Sifat fisik tanah gambut merupakan komponen morfologi yang penting dalam
penyediaan sarana tumbuh tanaman dan mempengaruhi kesuburan tanah, yang pada
akhirnya akan menunjang pertumbuhan tanaman, bahkan lebih penting pengaruhnya
dibandingkan dengan sifat kimia maupun biologi tanah (Suswati et al, 2011 ; Wasis et al,
2006). Sifat fisik tanah yang baik juga akan memberikan kualitas lingkungan yang baik
pula, oleh karena itu sifat fisik tanah dijadikan sebagai pertimbangan dalam menetapkan
suatu lahan untuk pertanian (Yulnafatmawita et al, 2007). Pada penelitian ini sifat – sifat
fisik tanah yang akan dianalisis adalah ketebalan dan kematangan gambut, bobot isi, berat
jenis partikel, porositas, permeabilitas, kadar air, kadar serat utuh.
Produktivitas lahan gambut sangat bergantung pada pengelolaan dan tindakan manusia.
Lahan gambut dikenal sebagai lahan yang rapuh atau rentan terhadap perubahan
karakteristik yang tidak menguntungkan bagi gambut. Pengelolaan lahan gambut perlu
dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi perubahan karakteristik yang menyebabkan
penurunan produktivitas dan membuat lahan gambut tidak produktif. Satu diantara
pertimbangan yang harus diperhatikan dalam konversi dan pemanfaatan lahan gambut
adalah tingkat ketebalan dan kematangan gambut tersebut (Masganti et al, 2017).
Berdasarkan hasil penelitian tingkat kematangan gambut pada Desa Teluk Empening
termasuk kategori gambut hemik. Pengelompokan gambut berdasarkan tingkat dekompoisi
bahan organik dan berat volume menghasilkan tiga macam gambut, yakni fibrik, hemik,
dan saprik (Rieley et al. 1996). Gambut hemik adalah gambut transisi, kandungan
serabutnya 33-66%, berat isi 0,1-0,19 g.cm-3, kandungan air 450-850%, warna coklat
kelabu kelam-coklat kemerahan kelam (Masganti,2017). Gambut hemik merupakan lahan
gambut yang sudah mengalami perombakan dan sifatnya separuh matang karena sudah
banyak terjadi perombakan sisa-sisa tumbuhan oleh mikro organisme sehingga tipe ini
masuk ke dalam kesuburan sedang (Sukandarrumidi,2008). Tingkat kematangan tanah
gambut bisa bervariasi karena terbentuk dari bahan, kondisi lingkungan, dan waktu yang
berbeda. Gambut yang telah matang cenderung akan lebih halus dan lebih subur serta
sebaliknya yang belum matang lebih banyak mengandung serat dan kurang subur ( Najiyati
et al, 2005)
Hasil penelitian kedalaman gambut pada 4 jenis lahan menunjukkan bahwa lahan
gambut pada Desa Teluk Empening Kecamatan Terentang teridentifkasi masuk ke dalam
kategori sedang dan dalam. Kedalaman lahan gambut teridentifikasi berkisar antara 140 cm
hingga 260 cm. Menurut ( Wahyunto et al, 2014) berdasarkan kedalamannya lahan gambut
dapat dibedakan menjadi 6 kategori, yakni :
Kematangan dan kedalaman masing – masing jenis lahan gambut dapat dilihat pada
Tabel 4.1
Pemanfaatan lahan gambut sebagai suatu potensi budidaya tanamanan pangan harus
memperhatikan ketebalan gambut. Hal ini dikarenakan semakin tebal tanah gambut, maka
semakin rendah pula potensinya untuk budidaya tanaman pangan dan hortikultura
(Masganti et al, 2017).
