Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


“PERADABAN ISLAM DI KOREA SELATAN”

Disusun Oleh:

XII TKJ 2
NELLY | 13575
SRY RAHAYU | 12708

TEKNIK KOMPUTER DAN INFORMATIKA


TEKNIK KOMPUTER DAN JARINGAN

SMK NEGERI 2 MAJENE


2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya berbagai upaya, tugas makalah mata pelajaran Pendidika Agama Islam yang
membahas tentang Peradaban Islam di Korea Selatan dapat diselesaikan dengan baik dan tepat
waktu.

Dalam penyusunan makalah ini, ditulis berdasarkan berbagai sumber yang berkaitan
dengan Peradaban Agama Islam di Korea Selatan. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
kurang sempurna. Unruk itu diharapkan berbagai masukan yang bersifat membangun demi
kesempurnaanya.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat membawa manfaat untuk pembaca.

Majene, 2 Februari 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

Islam di Korea Selatan : Sejarah dan Tantangan Mutakhir

Kali ini penulis ingin membicarakan tentang Islam dan Korea Selatan. Memang seperti
tidak ada irisan sama sekali antara kepesatan budaya populer Korea Selatan dengan soal
perkembangan Islam di sana Jika membicarakan Islam dan Korea Selatan, siapa kira-kira yang
pertama kali terlintas di kepala para pembaca, khususnya pembaca di Indonesia ? Kalau saya,
jujur saja, Ayana Moon, perempuan Korea Selatan yang memeluk Islam dan kini dikenal luas
sebagai selebgram dan model muslimah yang mengembangkan karirnya di Indonesia dan
Malaysia.

Sejatinya, Ayana Moon hanyalah satu dari kurang lebih 35.000 muslim Korea (korean
muslim, sebutan untuk orang Korea Selatan yang memeluk Islam) baru yang saat ini terus
berdinamika dalam menjalankan ajaran agamanya di negara yang kini dikenal – dan mungkin «
dipujapuja » oleh banyak orang di seluruh dunia – dengan industri hiburannya yang sangat jaya,
terbentang dari film hingga musik.

Interaksi Semenanjung Korea dengan Orang Muslim Era Pra-Modern


Para akademisi dan sejarawan, baik dari Korea Selatan maupun pengamat dari luar, punya
pandangan yang beragam sejak kapan sebenarnya persinggungan semenanjung Korea dengan
agama Islam tersebut. Jeeyun Kwon dalam artikelnya The Rise of Korean Islam : Migration and
Da’wai mengutip pendapat Lee Hee-soo dalam bukunya The History of Korean-Islamic Cultural
Exchange bahwa persinggungan semenanjung Korea dengan Islam dimulai saat pelaut-pelaut
dari Arab dan Persia mulai berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Korea di awal abad ke-9 M.

Di awal abad ke-11, mereka sudah sampai membangun sebuah masjid di kota Kaesong,
ibukota dari Dinasti Goryeo/Koryo yang saat ini masuk ke dalam wilayah Korea Utara.
Keberadaan muslim di sana berkembang seiring dengan penaklukan Dinasti Mongol terhadap
semenanjung Korea di tahun 1270. Fakta tersebut memang didukung dengan catatan sejarah
bahwa banyak orang-orang Islam yang sudah tinggal dan bertempat di wilayah pelabuhan-
pelabuhan di timur semenanjung China seperti Ghuangzhou, sebagai bagian dari aktivitas
keberadaan jalur sutra pada waktu itu.

