Anda di halaman 1dari 65

BAB I

TEORI SUMBER DAYA MANUSIA DI BIDANG KESEHATAN

1.1 Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan


1.1.1 Pengertian SDM Kesehatan
Untuk menciptakan suatu sistem manajemen yang berkualitas di dalam
pengelolahan rumah sakit atau bidang kesehatan lainnya, maka kita perlu
mengetahui aspek dari SDM di kesehatan, yang mana tujuannya adalah untuk
melihat kualitas atau mutu dalam pemberian pelayanan dan perubahan aspek SDM
kesehatan. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan unsur yang memiliki peranan
penting dalam sektor kesehatan karena SDM yang baik merupakan bahan
masukaan atau input dalam penyelenggaraan suatu program pelayanan kesehatan
yang menjadi bagian dari upaya meningkatkan status derajat kesehatan suatu
masyarakat. Peranan SDM sebagai suatu input sebenarnyapun sangat menentukan
derajat kesehatan suatu bangsa dan hal ini bisa dilihat dari cakupan atau indikator
yang menjadi keberhasilan kesehatan (1)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dharmayuda menyatakan bahwa
SDM sebesar 80 % memiliki arti bahwa dari hanya ada 20% yang menyatakan
tidak berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan. Sebagaimana yang diketahui
bahwa, indikator dari berhasilnya pembangunan kesehatan sebenarnya bisa dilihat
dari ada atau tidaknya sumber daya manusia yang berkompeten dan berkualitas (2) .
Hal ini karena, sumber daya manusia kesehatan yang kurang optimal di tambah
pula dengan tidak terkelola serta dimanajemenkan dengan baik, bisa menjadi
tantangan sekaligus ancaman yang tidak kecil bagi stakeholder atau para pembuat
kebijakan untuk menerapkan strateginya dalam penyelenggaraan suatu kegiatan
atau program guna melihat proses atau prosedur itu apakah sudah sesuai atau
belum sesuai. Oleh karena itu,peranan SDM sebagai penggerak utama dari
komponen dasar sudah diketahui sebagai landasan dasar untuk bisa melaksanakan
yang namanya manajemen dan menjadi pelaksana suatu kebijakan yang akan
dibuat.
Bila mengacu pada pernyataan system kesehatan nasional yang mengatakan
bahwa SDMK itu adalah sebuah tenaga professional yang mencakupi tenaga

1
kesehatan strategis, tenaga pendukung,maupun tenaga non profesi yang nantinya
akan bergabung dan berupaya untuk mendedikasikan dirinya melaksanakan usaha
memanajamen sector kesehatan(3). Tolak ukur dari manajemen SDM bisa di
katakan sangat kompleks sebenarnya bisa disebabkan oleh beberapa hal, di
antaranya mengelola SDM berarti mengubah perilaku dan habit dari anggota
pelaksana sistem kesehatan. Dalam mengubah perilaku ini menjadi bagian yang
sulit untuk disimpulkan atau diproyeksi. (1).
Esensi dari mengelola sumber daya manusia kesehatan yang ada adalah tidak
lain tidak bukan untuk melihat ketersediaan dari tenaga kesehatan yang
dibutuhkan, serta untuk menganalisis serta memonitoring apakah tenaga kesehatan
sudah bisa dikatakan memiliki mutu yang optimal yang muaranya mengacu pada
proses kinerjanya, sehingga dengan adanya manajemen ini memiliki impact yang
besar atas keberhasilan dan pemberdayaan terselenggaranya pembangunan
kesehatan dalam upaya peningkatan status derajat kesehata dari elemen manusia
yaitu masyarakat dengan taraf kesehatan yang baik dan mumpuni (1)
Maksud dan
tujuan dari SDM kesehatan terhadap implementasi suatu sistem kesehatan nasional
hirarkinya supaya individu yang dikelola bisa memiliki keahlian dan kemampuan
atau bisa disebut dengan orang yang berkompeten sesuai dengan tupoksi dan
urgensi dalam suatu pelaksanaan, serta terdistribusi secara merata serta adil dan di
gunakan sebaik mungkin untuk bisa mensupport atau mendukung dalam
melakukan kegiatan pembangunan kesehatan serta mendukung komponen lainnya
(2)

Terdapat tiga unsur utama dalam perencanaan manajemen sumber daya


manusia pada sector bidang kesehatan, yaitu memiliki paradigma kedepan dalam
suatu system, menganalisis sumber daya yang mendukung dalam kinerja yang
dilakukan,namun sebelum melakukan analisis kualitas dan potensi dari personal
yang dimaksud kita harus memperhatikan 3 aspek komponen utama yang tidak
boleh untuk dilakukan yaitu dengan memfasilitasi dan melihat dari segi
pelatihannya, perencanaan dari hasil yang telah dievaluasi dan Pendidikan serta
pemberdayaan dalam suatu profesi kesehatan. Karena, jika ditinjau dari segi mutu
SDM kesehatan sebenarnya masih tergolong kategori memerlukan perubahan
untuk suatu pembenahan, hal ini bisa dilihat dari kepuasan masyarakat terhadap

2
pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia belum menciptakan kepuasan dan
belum bisa memberikan pelayanan yang paling terbaik dari yang baik. (1)
Jika, berbicara untuk meningkatkan kualitas atau yang sering dikatakan
dengan istilah mutu dalam pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan seperti
rumah sakit, sebenarnya hal mutlak yang perlu diperhatikan secara serius adalah
apa harapan masyarakat serta tuntutan untuk perbaikan pelayanan kesehatan yang
diberikan guna mendapatkan gambaran masalah hal-hal yang harus diperbaiki
secara segera untuk peradaban sector kesehatan yang jauh lebih baik lagi. Untuk
itu untuk meningkatkannya diperlukan kualitas dari SDM yang bisa melaksanakan
dan berkontibusi penuh memerikan kinerjanya untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang baik, hal itu dinilai dari tahap persiapan hingga proses dan
bagaimana tahapan pemanfaatan dari pelayanan tersebut.
Pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan menurut penelitian yang
dilakukan oleh Hapsara harus memperhatikan fase perencanaan sampai dengan
pendayagunaan SDM kesehatan.(1) Masyarakat adalah objek yang sekligus menjadi
subjek untuk bisa melihat mutu dari pemberian pelayanan kesehatan.

1.1.2 Perencanaan SDM


Menurut George R. Terry menyebutkan bahwa perencanaan adalah sebuah
proses untuk menentukan hal yang harus dilakukan oleh sebuah anggota organisasi
dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Hal ini juga perlu ditetapkan oleh seorang
manajer sebagaimana dan bilamana pekerjaan harus dilakukan. Bila dikaitkan
dengan konteks SDM.(1) Perencanaan sumber daya manusia (human resources
planning) adalah kegiatan mengonfrontasikan dan menggunakan informasi sebagai
penunjang keputusan investasi sumber daya dalam berbagai aktivitas sumber daya
manusia. Perencanaan SDM Kesehatan (SDMK) dilakukan dengan menyesuaikan
kebutuhan pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional maupun global. (2)
Perencanaan tenaga kesehatan sebenarnya termasuk sebuah upaya guna untuk
menetapkan klasifikasi,kualifikasi dan jumlah yang sesuai dengan keperluan
dalam pembangunan kesehatan. Keperluan yang dimaksud baik jenis, jumlah
maupun kualifikasi tenaga kesehatan diformulasikan dan diputuskan oleh
pemerintah pusat berdasarkan masukan dari Majlis Tenaga Kesehatan yang

3
dibentuk di pusat dan provinsi. Sedangkan Perencanaan SDM juga menurut Yaslis
merupakan proses estimasi terhadap jumlah SDM berdasarkan tempat,
keterampilan, dan perilaku yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan
kesehatan. Dengan kata lain meramalkan atau memperkirakan siapa mengerjakan
apa, dengan keahlian apa, kapan dibutuhkan dan berapa jumlahnya.
Melihat pengertian ini,artinya SDM di rumah sakit berdasarkan fungsi dan
beban kerja pelayanan kesehatan yang akan dihadapi di masa depan, sehingga
kompetensi SDM harus sesuai dengan spesifikasi SDM yang dibutuhkan rumah
sakit.(1) Perencanaan tenaga kesehatan adalah upaya penetapan jenis, jumlah dan
kualifikasi tenaga sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan. Sehingga dari
kalimat ini jelas sudah bahwa dalam pemilihan tenaga kesehatan di suatu instansi
harus memperhatikan analisis situasi pembangunan kesehatan di wilayah tersebut,
jangan sampai jumlah tenaga yang ada itu kurang atau malah overkuantitas.
Perencanaan SDMK akan berdampak pada inefiensi dan hambatan kapasitas
dalam suatu organisasi(3)
Metode perencanaan kebutuhan SDMK :
1. Metode berdasarkan institusi, yang digunakan adalah :
a. Analisis Beban Kerja Kesehatan (ABK Kes).
b. Standar ketenagaan Minimal.
2. Metode berdasarkan wilayah Metode yang digunakan adalah metode ‘ratio
penduduk’ yakni rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk di suatu
wilayah.(2)
Perencanaan SDM kesehatan meliputi perencanaan kebutuhan SDM
kesehatan, perencanaan program SDM kesehatan, analisa dan desain pekerjaan,
dan sistem informasi SDM kesehatan. Perencanaan SDM selama ini masih
dilakukan terutama berdasarkan kebutuhan pemerintah, kurang memperhatikan
kebutuhan dan potensi masyarakat (organisasi profesi, LSM, swasta dan
pengobatan tradisional). Selain itu kurang berorientasi pada paradigma sehat dan
pengaruh globalisasi serta kebutuhan spesifik daerah.
Secara garis besar perencanaan kebutuhan SDM kesehatan dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu :

4
1. Perencanaan kebutuhan SDM pada tingkat institusi ditujukan pada perhitungan
kebutuhan SDM kesehatan untuk memenuhi kebutuhan sarana pelayanan
kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, dan lain-lain.
2. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat wilayah ; ditujukan
untuk menghitung kebutuhan SDM kesehatan berdasarkan kebutuhan di tingkat
wilayah (propinsi/kabupaten/kota) yang merupakan gabungan antara kebutuhan
institusi dan organisasi.
3. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan untuk bencana ; dimaksudkan untuk
mempersiapkan SDM kesehatan saat prabencana, terjadi bencana dan post
bencana, termasuk pengelolaan kesehatan pengungsi.

1.1.3 Pengadaan SDM


Melalui Pendidikan dan pelatihan, maka pengadaan tenaga kesehatan
dilakukan. yaitu upaya untuk pemenuhan kebutuhan tenaga sesuai dengan jenis,
jumlah dan kulifikasi yang telah direncanakan serta peningkatan kemampuan
sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan. Penyusunan perencanaan
kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan sesuai dengan tanggung
jawab dan kewenangannya, maka dimulai dari bawah yakni ditingkat institusi
dimulai dari puskesmas sesuaidengan Permenkes No.33, 2015.(4)
Dalam melakukan perhitungan yang apabila mengacu kepada Permenkes No
33 tahun 2015, kebutuhan SDMK memiliki pendoman dengan 3 metode yakni
standar ketenagaan minimal,analisis beban kerja dan rasio jumlah penduduk(2) .
Secara universal, kuantitas dari SDM kesehatan sebenarnya belum memadai., hal
ini bisa dilihat dan dianalisis dari proporsi tenaga kesehatan dengan total penduduk
masih rendah. Produksi dokter setiap tahun hanya ada sekitar 2.500 dokter baru,
sedangkan rasio dokter dengan jumlah penduduk adalah 1 : 5000. Produksi
perawat setiap tahun sekitar 40.000 perawat baru, dengan rasio terhadap jumlah
penduduk adalah 1 : 2.850, sedangkan produksi bidan setiap tahun sekitar 600
bidan baru dengan rasio terhadap jumlah penduduk adalah 2 : 2.600. Namun daya
serap tenaga kesehatan oleh jaringan pelayanan kesehatan masih terbatas. (1)
Melihat dari Kepmenko Bidang Kesra No.54, 2013 mengatakan bahwa untuk
perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dibatasi hanya pada 13 (tiga belas) jenis

5
tenaga kesehatan, yaitu dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan,
perawat gigi, apoteker, asisten apoteker, sanitarian, tenaga gizi, tenaga kesehatan
masyarakat, tenaga keterapian fisik, dan tenaga keteknisian medis (2)

1.1.4 Pendayagunaan SDM


Pendayagunaan tenaga kesehatan adalah upaya pemerataan, pemanfaatan,
pembinaan dan pengawasan tenaga kesehatan. Pendayagunaan SDM yang meliputi
sistem penempatan, penghargaan dan sanksi serta peningkatan karir profesional
masyarakat dan belum ada kejelasan wewenang antara pemerintah dan masyarakat.
Pendayagunaan SDM belum sepenuhnya memperhatikan segi perimbangan
kebutuhan pemerintah dan unsur masyarakat yang disesuaikan dengan kebijakan
yang berlaku, keadaan dan penyebaran penyebaran penduduk, keadaan geografi
serta sarana dan prasarana. (1)
Sebuah penelitian yang di lakukan oleh Benhard,dkk ( 2015) mendapatkan
hasil bahwa SDM atau sumber daya manusia di bidang kesehatan masih blom di
kelola secara baik, masih bersifat administrative , belum secara professional,
karena perencanaanya masih bersifat top down dari pusat, belum bottom up (dari
bawah), belum sesuai dengan kebutuhan organisasi dan kebutuhan nyata di
lapangan, serta belum berorientasi jangka panjang. (2)

1.1.5 Pembadayagunaan SDM


Menurut Depkes 2004 dan Bapennas 2005 bahwa subsistem SDM kesehatan
sendiri dilaksanakan oleh tenaga kesehatan merupakan unsur utama yang
mendukung subsistem kesehatan lainnya dengan bertujuan pada tersedianya tenaga
kesehatan yang bermutu secara mencukupi, yang terdistribusi secara adil, serta
memanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna, untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya(5)
Ketidakmerataan tenaga kesehatan merupakan permasalahan penting untuk
mendapatkan perhatian pemerintah. Rumah sakit dan puskesmas banyak
membutuhkan dokter, namun yang rawan dan kekurangan dokter ini kebanyakan di

6
puskesmas, sedangkan rumah sakit relatif terpenuhi. Dan dengan kurangnya tenaga
kesehatan ini dapat berpengaruh pada pelayanan kesehatan masyarakat.
a. Tenaga Kesehatan
Menurut SKN (Sistem Kesehatan Nasional) 2009 dalam penelitian
Adisasmito, tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan
profesional di bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan
maupun tidak, yang untuk jenis tertentu memerlukan upaya kesehatan. Sedangkan
menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, menyebutkan
bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan upaya kesehatan.(5)

b. Ketentuan tentang Tenaga Kesehatan


Dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru (UU No. 36 Tahun 2009)
ketentuan tentang tenaga kesehatan.diuraikan sebagai berikut (Pasal 21-29 UU No.
36 Tahun 2009) dalam Notoatmodjo (5)
1. Perencanaan Pemerintah yaitu mengatur perencanaan, pengadaan,
pendayagunaan, pembinaan dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam
rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
2. Kualifikasi dan kewenangan Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi
minimum. Disamping kualifikasi, tenaga kesehatan mempunyai kewenangan
untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Kewenangan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan ini sesuai dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. Dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
b. Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari pemerintah.
c. Selama memberikan pelayanan kesehatan tersebut, dilarang
mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
3. Etika dan Kode Etik Tenaga kesehatan yang berwenang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan harus memenuhi ketentuan : a. Kode etik b. Standar
profesi c. Hak pengguna pelayanan kesehatan d. Standar pelayanan, dan e.
Standar prosedur operasional

7
4. Pendidikan dan Pelatihan Pengadaan, pendidikan, dan peningkatan mutu
tenaga kesehatan diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan
atau masyarakat melalui pendidikan dan/ atau pelatihan. Sedangkan
pendidikan dan/ atau pelatihan tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah
dan pemerintah daerah.
5. Pendayagunaan dan Penempatan Pemerintah mengatur penempatan tenaga
kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan. Sedangkan pemerintah
daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai
dengan kebutuhan daerahnya masing-masing. Pengadaan dan pendayagunaan
tenaga kesehatan harus dilakukan dengan memperhatikan :
a. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat;
b. Jumlah sarana pelayanan kesehatan
c. dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada.Penempatan tenaga
kesehatan di tempat-tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan, dalam
undang-undang ini diatur sebagai berikut :
1) Dalam rangka penempatan
Pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, pemerintah dapat
mewajibkan tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada sarana kesehatan
tertentu untuk jangka waktu tertentu.
2) Penempatan tenaga kesehatan ini dilakukan dengan cara masa bakti.
3) Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan ini dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Hak, kewajiban dan kewenangan Tenaga kesehatan mempunyai hak,
kewajiban, dan kewenangan antara lain:
a. Mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya.
b. Berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki.
c. Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan
pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak hokum dengan biaya
ditanggung oleh negara.

