosia Christi Vesara Manurung 160110130112
Edwin Christian 160110130113
Nurayni Tri Hapsari 160110130114
Nadya Runi Rahima 160110130115
Mulia Ayu Hanifa 160110130116
Benazir Amriza Dini 160110130117
Ester Vioni 160110130118
Dhea Ferrani Permatasari 160110130119

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG
2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur para penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa, karena

atas rahmat dan berkatNya lah para penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada

waktunya.

Makalah yang tim penulis telah selesaikan berjudul ”Perkembangan dan Pertumbuhan

Kompleks Kraniomaksilaris”.

Selain sebagai tugas mata kuliah DSP 2, makalah ini juga bertujuan untuk

memaparkan dan memberikan informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan daerah

cranium, nasomaksilaris dan tentang remodelling tulang yang mana merupakan topik penting

bagi kita sebagai calon dokter gigi yang erat hubungannya dengan daerah-daerah ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya para penulis sampaikan kepada yang

terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Gigi, Dr. Nina Djustiana, drg. M.Kes., dan kepada drg.

N. R. Yuliawati Zenab, Sp. Ort selaku dosen pembimbing. Kepada para orang tua tercinta

yang tetap selalu memberi dukungan moril dan materil, para penulis ucapkan pula terima

kasih yang besar.

Tim penulis berharap makalah yang telah dibuat ini bermanfaat untuk semua

pembacanya, tidak hanya dalam jangka pendek tetapi juga dalam jangka panjang.

Makalah ini telah disusun dengan usaha yang maksimal. Namun, jika masih ada

kekurangan atau kesalahan, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun.

Bandung, 7 September 2014

Tim Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Seorang anak berusia 7 tahun memiliki kelainan pada wajahnya, yaitu anterior basis

craniinya pendek dan hypoplastik pada wajah bagian. Gejala ekstra oral lainnya adalah

exophtalmus (mata menonjol keluar) , hypertelorism (Jarak antar mata jauh) serta pangkal

hidung yang lebar.

Sebelum kondisinya sekarang, kelainan sudah terlihat sejak lahir namun semakin

parah seiring bertambahnya umur. Menurut orang tuanya, bukan hanya anak ini yang

memiliki kelainan ini tetapi sepupunya juga memiliki kelainan yang sama.

Setelah melakukan pemeriksaan ekstra oral, didapatkan hipotesis bahwa pasien

mengidap Crouzon syndrome. Terjadinya penyakit ini disebabkan oleh fusi prematur dari

satu atau beberapa sutura pada cranium. Maka dari itu, pada makalah ini akan dibahas

pertumbuhan dan perkembangan kompleks kraniomaksilaris.

I.II Tujuan

Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan jaringan keras atau tulang, cranium,

cranial vault, basis cranii, komples nasomaksilaris dan remodelling tulang

I.III Perumusan Masalah

1. Bagaimanakan pertumbuhan dan perkembangan jaringan keras (tulang)?

2. Bagaimanakah pertumbuhan dan perkembangan cranium?

3. Bagaimanakah pertumbuhan dan perkembangan cranial vault?

4. Bagaimanakah pertumbuhan dan perkembangan kompleks nasomaksilaris?


5. Jelaskan tentang fisiologi dan biofisik dari remodelling tulang!

6. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

kraniofasialis?

7. Jelaskan definisi, gejala dan ciri-ciri, penyebab,mekanisme dan treatment serta

pencegahan dari Crouzon Syndrome!

8. Sebutkan kelainan-kelainan pada kompleks kraniomaksilaris!


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PEMBENTUKAN TULANG

Kerangka kraniofasial didapatkan dari tiga proses unik, yakni kondrogenesis, yang
merupakan pembentukan kartilago; endokondral berupa pembentukan tulang, prosesnya
adalah mengubah kartilago menhadi tulang; dan pembentukan tulang intramembranosa,
yakni proses pembentukan tulang dari jaringan mesenkim yang tidak berdiferensiasi. Tulang
dapat dibentuk pula secara langsung dari osteoblast, prosesnya disebut osifikasi
intramembranosa, atau memiliki prekusor kartilago yang disebut osifikasi endokondral.
Dalam kasus yang terahir, kondroblast awalnya membentuk tulang rawan, yang kemudian
kalsifikasi dan dinvasi oleh jaringan osteogenik dari tulang. Perbandingan antara tulang dan
kartilago, terdapat pada tabel berikut ini

Perbandingan Sifat Fisiologis dari Tulang dan


Kartilago Primer selama Pertumbuhan
Karakteristik Kartilago Tulang
Calcification Non Calcified Calcified
Vascularity Nonvascular Vascular
Surface Membrane Nonessential Essential
Rigidity Flexible Inflexible
Pressure resistance Tolerant of pressure Sensitive to pressure

2.1.1 Osifikasi Intramembranosa

Tulang sejati bersifat sensitif terhadap tekanan. Tulang yang mengalami osifikasi
intramembranosa berasal dari sel krista neural. Bukti pertama dari osifikasi intramembranosa
pada tengkorak terjadi pada mandibula selama akhir minggu keenam intrauterin. Pada
minggu kedelapan intrauterin, pusat osifikasi terjadi pada regio calvaria dan wajah. Berikut
lima tahap osteogenesis intramembranosa:
Osteogenesis intramembranosa

1. Osteoblas memproduksi jaringan osteoid.

Osteoblas berdiferensiasi dari kondensasi jaringan ektomesenkim dan menghasilkan


matriks tulang fibrosa (osteoid).

2. Sel tulang dan pembuluh darah terbungkus.

Deposisi osteoid oleh osteoblas terus berlangsung, sel-sel tulang terbungkus dan
menjadi osteosit. Pembuluh darah tertahan di dalam ruang dan lama-kelamaan
pembuluh dikelilingi tulang. Hal ini adalah sebagai awal sistem Havers yang akan
menutrisi tulang.

3. Jaringan osteoid terbentuk oleh membran.

Osteosit kehilangan kemampuan untuk menambah ukuran tulang, namun osteoblas


pada permukaan periosteum memproduksi lebih banyak jaringan osteoid sehingga
menambah lapisan pada permukaan tulang yang ada.

4. Kalsifikasi osteoid.

Matriks tulang lama-kelamaan termineralisasi dan membuat tulang menjadi


impermeabel terhadap nutrien dan zat sisa metabolisme. Pembuluh darah yang
terperangkap berfungsi sebagai penyuplai nutrien ke osteosit dan jaringan tulang, juga
sebagai pengangkut zat sisa. Tulang yang sudah terkalsifikasi bersifat keras dan tidak
fleksibel.
5. Membran tulang sangat penting.

Membran luar tulang disebut periosteum sedangkan membran dalam tulang disebut
endosteum. Periosteum dan endosteum penting bagi kelangsungan hidup tulang. Jika
membran atau suplai vaskular rusak dapat menyebabkan kematian sel tulang dan
lama-kelamaan dapat menyebabkan keropos tulang.

2.1.2 Endochondral Bone Formation

Tulang-tulang panjang, ruas tulang belakang dan dasar tulang tengkorak disebut pula sebagai
tulang kartilago, karena kejadiannya melalui pembentukan kartilago hialin.

Bukti pertama bahwa kartilago diubah menjadi tulang pada kerangka kraniofasial terjadi
selama minggu ke delapan prenatal. Dalam kerangka kraniofasial, hanya tulang basis
cranium dan bagian calvarium yang berasal dari osteogenesis endokondral. Untuk
membandingkan dan membedakan osteogenesis endokondral dan intramembranosa, berikut
lima langkah yang terdapat dalam osteogenesis endokondral:

1. Hipertropi dari kondrosit dan kalsifikasi matriks:

Awal dari penulangan ditandai oleh pembersaran kondrosit di tengah-tengah diaphysis,


dalam matriks primodium kartilago, nampak, pusat kalsifikasi (pusat penulangan primer).
Kondrosit memperlihatkan perubahan hipertropi dan kalsifikasi matriks kartilago
berlanjut.

2. Invasi pembuluh darah dan sel-sel jaringan ikat:

Pembuluh darah menginvasi dari perikondrium ke matriks terkalsifikasi, membawa sel-


sel jaringan ikat yang belum berdiferensiasi. Pembuluh darah selanjutnya masuk ke
dalam pusat penulangan primer dimana matriks kartilago mengalami kalsifikasi. Darah
membawa sel-sel yang diletakkan pada dinding matriks.

3. Osteoblas berdiferensiasi dan memproduksi jaringan osteoid:

Sel-sel yang diletakkan pada matriks kartilago akan bertindak sebagai osteoblast.
Osteoblast ini akan mensekresikan matriks osteoid dan dilapiskan pada matriks kartilago
yang mengapur. Dari sel-sel prekusor jaringan ikat, osteoblast berdiferensiasi dan
menyimpan osteoid pada sisa kalsifikasi matriks kartilago.

4. Kalsifikasi jaringan osteoid:

Matriks tulang fibrosa termineralisasi. Osteoid mengalami pengapuran, sehingga akhirnya


jaringan osteoid berubah menjadi jaringan tulang.

5. Membrane menutupi tulang dan sangat penting:

Sama halnya dengan pembentukan membrane tulang, baik itu intramembranosa ataupun
endokondral, membrane sangat penting untuk proteksi.