Lebih detail, Lee Hee-soo dalam tulisannya, Early Korea-Arabic Maritime Relations
Based on Muslim Sources, para pakar geografi Arab, seperti yang paling pertama misalnya
adalah Ibn Karabidh, sudah menyebut Korea dengan sebutan Silla/Shilla, nama yang digunakan
untuk menyebut sebuah semenanjung di bagian paling timur dari Cina. Disebut-sebut, nama itu
memiliki nama daerah yang indah dan tempat dimana banyak penyakit yang tidak bisa
disembuhkan bisa diobati disana. Dalam sejarah Korea, disebutkan Silla adalah kerajaan di
sebagian besar wilayah timur semenanjung Korea dan juga satu dari tiga kerajaan terakhir yang
berada di Semenanjung Korea, bersama dengan Goguryeo di sebelah utara dan Baekje di sebelah
barat daya. Kemudian terjadi kekacauan di Baekjae dan Silla hingga kemudian dua kerajaan ini
dikuasai oleh Kerajaan Goguryeo dan berubah nama menjadi Goryeo/Koryo.

Interaksi dengan orang-orang di semananjung Korea dan orang-orang Islam, sudah sampai
terdengar di kalangan intelektual Islam di masa itu semisal para sejarawan. Ibn Khurdaddhbih,
seperti dikutip oleh Lee Hee-soo dalam artikelnya 1500 years betweean Korea and Middle East
(1500 Tahun Hubungan Korea dengan Timur Tengah), adalah orang pertama yang
membicarakan orang-orang Islam yang tinggal di China. Ibn Khurdaddhbih menyebut kalau
orang-orang Silla adalah keturunan Nabi Nuh,
“…Silla berada di bagian ujung China dan bangsanya adalah ras kulit putih. Orang-orang Silla
adalah keturunan anak Nabi Nuh, Japhet, dan anak Japhet, Amur. Silla adalah negeri yang
kaya emas. Orang-orang Islam yang tinggal di sana, merasa terpikat dengan lingkungannya
yang menyenangkan, cenderung untuk tinggal di sana terus dan tidak ingin kembali lagi.”ii

Selain ibn Khurddadhbih, Hee-soo meneliti sekian literatur dari orang-orang Muslim baik
dari para sejarawan atau ahli geografi yang membicarakan wilayah Silla tersebut sejak awal abad
ke-9 hingga abad ke-16. Nama-nama sejarawan dan pakar geografi yang disebut diantaranya
adalah Ibn al-Bakuwi, al-Mas’udi, al-Idrisi, Ibn Said, al-Maqrizi, hingga Ibn Khaldun. Dalam
amatan See-hoo, makin kontemporer, ahli geografi dari kalangan muslim makin akurat
menentukan posisi Silla tersebut.iii

Masih menurut Hee-soo, sebagian orang-orang Bani Alawi (keturunan Ali bin Abi Thalib)
yang dipersekusi di masa Dinasti Umayyah, ada yang sampai melarikan diri hingga ke
wilayahwilayah di pantai timur China. Hee-soo mengutip sumber dari penulis bernama Nuruddin
Muhammad al-‘Awfi, yang menyebutkan bahwa sudah ada komunitas dengan jumlah pengikut
dalam jumlah besar yang berada di Pulau Hainan, pulau yang kini menjadi pulau paling selatan
di wilayah Tiongkok. Dari kutipan ini, melihat posisi pulau Hainan berada di sepanjang pantai
timur China, Hee-soo memandang besar kemungkinan mereka pun berkemungkinan sudah
berinteraksi dengan wilayah Semenanjung Korea. Walhasil, keberadaan Islam di semenanjung
Korea sebenarnya cukup jelas sejak awal-awal abad ke-7 sebagai bagian dari aktivitas
perdagangan pantai timur Tiongkok dan pantai barat semenanjung Korea.

Menurut rujukan yang disebut Koryosa, sebuah kronik resmi sejarah kerajaan Goryeo,
orangorang Taishi (istilah lama dalam bahasa China untuk orang Arab), di tahun 1024 sudah
datang ke Korea untuk memperkenalkan produk-produk mereka kepada Raja saat itu. Kehadiran
orang-orang Taishi di semenanjung Korea tersebut merupakan bagian dari gelombang kehadiran
para pedagang yang tidak hanya berasal dari wilayah-wilayah di dataran China, tapi bahkan
dunia Islam.

