Sifat fisik tanah gambut merupakan komponen morfologi yang penting dalam
penyediaan sarana tumbuh tanaman dan mempengaruhi kesuburan tanah, yang pada
akhirnya akan menunjang pertumbuhan tanaman, bahkan lebih penting pengaruhnya
dibandingkan dengan sifat kimia maupun biologi tanah (Suswati et al, 2011 ; Wasis et
al, 2006). Sifat fisik tanah yang baik juga akan memberikan kualitas lingkungan yang
baik pula, oleh karena itu sifat fisik tanah dijadikan sebagai pertimbangan dalam
menetapkan suatu lahan untuk pertanian (Yulnafatmawita et al, 2007). Pada penelitian
ini sifat – sifat fisik tanah yang akan dianalisis adalah ketebalan dan kematangan
gambut, bobot isi, berat jenis partikel, porositas, permeabilitas, kadar air, kadar serat
utuh.
Hasil penelitian kedalaman gambut pada 4 jenis lahan menunjukkan bahwa lahan
gambut pada Desa Teluk Empening Kecamatan Terentang teridentifkasi masuk ke
dalam kategori sedang dan dalam. Kedalaman lahan gambut teridentifikasi berkisar
antara 140 cm hingga 260 cm. Menurut ( Wahyunto et al, 2014) berdasarkan
kedalamannya lahan gambut dapat dibedakan menjadi 6 kategori, yakni :
Kematangan dan kedalaman masing – masing jenis lahan gambut dapat dilihat pada
Tabel 4.1
Pemanfaatan lahan gambut sebagai suatu potensi budidaya tanamanan pangan harus
memperhatikan ketebalan gambut. Hal ini dikarenakan semakin tebal tanah gambut,
maka semakin rendah pula potensinya untuk budidaya tanaman pangan dan hortikultura
(Masganti et al, 2017).
Bobot isi (bulk density) atau biasa disebut juga dengan berat volume merupakan
sifat fisik tanah yang menunjukkan padatan dalam suatu volume tertentu. Bobot isi
dinyatakan dalam satuan g cm-3 atau kg dm-3 atau tm-3 (Wihardjaka et al, 2014). Tanah
dengan nilai bobot isi relatif rendah umumnya mempunyai porositas yang tinggi,
sehingga potensi menyerap dan menyalurkan air menjadi tinggi, namun jika nilai bobot
isi terlalu rendah menyebabkan tanah mempunyai daya menahan beban (bearing
capacity) yang rendah (Agus dan Subiksa, 2008 ; Kechavarzi et al, 2010). Bobot isi
tanah gambut dapat dilihat pada Tabel 4.2
Bobot
No Kode Sampel isi
(gr/cm3)
1 Sawit A 30 1,03
2 Sawit B 30 1,03
3 Sawit C 30 1,11
4 Sawit A 60 1,05
5 Sawit B 60 1,04
6 Sawit C 60 1,07
7 Jahe A 30 1,13
8 Jahe B 30 1,22
9 Jahe C 30 1,05
Bobot
No Kode Sampel isi
(gr/cm3)
10 Jahe A 60 1,09
11 Jahe B 60 1,10
12 Jahe C 60 1,20
13 Karet A 30 1,06
14 Karet B 30 1,03
15 Karet C 30 1,04
16 Karet A 60 1,03
17 Karet B 60 1,02
18 Karet C 60 1,07
19 Sekunder A 30 1,06
20 Sekunder B 30 1,04
21 Sekunder C 30 1,04
22 Sekunder A 60 1,05
23 Sekunder B 60 1,03
24 Sekunder C 60 1,02
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Bobot isi tanah gambut yang sangat rendah yaitu <0,1 g cm- 3 ditemukan pada
gambut fibrik (mentah) yang terletak di lapisan bawah, sedangkan sesuai lokasi
penelitian yang terletak di jalur aliran sungai, gambut pantai dan gambut yang terletak
di jalur aliran sungai memiliki bobot isi yang relatif lebih tinggi, yakni >0,2 g cm- 3
karena adanya pengaruh bahan mineral (Wawan dan Perdana,2015). Tingkat
kematangan gambut berpengaruh terhadap besarnya bobot isi, semakin matang gambut,
rata-rata bobot isi gambut menjadi lebih tinggi (Dariah et al, 2012).
Berat jenis partikel atau biasa disebut dengan kepadatan jarah (particle density)
adalah perbandingan massa total fase padat tanah (Ms) dan volume fase padat (Vs).
Massa bahan organik dan organik diperhitungkan sebagai massa padatan tanah dalam
penentuan berat jenis partikel tanah (Agus dan Marwanto 2006). Massa bahan organik
dan anorganik diperhitungkan sebagai massa padatan tanah dalam penentuan berat jenis
partikel tanah. Berat jenis berhubungan langsung dengan bobot isi (bulk density),
volume udara tanah, serta kecepatan sedimentasi partikel di dalam zat cair (Haryati,
2014). Hasil analisis berat jenis partikel tanah gambut dapat dilihat pada Tabel 4.3
Berat Jenis
N
Kode Sampel Partikel
o (gr/cm3)
1 Sawit A 30 1,45
2 Sawit B 30 1,39
3 Sawit C 30 1,74
4 Sawit A 60 1,35
5 Sawit B 60 1,45
6 Sawit C 60 1,34
7 Jahe A 30 1,16
8 Jahe B 30 1,68
9 Jahe C 30 1,29
10 Jahe A 60 1,33
11 Jahe B 60 1,10
12 Jahe C 60 1,87
13 Karet A 30 1,27
14 Karet B 30 1,02
15 Karet C 30 1,02
Berat Jenis
N
Kode Sampel Partikel
o (gr/cm3)
16 Karet A 60 1,10
17 Karet B 60 1,07
18 Karet C 60 1,28
Sekunder A
19 30 1,26
Sekunder B
20 30 1,46
Sekunder C
21 30 1,17
Sekunder A
22 60 1,40
Sekunder B
23 60 1,36
Sekunder C
24 60 1,17
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Berdasarkan hasil analisis berat jenis partikel tanah gambut pada lahan sawit
diketahui nilai berat jenis partikel berkisar antara 1,34-1,74 gr/cm3, berat jenis partikel
tanah gambut pada lahan jahe berkisar antara 1,1-1,97 gr/cm 3, berat jenis partikel tanah
gambut di lahan karet berkisar antara 1,02-1,61 gr/cm 3 berat jenis partikel terendah
ditemukan pada lahan karet dengan nilai 1,02 gr/cm3 dan berat jenis partikel tanah
gambut pada lahan sekunder berkisar antara 1,05-1,49 gr/cm3. Nilai densitas partikel
1,4 g / cm3 yang saat ini digunakan sebagai acuan tergolong rendah. Nilai berat jenis
partikel gambut tropis dan subtropis yang bervariasi di atas 1,4 g / cm 3 (Faoziah et al,
2019). Angka berat jenis partikel harus lebih tinggi dibandingkan nilai bobot isi, karena
semua pori sudah dikeluarkan. Nilai berat jenis partikel yang semakin besar terhadap
nilai bobot isi, maka kandungan ruang pori di dalam tanah juga menjadi besar.
Demikian juga sebaliknya jika angka berat jenis partikel tetap akan tetapi nilai bobot isi
makin besar, maka dipastikan total pori tanah semakin sedikit (Munir dan Herman,
2019).