Osteogenesi enkodondralis

2.2 Penimbunan dan Absorpsi Tulang – Remodelling Tulang


2.2.1 Proses Remodeling Tulang

Remodeling tulang merupakan satu proses aktif dan dinamik yang mengandalkan pada
keseimbangan yang benar antara penyerapan tulang oleh osteoklas dan deposisi tulang oleh
osteoblas. Lebih jauh, dua buah fungsi ini haruslah secara ketat berdampingan tidak saja
secara kuantitatif namun juga dalam waktu dan ruang. Ketika keberdampingan hilang, massa
tulang yang benar dapat menjadi terganggu, mengawali ke pada banyak jenis patologi skelet.
Misalnya osteoporosis.
Remodeling tulang mengandalkan fungsi yang benar dari dua jenis sel utama jaringan tulang:
osteoklas, sel-sel berinti banyak yang menghancurkan matriks tulang, dan osteoblas, yang
memiliki fungsi-fungsi osteogenik. Sel-sel osteosit, tipe sel penting lainnya yang berasal dari
osteoblas, adalah juga terlibat dalam proses remodeling.

Representasi skematik proses remodeling tulang. Remodeling tulang diawali ketika


beraneka input mengomandani aktifasi lining cells, yang meningkatkan pengekspresian
permukaan dari RANKL. RANKL berinteraksi dengan reseptornya RANK (receptor
activator of nuclear κB) dus memicu diferensiasi osteoklas (fase aktifasi). Sel-sel osteoklas
menyerap tulang (fase resorpsi) dus memungkinkannya pelepasan faktor-faktor yang
biasanya tersimpan dalam matriks tulang (BMPs, TGFβ, FGFs) yang merekrut sel-sel
osteoblas pada daerah yang direabsorpsi. Sekalinya direkrut, sel-sel osteoblas memroduksi
matriks tulang baru, dan mendorong mineralisasinya (fase pembentukan), dus menyelesaikan
proses remodeling tulang (Pre-OCLs = pre-osteoclasts; OCL = osteoclast; OBLs
= osteoblasts).
2.2.1.1 Fase Resorpsi
Sekali berdiferensiasi, sel-sel osteoklas berpolarisasi, menempel ke permukaan tulang dan
mulai menyerap (dissolve) tulang. Fungsi ini membutuhkan dua langkah: i) asidifikasi
matriks tulang untuk dissolve komponen anorganik, dan ii) melepaskan enzim-enzim lizosom
seperti misalnya kathepsin K, dan MMP9, keduanya bertugas untuk pendegradasian
komponen organik tulang. Sekali mereka menyelesaikan fungsinya, sel-sel osteoklas
menjalani apoptosis. Hal ini merupakan konsekuensi fisiologis yang diperlukan guna
mencegah suatu penyerapan tulang berlebih.
Mekanisme resorpsi diyakini sebagai berikut :
1. Osteoklas mengeluarkan tonjolannya yang menyerupai vili kea rah tulang, yang
membentuk suatu permukaan bergelombang yang berdekatan dengan tulang.
2. Vili menyekresikan dua macam zat :
1. Enzim proteolitik yang dilepaskan dari lisosom osteoklas
2. Beberapa asam, seperti asam laktat, dan asam sitrat yang dilepaskan dari
mitokondria dan vesikel sekretoris.
3. Enzim tersebut akan melarutkan matriks organic tulang, dan asam akan menimbulkan
terlarutnya garam tulang.
4. Sel osteoklas juga mengimbibisi tulang dengan memfagositosis partikel kecil dari
matriks dan kristal tulang, dan pada akhirnya juga akan melarutkan zat-zat ini dan
melespakan produknya kedalam darah.

2.2.1.2 Fase Membalik (reverse)


Sel-sel yang membalik proses (the reverse cells), yang perannya belum sepenuhnya jelas,
menjalankan fase ini. Memang sesungguhnyalah bahwa mereka dikenal sebagai sel-sel mirip
makrofag (macrophage-like cells) yang kemungkinan fungsinya adalah membuang
produksi debris selama degradasi matriks.
2.2.1.3 Fase Formasi
Penyerapan matriks tulang mengawali lepasnya banyak faktor pertumbuhan herein tersimpan,
meliputi bone morphogenetic proteins (BMPs), fibroblast growth factors (FGFs)
dan transforming growth factor β (TGF β), yang kemungkinan bertanggung jawab untuk
perekrutan sel-sel osteoblas dalam daerah yang di-reabsorb. Sekali direkrut, sel-sel osteoblas
menghasilkan matriks tulang baru, yang awalnya tidak terkalsifikasi (osteoid) dan kemudian
mereka mendorong mineralisasinya, sehingga menyempurnakan proses remodeling.
Ketidakseimbangan antara fase-fase penyerapan dengan fase pembentukan mencerminkan
suatu remodeling tulang yang tidak benar, yang pada gilirannya memengaruhi massa tulang,
alhasil mengawali ke pada kondisi patologis.

2.2.2 Penimbunan dan Absorpsi Tulang Normalnya Berada dalam


Keseimbangan

Pada keadaan normal, kecuali pada jaringan tulang yang sedang tumbuh, kecepatan
pembentukan dan absorpsi tulang sama satu dengan yang lainnya, sehingga total masa tulang
tetap dipertahankan konstan. Osteoklas biasanya terdapat dalam jumlah kecil namun
terkonsentrasi, dan begitu sebuah masa osteoklas mulai terbentuk, osteoklas biasanya akan
mulai memakan tulang selama kira-kira 3 minggu yang akan menciptakan terowongan
dengan kisaran diameter 0,2 sampai 1 milimeter dan panjang beberapa millimeter. Pada akhir
tahap ini, osteoklas menghilang dan terowongan akan ditempati osteoblast; kemudian tulang
yang baru mulai terbentuk pembentukan tulang kemudian berlanjut sampai beberapa bulan.
Tulang yang baru berada dalam lingkaran konsentris berlapis (lamella) pada permukaan
dalam rongga sampai terowongan dipenuhi. Pembentukan tulang berhenti apabila tulang telah
mencapai pembuluh darah yang memasok daerah tersebut. Kanal tempat berjalannya
pembuluh-pembuluh darah ini , yang disebut kanal Havers, adalah semua sisa peninggalan
rongga tulang yang asli. Setiap daerah baru dari tulang yang dibentuk dengan cara demikian
dinamakan osteon.

2.2.3 Manfaat Remodelling Tulang Sercara Kontinu

pembentukan dan absorpsi tulang secara kontinu memiliki beberapa fungsi fisiologis penting.
Pertama, tulang biasanya menyesuaikan kekuatannya agar sebanding dengan derajat tekanan
yang diterimanya. Akibatnya, tulang akan menbal jika menerima beban berat. Kedua, bentuk
tulang bahkan dapat disusun kembali agar berfungsi sebagai penyangga daya mekanik, oleh
proses pembentukan dan absorpsi tulang sesuai dengan pola stress pada tulang. Ketiga,
karena tulang yang tua menjadirelatif lemah dan rapuh, matriks organic yang baru diperlukan
ketika matriks organic tua berdegenerasi, dengan cara ini kekuatan tulang dipertahankan.
Bahkan, tulang anak-anak dengan kecepatan pembentukan dan absorpsi yang tinggi
memperlihatkan sedikit kerapuhan dibandingkan dengan tulang usia lanjut, dengan kecepatan
pembentukan dan absorpsi yang lambat.

2.2.4 Pengaturan Kecepatan Pembentukan oleh “Stress” Tulang

Pembentukan tulang sesuai dengan beban tekanan yang diterima tulang tersebut. Contohnya,
tulang atlet menjadi lebih berat dibandingkan tulang nonatlet. Selain itu, jika seseorang
memiliki satu tungkai yang dibidai dan kaki yang lain mampu berjalan, tulang kaki yang
dibidai akan menjadi tipis dan sebanyak 30 persen tulang tersebut akan mengalami
dekalsifikasi selama beberapa minggu, sedangkan tulang kaki yang satunya tetap tebal dan
mengalami kalsifikasi normal. Oleh karenanya, stress fisik yang kontinu akan merangsang
pembentukan dan kalsifikasi tulang oleh osteoblast.

Stress tulang juga menentukan bentuk tulang dalam keadaan-keadaan tertentu. Misalnya, jika
sebuah tulang panjang patah dibagian tengahnya dan selanjutnya mengalami pemulihan
dibagian sudut, stress tekanan di bagian dalam sudut menyebabkan peningkatan pembentukan
tulang, dan peningkatan absorpsi terjadi pada sisi luar sudut yaitu bagian tulang yang tidak
tertekan. Setelah beberap tahun peningkatan pembentukan di sisi dalam tulang dan absorpsi
di permukaan luarnya, bentuk tulang dapat menjadi hampir lurus, terutama pada anak-anak,
karena proses remodeling tulang yang cepat pada usia lebih tua.

2.2.5 Perbaikan Fraktur Mengaktifkan Osteoblas

Fraktur tulang dalam beberapa cara akan mengaktifkan semua osteoblast intraoseus dan
periosteum secara maksimal di daerah yang mengalami cedera. Selain itu, sejumlah
osteoblast baru dibentuk tidak lama kemudian dari sel osteoprogenitor, yang merupakan sel
induk tulang di jaringan permukaan yang melapisi tulang, yang disebut “membrane tulang”.
Oleh sebab itu, dalam waktu singkat, suatu penonjolan besar dari jaringan osteoblastik dan
matriks tulang organic baru, yang diikuti dengan pembentukan garam kalsium, terbentuk
diantara dua ujung tulang yang patah. Penonjolan ini disebut kalus.