Bobot isi (bulk density) atau biasa disebut juga dengan berat volume merupakan
sifat fisik tanah yang menunjukkan padatan dalam suatu volume tertentu. Bobot isi
dinyatakan dalam satuan g cm-3 atau kg dm-3 atau tm-3 (Wihardjaka et al, 2014). Tanah
dengan nilai bobot isi relatif rendah umumnya mempunyai porositas yang tinggi, sehingga
potensi menyerap dan menyalurkan air menjadi tinggi, namun jika nilai bobot isi terlalu
rendah menyebabkan tanah mempunyai daya menahan beban (bearing capacity) yang
rendah (Agus dan Subiksa, 2008 ; Kechavarzi et al, 2010). Bobot isi tanah gambut dapat
dilihat pada Tabel 4.2
Bobot
No Kode Sampel isi
(gr/cm3)
1 Sawit A 30 1,03
2 Sawit B 30 1,03
3 Sawit C 30 1,11
Bobot
No Kode Sampel isi
(gr/cm3)
4 Sawit A 60 1,05
5 Sawit B 60 1,04
6 Sawit C 60 1,07
7 Jahe A 30 1,13
8 Jahe B 30 1,22
9 Jahe C 30 1,05
10 Jahe A 60 1,09
11 Jahe B 60 1,10
12 Jahe C 60 1,20
13 Karet A 30 1,06
14 Karet B 30 1,03
15 Karet C 30 1,04
16 Karet A 60 1,03
17 Karet B 60 1,02
18 Karet C 60 1,07
19 Sekunder A 30 1,06
20 Sekunder B 30 1,04
21 Sekunder C 30 1,04
22 Sekunder A 60 1,05
23 Sekunder B 60 1,03
24 Sekunder C 60 1,02
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Bobot isi tanah gambut yang sangat rendah yaitu <0,1 g cm- 3 ditemukan pada
gambut fibrik (mentah) yang terletak di lapisan bawah, sedangkan sesuai lokasi penelitian
yang terletak di jalur aliran sungai, gambut pantai dan gambut yang terletak di jalur aliran
sungai memiliki bobot isi yang relatif lebih tinggi, yakni >0,2 g cm- 3 karena adanya
pengaruh bahan mineral (Wawan dan Perdana,2015). Tingkat kematangan gambut
berpengaruh terhadap besarnya bobot isi, semakin matang gambut, rata-rata bobot isi
gambut menjadi lebih tinggi (Dariah et al, 2012).
Peningkatan kepadatan berdampak pada peningkatan nilai bobot isi tanah gambut
hingga kedalaman tertentu. Tekanan atau pemadatan menyebabkan butiran dan serat-serat
gambut bergerak dan mengisi pori-pori makro, sehingga tanah gambut menjadi lebih padat
Pengaruh tekanan beban dari atas menyebabkan adanya proses pemampatan bahan
penyusun tanah gambut dan terjadi pengurangan rongga-rongga udara, hal ini dapat
menyebabkan peningkatan nilai bobot isi tanah gambut (Wawan dan Perdana, 2015).
Apabila nilai bobot isi gambut rendah menunjukkan perlunya perhatian dalam
pemanfaatan lahan gambut. Selain berhubungan dengan kemampuan tanah gambut itu
sendiri dalam menahan beban tanaman, penetrasi akar tanaman, hingga semua aktifitas fisik
yang dapat berpengaruh terhadap bobot isi. Sifat fisik gambut seperti bobot isi berkaitan
dengan daya menahan beban tanaman, dimana bobot isi yang rendah berimplikasi pada
daya menahan beban tanaman yang rendah (Hartatik et al, 2011).
Berat jenis partikel atau biasa disebut dengan kepadatan jarah (particle density)
adalah perbandingan massa total fase padat tanah (Ms) dan volume fase padat (Vs). Massa
bahan organik dan organik diperhitungkan sebagai massa padatan tanah dalam penentuan
berat jenis partikel tanah (Agus dan Marwanto 2006). Massa bahan organik dan anorganik
diperhitungkan sebagai massa padatan tanah dalam penentuan berat jenis partikel tanah.
