Anda di halaman 1dari 25

PEDOMAN PELAYANAN RUANG PONED

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama
dalam suatu ruang lingkup badan atau organisasi yang berguna untuk pencegahan,
pemeliharaan, penyembuhandan pemulihan kesehatan seseorang atau kelompok.
Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan
setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat kepuasan rata – rata
penduduk serta serta yang penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar
pelayanan profesi yang telah ditetapkan.
Mengutip data hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia ( SDKI ) tahun 2012,
Angka Kematian Ibu ( AKI )

Mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi ( AKB )
mencapai 32 per 1000 kelahiran hidup. Melengkapi hal tersebut, data laporan dari daerah
yang diterima Kementrian Kesehatan RI menunjukkan bahwa jumlah ibu yang meninggal
karena kehamilan dan persalinan tahun 2013 adalah sebanyak 5019 orang. Sedangkan
jumlah bayi yang meninggal di Indonesia berdasarkan estimasi SDKI 2012 mencapai
160.681 anak. Salah satunya upaya dalam akselerasi penurunan Angka Kematian Ibu dan
Angka Kematian Bayi adalah meningkatkan akses maternal dan neonatal melalui program
penanganan komplikasi pada ibu hamil dan bayi baru lahir. Penanganan komplikasi
tersebut melalui penyelenggaraan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar ( PONED
) di tingkat Puskesmas. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud diatas perlu
adanya Bina Upaya Kesehatan agar penyelenggaraan Puskesmas mampu PONED dapat
memberikan pelayanan kesehatan yang profesional dan berkualitas.
PONED merupakan pelayanan untuk menanggulangi kasus – kasus
kegawatdaruratan obstetric neonatal. Pelayanan ini dilaksanakan di Puskesmas rawat inap
yang mampu menyelenggarakan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi / komplikasi
tingkat dasar dalam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu yang menerima rujukan dari tenaga
kesehatan atau fasilitas pelayanan kesehatan ditingkat desa atau masyarakat.
Dengan semakin meningkatnya jumlah kegawatdaruratan obstetri dan neonatal
maka diperlukan peningkatan pelayanan PONED. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka
perlu dibuat standar pelayanan PONED yang merupakan pedoman bagi semua pihak
dalam tata cara pelaksanaan yang diberikan ke pasien pada umumnya dan pasien PONED
Puskesmas Kabuh.

1
Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka, dalam melakukan pelayanan
kegawatdaruratan obstetri dan neonatal di Puskesmas Kabuh harus berdasarkan standar
pelayanan PONED Puskesmas Kabuh.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja batasan masalah PONED di Puskesmas Kabuh ?
2. Bagaimana standar ketenagaan PONED di Puskesmas Kabuh ?
3. Bagaimana standar fasilitas PONED di Puskesmas Kabuh ?
4. Bagaimana tata laksana pelayanan PONED di Puskesmas Kabuh ?
5. Bagaimana logistik PONED di Puskesmas Kabuh ?
6. Bagaimana keselamatan pasien PONED di Puskesmas Kabuh ?
7. Bagaimana keselamatan kerja PONED Puskesmas Kabuh ?
8. Bagaimana pengendalian mutu PONED di Puskesmas Kabuh ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana standar ketenagaan PONED di Puskesmas Kabuh
2. Untuk mengetahui bagaimana standar fasilitas PONED di Puskesmas Kabuh
3. Untuk mengetahui bagaimana tata laksana pelayanan PONED di Puskesmas
Kabuh
4. Untuk mengetahui bagaimana logistik PONED di Puskesmas Kabuh
5. Untuk mengetahui bagaimana keselamatan pasien PONED di Puskesmas
Kabuh
6. Untuk mengetahui bagaimana keselamatan kerja di PONED di Puskesmas
Kabuh
7. Untuk mengetahui pengendalian mutu PONED di Puskesmas Kabuh.

D. Batasan Masalah
1. Membahas tentang ruang PONED Puskesmas Kabuh
2. Pembahasan mencakup standar ketenagaan, standar fasilitas, tata laksana
pelayanan, logistik, keselamatan pasien, keselamatan kerja dan pengendalian
mutu.

2
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi SDM
Pola ketenagaan dan kualifikasi SDM PONED adalah :

No Nama Jabatan Kualifikasi Formal Keterangan

1. Penanggung jawab Dokter gigi Bersertifikat BCLS

2. Dokter PONED Dokter Umum / Setingkat Bersertifikat ACLS /


ATLS / APN / PPGD

3. Koordinator PONED DIII Kebidanan Bersertifikat


APN,CTU,Pelatihan
Aspyksi BBLR,
Pelatihan poned, CTS
APN

4. Bidang pelaksana PONED D III Kebidanan Bersertifikat APN,


CTU

B. Distribusi Ketenangan
Pola Pengaturan ketenagaan PONED yaitu :
a. Dinas Pagi
Yang bertugas sejumlah 3 ( tiga ) orang dengan standar minimal bersertifikat
APN.
Kategori :
1. Bidan koordinator poned
2. Bidan pelaksana
b. Dinas Sore
Yang bertugas sejumlah 3 ( tiga ) orang dengan standar minimal bersertifikat
APN.
Kategori
1. Bidan penanggung jawab shift
2. Bidan pelaksana
c. Dinas Malam
Yang bertugas 3 ( tiga ) orang dengan standar minimal bersertifikat APN.
Kategori
1. Bidan penanggung jawab shift
2. Bidan pelaksana

