Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Salah satu tolok ukur utama yang biasa digunakan untuk mengukur efektivitas
kepemimpinan seseorang yang menduduki jabatan pimpinan dalam suatu organisasi ialah
kemampuan dan kemahirannya mengambil keputusan. Suatu keputusan dapat dikatakan sebagai
keputusan yang baik apabila memenuhi empat persyaratan, yaitu rasional, logis, realistis, dan
pragmatis.

Pengalaman dan penelitian menunjukkan bahwa efektivitas demikian hanya mungkin


dicapai apabila seorang pengambil keputusan mampu menggabungkan secara tepat tiga jenis
pendekatan.

Pertama, pendekatan yang didasarkan pada teori dan asas-asas ilmiah yang telah
dikembangkan oleh para teoretisi yang mendalami proses pengambilan keputusan. Teori dan
asas-asas ilmiah memiliki ciri universalitas yang tidak terikat pada situasi, kondisi. waktu dan
tempat. Akan tetapi, pengambilan keputusan sebagai salah satu cabang ilmu administrasi dan
manajemen hanya akan mempunyai makna operasional, jika faktor situasi, kondisi, waktu, dan
tempat selalu diperhitungkan. Karena sebagai suatu disiplin ilmiah, pengambilan keputusan itu
merupakan suatu ilmu terapan.

Kedua, pendekatan yang memanfaatkan kemampuan berpikir yang kreatif. ionovatif, dan
intuitif disertai oleh keterlibatan emosional. Daya pikir yang kreatif, inovatif dan intuitif
dibarengi dengan keterlibatan secara emosional di samping merupakan sesuatu yang sifatnya
generik, juga berkembang karena kemampuan memperhitungkan dampak situasional,
kondisional, temporal, dan spatial.

Ketiga, kemampuan belajar dari pengalaman mengambil keputusan di masa lalu, baik
karena keberhasilan maupun karena kekurang berhasilan atau bahkan mungkin kegagalan.
pendekatan ilmiah denrau Dendal.

Tanpa penggabungan pendekatan ilmiah dengan pendekatan keputusan mampu


mengambil keputusan yang rasional, logis, intuitif dan pengalaman sukar diharapkan seorang
pengambil realistis, dan pragmatis. Artinya, pengambilan keputusan yang hanya didasarkan pada
pendekatan ilmiah semata-mata mungkin saja akan membuahkan keputusan yang sangat baik di
atas kertas, karena sangat rasional dan logis, akan tetapi tidak akan dapat dilaksanakan dengan
hasil yang sesuai dengan harapan. Bukan saja karena keputusan demikian akan bersifat
idealistik, akan tetapi tidak relevan dengan kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan
organisasional. Sebaliknya, pengambilan keputusan yang hanya didasarkan pada daya
kreativitas, daya inovasi, intuisi, dan emosi semata-mata, mungkin saja sangat berkaitan dengan
dunia kenyataan, tetapi akan membuahkan keputusan yang sangat mungkin tidak tepat, sebab
penuh dengan kekurangan dalam prosesnya, dan juga akan sangat bersifat subyektif. Di samping
itu, pengambilan keputusan yang tidak didasarkan pada pengalaman masa lalu, berarti
melupakan tiga dimensi pengambilan keputusan, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Karena itu, mungkin saja terjadi pengambilan keputusan yang merupakan pengulangan
kesalahan yang pernah dibuat di masa silam.
A. Pengambilan Keputusan Sebagai Suatu Fungsi yang Kontekstual

Kalau diterima pendapat yang mengatakan bahwa kemampuan dan kemahiran seseorang
pejabat pimpinan mengambil keputusan yang rasional, logis, realistik, dan pragmatis - dengan
titelatur utama, administrator, manajer, kepala dan istilah lain yang sejenis merupakan salah satu
tolok ukur utama dalam mengukur efektivitas kepemimpinan orang yang bersangkutan, maka
berarti harus diterima pula pendapat yang menyatakan, bahwa pengambilan keputusan haruslah
dilihat sebagai salah satu fungsi utama setiap pejabat pimpinan terlepas dari bentuk, tipe, jenis,
dan ukuran organisasi yang dipimpinnya. Ini berarti bahwa teori, asas-asas, model, teknik, dan
prosedur pengambilan keputusan berlaku bagi semua jenis organisasi baik yang bergerak di
bidang politik, pemerintahan, keniagaan, da, bahkan organisasi nirlaba sekalipun. Jadi berarti
pula bahwa pengambilan keputusan itu harus dilihat sebagai sesuatu yang kontekstual sifatnya,
karena:

1. Pengambilan keputusan tidak berlangsung dalam suasanavakum.

2. Pengambilan keputusan berlangsung dalam rangka kehidupan organisasional.

3. Pengambilan keputusan berkaitan langsung dengan pencapaian tujuan dan berbagai


sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya.

4. Pengambilan keputusan menyangkut berbagai model, teknik, dan prosedur yang bersifat
universal, akan tetapi diterapkan dengan memperhitungkan situasi, kondisi, waktu, dan
tempat.

5. Pengambilan keputusan pada analisa terakhir diukur dengan implementasinya.

Pengambilan keputusan bersifat kontekstual juga karena ia merupakan fungsi yang amat
penting dalam keseluruhan proses administrasi dan manajemen. Dengan demikian pemahaman
yang mendalam tentang administrasi dan manajemen merupakan conditio sine qua non dalam
usaha seseorang meningkatkan efektivitasnya sebagai pengambil keputusan.