Berat jenis berhubungan langsung dengan bobot isi (bulk density), volume udara tanah,
serta kecepatan sedimentasi partikel di dalam zat cair (Haryati, 2014). Hasil analisis berat
jenis partikel tanah gambut dapat dilihat pada Tabel 4.3
Berat Jenis
N
Kode Sampel Partikel
o (gr/cm3)
1 Sawit A 30 1,45
2 Sawit B 30 1,39
3 Sawit C 30 1,74
4 Sawit A 60 1,35
5 Sawit B 60 1,45
Berat Jenis
N
Kode Sampel Partikel
o (gr/cm3)
6 Sawit C 60 1,34
7 Jahe A 30 1,16
8 Jahe B 30 1,68
9 Jahe C 30 1,29
10 Jahe A 60 1,33
11 Jahe B 60 1,10
12 Jahe C 60 1,87
13 Karet A 30 1,27
14 Karet B 30 1,02
15 Karet C 30 1,02
16 Karet A 60 1,10
17 Karet B 60 1,07
18 Karet C 60 1,28
Sekunder A
19 30 1,26
Sekunder B
20 30 1,46
Sekunder C
21 30 1,17
Sekunder A
22 60 1,40
Sekunder B
23 60 1,36
Sekunder C
24 60 1,17
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Berdasarkan hasil analisis berat jenis partikel tanah gambut pada lahan sawit
diketahui nilai berat jenis partikel berkisar antara 1,34-1,74 gr/cm 3, berat jenis partikel
tanah gambut pada lahan jahe berkisar antara 1,1-1,97 gr/cm 3, berat jenis partikel tanah
gambut di lahan karet berkisar antara 1,02-1,61 gr/cm3 berat jenis partikel terendah
ditemukan pada lahan karet dengan nilai 1,02 gr/cm3 dan berat jenis partikel tanah gambut
pada lahan sekunder berkisar antara 1,05-1,49 gr/cm3. Nilai densitas partikel 1,4 g / cm3
yang saat ini digunakan sebagai acuan tergolong rendah. Nilai berat jenis partikel gambut
tropis dan subtropis yang bervariasi di atas 1,4 g / cm 3 (Faoziah et al, 2019). Angka berat
jenis partikel harus lebih tinggi dibandingkan nilai bobot isi, karena semua pori sudah
dikeluarkan. Nilai berat jenis partikel yang semakin besar terhadap nilai bobot isi, maka
kandungan ruang pori di dalam tanah juga menjadi besar. Demikian juga sebaliknya jika
angka berat jenis partikel tetap akan tetapi nilai bobot isi makin besar, maka dipastikan total
pori tanah semakin sedikit (Munir dan Herman, 2019).
4.1.4 Porositas
Porositas merupakan proporsi ruang pori (ruang kosong) yang terdapat dalam suatu
volume tanah yang ditempati oleh air dan udara. Porositas yang tinggi menunjukkan jumlah
pori dalam tanah tersebut sangat besar sehingga membuat tanah menjadi lebih porous dan
sangat ringan. Porositas juga berkaitan erat dengan tingkat kepadatan tanah, semakin padat
tanah maka porositas tanah semakin kecil dan sebaliknya. Porositas adalah perbandingan
antara volume ruang pori terhadap volume total tanah. Porositas ini dinyatakan dalam
persen (%) (Sundema, 2010). Nilai porositas tanah gambut pada tiap jenis lahan dapat
dilihat pada Tabel 4.4 Porositas Tanah Gambut.
Porositas
N
Kode Sampel Total
o
(%)
1 Sawit A 30 87,66
2 Sawit B 30 85,84
3 Sawit C 30 91,88
4 Sawit A 60 84,05
5 Sawit B 60 86,51
6 Sawit C 60 83,76
7 Jahe A 30 81,99
8 Jahe B 30 83,90
9 Jahe C 30 84,13
10 Jahe A 60 83,21
11 Jahe B 60 79,14
12 Jahe C 60 83,45
13 Karet A 30 81,43
Porositas
N
Kode Sampel Total
o
(%)
14 Karet B 30 80,42
15 Karet C 30 70,69
16 Karet A 60 82,43
17 Karet B 60 84,85
18 Karet C 60 83,13
19 Sekunder A 30 87,44
20 Sekunder B 30 94,25
21 Sekunder C 30 84,74
22 Sekunder A 60 94,11
23 Sekunder B 60 91,81
24 Sekunder C 60 92,65
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Tanah gambut yang belum terdekomposisi memiliki porositas yang sangat tinggi
dengan ruang pori yang cukup besar dan memiliki sifat yang sangat kompresibel (Norsiah
et al, 2017). Tanah gambut memiliki nilai porositas yang tinggi jika dibandingkan dengan
tanah mineral. Tanah gambut memiliki nilai porositas mulai dari 80% hingga 97%
sedangkan tanah mineral memiliki nilai porositas 35% hingga 50% (Prabandini, 2016).