4.1.4 Porositas
Porositas merupakan proporsi ruang pori (ruang kosong) yang terdapat dalam
suatu volume tanah yang ditempati oleh air dan udara. Porositas yang tinggi
menunjukkan jumlah pori dalam tanah tersebut sangat besar sehingga membuat tanah
menjadi lebih porous dan sangat ringan. Porositas juga berkaitan erat dengan tingkat
kepadatan tanah, semakin padat tanah maka porositas tanah semakin kecil dan
sebaliknya. Porositas adalah perbandingan antara volume ruang pori terhadap volume
total tanah. Porositas ini dinyatakan dalam persen (%) (Sundema, 2010). Nilai porositas
tanah gambut pada tiap jenis lahan dapat dilihat pada Tabel 4.4 Porositas Tanah
Gambut.
Porositas
N
Kode Sampel Total
o
(%)
1 Sawit A 30 87,66
2 Sawit B 30 85,84
3 Sawit C 30 91,88
4 Sawit A 60 84,05
5 Sawit B 60 86,51
6 Sawit C 60 83,76
7 Jahe A 30 81,99
8 Jahe B 30 83,90
9 Jahe C 30 84,13
10 Jahe A 60 83,21
11 Jahe B 60 79,14
12 Jahe C 60 83,45
13 Karet A 30 81,43
14 Karet B 30 80,42
15 Karet C 30 70,69
16 Karet A 60 82,43
17 Karet B 60 84,85
18 Karet C 60 83,13
19 Sekunder A 30 87,44
20 Sekunder B 30 94,25
21 Sekunder C 30 84,74
22 Sekunder A 60 94,11
23 Sekunder B 60 91,81
24 Sekunder C 60 92,65
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Tanah gambut yang belum terdekomposisi memiliki porositas yang sangat tinggi
dengan ruang pori yang cukup besar dan memiliki sifat yang sangat kompresibel
(Norsiah et al, 2017). Tanah gambut memiliki nilai porositas yang tinggi jika
dibandingkan dengan tanah mineral. Tanah gambut memiliki nilai porositas mulai dari
80% hingga 97% sedangkan tanah mineral memiliki nilai porositas 35% hingga 50%
(Prabandini, 2016). Hasil penelitian menunjukkan nilai porositas gambut pada lahan
sawit berkisar antara 83,76% hingga 91,88%. Nilai porositas gambut pada lahan jahe
berkisar antara 79,14% hingga 84,13% sedangkan nilai porositas gambut pada lahan
karet yaitu 70,69% hingga 84,85% dimana 70,69% merupakan hasil nilai porositas terendah
diantara ke empat jenis lahan. Nilai porositas lahan sekunder yaitu berkisar 84,74% hingga
94,11% dimana 94,11% merupakan nilai porositas gambut tertinggi dari empat jenis lahan yang
berbeda.
Permeabilitas
No Kode Sampel
(cm/detik)
1 Sawit A 30 6,1E-06
2 Sawit B 30 2,1E-06
3 Sawit C 30 7,3E-06
4 Sawit A 60 6,1E-06
5 Sawit B 60 3,2E-06
6 Sawit C 60 8,0E-06
7 Jahe A 30 2,3E-06
8 Jahe B 30 5,5E-06
9 Jahe C 30 2,7E-06
10 Jahe A 60 3,9E-06
11 Jahe B 60 9,0E-06
12 Jahe C 60 4,1E-06
13 Karet A 30 6,1E-06
14 Karet B 30 1,5E-06
15 Karet C 30 2,5E-06
16 Karet A 60 1,1E-05
17 Karet B 60 2,6E-06
18 Karet C 60 2,7E-06
19 Sekunder A 30 2,3E-06
20 Sekunder B 30 1,1E-06
21 Sekunder C 30 2,8E-06
22 Sekunder A 60 6,7E-06
23 Sekunder B 60 7,4E-06
24 Sekunder C 60 6,1E-06
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Hasil analisis permeabilitas pada tanah gambut lahan sawit berkisar antara 2,1
x10-6 cm/detik hingga 8 x10-6 cm/detik. Lahan jahe memiliki nilai permeabilitas 2,3 x10-6
cm/detik hingga 9 x10-6 cm/detik yang merupakan nilai konduktivitas hidrolik paling
rendah, sedangkan lahan karet memiliki nilai permeabilitas 1,5 x10-6 cm/detik hingga 1,1
x10-5 cm/detik. Nilai permeabilitas lahan sekunder yaitu 1,1 x10-6 cm/detik hingga 7,4
x10-6 cm/detik. Permeabilitas atau konduktivitas hidrolik adalah fungsi dari ruang yang
terhubung dalam media berpori, serta sifat-sifat fluida seperti viskositas. Pada tanah
gambut, ruang pori yang besar ditemukan di lapisan atas yang kurang terdekomposisi
dan biasanyamemiliki konduktivitas hidrolik tertinggi. Karena perbedaan dekomposisi
gambutdan tipe vegetasi, konduktivitas hidrolik gambut sangat bervariasi
(Prabandini,2016).
Gambut pada lahan penelitian merupakan jenis gambut tropis, gambut tropis
memiliki perbedaan karakteristik vegetasi dengan gambut subtropis. Hal ini
menyebabkan nilai konduktivitas hidrolik yang dimiliki oleh gambut tropis berbeda
dengan gambut subtropis. Gambut tropis memiliki nilai konduktivitas hidrolik yang
lebih besar jika dibandingkan dengan gambut subtropis. Nilai gambut tropis menurut
beberapa literatur berkisar antara 10-5 - 10-3 cm/detik (Katimon dan Mutalib ,1997; Sayok
et al, 2008; Melling et al, 2007), sedangkan rentang nilai gambut subtropis yakni 10-8 -
10-2 cm/detik (Kneale,1987 ; Gnatowski et al.2010). Gambut tropis didominasi oleh
pohon-pohon yang merupakan spesies utama pembentuk gambut, sedangkan gambut
subtropis didominasi oleh rumput dan semak-semak rendah. Akibatnya gambut tropis
memiliki konduktivitas hidrolik lebih tinggi, terutama di lapisan atas karena memiliki
pori yang lebih besar dari sisa-sisa pohon (Page et al. 2009).
Nilai permeabilitas yang didapat dari hasil penelitian ini lebih rendah dari nilai
gambut tropis berdasarkan beberapa penelitian lain. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi rendahnya nilai permeabilitas diantaranya jenis bahan gambut, tingkat
dekomposisi, dan bobot isi (bulk density) (Andriesse,1988). Nilai konduktivitas hidrolik
dengan vegetasi berupa pohon-pohon lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai
konduktivitas hidrolik pada vegetasi berupa semak-semak. Hal ini dikarenakan aktivitas
akar pada pepohonan lebih tinggi dari aktivitas akar serabut pada semak-semak,
sehingga permukaan dibawah pepohonan memiliki pori-pori yang lebih besar dan nilai
konduktivitas hidrolik yang lebih tinggi (Prabandini,2016). Konduktivitas hidrolik akan
semakin kecil seiring dengan bertambahnya kedalaman . Hal ini dikarenakan tingkat
kematangan gambut yang berbeda. Semakin dalam, tingkat dekomposisi gambut
semakin tinggi. Hal ini menyebabkan porositas tanah berkurang, sehingga pori-pori
yang terdapat dalam gambut akan semakin sedikit (Andriesse,1988). Semakin besar
nilai bobot isi (bulk density) maka nilai konduktivitas hidrolik akan semakin kecil
dikarenakan sedikitnya rongga dalam tanah, yang akan menghambat pergerakan air
(Lewis et al, 2011).