B. Tiga Pendekatan Pendalaman Administrasi.

Pada hakikatnya terdapat tiga pendekatan dalam mendalami administrasi, baik sebagai suatu
disiplin ilmiah, maupun sebagai rangkaian kegiatan tertentu yang diselenggarakan oleh dua
orang atau lebih, dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pendekatan
tersebut ialah:

1. Analisa komponen yang terdapat pada administrasi.

2. Mempelajari administrasi sebagai proses.

3. Mempelajari administrasi berdasarkan alur pemikiran yang logis.

1. Analisis Komponen Administrasi

Pada umumnya telah diterima pendapat yang mengatakan bahwa administrasi terdiri dari
tiga komponen utama, yaitu manajemen, organisasi, dan kegiatan-kegiatan operasional.
a. Manajemen sebagai Komponen Administrasi

Manajemen di sini dapat dilihat dari dua sudut pandangan.

Pertama, manajemen sebagai seni memperoleh hasil melalui kegiatan orang lain. Makna
pernyataan tersebut ialah bahwa manajemen tidak lagi melakukan sendiri kegiatan-kegiatan
operasional dan tugas utamanya adalah menggerakkan para pelaksana sedemikian rupa sehingga
tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, terwujud dengan tingkat efisiensi dan efektivitas yang
tinggi.

Gambar 1.Tiga Komponen Administrasi

Kedua, manajemen sebagai kelompok orang yang menduduki jabatan pimpinan dalam
organisasi. Kelompok pimpinan dalam organisasi biasanya dikategorikan menjadi tiga golongan,
yaitu manajemen puncak, manajemen tingkat madya atau menengah, dan manajemen tingkat
rendah.

Dilihat dari jenis ketrampilan yang mutlak perlu dimiliki, untuk ketiga kategori manajer
itu diperlukan dua jenis, yaitu ketrampilan manajerial dan ketrampilan teknis.

Gambar 2. Dua Jenis Ketrampilan


Gambar sederhana di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang
dalam hirarki kepemimpinan dalam organisasi, semakin menonjol pula arti dan peranan
ketrampilan manajenialnya. Sebaliknya, semakin rendah kedudukan seseorang dalam organisasi,
pengetahuan yang spesialistik dan teknis semakin diperlukan. Akan tetapi kedudukan manajerial
yang paling rendah sekalipun sudah menuntut adanya ketrampilan yang sifatnya manajerial,
karena ia sudah mempunyai bawahan yang harus digerakkannya dalam penyelenggaraan
berbagai kegiatan operasional.

Gambar 3. Sifat Keputusan yang Diambil.

Dalam pengambilan keputusan, terdapat pula perbedaan antara ketiga kelompok


pimpinan tersebut. Dalam suatu organisasi, terutama yang besar dan kompleks, kelompok
manajemen puncak biasanya terlibat dalam pengambilan keputusan yang sifatnya strategis,
kelompok pimpinan tingkat madya bertanggung jawab atas pengambilan keputusan yang
sifatnya taktis atau teknis. sedangkan kelompok pimpinanan tingkat bawah bertanggung jawab
atas pengambilan keputusan yang sifatnya operasional.

Cara lain untuk menganalisis pentingnya manajemen dalam organisasi ialah bentuk
pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam hirarki
kepemimpinan, ia harus semakin mampu berpikir dan bertindak sebagai seorang generalis,
sedangkan semakin rendah kedudukan seseorang dalam organisasi ia diharapkan semakin
berpikir sebagai seorang spesialis.

Generalis
MP
MM Gabungan Generalis dan Spesialis
MR
Spesialis
MP = Menejemen Puncak
MM = Menejemen Madya
MR = Menejemen Rendah
Gambar 4. Bentuk Pengetahuan yang Dituntut.

b. Organisasi sebagai Komponen Administrasi

Komponen kedua administrasi ialah organisasi. Organisasi dapat didalami dengan


menggunakan dua sudut pandangan. Pertama, organisasi sebagai wadah tempat berbagai
kegiatan dilakukan, baik yang sifatnya manajerial, operasional, maupun ketatausahaan.
Mendalami organisasi sebagai wadah antara lain berarti mendalami struktur dan proses.
Mendalami struktur dan prosedur pada galibnya ialah untuk menemukan jawaban yang tepat
terhadap lima pertanyaan, yaitu :

1) Siapa yang bertanggung jawab melakukan apa.

2) Siapa yang berhubungan dengan siapa dalam hal apa.

3) Siapa yang bertanggung jawab kepada siapa.

4) Saluran komnikasi apa yang terdapat, dan bagaimana tata cara penggunaannya.

5) Jaringan informasi apa yang tersedia, dan untuk kepentingan apa.

Jawaban terhadap berbagai pertanyaan tersebut dapat ditemukan dengan penerapan yang
tepat berbagai prirsip organisasi. Kedua, melihat organisasi sebagai proses interaksi antara
sekelompok orang yang terlibat dalam berbagai kegiatan demi tercapainya tujuan dan berbagai
sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam interaksi tersebut biasanya diperlukan.
intervensi para manajer. Salah satu intervensi itu ialah pengambilan keputusan dan pemecahan
masalah yang dihadapi. Misalnya, organisasi pada umumnya dibagi menjadi satuan-satuan kerja.
Para anggota suatu satuan kerja yang bertugas menyelenggarakan berbagai kegiatan tertentu
akan cenderung berpendapat bahwa satuan kerja di tempat ia menjadi anggotalah satuan kerja
terpenting, dan oleh karenanya berhak memperoleh porsi sumber daya dan dana yang lebih besar
daripada satuan-satuan kerja yang lain. Merupakan hal yang lumrah terjadi, bahwa berbagai
satuan kerja dalam organisasi bersaing untuk mendapat bagian yang lebih besar atas sumber-
sumber yang tersedia dan dimiliki oleh organisasi.