Hasil penelitian menunjukkan nilai porositas gambut pada lahan sawit berkisar antara
83,76% hingga 91,88%. Nilai porositas gambut pada lahan jahe berkisar antara 79,14%
hingga 84,13% sedangkan nilai porositas gambut pada lahan karet yaitu 70,69% hingga
84,85% dimana 70,69% merupakan hasil nilai porositas terendah diantara ke empat jenis lahan.
Nilai porositas lahan sekunder yaitu berkisar 84,74% hingga 94,11% dimana 94,11% merupakan
nilai porositas gambut tertinggi dari empat jenis lahan yang berbeda.
Derajat dekomposisi mempengaruhi porositas gambut, dan porositas dikontrol oleh ukuran
partikel dan struktur gambut. Peningkatan dekomposisi membuat ukuran partikel bahan organik
menurun (Huat et al, 2011). Perbedaan porositas tanah gambut menyebabkan perbedaan
kemampuan menahan air. Porositas berkorelasi positif terhadap kedalaman atau tingkat kematangan
gambut. Semakin tebal gambut, maka semakin tidak matang gambut, Semakin tidak matang
gambut, maka semakin tinggi porositas dan semakin tinggi kemampuan menahan. Hal ini
disebabkan bobot isi gambut mentah (fibrik) lebih rendah dibandingkan gambut saprik (Masganti et
al, 2012). Akibat konversi lahan menjadi lahan perkebunan sawit, jahe, dan karet berakibat pada
meningkatnya kepadatan tanah yang tinggi dan tingkat porositas atau distribusi pori tanah akan
semakin menurun (Surya et al, 2017). Porositas dan distribusi ukuran pori mempengaruhi aliran dan
penyimpanan air di gambut, karena porositas yang tinggi gambut dapat menyimpan air lebih tinggi
(Sufardi et al, 2016). Keberadaan ruang pori tanah merupakan media untuk udara dalam
menunjang pernafasan akar, aktivitas mikro organisme, dan penyerapan unsur hara
(Rustam et al, 2016).
4.1.5 Permeabilitas
Permeabilitas
No Kode Sampel
(cm/detik)
1 Sawit A 30 6,1E-06
2 Sawit B 30 2,1E-06
3 Sawit C 30 7,3E-06
4 Sawit A 60 6,1E-06
5 Sawit B 60 3,2E-06
6 Sawit C 60 8,0E-06
7 Jahe A 30 2,3E-06
Permeabilitas
No Kode Sampel
(cm/detik)
8 Jahe B 30 5,5E-06
9 Jahe C 30 2,7E-06
10 Jahe A 60 3,9E-06
11 Jahe B 60 9,0E-06
12 Jahe C 60 4,1E-06
13 Karet A 30 6,1E-06
14 Karet B 30 1,5E-06
15 Karet C 30 2,5E-06
16 Karet A 60 1,1E-05
17 Karet B 60 2,6E-06
18 Karet C 60 2,7E-06
19 Sekunder A 30 2,3E-06
20 Sekunder B 30 1,1E-06
21 Sekunder C 30 2,8E-06
22 Sekunder A 60 6,7E-06
23 Sekunder B 60 7,4E-06
24 Sekunder C 60 6,1E-06
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Hasil analisis permeabilitas pada tanah gambut lahan sawit berkisar antara 2,1 x10-6
cm/detik hingga 8 x10-6 cm/detik. Lahan jahe memiliki nilai permeabilitas 2,3 x10-6 cm/detik
hingga 9 x10-6 cm/detik yang merupakan nilai konduktivitas hidrolik paling rendah,
sedangkan lahan karet memiliki nilai permeabilitas 1,5 x10-6 cm/detik hingga 1,1 x10-5
cm/detik. Nilai permeabilitas lahan sekunder yaitu 1,1 x10-6 cm/detik hingga 7,4 x10-6
cm/detik. Permeabilitas atau konduktivitas hidrolik adalah fungsi dari ruang yang
terhubung dalam media berpori, serta sifat-sifat fluida seperti viskositas. Pada tanah
gambut, ruang pori yang besar ditemukan di lapisan atas yang kurang terdekomposisi dan
biasanyamemiliki konduktivitas hidrolik tertinggi. Karena perbedaan dekomposisi
gambutdan tipe vegetasi, konduktivitas hidrolik gambut sangat bervariasi
(Prabandini,2016).