Bisa dibiang, keberadaan orang Taishi tersebut adalah bagian dari gelombang kedatangan
orang-orang Asia Tengah ke Asia bagian Timur. Penyebabnya adalah menguatnya Dinasti
Mongol di semenanjung China, yang menyebabkan jalur perdagangan Asia (sering disebut: jalur
sutera) menguat. Di samping stabilitas yang dibangun Mongol, kebijakan tersebut membuka
jalan kedatangan berbagai bangsa lain ke sisi timur Asia, termasuk semenanjung Korea. Di
antara mereka, ada yang merupakan orang-orang Uighur, yang umumnya selain sebagai
pedagang, pengembara/imigran biasa, atau yang menjadi pegawai dinasti Mongol. Hee-soo
menyebut, salah satu orang Uighur yang pegawai dinasti Mongol itu yang diutus melayani
kerajaan Goryeo, menikah dengan seorang putri raja Goryeo dan menjadi sumber dari klan
Deoksu Jang. Orang tersebut disebut bernama Jang Sun Ryong, dan sang putri adalah anak dari
raja bernama Chungyeol.

Kehadiran orang-orang yang beragama Islam di masa Dinasti Goryeo tersebut diterima
karena disebut-sebut membawa peradabandan teknologi, dimana Dinasti Yuan disebut sangat
mendapatkan keuntungan dari peradaban itu. Produk peradaban itu berupa teknologi astronomi,
almanak, pengobatan, dan persenjataan. Selain peradaban, beberapa orang muslim baik yang
sudah menjadi orang China maupun orang Arab, bahkan dipersilahkan untuk menunjukkan
aktivitas keagamaannya, mulai dari membangun masjid, membaca Al-Quran di acara-acara
resmi kerajaan, sampai mendoakan raja yang berkuasa agar selalu panjang umur. Namun,
seiring dengan terintegrasinya orang-orang beragama Islam sebagai bagian dari masyarakat
Korea, muncul sebuah keputusan dari Dinasti Joseon untuk melakukan penyeragaman identitas
dan larangan menunjukkan identitas lain selain identitas Kecinaan pada waktu itu. iv Kondisi
tersebut terus berjalan hingga membuat semenanjung Korea menjadi pemerintahan yang
tertutup, dan relasinya dengan komunitas-komunitas muslim berakhir sama sekali.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

Relasi Islam dan Korea Awal Abad ke-20 : Efek Perang Korea
Semenanjung Korea di awal abad ke-20 disibukkan dengan tarik ulur pengaruh antara
Tiongkok dan China. Lama di bawah bayang-bayang Kekaisaran China, di awal abad ke-20
Dinasti Qing di China kalah dalam perang melawan Kekaisaran Jepang, dan kondisi itu
dimanfaatkan oleh Jepang menyatakan Korea sebagai wilayah Protektorat di tahun 1910.
Kondisi kembali berubah ketika Jepang mulai kalah oleh sekutu (Amerika, Inggris, bahkan
Rusia) di tahun 1945. Jepang pun menarik diri dari Korea. Di sini masalah kembali naik ke
permukaan. Siapa yang berhak memimpin wilayah Korea saat itu ? Di masyarakat Korea,
khususnya di kalangan para aktivis kemerdekaannya, ada yang memiliki kecenderungan kepada
komunisme, dan yang lain kepada modernisasi ala Barat (istilah untuk menyebutkan negara-
negara yang menentang komunisme Soviet. Walhasil, pasca Jepang menarik diri, masing-masing
kelompok berada di bawah pengaruh dua kekuatan besar dunia pada waktu itu. Amerika yang
sangat ingin mempertahankan pengaruhnya di Asia, salah satunya menyokong Syngman Rhee,
aktivis Korea yang sempat mendirikan pemerintahan sementara di Beijing saat Korea dianeksasi
Jepang, didukung menjadi Presiden dengan mendirikan Korea Selatan. Sementara di utara,
kelompok yang disebut tentara Merah Korea juga didukung untuk mendirikan negara dengan
asas komunisme oleh Tiongkok dan Uni Soviet. Berdirilah Korea Utara di bawah kepemimpinan
Kim Jong-Il. Masing-masing berdiri di tahun 1948.