Banyak ahli ortopedi yang menggunakan fenomena stress tulang untuk mempercepat
kecepatan penyembuhan tulang. Hal tersebut dicapai dengan penggunaan alat fiksasi mekanik
khusus untuk menahan ujung-ujung tulang yang patah sehingga pasien dapat segera
mengunakan tulangnya. Pengunaan alatini akan menimbulkan stress pada ujung tulang yang
patah, yang akan mempercepat aktivitas osteoblast pada tempat patahan dan sering kali dapat
memperpendek masa penyembuhan.

2.3 Proses pembentukan tulang craniofacial


2.3.1 Chondrogenesis
Chondrogenesis adalah proses pembentukan cartilago. Semua cartilago berasal dari sel
mesenkimal embrionik yang akan berdiferensiasi menjadi sel yang bulat dengan penarikan
penjuluran selnya, membelah dengan cepat, dan mengalami pemadatan sel. Sel ini disebut
chondroblast dan memiliki sitoplasma basofilik yang kaya ribosom. Selanjutnya chondroblast
akan memproduksi matriks ekstraselular yang bersifat keras tapi fleksibel yang akan
memisahkan chondroblast satu dan yang lainnya. Akhirnya chondroblast akan diselimuti oleh
matriks yang disekresikannya dan menjadi chondrocyte. Selama perkembangan embrionik,
diferensiasi chondroblast dimulai dari tengah ke perifer. Oleh karena itu, chondrocyte banyak
ditemukan di bagian tengah, chondroblast di bagian perifer, sedangkan mesenkim superficial
akan menjadi perichondrium (jaringan ikat yang menyelimuti cartilago)
Pertumbuhan cartilago dapat melalui 2 proses:
a. Interstitial growth  dibentuk melalui pembelahan mitosis dari chondrocyte
b. Appositional growth  diferensiasi dari chondroblast pada perichondrium
menjadi chondrocyte
Keduanya akan menghasilkan matriks dan menambah massa dan ukuran
cartilage. Interstitial growth tidak begitu penting dibandingkan dengan appositional
growth pada perkembangan postnatal. Interstitial growth terjadi pada saat awal
pembentukan cartilage dengan menambah massa jaringan melalui deposisi matriks
dari dalam. Selain itu juga terjadi pada lempeng epifiseal tulang panjang untuk
perpanjangan tulang selama pertumbuhan. Pada cartilage persendian, karena
cartilage dan matriks pada permukaan sendi terkikis, maka perlu terjadi
pembentukan cartilage baru. Pembentukan tersebut terjadi melalui interstitial
growth, karena cartilage sendi tidak memiliki perichondrium. Selebihnya,
pertumbuhan cartilage banyak terjadi melalui appositional growth, karena matriks
untuk proses interstitial growth sudah kaku oleh ikatan antar molekulnya pada
kehidupan postnatal.

Matriks pada cartilage tidak terkalsifikasi dan mengandung glycosaminoglycan dan


proteoglycan yang berikatan dengan collagen dan serat elatin. Matriks tersebut penting untuk
pertahanan terhadap mechanical stress seperti benturan. Oleh karena itu, cartilage disebut
pressure tolerant.
Perichondrium adalah jaringan ikat pada permukaan cartilage yang mengandung
pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf untuk memberi nutrisi pada cartilage yang
avascular. Namun, perichondrium tidak begitu esensial pada cartilage karena cartilage dapat
bertahan hidup tanpa perichondrium dengan cara difusi nutrisi dan sisa metabolit melalui
matriks. Perichondrium dibutuhkan untuk pertumbuhan dan pertahanan cartilage. Pada
cartilage persendian tidak terdapat perichondrium. Oleh karena itu nutrisi dan oksigen terjadi
melalui difusi cairan synovial.

2.4 Pertumbuhan Prenatal Calvaria/Cranial Vault

Cranial vault dibentuk oleh mesenkim yang pada awalnya tersusun seperti membran
kapsul yang melapisi otak yang masih berkembang. Membran tersebut terdiri dari 2 lapisan,
endomeninx yang berasal dari krista neuralis dan ektomeninx yang berasal dari mesodermal.

Lapisan endomeninx membentuk 2 lapisan yang menutupi otak yaitu piamater dan
arachnoid. Lapisan ektomeninx berdiferensiasi menjadi duramater (lapisan terluar otak) dan
outter superficial membrane, yang mempunyai sifat kondrogenik dan osteogenik.
Osteogenesis dari ektomeninx merupakan osifikasi intramembranosa yang terjadi pada
lengkungan puncak otak, membentuk tempurung kepala (Cranial Vault).

Osifikasi pada calvaria bergantung pada ada atau tidaknya otak, apabila tidak terdapat
otak maka tidak akan ada tulang yang berkembang. Hasil osifikasi adalah terbentuknya
sejumlah tulang pipih membranosa yang ditandai oleh adanya spikula tulang berbentuk
jarum. Spikula tulang menyebar secara progresif dari pusat osifikasi primer ke arah tepi.
Satu pasang os frontale muncul dari pusat osifikasi primer pada minggu ke-8 intra
uterin. Dua os parietal tumbuh dari dua pusat osifikasi primer, masing-masing berasal dari
eminensia parietal pada minggu ke-8 intra uterin. Apabila osifikasi dibagian parietal
terlambat maka dapat menghasilkan fontanel sagital saat lahir. Os occipital mengalami
osifikasi pada minggu ke-8 intra uterin.

Saat lahir, tulang-tulang pipih tengkorak dipisahkan satu sama lain oleh suatu anyaman
sempit jaringan ikat, sutura yang juga berasal dari dua sumber: sel krista neuralis (sutura
sagitalis) dan mesoderm paraksial (sutura koronalis). Proses penulangan ini belum sempurana
sehingga beberapa tulang masih dala, bentuk membran fibrosa sehingga membentuk jaringan
lunak yang disebut fontanel (ubun-ubun). Di titik-titik inilah tempat lebih dari dua tulang
bertemu, sutura tampak lebar.

Fontanel paling mencolok adalah fontanel anterior, yang terletak pada tempat pertemuan
dua tulang parietal dan dua tulang frontal. Sutura dan fontanel memungkinakan tulang
tengkorak untuk bertumpang tindih (molase) saat lahir. Segera setelah lahir, tulang-tulang
membranosa kembali ke posisinya semula, dan tengkorak tampak bulat dan besar. Pada
kenyataannya, ukuran kubah lebih besar dibandingkan dengan daerah wajah yang kecil.

Beberapa sutura dan fontanel tetap bersifat membranosa untuk beberapa waktu setelah
lahir. Tulang-tulang kubah tengkorak terus tumbuh setelah lahir, terutama karena otak
tumbuh. Meskipun seorang anak berusia 5 sampai 7 tahun telah memiliki hampir samua
kapasitas kraniumnya, sebagian sutura tetap terbuka sampai masa dewasa. Pada beberapa
tahun pertama setelah lahir, palpasi fontanel anterior (ubun-ubun besar) dapat memberi
informasi berharga tentang apakah osifikasi tulang-tulang tengkorak berjalan dengan normal
dan apakah tekanan intrakranium normal.

Sutura-sutura yang berada pada tulang tegkorak bersifat adaptif karena akan
menyesuaikan ukuran seiring pertumbuhan otak yang pesat.

2.5 Basis Cranii


2.5.1 Neurokranium Kartilaginosa (Kondrokranium)
Neurokranium kartilaginosa atau kondrokranium tengkorak pada awalnya terdiri dari
sejumlah kartilago terpisah. Tulang-tulang yang terletak di depan batas rostral notokord yang
berakhir di ketinggian kelenjar hipofisis di tengah sela tursika, berasal dari sel krista neuralis.
Tulang-tulang ini membentuk kondrokranium prekordal. Tulang-tulang yang terletak
posterior dari batas ini berasal dari sklerotom oksipital yang dibentuk oleh mesoderm
paraksial dan membentuk kondrokranium korda. Dasar tengkorak terbentuk ketika kartolagi-
kartilago ini menyatu dan mengalami penulangan melalui osifikasi endokondral. (T.W.
Sadler, 2012)

GAMBAR 9.5 pandangan dorsal kondrokranium atau dasar tengkorak, pada orang dewasa
yang memperlihatkan tulang-tulang yang terbentuk melalui osifikasi endokondral. Tulang-
tulang yang membentuk bagian rostral dan separuh rostral sela tursika berasal dari krista
neuralis dan membentuk kondrokranium prekordal (di depan notokard) (biru). Tulang-tulang
yang membentuk bagian posterior dari bagian ini berasal dari mesoderm paraksial
(kondrokranium kordal) (merah)
Neurokranium
kartilaginosa

(kondrokranium) terdiri dari beberapa kartilago yang bergabung dan melalui osifikasi
endokontral untuk memberikan pertumbuhan pada basis cranii. Pertemuan kartilago antara
dua tulang disebut sinkondrosis. Sel-sel kartilago baru secara terus menerus terbentuk pada
tengah sinkondrosis, berpindah secara perifer, dan kemudaian melakui osifikasi endokondral
sepanjang margin lateral. Os occipital terbentuk pertama, diikuti oleh badan os sphenoid, lalu
os ethmoid. Struktur lain yang terbentuk dari kondrokranium termasuk os vomer dari nasal
septum dan bagian petrosus serta mastoideus dari os temporal (Bishara, 2001)

Pada minggu keempat intra uterin, mesenkim yang berasal dari mesodermal paraksial
dan neural crest berkondensasi dengan otak yang sedang berkembang dan foregut untuk
membentuk dasar kapsul ektomeningeal. Kondensasi ini merupakan pembentukan awal dari
tengkorak. Selama periode somit akhir, mesenkim sklerotomal oksipital terkonsentrasi di
sekitar notokord yang terletak di bawah otak yang sedang berkembang. Dari daerah ini,
mesenkim terkonsentrasi ke sephalik, dan membentuk dasar otak. Perubahan ektomenik
mesenkim menjadi tulang rawan merupakan permulaan dari kondrokranium. Pembentukan
tulang rawan kondrokranium tergantung pada adanya otak dan struktur neural lainnya, dan
merangsang pembentukan epitelium. Kondrogenesis akan terjadi setelah terbentuknya
interaksi mesenkimal epitelial.