3
C. Pengaturan Jaga
Pengaturan Jaga PONED
 Pengaturan jadwal dinas dibuat dan dipertanggung jawabkan oleh kepala
ruangan dan disetujui oleh penanggung jawab PONED dan kepala Puskesmas.
 Jadwal dinas dibuat untuk jangka waktu satu bulan.
 Untuk tenaga bidan yang memiliki keperluan penting pada hari tertentu maka
bidan dapat tukar jaga dengan bidan yang lain.
 Setiap tugas jaga atau shift harus ada penanggung jawab shift dengan syarat
pendidikan minimal D III Kebidanan / dan masa kerja minimal 2 tahun. Serta
memiliki sertifikat pelatihan.
 Jadwal dinas terbagi atas dinas pagi, dinas sore, dinas malam, libur dan cuti.

4
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. Denah Ruangan Bersalin

B. Standar Fasilitas
I. Fasilitas dan Sarana
3 buah bed pasien untuk persalinan, 1 buah infarm warmer, 1 buah tabung
oksigen ukuran besar, 1 buah tabung oksigen ukuran kecil.
II. Peralatan
Peralatan yang tersedia di PONED mengacu pada buku pedoman
penyelenggaraan puskesmas mampu poned kementrian RI tahun 2013.

NO ALAT JUMLAH
1. Meja instrument 2 buah
2. Bak Instrument tertutup kecil 6 buah
3. Bak Instrument tertutup medium 0 buah
4. Bak Instrument tertutup besar 4 buah
5. Tromol kasa 1 buah
6. Nierbekken 3 buah
7. Timbangan injak dewasa 1 buah
8. Pengukur tinggi badan 1 buah
9. Standar infuse 4 buah
10. Lampu periksa Halogen 2 buah
11. Tensimeter / spygmomanometer dewasa 5 buah

5
12. Stetoskop dupleks dewasa 7 buah
13. Termometer klinik ( elektrik ) 1 buah
14. Tabung oksigen + Regulator 2 buah
15. Masker Oksigen 0 buah
16. Tempat tidur periksa 4 buah
17. Rak alat serbaguna 1 buah
18. Lemari obat 1 buah
19. Meteran / metline 1 buah 1 buah
20. Pita pengukur lengan atas ( LILA ) 1 buah
21. Stetoskop janin Pinard / Laenec 1 buah
22. Pocket Fetal Hearth Rate Monitor ( Doppler ) 3 buah
23. Tempat tidur untuk persalinan ( Partuas bed ) 2 buah
24. Plastik alas tidur 2 buah
25. Klem kasa ( korentang ) 1 buah
26. Tempat klem kasa ( koresa ) 1 buah
27. Spekulum Sims Kecil 0 buah
28. Spekulum Sims medium 1 buah
29. Spekulum Sims besar 2 buah
30. Spekulumu cocor bebek Grave kecil 2 buah
31. Spekulumu cocor bebek Grave medium 7 buah
32. Spekulumu cocor bebek Grave besar 3 buah
33. Apron 6 buah
34. Sepatu boot 2 buah
35. Sikat alat 2 buah
36. Sterilisator kering 1 buah
37. Tempat sampah tertutup 4 buah
38. Pispot sodok 1 buah
39. Setengah Kocher 8 buah
40. Gunting episiotomy 8 buah
41. Gunting talipusat 7 buah
42. Gunting benang 0 buah
43. Pinset anatomis 7 buah
44. Pinset sirurgis 9 buah
45. Jarum jahit 16 buah
46. Nelaton kateter 0 buah
47. Mangkok iodin 5 buah
48. Tes celup Urinalisis Protein 1 box

6
49. Benang chromic 9 buah
50. Spuit disposable ( steril ) 1 ml 12 buah
51. Spuit disposable ( steril ) 3 ml 67 buah
52. Spuit disposable ( steril ) 5 ml 16 buah
53. Blood set 6 buah
54. Kateter intravena 18 G 3 buah
55. Kateter Intravena 16 G 5 buah 0 buah
56. Kantong urin 8 buah
57. Sarung tangan steril 1 box
58. Sarung tangan panjang ( manual plasenta ) 6 buah
59. Sarung tangan rumah tangga ( serbaguna ) 1 pasang
60. Sabun cair untuk cuci tangan 1 buah
61. Povidon Iodin 10% 1 buah
62. Alkohol 75 % 2 buah
63. Timbangan neonatus + bayi 1 buah
64. Meja resusitasi dengan pemanas ( infant radiant 1 buah
warmaer )
65. Kit resusitasi neonates 1 buah
66. Sungkup resusitasi 2 buah
67. Nasogastric tube neonates 0 buah
68. Penghisap lendir DeLee ( neonatus ) 1 buah