8
d. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud tersebut didasarkan kompetensi
dan kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki.

1.1.6. Prinsip SDM Kesehatan


Prinsip yang dilakukan pemerintah dalam rangka pendayagunaan SDM adalah
bahwa pendayagunaan tersebut diselenggarakan secara serasi, seimbang dan selaras
oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha baik di tingkat pusat maupun tingkat
daerah menurut Desler. Pendayagunaan SDM kesehatan oleh pemerintah
diselenggarakan melalui pendelegasian wewenang yang proporsional antara pusat
dan daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa pendayagunaan sumber daya manusia
kesehatan masih kurang. Berdasarkan Kep Menkes No. 836/Menkes/SK/IV/2005
telah dilaksanakan Pengembangan Manajemen Kineija (PMK) yang merupakan
suatu model peningkatan kineija perawat dan bidan di puskesmas dan rumah sakit.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam manajemen SDM kesehatan
adalah masalah rekruitmen tenaga kesehatan. Dari studi yang dilakukan Depkes
menunjukkan bahwa sebagian besar dari tenaga kesehatan yang diluluskan mereka
ingin untuk diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Kebutuhan SDM kesehatan
sangat ditentukan oleh kebutuhan pembangunan kesehatan baik lokal, regional,
nasional maupun global, yang didasarkan pada Kepmenkes No. 1457/
Menkes/SK/X/2003 tanggal 10 Oktober 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) bidang Kesehatan di Provinsi, kabupaten/kota serta Rumah Sakit. SPM
inilah yang dipakai sebagai dasar untuk menyusun perencanaan SDM kesehatan
secara menyeluruh (jangka pendek, menengah, dan panjang). Kebutuhan SDM
kesehatan tersebut dapat terpantau melalui Standar Kebutuhan Tenaga Kesehatan.(6)

1.1.7. Tantangan dan Isu Strategis


Beberapa tantangan dan isu strategis dalam SDM Kesehatan, yaitu :(7)
1) Ketersediaan dan Distribusi SDM Kesehatan
a. Kekurangan SDM Kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit
Kesukaran terhadap jumlah SDM kesehatan yang berdinamika di
bidang Upaya Kesehatan Masyarakat/UKM (promotif dan preventif)
seperti tenaga kesehatan lingkungan, tenaga kesehatan masyarakat serta
tenaga gizi. Kekurangan tenaga UKM ini berkaitan dengan produksinya,

9
selain itu juga terjadi kepada tenaga yang memberikan jasa pelayanan
untuk kuratif atau pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan seperti
puskesmas (kefarmasian dan ATLM). Salah satu penyebabnya adalah
Peraturan Bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi No. 02/SPB/M.PAN-RB/8/2011, Menteri Dalam
Negeri No.800-632 tahun 2011, dan Menteri Keuangan
No.141/PMK.01/2011 tentang moratorium pengangkatan PNS,
dikecualikan untuk tenaga dokter, bidan dan perawat. Untuk mengatasi
permasalahan dan tantangan pembangunan kesehatan, khususnya yang
berhubungan dengan pencegahan PTM dan masalah gizi (stunting dan
obesitas), maka dibutuhkan lebih banyak lagi SDM kesehatan UKM
(promotif dan preventif). Selain itu, dibutuhkan pula peningkatan
ketersediaan tenaga kefarmasian dan ATLM untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang bermutu. SDM kesehatan sebagai pelaksana
UKM dan UKP juga dibutuhkan untuk melaksanakan Standar Pelayanan
Minimal (SPM).
Sama halnya dengan puskesmas, masih cukup banyak RSU milik
pemerintah (termasuk TNI-POLRI) dan swasta yang kekurangan SDM
kesehatan yaitu dokter spesialis medik dasar (Sp.PD, Sp.OG, Sp.A,
Sp.B), dokter spesialis penunjang (Sp.Rad, Sp.An, Sp.PK,Sp. An dan
Sp.KFR), termasuk dokter spesialis lainnya seperti dokter spesialis
jantung, spesialis paru, spesialis syaraf, spesialis kesehatan jiwa, serta
spesialis ortopedi. Dokter spesialis lainnya ini akan sangat dibutuhkan
mengingat terjadinya transisi demografi dimana jumlah penduduk usia
tua yang meningkat dan transisi epidemiologi dimana PTM semakin
meningkat seperti kanker, diabetes melitus, penyakit kardio vaskuler,
serta cedera akibat kecelakaan lalu lintas dan bencana.

b. Maldistribusi
Sejak desentralisasi, lulusan institusi pendidikan tinggi bidang
kesehatan baik pengangkatan maupun penempatannya tidak lagi diatur
oleh pemerintah. Semua lulusan bisa memilih sesuai keinginannya

10
masing-masing. Akibatnya banyak SDM kesehatan terutama dokter lebih
memilih untuk bekerja di wilayah perkotaan karena banyaknya fasilitas
pelayanan kesehatan swasta serta insentif lainnya. Selain itu, Fakultas
Kedokteran semuanya berlokasi di ibukota provinsi sehingga dokter
terbiasa untuk tinggal di wilayah perkotaan. Berbeda dengan SDM
kesehatan lainnya, mereka mudah beradaptasi di daerah pedesaan karena
institusi pendidikan yang sebagian besar berlokasi di kabupaten.
Pertumbuhan fasilitas pelayanan kesehatan swasta sangat signifikan
terutama di daerah perkotaan baik di tingkat primer (klinik) maupun
sekunder (RSU dan RS khusus). Peningkatan terutama terjadi di RS
swasta dari 599 di tahun 2013 menjadi 1.156 di tahun 2017 (93%).
Kondisi ini menjadi daya tarik (pull factor) bagi tenaga dokter dan dokter
spesialis untuk bekerja di perkotaan, khususnya di RS swasta. Praktik
ganda juga berkontribusi terhadap maldistribusi SDM kesehatan
terutama dokter spesialis. Dokter spesialis “keberatan” untuk bekerja di
DTPK atau ditempatkan di RS yang lebih kecil dengan keterbatasan
sarana pelayanan kesehatan, yang menyebabkan berkurangnya
kesempatan untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Walaupun
tenaga spesialis bersedia bekerja di daerah pedesaan, mereka lebih
banyak menghabiskan waktunya pada praktik swasta.
Selain itu, penyelewengan persebaran SDM kesehatan juga
dipengaruhi oleh tidak memadainya insentif baik finansial maupun non
finansial. Pada dasarnya, desentralisasi memberikan peningkatan
kapasitas finansial pada provinsi yang memiliki kekayaan sumber daya
alam seperti Papua dan Kalimantan Timur, untuk mendanai pelayanan
kesehatan dan menarik para dokter/dokter spesialis ke daerahnya. Namun
demikian, penempatan para dokter spesialis masih cukup rendah pada
provinsi dengan kapasitas fiskal yang besar tersebut. Sistem pembayaran
dengan kapitasi dalam program JKN juga dapat menjadi faktor yang
mendorong terjadinya maldistribusi. Umumnya daerah perkotaan
mempunyai penduduk yang padat, sehingga puskesmas di wilayah
perkotaan akan menerima dana kapitasi yang lebih besar. Hal ini

11
menyebabkan daya tarik tersendiri bagi SDM kesehatan, terutama dokter
untuk tetap bekerja di daerah perkotaan.
2) Kualitas SDM Kesehatan
Problematika taraf dari SDM Kesehatan harus dilihat dari hulunya, yaitu
dari segi kualitas institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan. Pertumbuhan
institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan meningkat dengan cepat,
terutama di sektor swasta. Pertumbuhan yang cepat ini tidak diikuti dengan
jaminan kualitas dari institusi pendidikan kesehatan tersebut. Indonesia
memiliki kemampuan untuk meningkatkan jumlah SDM kesehatan karena
pertumbuhan yang pesat dari institusi pendidikan tinggi ini. Akan tetapi,
kualitas institusi pendidikan tersebut masih bervariasi satu sama lain. Hampir
sepertiga dari 2.556 institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan masih
berakreditasi C. Sebagian besar institusi tersebut dimiliki oleh swasta. Dalam
rangka menjaga mutu lulusan SDM kesehatan, Kemenkes harus menjalin
kerja sama yang erat dengan Kemenristek Dikti melalui Komite Bersama
Kemenristek Dikti dan Kemenkes. Pada tahun 2013, Kemdikbud juga telah
menyatakan bahwa uji kompetensi nasional bersifat wajib bagi Fakultas
Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, Program Studi Keperawatan dan
Kebidanan. Terdapat korelasi antara nilai akreditasi dengan nilai hasil uji
kompetensi. Semakin baik nilai akreditasinya, semakin tinggi nilai uji
kompetensinya dan semakin banyak jumlah yang lulus uji kompetensi
(harahap).
3) Task Shifting dan Multitasking
Task shifting dan multitasking dilakukan oleh SDM kesehatan baik yang
memberikan pelayanan kesehatan perorangan maupun pelayanan kesehatan
masyarakat, serta terjadi di semua tingkat fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) baik primer(puskesmas), sekunder maupun tersier (RS) baik milik
pemerintah, TNI-POLRI maupun swasta. Salah satu penyebabnya adalah
kekurangan SDM kesehatan baik medis maupun non medis.
Akibat dari kekurangan SDM kesehatan terutama tenaga medis (dokter,
dokter gigi dan dokter spesialis), penanganan pasien (diagnosa dan
pengobatan) dilakukan oleh SDM kesehatan yang tidak mempunyai

12
kewenangan dan kompetensi untuk penanganan pasien. Selain itu, kekurangan
tenaga administrasi menyebabkan SDM kesehatan melakukan multitasking.
Kondisi ini diakibatkan oleh banyaknya sumber penerimaan dana yang harus
dikelola seperti biaya operasional kesehatan (BOK) dan kapitasi JKN.
Mengingat puskesmas sudah dan akan memiliki pola pengelolaan keuangan-
BLUD, kebutuhan tenaga administrasi yang kompeten khususnya dalam
bidang akuntansi termasuk tenaga Teknologi Informasi (TI) menjadi krusial.
Demikian juga halnya dengan RS yang juga mengalami kekurangan tenaga
penunjang kesehatan (a.l. akuntan, ahli ekonomi lainnya, ahli IT). Regulasi
untuk task shifiting tersedia, namun belum ada kebijakan implementatif untuk
mendukung kegiatan tersebut di lapangan.
4) Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan
Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota belum optimal karena belum dikelola secara profesional dan
belum berorientasi jangka panjang. Lemahnya perencanaan baik di tingkat
institusional/ manajerial (dinkes) maupun di tingkat fasyankes dikarenakan
terbatasnya jumlah dan kemampuan staf, serta tingginya turn over staf yang
menangani dan mengawal penyusunan perencanaan kebutuhan SDM
kesehatan.
5) Sistem Informasi SDM kesehatan
Badan PPSDM Kesehatan telah mengembangkan sistem informasi SDM
kesehatan berbasis data individu baik di Puskesmas maupun RS. Namun
demikian, sistem informasi tersebut belum mencakup fasyankes swasta dan
praktek mandiri. Kelengkapan dan kualitas datanya juga masih belum baik.
Selain itu, informasi tentang SDM kesehatan juga tersedia dari berbagai
sumber. Namun, data tersebut tidak terintegrasi dan bervariasi. Regulasi
tentang pengembangan sistem informasi SDM kesehatan juga belum tersedia.
Untuk menyusun perencanaan kebutuhan SDM kesehatan, diperlukan sistem
informasi SDM kesehatan yang dapat menyediakan data dengan valid,
mutakhir, lengkap dan tepat waktu. Sistem ini harus terintegrasi secara lintas
program dan lintas sektor, serta dengan provinsi/kabupaten/kota (harahap).
6) Kapasitas SDM Kesehatan Dinas Kesehatan

13
Menurut PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah, fungsi dinkes adalah
pembina kesehatan wilayah. Untuk itu, dinkes bertanggung jawab terhadap
pengelolaan pembangunan kesehatan dalam wilayah provinsi/kabupaten/kota,
termasuk yang menyangkut penyelenggaraan JKN. Dengan luasnya tugas dan
tanggung jawab dinkes maka dinkes harus memiliki SDM dengan
KOMPETENSI yang memadai Kompetensi SDM kesehatan dinkes harus
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
7) Analisis Lingkungan Strategis dan Tantangan ke Depan
a. Universal Health Coverage (UHC) dan Global Strategy on Human
Resource for Health (WHO)
Pada tahun 2019, UHC diharapkan mencakup seluruh penduduk yang
pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatan permintaan dalam pelayanan
kesehatan baik dalam hal jenis maupun jumlah. Peningkatan permintaan ini
berimplikasi pada peningkatan kebutuhan SDM kesehatan yang lebih
kompleks di semua jenjang fasyankes (primer, sekunder dan tersier) baik
milik pemerintah maupun swasta.
Tantangan lainnya adalah Global Strategy on Human Resource for
Health (WHO) dimana semua negara pada tahun 2030 diharapkan dapat
mengurangi hingga setengahnya dari hambatan terhadap akses kepada SDM
kesehatan, memperbaiki kualitas institusi pendidikan bidang kesehatan,
mengurangi hambatan terhadap akses kepada SDM kesehatan dengan
menciptakan kesempatan kerja dan memenuhi kebutuhan SDM kesehatan
untuk kebutuhan pelayanan kesehatan kepada penduduk miskin/DTPK.
b. Pertumbuhan penduduk dan perubahan beban penyakit
Jumlah penduduk umur 60 tahun diperkirakan akan semakin bertambah
dari 28.719.458 orang pada tahun 2020 menjadi 34.040.940 orang pada tahun
2024 (peningkatan sebesar 18,53%). Jumlah penduduk usia produktif juga
meningkat dari 174.817.977 orang pada tahun 2020 menjadi 180.162.8721
orang pada tahun 2024 dengan peningkatan sebesar 3,06% (BPS, Bappenas
dan UNFPA 2018). Seiring dengan peningkatan ini, akan terjadi perubahan
pola penyakit yaitu peningkatan penyakit tidak menular yang bersifat
degeneratif/kronis (penyakit jantung, diabetes melitus, hipertensi, stroke dan

14
kanker), serta penyakit akibat perubahan gaya hidup seperti pola makan tidak
seimbang dan kurang olah raga terutama pada penduduk usia produktif (a.l.
masalah kejiwaan, PTM, cedera). Perubahan pola penyakit akan
menyebabkan perubahan permintaan dan kebutuhan terhadap pelayanan
kesehatan yang berimplikasi terhadap kebutuhan SDM kesehatan yang lebih
kompleks, khususnya dokter spesialis dan dokter dengan keahlian sub-
spesialistik (Sp.JP., Sp.S., Sp.Onkologi, Sp.KJ., Sp.Pd, Sp.Ortopedi, Sp.
Geriatri). Untuk upaya promotif dan preventif, juga dibutuhkan SDM
kesehatan UKM (a.l. tenaga gizi, SDM kesehatan masyarakat).
A. Undang-Undang Yang Mengatur SDM Bidang Kesehatan
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga
kesehatan, dalam undang undang ini di maksud yaitu bab 1 pada pasal 1 sbb (8)
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
2. Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan bidang kesehatan di bawah jenjang Diploma Tiga.
3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat.
4. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan
oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
5. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan
berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional untuk dapat
menjalankan praktik.

15
6. Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
tinggi bidang Kesehatan.
7. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Kompetensi
Tenaga Kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah
lulus uji Kompetensi.
8. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik profesi
yang diperoleh lulusan pendidikan profesi.
9. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga Kesehatan yang telah
memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai
kualifikasi tertentu lain serta mempunyai pengakuan secara hukum untuk
menjalankan praktik.
10. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan kepada Tenaga
Kesehatan yang telah diregistrasi.
11. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan
sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik.
12. Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh
seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi bidang kesehatan.
13. Standar Pelayanan Profesi adalah pedoman yang diikuti oleh Tenaga
Kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan.
14. Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu dengan
memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama
untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh
Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan Standar Profesi.
15. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia adalah lembaga yang melaksanakan tugas
secara independen yang terdiri atas konsil masing-masing tenaga kesehatan.