Gambut pada lahan penelitian merupakan jenis gambut tropis, gambut tropis
memiliki perbedaan karakteristik vegetasi dengan gambut subtropis. Hal ini menyebabkan
nilai konduktivitas hidrolik yang dimiliki oleh gambut tropis berbeda dengan gambut
subtropis. Gambut tropis memiliki nilai konduktivitas hidrolik yang lebih besar jika
dibandingkan dengan gambut subtropis. Nilai gambut tropis menurut beberapa literatur
berkisar antara 10-5 - 10-3 cm/detik (Katimon dan Mutalib ,1997; Sayok et al, 2008; Melling
et al, 2007), sedangkan rentang nilai gambut subtropis yakni 10-8 - 10-2 cm/detik
(Kneale,1987 ; Gnatowski et al.2010). Gambut tropis didominasi oleh pohon-pohon yang
merupakan spesies utama pembentuk gambut, sedangkan gambut subtropis didominasi oleh
rumput dan semak-semak rendah. Akibatnya gambut tropis memiliki konduktivitas hidrolik
lebih tinggi, terutama di lapisan atas karena memiliki pori yang lebih besar dari sisa-sisa
pohon (Page et al. 2009).
Nilai permeabilitas yang didapat dari hasil penelitian ini lebih rendah dari nilai
gambut tropis berdasarkan beberapa penelitian lain. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi rendahnya nilai permeabilitas diantaranya jenis bahan gambut, tingkat
dekomposisi, dan bobot isi (bulk density) (Andriesse,1988). Nilai konduktivitas hidrolik
dengan vegetasi berupa pohon-pohon lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai
konduktivitas hidrolik pada vegetasi berupa semak-semak. Hal ini dikarenakan aktivitas
akar pada pepohonan lebih tinggi dari aktivitas akar serabut pada semak-semak, sehingga
permukaan dibawah pepohonan memiliki pori-pori yang lebih besar dan nilai konduktivitas
hidrolik yang lebih tinggi (Prabandini,2016). Konduktivitas hidrolik akan semakin kecil
seiring dengan bertambahnya kedalaman . Hal ini dikarenakan tingkat kematangan gambut
yang berbeda. Semakin dalam, tingkat dekomposisi gambut semakin tinggi. Hal ini
menyebabkan porositas tanah berkurang, sehingga pori-pori yang terdapat dalam gambut
akan semakin sedikit (Andriesse,1988). Semakin besar nilai bobot isi (bulk density) maka
nilai konduktivitas hidrolik akan semakin kecil dikarenakan sedikitnya rongga dalam tanah,
yang akan menghambat pergerakan air (Lewis et al, 2011).