Kadar
No Kode Sampel Serat
Utuh (%)
1 Sawit A 30 36
2 Sawit B 30 40
3 Sawit C 30 32
4 Sawit A 60 38
Kadar
No Kode Sampel Serat
Utuh (%)
5 Sawit B 60 30
6 Sawit C 60 36
7 Jahe A 30 30
8 Jahe B 30 30
9 Jahe C 30 30
10 Jahe A 60 32
11 Jahe B 60 28
12 Jahe C 60 28
13 Karet A 30 20
14 Karet B 30 20
15 Karet C 30 32
16 Karet A 60 28
17 Karet B 60 30
18 Karet C 60 30
19 Sekunder A 30 28
20 Sekunder B 30 24
21 Sekunder C 30 30
22 Sekunder A 60 30
23 Sekunder B 60 32
24 Sekunder C 60 36
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Berdasarkan hasil analisis nilai kadar serat gambut pada 4 jenis lahan yang
berbeda dapat dilihat bahwa rata – rata nilai kadar serat gambut berkisar antara 20 –
36% yang berarti tingkat kematangan gambut pada 4 jenis lahan yang berbeda tersebut
adalah hemik (setengah matang). Gambut hemik atau gambut setengah matang telah
mengalami perubahan pemanfaatan dan fungsinya yang dapat menimbulkan sifat kering
tak balik, cepat ambelas (subsiden), serta mudah melepaskan air apabila terjadi
kerusakan (Wahdah,2018). Tanah gambut dengan tingkat kematangan hemik memiliki
kandungan bahan organik yang juga tinggi hanya saja bahan organik tersebut belum
melapuk secara sempurna sehingga belum dapat menyediakan hara yang cukup bagi
tanaman budidaya (Dariah et al,2014).
Kadar Air
N
Kode Sampel Kondisi
o
Lapangan (%)
1 Sawit A 30 494,92
2 Sawit B 30 458,49
3 Sawit C 30 688,37
4 Sawit A 60 405,62
5 Sawit B 60 466,21
6 Sawit C 60 430,39
7 Jahe A 30 434,09
8 Jahe B 30 313,56
9 Jahe C 30 428,63
10 Jahe A 60 391,75
11 Jahe B 60 417,37
12 Jahe C 60 281,74
13 Karet A 30 363,07
14 Karet B 30 440,68
15 Karet C 30 270,16
16 Karet A 60 465,87
17 Karet B 60 574,47
18 Karet C 60 413,00
Sekunder A
19 30 587,16
Sekunder B
20 30 1196,37
Sekunder C
21 30 519,60
Sekunder A
22 60 1191,57
Sekunder B
23 60 857,00
Sekunder C
24 60 1183,32
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Nilai kadar air pada lahan sawit diketahui berkisar antara 405,62 – 688,37% ,
sedangkan pada lahan jahe berkisar antara 281,74 - 434,09%, untuk lahan karet berkisar
antara 270,16 - 574,47% dan lahan sekunder 519,60 - 1196,37%. Hasil analisis nilai kadar air
menunjukkan nilai yang bervariasi hal ini dapat disebabkan ketersediaan air tanah bukan hanya
berdasarkan kematangannya saja, tetapi dipengaruhi juga oleh curah hujan atau air irigasi,
kemampuan tanah menahan air, evapotranspirasi, dan tinggi muka air tanah (Saribun, 2007).
Kadar air selain dipengaruhi oleh disebabkan oleh kepadatan tanah, karena tanah akan lebih
sedikit memegang air (Mardina, 2006).
Gambut merupakan jenis tanah yang jenuh air dan dapat menyimpan air 1-13
kali bobotnya (Dariah et al. 2011). Konversi lahan gambut yang marak terjadi,
menyebabkan degradasi lahan hutan gambut (Miettinen et al, 2012). Degradasi lahan ini
membuat hutan primer rawa gambut berubah menjadi hamparan luas hutan sekunder,
perkebunan ataupun hanya lahan rumput alang-alang. Pembukaan lahan gambut sering
kali menggunakan api yang dapat memicu kebakaran lahan (Page et al, 2012).
Kebakaran karena pembukaan lahan gambut erat kaitannya dengan penurunan muka air
tanah karena membuat permukaan lahan gambut yang terdiri dari bahan organik akan
menjadi kering dan mudah terbakar. Selain itu konversi atau alih fungsi lahan sangat
erat kaitannya dengan keberadaan saluran drainase lahan yang secara langsung
mengakibatkan rendahnya tinggi muka air di lahan gambut. Tinggi muka air tanah
sangat penting bagi kelangsungan lingkungan lahan gambut (Wakhid et al, 2019).
Penelitian ini melihat pengaruh konversi lahan gambut menjadi empat jenis lahan yang
berbeda yaitu perkebunan sawit, kebun jahe, kebun karet dan lahan sekunder terhadap
tinggi muka air dan saluran.
Jahe (Zingiber officinale Rosc) merupakan salah satu komoditas yang sudah
sejak ribuan tahun yang lalu digunakan sebagai bagian dari ramuan rempah-rempah
yang diperdagangkan secara luas di dunia. Masyarakat Indonesia umumnya telah
mengenal dan memanfaatkan tanaman ini dalam kehidupan sehari-hari untuk berbagai
kepentingan seperti: campuran bahan makanan, minuman, kosmetik, parfum dan lain-
lain mulai dari tingkat tradisional di pedesaan sampai tingkat modern di perkotaan
(Samiri et al,2019). Jahe termasuk dalam tanaman perkebunan, industri, dan obat-obatan
yang dapat diusahakan pada lahan gambut dengan kedalaman <0,5 meter- 2 meter
(Agus F,2016). Nilai Tinggi Muka Air Tanah pada lahan kebun jahe adalah sebagai
berikut:
Gambar 4. 2 Tinggi Muka Air Lahan Jahe
Tinggi muka air di lahan jahe masih dibawah kriteria baku kerusakan ekosistem
gambut, berdasarkan Nilai Tinggi Muka Air (TMA) yang diperoleh yaitu berkisar antara
10,5 – 38,5 cm.
60
50
40
Tinggi Muka AIr (cm)
30
20
10
0
1A 2A 3AB 4A 5A 1B 2B 3AB 4B 5B
Nilai Tinggi Muka Air (TMA) yang diperoleh yaitu berkisar antara 34,5 – 68 cm, cukup
tinggi apabila dibandingkan dengan jenis lahan yang lain. Kedalaman air tanah optimum
untuk pertumbuhan tanaman umumnya berbeda-beda. Tanaman karet memerlukan
kedalaman permukaan air tanah 60-100 cm (Noor, 2001). Semakin dalam muka air
tanah di lahan gambut berarti ketersediaan oksigen lebih banyak yang menstimulasi
pertumbuhan akar vertikal sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih baik (Supriyo et
al., 2009). Pengaturan terhadap muka air tanah antara 60-100 cm bertujuan agar akar
tanaman dapat tumbuh dengan lebih leluasa dan sekaligus mengurangi resiko
kebakaran(Noor, 2001).