16
16. Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun tenaga kesehatan yang
seprofesi.
17. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan adalah badan yang dibentuk oleh
Organisasi Profesi untuk setiap cabang disiplin ilmu kesehatan yang bertugas
mengampu dan meningkatkan mutu pendidikan cabang disiplin ilmu tersebut.
18. Penerima Pelayanan Kesehatan adalah setiap orang yang melakukan
konsultasi tentang kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada tenaga
kesehatan.
19. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.
21. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.

Pasal 2
Undang-Undang ini berasaskan:
1. Perikemanusiaan;
2. Utilitas ;
3. pemerataan;
4. etika dan profesionalitas;
5. penghormatan terhadap hak dan kewajiban;
6. kesamarataan;
7. loyalitas ;
8. norma agama; dan
9. pelindungan.

Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan untuk:

17
1. memenuhi kebutuhan masyarakat akan Tenaga Kesehatan;
2. mendayagunakan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
3. memberikan pelindungan kepada masyarakat dalam menerima penyelenggaraan
Upaya Kesehatan;
4. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Upaya Kesehatan yang
diberikan oleh Tenaga Kesehatan; dan
5. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan Tenaga Kesehatan.
B. UNDANG – UNDANG lainnya yang mengatur SDM di bidang kesehatan
adalah (9)
1. PERMENKES NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN
PERENCANAAN KEBUTUHAN SDM KESEHATAN
2. PERMENKES NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN
PERENCANAAN KEBUTUHAN SDM KESEHATAN
3. UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
4. UNDANG-UNDANG 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN
5. UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT
6. PERMENKES NOMOR 38 TAHUN 2018 TENTANG ORGANISASI DAN TATA
KERJA POLITEKNIK KESEHATAN DI LINGKUNGAN BADAN PPSDM
KESEHATAN KEMENKES
7. UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG KEPERAWATAN
8. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 67 TAHUN 2109 TENTANG
PENGELOLAAN TENAGA KESEHATAN
9. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BIDANG KESEHATAN
10. PERMENKES 43 TAHUN 2019 TENTANG PUSAT KESEHATAN
MASYARAKAT (PUSKESMAS)
11. UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2019 TENTANG KEBIDANAN

1.2 Perencanaan SDM


1.2.1 Pengertian
Kemampuan terpadu dari daya fisik dan daya piker yang dimiliki oleh
seseorang,sikap dan wataknya ditentukan oleh lingkungan dan gen itu disebut

18
dengan sumber daya manusia. Manusia memiliki motivasi untuk mendorong
prestasi kerjanya. Hal ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk mencukupi
kepuasannya. Andrew E. Sikula mengemukakan bahwa: “Perencanaan sumber
daya manusia atau perencanaan tenaga kerja didefinisikan sebagai proses
menentukan kebutuhan tenaga kerja dan berarti mempertemukan kebutuhan
tersebut agar pelaksanaanya berinteraksi dengan rencana organisasi”. Perencanaan
dibuat sebagai upaya untuk merumuskan apa yang sesungguhnya ingin dicapai
oleh sebuah organisasi atau perusahaan serta bagaimana sesuatu yang ingindicapai
tersebut dapat diwujudkan melalui serangkaian rumusan rencana kegiatan tertentu.
(10)

1.2.2 Komponen-Komponen Perencanaan SDM


Beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam perencanaan SDM, yaitu :(10)
a. Tujuan
Perencanaan SDM harus mempunyai tujuan yang berdasarkan kepentingan
individu, organisasi dan kepentingan nasional. Tujuan perencanaan SDM adalah
menghubungkan SDM yang ada untuk kebutuhan perusahaan pada masa yang akan
datang untuk menghindari mismanajemen dan tumpang tindih dalam pelaksanaan
tugas.
b. Perencanaan organisasi
Merupakan aktivitas yang dilakukan perusahaan untuk mengadakan perubahan
yang positif bagi perkembangan organisasi.

1.2.3 Syarat-Syarat Perencanaan SDM


Beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi dalam perencanaan SDM, yaitu :(10)
a. Harus mengetahui secara jelas masalah yang akan direncanakannya.
b. Harus mampu mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang SDM.
c. Harus mempunyai pengalaman luas tentang job analysis, organisasi dan
situasi persediaan SDM.
d. Harus mampu membaca situasi SDM masa kini dan masa mendatang.
e. Mampu memperkirakan peningkatan SDM dan teknologi masa depan.

19
f. Mengetahui secara luas peraturan dan kebijaksanaan perburuhan
pemerintah.

1.2.4 Manfaat Perencanaan SDM


Dengan perencanaan tenaga kerja diharapkan dapat memberikan beberapa
manfaat baik bagi perusahaan maupun bagi karyawan. Perencanaan sumber daya
manusia pun perlu diawali dengan kegiatan inventarisasi tentang sumber daya
manusia yang sudah terdapat dalam perusahaan. Inventarisasi tersebut antara lain
meliputi:
a. Berbagai keahlian
b. Jumlah karyawan yang ada
c. Masa Kerja
d. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, baim pendidikan
maupun program pelatihan kerja yang pernah diikuti
e. Bakat yang masih perlu dikembangkan
f. Minat Karyawan, terurtama yang berkaitan dengan kegiatan di luar tugas
pekerjaan.(10)

1.2.5 Tahap Dasar Perencanaan


Semua kegiatan perencanaan pada dasarnya melalui 4 tahapan berikut ini :(10)
a. Menetapkan tujuan
Perencanaan dimulai tentang dengan keputusan-keputusan keinginan atau
kebutuhan organisasi atau kelompok kerja.Tanpa rumusan tujuan yang jelas,
organisasi akan menggunakan sumber daya sumberdayanya secara tidak
efektif.
b. Merumuskan keadaan saat ini
Pemahaman akan posisi perusahaan sekarang dari tujuan yang hendak di capai
atau sumber daya-sumber daya yang tersedia untuk pencapaian tujuan adalah
sangat penting, karena tujuan dan rencana menyangkut waktu yang akan
datang. Hanya setelah keadaan perusahaan saat ini dianalisa, rencana dapat
dirumuskan untuk menggambarkan rencana kegiatan lebih lanjut. Tahap
kedua ini memerlukan informasi terutama keuangan dan data statistik yang
didapat melaluikomunikasi dalam organisasi

20
c. Mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan
Segala ekuatan dan kelemahan serta kemudahan dan hambatan perlu
diidentifikasikan untuk mengukur kemampuan organisasi dalam mencapai
tujuan. Oleh karena itu perlu diketahui faktor- faktor lingkungan intren dan
ekstern yang dapat membantu organisasi mencapai tujuannya,atau yang
mungkin menimbulkan masalah. Walau pun sulit dilakukan, antisipasi
keadaan,masalah, dan kesempatan serta ancaman yang mungkin terjadi di
waktu mendatang adalahbagian esensi dari proses perencanaan
d. Mengembangkan rencana
Tahap terakhir dalam proses perncanaan meliputi pengembangaan berbagai
alternatif kegiatan untuk pencapaian tujuan, penilaian alternatif-alternatif
tersebut dan pemilihan alternatif terbaik (paling memuaskan) diantara
berbagai alternatif yang ada.

1.2.6 Evaluasi Rencana SDM


Jika perencanaan SDM dilakukan dengan baik, akan diperoleh keuntungan-
keuntungan sebagai berikut :(10)
a. Manajemen puncak memiliki pandangan yang lebih baik terhadap dimensi
SDM atau terhadap keputusan- keputusan bisnisnya.
b. Biaya SDM menjadi lebih kecil karena manajemen dapat mengantisipasi
ketidakseimbangan sebelum terjadi hal-hal yang dibayangkan sebelumnya
yang lebih besar biayanya.
c. Tersedianya lebih banyak waktu untuk menempatkan yang berbakat karena
kebutuhan dapat diantisipasi dan diketahui sebelum jumlah tenaga kerja yang
sebenarnya dibutuhkan
d. Adanya kesempatan yang lebih baik untuk melibatkan wanita dan golongan
minoritas didalam rencana masa yang akan datang.
e. Pengembangan para manajer dapat dilaksanakan dengan lebih baik.

1.3 Perencanaan SDM di Bidang Kesehatan


1.3.1 Pengertian dan Konsep Perencanaan SDM di Bidang Kesehatan

21
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Juga dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dinyatakan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomis.
Perencanaan SDM kesehatan adalah upaya penetapan jenis, jumlah,
kualifikasi, dan distribusi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan
kesehatan. Pengadaan SDM kesehatan adalah upaya yang meliputi pendidikan
tenaga kesehatan dan pelatihan sumber daya manusia kesehatan untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan kesehatan. Perencanaan Kebutuhan SDMK merupakan
proses sistematis dalam upaya menetapkan jumlah, jenis, dan kualifikasi SDMK
yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi suatu wilayah guna mencapai tujuan
capaian kesehatan(11).
Perencanaan Kebutuhan SDMK ditingkat Institusi adalah perencanaan
kebutuhan SDMK yang dilakukan dalam lingkup suatu institusi kesehatan.
Perencanaan Kebutuhan SDMK di tingkat kabupaten/kota adalah proses
perencanaan kebutuhan SDMK menurut jenis, jumlah, dan kualifikasi yang
dilakukan dalam lingkup kabupaten/kota. Perencanaan Kebutuhan SDMK di
tingkat Provinsi adalah proses perencanaan kebutuhan SDMK menurut jenis,
jumlah, dan kualifikasi yang dilakukan dalam lingkup Provinsi. Perencanaan
Kebutuhan SDMK berjenjang adalah proses perencanaan kebutuhan SDMK yang
dilakukan dari tingkat institusi ke tingkat Kabupaten/kota kemudian dilanjutkan ke
tingkat Provinsi dan terakhir di di tingkat nasional lalu global.(11)
Perencanaan kebutuhan SDMK dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan
pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional, maupun global, dan memantapkan
komitmen dengan unsur terkait lainnya. Di era desentralisasi bidang kesehatan,
pemerintah daerah memiliki otoritas untuk merekrut SDMK di daerah masing-
masing sebagai pegawai pemerintah daerah. Konsekuensinya, daerah harus

22
memiliki kemampuan dalam melakukan perencanaan kebutuhan SDMK, baik di
pemerintah daerah provinsi maupun di pemerintah daerah kabupaten/kota.
Meskipun cukup banyak kebijakan yang menetapkan bahwa perencanaan
kebutuhan SDM kesehatan menjadi tanggung jawab daerah, namun perencanaan
kebutuhan SDM kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum optimal
karena belum dikelola secara profesional dan belum berorientasi jangka panjang.
Lemahnya perencanaan baik di tingkat institusional/ manajerial (dinkes) maupun di
tingkat fasyankes dikarenakan terbatasnya jumlah dan kemampuan staf, serta
tingginya turn over staf yang menangani dan mengawal penyusunan perencanaan
kebutuhan SDM kesehatan. Pengelolaan SDM kesehatan merupakan salah satu
urusan yang telah diserahkan ke daerah. Untuk itu, daerah harus memiliki
kemampuan melakukan perencanaan kebutuhan SDM kesehatan dengan baik.(7)
Di tingkat skala nasional perancangan SDMK menjadi salah satu masalah
jangka panjang yang diangkat dalam Sistem Kesehatan Nasional pelaksanaannya
dinilai masih lemah dan belum didukung dengan tersedianya sistem
informasi terkait SDMK yang memadai. Sesuai dengan Permenkes No. 33
Tahun 2015, rencana kebutuhan SDMK dibuat untuk melihat kebutuhan pada
masing-masing level pemerintahan, baik dari segi jumlah, jenis, mutu,
kualifikasi dan sebarannya. Hasil dari Risnakes menunjukkan bahwa tidak semua
fasilitas pelayanan kesehatan menyusun kebutuhan SDMK, hanya sebesar
79,8% puskesmas dan 83,2% rumah sakit yang telah melakukannya (3).
Masalah-masalah yang sering ditemukan terkait perencanaan kebutuhan
SDMK antara lain: (11)
1. adanya penafsiran yang berbeda oleh pemangku kepentingan yang terkait dan
para perencana SDMK di daerah terhadap kebijakan-kebijakan perencanaan
kebutuhan SDMK sehingga menimbulkan keraguan dalam memilih dan
menggunakannya dalam proses penyusunan perencanaan kebutuhan SDMK;
2. belum optimalnya kapasitas para perencana SDMK dalam merencanakan
kebutuhan SDMK di berbagai tingkatan administrasi pemerintahan;
3. perencanaan SDMK masih kurang didukung sistem informasi manajemen
SDMK yang terintegrasi antar pemangku kepentingan;

23
4. Tim perencanaan SDMK di daerah belum berfungsi secara optimal dalam
perencanaan kebutuhan SDMK;
5. pembinaan perencanaan SDMK secara berjenjang kurang terintegrasi dan belum
berkesinambungan; dan
6. implementasi dalam perencanaan SDMK kurang didukung dengan kebijakan
lokal baik kebijakan pemerintah daerah kabupaten/kota maupun pemerintah daerah
provinsi

Untuk itu diperlukan suatu pedoman yang dapat dijadikan acuan dalam
menyusun dokumen perencanaan kebutuhan SDMK di tingkat institusi,
kabupaten/kota, provinsi, dan nasional, sehingga diperoleh dokumen perencanaan
kebutuhan SDMK yang berjenjang dengan pendekatan “perencanaan dari bawah”
(bottom up planning) dan disesuaikan dengan kondisi serta kebutuhan wilayah
masing-masing. Mondy dan Noe mendefinisikan Perencanaan SDM sebagai
proses yang secara sistematis mengkaji keadaan sumber daya manusia untuk
memastikan bahwa jenis, jumlah dan kualitas dengan ketrampilan yang tepat, akan
tersedia pada saat mereka dibutuhkan. George Milkovich dan Paul C. Nystrom
mendefinisikan bahwa perencanaan tenaga kerja adalah proses peramalan,
pengembangan, pengimplementasian dan pengontrolan yang menjamin perusahaan
mempunyai kesesuaian jumlah pegawai, penempatan pegawai secara benar, waktu
yang tepat, yang secara otomotis lebih bermanfaat.(11)
Seperti konsep perencanaan pada umumnya, perencanaan kebutuhan SDMK
merupakan penetapan langkah-langkah sebagai jawaban atas 6 (enam) buah
pertanyaan yang lazim dikenal sebagai 5W + 1 H, yaitu:
1. apa yang harus saya lakukan selaku tenaga kesehatan(WHAT)
2. kenapa saya harus melakukan tindakan itu(WHY)
3. dimanakah saya bisa mengambil peran atau tindakan tersebut(WHERE)
4. bilamana itu akan dikerjakan (WHEN)
5. siapa yang akan mengambil tupoksi tersebut (WHO)
6. bagaimana penyeleggaraan itu harus dilakukan (HOW)
Menurut Green A yang dikutip oleh penelitian Sumarsih menjelaskan bahwa
perencanaan di bidang kesehatan dikategorikan ke dalam dua tipe. Tipe

24
pertama adalah perencanaan aktivitas yang berkaitan dengan pengaturan
jadwal dan kerangka kerja yang bisa dipantau untuk implementasi
sebelum aktivitas dijalankan. Tipe kedua adalah perencanaan alokatif yang
berhubungan dengan pengambilan keputusan terkait bagaimana sumber daya
seharusnya dialokasikan agar efisien dan tepat sasaran. Tipe perencanaan
alokatif ini yang umumnya dipakai di bidang kesehatan. Konsep ini
diterjemahkan ke dalam kebijakan nasional perencanaan kebutuhan
Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan oleh pemerintah sebagai
rancangan sistematis pemenuhan dan penempatan SDM Kesehatan (SDMK)
berdasarkan jenis pelayanan dan fasilitas kesehatan yang dibutuhkan
dengan komposisi jenis dan jumlah yang sesuai. Perencanaan SDMK yang
tepat memungkinkan diketahuinya kapasitas kerja yang akurat agar
didapatkan keseimbangan antara tenaga dengan beban kerja.(3)

1.3.2 Tujuan dan Manfaat Perencanaan Kebutuhan SDMK


Perencanaan Kebutuhan SDMK bertujuan untuk menghasilkan rencana
kebutuhan SDMK yang tepat meliputi jenis, jumlah, dan kualifikasi sesuai
kebutuhan organisasi berdasarkan metode perencanan yang sesuai dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan kesehatan. Perencanaan SDMK dapat memberikan
beberapa manfaat baik bagi unit organisasi maupun bagi pegawai . Manfaat-
(11)

manfaat dalam perancanaan kebutuhan yang dimaksud antara lain :


1. Manfaat bagi institusi
a. sebagai acuan untuk menyempurnakan struktur oragnisasi
b. bahan penilaian indvidu dalam melihat prestasi kerja jabatan dan prestasi kerja
unit;
c. bahan penyempurnaan sistem dan prosedur kerja;
d. bahan sarana peningkatan kinerja kelembagaan;
e. bahan penyusunan standar beban kerja; jabatan/kelembagaan;
f. penyusunan rencana kebutuhan pegawai secara riil sesuai dengan beban kerja
organisasi;
g. bahan perencanaan mutasi pegawai dari unit yang berlebihan ke unit yang
kekurangan;

25
h. bahan penetapan kebijakan dalam rangka peningkatan pendayagunaan sumber
daya manusia.
2. Manfaat bagi wilayah
a. Bahan perencanaan distribusi;
b. Bahan perencanaan redistribusi (pemerataan);
c. Bahan penyesuaian kapasitas produksi;
d. Bahan pemenuhan kebutuhan SDMK;
e. Bahan pemetaan kekuatan/potensi SDMK antar wilayah;
f. Bahan evaluasi dan penetapan kebijakan pemerataan, pemanfaatan, dan
pengembangan SDMK.