7
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN
A. Batasan Pelayanan
BATASAN KEWENANGAN DALAM PELAYANAN PONED
N JENIS KASUS PENATA LAKSANAAN
O
MATERNAL
1. Pendarahan pada - Diagnosis, anamnense
kehamilan muda - Kolaborasi dengan dokter
- Menentukan diagnosa : abortus imminen
incipien, incomplit, komplit.
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan dalam
- Culdocentesis
- Explorasi perdarahan
- Pemberian cairan
- Pemberian antibiotika
- Evaluasi
- Kontrasepsi pasca keguguran
2. Pendarahan post - Diagnosis atonia uteri, robekan jalan lahir,
partum sisa plasenta, kelainan pembekuan darah.
- Kompresi bimanual
- Plasenta manual
- Penjahitan jalan lahir
- Pemantauan keseimbangan cairan
- Antibiotika
- Pemantauan pasca tindakan
- Rujukan bila diperlukan
3. Pre eklamsi - Diagnosis preeklamsi – eklamsi
- Resuitasi
- Stabilisasi
- Pemberian MgSO4 Dosis awal
- Pemantauan pasca tindakan
- Dosis awal
- Rujukan
4. Persalinan macet - Diagnosis distosia bahu / kala II lama
- Akselerasi persalinan pada inertia uteri
hipotoni

8
- Tindakan melahirkan distosia bahu
5. Kebutuhan pecah - Diagnosis ketuban pecah sebelum waktunya
sebelum waktunya dan - Antibiotika profilaksis / terapeutik terhadap
sepsis chorioamnionitis
- Pemantauan pasca tindakan
- Rujukan apabila diperlukan
- Diagnosis infeksi nifas ( metritis, mastitis,
pelvio-peritonitis, thrombophlebitis )
- Penatalaksanaan infeksi nifas sesuai dengan
penyebabnya ( memberikan uterotonika,
antibiotika, dan zat vasoaktif )
- Drainase abses pada abses mammae
- Pemantauan pasca tindakan
- Rujukan bila diperlukan
NEONATAL
1. Asfiksia pada neonatal - Bayi diletakkan pada Infarm warmer
- Resusitasi BBL
- VTP
- Pemantauan pasca tindakan
- Rujukan bila diperlukan.
2. Berat bayi lahir rendah - BBLR dan penyulit yang sering timbul
(hipotermia, hipoglikemia, hiperbilirubinema,
infeksi / sepsis, dan gangguan minum)
- Penyebab BBLR dan faktor predisposisi
- Pemeriksaan fisik
- Penentuan usia gestasi
- Komplikasi pada BBLR
- Pengaturan pemberian minum / jumlah cairan
yang dibutuhkan bayi.
- Pemantauan kenaikan BB
- Penilaian tanda kecukupan pemberian ASI
- Rujukan bila diperlukan
3. Hipotermi pada bayi - Diagnosis hipotermi
baru lahir - Menghangatkan bayi di infarmwarmer
- Rujukan bila diperlukan
4. Ikterus - Diagnosis icterus berdasarkan kadar bilirubin
serum atau metode kremer
- Pemeriksaan klinis icterus pada hari pertama,

9
hari kedua, hari ketiga dan seterusnya untuk
perkiraan klinis derajat icterus
- Diagnosis banding icterus
- Pemberian ASI
- Rujuk bila diperlukan
5. Kejang pada neonatus - Diagnosis kejang pada neonatas
- Pemeriksaan penunjang
- Pemberian terapi suportif
- Pemantauan hasil penatalaksanaan
- Rujuk bila diperlukan
6. Infeksi neonatus - Diagnosis infeksi neonatal
- Pemberian antibiotik
- Menjaga fungsi respirasi dan kardiovaskuler
- Rujuk bila diperlukan

Sumber hukum Pelatihan Pelayanan Obstetri – Neonatal Emergensi Dasar


( PONED ) Kementerian Kesehatan RI, Pusdiklat Aparatur 2011
Kewenangan Puskesmas mampu PONED diatas dapat berubah sesuai
dengan kebijakan yang berlaku.

KASUS – KASUS YANG HARUS DI RUJUK KE RUMAH SAKIT


1. Kasus Ibu hamil yang memerlukan rujukan segera ke Rumah Sakit
a. Ibu hamil dengan panggul sempit
b. Ibu hamil dengan riwayat bedah sesar
c. Ibu hamil dengan pendarahan antepartum
d. Hipertensi dalam kehamilan ( preeklamsi berat / eklamsi )
e. Ketuban pecah disertai dengan keluarnya meconium kental
f. Ibu hamil dengan tinggi fundus 40 cm atau lebih ( makrosomia,
g. Polihidramnion, kehamilan ganda )
h. Primipara pada fase aktif kala satu persalinan dengan penurunan kepala 5/5
i. Ibu hamil dengan anemia berat
j. Ibu hamil dengan disproporsi Kepala Panggul
k. Ibu hamil dengan penyakit penyerta yang mengancam jiwa ( DM, kelainan,
jentung )