Dalam persaingan kekuatan itu, pecahlah Perang Korea di awal tahun 1949. Korea Selatan
sempat ditinggalkan Amerika Serikat, dan menyebabkan Korea Selatan diserang oleh Korea
Utara tanpa kekuatan yang cukup karena Utara masih didukung penuh secara persenjataan oleh
China dan Soviet.
Sejumlah kecil pasukan Amerika sempat bertahan membantu Korea Selatan. Belakangan
AS dengan didukung oleh PBB, memandang perlu untuk mengakhiri penyerangan Korea Utara
itu dengan argumen perdamaian dan mengkikis pengaruh fasisme. Saat itulah datang sejumlah
pasukan PBB – dengan pendukung utama, Amerika Serikat – untuk membantu mengakhiri
serang Korea Utara. Salah satu pasukan PBB ini ada yang merupakan orang-orang Turki. Selain
menjadi tentara PBB, sebagian orang-orang Turki ini melakukan kegiatan sosial dengan
mendirikan sekolah kepada anak-anak Korea yang menjadi korban peperangan. Salah satu yang
dilakukan juga adalah mendakwahkan agama Islam. Penerangan Islam oleh orang-orang Turki
ini, bisa dikatakan menjadi persinggungan kembali semenanjung Korea dengan Islam setelah
vakum sejak kebijakan pelarangan identitas non-China oleh Dinasti Joseon.

Korea dan Krisis Minyak: Relasi Korea dengan Negara-Negara Timur Tengah
Setelah perang Korea berakhir, jejak keberadaan Islam di Korea Selatan bisa dikatakan
tidak berkembang terlalu signifikan. Sebagian orang-orang Korea Selatan memang ada yang
memutuskan untuk berpindah agama menjadi agama Islam ketika mereka mengenal Islam dari
Tentara PBB asal Turki. Di tahun 1955, dua orang Korea Selatan yang memeluk Islam meminta
bantuan seorang imam Turki yang ditempatkan di Beijing untuk membantu mereka membuat
komunitas muslim. Saat terbentuk, komunitas muslim tersebut berjumlah 200 orang. Komunitas
ini yang nantinya berkembang menjadi salah satu organisasi yang diakui menaungi orang-orang
Islam di Korea Selatan, bernama KMF (Korean Muslim Federation). KMF bahkan diakui
legalitasnya sebagai badan hukum oleh Kementerian Kebudayaan dan Penerangan Korea
Persinggungan orang-orang Korea dengan Islam kembali terjadi ketika Korea Selatan banyak
berhubungan dengan negara-negara Timur Tengah di saat mereka memiliki kebutuhan yang
tinggi akan minyak di tengah upaya Korea Selatan membangun negaranya pasca porak poranda
oleh perang saudara. Di saat itu, Korea Selatan menjadi salah satu negara yang banyak
mengirimkan pekerjanya untuk bekerja di perusahaan-perusahaan di negara-negara Teluk. Dari
hubungan ini, di tahun 1976, dibangunlah masjid pertama di korea selatan. Terletak di wilayah
Itaewon (wilayah yang sampai saat ini menjadi simbol multikulturalisme Korea Selatan), masjid
ini didirikan di atas tanah yang diberikan Presiden Korea Selatan saat itu, Park Chunghee v dan
didukung secara pendanaan oleh negara-negara Arab dan mayoritas muslim, salah satunya,
Malaysia. Berdirinya masjid ini kemudian menjadi salah satu simbol persahabatan antara Korea
Selatan dengan negara-negara Arab.vi