1.3.3 Periodesasi Perencanaan Kebutuhan SDMK


Perencanaan kebutuhan SDMK disusun secara periodik dengan jangka waktu
1 (satu) tahun untuk perencanaan kebutuhan jangka pendek (tahunan) dan jangka
waktu 5 (lima) atau 10 (sepuluh) tahun untuk perencanaan kebutuhan jangka
menengah.(11)

1.3.4 Metode Perencanaan Kebutuhan SDMK


Metode perencanaan SDMK dikelompokkan sebagai berikut:
1) Metode berdasarkan Institusi
a. Analisis Beban Kerja Kesehatan (ABK Kes)
Metode ABK Kes adalah suatu metode perhitungan kebutuhan SDMK
berdasarkan pada beban kerja yang dilaksanakan oleh setiap jenis SDMK pada
tiap fasilitas pelayanan pelayanan kesehatan (Fasyankes) sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya. Metode ini digunakan untuk menghitung kebutuhan semua
jenis SDMK(12).
Langkah-langkah metode ABK Kes (12)
1. Menetapkan Fasyankes dan Jenis SDMK
Data dan informasi Fasyankes, Unit / Instalasi, dan jenis SDMK dapat
diperoleh dari:
a) Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) institusi
b) Undang-undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

26
c) Permenkes No. 73 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Umum di
Lingkungan Kementerian Kesehatan RI
d) Permen PAN-RB tentang Jabatan Fungsional Tertentu (28 Jenis Jabatan
Fungsional Tertentu
Selain Jenis SDMK bersumber dari kebijakan tersebut diatas, juga dapat
digunakan dari sumber-sumber sebagai berikut:
a) Peraturan daerah Provinsi Tingkat Provinsi tentang Organisasi dan Tata
Kerja SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)
b) Data hasil Analisis Jabatan (Peta jabatan dan Informasi Jabatan) dari
SKPD masing-masing.
c) Pedoman teknis SPO (Standar Prosedur Operasional) setiap Tugas
Pokok dan Fungsi Jabatan.
2. Menetapkan Waktu Kerja Tersedia (WKT)
Waktu Kerja Tersedia (WKT) adalah waktu yang dipergunakan oleh
SDMK untuk melaksanakan tugas dan kegiatannya dalam kurun waktu 1
(satu) tahun. Dalam Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 telah
ditentukan jam kerja instansi pemerintah 37 jam 30 menit per minggu, baik
untuk yang 5 (lima) hari kerja ataupun yang 6 (enam) hari kerja sesuai dengan
yang ditetapkan Kepala Daerah masing-masing.
Berdasarkan Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 19 Tahun
2011 tentang Pedoman Umum Penyusunan Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil,
Jam Kerja Efektif (JKE) sebesar 1250 jam per tahun. Demikian juga menurut
Permen PA-RB No. 26 tahun 2011, Jam Kerja Efektif (JKE) antara 1192 -
1237 jam per tahun yang dibulatkan menjadi 1200 jam per tahun atau 72000
menit per tahun baik yang bekerja 5 hari kerja maupun 6 hari kerja per
minggu.
3. Menetapkan Komponen Beban Kerja (Tugas Pokok, Tugas Penunjang,
Uraian Tugas), dan Norma Waktu
Komponen beban kerja adalah jenis tugas dan uraian tugas yang secara
nyata dilaksanakan oleh jenis SDMK tertentu sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi yang telah ditetapkan. Norma Waktu adalah rata-rata waktu yang
dibutuhkan oleh seorang SDMK yang terdidik, terampil, terlatih dan

27
berdedikasi untuk melaksanakan suatu kegiatan secara normal sesuai dengan
standar pelayanan yang berlaku di fasyankes bersangkutan.
Kebutuhan waktu untuk menyelesaikan kegiatan sangat bervariasi dan
dipengaruhi standar pelayanan, standar operasional prosedur (SOP), sarana
dan prasarana pelayanan yang tersedia serta kompetensi SDMK itu sendiri.
Rata-rata waktu ditetapkan berdasarkan pengamatan dan pengalaman selama
bekerja dan kesepakatan bersama sesuai dengan kondisi daerah. Agar
diperoleh data rata-rata waktu yang cukup akurat dan dapat dijadikan acuan,
sebaiknya ditetapkan berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tiap kegiatan pokok oleh SDMK yang memiliki kompetensi,
kegiatan pelaksanaan standar pelayanan, standar prosedur operasional (SPO)
dan memiliki etos kerja yang baik.
Data dan informasi dapat diperoleh dari :
a) Komponen Beban Kerja, dapat diperoleh dari daftar nama jabatan
fungsional tertentu
b) Norma Waktu atau Rata-rata Waktu tiap kegiatan pokok dapat
diperoleh dari data Analisis Jabatan (Anjab) tiap jabatan dari Fasyankes
yang bersangkutan.
c) Bilamana Norma Waktu atau Rata-rata Waku per kegiatan tidak ada
dalam Anjab institusi, dapat diperoleh melalui pengamatan atau
observasi langsung pada SDMK yang sedang melaksanakan tugas dan
kegiatan.

4. Menghitung Standar Beban Kerja


Standar Beban Kerja (SBK) adalah volume/kuantitas pekerjaan selama 1
tahun untuk tiap jenis SDMK. SBK untuk suatu kegiatan pokok disusun
berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaiakan setiap kegiatan
(Rata-rata Waktu atau Norma Waktu) dan Waktu Kerja Tersedia (WKT) yang
sudah ditetapkan.
5. Menghitung Standar Kegiatan Penunjang
Tugas Penunjang adalah tugas untuk menyelesaikan kegiatan-kegiatan
baik yang terkait langsung atau tidak langsung dengan tugas pokok dan

28
fungsinya yang dilakukan oleh seluruh jenis SDMK. Faktor Tugas Penunjang
(FTP) adalah proporsi waktu yang digunakan untuk menyelesaikan setiap
kegiatan per satuan waktu (per hari atau per minggu atau per bulan atau per
semester).
Standar Tugas Penunjang adalah suatu nilai yang merupakan pengali
terhadap kebutuhan SDMK tugas pokok.
6. Menghitung Kebutuhan SDMK Per Institusi / Fasyankes
Data dan informasi yang dibutuhkan per Fasyankes, sebagai berikut:
a) Data WKT, SBK, dan SPT
b) Data Capaian (Cakupan) tugas pokok dan kegiatan tiap Fasyankes
selama kurun waktu satu tahun.
b. Standar Ketenagaan Minimal.
Pada dasarnya metode Standar Ketenagaan Minimal merupakan hasil
pengembangan dari metode Analisis Beban Kerja (ABK) yang digunakan untuk
perencanaan kebutuhan SDMK di berbagai Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Faskes) seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, dan Faskes lainnya. Faskes
dikelompokkan ke dalam kelas-kelas (misalnya Rumah Sakit Kelas A, B, C, dan
D; Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I, II, III, IV; Balai Besar Teknik
Kesehatan dan Pengendalian Penyakit Kelas I, II, III; Klinik dengan Kelas Utama
dan Pratama) dan tipe-tipe Faskes (misalnya Puskesmas Kawasan Perkotaan,
Puskmesmas Kawasan Pedesaan, dan Puskesmas kawasan Terpencil dan Sangat
Terpencil).(13)
Tujuan dari metode ini adalah untuk menyusun rencana kebutuhan minimal
SDM Kesehatan di Faskes khususnya Rumah Sakit dan Puskesmas. Metode ini
bermanfaat untuk merencanakan kebutuhan SDMK baik tenaga kesehatan
maupun tenaga non kesehatan secara cepat, karena sudah tersedia standar
ketenagaan minimal sesuai dengan kelas atau tipe Faskes bersangkutan.(13)
Penggunaan Metode Standar Ketenagaan Minimal (13)
1) Metode Standar Ketenagaan Minimal dapat digunakan menyusun
perencanaan kebutuhan SDMK bagi Faskes di wilayah pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten/kota (Rumah Sakit, Puskesmas, dan Klinik) , serta
beberapa UPT Pusat (Kantor Kesehatan Pelabuhan, Balai Teknik Kesehatan

29
Lingkungan dan Pengendalian Peenyakit) sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan (sumber: Permenkes No. 56 Tahun 2014 tentang Perijinan dan
Klasifikasi Rumah Sakit, Permenkes No.75 Tahun 2014 tentang Puskesmas,
Permenkes No.356/Menkes/PER/IV/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Kesehatan Pelabuhan, Permenkes No.2349/Menkes/PER/XI/2011
tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT di Bidang Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit, dan Permenkes No.
028/Menkes/PER/I/2011 tentang Klinik)
2) Metode Standar Ketenagaan Minimal tepat digunakan untuk ijin pendirian
Faskes baru sebagai persyaratan ijin untuk pendirian Faskes sesuai dengan
kriteria, dan untuk akreditasi Faskes tentang persyaratan jenis dan jumlah
ketenagaan. Metode tersebut juga dapat digunakan untuk perencanaan SDMK
pada Faskes dengan kriteria khusus seperti Faskes terpencil, sangat terpencil,
dan Faskes yang tidak diminati.
3) Hasil perhitungan rencana kebutuhan SDMK dapat digunakan untuk
melaksanakan redistribusi di internal Faskes yang bersangkutan yakni di
rumah sakit yang bersangkutan atau redistribusi antar rumah sakit sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, redistribusi ketenagaan antar Puskesmas
dalam 1 (satu) kabupaten/kota, redistribusi ketenagaan antara instalasi atau
wilayah kerja atau antar antar Kantor Kesehatan Pelabuhan dan dan antar
Balai Teknik Kesehatan Lingkungan..
4) Hasil perhitungan rencana kebutuhan SDM kesehatan dapat diusulkan
untuk alokasi formasi bilamana masih ada jenis tenaga yang kekurangan ke
Kementerian PAN-RB Jakarta melalui BKD kabupaten/kota atau BKD
provinsi atau langsung ke Kemen PAN-RB sesuai dengan kebijakan yang
telah ditetapkan.

Jenis data dan informasi yang diperlukan oleh Faskes untuk penyusunan Rencana
Kebutuhan SDM Kesehatan, yaitu :(13)
1. Informasi Permenkes No. 56 Tahun 2014 tentang Perijinan dan Klasifikasi
Rumah Sakit (tercantum Standar Kebutuhan Minimal Tenaga Kesehatan
untuk Rumah Sakit menurut Klas A, B, C, dan D)

30
2. Informasi Permenkes No. 75 tahun 2014 tentang Puskesmas
3. Permenkes No.356/Menkes/PER/IV/2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan. Permenkes
No.2349/Menkes/PER/XI/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT di
Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit, dan
4. Permenkes No. 028/Menkes/PER/I/2011 tentang Klinik
5. Data jenis, jumlah, dan kualifikasi SDMK sebagai data kondisi saat ini atau
tahun terakhir untuk dibandingkan dengan Standar Kebutuhan Minimal
(sumber data: Sekretariat rumah sakit atau sekretariat Dinkes
Kabupaten/kota).

Langkah-langkah Perhitungan Kebutuhan SDMK Faskes (13)


1. Penetapan Standar Ketenagaan Minimal Fasyankes (Standar Ketenagaan
Puskesmas dan Standar Ketenagaan Minimal Rumah Sakit)
a) Standar Ketenagaan Minimal SDMK Puskesmas menurut Permenkes No.
75 tahun 2014 tentang Puskesmas
SDMK Puskesmas terdiri dari Tenaga Kesehatan (Nakes) dan tenaga non
kesehatan. Jenis dan jumlah Nakes dan tenaga non kesehatan dihitung
berdasarkan analisis beban kerja, dengan mempertimbangkan jumlah
pelayanan yang diselenggarakan, jumlah penduduk dan persebarannya,
karakteristik wilayah kerja, luas wilayah kerja, ketersediaan fasilitas
pelayanan kesehatan (Faskes) tingkat pertama lainnya di wilayah kerja, dan
pembagian waktu kerja.
b) Standar Ketenagaan Minimal Rumah Sakit (Permenkes No. 56 tahun 2014
tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit)
Rumah Sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis
dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena
itu Rumah Sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai
dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan
masyarakat.

31
2. Perhitungan Rencana Kebutuhan SDMK Fasyankes (Puskesmas, Rumah Sakit
Umum, dan Rumah Sakit Khusus)
a) Kebutuhan SDMK Puskesmas, terdiri dari puskesmas kawasan perkotaan,
kawasan pedesaan, kawasan terpencil dan sangat terpencil
b) Kebutuhan SDMK Rumah Sakit
c) Kebutuhan SDMK Rumah Sakit Khusus
d) Kebutuhan SDMK Kantir Kesehatan Pelabuhan
e) Kebutuhan SDMK Klinik
2) Metode berdasarkan Wilayah Metode yang digunakan adalah Metode “Ratio
Penduduk”, yakni Rasio tenaga kesehatan terdahap jumlah penduduk disuatu
wilayah. Kedua kelompok metode tersebut dapat dirinci ke dalam tabel 1 berikut.
Tabel 1
Metode Dasar Perencanaan Kebutuhan SDMK
Metode berdasarkan insitusi(11)
Metode Tujuan Lingkup Data minimal yang
penggunaan di perlukan
a. ABK Kes Merencanakan Tingkat institusi, - SOTK - Institusi/
(Analisis Beban kebutuhan SDMK dan dapat Fasilitas Pelayanan
Kerja Kesehatan) baik di tingkat dilakukan Kesehatan
manajerial maupun rekapitulasi di - Jenis tugas dan
tingkat pelayanan, tingkat jenjang Uraian pekerjaan
sesuai dengan administrasi per jabatan hasil
beban kerja pemerintahan analisis jabatan
sehingga diperoleh selanjutnya. - Hasil
informasi Metode ini juga kerja/cakupan per
kebutuhan jumlah dapat digunakan jabatan
pegawai oleh Fasilitas - Norma waktu
Pelayanan - Jam kerja efektif
Kesehatan swasta - Waktu kerja
tersedia
- Jumlah SDMK
per jabatan

32
b. Standar Merencanakan Tingkat institusi, - Jenis dan jumlah
Ketenagaan kebutuhan SDMK dan dapat SDMK yang
Minimal untuk Fasilitas dilakukan tersedia di Fasilitas
Pelayanan rekapitulasi di Pelayanan
Kesehatan (Rumah tingkat jenjang Kesehatan yang
Sakit dan administrasi akan dihitung
Puskesmas) yang pemerintahan kebutuhan SDMK
akan atau baru selanjutnya nya
berdiri atau yang
berada di daerah
terpencil, sangat
terpencil,
perbatasan,
tertinggal dan tidak
diminati

Metode berdasarkan wilayah(11)

Metode Tujuan Ruang lingkup Data minimal yang


penggunaan di perlukan
Berdasarkan Menghitung Tingkat wilayah - Jumlah nilai
“Metode Rasio SDMK untuk terutama di tingkat tertentu (yg
terhadap memperoleh nasional dan menjadi patokan
Penduduk” informasi proyeksi tingkat provinsi rasio) di awal tahun
jumlah proyeksi
ketersediaan, - Jumlah
kebutuhan, dan ketersediaan
kapasitas produksi SDMK diawal
di suatu wilayah tahun
pada waktu - % laju
tertentu. pertumbuhan nilai
Menghasilkan peta tertentu (yg

33
proyeksi menjadi patokan
ketersediaan, rasio)
kebutuhan, dan - % pegawai
kapasitas produksi pengangkatan baru
(potensi) SDMK dan pindah masuk,
antar wilayah pada - % pegawai yg
waktu tertentu keluar (pensiun,
pindah keluar,
meninggal, tidak
mampu bekerja
karena sakit/cacat,
dan yg
mengundurkan diri
atau dipecat
- Target rasio
SDMK terhadap
nilai tertentu (2014,
2019, 2025)

1.3.5 Pendekatan Penyusunan Perencanaan Kebutuhan SDMK


Penyusunan Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan dilakukan dengan dua
pendekatan: (11)
1. Perencanaan dari atas (Top Down Planning) yakni Pusat menetapkan
kebijakan, menyusun pedoman, sosialisasi, pelatihan, TOT, dan lokakarya secara
berjenjang. Dengan pendekatan ini maka diharapkan kebijakan penyusunan
perencanaan kebutuhan SDMK dapat terimplementasikan oleh pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota
2. Perencanaan dari bawah (Bootom Up Planning), yakni Perencanaan
kebutuhan SDMK dimulai dari institusi kesehatan kabupaten/kota yang
dilaksanakan oleh suatu tim perencana yang dibentuk dan ditetapkan dengan
keputusan pejabat yang berwenang pemerintah daerah kabupaten/kota.