10
2. Kasus pada bayi baru lahir yang harus segera dirujuk ke Rumah Sakit :
a. Bayi usia gestasi kurang dari 32 minggu
b. Bayi dengan kejang
c. Bayi dengan kecurigaan sepsis
d. Kelainan bawaan
e. Bayi dengan distres nafas yang menetap
f. Meningitis
g. Bayi yang tidak menunjukkan kemajuan selama perawatan
h. Bayi yang mengalami kelainan jantung
i. Bayi hiperbilirubinemia dan bayi dengan bilirubin total lebih dari 10 mg/dl

Daftar kasus-kasus tersebut diatas dapat berubah sesuai dengan


perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebijakan / ketentuan yang
berlaku.

11
BAB V
LOGISTIK

Standar Obat PONED


A. Daftar Obat Emergensi PONED
NO NAMA OBAT JUMLAH JENIS
1. Epinefrin 6 ampul Asnastetic lokal & general
2. Diazepam 3 ampul Minor transquilizer
3. Sulfas atropin 12 ampul Anti spasmodies
4. Deksametason 6 ampul
5. Aminophilin 5 ampul Anti asmatic dan COPD preparation
6. Diphenhidramin 2 ampul Antihistamin
7. MgSO4 20% 1 vial
8. MgSO4 40% 1 vial
9. NaC1 0,9% 1 vial
10. RL 1 vial
11. Tranfusi set 1 biji
12. IV cateter no. 18 1 biji
13. IV cateter no. 24 1 biji

B. Injeksi
NO NAMA OBAT JUMLAH JENIS
1. Oxytocin 10 ampul Hormon neurohipofisis sintesis
2. Methil Ergometrin 6 ampul
3. Lidocain 10 ampul Anatesi
4. Vit K 12 ampul

C. Tablet dan Salep


NO NAMA OBAT JUMLAH JENIS
1. Nifedipin 10 mg 4 tablet Anti hipertensi
2. Chloramphenicol 1% salep 3 buah

Penyediaan obat dan bahan habis pakai dilakukan melalui instalasi farmasi.
Kebutuhan obat, alat medis dan bahan habis pakai dihitung setiap hari. Distribusi
obat dan bahan habis pakai dari instalasi farmasi dilakukan tiap hari kerja
berdasarkan permintaan PONED. Pendistribusian obat dilaksanakan tidak lebih
dari 3 jam sesudah order diterima oleh instalasi farmasi.
BAB VI
12
KESELAMATAN PASIEN

A. Pengertian
Keselamatan pasien merupakan hak pasien. Pasien berhak memperoleh
keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Puskesmas
(Kemkes, 2009). Sesuai dengan UU tentang kesehatan pasal 53 (3) UU No.
36/2009 menyatakan bahwa pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan
keselamatan nyawa pasien. Keselamatan pasien telah menjadi prioritas untuk
layanan kesehatan di seluruh dunia (Cosway, Stevens, & Panesar, 2012).
Keselamatan pasien ( Patient Safety ) merupakan suatu sistem dimana
Puskesmas membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi :
 Assesment Resiko
 Identifikasi dan Pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien
 Pelaporan dan analisa insiden
 Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
 Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko

Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh :


 Kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan
 Tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil

B. Tujuan
 Terciptanya budaya keselamatan pasien di Puskesmas
 Meningkatkan akuntibilitas (tanggung jawab) Puskesmas terhadap pasien dan
masyarakat.
 Menurunnya KTD (kejadian tidak diharapkan) di Puskesmas
 Terlaksananya program – program pencegahan, sehingga tidak terjadi
pengulangan KTD ( kejadian tidak diinginkan )

C. Standar Keselamatan Pasien


1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan
4. Penggunaan metode – metode peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi
dan peningkatan keselamatan pasien.
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan Keselamatan pasien.
6. Mendidik staf tentang Keselamatan pasien

13
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai KP

D. Kejadian tidak diharapkan (KTD)


ADVERSE EVENT :
Adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cidera pasien
akibat melaksanakan suatu tindakan atau mengambil tindakan yang seharusnya
diambil. Dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien. Cidera dapat
diakibatkan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan medis karena tidak dapat
dicegah.
KTD yang tidak dapat dicegah
UNPREVENTEBLE ADVERSE EVENT;
Suatu KTD yang terjadi akibat komplikasi yang tidak dicegah dengan
pengetahuan mutakhir

KEJADIAN NYARIS CIDERA ( KNC )


NERS MISS;
Adalah suatu kelompok akibat melaksanakan suatu tindakan (commission)
atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission) yang dapat
mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi ;
 Karena keberuntungan
 Karena pencegahan
 Karena peringanan

KESALAHAN MEDIS
MEDICAL ERRORS;
Adalah kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien.
Kriteria :
- perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses
manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal – hal terkait
dengan keselamatan pasien.
- Tersedia mekanisme identifkasi masalah dan kendala komunikasi untuk
merevisi manajemen informasi yang ada.