Dalam suatu organisasi niaga, misalnya, bagian produksi mungkin mengatakan, bahwa
bagian itulah yang terpenting, karena bagian itu yang menghasilkan barang atau jasa yang dijual
kepada konsumen. Tanpa produk untuk dijual, organisasi niaga yang bersangkutan tidak akan
ada artinya. Bagian pemasaran mungkin pula mengutarakan argumentasi sejenis. Demikian pula
bagianı-bagian lain dalam organisasi. Jika persaingan seperti itu terus berlangsung, dapat timbul
situasi konflik. Dalam hal timbulnya situasi konflik manajerlah yang bertanggung jawab
mengatasinya, antara lain dengan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.

c. Kegiatan Operasional sebagai Komponen Administrasi

Komponen ketiga dari administrasi adalah kegiatan operasional. Berhasil tidaknya


organisasi mencapai tujuannya, pada analisa terakhir akan terlihat pada terselenggara tidaknya
kegiatan-kegiatan operasional dengan efisiensi dan efektif. Keputusan yang diambil pada
akhirnya diuji ketepatan dan relevansinya dengan pelaksanaan keputusan tersebut yang
kesemuanya tercermin pada berbagai kegiatan operasional.
Dari pembahasan singkat di atas, kiranya terlihat dengan jelas bahwa usaha mendalami
administrasi dengan analisa komponennya berpusat pada proses pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah, yang merupakan salah satu fungsi tèrpenting yang harus diselenggarakan
oleh kelompok pimpinan dalam organisasi. Dikatakan demikian karena dinamik berbagai
komponen itu terlihat pada kemampuan dan kemahiran kelompok pimpinan mengambil
keputusan, yang dilaksanakan dengan efisien dalam suatu wadah yang mampu bergerak sebagai
suatu kesatuan yang bulat.

2. Pendalaman dengan Pemahaman Proses Administrasi

Pendekatan kedua dalam mendalami administrasi ialah dengan melihat administrasi yang
terdiri dari berbagai langkah yang dalam keseluruhannya merupakan suatu proses. Sepuluh
langkah dalam proses administrasi ialah:

a. Penentuan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai.

b. Perumusan dan penentuan strategi yang hendak ditempuh demi tercapainya tujuan.

c. Penjabaran strategi menjadi rencana kerja.

d. Penjabaran rencana menjadi program kerja,

e. Kegiatan pengorganisasian.

f. Kegiatan penggerakan tenaga pelaksana.

g. Pelaksanaan kegiatan operasional.

h. Kegiatan pengawasan.

i. Kegiatan penilaian.

j. Penciptaan dan penggunaan sistem umpan balik.

Kiranya tidak sukar untuk membayangkan bahwa pada setiap langkah itu terjadi kegiatan
pengambilan keputusan, baik oleh manajemen puncak, manajemen madya, maupun oleh
manajemen tingkat rendah. Karena untuk mengambil setiap langkah tersebut akan ada tindakan
yang hanya dapat diambil oleh para pengambil keputusan dalam organisasi, yaitu para manajer.

a. Perthal Tujuan dan Sasaran Organisasi

Organisasi dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu, baik yang ingin dicapai dalam
jangka panjang, dalam jangka waktu menengah maupun dalam jangka waktu pendek. Tujuan
jangka menengah dan jangka pendek sering dikenal dengan istilah sasaran, untuk
membedakannya dengan tujuan. Tujuan biasanya menjangkau jauh ke depan, dan hanya
mungkin dicapai setelah melalui suatu kurun waktu yang lama. Sebaliknya, sasaran merupakan
bagian dari tujuan yang dapat dibedakan dengan tujuan dengan dua cara. Pertama, dilihat dari
jangka waktu pencapaiannya. Kedua, dilihat dari sifatnya. Biasanya tujuan bersifat kualitatif,
sedangkan sasaran lebih bersifat kuantitatif.
Hingga dewasa ini salah satu perdebatan yang perennial sifatnya ialah tentang hakikat
tujuan jangka panjang. Perdebatan itu berkisar pada pertanyaan apakah tujuan jangka panjang itu
bersifat idealistik atau realistik. Terlepas dari belum selesainya perdebatan itu, yang jelas ialah
bahwa tujuan jangka panjang itulah yang menjadi raison d'etre bagi organisasi dan segala sesuatu
yang terjadi dalam organisasi adalah demi pencapaian tujuan tersebut. Usaha pencapaian tujuan
biasanya dilakukan melalui pentahapan-pentahapan yang biasanya tercermin pada berbagai
sasaran jangka menengah yang kemudian lebih dijabarkan lagi secara mendetail dalam berbagai
sasaran jangka pendek.

Per definisi, tujuan mempunyai sifat tidak terbatas, sedangkan telah umum diketahui
bahwa kemampuan organisasi untuk mencapainya selalu terbatas. Dalam situasi seperti itu
kelompok pimpinan mau tidak mau harus terlibat dalam pengambilan keputusan yang terutama
dimaksudkan untuk:

1) Merumuskan dan menetapkan bentuk dan sifat dari tujuan dan sasaran yang hendak dicapai.

2) Memanfaatkan semaksimal mungkin semua sumber daya dan dana yang dimiliki atau
mungkin dimiliki oleh organisasi.

Karena itulah sering dikatakan bahwa orientasi kerja dalam setiap organisasi ialah efisiensi,
efektivitas, dan produktivitas.

b. Perumusan dan Penentuan Strategi

Setelah keputusan tentang tujuan diambil, diperlukan suatu strategi yang mantap untuk
mencapainya. Seperti diketahui strategi merupakan seni memanfaatkan berbagai sumber daya
dan dana untuk menanggulangi suatu situasi yang tidak menguntungkan. Telah umum diketahui
bahwa istilah strategi berasal dari kata Yunani strategem yang pada mulanya berarti jenderal.
Pengertian harfiah itu kemudian berkembang sehingga bermakna sebagai seni dan kemampuan
yang digunakan oleh para jenderaluntuk memenangkan peperangan.