34
Pemanfaatan hasil perencanaan kebutuhan SDMK diadvokasikan kepada para
pemangku kepentingan di tiap jenjang administrasi pemerintahan.

1.4 MEKANISME PERENCANAAN KEBUTUHAN SDMK


Perencanaan kebutuhan SDMK Kabupaten/Kota yang memuat perhitungan
kebutuhan Kab/Kota direkap di tingkat Provinsi, disamping itu pemerintah daerah
Provinsi juga bertanggung jawab terhadap perhitungan kebutuhan SDMK pada UPTD
milik Pemerintah Daerah Provinsi setempat. Hasil perhitungan ditingkat Provinsi
kemudian dijadikan dokumen perencanaan kebutuhan pemerintah daerah Provinsi.(11)
1.4.1 Dokumen Perencanaan Kebutuhan SDMK
Dokumen perencanaan kebutuhan SDMK pemerintah daerah Provinsi yang
memuat perhitungan kebutuhan Provinsi direkap di tingkat Nasional, disamping itu
Pusat juga bertanggung jawab terhadap perhitungan kebutuhan SDMK pada UPT
milik pemerintah Pusat sehingga dihasilkan dokumen perencanaan kebutuhan
SDMK dengan konsep bottom up. Adapun tahapan penyusunan dokumen
perencanaan kebutuhan SDMK adalah sebagai berikut: (11)
a. Pelaksanaan Advokasi Pemangku Kepentingan Pada tahapan ini diharapkan
adanya komitmen dan dukungan dari pemangku kepentingan yang melibatkan
lintas sektor, program, bahkan lintas kementerian/lembaga. Sasaran advokasi
adalah jajaran pemangku kepentingan di pemerintah daerah kabupaten/kota dan
pemerintah daerah provinsi. Cara yang digunakan dapat melalui lokakarya atau
seminar-lokakarya (semiloka).
b. Pembentukan Tim Perencana Kebutuhan SDMK Tim ini dibentuk pada tiap
jenjang administrasi pemerintahan dengan Surat Keputusan dari yang berwenang di
masing-masing jenjang administrasi pemerintahan baik pusat, provinsi maupun
kabupaten/kota. Secara garis besar, tim perencanaan kebutuhan SDMK ini terdiri
dari “Tim Pengarah” yang merupakan para pemangku kepentingan pada tingkat
pengambil kebijakan, dan “Tim Pelaksana” yang terdiri dari para pemangku
kepentingan pada tingkat pelaksana penyusun dokumen perencanaan kebutuhan
SDMK.

1.4.2 Metode Perencanaan Kebutuhan SDMK Dan Persiapan Data

35
1) Pemilihan metode perencanaan kebutuhan SDMK Tim perencanaan SDMK
memilih dan menetapkan metode perencanaan kebutuhan SDMK yang disesuaikan
dengan tujuan penggunaan, sebagai berikut:
a. Perencanaan Kebutuhan SDMK tingkat institusi, dengan metode sebagai
berikut(11) :
1) ABK Kesehatan, untuk menghitung kebutuhan SDMK di fasilitas kesehatan di
wilayah pemerintah daerah kabupaten/kota;
2) Standar Ketenagaan Minimal, untuk menetapkan kebutuhan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) yang izin pendirian baru atau
peningkatan klasifikasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan di wilayah pemerintah
daerah kabupaten/kota, serta di Fasilitas Pelayanan Kesehatan daerah terpencil,
sangat terpencil, perbatasan, tertinggal, dan daerah yang tidak diminati.
b. Perencanaan Kebutuhan SDMK tingkat Provinsi
1) Metode Rasio tenaga terhadap Penduduk, untuk menghitung proyeksi
kebutuhan SDMK berdasarkan wilayah (provinsi);
2) ABK Kesehatan Untuk menghitung kebutuhan SDMK di Fasilitas Kesehatan
di wilayah pemerintah daerah provinsi;
3) Rekapitulasi hasil ABK Kesehatan untuk Fasilitas Kesehatan pemerintah
daerah provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya;
4) Rekapitulasi hasil Metode Standar Ketenagaan Minimal untuk Fasilitas
Pelayanan Kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota di wilayahnya.
c. Perencanaan Kebutuhan SDMK tingkat nasional
1) Metode Rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk, untuk menghitung
proyeksi kebutuhan SDMK berdasarkan wilayah nasional. Metode Standar
Ketenagaan Minimal untuk menghitung kebutuhan SDMK berdasarkan wilayah
secara nasional;
2) Menggunakan laporan hasil perhitungan Standar Ketenagaan Minimal wilayah
provinsi;
3) Rekapitulasi hasil ABK Kesehatan untuk institusi dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan pemerintah dan pemerintah daerah provinsi;

36
4) Rekapitulasi hasil perhitungan Standar Ketenagaan Minimal untuk Fasilitas
Pelayanan Kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) pemerintah dan pemerintah
daerah provinsi.
2) Persiapan data Atas dasar penggunaan metode tersebut diatas, maka data yang
diperlukan sebagai berikut. (11)
a. ABK Kesehatan
1) data institusi dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (rumah sakit umum,
puskesmas, klinik Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan
pada jenjang administrasi pemerintahan masing-masing).
2) data jenis dan jumlah SDMK yang ada (tahun terakhir) pada institusi dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang bersangkutan.
3) informasi hari kerja yang ditentukan oleh kebijakan Pemerintah yakni 5 (lima)
hari atau 6 (enam) hari kerja per minggu, sehingga dalam 1 (satu) tahun maka
jumlah hari kerja 260 (dua ratus enam puluh) hari (5 x 52 minggu) dan 312 (tiga
ratus dua belas) hari (6 x 52 minggu).
4) Informasi WKT (Waktu Kerja Tersedia) sebesar 1200 (seribu dua ratus) jam
atau 72.000 (tujuh puluh dua ribu) menit per tahun.
5) Informasi rata-rata lama waktu mengikuti pelatihan sesuai ketentuan yang
berlaku Informasi kelompok dan jenis tenaga kesehatan mengacu pada Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
6) Informasi standar pelayanan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) pada
tiap institusi kesehatan.
7) Informasi tugas pokok dan uraian tugas hasil Analisis Jabatan institusi atau
standar pelayanan yang ditetapkan).
b. Standar Ketenagaan Minimal
1) Data institusi dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (rumah sakit umum dan
puskesmas) pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan pada
jenjang administrasi pemerintahan.
2) Data jenis dan jumlah SDMK yang ada (tahun terakhir).
3) Informasi klasifikasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan (rumah sakit umum dan
puskesmas) yang ada.
4) Informasi standar ketenagaan minimal menurut klasifikasi Fasilitas Pelayanan

37
Kesehatan (rumah sakit umum dan puskesmas), jenis, dan jumlah SDMK sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan baik ditingkat pusat maupun
daerah.
c. Standar Rasio terhadap Penduduk
1) data nama wilayah Nasional (berisi nama-nama provinsi) dan Provinsi (berisi
nama-nama kabupaten/kota) sesuai jenjang administrasi pemerintahan (BPS
setempat tahun terakhir).
2) data penduduk tahun terakhir (jumlah penduduk per provinsi dan jumlah
penduduk per kab/kota setiap provinsi) sesuai jenjang administrasi pemerintahan
(BPS setempat tahun terakhir).
3) angka pertumbuhan penduduk (nasional, per provinsi, dan per kabupaten/kota
tiap provinsi) sesuai jenjang administrasi pemerintahan (BPS setempat tahun
terakhir).
4) data Tenaga Kesehatan yang masuk (pengangkatan baru dan pindah masuk)
dan Tenaga Kesehatan yang keluar (pensiun, meninggal dan yang tidak mampu
bekerja karena sakit, keluar, cuti besar, dan dipecat) menurut jenis dan jumlahnya
Tenaga Kesehatan masuk dan Tenaga Kesehatan keluar 5 (lima) tahun terakhir
(BKD setempat sesuai jenjang administrasi pemerintahan).

1.4.3 Menghitung Kebutuhan SDMK


1) Institusi
a. Metode ABK Kesehatan menghasilkan: (11)
1) ketersediaan, kebutuhan, dan kesenjangan Jenis dan Jumlah SDMK di
institusi/Fasilitas Pelayanan Kesehatan (rumah sakit, puskesmas, unit kerja
pelayanan lainnya) saat ini;
2) rekapitulasi ketersediaan, kebutuhan, dan kesenjangan jenis dan jumlah
SDMK di wilayah pemerintah daerah kabupaten/kota, provinsi, dan nasional
saat ini. Teknis dan detail tentang langkah-langkah perhitungan ABK
Kesehatan, dapat dilihat pada “Buku Manual ABK Kesehatan”.
b. Metode Standar Ketenagaan Minimal menghasilkan: (11)
1) ketersediaan, kebutuhan, dan kesenjangan Jenis dan Jumlah SDMK di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) yang baru atau

38
yang berubah klasifikasinya di wilayah pemerintah daerah kabupaten/kota,
provinsi, dan nasional saat ini;
2) rekapitulasi ketersediaan, kebutuhan, dan kesenjangan jenis dan jumlah
SDMK di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) yang
baru atau yang berubah klasifikasinya di wilayah pemerintah daerah kab/kota,
provinsi, dan nasional saat ini. Teknis dan detail tentang langkah-langkah
perhitungan standar ketenagaan minimal, dapat dilihat pada “Buku Manual
Perencanaan Kebutuhan SDMK Berdasarkan Standar Ketenagaan Minimal”.
2) Wilayah
Metode rasio terhadap penduduk menghasilkan: (11)
a. proyeksi ketersediaan, kebutuhan, dan kesenjangan menurut jenis dan jumlah
SDMK tertentu di wilayah pemerintah daerah provinsi dan nasional periode 5
atau 10 tahun.
b. peta distribusi SDMK tertentu menurut jenis, dan jumlahnya wilayah provinsi
(dengan hasil per wilayah kabupaten/kota) dan nasional (dengan hasil per
wilayah provinsi). Teknis dan detail tentang langkah-langkah perhituangan rasio
terhadap penduduk, dapat dilihat pada “Buku Manual Perencanaan Kebutuhan
SDMK Berdasarkan Rasio Penduduk”.

1.4.4 . Menganalisis Data dan Informasi Data SDMK


Hasil olahan pada perhitungan kebutuhan SDMK tersebut selanjutnya
dianalisis sehingga diperoleh informasi untuk penyusunan perencanaan kebutuhan
SDMK. Analisis tersebut meliputi:(11)
1. analisis kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan setiap jenis SDMK
di institusi dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan ABK Kes;
2. analisis kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan setiap jenis SDMK
di dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan Standar Ketenagaan
Minimal;
3. analisis kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan setiap jenis SDMK
tertentu antar wilayah kabupaten/kota tiap provinsi dan wilayah nasional
dengan membandingkan antar provinsi;
4. analisis proyeksi kebutuhan SDMK tertentu baik wilayah provinsi maupun

39
nasional;
5. analisis peta distribusi SDMK tertentu baik wilayah provinsi dengan
membandingkan distribusi antar provinsi dan nasional dengan membandingkan
distribusi antar provinsi. Dari hasil analisis tersebut dapat disusun rencana
lebih lanjut dalam pengembangan SDMK. Dalam hal analisis data juga harus
memperhatikan aspek kebijakan nasional maupun lokal serta program dan
potensi yang dimiliki, potensi keuangan, kondisi geografis, pertumbuhan
demografi, karakteristik wilayah, serta permasalahan dan status kesehatan.

1.4.5 Menyusun Dokumen Perencanaan Kebutuhan SDMK


Dari hasil analisis kemudian disusun dalam bentuk dokumen perencanaan
kebutuhan SDMK. Ada 2 (dua) dokumen perencanaan kebutuhan SDMK, sebagai
berikut: (11)
1. dokumen perencanaan kebutuhan SDMK tahunan, yang disusun setiap
tahun; dan
2. dokumen perencanaan kebutuhan SDMK jangka menengah 5 atau 10 tahun.
Dokumen perencanaan kebutuhan SDMK yang telah disusun, kemudian
dilaporkan oleh tim pelaksana perencana kebutuhan SDMK kepada tim pengarah
perencana kebutuhan SDMK untuk diberikan arahan/rekomendasi.

1.4.6 Tindak Lanjut


Dokumen perencanaan kebutuhan SDMK yang telah dilengkapi dengan
arahan/rekomendasi kemudian dikirimkan kepada lintas program, lintas sektor,
kementerian/lembaga terkait untuk mendapatkan masukan terutama dikaitkan
dengan pengadaan (formasi pegawai, pendidikan dan pelatihan), pendayagunaan
(pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan), serta pembinaan dan pengawasan
SDM Kesehatan. Setelah mendapat masukan, dokumen perencanaan kebutuhan
SDMK tersebut disahkan/ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.(11)

1.5 Permasalahan dalam Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya Manusia


Kesehatan
Permasalahan perencanaan kebutuhan SDMK akan berdampak pada inefisiensi

40
dan hambatan produktivitas organisasi. Beberapa tantangan dari implementasi
perencanaan SDM Kesehatan, yaitu :(3)
a. Kebijakan
Kebijakan terkait formasi SDM aparatur diatur secara terpusat, di mana
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Kepegawaian Negara,
dalam proses penetapan formasi, berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian
Daerah (BKD). Oleh karena itu BKD memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan
institusi lainnya di daerah dalam menentukan alokasi kuota yang diberikan
oleh Pusat. Perbedaan kewenangan dalam pengusulan dan persetujuan formasi
tenaga kesehatan menjadi faktor yang menyebabkan adanya kesenjangan antara
usulan yang disampaikan dan formasi yang akhirnya ditetapkan dalam hal
jumlah, jenis, distribusi, dan kualifikasi. Gambaran kasus yang terjadi, hasil
yang ditetapkan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan riil yang diajukan
oleh fasilitas kesehatan. Selain itu, adanya sejumlah kebijakan nasional dalam
hal pemenuhan ketenagaan menjadi tantangan tersendiri. Salah satu kebijakan
yang menjadi tantangan yaitu kebijakan moratorium pengangkatan CPNS, padahal
kebutuhan akan tenaga kesehatan menjadi isu yang mendesak. Proyeksi
peningkatan kebutuhan SDMK trennya terus meningkat seiring dengan lahirnya
program-program penguatan upaya kesehatan, salah satunya diperlihatkan dalam
sebuah studi di Sumatera Utara di mana perkiraan kebutuhan tenaga kesehatan
pada tahun 2015 menjadi dua kali lipat dibandingkan kebutuhan pada 2010.
Pemberlakuan otonomi daerah tahun 1999 menyebabkan lompatan
perubahan yang signifikan dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia.
Penerapan asas dekonsentrasi dan desentralisasi dipersepsikan daerah sebagai
independensi dalam mengelola wilayah administratifnya. Sesuai dengan peraturan
perundang-undangan mengenai pemerintah daerah, yakni UU Nomor 2 tahun
2014, penanganan bidang kesehatan menjadi salah satu urusan wajib yang
kewenangannya sudah diserahkan kepada pemerintah daerah provinsi. Transfer
kewenangan yang diserahkan meliputi sumber pendanaan, pengalihan sarana
dan prasarana, serta aspek kepegawaian. Dengan demikian, pengelolaan termasuk
perencanaan SDMK saat ini praktis menjadi kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah provinsi. Sementara pembangunan kesehatan dengan sejumlah