14
7. Langkah Menuju Keselamatan Pasien
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Pimpin dan dukung staf untuk melakukan KP
3. Integrasikan aktivitas resiko
4. Kembangkan sistem pelaporan
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang KP
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem KP

15
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Prosedur kesehatan, keselamatan dan keamanan kerja berawal dari OSH ( Occuptional
Safety and Health ) yaitu : sebuah ilmu disiplin yang peduli dan melindungi keselamatan,
kesehatan dan kesejahteraan orang yang bekerja di tempat kerja.
Sejak tahun 1950 ILO ( International Labour Organization ) dan WHO ( World Health
Organization ) telah menetapkan definisi umum dari kesehatan kerja, yaitu : Kesehatan
kerja harus mencapai peningkatan dan perawatan paling tinggi di bidang fisik, sosial
sebagai seorang pekerja bidang pekerjaan apapun;pencegahan bagi setiap pekerja atas
pengurangan kesehatan karena kondisi kerja mereka, perlindungan bagi pekerja untuk
mengurangi faktor – faktor yang dapat merugikan kesehatan mereka; penempatan dan
perawatan bagi pekerja di lingkungan kerja sesuai dengan kemampuan fisik dan psikologi
dari pekerja dan meringkas adaptasi dari setiap pekerja ke pekerjaannya masing-masing.
Menurut WHO, dari 35 juta petugas kesehatan, ternyata 3 juta diantaranya terpajan
oleh bloodborne pathogen dengan 2 juta diantaranya tertular virus hepatitis B, dan 170.000
diantaranya tertular virus HIV/AIDS. Menurut NIOSH, untuk kasus-kasus yang non-fatal
baik injury maupun penyakit akibat kerja, sarana kesehatan sekarang semakin meningkat,
berbanding terbalik dengan sektor konstruksi dan agriculture yang dulu paling tinggi,
sekarang sudah sangat menurun. Selain itu Infeksi nosokomial masih menjadi isu cukup
signifikan dikalangan pelayanan kesehatan, sehingga pengembangan program patient
safety sangat relevan dikembangkan. Karena itu pengembangan program keselamatan dan
kesehatan kerja di sarana kesehatan seperti rumah sakit dan sarana dan sarana kesehatan
lainnya perlu dikembangkan dalam upaya melindungi baik tenaga kesehatan sendiri
maupun pasien.
Kesehatan dan keselamatan kerja ( K3 ) adalah suatu program yang dibuat sebagai
upaya mencegah timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja dengan cara mengenali
hal – hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta
tindakan antisipatif apabila terjadi kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Upaya
penanganan factor potensi berbahaya yang ada di puskesmas serta metode pengembangan
program kesehatan dan keselamatan kerja perlu dilaksanakan, seperti misalnya
perlindungan baik terhadap penyakit infeksi maupun non-infeksi, penanganan limbah
medis, penggunaan alat pelindung diri dan lain sebagainya. Selain terhadap pekerja di
fasilitas medis / klinik maupun puskesmas, kesehatan dan keselamatan kerja.

16
A. TUJUAN KESELAMATAN KERJA BAGI TENAGA MEDIS
a. Di dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai tenaga medis
diharapkan para tenaga medis dapat melindungi diri sendiri, pasien dan
masyarakat dari penyebab infeksi.
b. Di dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai tenaga medis para
tenaga medis mempunyai factor resiko yang tinggi terinfeksi penyakit menular
di lingkungan tempat kerjanya. Untuk menghindari paparan tersebut setiap
tenaga medis harus menerapkan prinsip “ Universal Precaution ”.
B. FAKTOR RESIKO
Menurut Sardjito (2012), penyakit akibat kerja di Tempat Kerja Kesehatan
umumnya berkaitan dengan factor biologis (kuman patogen yang menempel yang
berasal umumnya dari pasien); factor kimia (pemaparan dalam dosis kecil namun
terus menerus seperti antiseptik pada kulit, zat kimia / solvent yang menyebabkan
kerusakan hati; factor ergonomi (cara duduk salah, cara mengangkat pasien salah);
factor fisik dalam dosis kecil yang terus menerus (panas pada kulit, tegangan
tinggi, radiasi, dll); factor psikologis (ketegangan di kamar penerimaan pasien,
gawat darurat, karantina, dll).
1) Factor Biologi
Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan favorable bagi
berkembangbiaknya strain kuman yang resisten, terutama kuman – kuman
pyogenic, colli, bacilli dan staphylococci, yang bersumber dari pasien, benda-
benda yang terkontaminasi dan udara. Virus yang menyebar melalui kontak
dengan darah dan sekreta (misalnya HIV dan Hep. B) dapat menginfeksi
pekerja hanya akibat kecelakaan kecil di pekerjaan, misalnya karena tergores
atau tertusuk jarum yang terkontaminasi virus. Angka kejadian infeksi
nosokomial di unit Pelayanan Kesehatan cukup tinggi. Secara teoritis
kontaminasi pekerja LAK sangat besar, sebagai contoh dokter di RS
mempunyai resiko terkena infeksi 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada
dokter yang praktek pribadi atau swasta, dan bagi petugas Kebersihan
menangani limbah yang infeksius senantiasa kontak dengan bahan yang
tercemar kuman patogen, debu beracun mempunyai peluang terkena infeksi.
Pencegahan :
a. Seluruh pekerja harus mendapat pelatihan dasar tentang kebersihan,
epidemilogi dan desinfeksi.
b. Sebelum bekerja dilakukan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan
dalam keadaan sehat badani, punya cukup kekebalan alami untuk bekerja
dengan bahan infeksius, dan dilakukan imunisasi.
c. Menggunakan desinfektan yang sesuai dan cara penggunaan yang benar.