Pusat kondrofikasi terbentuk di sekitar ujung kranial notokord yang disebut tulang
rawan parakordal. Dari sini, perluasan kaudal dari kondrofikasi bergabung dengan gabungan
sklerotom yang keluar dari keempat oksipital somit yang mengelilingi neural tube. Tulang
rawan sklerotom, yang merupakan bagian pertama dari tengkorak yang terbentuk,
membentuk batas foramen magnum, menyediakan anlagen untuk bagian basilar dan kondilar
tulang oksipital.

Ujung kranial notokord berada setinggi membran orofaringeal dan menutupi


stomodeum. Tepat di kranial membran ini, kantong adenohipofiseal muncul dari stomodeum.
Kantong ini menghasilkan lobus anterior dari kelenjar pituitari (adenohipofisis), yang terletak
tepat di kranial ujung notokord. Kedua tulang rawan hipofiseal (postspenoid) terbentuk pada
kedua sisi batang hipofiseal dan bergabung membentuk tulang rawan basispenoid, dimana
mengandung hipofisis dan berikutnya menghasilkan sella tursika serta bagian posterior tulang
spenoid.

Di kranial kelenjar pituitari, penggabungan dua tulang rawan prespenoid (trabekular)


membentuk bakal (prekursor) tulang prespenoid yang akan membentuk bagian anterior tulang
spenoid. Di lateral, pusat kondrofikasi orbitospenoid (sayap yang lebih kecil) dan alispenoid
(sayap yang lebih besar) akan ikut membentuk sayap tulang spenoid. Paling anterior,
gabungan tulang rawan prespenoid akan menjadi bidang tulang rawan vertikal (tulang rawan
mesetmoid) dalam septum nasal. Tulang rawan mesetmoid berosifikasi saat lahir menjadi
bidang tegak lurus tulang etmoid, dan pada bagian atasnya membentuk krista galli yang
memisahkan bola-bola olfaktoris.

Kapsul yang mengelilingi organ indra nasal (olfaktori) dan otik (vestibulocochlear)
berkondrifikasi dan bergabung menjadi tulang rawan basis cranii. Kapsul nasal (ectethmoid)
berkondrifikasi pada bulan kedua intra uterin, membentuk kotak tulang rawan dengan atap
dan dinding lateral yang dipisahkan oleh septum tulang rawan medial (mesetmoid). Pusat
osifikasi di dinding lateral membentuk massa lateral (labirin) dari tulang etmoid dan concha
nasal inferior.

Septum nasal median tetap berupa tulang rawan kecuali di posteroinferior, dimana
dalam membran dari setiap sisi septum, pusat osifikasi intramembranosa membentuk mula-
mula sepasang tulang vomer, kedua bagiannya bergabung sebelum lahir tetapi mengandung
septum tulang rawan nasal sampai pubertas. Alae vomer meluas ke posterior ke atas
basispenoid, membentuk atap nasofaring, dimana merupakan suatu fitur khusus manusia.
Pertumbuhan tulang aposisional periode postnatal pada tepi posterosuperior vomer ikut
berperan pada pertumbuhan septum nasal dan secara tidak langsung berperan pada
pertumbuhan ke bawah dan ke depan dari wajah.

Kapsul nasal yang berkondrifikasi membentuk tulang rawan lubang hidung dan tulang
rawan septum nasal. Pada fetus, tulang rawan septum memisahkan basis cranii di atas dan
vomer premaksila serta prosesus palatal maksila di bawah. Tulang rawan septum nasal
berperan dalam pertumbuhan ke bawah dan ke depan dari bagian tengah wajah/midface
(berfungsi sebagai matriks fungsional).

Kapsul otik terkondrifikasi dan bergabung dengan tulang rawan parakordal untuk
nantinya berosifikasi sebagai bagian mastoud dan petrosal tulang temporal. Kapsul otik tidak
berkondrifikasi pada manusia.

Pusat kondrifikasi basis cranii yang awalnya terpisah bergabung menjadi bidang basal
tunggal, tidak teratur, dan berlubang-lubang. Pembentukan awal (prekondrifikasi) dari
pembuluh darah, saraf kranial, dan spinal cord antara otak yang sedang berkembang dan
ekstrakranialnya, berperan dalam terbentuknya lubang-lubang (foramen) pada bidang tulang
rawan basal dan dasar tulang kranial.

Kondrokranium yang terosifikasi akan bergabung dengan desmokranium yang


terosifikasi untuk membentuk neurokranium. Otak yang sedang berkembang terletak di
groove yang dangkal yang terbentuk dari kondrokranium. Fossa hipofiseal sentral yang dalam
dikelilingi oleh tulang rawan prespenoid dari tuberculum selae di anterior dan tulang rawan
postspenoid dari dorsum di posterior.

Serat saraf olfaktoris (I) menentukan pembentukan lubang dari bidang kribriform
tulang etmoid. Perluasan tulang rawan orbitospenoid di sekitar saraf optik (II) dan arteri
optalmik, saat bergabung dengan bagian kranial bidang basal akan membentuk foramen
optik. Ruang antara tulang rawan orbitospenoid dan alispenoid akan tetap ada, suatu jalan
untuk saraf okulomotor (III), troklear (IV), optalmik (V), dan abdusen (VI) serta vena
optalmik seperti fisura orbital superior. Pertemuan alispenoid (sayap yang lebih besar) dan
tulang rawan prespenoid dari tulang spenoid dilewati oleh saraf maksilaris (V 2) untuk
membentuk foramen rotundum, saraf mandibula (V3) untuk membentuk foramen ovale, dan
arteri meningeal tengah untuk membentuk foramen spinosum. Adanya tulang rawan diantara
daerah-daerah osifikasi alispenoid dan kapsul otik berperan dalam pembentukan foramen
laserum. Osifikasi di sekitar arteri karotid internal dan kanalisnya terletak di pertemuan
tulang rawan alispenoid dan postspenoid serta kapsul otik.

Masuknya saraf wajah/fasialis (VII) dan vestibulocochlear (VIII) melalui kapsul otik
memastikan patensi dari internal akustik meatus. Saraf glossofaringeal (IX), vagus (X), dan
spinal asesoris (XI) serta vena jugular internal yang lewat diantara kapsul otik dan tulang
rawan parakordal berperan dalam membentuk foramen jugular yang besar. Saraf hipoglosal
(XII) berjalan di antara sklerotom oksipital berperan dalam pembentukan kanalis hipoglosal
atau kondilar kanal anterior. Sedangkan spinal cord menentukan pembentukan foramen
magnum.

Hampir 110 pusat osifikasi terletak di tengkorak embrio manusia. Beberapa pusat ini
bergabung membentuk 45 tulang di tengkorak neonatal. Pada orang dewasa muda terlihat 22
tulang tengkorak.

Pusat osifikasi dalam bidang basal meluas bersama alispenoid pada minggu ke 8 intra
uterin, membentuk dasar untuk bagian tulang endokondral dari tulang oksipital, spenoid dan
temporal (dimana semuanya memiliki komponen tulang intramembranosis) dan untuk seluruh
tulang endokondral etmoid dan concha nasal inferior.

Sisa kondrokranial yang tidak terosifikasi akan tetap ada pada saat lahir sebagai alae
dan septum dari hidung, pertemuan speno-oksipital dan spenopetrosal, apeks tulang petrosal,
diantara bagian-bagian tulang oksipital yang terpisah, dan pada foramen laserum.