Di periode itu juga, KMF berkesempatan untuk mengirimkan orang-orang Korea yang
memeluk Islam dan tertarik untuk memperdalam agamanya, untuk belajar di berbagai
negaranegara mayoritas muslim seperti Arab Saudi, Mesir, Sudan, Malaysia dan Indonesia. Ali
An Sun Geun, adalah salah seorang muslim Korea yang diutus belajar Islam ke IAIN Jakarta di
tahun 80-an, atas hasil kerjasama KMF dengan Kementerian Agama yang waktu itu dipimpin
oleh Munawir Syadzali. Ali bahkan meneruskan pendidikan keislamannya hingga jenjang
doktoral di almamater sarjananya, UIN Jakarta dan menghasilkan disertasi di tahun 2011
berjudul Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh: Meneropong Penyebaran dan Dinamika
Islam di Korea .vii

Kader KMF lainnya yang juga telah kembali ke Korea Selatan dan menjadi pendakwah
diantaranya adalah Abdur Rahman Lee Ju-Hwa. Ia kini menjadi imam utama di Masjid Pusat
Seoul di Itaewon. Di tahun 80-an, ia pernah dikirim untuk belajar di Universitas Islam Madinah.
Saat itu ia sudah menjadi imam di Itaewon. Di Madinah, ia mulai memperdalam bahasa Arab
dan kuliah di Fakultas Ushuludin.

Menghadapi Prasangka Pasca 9/11 : Islamofobia Sebagai Tantangan Islam di Korea


Selatan
Eksistensi Islam di Korea Selatan bisa dikatakan sangat dinamis di satu sisi, tapi juga
penuh tantangan. Di bawah tahun 2000, eksistensi Islam di Korea Selatan bisa dikatakan berjalan
perlahan, namun tidak terlalu pesat dan tidak terlalu mendapatkan sorotan dari publik Korea
Selatan sendiri secara luas. Akibat pengetahuan masyarakat Korea sendiri terhadap orang Islam,
pandangan yang berkembang waktu itu hanya pandangan sumir tentang Timur Tengah sebagai
negara yang mengekang perempuan atau perselisihan kultural yang dialami muslim migran di
Korea akibat perbedaan budaya yang cukup signifikan.

Namun, pelan tapi pasti, masjid misalnya tetap berdiri di Korea Selatan. Sampai saat ini,
tercatat ada 11 masjid yang didirikan di Korea Selatan. Ini belum termasuk masjid dan mushala
yang didirikan oleh para pekerja migran yang beragama Islam. Yang didirikan oleh orang
Indonesia misalnya – umumnya dalam status kontrak – jumlahnya sampai 50-an. Umumnya,
masjid dan mushala ini memang dibuat agar para pekerja migran asal Indonesia bisa dengan
mudah melaksanakan ibadahnya. Ini pun terjadi, karena perusahaan-perusahaan tempat bekerja
mereka memberikan keleluasaan kepada para pekerja migran untuk beribadah selama tidak
mengganggu pekerjaannya.viii

Peristiwa 11 September (9/11) kehancuran gedung WTC yang disebut-sebut akibat


gerakan teroris dibawah pimpinan Osama bin Laden, menjadi titik tolak meningkatnya intensi
tentang Islam di Korea Selatan. Korea Selatan yang sejak awal kemerdekaanya berafiliasi secara
politik dengan negara-negara barat, khususnya Amerika Serikat, masih menjadikan fokus
keamanan negara pada persoalan hubungan dengan Korea Utara.ix Namun, pasca 9/11, apalagi
dipicu dengan penyanderaan 23 warga negara Korea Selatan oleh anggota Taliban di Afganistan
tahun 2007 hingga kemunculan ISIS, membuat persoalan terorisme menjadi fokus keamanan
baru negeri ginseng ini.x