41
sasaran strategisnya memiliki tantangan kompleks yang tidak memungkinkan
untuk diatasi sendirian oleh Kementerian Kesehatan tanpa sokongan di tingkat
daerah. Pada akhirnya tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan
daerah menjadi tak terelakkan.
Acuan jumlah tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
tertuang dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 75
tahun 2004 tentang pedoman perhitungan kebutuhan pegawai berdasarkan beban
kerja dalam rangka penyusunan formasi PNS. Kepmenkes tersebut memastikan
rencana kebutuhan SDMK yang disusun telah sesuai dengan kebutuhan nyata
organisasi, baik dari segi jumlah, mutu, kualifikasi, maupun sebarannya.
Namun, lahirnya agenda reformasi birokrasi berimplikasi terhadap perombakan
yang relatif masif terhadap manajemen SDM aparatur nasional. Upaya
harmonisasi antar kementerian dan lembaga terkait dalam menjembatani sejumlah
perbedaan kebijakan menjadi esensial termasuk di dalamnya mengenai sistem,
metode, dan unsur-unsur dalam perhitungan kebutuhan SDM. Oleh karena
perencanaan SDMK tidak dapat dipisahkan dari kerangka besar manajemen
SDM aparatur nasional, maka metode penyusunan kebutuhan perlu disempurnakan
untuk mengakomodasi penyesuaian kebijakan yang disepakati melalui
Permenkes No. 33 Tahun 2015.
b. Kompetensi Tenaga Perencanaan
Isu penting yang turut menjadi ancaman dalam perencanaan SDMK
adalah rendahnya kemampuan tenaga perencana, baik di tingkat pusat maupun
daerah. Tenaga perencana SDMK idealnya mampu menginventarisasi datadari
berbagai instansi, kemudian menganalisisnya sesuai opsi metode perencanaan
agar dihasilkan dokumen perencanaan kebutuhan SDMK yang dapat
dipertanggung-jawabkan. Analisis tersebut meliputi kesenjangan antara
ketersediaan dan kebutuhan, proyeksi kebutuhan dalam jangka waktu tertentu,
serta peta distribusi SDMK berbasiskan wilayah. Komitmen pemerintah daerah
juga dinilai belum optimal dalam hal fasilitasi peningkatan kapasitas tenaga
perencana tersebut. Hal ini dalam perspektif lebih luas, akan menghambat
jalannya organisasi karena kebutuhan jenis dan jumlah SDM kesehatan yang
dibutuhkan tidak bisa dihitung dengan akurat.

42
c. Pembiayaan
Permasalahan yang menjadi kendala dalam perencanaan SDMK adalah
kurangnya komitmen pemerintah daerah dalam memberikan dukungan anggaran
dalam peningkatan kapasitas tenaga perencana maupun tindak lanjut terhadap
dokumen perencanaan kebutuhan SDMK. Perkiraan kebutuhan SDMK di provinsi
Sumatera Utara pada tahun 2015 bila dibandingkan dengan tahun 2010, rata-
rata naik sebanyak dua kali lipatnya. Kenaikan ini merupakan konsekuensi dari
kebijakan daerah dalam upaya pemerataan tenaga kesehatan. Hal ini menjadi
tantangan tersendiri dikarenakan keterbatasan anggaran untuk melakukan
rekruitmen dan pengadaan tenaga kesehatan. Ketiadaan pembiayaan yang
memadai menyebabkan pelaksanaan tahapan-tahapan dalam penyusunan rencana
kebutuhan SDMK tidak berjalan secara optimal dan komprehensif, terutama dalam
hal proses pengumpulan data.
d. Pemanfaatan Data dan Sistem Informasi
Kendala proses perencanaan yang memakan waktu, kurangnya sosialisasi,
dan keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh dinas kesehatan provinsi
dalam rangkaian proses perekrutan tenaga di daerah menyebabkan
minimnya minat untuk melakukan perencanaan yang sesuai kaidah.
Permasalahan lainnya yang muncul adalah komitmen untuk memanfaatkan
sistem informasi yang ada sebagai bahan perencanaan SDMK dan
pengambilan keputusan. Implementasi di lapangan, data yang terekam dalam
sistem informasi yang dibangun masih belum didayagunakan secara optimal
oleh seluruh pemangku kebijakan perencanaan SDMK. Umumnya
pemanfaatan baru dilakukan oleh divisi atau bidang yang membangun sistem
informasi tersebut.
Salah satu implikasi negatif dari kebijakan desentralisasi adalah putusnya
sistem informasi dari level daerah ke pusat, termasuk dalam hal informasi tenaga
kesehatan. Konsekuensi dari prinsip otonomi tersebut, daerah merasa tidak lagi
berkewajiban untuk melaporkan data tenaga kesehatan ke level pemerintahan
pusat. Akibatnya, asupan data bagi perencanaan tenaga kesehatan nasional
tidak didukung kecukupan data yang akurat. Dalam situasi lemahnya kualitas
perencanaan kebutuhan SDM kesehatan akibat ketiadaan informasi

43
pendukung, alih-alih terus mencari model perencanaan yang tepat, lebih
penting mengedepankan komitmen untuk mengalokasikan investasi sumber
daya pada perbaikan kualitas data dan sistem informasi. Hal ini secara otomatis
akan mempermudah pemerintah dalam mengidentifikasi kebutuhan SDMK
berdasarkan kebutuhan jenis pelayanan, kompetensi tenaga kesehatan dan
situasi lingkungan yang spesifik.
Dalam konteks budaya kerja saat ini, teknologi yang mendukung
pelaksana kerja diakui sebagai salah satu dari tiga pilar utama dalam
mencapai kinerja SDM yang optimal. Perencanaan SDMK tentunya tidak
terlepas dari dukungan data dan informasi SDMK. Dalam proses penyusunannya
diperlukan sumber informasi beragam dari dalam maupun luar sektor
kesehatan sesuai metode perencanaan kebutuhan yang akan diadopsi.
Data-data yang dinilai penting di antaranya data institusi dan fasilitas
kesehatan, data ketersediaan SDM menurut jumlah maupun jenis, data jumlah
penduduk, gambaran demografi dan geografi, dan data epidemiologis,
seperti kasus penyakit endemik.
e. Pelaksanaan Metode Perhitungan Kebutuhan
Proses perencanaan SDMK yang berjalan pada institusi kesehatan di
Indonesia secara umum telah mempergunakaan metode spesifik, seperti
analisis beban kerja dengan memperhatikan standar-standar yang telah ditetapkan
pemerintah. Sebagai contoh, pada perencanaan di RS dituntut untuk
memenuhi persyaratan akreditasi RS dalam hal penentuan jumlah dan spesifikasi
tenaga. Akan tetapi dalam hal keseluruhan pelaksanaan, ditemukan masih
ada prinsip-prinsip yang belum diadopsi ecara tepat. Titik kritis proses
yang masih lemah salah satunya adalah pelaksanaan analisis jabatan (job
analysis), di mana seringkali bergantung pada kebijakan organisasi semisal
kecenderungan prioritas pada tenaga medis tertentu saja. Saat ini perhitungan
kebutuhan dengan metode WISN dianggap sebagai standar emas, yang
diyakini dapat menggambarkan beban kerja secara akurat. Ratio WISN dapat
menjadi ukuran pengganti (proxy) bagi tekanan kerja yang dihadapi SDM
dalam aktivitas kerja sehari-hari. Pada situasi rasio WISN yang lebih kecil dari
satu, menggambarkan adanya inefisiensi pemborosan tenaga yang berimplikasi

44
kepada kelebihan beban kompensasi kepada pegawai. Hasil perhitungan
kebutuhan SDM dengan berbasis metode dan bukti ilmiah diharapkan dapat
memproyeksikan ketersediaan SDMK di masa mendatang secara akurat.
Proyeksi dilihat berdasarkan jumlah ketersediaan dan asal tenaga kesehatan
saat ini serta aliran masuk dan keluarnya. Hal ini berguna untuk memproyeksikan
jumlah SDMK yang dibutuhkan di masa depan, sehingga masyarakat dapat
terus mengakses pelayanan kesehatan dan mendapatkan manfaatnya.
Isu kebijakan, baik kesehatan maupun nonkesehatan, dinilai turut
berkontribusi terhadap perkembangan kebutuhan SDMK. Contoh muatan
kebijakan dalam bidang kesehatan yang turut memengaruhi antara lain penetapan
prioritas dan parameter baru terkait kesehatan. Sementara itu, isu pendidikan,
ketenagaan, dan pengembangan wilayah diyakini membawa pengaruh tidak
langsung dari sektor nonkesehatan. Hal tersebut dibuktikan pada penelitian
mengenai ketersediaan tenaga di FKTP pada 4 provinsi di pulau Jawa, di
mana diakui terdapat perubahan perencanaan SDM antara sebelum dan sesudah
pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional.
f. Kebutuhan SDM Kesehatan
Situasi pada level institusi, yang menjadi isu utama kesenjangan adalah
terdapat perbedaan cakupan tenaga dalam hal kecukupan jumlah, retensi,
keahlian, dan kepuasan kerja antara fasilitas pelayanan kesehatan favorit
dengan nonfavorit. Selain itu, isu gender nyatanya juga memiliki kaitan
dengan situasi SDMK, di antaranya berupa kesempatan perempuan dalam
mengakses pelatihan profesi dan posisi manajerial. Hal tersebut diyakini
berimplikasi terhadap pengambilan keputusan di bidang SDMK yang kurang
menangkap kebutuhan penanganan masalah dan model utilisasi spesifik bagi
perempuan. Padahal, budaya pada sebagian masyarakat memperlihatkan adanya
kecenderungan kaum perempuan lebih memilih opsi ditangani oleh bukan tenaga
kesehatan (seperti paraji dan lain-lain) ketika tidak tersedia tenaga kesehatan
perempuan, terutama terkait pelayanan reproduksi dan anak.
Dokumen perencanaan seharusnya juga memuat gambaran kesenjangan
jumlah kebutuhan berdasarkan hasil analisis/perhitungan dengan ketersediaan
tenaga menurut jumlah, jenis kompetensi, dan jabatan yang diduduki. Apabila

45
dideteksi adanya ketidaksesuaian, maka institusi perlu mengambil tindakan
korektif. Dalam situasi adanya ketidaksesuaian jumlah dan kompetensi dapat
dilakukan kebijakan redistribusi, bahkan pengurangan tenaga, jika dimungkinkan.
Oleh karena itu proses penetapan hasil perencanaan SDMK melibatkan beban
psikologis tersendiri terkait potensi implikasi yang muncul. Moral hazard
yang sayangnya seringkali dipraktikkan adalah dilakukan sejumlah penyesuaian
agar hasil identifikasi dan proyeksi kebutuhan relatif sesuai dengan kondisi
ketenagaan saat ini.
Permasalahan yang muncul dalam pemanfaatan hasil perencanaan SDMK
adalah lemahnya tindak lanjut terhadap dokumen perencanaan yang dihasilkan.
Perencanaan kebutuhan yang telah dilakukan perlu untuk ditinjau secara berkala
sebagai tahap konfirmasi kebijakan. Jika semisal keputusan yang dipilih kurang
tepat, maka perlu segera dilakukan perubahan kebijakan atau diantisipasi
melalui penentuan rencana alternatif. Apabila aktivitas ini diimplementasikan,
maka potensi ketidaksesuaian perencananaan dengan kebutuhan riil dapat
diminimalisasi.

46
BAB II
ISU PERMASALAHAN SDMK DI INDONESIA

Problematika yang dihadapi Negara Indonesia pada SDM Kesehatan salah


satunya adalah permasalahan tentang pendistribusian atau persebaran tenaga
kesehatan di daerah tertinggal. Yang dimana daerah tertinggal jika dilihat
berdasarkan kriteria nya adalah perekonomian masyarakat, sumber daya manusia,
sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas dan
karakterikstik daerah masih dikatakan belum berkembang dari daerah lainnya
berdasarkan skala nasional. Hal ini tertuang pada Peraturan Pemerintah No.63
Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024. (14)
Jika dilihat berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2020
menyatakan bahwa ada sebanyak 62 kabupaten/kota yang berada di 11 provinsi
yang dikategorikan sebagai Daerah Tertinngal. Berdasarkan data jumlah SDMK di
Indoneisa pada tahun 2020 sebanyak 1.463.452 orang yang terdiri atas 1.072.679
tenaga kesehatan (73,30%) dan tenaga penunjang kesehatan sebesar 390.773
(26,70%). Jumlah proposi yang terbanyak yaitu tenaga keperawatan sebesar
40,85% dari total tenaga kesehatan, dan tenaga kesehatan yang paling sedikit
sebanyak 0,03% dari total tenaga kesehatan yaitu tenaga kesehatan tradisional.
Untuk proposi kabupaten/kota dengan kategori Daerah Tertinngal itu sebesar
12,1% dari total kabupaten/kota. Jumlah SDMK di Daerah Tertinggal itu sebanyal
31.374 orang (3,9%) terhadap dari total keseluruhan tenaga kesehatan berskala
nasional. Perbandingan tenaga kesehatan di Daerah Tertinggal berdasarkan jenis
tenaga kesehatan yaitu, jumlah tenaga dokter spesialis sebear 0,7%, tenaga dokter
gigi sebesar 1,4%, tenaga dokter sebesar 2,2%,tenagaa keperawatan 4,0% dan
tenaga kebidanan sebesar 4,7% dari seluruh total tenaga kesehatan di Indonesia.
(15)
Nusa Tengga Timur memiliki jumlah SDMK pada Daerah Tertinggal
terbanyak dengan 13 jumlah kabupaten/kota yang memiliki jumlah SDMK hanya
sebanyak 16.317 orang. Sedangkan untuk jumlah SDMK terdikit pada di Daerah
Tertinggal yaitu Lampung yang hanya memiliki jumlah tenaga SDMK sebanyak
196 orang. (15) Hasil Risnakes 2017 menunjukkan masih kurangnya jumlah SDM

47
kesehatan di puskesmas dan rumah sakit serta tidak terdistribusi secara merata.
Kekurangan SDM kesehatan di puskesmas tidak hanya terjadi pada SDM
kesehatan pelaksana UKM, namun juga UKP. Padahal puskesmas diharapkan
dapat berperan optimal sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan
kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, serta pusat pelayanan kesehatan.
Selain itu, kekurangan dokter spesialis baik medik dasar, penunjang dan spesialis
lainnya masih terdapat di RS milik pemerintah maupun swasta. Fokus utama yang
perlu menjadi perhatian pemerintah dalam pemenuhan SDM kesehatan ke depan
adalah memastikan bahwa terdapat jumlah SDM kesehatan yang cukup baik dalam
hal jumlah, jenis dan kompetensinya, serta terdistribusi secara adil dan merata di
seluruh Indonesia. (16)
Hasil Risnakes memperlihatkan bahwa kondisi SDMK puskesmas di
Indonesia dianggap masih kurang (82,5%), hanya 12,7% yang menyatakan bahwa
kondisi ketenagaan di puskesmasnya telah sesuai. Hal yang sama juga terjadi di
rumah sakit di mana kondisi SDMK RS masih kurang sebesar 56,6% sedangkan
yang menyatakan telah sesuai hanya sebesar 38,9%.(3) Adapun yang menjadi Isu
dan Tantangan SDM Kesehatan yaitu : (7)
 Kekurangan Sumber Daya Manusia Kesehatan. Kekurangan SDM
kesehatan baik yang memberikan pelayanan kesehatan perorangan
(dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga farmasi, ATLM) maupun
yang memberikan pelayanan kesehatan masyarakat (tenaga gizi, SDM
kesehatan masyarakat, SDM kesehatan lingkungan) terjadi di semua
tingkat fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) baik di tingkat primer
(puskesmas), maupun tingkat sekunder dan tersier (rumah sakit).
Kekurangan SDM kesehatan ini tidak hanya terjadi di fasyankes milik
pemerintah namun juga swasta. Kekurangan SDM kesehatan terutama
SDM kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan masyarakat
antara lain disebabkan oleh kebijakan moratorium pengangkatan PNS.
Maldistribusi SDM Kesehatan. Sejak desentralisasi, pengangkatan dan
penempatan lulusan institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan tidak
diatur lagi oleh pemerintah. Akibatnya banyak SDM kesehatan, terutama
dokter, lebih memilih untuk bekerja di perkotaan terutama di wilayah