17
d. Sterilisasi dan desinfeksi terhadap tempat, peralatan, sisa bahan infeksius
dan specimen secara benar.
e. Pengelolaan limbah infeksius dengan benar.
f. Menggunakan kabinet keamanan biologis yang sesuai.
g. Kebersihan dari diri petugas.

2) Factor Kimia
Petugas di tempat kerja kesehatan yang sering kali kontak dengan bahan
kimia dan obat – obatan seperti antibiotika, demikian pula dengan solvent
yang banyak digunakan dalam komponen antiseptic, desinfektan dikenal
sebagai zat yang paling karsinogen. Semua bahan cepat atau lambat ini dapat
member dampak negative terhadap kesehatan mereka. Gangguan kesehatan
yang paling sering adalah dermatosis kontak akibat kerja yang pada
umumnya disebabkan oleh iritasi ( amoniak, dioksan ) dan hanya sedikit saja
oleh karena alergi ( keton ). Bahan toksik ( trichloroethane,
tetrachloromethane ) jika tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit dapat
menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan kematian. Bahan korosif
(asam dan basa) akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible
pada daerah yang terpapar.
Pencegahan :
a. “Material safety data sheet“ (MSDS) dari seluruh bahan kimia yang ada
untuk diketahui oleh seluruh petugas untuk petugas atau tenaga kesehatan
laboratoriun.
b. Menggunakan karet isap (rubber bulb) atau alat valkum untuk mencegah
tertelannya bahan kimia dan terhirupnya aerosol untuk petugas / tenaga
kesehatan laboratorium.
c. Menggunakan alat pelindung diri (pelindung mata, sarung tangan,
celemek, jas laboratorium) dengan benar.
d. Hindari penggunaan lensa kontak, karena dapat melekat antara mata dan
lensa.
e. Menggunakan alat pelindung pernafasan dengan benar.

3) Faktor Ergonomi
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi dan seni berupaya menyerasikan alat,
cara proses dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan
batasan manusia untuk terwujudnya kondisi dan lingkungan kerja yang sehat,
aman, nyaman dan tercapainya efisiensi yang setinggi – tingginya.
Pendekatan ergonomi bersifat konseptual dan kuratif, secara populer kedua

18
pendekatan tersebut dikenal sebagai To fit the Job to the Man and fit the Man
to the Job.
Sebagian besar pekerja di perkantoran atau Pelayanan Kesehatan
Pemerintah, bekerja dalam posisi yang kurang ergonomis, misalnya tenaga
operator peralatan, hal ini disebabkan peralatan yang digunakan pada
umumnya barang impor yang desainnya tidak sesuai dengan ukuran pekerja
Indonesia. Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat menyebabkan mudah
lelah sehingga kerja menjadi kurang efisien dan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan psikologis (stress) dengan keluhan yang
paling sering adalah nyeri pinggang kerja (low back pain).

4) Faktor Fisik
Faktor fisik di laboratorium kesehatan yang dapat menimbulkan masalah
kesehatan kerja meliputi :
a. Kebisingan, getaran akibat alat / media elektronik dapat menyebabkan
sterss dan ketulian.
b. Pencahayaan yang kurang di ruang kerja, laboratoriu, ruang perawatan
dan kantor administrasi dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan
kecelakaan kerja.
c. Suhu dan kelembaban yang tinggi di tempat kerja
d. Terimbas kecelakaan / kebakaran akibat lingkungan sekitar. Terkena
radiasi
e. Khusus untuk radiasi, dengan berkembangnya teknologi pemeriksaan,
penggunaannya meningkat sangat tajam dan jika tidak dikontrol dapat
membahayakan petugas yang menangani.