Pada mulanya istilah strategi hanya populer di kalangan angkatan bersenjata. Akan tetapi
dewasa ini tidak demikian lagi halnya, karena istilah tersebut sudah lumrah digunakan dalam dan
oleh semua jenis organisasi untuk menjelaskan kebijaksanaan dasar organisasi yang
bersangkutan dalam usahanya mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Istilah
tersebut telah pula masuk dalam perbendaharaan istilah ilmu administrasi dan manajemen.

Karena sifatnya yang fundamental, suatu strategi memberikan arah yang hendak
ditempuh oleh organisasi di masa-masa yang akan datang. Tugas merumuskan dan
menentukannya merupakan tanggung jawab manajemen puncak, dan tugas tersebut
dilaksanakannya antara lain dengan mengkaji berbagai alternatif yang mungkin ditempuk dengan
mengaitkannya dengan:

1) Sifat dan hakikat tujuan yang ingin dicapai.

2) Kemampuan yang dimiliki oleh organisasi.

3) Dampak lingkungan.
4) Berbagai risiko yang mungkin timbul.

5) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

c. Perumusan dan Penentuan Rencana

Strategi yang sifatnya mendasar itu kemudian dirumuskan dalam rencana kerja. Ini berarti
bahwa rencana itu merupakan penjabaran suatu strategi. Per definisi, merencanakan berarti
mengambil keputusan sekarang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa depan dalam
rangka pencapaian tujuan. Merencanakan, berarti berusaha menemukan jawaban atas enam
pertanyaan, yaitu:

1) Apa yang akan dikerjakan?

2) Siapa yang akan melakukan apa?

3) Bagaimana berbagai kegiatan akan dilaksanakan?

4) Prosedur apa yang akan diberlakukan?

5) Mengapa semua itu harus dilakukan?

6) Bilamana kegiatan dilaksanakan?

Mudah memperkirakan bahwa berbagai pertanyaan di atas tidak mungkin dijawab dengan
jawaban tunggal. Artinya, berbagai jawaban terhadap keenam pertanyaan itu harus dicari dan
ditemukan. Setelah berbagai kemungkinan jawaban ditemukan, para manajer harus mengambil
keputusan jawaban yang mana yang akan digunakan sebagai dasar bertindak. Karena itulah
dikatakan bahwa merencarakan pada hakikatnya berarti mengambil keputusan dengan
menggunakan model, metode, dan teknik tertentu.

d. Penyusunan Program Kerja

Hal senada dengan apa yang telah dikatakan tentang perencanaan dapat pula dikatakan
tentang penyusunan dan penetapan program kerja. Bahkan jawaban terhadap berbagai
pertanyaan yang menyangkut penyusunan dan penetapan program kerja harus lebih mendetail,
bukan hanya karena program kerja harus memberikan jawaban yang tuntas, akan tetapi juga
bersifat lebih teknis, karena sudah harus dapat digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan
berbagai kegiatan operasional. Program kerja yang disusun dan ditetapkan harus mempermudah
tugas-tugas pengelolaan dan pengendalian yang menjadi tanggung jawab para manajer
operasional dan para pelaksana berbagai kegiatan operasional itu. Tegasnya, keputusan
operasional yang dibuat oleh manajer tingkat bawah harus mampu menjawab berbagai
pertanyaan yang sifatnya perasional pula.

e. Pengorganisasian

Kejelasan strategi, ketepatan rencana, dan program kerja yang terinci biasanya menuntut
adanya organisasi yang mampu mewadahi berbagai kegiatan tersebut. Ini berarti bahwa
kelompok pimpinan dalam organisasi harus dapat menentukan struktur organisasi dan prosedur
kerja yang mendorong produktivitas kerja. Fungsi pengorganisasian bukanlah fungsi yang
mudah. Misalnya, diperlukan pengkajian yang mendalam untuk dapat mengetahui dan
memutuskan tipe organisasi apa yang paling tepat digunakan. Menetapkan prosedur yang
sederhana, jelas, luwes, sesuai dengan kebutuhan dan mudah dipahami memerlukan ketelitian.
Demikian pula halnya dengan pengaturan tentang bentuk, jenis dan sifat interaksi antara para
anggota organisasi yang dikelompokkan dalam berbagai satuan kerja, agar mereka tidak bekerja
secara terkotak-kotak yang dapat menimbulkan situasi konflik, akan tetapi bergerak sebagai satu
kesatuan yang bulat meskipun mungkin dengan hubungan yang bersifat simbiotik.

f. Penggerakan

Penggerakan para tenaga pelaksana pun memerlukan kegiatan pengambilan keputusan.


Misalnya, keputusan tentang metode dan teknik motivasi yang harus dicari, ditemukan dan
ditetapkan. Pilihan terhadap berbagai jenis insentif yang bersifat kebendaan harus dilakukan.
Kebijaksanaan tentang seluruh proses administrasi kepegawaian harus ditetapkan mulai dari
perencanaan tenaga kerja, proses recruitment, sistem pengupahan dan penggajian, sistem
promosi dan mutasi, pembinaan, pendidikan dan latihan, serta pemensiunan.