Lahan Sekunder adalah lahan yang tumbuh dan berkembang secara alami
sesudah terjadi kerusakan/perubahan pada lahan primer, pada lahan gambut ini pernah
mengalami kebakaran pada tahun 2017. Gambut yang terdegradasi kehilangan
kemampuan menyerap dan menahan air dari tetesan air hujan sehingga sangat rentan
terhadap kebakaran (Putra et al,2018). Nilai Tinggi Muka Air (TMA) pada lahan
sekunder adalah sebagai berikut :
30
25
Tinggi Muka Air (cm)
20
15
10
0
1A 2A 3AB 4A 5A 1B 2B 3AB 4B 5B
Nilai Tinggi Muka Air (TMA) yang diperoleh pada lahan sekunder yaitu berkisar antara
14 -31,5 cm. Tinggi muka air di lahan sekunder masih dibawah kriteria baku kerusakan
ekosistem gambut yaitu 40 cm. Lahan gambut yang sering terbakar menyebabkan
hilangnya permukaan gambut sehingga tinggi muka air tanah semakin jauh dari
permukaan tanah. Selain itu, lahan yang telah terbakar akan merubah sifat-sifat gambut
secara kimia, fisik dan mikrobiologis (Hirano, 2014). Lahan sekunder gambut yang
telah terdegradasi harus dipertahankan dalam kondisi basah dengan tinggi muka air
tanah kurang dari 40 cm di bawah permukaan gambut (Putra et al,2018) tetapi tinggi
muka air tanah permukaan gambut yang lebih rendah harus dipertahankan untuk
mencegah kejadian kebakaran gambut di lahan gambut yang kering terdegradasi
(Simatupang et al, 2018).
Kedalaman muka air tanah memiliki peranan kunci dalam ekosistem gambut.
Turunnya kedalaman muka air tanah menguntungkan bagi beberapa jenis tanaman,
tetapi dapat menyebabkan gambut menjadi kering tak balik dan meningkatkan laju
dekomposisi. Tinggi muka air tanah yang optimum berkisar 60–100 cm untuk
mencegah kekeringan dan kebakaran, 40–50 cm untuk mencegah ambelasan, dan 30–40
cm untuk mendukung pertumbuhan tanaman palawija (Noor,2001). Beberapa jenis
tanaman berbeda-beda keperluan kedalaman permukaan air sesuai dengan sifat dan
kondisi perakarannya. Kedalaman permukaan air tanah pada lahan diusahakan agar
tidak terlalu jauh dari akar tanaman, jika permukaan air terlalu dalam maka oksidasi
berlebih akan mempercepat perombakan gambut, sehingga gambut cepat mengalami
subsiden ( Nurmili,2014).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa muka air tanah semakin dekat dari saluran
drainase, maka permukaan air tanah akan semakin dalam. Hal ini disebabkan oleh
pergerakan air tanah semakin tinggi, sehingga terjadi pengurangan kadar air tanah
gambut akibat pengeringan, yang menyebabkan daya retensi air tanah berkurang,
pembuatan saluran drainase sangat mempengaruhi penurunan muka air tanah gambut
(Azri, 1999).
4.2.2 Saluran
Kondisi lahan gambut dalam keadaan alamiah selalu tergenang air sepanjang
tahun, sehingga tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai lahan budidaya
pertanian, kecuali terlebih dahulu dibuat saluran drainase. Fungsi drainase adalah untuk
membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar
tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin pendek interval/jarak
antar parit drainase maka hasil tanaman semakin tinggi. Walaupun drainase penting
untuk pertumbuhan tanaman, namun semakin dalam saluran drainase akan semakin
cepat laju subsiden dan dekomposisi gambut (Agus dan Subiksa,2008). Pembukaan
lahan dan pembuatan saluran drainase menyebabkan perubahan kondisi hidrologis lahan
dan perubahan sifat kimia tanah gambut yang berpotensi mengganggu stabilitas
ekosistem (McCormick et al. 2011).
Perubahan tersebut disebabkan karena keseimbangan alamiah berubah dari
suasana reduktif menjadi oksidatif. Reaksi kimia, biokimia, dan mikrobiologis dalam
suasana oksidatif akan lebih aktif. Oksidasi bahan metan, sulfida, fero, ammonium dan
mangan, serta percepatan oksidasi bahan organik menghasilkan senyawa-senyawa lebih
sederhana dan sebagian besar berupa asam-asam organik dalam bentuk terlarutkan,
disamping nutrisi/hara. Oleh karena itu, prinsip utama dari pengaturan tata air di lahan
gambut yang dibudidayakan untuk tanaman pertanian adalah harus mampu menekan
terjadinya penurunan fungsi lingkungan dari lahan gambut akibat dilakukannya proses
drainase/ penurunan muka air tanah, namun tetap bisa memenuhi syarat tumbuh
tanaman yang dibudidayakan (Dariah dan Maswar,2016). Nilai hasil pengukuran
saluran pada empat jenis lahan dapat dilihat pada Tabel 4.8 Dimensi Saluran.
Dimensi saluran (primer, sekunder, dan tersier) juga harus disesuaikan dengan
luas kawasan dan komoditas yang dikembangkan (Subiksa et al., 2011). Misalnya
tanaman semusim (pangan dan sayuran) yang pada penelitian ini berupa tanaman jahe
memerlukan drainase yang relatif dangkal, yaitu berkisar antara 20-30 cm, sedangkan
tanaman tahunan seperti kelapa sawit dan karet memerlukan kedalaman muka air tanah
yang lebih dalam, dan bervariasi antar tanaman tahunan. Tanaman karet memerlukan
saluran drainase mikro sekitar 20 cm, sedangkan tanaman kelapa sawit memerlukan
saluran drainase sedalam 50-80 cm (Agus dan Subiksa,2008) dengan permukaan air di
saluran utama selalu dipertahankan pada kedalaman 60 sampai 70 cm di bawah
permukaan lahan, dengan harapan muka air tanah di pertanaman sawit berkisar antara
40 sampai 60 cm (Sabiham dan Sukarman,2012). Kondisi muka air tanah gambut selain
dipengaruhi oleh pembukaan saluran drainase juga dipengaruhi oleh faktor iklim,
terutama curah hujan (Susandi et al,2015). Jumlah curah hujan di Kecamatan Terentang
pada tahun 2020 dapat dilihat pada Tabel 4.9. Jumlah Curah Hujan di Kecamatan
Terentang
Tahun 2020
Jumlah Curah Jumlah Hari
No Bulan
Hujan Hujan
(mm) (hh)
1 Januari 251 11
2 Februari 220 8
3 Maret 257 8
4 April 350 12
5 Mei 270 6
6 Juni 480 10
7 Juli 369 16
8 Agustus 278 12
9 September 276 13
Sumber : PT. Bumi Perkasa Gemilang, 2020
Pada penelitian terdahulu diketahui jumlah curah hujan dan nilai Tinggi Muka Air
Tanah (TMA) menunjukkan nilai yang linier yaitu apabila nilai curah hujan tinggi maka
nilai Tinggi Muka Air Tanah (TMA) juga akan ikut meningkat. Hal ini dapat
disebabkan oleh sifat fisik gambut yaitu konduktivitas tanah yang mempunyai pengaruh
signifikan terhadap fluktuasi Tinggi Muka Air Tanah (TMA). Selain mempengaruhi
muka air tanah , hujan juga menyebabkan kenaikan muka air di saluran Hafiyyan et al
(2017)
Prinsip utama dari pengaturan tata air di lahan gambut yang dibudidayakan
untuk tanaman pertanian adalah harus mampu menekan terjadinya penurunan fungsi
lingkungan dari lahan gambut akibat dilakukannya proses drainase/penurunan muka air
tanah, namun tetap bisa memenuhi syarat tumbuh tanaman yang dibudidayakan. Oleh
karena itu, tinggi muka air tanah harus diatur sampai batas minimal dimana tanaman
masih mampu tumbuh dengan baik. Artinya tinggi muka air tanah harus diatur supaya
tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam (Dariah dan Maswar,2016).