Pencegahan :
a. Pengendalian cahaya di ruang kerja khususnya ruang laboratorium
b. Pengaturan ventilasi dan penyediaan air minum yang cukup memadai.
c. Menurunakn getaran dengan bantalan anti vibrasi
d. Pengaturan jadwal kerja yang sesuai
e. Pelindung mata untuk sinar laser
f. Filter untuk mikroskop untuk pemeriksa demam berdarah

19
5) Faktor Psikososial
Beberapa contoh faktor psikososial di laboratorium kesehatan yang dapat
menyebabkan stress :
a. Pelayanan kesehatan sering kali bersifat emergency dan menyangkut
hidup mati seseorang. Untuk itu pekerja di tempat kerja kesehatan di
tuntutuntuk memberikan pelayanan yang tepat dan cepat disertai dengan
kewibawaan dan keramah-tamahan.
b. Pekerjaan pada unit – unit tertentu yang sangat monoton.
c. Hubungan kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan bawahan atau
sesama teman kerja. Beban mental karena menjadi pantauan bagi mitra
kerja di sektor formal ataupun informal.

20
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Mutu pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya kritikan dan keluhan dari
pasiennya, lembaga sosial atau swadaya masyarakat dan bahkan pemerintah sekalipun.
Mutu akan diwujudkan jika telah ada dan berakhirnya interaksi antara penerima pelayanan
dan pemberi pelayanan. Jika pemerintah yang menyampaikan kritikan ini dapat berarti
bahwa masyarakat mendapatkan legalitas bahwa memang benar mutu pelayanan kesehatan
harus diperbaiki. Mengukur mutu pelayanan dapat dilakukan dengan melihat indikator-
indikator mutu pelayanan puskesmas yang ada di beberapa kebijakan pemerintah,
sudahkah kita mengetahuinya. Analisa indikator akan mengantarkan kita bagaimana
sebenarnya kualitas manajemen input, manajemen proses dan output dari proses pelayanan
kesehatan secara mikro maupun makro.
Mutu Pelayanan Kesehatan yang mengemuka sebagai panglima program unggulan
Depkes dengan nama Quality Assurance (QA, jaminan mutu) pada tahun 1996, pihak
Institusi pelayanan kesehatan / puskesmas sebagai (lagi-lagi) pihak pelaksana, dibuat
terperangah oleh program tersebut. Sebagai suatu pernyataan akhir dari sebuah proses
pelayanan kesehatan. Sebagai sebuah proses, pelayanan kesehatan dapat berbentuk makro
dan berbentuk mikro. Kedua bentuk ini saling bersimbiose mutualisme dalam sebuah
sistem.
Fasilitas kesehatan ( formal ) yang tersedia masih relatif baru, dan belum mengakar
atau belum dirasakan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, tetapi tidak tersedia
standar quality of care yang berbasis konsumen. Sebaliknya, masyarakat memiliki sistem
pengobatan atau pengetahuan mengenai perawatan kesehatan (biomedis), yang relatif
berakar dari tradisi dan kebudayaan mereka. Kondisi budaya ini di satu sisi menjadi
kendala dalam pelayanan medis, di sisi lain mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
secara murah dan mudah.
Dalam perkembangannya rumah sakit swasta yang dikelola oleh yayasan
keagamaan seperti rumah sakit Islam sangat kesulitan dalam memenuhi fungsi sosialnya
oleh karena kesulitan dalam hal pendanaan. Hal ini membuat banyak rumah swasta bahkan
yang dikelola oleh yayasan keagamaanpun berubah menjadi lembaga for profit sebagai
jawaban terhadap perubahan lingkungan yang terjadi diluar rumah sakit akibat pengaruh
globalisasi.
Walaupun demikian masih banyak rumah sakit keagamaan masih melihat
perubahan yang ada tanpa strategi pengembangan yang jelas (Trisnantoro, 2005). Hal ini
dapat membawa suatu resiko yaitu rumah sakit keagamaan akan menjadi lembaga ini dapat
membawa suatu resiko yaitu rumah sakit keagamaan akan menjadi lembaga usaha yang
praktis untuk mencari keuntungan atau menhidupi SDM, akibat hilangnya subsidi dan

21
semakin mahalnya alat dan tenaga kesehatan yang pada akhirnya menuntut pendapatan
yang tinggi.
Subsidi mengecil atau bahkan tidak ada sama sekali menyebabkan rumah sakit
keagamaan kesulitan mencari sumber dana bagi orang miskin yang sakit, sementara
penggalian dana-dana kemanusiaan sama sekali tidak dikelola secara sistematis.
Penerapam subsidi silang dari kelas atas (VIP) ke kelas bawah (III) tidak rasional.
Penelitian abeng dan Trisnantoro (1997) di sebuah rumah sakit swasta
menunjukkan bahwa tarif kamar VIP berada di bawah unit cost. Hal yang dikhawatrikan
adalah pasien dikelas bawah justru mensubsidi pasien kelas atas. Kenyataan menunjukkan
bahwa konsep subsidi silang sebenarnya tidak ada ataupun jika ada subsidi silang akan
menggerogoti aset dan kemampuan investasi rumah sakit.
Hal yang penting adalah masalah biaya operasional dan pemeliharaan yang tidak
semudah biaya investasi untuk memperolehnya. Akibatnya banyak rumah sakit swasta
keagamaan yang mempunyai fasilitas fisik dan peralatan yang memadai tetapi kesulitan
dalam mencari dana operasional, sehingga menaikan tarif akan menjadi pilihan, di
samping itu belum ada standar sumber pendanaan termasuk pembagian sumber pendapatan
(keuntungan) apakah untuk pemilik atau untuk pengembangan.
Berdasarkan kenyataan diatas maka rumah sakit mulai berubah menjadi lembaga
usaha yang membutuhkan berbagai konsep ekonomi dalam manajemen yang mmungkin
asing bagi para dokter atau pemilik rumah sakit. Rumah sakit tidak lagi harus dipandang
sebagai suatu lembaga yang harus berstandar pada norma – norma dan etika profesi dokter,
tetapi lebih mengarah pada suatu lembaga yang harus hidup dan bermutu, berkembang dan
mempunyai dasar etika berbagai profesi dan mempunyai etika bisnis. Dengan demikian
rumah sakit bukanlah lembaga yang hanya menggunakan prinsip kedokteran dan
kesehatan. Rumah sakit merupakan lembaga multiprofesional yang menghasilkan berbagai
produk pelayanan kesehatan yang bermutu dengan tetap memperhatikan aspek sosialnya.
Implementasinya adalah penerapan ekonomi dalam pelayanan kesehatan harus dilakukan
diantaranya dengan melakukan analisis biaya di rumah sakit.