Karena langsung berkaitan dengan manusia, yang merupakan unsur terpenting dalam
administrasi dan manajemen, berbagai keputusan yang menyangkut penggerakan dapat
dikatakan sebagai keputusan yang teramat penting pula. Bentuk dan sifat berbagai keputusan
tentang penggerakan harus memperhitungkan bahwa manusia dalam organisasi di samping
sebagai makhluk organisasional, juga makhluk politik, makhluk ekonomi, dan insan social
dengan watak dan kepribadian yang khas. Kebutuhannya tidak hanya berbentuk kebutuhan
kebendaan, akan tetapi juga kebutuhan nonkebendaan, dan bahkan juga kebutuhan mental
spiritual.

g. Pelaksanaan Kegiatan Operasional

Mengingat keterbatasan kemampuan yang merupakan kenyataan dalam kehidupan


organisasional, pelaksanaan berbagai kegiatan operasional harus berorientasi pada efisiensi kerja.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tingkat efisiensi yang semakin tinggi. Akan
tetapi tidak jarang manajemen dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Misalnya, efisiensi sering
menuntut otomasi, mekanisasi, komputerisasi, dan bahkan robotisasi atau perobotan berbagai
kegiatan rutin, padahal di lain pihak manajemen dituntut untuk turut bertanggung jawab
menciptakan lapangan kerja. Dilema ini menuntut ketrampilan para manajer untuk mengambil
keputusan yang paling tepat.

h. Pengawasan

Agar organisasi dan para anggotanya bekerja sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan sebelumnya, diperlukanlah pengawasan yang efektif dengan berbagai teknik dan
metodenya. Bentuk, jenis, sifat, dan intensitas pengawasan itu tergantung pada banyak faktor.
Salah satu faktor yang mempengaruhi ialah persepsi para anggota organisasi tentang perlu
tidaknya pengawasan membudaya dalam organisasi.
Agar dapat menemukan bentuk, sifat, jenis, dan intensitas pengawasan yang paling tepat
bagi suatu organisasi, diperlukan pengkajian yang mendalam dan pemilihan atas alternatif yang
paling cocok bagi organisasi yang bersangkutan.

i. Penilaian

Telah dimaklumi bahwa administrasi dan manajemen merupakan suatu proses. Ini berarti
bahwa usaha peningkatan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kerja, bukanlah tindakan sekali
jadi.Hal-hal tersebut harus diusahakan terus-menerus, sehingga dengan demikian mutlak penting
terselenggaranya fungsi penilaian dengan sebaik-baiknya. Membandingkan hasil yang nyata
dicapai dengan hasil yang seharusnya dicapai bukanlah hal yang mudah, antara lain karena
memerlukan rasionalitas dan obyektivitas yang tinggi.Agar rasionalitas dan obyektivitas yang
tinggi tercapai, maka pemilihan metode dan teknik penilaian yang paling tepat merupakan salah
satu tantangan yang harus dihadapi. Melakukan pilihan atas berbagai alternatif pada dasarnya
berarti pengambilan keputusan.

¡ Penciptaan dan Pengganaan Umpan Balik

Organisasi yang baik adalah organisasi yang berorientasi kemasa depan, meskipun
orientasi demikian tidak berarti mengabaikan masa lalu, dan tidak perlu berarti meremehkan
masa sekarang. Artinya, setiap organisasi selalu terikat pada tiga matra waktu, yaitu masa lalu,
masa kini, dan masa depan. Agar mampu menyusun dan menetapkan kebijaksanaan dasar,
rencana dan program kerja, diperlukanlah suatu sistem umpan balik yang andal. Demikian pula
dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi organik manajemen lainnya, seperti pengorganisasian,
pengawasan dan penilaian. Melalui sistem umpan balik yang andal akan diketahui dengan jelas
hal-hal positif yang dicapai maupun faktor-faktor pendukungnya. Juga akan diketahui berbagai
segi kekurang berhasilan atau bahkan kegagalan dengan identifikasi faktor-faktor penyebabnya.

Dari pembahasan singkat di muka terlihat dengan jelas bahwa tidak satu pun langkah
dalam proses administrasi yang tidak memerlukan pengambilan keputusan. Jadi jelaslah bahwa
memahami model, metode, dan teknik pengambilan keputusan itu tidak mungkin dilakukan
tanpa pemahaman yang mendalam tentang seluruh proses administrasi.

3. Pendalaman dengan Pendekatan Alur Pemikiran yang Logis

Yang dimaksud dengan alur pemikiran yang logis ialah usaha mengidentifikasikan inti dari
bagian-bagian administrasi. Alur pemikiran yang dewasa ini sudah umum diterima mengatakan
bahwa:

a. Inti administrasi adalah manajemen.

b. Inti manajemen adalah kepemimpinan.

c. Inti kepemimpinan adalah pengambilan keputusan.

d. Inti pengambilan keputusan adalah human relations.

e. Inti human relations adalah manusia.


Gambar 5, Alur Pemikiran Administrasi.

Pendekatan ini bertitik tolak dari definisi administrasi sebagai keseluruhan proses
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan tertentu oleh dua orang atau lebih, yang bekerja bersama
dengan memanfaatkan sarana dan prasarana, demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Pengertian administrasi dalam arti luas seperti ini memberikan gambaran bahwa
ditinjau dari sifat dan ruang lingkupnya, pengambilan keputusan administratif bersifat integral,
holistik, dan menyeluruh. Dengan kata lain keputusan administratif merupakan keputusan yang
bersifat strategis.

a. Manajemen sebagai Inti Administrasi

Manajemen dikatakan sebagai inti administrasi karena ia merupakan langkah pertama dalam
rangkaian usaha mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pendapat demikian
dibenarkan oleh definisi klasik manajemen yaitu seni untuk memperoleh hasil melalui kegiatan
orang lain.

Ditinjau dari segi tanggung jawab pengambilan keputusan,secara umum dapat dikatakan bahwa:

1) Manajemen puncak bertanggung jawab untuk mengambil keputusan strategis.

2) Manajemen tingkat madya bertanggung jawab untuk mengambil keputusan yang bersifat
taktis dan teknis.