Memang hal tersebut tidak terlalu terwujud dalam kebijakan yang serius mengekslusi
orang yang memiliki identitas keislaman misalnya. Namun, secara sosial peristiwa 9/11 di satu
sisi, dan kedatangan imigran asal negara-negara muslim di sisi lain, membuat media-media di
Korea Selatan sempat meningkatkan diskursus Islam sebagai agama ekstrimis dan radikal.
Jeong-Min Seo dalam risetnya terhadap pemberitaan surat kabar Korea tentang Islam selama
tahun 2006-2009, misalnya menemukan bahwa banyak pemberitaan yang menyebutkan bahwa
geliat kemunculan Islam di Korea akan berdampak pada kemunculan fenomena islamisasi Korea
sampai meningkatnya potensi aktivitas terorisme. Berita lainnya misalnya menyebutkan salah
satu cara agar penyebaran Islam di Korea Selatan tidak bertambah positif, adalah dengan cara
meningkatkan solidaritas di kalangan penganut agama di Korea (Kristen, Budha, dan
Kepercayaan Lokalnya) sampai mengawasi aliran uang dari perbankan dunia Islam. Meski
terlihat memiliki sentimen yang kuat, sebenarnya fakta diatas tidak bisa dijadikan fenomena
tunggal persinggungan Korea dan Islam. Korea Selatan sendiri menyadari sejak lama akan
terjadinya kondisi multikulturalisme di negaranya. Baik dikarenakan kehadiran orangorang dari
berbagai negara yang bekerja atau bahkan memutuskan tinggal di Korea Selatan akibat
berpindah warga negara atau menikah dengan orang Korea sendiri. Salah satu gejala
multikulturalisme tersebut adalah eksistensi orang-orang Islam di Korea Selatan.

Saya akan sebutkan beberapa contoh positif terkait hal itu. Yannie Kim, orang Indonesia
yang berkeluarga dengan pria Korea Selatan selama hampir 20 tahun dan kini dikenal luas
karena tampil di sejumlah acara televisi dan drama di Korea Selatan. Yannie yang juga dikenal
lewat akun Youtube-nya misalnya mengisahkan bahwa keterlibatannya di layar kaca Korea
Selatan dimulai ketika sekitar tahun 2009 kehidupan keluarganya pernah dijadikan salah satu
acara televisi di Korea Selatan yang membahas tentang kehidupan multikulturalisme di Korea
Selatan. Menurut Yannie, sebelum ia diliput tersebut sebenarnya ada banyak tayangantayangan
di layar kaca Korea yang menyerukan kesadaran tentang multikulturalisme.

Contoh berikutnya adalah ditayangkannya acara My Neighbour, Charles di stasiun televisi


milik negara, KBS (Korean Broadcasting Service). Dengan mengusung konsep
multikulturalisme Korea, orang-orang yang memiliki latar belakang berbagai bangsa dan
budaya, diundang untuk berbagi cerita dan kesehariannya. Salah satunya adalah
keluargakeluarga muslim. Beberapa orang dengan identitas keislaman yang jelas seperti hijab,
diundang ke acara ini seperti yang berasal dari Uzbekistan atau Irak. Sejumlah orang Indonesia,
termasuk Yannie Kim, juga sudah pernah menjadi bintang tamu di acara My Neighbour,
Charles.

Islam Sebagai Kenyataan Ceruk Pasar: Kebijakan Korea Selatan Tentang Produk Halal
Sadar kalau negaranya menjadi sorotan – dan kini bisa dikatakan demikian – begitu
diminati oleh banyak penduduk-penduduk Asia juga dunia sebagai bagian dari dampak Hallyu
(Korean Wave), membuat Korea Selatan menyadari pentingnya menyediakan produk yang
ramah terhadap muslim tersebut. Turis-turis dari negara muslim semakin menjadikan Korea
menjadi salah satu destinasi wisatanya. Dan, khususnya mereka yang memang beragama Islam
dan memegang teguh ajarannya, membuat Korea fokus membenahi apa yang disebut wisata
halal. Korean Tourism Organization (KTO), misalnya kini membangun situs yang memberikan
petunjuk di mana saja orang dapat menemukan restoran yang bersertifikat halal atau bebas dari
unsur babi (free-pork). Dari kalangan sipil, organisasi bernama Korean Food Foundation
membuat aplikasi Korean Halal untuk mencari petunjuk makanan dan wisata-wisata yang ramah
muslim.