Kenampakan fisik khas air gambut dicirikan oleh warna larutan kuning-coklat
yang kepekatannya memberikan gambaran tentang kualitas airnya. Warna kuning-coklat
air gambut disebabkan oleh kandunngan bahan organik terlarut yang dihasilkan dari
pelapukan sisa tumbuhan. Kualitas air gambut berbanding terbalik dengan kepekatan
bahan organik terlarut. Ciri lain dari air gambut adalah keasaman yang tinggi. Bahan
organik terlarut di dalam air tersebut umumnya dalam bentuk asam organik hasil
dekomposisi tumbuhan berupa asam, sehingga semakin tinggi kandungan bahan
organik, semakin pekat wama air dan kemasaman semakin meningkat (Syarfi,2007 ;
Marlina,2017).
Umumnya air gambut memiliki pH di bawah 6 sedangkan pada air gambut yang
pekat nilai pH bisa mencapai 3.5 (Marlina,2017). Nilai pH menggambarkan seberapa
besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Derajat keasaman (pH)
merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Nilai derajat
keasaman (pH) suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air
dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Karena pH
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan tumbuhan dan hewan akuatik,
maka pH suatu perairan seringkali dipakai sebagai petunjuk baik atau buruknya perairan
sebagai lingkungan hidup (Effendi,2003). Nilai pH pada empat jenis lahan adalah
sebagai berikut :
pH Air
5
4.5
4
3.5 sekunder
3 karet
sawit
2.5 jahe
pH
2
1.5
1
0.5
0
1B 3AB 5B Saluran Depan Saluran Samping
Hasil pengukuran pH air tanah dan saluran pada ke empat jenis lahan
menunjukkan nilai pH berkisar antara 3,3 - 4,6 dengan 3,3 merupakan nilai pH terendah
yang terletak pada lahan sawit dan 4,6 merupakan nilai pH tertinggi dari lahan
sekunder. Dapat diketahui bahwa daerah penelitian lahan gambut yang dikonversi
menjadi lahan sawit, lahan karet, lahen jahe, dan lahan sekunder memiliki pH yang
kurang dari baku mutu sesuai dengan PP 82 tahun 2001 baku mutu air bersih kelas 2
yaitu 6 – 9.
4.3.2 Suhu
Suhu perairan berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Perubahan
suhu permukaan dapat berpengaruh penting bagi kehidupan organisme di perairan.
Aktivitas metabolisme serta penyebaran organisme air banyak dipengaruhi oleh suhu air
(Nontji, 2005). Nilai suhu pada empat jenis lahan adalah sebagai berikut :
Suhu Air
33
32
31
sekunder
karet
30 sawit
Suhu (˚C)
jahe
29
28
27
26
1B 3AB 5B Saluran Depan Saluran Samping
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai suhu rata-rata dari konversi empat
jenis lahan berkisar antara 28-32 oC. Suhu air tertinggi terdapat pada lahan karet yaitu 32 oC.
Penyebab tingginya nilai suhu pada lahan gambut yaitu sampel diambil saat matahari sudah
cukup terik dan penghilangan vegetasi akibat konversi yang dilakukan akan menyebabkan lebih
banyak cahayamatahari yang dapat menembus permukaan air dan kemudian suhu air akan
meningkat (Asdak,2014). Berkurangnya penutupan oleh tumbuhan (kanopi) yang digantikan
oleh ladang menyebabkan efektivitas penyinaran matahari lebih tinggi. Pola ekosistem air
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air
dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga faktor kanopi dari pohon yang ditepi
(Kristianiarso et al, 2013).
TSS (Total Suspended Solid) atau padatan tersuspensi adalah padatan yang
menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut, dan tidak dapat mengendap (Aswir, 2006).
TSS sangat berkaitan erat dengan kekeruhan. Zat yang tersuspensi dalam air gambut
berupa lumpur, pasir dan senyawa organik dan anorganik. Kandungan TSS yang tinggi
dapat menyebabkan penurunan kualitas air sehingga tidak layak dikonsumsi, semakin
tinggi kandungan TSS pada air maka air akan mengandung gumpalan partikel mikro
yang sebelumnya belum menggumpal. TSS dapat ditemukan pada seluruh air tercemar
akibat industri maupun yang diakibatkan oleh alam seperti air gambut (Said et al,2019).
Ambang batas padatan mengendap minimum yang diperbolehkan sebesar 50 mg/L
sesuai PP No.82 Tahun 2001. Nilai TSS air pada empat jenis lahan adalah sebagai
berikut :
TSS Air
600
500
400 sekunder
karet
sawit
TSS (mg/l)
300 jahe
200
100
0
1B 3AB 5B Saluran DepanSaluran Samping
Hasil analisis nilai TSS air tanah dan saluran pada keempat jenis lahan
menunjukkan hasil yang bervariasi. Apabila TSS yang tinggi dan melebihi baku mutu
yang ditetapkan maka akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air,
sehingga akan mengganggu proses fotosintesis menyebabkan turunnya oksigen terlarut
yang dilepas ke dalam air oleh tanaman. Jika sinar matahari terhalangi dari dasar
tanaman maka tanaman akan berhenti memproduksi oksigen dan akan mati. TSS juga
menyebabkan penurunan kejernihan dalam air (Purba, 2009). Pada lahan sekunder nilai
TSS berkisar antara 6-440 mg/l dimana terdapat dua titik sampel yang melebihi baku
mutu yaitu pada pipa 1B sebesar 440 mg/l dan pipa 3AB sebesar 193 mg/l. Lahan
sekunder pada lokasi penelitian pernah mengalami kebakaran pada tahun 2017 yang
dapat mengakibatkan deforestasi. TSS dapat meningkat secara tiba-tiba apabila suatu
sub daerah aliran sungai atau saluran drainase mengalami penurunan penutupan lahan di
bawah 30% hal ini dikarenakan adanya peningkatan deforestasi hutan (Deutsch dan
Busby,2000). Sebagian besar kandungan TSS berupa partikel-partikel tanah yang
berasal dari deforestasi hutan gambut.
Hasil analisis TSS air tanah dan saluran pada lahan yang dikonversi menjadi
perkebunan karet menunjukkan nilai TSS berkisar antara 21-182 mg/l, dari lima titik
sampel 3 diantaranya melebihi nilai baku mutu TSS yaitu pada titik sampel 1B sebesar
182 mg/l, titik sampel 3AB sebesar 90 mg/l dan titik sampel saluran depan 110 mg/l.