3) Manajemen tingkat rendah bertanggung jawab untuk mengambil keputusan operasional.

Keputusan yang sifatnya strategis pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: cakupan
yang menyeluruh, jangkauan yang jauh ke masa depan, pengaruh yang kuat terhadap seluruh
satuan kerja yang terdapat dalam organisasi, pendekatan yang integral dan paradigma yang
holistik.

Keputusan yang bersifat taktis dan teknis pada umumnya memiliki berbagai ciri seperti:
cakupan yang spesialistik atau departemental, jangkauan waktu menengah, dampak kuat yang
hanya terasa pada bagian-bagian tertentu, pendekatan yang sektoral dan paradigma yang
inkremental.

Keputusan yang bersifat operasional pada umumnya memiliki berbagai ciri seperti: cakupan
yang sempit, jangkauan waktu yang pendek, pengaruh yang hanya terasa pada satuan kerja
tertentu, pendekatan yang bersifat partikular dan paradigma yang atomik.

Yang penting mendapat perhatian dalam hubungan ini ialah bahwa berbagai tingkat dan jenis
keputusan tersebut pada akhirnya harus berkaitan langsung dengan tujuan dan sasaran yang
hendak dicapai. Di samping itu, keputusan yang diambil oleh para manajer yang lebih rendah
kedudukannya dalam hirarki organisasi harus merupakan penjabaran yang sistematis dari
berbagai keputusan yang diambil oleh para pejabat pimpinan yang lebih tinggi kedudukannya.
Hanya dengan demikianlah organisasi bergerak sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh
meskipun di dalamnya. terdapat kegiatan yang spesialistik dan teknis yang harus
diselenggarakan oleh berbagai satuan kerja dalam organisasi yang bersangkutan.

b. Kepemimpinan sebagai Inti Manajemen

Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai kemampuan mempengaruhi perilaku orang


lain yang menjadi bawahan seseorang sedemikian rupa sehingga perilaku tersebut menjadi
pendorong kuat bagi tindak-tanduk positif demi kepentingan organisasi sebagai keseluruhan.

Dari definisi di atas terlihat dengan jelas tiga hal yang fundamental sifatnya.

Pertama, kepemimpinan sebagai suatu kemampuan dapat dipelajari dan dikembangkan. Ini
berarti bahwa setiap orang yang menduduki jabatan manajerial dimungkinkan untuk
meningkatkan efektivitas kepemimpinannya. Usaha tersebut dapat dilakukannya antara lain
usaha mendalami berbagai teori kepemimpinan, mengembangkan daya kreativitas, daya inovasi,
penggunaan intuisi dan pemanfaatan pengalamannya.

Kedua, efektivitas kepemimpinan seseorang tercermin pada efisiensi dan produktivitas kerja
orang-orang yang dipimpinnya. dan salah satu faktor penting dalam peningkatan kemampuan
mempertinggi efisiensi dan produktivitas operasional adalah dengan pembentukan perilaku yang
positif.

Ketiga, efektivitas kepemimpinan seseorang akan diukur antara lain dengan tolok ukur
organisasional, artinya, diukur berdasarkan tercapai atau tidaknya tujuan dan sasaran organisasi,
dan bukan diukur dari tercapainya tujuan dan sasaran pribadi. Juga, bukan diukur dari
tercapainya tujuan dari berbagai sasaran berbagai satuan kerja di dalam organisasi secara sendiri-
sendiri.

Telah umum diketahui, bahwa kepemimpinan selalu bersifat situasional, kondisional,


temporal dan spatial. Artinya. Memang benar terdapat berbagi ciri umum kepemimpinan yang,
apabila dimiliki oleh seseorang, diperhitungkan akan lebih menjamin keberhasilannya sebagai
pimpinan. Berbagai ciri tersebut antara lain adalah:

1) Pengetahuan yang luas yang dituntut oleh peranan pimpinan sebagai seorang generalis.
2) Kemampuan bertumbuh dan berkembang yang antara lain berarti mengikuti dan
memahami perkembangan yang terjadi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
kemampuan belajar dari pengalaman, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman
orang lain.

3) Kemampuan berpikir secara rasional.

4) Kemampuan berpikir dan bertindak obyektif.

5) Kemampuan berperan sebagai guru.

6) Kemampuan berperan sebagai bapak.

7) Kemampuan berperan sebagai penasihat.

8) Kemampuan berperan sebagai integrator.

9) Kemampuan berperan sebagai dinamisator.

10) Dapat dijadikan panutan.

11) Memiliki keberanian mengambil risiko.

12) Kemahiran mengambil keputusan.

Daftar ciri-ciri tersebut sudah barang tentu dengan mudah dapat ditambah. Akan tetapi dari
ciri-ciri itu saja telah terlihat bahwa tidak ada satu orang pun yang serta merta memiliki
keseluruhannya. Karena itu merupakan suatu tuntutan yang harus terjawab bahwa apabila
seseorang yang menduduki jabatan pimpin-an ingin meningkatkan efektivitasnya, ia harus terus-
menerus berusaha agar semakin banyak ciri-ciri tersebut yang dimilikinya karena hanya dengan
demikianlah efektivitas kepemimpinannya dapat ditingkatkannya. Dengan perkataan lain,
keberhasilan seseorang dalam menjalankan kepemimpinannya, sangat tergantung pada
kemampuan menggabungkan bakat yang dibawa sejak lahir dengan kesempatan
mengembangkan diri melalui, antara lain, pendidikan, latihan, dan pemanfaatan pengalaman.

Salah satu pertanyaan yang sudah sejak lama digeluti oleh para teoretisi kepemimpinan ialah,
Apakah efektifitas kepemimpinan dapat dialihkan? Atau dengan kata lain, apakah seseorang
yang berhasil memimpin satu jenis organisasi akan dengan sendirinya berhasil pula memimpin
organisasi dengan corak, misi, tujuan dan sasaran yang lain ?