22
BAB IX
PERENCANAAN

Adapun faktor pendukung keberhasilan dan faktor penghambat (kendala) dalam


penyelenggaraan PONED, yaitu :
 Faktor Pendukung Keberhasilan
a. Adanya Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JKRS, Jamkesmas, BPJS, KIS)
b. Sistem rujukan yang mantap dan berhasil
c. Peran serta aktif bidan desa
d. Tersedianya sarana / prasarana, obat dan bahan habis pakai
e. Peran serta masyarakat, LSM, lintas sektoral dan Stage Holder yang harmonis.
f. Peningkatan mutu pelayanan perlu menyesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan masyarakat dan sesuai dengan
standart pelayanan minimal.
 Hambatan dan kendala dalam penyelenggaraan PONED
a. Mutu SDM yang rendah
b. Sarana prasarana yang kurang
c. Ketrampilan yang kurang
d. Koordinasi antara Puskesmas PONED dan RS PONED dan Puskesmas Non
PONED belum maksimal.
e. Kebijakan yang kontraindiktif (UU Praktek Kedokteran)
f. Pembinaan terhadap pelayanan emergensi neonatal belum memadai.
Syarat bagi puskesmas PONED yaitu jika memiliki Dokter, bidan, perawat terlatih
PONED dan siap melayani 24 jam, tersedia alat transportasi siap 24 jam, mempunyai
hubungan kerjasama dengan Rumah Sakit terdekat dan Dokter Spesialis Obgyn dan
spesialis anak. Adapun yang perlu diperbaiki agar menjadi Puskesmas mampu PONED
yang ideal yaitu
1. Paradigma Masyarakat Puskesmas pada dasarnya memiliki lebih banyak tugas
untuk melakukan preventif (pencegahan) daripada kuratif (pengobatan). Inilah
yang harus dibenahi. Lakukan upaya-upaya promotif oleh tenaga puskesmas, jika
masyarakat tidak mau menggunakan puskesmas sebagai sarana peningkatan derajat
kesehatan. Petugas puskesmaslah yang harusnya menjemput bola.
2. SDM tenaga PONED ditingkatkan
Yang harus diperbaiki adalah bagaimana melayani dan memberikan yang terbaik
bagi masyarakat karena para tenaga kesehatan yang berada di puskesmas adalah
abdi negara yang tugasnya mengabdikan diri kepada masyarakat juga. Paling tidak
petugas harus belajar, on time, dan belajar senyum.

23
3. Tim penggerak PPI
Petugas kesehatan bersama tim kebersihan bekerja sama memberikan pelayanan
kebersihan agar pasien di Puskesmas Kabuh merasa puas.
4. Petugas Laboratorium
Untuk menghindari pasien gawat misalnya ibu hamil dengan resiko tinggi yang
memerlukan cek laboratorium dibutuhkan tenaga analisis yang siap shift selama 1 x
24 jam

24
BAB X
PENUTUP

Buku pedoman ini akan menjadi pelengkap dari berbagai petunjuk teknis sesuai
dengan jenis pelayanan yang diberikan oleh PONED. Oleh karena itu dalam penggunaan
buku ini diharapkan disertai dengan pemanfaatan buku petunjuk teknis yang relevan.
Pedoman ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi tenaga kesehatan di
puskesmas Kabuh khususnya bidan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan
PONED. Untuk meningkatkan efektifitas pemanfaatan buku pedoman pelayanan PONED
di puskesmas ini, hendaknya tenaga kesehatan di puskesmas dapat menjabarkannya dalam
protab (prosedur tetap) yang berisi langkah-langkah dari setiap kegiatan sesuai kondisi
masing-masing puskesmas.

Mengetahui
Kepala puskesmas Kabuh

Drg. Edy Sugiharto


NIP: 1963092719920331004

25

Anda mungkin juga menyukai