Meski bisa dikatakan semakin mudahnya menemukan produk-produk halal yang tersedia
di atau berasal dari Korea, namun sebagian besar merupakan inisiatif masyarakat sipil, bukan
kebijakan negara pada awalnya. Namun, seperti dicatat Ikran Eum, Korea sempat menjadikan
penguatan ekspor produk halal sebagai salah satu produk kebijakan utama negara. Ini terjadi di
era Presiden Korea Selatan Park Geun-Hye. Di medio tahun 2015, Geun-Hye bahkan mendirikan
divisi halal di Kementerian Pertanian, Makanan, dan Urusan Pedesaan Korea Selatan. Langkah
proaktif pun dilakukan Geun-Hye untuk mengaktifkan divisi halal dengan mengunjungi negara-
negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab dan Iran untuk membicarakan kerjasama ekspor
produk-produk Korea yang sudah bersertifikasi halal. Menurut analisis Ikran, tujuan dari agenda
ini sebenarnya lebih ke motif ekonomi. Selain melihat negara-negara Islam sebagai ceruk pasar,
Korea Selatan juga perlu mendiversifikasi sasaran pasarnya karena pasca ketegangan kembali
dengan Korea Utara di tahun 2016, Tiongkok melakukan pembatasan produk-produk berbau
Korea di negaranya.

Namun, kebijakan itu terhenti di awal tahun 2017 menyusul pemakzulan terhadap Geun-
Hye akibat dakwaan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, rangkaian kebijakan
meningkatkan eksistensi produk halal di Korea juga menghadapi sentimen islamofobia yang kuat
dari masyarakat Korea sendiri. Dalam catatan Ikran, sentimen islamofobia yang masih menguat
di Korea selain diakibatkan oleh cara pandang ala orientalisme model barat (lama) dalam
memandang orang selain bangsanya, juga sering dijadikan komoditas politik oleh sejumlah
kelompok kepentingan termasuk sebagian politisi. Sejumlah kegiatan atau inisiatif soal produk
halal yang dihentikan misalnya pembatalan dilaksanakan Forum Ekonomi Islam Dunia di tahun
2017, Proyek Halal Business di kota Daegu tahun 2016, ataupun rencana pembangunan rumah
penyembelihan halal di kota Buyeo tahun 2017 yang ditentang kelompok pembela hak-hak
binatang.
BAB III
PENUTUP

Eksistensi Islam di Korea Selatan bisa dikatakan sangat dinamis di satu sisi, tapi juga
penuh tantangan. Eksistensi Islam di Korea Selatan bisa dikatakan berjalan perlahan, namun
tidak terlalu pesat dan tidak terlalu mendapatkan sorotan dari publik Korea Selatan sendiri secara
luas. Akibat pengetahuan masyarakat Korea sendiri terhadap orang Islam, pandangan yang
berkembang waktu itu hanya pandangan sumir tentang Timur Tengah sebagai negara yang
mengekang perempuan atau perselisihan kultural yang dialami muslim migran di Korea akibat
perbedaan budaya yang cukup signifikan.

Dorongan untuk memperkuat potensi produk halal di Korea tetap terlihat berjalan dengan
segala kritik dan rintangan yang terjadi di negara itu. Banyak perusahaan-perusahaan Korea yang
sudah melihat produk bersertifikasi halal sebagai bisnis yang besar. Namun, bisa dikatakan
perkembangan industri halal di Korea masih terbilang lambat meskipun perkembangan positif
terus terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/45497244/
Perkembangan_Islam_di_Korea_Selatan_Sejarah_dan_Tantangan_Mutakhir

https://bincangsyariah.com/khazanah/sejarah-masuknya-islam-di-korea-selatan/

https://bincangsyariah.com/khazanah/perkembangan-islam-kontemporer-di-korea-selatan/

Anda mungkin juga menyukai