Karena kepemimpinan selalu bersifat situasional, kondisional, temporal dan spatial, maka
berarti bahwa bakat yang dibawa sejak lahir, pendidikan yang ditempuh, latihan yang dilalui, dan
pengalaman yang dimiliki seseorang memungkinkannya memiliki semakin banyak ciri-ciri
kepemimpinan yang efektif. Akan tetapi pemanfaatan hal-hal tersebut masih harus disesuaikan
dengan situasi dan kondisi nyata yang dihadapi, faktor waktu penerapan,dan ruang di mana
kepemimpinan itu berfungsi. Dengan kepemim. pinan yang bersifat situasional, kondisional,
temporal, dan spatial itu, dapat dikatakan bahwa tidak ada satu pun tipe kepemimpinan yang
sama efektifnya untuk semua keadaan, semua situasi, setiap waktu, dan setiap ruang.

Sebagaimana diketahui dewasa ini dapat diidentifikasikan lima tipe utama pemimpin, yaitu:
1) Tipe yang otokratis atau dikatorial;

2) Tipe yang militeristis;

3) Tipe yang paternalistis;

4) Tipe yang laissez faire; dan

5) Tipe yang demokratis atau partisipatif.

Masing-masing tipe tersebut memiliki ciri-ciri sendiri. Sebagian dari ciri-ciri itu bersifat
positif dan sebagian lagi bersifat negatif.Pengalaman, pengamatan, dan penelitian menunjukkan
bahwa tipe pemimpin yang paling banyak segi positifnya ialah tipe yang demokratis. Karena itu
tipe demikian dewasa ini diakui dan diterima sebagai tipe yang paling ideal. Akan tetapi apabila
berbagai gaya memimpin diteliti akan ternyata bahwa tidak ada satu pun tipe yang secara
konsisten dan terus menerus bertindak berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki oleh tipe itu. Misalnya,
seorang pimpinan yang paling demokratis sekalipun, ada kalanya bertindak otoriter atau
paternalistis. Gaya dan perilaku manajerial yang berbeda-beda demikian sering diberlakukan
karena tuntutan situasi dan kondisi yang dihadapi. Seorang pemimpin yang pada dasarnya
menganut dan menggunakan gaya yang demokratis, misalnya, ada kalanya harus bertindak
otoriter bila:

1) Organisasi berhadapan dengan situasi yang gawat.

2) Organisasi menghadapi ancaman terhadap eksistensinya.

3) Para bawahan menunjukkan perilaku yang cenderung menjurus kepada bentuk-bentuk


yang negatif atau bahkan mungkin destruktif.

4) Merosotnya disiplin kerja Sebaliknya, seorang pimpinan yang tergolong tipe yang
otokratis mungkin saja mengubah gaya kepemimpinannya menjadi gaya yang demokratis
apabila, misalnya, keputusan yang diambilnya ditolak secara total oleh para bawahannya
yang apabila dipaksakan akan berakibat fatal pada diri pimpinan yang bersangkutan.

Pengambilan Keputusan sebagai Inti Kepemimpinan

Pada analisa terakhir efektivitas kepemimpinan seseorang diukur dari kecekatan,


kemahiran, dan kemampuannya mengambil keputusan yang rasional, logis, berdasarkan daya
pikir yang kreatif dan inovatif, digabung dengan pendekatan yang intuitif dengan memanfaatkan
berbagai pelajaran yang diperoleh dari pengalaman.

Pengambilan keputusan merupakan inti kepemimpinan karena pengambilan keputusan


adalah kegiatan intelektual yang secara sadar dilakukan oleh seseorang sehingga lebih menjamin
bahwa hal-hal yang dihadapi oleh organisasi telah diperhitungkan sebelumnya dan dengan
demikian terhindar dari berbagai jenis pendadakan.

Penelitian para ahli dan pengalaman para praktisi menunjukkan bahwa keputusan yang
baik adalah keputusan yang memenuhi berbagai persyaratan. Syarat-syarat itu antara lain:
1) Keputusan yang dibuat, baik yang bersifat strategis, taktis maupun operasional, harus
berkaitan langsung dengan tujuan dan berbagai sasaran yang ingin dicapai.

2) Keputusan yang diambil harus memenuhi persyaratan rasionalitas dan logika yang berarti
menuntut pendekatan ilmiah berdasarkan berbagai teori dan asas yang telah berhasil
dikembangkan oleh para ahli.

3) Keputusan yang diambil dengan menggunakan pendekatan ilmiah digabung dengan daya
pikir yang kreatif, inovatif, intuitif dan bahkan emosional.

4) Keputusan yang diambil harus dapat dilaksanakan.

5) Keputusan yang diambil harus diterima dan dipahami baik. oleh kelompok pimpinan
yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan berbagai kegiatan dalam melaksanakan
keputusan itu maupun oleh para pelaksana kegiatan operasional. Penerimaan itu mutlak
perlu karena ujian terakhir tentang tepat tidaknya keputusan yang diambil akan terlihat
pada operasionalisasinya.

Karena itu berbagai model, metode, dan teknik pengambilan keputusan, yang menjadi
sasaran utama buku ini, harus dikuasai oleh orang-orang yang menduduki jabatan pimpinan apa
pun bentuk, jenis, dan ukuran organisasi yang dipimpinnya.

d. Human Relations sebagai Inti Pengambilan Keputusan

Salah satu aksioma administrasi dan manajemen yang dewasa ini tidak diperdebatkan lagi
ialah bahwa manusia merupakan unsur administrasi dan manajemen yang terpenting. Manusia
merupakan unsur yang terpenting, karena dari semua sumber daya yang dimiliki oleh organisasi
hanya manusialah yang memiliki rasio. harkat, dan martabat.