Pada lahan sawit semua hasil analisis berada diatas nilai baku mutu yaitu berkisar antara
95-567 mg/l dimana terdapat nilai TSS tertinggi yaitu 567 mg/l. Sedangkan pada lahan
jahe nilai TSS berkisar antara 26 hingga 221 mg/l dimana hanya terdapat satu titik
sampel yang berada dibawang baku mutu yaitu titik sampel 3AB yaitu 26 mg/l.
TSS dapat meningkat secara tiba-tiba apabila suatu sub daerah aliran sungai atau
saluran drainase apabila terjadi pembukaan lahan pertanian lebih dari 50% (Deutsch dan
Busby,2000). Pengolahan tanah yang intensif akan menghasilkan limbah atau bahan
agrokimia berupa pupuk meliputi pupuk NPK, poska, urea serta adanya pestisida yang
diberikan pada tanaman tidak semuanya diserap tanaman, tetapi sisanya akan terbuang
ke lingkungan perairan melalui saluran drainase. Sistem pertanian dengan memasukkan
bahan organik maupun anorganik tersebut berakibat buruk terhadap kelestarian
lingkungan perairan (Supriharyono,2009).
DO Air
4
3.5
3
sekunder
2.5 karet
sawit
D0 (mg/l)
2 jahe
1.5
0.5
0
1B 3AB 5B Saluran Depan Saluran Samping
Hasil analisis DO pada keempat jenis lahan berkisar antara 0,89-3,4 mg/l dengan
nilai DO terendah berada pada lahan karet yaitu sebesar 0,89 mg/l dan nilai DO
tertinggi berda pada lahan sawit sebesar 3,4 mg/l. Semua nilai hasil analisis DO
menunjukkan bahwa nilai DO pada keempat jenis lahan berada dibawah baku mutu
minimum air kelas 2 yaitu 4 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut pada umumnya
mengalami penurunan dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini diduga terjadi karena
suplai oksigen dari proses fotosintesis dan difusi menurun (Reebs, 2009). Kelimpahan
fitoplankton dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk kedalam perairan, dimana
kelimpahan fitoplankton menurun dengan berkurangnya intensitas cahaya yang masuk.
Oksigen terlarut berkurang dengan bertambahnya kedalaman muka air, sementara
fotosintesis berlangsung jika unsur hara dan intensitas cahaya tersedia
(Anggraini,2015). Aktivitas pertanian dapat berperan penting terhadap meningkatnya
pasokan limbah bahan kimia dari pupuk maupun pestisida yang mengandung bahan
organik dan padatan tersuspensi sehingga BOD biasanya tinggi, padatan organik dan
anorganik yang mengendap di dasar perairan dan menyebabkan DO rendah,terakhir
mengandung bahan terapung dalam bentuk suspensi sehingga menghambat laju
fotosintesis ( Sugianti dan Astuti,2018)
Pada Tahun 2010 tutupan lahan Desa Teluk Empening didominasi lahan
perkebunan, hutan sekunder, semak belukar dan tedapat areal permukiman. Namun,
seiring berjalannya waktu dan meningkatnya kebutuhan terhadap lahan, terjadi
perubahan tutupan lahan gambut pada Desa Teluk Empening. Pada Tahun 2020 seiring
dengan meningkatnya kebutuhan lahan dan meningkatnya permintaan produk pertanian,
area semak belukar gambut telah dikonversi menjadi areal persawahan.
Gambar 4.10. Peta Tutupan Lahan Desa Teluk Empening 2020
Pada Desa Teluk Empening lahan gambut di konversi menjadi lahan perkebunan
sawit, perkebunan karet, jahe dan bermacam tanaman yang memiliki nilai ekonomi,
permukiman serta lahan sekunder yang sebelumnya pernah mengalamai kebakaran.
Pada penelitian ini sampel lokasi penelitian lahan sawit yang diukur berumur 10 tahun,
lahan karet berumur 15 tahun, lahan jahe baru ditanam oleh masyarakat dan lahan
sekunder bekas terbakar pada tahun 2014 dan 2017. Jenis vegetasi tutupan lahan gambut
pada lokasi penelitian Desa Teluk Empening dapat dilihat pada Tabel 4.10 Jenis
Vegetasi Tutupan Lahan di Desa Teluk Empening.
Keterangan :
K = Kerapatan D = Dominasi
DR = Dominasi Relatif INP = Indeks Nilai Penting
KR = Kerapatan Relatif F = Frekuensi
FR = Frekuensi Relatif
Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya Indeks
NilaPenting (INP), dimana jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi merupakan jenis
yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuian
terhadap lingkungan yang lebih tinggi dari jenis lain. Suatu jenis dikatakan dominan
apabila jenis tersebut terdapat di daerah yang bersangkutan dalam jumlah yang banyak,
tersebar merata keseluruh areal dan berdiameter besar, sehingga penetapan suatu jenis
dominan dengan berdasarkan suatu indeks yang merupakan gabungan dari tiga nilai
yaitu nilai kerapatan, nilai frekuensi dan nilai dominansi adalah sangat tepat
(Yuningsih et al, 2018).
Pada lahan perkebunan yang homogen yang sengaja dibuat untuk kebutuhan
produksi seperti pada lahan sawit, lahan karet dan lahan jahe, nilai INP tertinggi
dimiliki oleh tanaman perkebunan. Nilai INP lahan sawit adalah sebesar 124%,
sedangkan pada lahan karet nilai INP tertinggi tanaman karet adalah 147,3%, dan pada
lahan jahe yang hanya terdapat tanaman jahe dan tidak ada vegetasi lain nilai INP yang
dimiliki sebesar 200%. Pada jenis lahan perkebunan sawit dan karet tersebut juga
ditemukan jenis vegetasi lain seperti pakis udang (Stenochlaena palustris), pakis sayur
(Nephrolepis biserrata), cengkodok (Melastoma malabathricum), selai-selai (Sageraea
lanceolata), simpur (Dillenia excelsa), tembesu (Fagraea cochinchinensis) dan meranti
(Shorea dasyphylla).
Kedua jenis lahan perkebunan yaitu lahan sawit dan lahan karet memiliki
vegetasi yang cukup beragam, namun diantara beberapa vegetasi tersebut terdapat
tanaman yang cukup mendominasi pertumbuhannya yaitu cengkodok (Melastoma
malabathricum), yang memiliki nilai INP sebesar 61,2% pada lahan sawit dan nilai INP
46% pada lahan karet. Cengkodok (Melastoma malabathricum) merupakan jenis
tumbuhan penyusun vegetasi hutan rawa gambut.
Pada lahan sekunder yang pernah mengalami kebakaran pada tahun 2017 dan
telah suksesi terdapat beberapa vegetasi diantaranya Temasam (Syzgium cerina), Selai –
selai (Sageraea Lanceolata), Tembesu (Fagraea cochinchinensis), Mahang
(Macaranga motleyana), Mamali (Leea indica), Meranti (Shorea dasyphylla), Simpur
Kijang (Dillenia eximia), Medang (Teysmanniodendron pteropodus), Cengkodok
(Melastoma malabathricum), Rambe Ayam (Aporosa arborea), Garung (Endospermum
malaccense), Beringin (Diospyros laevigata bakh), pakis udang (Stenochlaena
palustris), Pakis Sayur (Nephrolepis bisserata) dan Purupuk (Lophophetalum spp).