2.5.1.1 Tulang Oksipital

Berawal dari tulang rawan basikranial (berperan melalui sklerotom oksipital) dan
membran desmokranial, tulang oksipital berosifikasi dari tujuh pusat (dua intramembranosis,
lima endokondral) di sekitar medula oblongata, dan menentukan pembentukan foramen
magnum. Tulang oksipital berkembang dalam berbagai pola, dengan komponen-
komponennya yang merupakan sentrum, prosesus transversal, dan lengkung neural dari
beberapa vertebra oksipital yang berurutan. Tulang rawan basioksipital, seperti tubuh
vertebral, dilewati oleh notokord, vestigeal yang masih ada pada saat lahir. Bagian squamous
di atas garis nukal superior berosifikasi dari sepasang pusat osifikasi intramembranosis pada
minggu ke delapan intra uterin, dan intranukal dari sepasang pusat osifikasi endokondral pada
minggu ke 10 intra uterin.
Pusat osifikasi basikranial endokonral medial tunggal muncul pada minggu ke 11,
membentuk tulang basioksipital di depan foramen magnum dan sepertiga anterior condyle
oksipital. Sepasang pusat osifikasi endokondral muncul pada minggu ke 12, membentuk
tulang eksosipital di lateral foramen magnum, termasuk dua-pertiga posterior condyle
oksipital dan mengelilingi saraf hipoglossal untuk membentuk kelenjar hipoglossal. Squama
oksipital mulai bergabung dengan eksosipital pada sinkondrosis intraoksipital posterior
selama tahun ke 2-3 postnatal. Eksosipital bergabung dengan basioksipital pada sinkondrosis
intraoksipital anterior yang terletak pada condyle. Selama tahun ketiga dan keempat,
sinkondrosis anterior ini mulai hilang dan pada umur 7 tahun bagian eksosipital, squomous,
dan basilar bergabung untuk membentuk tulang oksipital tunggal. Tuberkel basioksipital
muncul pada permukaan ventral basioksipital untuk tempat perlekatan raphe faringeal medial.

Postnatal, permukaan endokranial dari tulang oksipital umumnya teresorpsi dan


permukaan ektokranial terdepositer, menghasilkan pergeseran ke bawah dari dasar fossa
kranial posterior untuk tempat otak yang membesar. Bagian squamous dan basilar memiliki
kecepatan pertumbuhan yang terpisah.

2.5.1.2 Tulang Temporal

Komponen squamous dan timpani dari tulang ini berosifikasi dalam membran,
sedangkan elemen petrosal dan stiloid berosifikasi endokondral diantara 21 pusat osifikasi.
Bagian squamous berosifikasi intramembranosis dari satu pusat yang muncul pada minggu ke
8 intra uterin, dan prosesus sigomatik meluas dari pusat osifikasi ini. Cincin timpani
mengelilingi eksternal akustik meatus, berosifikasi dari empat pusat intramembranosis,
dimulai pada bulan ke 3 intra uterin. Otosit telinga dalam merangsang kondrogenesis pada
mesenkim periotik, baik neural crest maupun mesodermal untuk membentuk kapsul otik,
sedangkan represi lokal dari kondrogenesis menyebabkan terbentuknya ruang perilimfatik
dalam kapsul. Bagian petrosal berosifikasi endokondral dalam kapsul otik dari 14 pusat.
Pusat ini mulai muncul minggu ke 16 dan bergabung saat bulan ke 6 intra uterin, ketika
labirin telingan dalam sudah mencapai ukuran maksimal. Kapsul otik mulanya berhubungan
dengan tulang rawan basioksipital, tetapi sinkondrosis berubah menjadi foramen laserum dan
jugular.

Telinga dalam di dalam tulang petrosal mengandung derivat lengkung brankial


pertama dan keduua yang membentuk tulang maleus, inkus, dan stapes.

Tulang petrosal membentuk kapsul otik dewas, terdiri dari tiga lapisan: endosteal dan
lapisan periosteal di bagian luar yang mengandung kanalis haversian, dan lapisan dalam
terdiri dari tulang endokondral seperti fetus, yang tetap ada sepanjang hidup dan tidak
digantikan oleh tulang kanalikus haversian. Labirin osseous tetap tidak berubah sepanjang
hidup sebagai anyaman kapsul tulang yang melindungi labirin membranosis. Sebaliknya,
lapisan petrosal periosteal luar teremodelling menjadi tulang lamelar dan beradaptasi
terhadap tekanan fungsional. Prosesus stiloid berosifikasi dari dua pusat di lengkung tulang
rawan brankial hioid (kedua), dimana pusat atas terbentuk tepat sebelum lahir dan pusat
bawah tepat setelah lahir.

Pada minggu ke 22 intra uterin, bagian petrosal dan cincin timpani bergabung kurang
sempurna, sehingga meninggalkan fisura petrotimpani yang dilewati oleh saraf korda timpani
dan ligamen diskomaleolar. Pada saat lahir, cincin timpani bergabung tidak sempurna dengan
bagian squamous tulan gtemporal, membentuk fisura squamoutimpani. Kemudian, cincin
tumbuh secara lateral untuk membentuk bidang timpani. Prosesus petrosal, squamous dan
stiloid proksimal bergabung selama tahun pertama kehidupan, dan prosesus stiloid distal dan
proksimal bergabung sekitar periode pubertas.

Fossa mandibula (glenoid) hanya merupakan cekungan dangkal pada saat lahir, yang
kemudian menjadi dalam dengan berkembangnya eminensia artikular. Prosesus matoid
terbentuk setelah tahun kedua, ketika terlewati oleh perluasan antrum timpani, untuk
membentuk rongga udara mastoid.

2.5.1.3 Tulang Ethmoidale

Keseluruhan endokondral os etmoidale, yang membentuk dasar median dari fossa


cranial anterior dan bagian atap, dinding lateral, dan median septum dari kavitas nasal,
mengalami osifikasi dari tiga pertengahan. Single median center dalam kartilago mesethmoid
membentuk perpendicular plate dan crista galli sebelum lahir; sepasang dari tengah untuk
labirin lateral muncul pada kartilago nasal capsular pada bulan ke-empat post conception; dan
osifikasi sekunder tengah muncul antara cribriform plates dan crista galli pada saat lahir.
(Lihat gambar 8-4). Pada umur 2 tahun, perpendicular plates bersatu dengan labirin, melewati
fusi dari cribriform plate, untuk membentuk os etmoidale tunggal.

Resorpsi dari permukaan endokranial dari cribriform plates, dengan deposisi pada
seberang permukaan nasal, menghasilkan perpindahan ke bawah dari lantai kranium anterior.
Pertumbuhan postnatal dari cribriform plate sedikit dan sempurna pada usia 4 tahun.
Pertumbuhan postnatal dari elemen nasal lain merupakan faktor penting pada perluasan
sepertiga tengah wajah.

2.5.1.4 Konka Nasalis Inferior

Sebuah tulang endokondral, konka nasalis inferior, mengalami osifikasi pada


kartilago di bagian lateral dari nasal capsule (ectethmoid) dari pusat tunggal yang muncul
pada bulan ke lima post conception. (lihat gambar 8-4). Osifikasi periferal pada gulungan
kartilago membuat sebuah tulang lamella ganda ketika kartilago mengalami resorb (terisap).
Konka nasalis inferior melepaskan diri dari ectethmoid untuk menjadi tulang independen.

2.5.1.5 Tulang Sphenoidale

Os sphenoidale yang multikomposit sudah memiliki 19 pusat osifikasi


intramembranosa dan endokondral. Pada sentral tubuhnya, basisphenoid, berasal dari
kartilago basicranial sementara sayap dan pterygoid plates-nya memiliki baik pusat osifikasi
kartilago dan intramembranosa.

Badan sphenoid berasal dari pusat presphenoid dan postsphenoid (basisphenoid).


Sebuah pusat single median dan dua pasang presphenoid muncul pada 4 bulan post
conception pada bagian mesethmoid dari tuberculum sellae. Tulang postsphenoid, muncul
pada dua set dari pusat pasangan pada cartilago basisphenoid pada sisi yang sama dari
penaikan tonjolan kantong hipofisial (Rathke’s) selama bulan keempat, membentuk sella
turcica, dorsum sellae, dan basisphenoid (di mana notorkord berakhir). Peleburan pada pusat
osifikasi menghapuskan traktus orohypofisial; persistensi traktus sebagai craniopharyngeal
canal pada badan sphenoid dapat menimbulkan tumor craniopharyingeal.
Pusat osifikasi endokondral untuk sayap yang lebih lebar pada sphenoid muncul
dalam kartilago alisphenoid dan kartilago orbitosphenoid pada sayap yang lebih kecil. Juga,
pusat osifikasi intramembranosa muncul pada minggu ke-8 post conception pada bagian
sayap yang lebar dan untuk lateral dan medial dari pterygoid plates.

Medial pterygoid plates mengalami osifikasi endokondral dari kartilago sekunder


pada prosessus hamularnya. Pada banyak fetus, hamulus pterygoideus merupakan tulang
yang nyata dan terosifikasi menyeluruh pada saat lahir; hamulus pterygoideus ini bersama
dengan alisphenoid, merupakan elemen sphenoidal pertama yang mengalami osifikasi (awal
pada minggu ke-8). Hamulus mulai dipisahkan oleh sutura dari medial pterygoid plate.

Mendekati akhir penonjolan cranial dari basisphenoid terdapat sepasang (mulai


terpisah) konka sphenoidal (Bertin’s bone), yang tergabung dalam badan sphenoid postnatal
dan di mana sinus sphenoidal akan mengalami invaginasi kemudian.

Sinkondrosis midsphenoidal antara pre dan postphenoid bergabung pendek sebelum


lahir. Pada hampir semua mamalia selain manusia, sinkondrosis ini bersatu pada akhir
postnatal atau tidak sama sekali. Basisphenoid dan alisphenoid masih terpisah pada saat lahir
oleh kombinasi gabungan kartilago/ artikulasi ligamen. Basisphenoid mengartikulasikan
basiooccipital dan ligamen dengan petrosal bone secara kondral. Normalnya, spheno-
occipital syncondrosis bergabung pada masa remaja; fusi prematur ini pada masa
pertumbuhan menghasilkan depressed nasal bridge dan “dished” face yang menggambarkan
banyak anomali kraniofasial.