48
Indonesia barat, yang memiliki banyak fasilitas pelayanan kesehatan
swasta yang menjadi daya tarik (Pull Factor) bagi tenaga dokter dan
dokter spesialis untuk bekerja di perkotaan. Dokter spesialis juga
keberatan untuk bekerja di RS di DTPK karena keterbatasan sarana
pelayanan kesehatan sehingga kesempatan mendapatkan tambahan
penghasilan menjadi berkurang.
 Maldistribusi SDM kesehatan di Indonesia antara lain juga dipengaruhi
oleh tidak memadainya insentif baik finansial maupun non finansial.
Sistem pembayaran dengan kapitasi dalam Program JKN juga menjadi
faktor yang mendorong terjadinya maldistribusi, karena dana kapitasi
yang diterima lebih besar di perkotaan dengan jumlah penduduk yang
lebih besar. Kualitas SDM Kesehatan. Masalah kualitas harus dilihat dari
hulunya, yaitu dari kualitas institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan.
Pertumbuhan institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan meningkat
dengan cepat, terutama di sektor swasta. Pertumbuhan yang cepat ini
tidak diikuti dengan kualitas dari institusi pendidikan kesehatan tersebut.
Dari 2.556 institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan, masih terdapat
24,1% dengan akreditasi C. Lulusan dari uji kompetensi dokter, dokter
gigi, perawat, bidan dan ners dari tahun 2015–2017 belum mencapai
100% lulusan (<80%).Terdapat korelasi antara nilai akreditasi institusi
dengan nilai hasil uji kompetensi.
Permasalahan SDM kesehatan tidak hanya terkait ketersediaan dan distribusi,
namun juga kualitas. Produksi SDM kesehatan meningkat seiring dengan meningkatnya
jumlah dan jenis institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan terutama swasta, namun
seringkali mengabaikan standardisasi dan kualitas pendidikan yang diberikan.
Walaupun jumlah SDM kesehatan di Indonesia terus meningkat, namun dari segi
jumlah masih belum memadai untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal.
Begitu pula halnya seperti yang terjadi di Provinsi Jambi. Menurut Dinas
Kesehatan Provinsi Jambi tahun 2015, dari target 158 tenaga keperawatan per 100.000
penduduk, Jambi hanya mampu mencapai realisasi sebesar 108,58 per 100.000
penduduk. Bahkan dari 11 kabupaten di Provinsi Jambi, 10 kabupaten masih belum
mencapai angka tersebut. Contohnya adalah RS Dr. Bratanata Kota Jambi adalah rumah

49
sakit tipe C dengan jumlah tempat tidur yang tersedia sebanyak 178 dan jumlah total
perawat ruang rawat inap sebanyak 243 orang. Menurut Permenkes nomor
340/MENKES/PER/III/2010, rumah sakit tipe C memiliki perbandingan tenaga
keperawatan dan tempat tidur sebesar 2:3. Berdasarkan data tersebut, maka jumlah rasio
243:178 sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan. Meskipun demikian, pelaksanaan
distribusi tenaga perawat sesuai beban kerja di masing-masing unit belum tentu telah
tercapai. Fasilitas rawat inap di RS Dr. Bratanata terdiri dari 13 unit. Berdasarkan data
di tiap-tiap unit, Ruang Rawat Inap Anak Kenari memiliki kesenjangan yang besar
antara jumlah tenaga perawat dan jumlah tempat tidur. Jumlah tenaga perawat di Ruang
Rawat Inap Anak Kenari sebanyak 31 orang dan jumlah tempat tidur 53 buah. Apabila
mengacu pada ketentuan rasio 2:3 yang ditetapkan oleh Permenkes
340/MENKES/PER/III/2010, maka dapat disimpulkan Ruang Rawat Inap Anak Kenari
belum memenuhi kriteria tersebut karena perbandingannya hanya sebesar 31:53.
Kekurangan tersebut belum dihitung dengan mempertimbangkan berbagai faktor lain
seperti karakteristik di tiap unit dan beban kerja perawat vokasional yang melakukan
asuhan keperawatan langsung terhadap pasien. Akibat ketidaksesuaian tersebut, dapat
mengakibatkan tingginya stres kerja sehingga pelayanan kesehatan tidak berjalan
maksimal. (17) Adapun permasalahan SDM Kesehatan antara lain :
(1)Pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan belum dapat memenuhi
kebutuhan SDM untuk pembangunan kesehatan;
(2)Perencanaan kebijakan dan program SDM Kesehatan masih lemah dan belum di
dukung sistem informasi SDM Kesehatan yang memadai;
(3)Masih kurang serasinya antara kebutuhan dan pengadaan berbagai jenis SDM
Kesehatan. Kualitas hasil pendidikan SDM Kesehatan dan pelatihan kesehatan
pada umumnya masih belum memadai;
(4)Dalam pendayagunaan SDM Kesehatan,pemerataan SDM Kesehatan
berkualitas masih kurang. Pengembangan karier, sistem penghargaan, dan sanksi
belum sebagaimana mestinya. Regulasi untuk mendukung SDM Kesehatan masih
terbatas; serta
(5) Pembinaan dan pengawasan SDM Kesehatan serta dukungan sumberdaya SDM
Kesehatan masih kurang. Masalah SDM Kesehatan berimbas pada ketersediaan
SDM Kesehatan baik jumlah, jenis, maupun mutu yang belum memadai. Isu

50
tersebut menjadi semakin penting sejalan dengan berlakunya Jaminan Kesehatan
Nasional.
Tantangan permasalahan SDM Kesehatan yang kompleks tidak memungkinkan
untuk diatasi oleh Kementerian Kesehatan sendiri. Dukungan kerjasama dan jalinan
koordinasi yang baik dari para pemangku kepentingan terkait dalam jangka panjang
mutlak diperlukan, baik di tingkat pusat dan daerah. Hal ini hanya dapat dicapai melalui
komitmen politis di tingkat pimpinan yang dapat menggalang berbagai upaya untuk
pengembangan SDM kesehatan dari berbagai pemangku kepentingan termasuk swasta
dan masyarakat (3).

51
BAB III
PETA DISTRIBUSI

Perencanaan untuk memenuhi kebutuhan SDMK menjadi salah satu kepentingan


utama, yang mana tujuannya adalah untuk menjamin ketersediaan, pendistribusian, dan
peningkatan kualitas SDMK. Sistem Kesehatan Nasional mendefinisikan SDMK
sebagai tenaga kesehatan profesional, termasuk tenaga kesehatan strategis, tenaga
kesehatan nonprofesi, serta tenaga pendukung/ penunjang kesehatan, yang terlibat dan
bekerja serta mengabadikan dirinya dalam upaya dan manajemen kesehatan.
Perencanaan kebutuhan SDMK di kabupaten/kota dimulai dengan melihat kebijakan
terkait dengan perencanaan SDMK, pemenuhan kompetensi tenaga perencana serta
adanya pembiayaan yang menunjang. Dalam proses perencanaan akan dilakukan upaya
pemanfaatan data dan sistem informasi yang sesuai serta pelaksanaan metode dan
perhitungan kebutuhan yang telah ditetapkan, sehingga akan dihasilkan output berupa
perencanaan kebutuhan SDMK. Permasalahan perencanaan kebutuhan SDMK akan
berdampak pada inefisiensi dan hambatan produktivitas organisasi. Gambaran kasus
yang terjadi pada perencanaan tenaga gizi memperlihatkan seringkali tenaga kesehatan
yang ditetapkan tidak sesuai dengan kebutuhan nyata yang diajukan oleh fasilitas
kesehatan. Beberapa penelitian memperlihatkan surplus tenaga kesehatan menyebabkan
beban biaya menjadi besar, sedangkan defisit tenaga akan menciptakan beban kerja
SDMK yang tinggi dan memengaruhi kualitas pelayanan. Adapun tujuan dari studi ini
adalah menilai kegiatan perencanaan kebutuhan SDMK kesehatan yang berbasis bukti
di kabupaten/kota. Berdasarkan temuan yang diperoleh diharapkan dapat menjadi
masukan kebijakan dalam menyempurnakan proses perencanaan kebutuhan SDMK,
sesuai dengan situasi spesifik yang menjadi tantangan implementasi di Indonesia. (3)

52
Salah satu cakupan indikator yang menjadi keberhasilan rumah sakit yang
efektif dan efisien adalah dilihat dari tersedianya SDM yang cukup dengan kualitas
yang tinggi, profesional sesuai dengan fungsi dan tugas setiap personel.
Ketersediaan SDM rumah sakit disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit
berdasarkan tipe rumah sakit dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Untuk itu ketersediaan SDM di rumah sakit harus menjadi perhatian pimpinan.

53
Dari tabel 8 di atas, didapatkan hasil bahwa perhitungan kebutuhan tenaga
berdasarkan perhitungan beban kerja staf diperoleh proporsi kebutuhan tenaga
dalam aktifitas pembuatan registrasi pasien rawat jalan sebanyak 0.9 tenaga,
pembuatan laporan kunjungan pasien harian sebanyak 0.9 tenaga, pengarsipan
berkas pasien sebanyak 0.9 tenaga, coding sebanyak 0.9 tenaga, serta pembuatan
registrasi keluar pasien BPJS sebanyak 0.9 tenaga, bekerjasama dengan unit lain
sebanyak 0.9 tenaga serta menghadiri rapat bulanan sebanyak 0.9 tenaga.
Berdasarkan perhitungan kebutuhan tenaga melalui WISN (Work Load Indicator
Staff Need) diperoleh jumlah kebutuhan tenaga di Loket Pendaftaran
RS.Dr.Bratanata berjumlah 6.3 orang sesuai petunjuk pembulatan perhitungan
WISN oleh Depkes (2012) dibulatkan menjadi Enam orang. Dialami staf dalam
pekerjaan sehari-hari mereka di suatu fasilitas kesehatan. Jika ratio WISN bernilai
satu (1) maka menunjukkan jumlah staf dan beban kerja di suatu Unit Kerja berada
dalam keadaan seimbang. Semakin kecil ratio WISN, semakin besar tekanan beban
kerja. Ratio WISN yang kecil menunjukkan bahwa jumlah staf saat ini lebih kecil

54
daripada yang dibutuhkan untuk mengatasi beban kerja yang ada. Sebaliknya, ratio
WISN yang besar menunjukkan adanya kelebihan staf apabila dibandingkan
terhadap beban kerja.(18)
Pelayanan keperawatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
pelayanan rumah sakit (RS),karena profesi perawatan sebagai bagian dari unsur
Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan di Rumah Sakit (RS) bekerja
memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien secara holistik, umanistik, etik
dan berlandaskan ilmu dan kiat keperawatan serta berorientasi kepada kebutuhan
pasien atau klien. RSUD Raden Mattaher Jambi ialah sebagusnya, pihak RSUD
Raden Mattaher Jambi lebih meningkatkan pelayanan agar bisa memenuhi
kepuasan pasien dan meningkatkan kualitas SDM dengan melakukan pelatihan
agar memberi yang tepat waktu sama dengan jadwal waktu layanan perlu diikuti
dengan perangkat yang bermutu dalam bentuk SOP.
Kinerja dalam suatu organisasi dilakukan oleh segenap sumber daya manusia
yang ada, baik pimpinan maupun pekerja. Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi sumber daya manusia dalam menjalankan kinerjanya. Baik itu
faktor yang berasal dari dalam diri sumber daya manusia maupun yang berasal dari
luar dirinya. Setiap pekerja mempunyai kemampuan berdasar pada pengetahuan
dan keterampilan, kompetensi yang sesuai dengan pekerjaanya, motivasi kerja dan
kepuasan kerja. Namun, pekerja juga mempunyai kepribadian, sikap dan perilaku
yang dapat mempengaruhi kinerjanya6 . Jumlah tenaga keperawatan honor yang
ada di unit rawat inap RSUD. H. Abdul Manap sebanyak 82 orang yng memiliki
pendidikan Ns, S1 keperawatan dan D-III Keperawatan. Nilai BOR di unit rawat
inap RSUD H. Abdul Manap tahun 2015 masih rendah yaitu 47,01% bila
dibandingkan standar BOR yang ideal menurut Depkes RI (2005) adalah 60%-
85%, nilai ideal untuk BOR yang disarankan adalah 75%-85%7 . pencapaian BOR
suatu rumah sakit, menggambarkan tingkat pemanfaatannya oleh pasien. Selain itu
naik turunnya BOR juga dapat digunakan untuk melihat tingkat kepuasan pasien
terhadap pelayanan rumah sakit ataupun kinerja petugas kesehatan yang ada di
dalamnya. Kinerja perawat merupakan salah satu hal yang mempengaruhi nilai
mutu pelayanan diunit rawat inap karena perawat kontak langsung selama 24 jam
dengan pasien.

55
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Motivasi, Imbalan dan Supervisi
Tenaga Keperawatan Honor di Unit Rawat Inap RSUD H. Abdul Manap Kota
Jambi Tahun 2016.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari total responden sebanyak


82 orang, 26 orang (31,7%) memiliki motivasi kurang baik dan 56 orang (68,3%)
memiliki motivasi baik. 58 orang (70,7%) menyatakan imbalan kurang dan 24
orang (29,3%) menyatakan imbalan cukup. 33 orang (40,2%) menyatakan
supervisi kurang baik dan 49 orang (59,8%) supervisi baik. 27 orang (32,9%)
memiliki kinerja kurang baik dan 55 orang (67,1%) memiliki kinerja baik.(19)
Selanjutnya untuk Peta SDKM kesehatan di Fasyankes PUSKESMAS di kota
jambi adalah sebagai berikut.

56
Provinsi Kode Kab/Kota Kab/Kota Kode Unit Nama Unit Dokter Dokter Gigi Perawat Bidan Kefarmasian Kesehatan Masyarakat Kesehatan Lingkungan Gizi ATLM Keterangan
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571010201 PAAL V 2 1 6 16 3 4 2 2 1 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571010202 PAAL X 8 1 6 14 4 2 2 2 3 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571010203 KENALI BESAR 3 1 2 20 4 3 1 1 3 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571010204 RAWASARI 2 2 18 14 4 3 2 2 3 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571020101 PAKUAN BARU 7 1 15 25 5 4 3 3 3 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571020202 TALANG BAKUNG 3 1 14 16 5 0 3 2 3 Belum Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571020203 KEBON KOPI 2 1 9 19 3 0 3 1 3 Belum Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571020204 PAAL MERAH I 2 2 7 10 2 1 1 2 3 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571020205 PAAL MERAH II 2 1 5 16 2 2 1 1 4 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571030201 SIMPANG KAWAT 3 1 7 16 4 3 2 1 2 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571030202 KEBON HANDIL 2 1 6 9 3 2 2 3 3 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571040201 KONI 2 1 8 11 1 1 1 2 2 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571050101 PUTRI AYU 4 1 15 24 4 3 2 2 3 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571050202 SIMPANG IV SIPIN 5 2 10 16 4 4 3 1 2 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571050203 AUR DURI 1 1 12 12 3 3 2 1 2 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571060101 OLAK KEMANG 2 1 5 13 2 2 1 1 1 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571070201 TAHTUL YAMAN 3 1 5 15 1 1 1 1 2 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571080201 TANJUNG PINANG 2 2 7 14 3 2 2 1 2 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571080202 PAYO SELINCAH 2 1 9 13 3 2 3 1 3 Memenuhi
JAMBI 1571 KOTA JAMBI P1571080203 TALANG BANJAR 2 1 11 18 2 1 2 1 2 Memenuhi

Source : bppsdmk.kemenkes.go.id

Berdasarkan table persebaran SDMK di puskesmas seluruh kota jambi yang


memiliki 20 puskesmas, terdapat 2 yang belum memenuhi SDMK yang sesuai dan
18 puskesmas yang sudah memenuhi standar SDMK yang harus ada di puskesmas
(20).