Vegetasi tersebut memang banya terdapat pada hutan rawa gambut baik yang alami
maupun hasil suksesi. Dari berbagai vegetasi tersebut yang memiliki nilai INP tertinggi
yaitu Temasam (Syzgium cerina) sebesar 43,5%, tumbuhan ini dapat mendominansi hal
ini dapat disebabkan karena sifatnya yang cepat tumbuh dan menghasilkan banyak biji.
Selain itu pada lahan yang telah terbakar umumnya juga didimonansi tumbuhan alami
gambut yaitu pakis (Stenochlaena palustris) dan Cengkodok (Melastoma
malabathricum) akn tumbuh satu tingkat di atas pakis.
Indeks
N
Jenis Lahan Keanekaragaman
o
Jenis (H')
1 Jahe 0
2 Karet 0,958
3 Sawit 1,109
4 Sekunder 2,001
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Lahan Karet memiliki nilai indeks biodiversitas ±0 (nol) yang dapat diartikan
tidak terdapat biodiversitas vegetasi di lokasi sampel lahan karet. Jenis yang
teridentifikasi hanya sejenis yaitu jenis vegetasi komersial yang mempunyai nilai jual
dan ekonomi tinggi berupa jahe. Sedangkan pada lahan karet memiliki nilai indeks
biodiversitas 0,958, kedua lahan perkebunan ini yaitu lahan jahe dan karet dapat
dikategorikan biodiversitas rendah, dengan penyebaran jumlah individu tiap spesies
rendah dan kestabilan komunitas rendah. Lahan Sawit memiliki nilai indeks
biodiversitas sebesar 1,109 dan lahan Sekunder memiliki nilai indeks biodiversitas
sebesar 2,001, nilai indek keanekaragaman di lokasi ini merupakan nilai indeks
keanekaragaman tertinggi di bandingkan dengan lokasi penelitian yang lainnya. Hal ini
berarti jenis lahan sawit dan lahan sekunder masuk kedalam kategori kategori
biodiversitas sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan
komunitas sedang.
Berdasarkan hasil survei penduduk pada Desa Teluk Empening rata-rata berada
dalam usia produktif untuk bekerja, terlihat pada Gambar 4.11 Usia Responden
Usia Responden
30
25
20 <15
15-65
15 >65
tidak ada
10
0
Desa Teluk Empening
Tingginya angka usia produktif biasa disebut dengan Bonus Demografi. Bonus
demografi merupakan kondisi dalam suatu daerah jumlah penduduk yang berusia
produktif (15-64 tahun) lebih besar dibanding dengan jumlah penduduk berusia non
produktif (< 15 tahun dan > 64 tahun). Bonus demografi ini dapat bermanfaat dengan
baik pada suatu daerah jika benar - benar di persiapkan oleh pemerintah. Akan tetapi
bisa menjadi masalah besar jika pemerintah tidak dapat mengelolanya dengan baik.
Bonus demografi dapat menjadi alat untuk mengembangkan kondisi daerah apabila
pemerintah mempersiapkan dengan baik generasi muda yang brkualitas tinggi. Tetapi
jika pemerintah tidak mempersiapkan dengan baik maka bonus demografi akan menjadi
beban karena tingkat pengangguran akan melonjak. Pada Desa Teluk Empening rata-
rata penduduknya tidak memiliki latar belakang pendidikan yang diwajibkan
pemerintah yaitu hingga jenjang SMA. Hasil survei menunjukkan tingkat pendidikan
responden paling banyak tidak memiliki latar belakang dan pendidikan hanya sampai
jenjang SD, terlihat pada Gambar 4.12 Tingkat Pendidikan Responden
12
10
sd
8
smp
sma
6
tidak ada
4
0
Desa Teluk Empening
Hal ini menyebabkan terbatasnya mata pencarian bagi penduduk Desa Teluk
Empening, berdasarkan hasil survei mata pencarian penduduk didapatkan hasil yang
dapat dilihat pada Gambar 4.13 Mata Pencarian Responden
Mata Pencaharian
20
18
16
14
Petani
12 Swasta
10 Rumah Tangga
Pelajar
8
0
Desa Teluk Empening
35
30
25
20 ya
tidak
15
10
0
Desa Teluk Empening
10
8 <5 tahun
>5 tahun
6 >10 tahun
0
Desa Teluk Empening
Lama kepemilikan lahan bagi petani di lahan gambut ternyata tidak otomatis
meningkatkan taraf hidup mereka. Hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana
transportasi (kondisi jalan dan angkutan) yang terbatas menyebabkan produk pertanian
dan non pertanian mereka sulit untuk dipasarkan. Berdasarkan hasil survei pada
Gambar 4.16 Kondisi Jalan diketahui bahwa akses jalan di Desa Teluk Empening
belum terlalu memadai untuk pemasaran produk pertanian dikarenakan kondisi jalan
yang rusak.
Kondisi Jalan
20
18
16
14
12 ya
10 tidak
8
6
4
2
0
Desa Teluk Empening
Usaha pemasaran produk pertanian ini semakin sulit dilakukan, karena selain kondisi
jalan yang kurang memadai juga karena lokasi pasar yang sangat jauh sesuai dengan
hasil survei yang ditunjukkan pada Gambar 4.17 Jarak ke Pasar .
Jarak ke Pasar
9
0
Desa Teluk Empening
Masyarakat lokal di Desa Teluk Empening biasa menjual hasil produk pertanian
ke pasar yang ada di Pontianak, sehingga memerlukan sarana dan prasarana berupa
jalan, pelabuhan penyeberangan dan transportasi yang memadai untuk memasarkan
produk pertanian. Beberapa petani menjual hasilnya ke pasar yang terletak di desa lain
di Kecamatan Terentang. Sebelum dipasarkan di pasar – pasar yang ada di Kota
Pontianak biasanya masyarakat lokal menjual produk pertaniannya kepada pihak kedua
terlebih dahulu yaitu kepada pengepul dan beberapa petani tidak menjual hasil
produksinya dan digunakan hanya untuk konsumsi pribadi seperti hasil survei pada
Gambar 4.19 Penjualan Hasil Panen
20
18
16
14
12 konsumsi
pasar
10 pengepul
8
6
4
2
0
Desa Teluk Empening
10
8 <500.000
500.000-1.000.000
6 1.000.000-2.000.000
>2.000.000
0
Desa Teluk Empening
Aspek lingkungan harus selalu menjadi pertimbangan dalam pemanfaatan lahan gambut
sebagai lahan usahatani, mengingat semua usahatani yang dilakukan masyarakat lokal
Desa Teluk Empening menggunakan lahan gambut sekunder yang diolah menjadi lahan
pertanian sesuai dengan survei pada Gambar 4.21 Vegetasi Lahan Sebelum Konversi
30
25
20 Lahan Sekunder
15
10
0
Desa Teluk Empening
Konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian dan perkebunan tentu saja membuat
perubahan – perubahan pada sifat fisik, kimia dan biologis gambut. Karakteristik
gambut dapat berubah akibat adanya tindakan manusia berupa pembukaan lahan,
pembakaran lahan, dan pembuatan saluran drainase(Page et al. 2012). Tidak jarang
usahatani mengalami gagal panen seperti yang ditunjukkan hasil survei pada Gambar
4.22 Gagal Panen
Gagal Panen
30
25
20
ya
15 tidak
10
0
Desa Teluk Empening
Penyebab gagal panen produk pertanian dapat dikarenakan adanya hama tanaman serta
pengaruh cuaca yang berpengaruh terhadap terjadinya banjir atau kekeringan pada lahan
gambut yang digunakan untuk usahatani. Berdasarkan survei lahan gambut yang
digunakan untuk perkebunan pernah mengalami kekeringan sesuai yang ditunjukkan
pada Gambar 4.23 Kekeringan Lahan dan pernah mengalami kebanjiran pada lahan
sesuai hasil survei pada Gambar 4.24 Kebanjiran Lahan
30
25
20
ya
tidak
15
10
0
Desa Teluk Empening
30
25
20
ya
15 tidak
10
0
Desa Teluk Empening
35
30
25
20 ya
tidak
15
10
0
Desa Teluk Empening
Pengelolaan air pada lahan gambut mutlak diperlukan karena dalam kondisi
alami/ tidak terganggu, gambut selalu tergenang. Pengelolaan air dapat dilakukan
dengan menggunakan pintu-pintu air (canal blocking) pada saluran drainase, yang
berfungsi untuk mengatur tinggi muka air tanah sesuai dengan keperluan tanaman.