2.5.2 Basis Cranii dan Angulasi Basis Cranii

Kondrokranium penting sebagai perlekatan antara neurokranium dan rangka facial;


permukaan endokranialnya berhubungan pada otak sementara aspek ektokranialnya merespon
pada faring dan facial complex dan otot-ototnya. Dibandingkan dengan calvaria dan wajah,
basis cranii relatif stabil selama pertumbuhannya, membuktikan beberapa basis melawan di
mana pertumbuhan akhir elemen tengkorak dapat dibandingkan. Pertumbuhan neurokranium
yang sangat cepat, khususnya calvaria, kontras dengan tulang wajah yang pertumbuhannya
lebih lambat dan lama. Basis kondrokranial pada tengkorak bayi yang baru lahir lebih kecil
dari bagian calvarial desmocranial, yang meluas melebihi dasar lateral dan posterior.
Stabilitas relatif dan kondrokranium mempertahankan susunan hubungan antara pembuluh
darah, cranial nerves, dan spinal cord yang melewatinya.
Bagian sentral pada basis cranii dibentuk dari bagian prekordal (lokasi pada rostral)
dan kordal yang bertemu pada sudut di fossa hypofisialis (sella turcica). Pada sudut yang
lebih rendah, dibentuk oleh garis pada nasion ke sella ke basion pada sagittal plane (gambar
8-7), yang pada mulanya tumpul, kira-kira 150 0 pada usia minggu ke empat embrio
(precartilage stage) dan menjadi lebih akut (1150 sampai 1200) pada usia 10 minggu
(preossification stage). Antara 6 sampai 10 minggu, seluruh kepala ditinggikan oleh
perluasan pada leher, mengangkat wajah dari thorax (Gambar 10-4). Perluasan kepala ini
seiring dengan fusi palatum. Pada waktu osifikasi basis cranii (antara 10-20 minggu), sudut
basis cranii meluas antara 125o-130o dan mempertahankan sudutnya pada masa postnatal.
Ketika kondokranium mempertahankan kelenturan preossification acute-nya di anencephaly,
pemipihan pada basis cranii mungkin disebabkan oleh pertumbuhan yang sangat cepat pada
otak selama periode fetal.
Pertumbuhan basis cranii sangat tidak merata, maka dalam menjaga ketinggian bentuk
irregularnya, basis cranii berkembang untuk mengakomodasi permukaan gelombang ventral
pada otak. Pertumbuhan yang tidak merata pada bagian otak direfleksikan dalam adaptasi
pada bagian yang berhubungan dengan basis cranii sebagai ruang atau cranial fossa.
Diencephalon merupakan bagian yang paling cepat pertumbuhannya, dilanjutkan oleh
telencephalon, dan rhombencephalon (dengan cerebellum) yang paling lama
pertumbuhannya. Pada bagian anterior dan posterior basis cranii, dipisahkan oleh sella
turcica, tumbuh pada kecepatan yang berbeda. Antara minggu ke-10 sampai minggu ke-40
post conception, anterior basis cranii meningkat pada panjang dan lebarnya tujuh hali lipat,
tetapi pada bagian posterior basis cranii hanya lima kali lipat. Pertumbuhan pada central
ventral axis atau otak (batang otak) dan bagian badan sphenoid yang berhubungan serta
tulang basiooccipital berjalan lambat, membuktikan kestabilan perbandingan basis secara
komparatif. Fossa bagian anterior, middle, dan posterior dari lantai cranium (masing-masing
berhubungan dengan frontal dan temporal lobes pada cerebrum dan pada cerebellum) meluas
sangat besar pada basis ini, dalam menjaga pemekaran yang sangat besar pada bagian-bagian
otak ini.

Ekspansi pada basis cranii menghasilkan (1) sisa-sisa pertumbuhan kartilago pada
kondrokranium yang terus ada di antara tulang dan (2) tekanan ekspansif yang muncul dari
otak yang tumbuh (capsular functional matrix), memindahkan tulang ada garis sutura. Oleh
karena pertumbuhan interstisialnya, kartilago perantara (sinkondrosis) dapat berpisah pada
tulang yang berdekatan sebagai penambahan pertumbuhan tulang aposisi pada ujung
suturanya. Oleh karena itu, pertumbuhan tulang dalam ventral midline (cribriform plate dari
tulang ethmoid, presphenoid, basisphenoid, dan basioccipital) berkontribusi pada
pertumbuhan basis cranii. Kartilago antara tulang ini berkontribusi secara bervariasi dari
fossa cranii anterior tergantung pada pertumbuhan sutura sphenofrontal, frontoethmoidal, dan
sphenoethmoidal. Pada akhir dua sutura berhenti berkontribusi pada pertumbuhan sagittal-
plane setelah usia 7 tahun. Permukaan internal dari os frontale dan cribriform plate berhenti
melakukan remodeling pada usia 4 tahun. Dengan demikian menjadi “stabil” dari sekitar 6
sampai 7 tahun. Pertumbuhan lebih lanjut pada basis cranii anterior (anterior ke foramen
cecum) diasosiasikan melalui ekspasi pada perkembangan sinus frontalis.

Pertumbuhan postnatal dalam sinkondrosis spheno-occipital merupakan kontributor


utama pada pertumbuhan basis cranii, yang tetap ada sampai awal masa dewasa. Periode
pertumbuhan yang lebih lama ini memungkinkan ekspansi berkelanjutan pada posterior
maxilla untuk mengakomodasi erupsi gigi molar di masa depan dan menyediakan ruang
untuk pertumbuhan nasofaring. Sinkondrosis spheno-occipital merupakan akhir sinkondrosis
yang bersatu, dimulai dari permukaan serebral di usia 12-13 tahun pada anak perempuan dan
14-15 tahun pada anak laki-laki; osifikasi pada aspek eksternal sempurna pada usia 20 tahun.

Pada fase prenatal, sinkondrosis ini bukan merupakan pusat pertumbuhan yang utama.
Saat postnatal, deposisi tulang yang lebih besar muncul pada occipital daripada sisi
sphenoidal dari sinkondrosis, yang berproliferasi secara intersitisial pada bagian midzone.
Kelanjutan pertumbuhan pada aspek inferior dari sinkondrosis yang terjadi setelah fusi pada
bagian permukaan superiornya (cerebral) akan menghasilkan displacement ke atas dan ke
bawah dari basioocciput yang berhubungan dengan sphenoid, cenderung untuk mendatarkan
sudut sphenooccipital, dan pada akhirnya, basis cranii. Kecenderungan ini ditiadakan oleh
internal resorpsi dari clivus, sehingga mempertahankan sudut spheno-occipital dengan
konstan selama pertumbuhan.
Tambahan pula, untuk proliferatif pertumbuhan sinkondrosal, basis cranii melalui
remodeling selektif dengan resorpsi dan deposisi. Clivus, sementara melakukan resorbing
pada permukaan cerebralnya, menunjukkan aposisi pada permukaan nasofaring (inferior) dari
tulang basiooccipital dan margin anterior dari foramen magnum; oleh karena itu, ini dapat
berlanjut untuk perpanjangan setelah penutupan sphenooccipital syncondrosis. Untuk
mempertahankan ukuran foramen magnum, resorpsi muncul pada bagian posterior margin.
Pemisahan bagian squamous, condylar, dan basilar dari tulang occipital bergabung bersama
setelah lahir. Os temporal dibentuk dari bagian yang terpisah petrosus, squamosus, styloideus
dan tympanic-ring pada saat lahir, ketika penyatuan dari bagian-bagian ini dimulai. Pada saat
lahir, fossa temporomandibularis datar dan kurang sebuah tuberkulum artikularis; condylus
occipitalis juga datar dan akan menjadi jelas hanya selama masa kanak-kanak.

Selama pertumbuhan, resorpsi yang jelas pada dasar cranial fossa memperdalam
ruang endocranialnya, sebuah prosessus disokong pemindahan dasar fossa oleh ekspansi
sutura pada dinding lateral neurocranium.

Perluasan sella turcica disebabkan karena remodeling dari kontur (garis) terdalamnya;
meskipun bagian dinding anteriornya stabil dalam usia sampai 6 tahun, bagian dinding
posteriornya dan (untuk berbagai tingkatan) lantainya akan melakukan resorbing sampai usia
16 sampai 17 tahun. Karena remodeling variabel pada sella turcica, reference-point sella
(pertengahan sella turcica) tidak dapat dianggap stabil sampai setelah pubertas. Bagian dari
porsi petrosus os temporal tidak melakukan resorbing dan merupakan tempat pada beberapa
deposisi tulang.
2.5.3 Anomali pada Perkembangan Basis Cranii

Pada anancephaly, ketidakhadiran calvaria akan menghasilkan cranioskisis, yang


digambarkan dengan kondrokranium yang pendek, sempit, dan lordotic, dengan anomali
notokordal pada banyak kasus (Lihat gambar)

Derita dari pertumbuhan kartilago menghasilkan basis cranii yang berkurang dengan
peningkatan angulasi karena hilangnya efek pemipihan atau pendataran pada pertumbuhan
sinkondrosis sphenooccipital. Hal ini menghasilkan “dished” deformity pada sepertiga tengah
dari tulang wajah, yang diaksentuasikan oleh pembengkakan neurocranium. Beberapa kondisi
berbeda seperti akondroplasia, kretinisme, dan Down syndrome (sindrom trisomi 21)
menghasilkan karakteristik kelainan yang serupa dengan cara menghambat efek dari
pertumbuhan kondrokranium. Anencephalics menahan acute cranial-base flexure yang khas
pada fetus awal; hal ini mengingatkan bahwa pertumbuhan otak berkontribusi pada
pemipihan (perataan) basis cranii.