PMK No.7 tahun 2014 tentang PUSKESMAS pada pasal 16 menyebutkan bahwa
Jenis tenaga kesehatan di puskesmas terdiri dari (21):
1. dokter atau dokter layanan primer;
2. dokter gigi;
3. perawat;
4. bidan;
5. tenaga kesehatan masyarakat;
6. tenaga kesehatan lingkungan;
7. ahli teknologi laboratorium medik;
8. tenaga gizi; dan
9. tenaga kefarmasian.
Berdasarkan table diatas, bisa ditarik kesimpulan bawah Puskesmas di Kota
Jambi persebaran SDMK nya cukup bagus dengan persentse sebesar 90% dengan
kategori sudah memenuhi ( Puskesmas Memenuhi, & 2 Puskesmas Tidak
Memenuhi) . Dengan persentasi persebaran tersebut , bisa di bilang sudah cukup
merata. Yang menyebabkan 2 Puskesmas tersebut terbilang tidak memenuhi
adalah, tidak adanya Tenaga Kesehatan Masyarakat di Puskesmas tersebut. Padahal

57
tenaga Kesehatan Masyarakat terbilang cukup krusial yang harus ada di dalam
Puskesmas. Karena memegang peranan penting pula,baik dalam upaya promotif
maupun preventif juga dalam segi memanajemen SDM.
Dengan begitu, diharapkan kabupaten lainnya yang ada provinsi Jambi bisa
tersebar dengan baik pula, agar Nakes di Fasyankes bisa merata dan seluruh
masyarakat Provinsi Jambi bisa menikmati Fasilitas Kesehatan yang sesuai pula
sesuai dengan hak yang sama yaitu : “ Setiap Orang Berhak Mendapatkan
Pelayanan Kesehatan Yang Layak.”

58
BAB IV
PENYELESAIAN MASALAH PERENCANAAN KEBUTUHAN SDM

Solusi menjadi hal terpenting dalam melerai permasalahan yang ada, oleh karena
itu sebenarnya bila kita lihat ternyata pemerintah sendiri sudah memberikan dan
menerapkan suatu kebijakan, guna sebagai solusi dalam kemerataan dari SDM
kesehatan. Adapun beberapa kebijakan yang dimaksud adalah pemerintah telah
memberlakukan yang namanya regulasi zero growth dan dihapusnya regulasi wajib
kerja sarjana untuk dokter/dokter gigi dan sebenarnya hal ini menjadi suatu penyebab
kesulitan dalam distribusi dan redistribusi dokter/dokter gigi. Oleh karena itu, sebagai
alternatif atau penggantinya, pemerintah pusat menerapkan kebijakan kontrak kerja
sebagai pegawati tidak tetap atau PTT (16).
Selain itu, isu terpenting juga bermuara pada peningkatan kapasitas dari sumber
daya manusia di Dinas Kesehatan yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah
18/2016 terkait Perangkat Daerah yang menegaskan dan menjelaskan bahwasanya
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Puskesmas mejadi bagian Pelaksana Teknis
(UPT) di Dinas Kesehatan baik pada tingkatan kabupaten maupun kota. Dengan
demikian, pencapaian target dari suatu pembangunan kesehatan baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota ditentukan oleh kemampuan dan ketepatgunaan SDM Dinkes.
Sebagai resikonya, maka dinkes harus memiliki sumber daya yang berkompetensi
sesuai dengan fungsi dan tugasnya selaku pembina kesehatan di wilayah masing-masing
(16)
.
Affirmative policy ini dapat berupa peraturan presiden tentang wajib
kerja/pendayagunaan SDM kesehatan melalui pengangkatan dan penempatan dengan
masa bakti tertentu dalam bentuk tim yang terdiri dari SDM kesehatan UKP dan UKM
yang akan ditempatkan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer (Puskesmas) di
DTPK yang mana hal ini merupakan upaya mengatasi ketidakmerataan SDM yang ada.
SDM kesehatan tersebut diangkat sebagai PNS/Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja (PPPK) tanpa batasan usia. Kebijakan ini sebaiknya juga mengatur antara lain

59
insentif baik finansial dan non finansial, pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk
pengembangan kompetensi serta pengembangan karir pasca masa bakti (pendidikan
berkelanjutan). Insentif non finansial yang diberikan antara lain berupa “penyegaran”
(cuti tambahan di luar hak cuti yang ada dan dalam cuti tambahan tersebut SDM
kesehatan diberi kesempatan dan biaya agar dapat mengikuti seminar, kursus ataupun
magang di RS sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya),
lingkungan kerja yang positif (sarana dan prasarana di fasyankes, obat-obatan, air bersih
dan sanitasi), serta K3 (keselamatan, keamanan dan kesehatan kerja) (16)
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 22, telah
diamanatkan bahwa Pemerintah harus mengupayakan ketersediaan tenaga kesehatan di
setiap fasilitas kesehatan yang ada diwilayahnya dengan memperhatikan aspek
pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan. Hal ini dikarenakan, keberadaan tenaga
kesehatan sangat penting bagi keberhasilan pembangunan kesehatan. Namun fakta
lapangan menyatakan masih adanya kekosongan tenaga kesehatan di beberapa fasilitas
layanan kesehatan bukan hanya karena tidak ada yang mau ditempatkan di faskes
tertentu, tetapi juga karena masih kurangnya perhatian pemerintah terhadap fasilitas
yang mesti tersedia. Kurangnya kompetensi tenaga kesehatan juga menjadi tantangan
tersendiri dalam manajemen sumber daya manusia kesehatan. Karena semua fasilitas
(sarana dan prasarana) yang ada menjadi kewenangan daerah. Akibatnya beban kerja
tenaga kesehatan menjadi besar dan berpengaruh pada mutu pelayanan yang akan
diberikan (22)
Adapun kegiatan administrasi kepegawaian tenaga kesehatan terdiri dari beberapa
unsur, yaitu:

1. Penulisan data lengkap dari tenaga kesehatan dengan tujuan memudahkan


system informasi dari segi kelengkapannya..
2. Melihat kondiri ketersediaan tenaga kesehatan baik dari segi kuantitasnya
maupun kualitas dengan cara metode pelaporan yang dilakukan untuk
merencanakan pengembangan tenaga kesehatan ke proyeksi masa depan.
3. Melakukan yang dinamakan dengan perencanaan. Hal ini beresesnsi untuk
upaya pengembangan tenaga kesehatan agar bisa meutupi kekurangan yang ada
dan melakukan promosi kesehatan dengan modal Pendidikan dan pelatihan yang
dimiliki serta yang paling penting juga adalah terkait system insentif pegawai.

60
4. Melakukan proses pemilihan dari sekelompok individu sebagai rangka
memenuhi jumlah kebutuhan tenaga kesehatan yang dibutuhkan dari unit kerja
per institusi wilayah.
5. Setelah melakukan proses pemilihan maka selanjutnya akan dilakukan proses
menetapkan dari pilihan yang ada atau dbiasa yang disebut dengan Seleksi yang
bertujuan untuk menjaring pegawai yang memiliki skill untuk menduduki
jabatan dengan amanah dan mampu mengerjakan peerjaan pada institusi
kesehatan.
6. Memperkenalakan budaya,sosial dan lingkungan kerja di sekitar tempat kerja
dilakukan dalam proses orientasi.
7. Penugasan kembali dari karyawaan terhadap pekerjaan baru, hal ini dilakukan
dalam rangka penurunan pangkat,promosi dan pengalihan disebut penempatan .
Tujuan dari penematan adalah untuk menempatkan orang yang tepat dan jabatan
yang sesuai dengan minat dan kemampuannya, sehingga sumber daya manusia
yang ada menjadi produktif.
8. Berdasarkan hasil evaluasi mutasi dilakukan pada setiap pekerja secara
berkesinambungan secara real dan agar dapat meningkatkan efisiensi dan
ektifitas . Mutasi yang dimaksud dapat terjadi karena keinginan dari pegawai itu
sendiri atau keinginan institusi.

Upaya yang dapat dilakukan guna mengembangan dan memberdayaan SDM


Kesehatan yaitu (23) :
1. Menempatkan tenaga PTT, Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan Strategis dan
Penugasan Khusus Residen Senior untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan
dan mengurangi disparitas di wilayah –wilayah yang kurang diminati;
2. Akreditasi pelatihan dan akreditasi institusi yang dilakukan secara
berkesinambungan dan berkala. Akreditasi pelatihan dilakukan dalam upaya
meningkatkan mutu penyelenggara pelatihan dengan pembinaan yang terarah,
sistematik dan berkesinambungan. Akreditasi Institusi Pelatihan merupakan suatu
pengakuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Institusi Pelatihan yang telah
memenuhi standard yang telah di tetapkan.
3. Inovasi pelatihan yang dikembangkan adalah mengembangkan model Diklat
Aparatur Pelatihan Jarak Jauh (PJJ), yaitu pelatihan Asisten Epidemiologi

61
Lapangan, Advokasi bagi petuga Promosi Kesehatan, Jabfung pengangkatan
pertama penyuluh Kesehatan Masyarakat, Konselor HIV, Manajer Rumah Sakit dan
Tuberkolosis. PJJ merupakan model pelatihan yang dapat di akses secara online atau
secara non online. Sasaran peserta PJJ adalah aparatur kesehatan yang masih jarang
bahkan belum pernah mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan. Pertimbangan
lainnya adalah masalah geografis Indonesia yang sagat luas dan berbentuk
kepulauan, serta sudah tersedianya infrastruktur ICT (Information and
Communication Technology) yang semakin mudah diakses.
4. Inovasi pendidikan yang juga dikembangkan adalah Pendidikan Jarak Jauh yang
sudah dilakukan oleh Poltekkes Kupang dan Poltekkes Kalimantan Timur yang
bekerjasama dengan Universitas Terbuka .
5. Bantuan pendidikan yang diberikan kepada calon peserta yang diusulkan oleh rumah
sakit yang masih mengalami kekurangan dokter spesialis/dokter gigi spesialis
berdasarkan standar kebutuhan tenaga dokter spesialis/dokter gigi spesialis di rumah
sakit. Peserta PPDS/PPDGS diprioritaskan pada 4 spesialisasi dasar (Obgyn, Ilmu
Kesehatan Anak, Ilmu Bedah dan Ilmu Penyakit Dalam), 4 spesialis penunjang
(anestesiologi, Radiologi, Patologi Klinik dan Rehabilitasi Medik) dan spesialis
lainnya (Patologi Anatomi, Mata, Telinga Hidung Tenggorokan, Syaraf, Jantung
dan Pembuluh Darah, Kulit dan Kelamin, Kedokteran Jiwa dan Paru), sedangkan
untuk PPDGS, yaitu Bedah Mulut, Konservasi, dan Penyakit Mulut.
6. Melakukan pembinaan dalam rangka memberikan pengarahan dan bimbingan guna
mencapai suatu tujuan tertentu. Pembinaan diarahkan untuk:
a. Mewujudkan perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan
b. Mendayagunakan tenaga kerja secara optimal serta penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan pembangunan nasional
c. Mewujudkan terselenggaranya pelatihan kerja yang berkesinambungan guna
meningkatkan kemampuan, keahlian dan produktivitas tenaga kerja
d. Menyediakan informasi pasar kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja yang
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan tenaga kerja pada pekerjaan yang
tepat
e. Menyelenggarakan sertifikasi keterampilan dan keahlian tenaga kerja sesuai
dengan standar

62
f. Mewujudkan tenaga kerja mandiri
g. Menciptakan hubungan yang harmonis dan terpadu antara pelaku proses
produksi barang dan jasa yang diwujudkan dalam hubungan industrial Pancasila
h. Mewujudkan kondisi yang harmonis dan dinamis dalam hubungan kerja yang
meliputi terjaminnya hak pengusaha dan pekerja
i. Memberikan perlindungan tenaga kerja yang meliputi keselamatan dan
kesehatan kerja, norma kerja, pengupahan, jaminan sosial tenaga kerja, serta
syarat kerja.
7. Diklat ditujukan untuk membantu karyawan agar mendapatkan pengalaman, keahlian
dan sikap untuk menjadi atau meraih kesuksesan. Karena itu, kegiatan
pengembangan dapat membantu individu untuk memegang tangung jawab di masa
mendatang.

Usaha dalam meningkatkan kualitas pada pelayanan puskesmas sebenarnya sudah


diatur dan tertuang dalam Peraturan Menkes Nomor 33 Tahun 2015 yang menjelaskan
pedoman penyusunan dan proyeksi kebutuhan SDMK dan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 81/MENKES/SK/I/2004 terkait pedoman pemerintah daerah yang
disesuaikan dengan kebutuhan juga perkembangan hukum. Namun, meskipun demikian
pelaksanaannya masih belum optimal. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan hal
tersebut perlu adanya sanksi yang tegas dari pemerintah,apabila terjadi ketidakberhasilan
fasilitas layanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan SDMK.

63
REFERENSI :
1. Misnaniarti M. DEVELOPMENT AND EMPOWERMENT OF HEALTH
HUMAN RESOURCES THE IMPORTANT ASPECT IN
DECENTRALIZATION. J Ilmu Kesehat Masy. 2010;1(1).
2. Wangi NWS, Agusdin A, Nurmayanti S. ANALISIS PERENCANAAN
SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) KESEHATAN PUSKESMAS DENGAN
METODE WORKLOAD INDICATORS OF STAFFING NEEDS (WISN) DI
KABUPATEN LOMBOK BARAT. J Kedokt. 2019;5(1).
3. Sumiarsih M, Nurlinawati I. Permasalahan dalam Perencanaan Kebutuhan
Sumber Daya Manusia Kesehatan di Kabupaten/Kota. J Penelit dan Pengemb
Pelayanan Kesehat. 2020;
4. Pamungkas G. ANALISIS BEBAN KERJA SUMBER DAYA MANUSIA
(SDM) KESEHATAN DI PUSKESMAS CIWIDEY KABUPATEN BANDUNG
MENGGUNAKAN METODE WORKLOAD INDICATORS OF STAFFING
NEED (WISN). J Ilmu Kesehat Immanuel. 2020;14(1).
5. Hidayanti H. Pemerataan Tenaga Kesehatan di Kabupaten Lamongan.
CAKRAWALA. 2019;12(2).
6. Handoko TH. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Sekretariat
Negara. Yogyakarta; 2014.
7. Harahap NP. K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N SUMBER DAYA
MANUSIA KESEHATAN. 1st ed. Siahaan RGM, Ariteja S, Ali PB, Gani A,
editors. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas; 2019.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA
KESEHATANNo. 298, 2014. 2014;298.
9. Kemenkes.RI. Badan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia
Kesehatan (BPPSDMK). 2019;
10. Masram PH, Pd M, Mu H. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung:
Zifatama; 2015.
11. Anugrah S 2015. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2015. kementrian Kesehat. 2015;2025:32.
12. Pardjono. Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan Berdasarkan Metode Analisis

64
Beban Kerja Kesehatan (ABK Kes). 1st ed. Jakarta: Kemenkes RI; 2016.
13. Pardjono. Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan Berdasarkan Standar
Ketenagaan Minimal. 2nd ed. Jakarta: Kemenkes RI; 2016.
14. Presiden Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 63
Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024. Kementeri
Sekr Negara. 2020;(018390):1–8.
15. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2020.
Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents. 2020.
16. Kementerian PPN/Bappenas. Kajian Sektor Kesehatan Sumber Daya Manusia
Kesehatan. 2019. 63 p.
17. Alif Putra. Sistem Kesehatan Nasional. J Inf. 2017;10:1–16.
18. Wanri A, Rahayu S, Trigono A. Analisis Kebutuhan Tenaga Administrasi
Berdasarkan Beban Kerja Dengan Teknik Work Sampling Menggunakan Metode
WISN Dalam Rangka Meningkatkan Mutu Pelayanan Unit Rawat Jalan Rs. Dr.
Bratanata Jambi Tahun 2018. J Kesmas Jambi. 2018;2(2):20–32.
19. Ninla Elmawati Falabiba. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja tenaga
keperawatan honor di unit rawat inap RSUD H. ABDUL MANAP Kota Jambi
tahun 2016. 2019;6(2):151–4.
20. http://bppsdmk.kemkes.go.id/. Informasi SDM Kesehatan Nasional.
21. INDONESIA MKR. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN
MASYARAKAT. MENTERI Kesehat REPUBLIK Indones. 2014;1.
22. Lestari TRP. Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Di Puskesmas Melalui
Pendekatan Manajemen Sumberdaya Manusia Kesehatan. Kajian [Internet].
2018;23(3):157–74. Available from:
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/kajian/article/view/1880
23. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Rencana Aksi Program Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia Kesehatan Tahun 2015-2019. 2017. p. 55.

65

Anda mungkin juga menyukai