Kemampuan manusia berpikir kreatif yang tinggi memungkinkannya memainkan dua


jenis peranan dalam organisasi. Di satu pihak, apabila manusia diperlakukan secara manusiawi -
yang berarti hak, harkat, dan martabatnya diakui dan dijunjung tinggi, dan mendapat perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabatnya itu- ia akan berperilaku positif. Dengan perilaku
yang positif, ia akan menjadi faktor pendorong keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan
berbagai sasarannya.

Akan tetapi di lain pihak, apabila hak, harkat, dan martabatnya dilanggar, tidak diakui
dan tidak dihargai, daya pikir kreatif manusia yang tinggi itu dapat dimanfaatkannya untuk
bertindak dan berperilaku negatif, yang apabila terjadi akan merupakan faktor penghalang yang
paling besar dalam usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang bersangkutan.

Dilihat dari segi pelaksanaan pengambilan keputusan, pendekatan yang manusiawi


menjadi lebih penting, karena dengan pendekatan demikian tenaga-tenaga pelaksana akan lebih
mudah menerima keputusan yang diambil, yang pada gilirannya akan memperlancar
pelaksanaannya.
Dalam hubungan inilah pemahaman tentang apa yang disebut sebagai "sepuluh hukum"
human relations menjadi sangat penting. "Sepuluh hukum" itu ialah:

1) Adanya sinkronisasi antara tujuan organisasi dengan tujuan pribadi para anggota
organisasi yang bersangkutan.

2) Suasana dan iklim kerja yang menyenangkan dan penuh persahabatan.

3) Informalitas yang dipadu secara baik dengan formalitas dalam interaksi antara pimpinan
dan bawahan.

4) Tidak memperlakukan manusia sama dengan mesin.

5) Pengembangan kemampuan bawahan sampai ke tingkat yang maksimal.

6) Pekerjaan yang menarik dan penuh tantangan, bukan yang bersifat rutin.

7) Pengakuan dan penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik.

8) Sarana dan prasarana kerja yang memadai.

9) Penempatan yang tepat berdasarkan keahlian, ketrampilan dan pengalaman seseorang.

10) Balas jasa yang setimpal dengan jasa yang diberikan yang sekaligus dapat menjamin taraf
hidup yang wajar.

Keputusan yang diambil hanya akan ada artinya dalam usaha pencapai tujuan, dan berbagai
sasaran apabila dilaksanakan oleh para pelaksana yang memiliki dedikasi, kesetiaan, kecakapan,
dan ketrampilan yang tinggi, yang kesemuanya merupakan pencerminan dari perilaku yang
positif.

e.Manusia sebagai Inti Human Relations

Karena manusia mempunyai rasio. harkat, dan martabat yang tinggi, ia merupakan
makhluk yang sangat kompleks. Demikian kompleksnya sehingga belum ada satu pun disiplin
ilmu yang mampu mengembangkan teori, asas, dan rumus-rumus ilmiah yang memungkinkan
pemahaman final tentang manusia.

Sebagai makhluk yang sangat kompleks, manusia mempunyai berbagai jenis kebutuhan,
seperti kebutuhan di bidang politik, kebutuhan di bidang ekonomi, kebutuhan di bidang sosial.
kebutuhan di bidang budaya, dan kebutuhan berorganisasi. Semakin maju seseorang semakin
beraneka ragam pula kebutuhannya. Yang berakibat pada keanggotaannya dalam ragam dan
jenis organisasi yang semakin beragam, karena hanya dengan jalur organisasionallah berbagai
kebutuhan tersebut dapat dipuaskan.

Di samping sebagai makhuluk yang kompleks, manusia juga merupakan makhluk yang
unik. Tidak ada dua manusia yang sama dalam segala hal, baik penampilannya, ciri-ciri fisiknya,
sifatnya, kepribadiannya, perilakunya, maupun kemampuannya.

Para ahli mengatakan bahwa keunikan kepribadian seseorang itu dibentuk oleh faktor-
faktor yang khas pula sifatnya, seperti:
1) Latar belakang sosial.

2) Latar belakang pendidikan.

3) Pengalaman seseorang dalam mengarungi hidup.

Kepribadian yang khas itu menumbuhkan persepsi dengan warna tertentu, dan persepsi itu
membentuk pola perilaku tertentu pula. Masalahnya menjadi lebih rumit apabila diperhatikan
bahwa manusia tidak selalu konsisten dalam berperilaku. Misalnya seseorang yang biasanya
rajin, adakalanya dihinggapi oleh rasa malas. Sebaliknya orang yang dikenal sebagai pemalas
tidak mustahil menunjukkan sifat yang rajin, paling sedikit dalam hal-hal dan waktu-waktu
tertentu.

Berdasarkan semua itu, kiranya tepat apabila dikatakan, setiap pengambil keputusan tidak
boleh melupakan, bahwa keputusan yang diambilnya hanya akan bermakna apabila
memperhitungkan kemampuan, tindak-tanduk dan perilaku manusia yang akan menjalankan
keputusan tersebut.

Jelaslah, bahwa dengan mendalami administrasi -baik melalui pendekatan analisis


komponennya, mengkaji prosesnya, maupun dengan penggunaan alur pemikiran yang logis-
terlihat bahwa semua usaha pendalaman itu menunjukkan bahwa pengambilan keputusan adalah
salah satu fungsi terpenting dari setiap orang yang menduduki jabatan pimpinan. Karena
pengambilan keputusan merupakan cermin utama efektivitas kepemimpinannya.

Anda mungkin juga menyukai