Bentuk-bentuk tertentu dari dental malocclusion mungkin berhubungan dengan defek


pada kondrokranium yang meminimalisasi ruang yang tersedia pada maxillary dentition.
2.6 Nasomaxillary Complex

Pertumbuhan dari cranium dan kerangka wajah berada pada tingkatan yang berbeda.
Oleh perbedaan pertumbuhan itulahm wajah sesungguhnya bersatu dibawah cranium. Bagian
atas wajah, cenderung dipengaruhi oleh basis cranii, bergerak ke atas dan ke depan. Bagian
bawah wajah bergerak ke bawah dan ke depan pada ‘expanding V’.

Sejak Maxillary complex melekat pada basis cranii, terdapat pengaruh yang besar
kemudian terhadap pembentukannya. Meskipun begitu, disana tidak terdapat garis yang jelas
dari batas antara cranium dan gradient pertumbuhan maxilla. Pertumbuhan dari maxilla
bergantung pada pertumbuhan pada sinkondrosis spheno-occipital dan sinkondrosis spheno-
ethmoidal.

Terdapat dua aspek penting dalam pembahasan Nasomaxillary complex:

1. Pergeseran posisi dari maxillary complex


2. Perpanjangan dari complex itu sendiri.

Kedua hal tersebut saling berkaitan dan berinringan. Enlow dan Bang menerapkan
prinsip “daerah relokasi” terhadap pergeralan kompleks dan multidireksional dari
pertumbuhan ini, sebagai sebuah proses dinamik yang berkelanjutan. “daerah local
yang spesifik menempati tempat baru , yang sebenarnya, dalam pergantian,
sebagaimana seluruh tulang mengalami pemanjangan.

Pergesaran pertumbuhan dan perubahan ini melibatkan penyesuaian remodeling yang


berurutan dan sesuai dengan tujuan untuk mempertahankan bentuk yang sama, posisi
yang relative dan proforsi yang konstan dari setiap daerah individu dalam maksila
sebagai suatu yang utuh.. Moos mendeskripsikan ini masing-masing sebagai
translokasi dan transposisi.

Perkembangan maksila oleh osifikasi intramembranosa. Proliferasi jaringan ikat


sutura, osifikasi, aposisi permukaan, resorpsi, dan translasi merupakan mekanisme
bagi pertumbuhan maksila. Maksila dihubungkan pada cranium setidaknya sebagian
oleh sutura fronto maksilary, sutura zygomaticomaksilari, sutura zygomaticotemporal,
sutura ptrygo-palatin. Wein mann dan sichrr berpendapat bahwa sutura ini semuanya
oblique dan sedikit banyak parallel terhadap satu sama lain. Kemudian pertumbuhan
pada daerah ini memungkinkan maksila untuk bergerak kebawah dan kedepan ( atau
cranium keatas dan kebelakang)

Moos dan green berg berpendapat bahwa bagian dasar dari tulang maksila adalah
infraorbital neuropascular triad dimana tulang basal maksila sebagian besar berfungsi
sebagai mekanisme perlindungan bagi nervus trigeminus. Ini merupakan pengaruh
neuro trophoca dimana mempertahankan konsistensi jarak untuk canalis infraorbital
dengan anterior basis crania. Secara tidak langsung, hal tersebut menghasilkan
konstansi yang serupa dari bagian relative kerangka basal maksila terhadap basis
yang sama.

Moos membagi perubahan pertumbuhan tulang pada maksila menjadi 3 tipe :

1. Perubahan yang berhubungan dengan kompensasi untuk gerakan pasif tulang yang
dibawa oleh expansi primer dari kapsula orofacial.
2. Terdapat perubahan pada morfologi tulang yang berhubungan dengan perubahan
pada volume absolute, bentuk ukuran atau posisi jarak dari satu atau seluruh
matrix fungsional maksila yang independen seperti massa orbital
3. Terdapat perubahan pada tulang untuk mempertahanan bentuk tulang itu sendiri.

Dari semua perubahan diatas tidak muncul secara simultan tetapi lebih secara berbeda
atau berurutan.

Untuk menganalisa pertumbuhan maksila yang lebih baik, kita harus


menggeser folus kita kepada matriks fungsional. Sudah ditekankan bahwa
pertumbuhan bola mata merupakan perkembangan yang penting dari cavitas orbital.
Berdasarkan pengalaman eksperimen menyarankan jika tidak ada primordium untuk
mata, maka tidak ada orbit. Hal tersebut jelas bahwa matrik fungsional mempunyai
efek langsung pada struktur osseous contiguoug. Juga sebagai tulang neurocranial
yang tertutup dalam capsula neurocranial, tulang facial yang tertutup didalma capsula
orofacial. Menghasilkan tulang facial secara pasif membawa keluar (kebawah,
kedepan dan kesamping) oleh ekspansi primer dari matriks orofacial yang tertutup
(orbital,nasal,oral matriks). Sebagai tambahan terdapat pertumbuhan penting dari
sinus dan ruang antar mereka dimana mempunyai fungsi yang penting. Hasil
perubahan maksila akan menjadi sekunder, konfensatori dan obliqgatori secara
mekanis. Pada arah vector anterior posterior ,depan, gerakan pasif maksila secara
konstan menjadi dikompensasikan oleh proses penumpukan pada tuberositas maksila
dan prosesus palatal dari kedua maksila dan tulang palatine

Disebutkan secara spesifik, pertumbuhan vertical dari maksilari kompleks


berdasarkan pada proses aposisi yang berkelanjutan sebagai erupsi gigi. Sebagai
maksila desenden, aposisi tulang berlanjut pada dasar orbital, dengan seiringnya
resorpsi pada dasar nasal dan aposisi tulang pada permukaan inferior palatal. Dengan
proses alternative dari deposisi tulang dan resorpsi, orbital dan dasar nasal dan
palatine vault bergerak kebawah dalam suatu parallel.

Secara transversal pertumbuhan tambahan pada ujung bebas meningkatkan jarak


antara mereka. Segmen bucal bergerak kebawah dan keluar, saat maksila itu sendiri
bergerak kebawah dan jedepan, mengikuti prinsip ekspanding V.

2.7 Growth-Controlling Factors

Pertumbuhan tulang postnatal, meliputi enlargement dan remodelling,


didasarkan kepada proses intramembranous dan endochondral ossification yang
terjadi di tulang pipih, epiphysies, dan sutura. Proses pertumbuhan postnatal
berlangsung selama ±20 tahun. Proses ini mempengaruhi struktur suatu individu
untuk membedakan jumlah pada interval yang berbeda dan berorientasi kepada arah
yang beragam. Control suatu morfogenesis yang kompleks membutuhkan suatu
regulator biologis yang khusus. Hipotesis terakhir mengasumsikan bahwa
perkembangan facial-skeletal postnatal dikontrol oleh system multifaktorial (van
Limborgh, 1970 dan Petrovic, 1970).
Menurut van Limborgh (1970, 1972) morfognesis craniofacial dikontrol oleh
lima faktor, intrinsic genetic factors, local and general factors, dan local and general
environmental factors. Berdasarkan teori pertumbuhan ini, local factors, genetic dan
general factors dapat menyebabkan anomali.
Intrinsic genetic factors mempengaruhi sel yang mengandung gen tersebut dan
menentukan karakteristik sel dan jaringan. Epigenetic factors yang ditentukan secara
genetic dan efektif di luar sel dan jaringan tempat dia diproduksi. Epigenetic factors
hanya berlangsung secara tidak langsung, tergantung reaksi struktur yang
dipengaruhinya. Menurut van Limborgh, faktor-faktor dapat memberikan efek
terhadap struktur yang berdekatan seperti local epigenetic factors (e.g. induksi
embrionik) atau yang diproduksi secara luas dan mengakibatkan pengaruh general
epigenetic (e.g. hormone sex dan pertumbuhan).
Local dan general environmental factors mengatur dan memodifikasi
morfogenesis yang dikontrol oleh genom. Local environmental factors (e.g. tekanan
muskular saat terapi fungsional dilakukan) memberikan pengaruh yang lebih besar
terhadap pertumbuhan craniofacial postnatal dibandingkan general factors (e.g.
makanan, ketersediaan oksigen).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Endochondral Ossification


Pertumbuhan cranial synchondroses (e.g. sphenoethmoidal dan spheno-
occipital synchondrosis) dan tahap-tahap endochondral ossification ditentukan oleh
chondrogenesis. Chondrogenesis pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor genetic, sama
seperti pertumbuhan facial mesenchyme selama awal embriogenesis dan fase
diferensiasi pada cranial cartilage dan jaringan tulang.
Proses ini sedikit dipengaruhi oleh local epigenetic dan environmental factors.
Ini menjelaskan fakta bahwa cranial base lebih resisten terhadap deformasi
dibandingkan desmocranium (sutura dan periosteum). Local epigenetic factors dan
environmental factors dapat meningkatkan maupun menghambat jumlah formasi
kartilago. Kedua faktor ini memiliki efek yang sedikit terhadap bentuk dan arah dari
endochondral ossification. Efek ini telah dianalisa selama pertumbuhan mandibular
condyles.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intramembranous Ossification