Dengan adanya pintu air maka air tanah tidak akan terlalu dangkal dan tidak pula terlalu
dalam (Dariah dan Nurzakiah,2014).
30
25
20
ya
15 tidak
10
0
Desa Teluk Empening
Jenis Pupuk
16
14
12
10 KANDANG
NPK
8 POSKA
UREA
6
0
Desa Teluk Empening
16
14
12
10 baik
8 sedang
tidak baik
6
4
2
0
Desa Teluk Empening
Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala global,
baik dari aspek ekologis, sosial maupun ekonomi masyarakat yang perlu dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan tetap memelihara kelestarian
kualitas lingkungan. Pengembangan lahan gambut harus memperhatikan aspek biofisik
lahan, sosial ekonomi dan lingkungan. Keterpaduan antara ketiga aspek tersebut
diharapkan dapat berdampak terhadap keberlanjutan sistem pertanian di lahan gambut.
Manfaat sosial-ekonomi lahan gambut terhadap kehidupan dan perekonomian
masyarakat Desa Teluk Empening cukup besar dan masih mungkin untuk ditingkatkan,
baik melalui penerapan pengelolaan lahan gambut yang intensif maupun dengan
membuka lahan gambut terdegradasi untuk usaha pertanian. Model usahatani yang
dapat dikembangkan pada lahan gambut cukup beragam, baik berdasarkan tipologi
lahan gambut, kearifan lokal dan ketersediaan inovasi tekonologi pertanian, serta
kesesuaian jenis komoditas secara biofisik dan potensi permintaan pasar (Irawan dan
Marfuah, 2014)
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Luas
Luas
Jenis /nama Luas Petak Jumlah Frekuens Bidang
Kerapatan Kerapatan Frekuensi Petak Do
No pohon/nama Jumlah Petak Temuan seluruh i Relatif dasar
(K) Relatif (KR) (F) Ukur
daerah Ukur suatu jenis petak (FR) suatu
(m2)
Jenis
1 Cengkodok 45 400 0,1125 40,91 3 3 1 20 0,22 400 0
2 Sawit 10 400 0,025 9,09 3 3 1 20 82,96 400 0
3 Tembesu 2 400 0,005 1,82 1 3 0,333333 6,66667 3,04 400 0
4 Pakis Sayur 15 400 0,0375 13,64 1 3 0,333333 6,66667
5 Pakis udang 25 400 0,0625 22,73 1 3 0,333333 6,66667
6 Sorea 3 400 0,0075 2,73 3 3 1 20 0,57 400 0,
7 Simpur 10 400 0,025 9,09 3 3 1 20 0,62 400 0
Total 110 2800 0,275 100 3 3 5 100 0,
Lahan Jahe
Luas
Luas
Jenis /nama Luas Petak Jumlah Frekuens Bidang
Kerapatan Kerapatan Frekuensi Petak Do
No pohon/nama Jumlah Petak Temuan seluruh i Relatif dasar
(K) Relatif (KR) (F) Ukur
daerah Ukur suatu jenis petak (FR) suatu
(m2)
Jenis
1 Jahe 100 25 4 100,00 3 3 1 100 0,00 25
Lahan Karet
Luas
Luas
Jenis /nama Luas Petak Jumlah Frekuens Bidang
Kerapatan Kerapatan Frekuensi Petak Do
No pohon/nama Jumlah Petak Temuan seluruh i Relatif dasar
(K) Relatif (KR) (F) Ukur
daerah Ukur suatu jenis petak (FR) suatu
(m2)
Jenis
1 Karet 36 400 0,09 32,14 3 3 1 21,4286 15,03 400 0,
2 Pakis Udang 24 400 0,06 21,43 3 3 1 21,4286
3 Pakis Sayur 18 400 0,045 16,07 3 3 1 21,4286
4 Selai-Selai 8 400 0,02 7,14 2 3 0,666667 14,2857 0,80 400
5 Cengkodok 26 400 0,065 23,21 3 3 1 21,4286 0,21 400 0,
Total 112 2000 0,28 100 14 15 4,666667 100 0
Lahan Sekunder
Luas
Luas
Jenis /nama Luas Petak Jumlah Frekuens Bidang
Kerapatan Kerapatan Frekuensi Petak Do
No pohon/nama Jumlah Petak Temuan seluruh i Relatif dasar
(K) Relatif (KR) (F) Ukur
daerah Ukur suatu jenis petak (FR) suatu
(m2)
Jenis
1 Temasam 9 400 0,0225 6,43 2 3 0,666667 8,69565 3,62 400 0
2 Selai-Selai 8 400 0,02 5,71 2 3 0,666667 8,69565 0,80 400
3 Tembesu 1 400 0,0025 0,71 1 3 0,333333 4,34783 3,30 400 0
4 Mahang 21 400 0,0525 15,00 3 3 1 13,0435 0,34 400 0
5 Mamali 8 400 0,02 5,71 2 3 0,666667 8,69565 0,73 400 0,
6 Shorea 3 400 0,0075 2,14 1 3 0,333333 4,34783 0,57 400 0,
7 Simpur Kijang 5 400 0,0125 3,57 2 3 0,666667 8,69565 1,21 400 0,
8 Medang 2 400 0,005 1,43 1 3 0,333333 4,34783 0,96 400 0
9 Cengkodok 26 400 0,065 18,57 3 3 1 13,0435 0,21 400 0,
10 Rambai hutan 1 400 0,0025 0,71 1 3 0,333333 4,34783 0,8 400
11 Daun Labu 1 400 0,0025 0,71 1 3 0,333333 4,34783 0,2 400 0
12 Beringin 1 400 0,0025 0,71 1 3 0,333333 4,34783 0,02 400 5
13 Pakis Udang 31 400 0,0775 22,14 1 3 0,333333 4,34783
14 Pakis Sayur 22 400 0,055 15,71 1 3 0,333333 4,34783
15 Terong Hutan 1 400 0,0025 0,71 1 3 0,333333 4,34783 0,01 400 2
Total 140 6000 0,35 100 23 45 7,666667 100 0,