Intramembranous ossification pada desmocranium (sutura dan periosteum)
diperantarai oleh struktur skeletogenic mesenchymal dan menghasilkan deposisi
tulang serta resorpsi tulang. Proses ini dikontrol hampir keseluruhannya oleh local
epigenetic dan local environmental factors (i.e. oleh tekanan otot, local external
pressure, oleh endochondral ossification). Faktor genetik hanya memiliki efek yang
non-spesifik terhadap intramembranous ossification dan hanya menentukan batas
eksternal dan jumlah serta periode pertumbuhan.
2.8 Pembahasan Kasus

2.8.1 Identitas Pasien

Nama : Clara Facial

Usia : 7 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

2.8.2 Istilah (Terms)


1) Crouzon’s syndrome
Crouzon’s syndrome adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh faktor
herediter. Sindrom ini menyerang first arch of brachial sehingga mengganggu
prekursor maksila dan mandibula. Crouzon’s syndrome merupakan suatu
keadaan kraniositosis atau kondisi di mana sutura di bagian kranium berfusi
menjadi tulang terlalu dini.
2) Hypoplastic/Hypoplasia
Hypoplastic atau hypoplasia merupakan perkembangan yang tidak sempurna
atau sama sekali tidak terjadi perkembangan pada suatu jaringan atau organ.

2.8.3 Identifikasi Masalah


1) Pemeriksaan ekstra oral :
(1) Basis cranium anterior pendek
(2) Hypoplastic midface
- exophtalmus (mata menonjol keluar)
- hypertelorism (jarak kedua mata lebar)
- broad root of the nose

2.8.4 Hipotesis
(1) Penutupan sutura lebih dini
(2) Perkembangan midface lebih lambat daripada dahi, mata, dan mandibula

2.8.5 Mekanisme
Faktor genetik  mengenai reseptor pertumbuhan tulang  abnormalitas
pertumbuhan dan perkembangan cranial pada masa embrio  pertumbuhan
tulang terlalu cepat  penutupan sutura lebih dini  basis cranium anterior
pendek  midface tidak berkembang secara normal (bagian nasal dan maksila)
 hypoplastic midface yang ditandai dengan exopthalmus, hypertelorism, dan
broad root of the nose  Crouzon’s syndrome

2.8.6 Penanganan Crouzon’s syndrome

2.8.6.1 Tengkorak
Pembedahan dapat dilakukan untuk membuang sutura yang tertutup dan membentuk kembali
tengkorak. Anak-anak dengan multiple-suture synostosis yang menyebabkan deformitas
tengkorak parah membutuhkan pembedahan di awal tahun pertama.
2.8.6.2 Mata
Anak dengan crouzon syndrome memiliki posisi dan bentuk kantung mata yang tidak normal.
Penderita berisiko mengalami kekurangan penglihatan karena mata mengalami misalignment
dan tekanan intra cranial meningkat. Penderita dengan kantung mata yang terlalu dangkal
sehingga penutupan kelopak mata tidak sempurna dan berisiko mengalai iritasi kornea
(keratitis). Penderita dianjurkan untuk datang ke opthalmologist. Fronto orbital advancement
(pemindahan bagian depan tengkorak ke depan) dapat dilakukan sebagai penanganan.
2.8.6.3 Otak
Anak-anak dengan crouzon’s syndrome sebaiknya dicek apakah ada tanda atau gejala dari
hidrocephalus (kelebihan cairan pada otak). Beberapa anak dengan crouzon syndrome
memiliki Chiari malformation (abnormalitas pada bagian belakang otak) karena bentuk basis
cranium yang abnormal. Kadang, otak tertekan oleh basis cranium sehingga dapat
menyebabkan sakit kepala atau gejala neurological lainnya.
Hal ini dapat ditangani dengan pembedahan untuk memperlebar basis cranium.
2.8.6.4 Pendengaran
Anak-anak dengan crouzon syndrome dapat mengalami kehilangan pendengaran atau
abnormalitas pada canalis telinga. Kehilangan pendengaran, tingginya palatum, dan cavitas
nasalis yang kecil dapat menyebabkan kesulitan berbicara. Dapat ditangani dengan cara
terapi.
2.8.6.5 Pernapasan
Penderita crouzon syndrom anak memiliki kesulitan bernapas lewat hidungnya. Hal ini dapat
ditanganin dengan surgical tracheostomy (penempatan tube pernapasan pada jalan udara dari
laring ke bronkus)
2.8.6.6 Gigi

Penderita crouzon syndrome memiliki rahang atas yang lebih kecil. Hal ini menyebabkan gigi
berjejal dan kelainan susunan rahang seiring pertumbuhan anak. Beberapa gigi rahang atas
harus dicabut karena rahang atas tidak memiliki ruang yang cukup bagi semua gigi untuk
tumbuh. Pembedahan serta emakaian alat orthodonti untuk memperlebar palatum dan
merapikan susunan gigi dapat dilakukan untuk menangani kelainan gigi penderita akibat
Crouzon’s syndrome.

2.9Kelainan lain sebagai diagnosa pembanding

1. Pfeiffer Syndrome
Suatu cacat lahir bawaan yang sangat langka yang memperlihatkan adanya
malformasi pada bagian tengkorak, tangan dan rahang dikarenakan penutupan dini
dari sutura (craniosyntosis) pada bagian tulang tengkorak. Anak-anak yang seperti
ini mempunyai beberapa ciri yang khas seperti ibu jari yang pendek dan lebar,
syndactyly, bola mata yang lebih menonjol, rahang atas yang tidak berkembang
dan hidung yang bengkok.
Sindrom ini diwariskan dalam sifat autosomal dominan, yang berarti bahwa
hanya diperlukan salah seorang dari orang tua untuk mewariskan gen FGFR1 atau
FGFR2 yang rusak sehingga anak dikatakan menderita sindrom ini. Anak-anak
yang menderita Pfeiffer syndrome yang ringan (tipe 1) masih dapat menjalani
kehidupan yang normal dengan kemampuan intelektual yang normal apabila
dilakukan pembedahan kraniofasial sejak dini. Namun, bagi mereka yang
menderita tipe 2 dan 3 mempunyai resiko kematian dini yang lebih besar
dikarenakan pada tipe 3 ada saluran pernafasan yang tertutup dengan parah.
2. Apert Syndrome
Suatu kelainan genetik yang memperlihatkan adanya bentuk wajah yang khas
seperti rahang yang tidak berkembang dan hidung yang bengkok karena adanya
malformasi pada bagian tengkorak, wajah, tangan dan kaki yang disebabkan oleh
penutupan dini dari sutura. Kelainan pembentukan tengkorak ini tampak seperti
Crouzon syndrome, yang membedakannya adalah pada kelainan ini dijumpai ciri-
ciri tambahan berupa jari tangan dan kaki yang berselaput.
Kondisi ini dapat disembuhkan melalui bedah kraniofasial. Anak-anak yang
menderita Apert syndrome ini dapat bertahan hidup seperti anak yang normal,
tetapi mereka mengalami gangguan intelektual yang ringan. Pada beberapa kasus,
anak-anak tersebut juga mengalami beberapa komplikasi yang berakibat kematian,
seperti kelainan pada jantung, ginjal polikistik dan atresia paru. Sindrom ini
diwariskan dalam sifat autosomal dominan, yang berarti bahwa hanya diperlukan
salah seorang dari orang tua untuk mewariskan gen FGFR2 yang rusak sehingga
anak dikatakan menderita sindrom ini.

3. Jackson-Weiss
Kelainannya mirip dengan kelainan yang terjadi pada penderita apert
syndrome namun tanpa adanya syndactyly tangan
4. Akondroplasia
Kelainannya disebabkan dari FGFR 3 pada kromoson 4P16, ciri-ciri yang
disebabkan kelainan ini adalah kekerdilan dan kelainan ekstremitas.
BAB III

PENUTUP

III. I Kesimpulan

Dari hasil diskusi dan pembahasan kasus ini, dapat disimpulkan bahwa clara
menderita Crouzon syndrome karena gejala yang dialami memang mengarah ke penyakit
tersebut.

Untuk treatmentnya akan dilakukan operasi pada bagian wajah yang mengalami
gangguan atau disebut distraksi osteogenesis craniofacial oleh bagian Bedah Mulut.

Walau clara sudah menjalankan treatment namun masih ada kemungkinan keturunan
clara nantinya akan ada yang terkena crauzon sindrom ini, karena penyakit ini bersifat
genetik
DAFTAR PUSTAKA

Bishara, S. E. Textbook of orthodontic. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 2001:


44-52.

Sadler, T.W. Langman : Embriologi kedokteran. Ed.10. Jakarta: EGC, 2009.

Sperber, H. Geoffrey. Craniofacial Development and Growth. 2001 London: BC


Decker Inc.

Histologi Umum, Prof. Subowo

Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Arthur C. Guyton, MD, dan John E. Hall, PhD

Anda mungkin juga menyukai