4.1.5 Kadar Serat
Tingkat kematangan gambut dapat diketahui melalui nilai kadar serat
(Wahdah,2018). Kematangan gambut adalah tingkat pelapukan dari bahan organiknya,
yaitu dicirikan oleh kandungan atau kadar serat. Kadar serat atau kandungan serat gambut
merupakan ukuran derajat dekomposisinya yang mencerminkan struktur tanah
(Radjagukguk,2000). Tingkat kematangan gambut disebut fibrik apabila bahan organiknya
mengandung kadar serat tinggi (>75%) dan disebut hemik apabila mengandung kadar serat
sedang (15 - 75%) serta disebut saprik apabila mengandung kadar serat rendah (<15%)
(Agus et al, 2011). Hasil pengukuran nilai kadar serat gambut pada 4 jenis lahan yang
berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.6 Kadar Serat Gambut
Tabel 4.6 Kadar Serat Gambut
Kadar
No Kode Sampel Serat
Utuh (%)
1 Sawit A 30 36
2 Sawit B 30 40
3 Sawit C 30 32
4 Sawit A 60 38
5 Sawit B 60 30
6 Sawit C 60 36
7 Jahe A 30 30
8 Jahe B 30 30
9 Jahe C 30 30
10 Jahe A 60 32
11 Jahe B 60 28
12 Jahe C 60 28
13 Karet A 30 20
14 Karet B 30 20
15 Karet C 30 32
Kadar
No Kode Sampel Serat
Utuh (%)
16 Karet A 60 28
17 Karet B 60 30
18 Karet C 60 30
19 Sekunder A 30 28
20 Sekunder B 30 24
21 Sekunder C 30 30
22 Sekunder A 60 30
23 Sekunder B 60 32
24 Sekunder C 60 36
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Berdasarkan hasil analisis nilai kadar serat gambut pada 4 jenis lahan yang berbeda
dapat dilihat bahwa rata – rata nilai kadar serat gambut berkisar antara 20 – 36% yang
berarti tingkat kematangan gambut pada 4 jenis lahan yang berbeda tersebut adalah hemik
(setengah matang). Gambut hemik atau gambut setengah matang telah mengalami
perubahan pemanfaatan dan fungsinya yang dapat menimbulkan sifat kering tak balik,
cepat ambelas (subsiden), serta mudah melepaskan air apabila terjadi kerusakan
(Wahdah,2018). Tanah gambut dengan tingkat kematangan hemik memiliki kandungan
bahan organik yang juga tinggi hanya saja bahan organik tersebut belum melapuk secara
sempurna sehingga belum dapat menyediakan hara yang cukup bagi tanaman budidaya
(Dariah et al,2014).
Kadar Air
N
Kode Sampel Kondisi
o
Lapangan (%)
1 Sawit A 30 494,92
2 Sawit B 30 458,49
3 Sawit C 30 688,37
4 Sawit A 60 405,62
5 Sawit B 60 466,21
6 Sawit C 60 430,39
7 Jahe A 30 434,09
8 Jahe B 30 313,56
9 Jahe C 30 428,63
10 Jahe A 60 391,75
11 Jahe B 60 417,37
12 Jahe C 60 281,74
13 Karet A 30 363,07
14 Karet B 30 440,68
15 Karet C 30 270,16
16 Karet A 60 465,87
17 Karet B 60 574,47
18 Karet C 60 413,00
Sekunder A
19 30 587,16
Sekunder B
20 30 1196,37
Sekunder C
21 30 519,60
Sekunder A
22 60 1191,57
Sekunder B
23 60 857,00
Sekunder C
24 60 1183,32
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Nilai kadar air pada lahan sawit diketahui berkisar antara 405,62 – 688,37% ,
sedangkan pada lahan jahe berkisar antara 281,74 - 434,09%, untuk lahan karet berkisar antara
270,16 - 574,47% dan lahan sekunder 519,60 - 1196,37%. Hasil analisis nilai kadar air
menunjukkan nilai yang bervariasi hal ini dapat disebabkan ketersediaan air tanah bukan hanya
berdasarkan kematangannya saja, tetapi dipengaruhi juga oleh curah hujan atau air irigasi,
kemampuan tanah menahan air, evapotranspirasi, dan tinggi muka air tanah (Saribun, 2007). Kadar
air selain dipengaruhi oleh disebabkan oleh kepadatan tanah, karena tanah akan lebih sedikit
memegang air (Mardina, 2006).
Gambut merupakan jenis tanah yang jenuh air dan dapat menyimpan air 1-13 kali
bobotnya (Dariah et al. 2011). Konversi lahan gambut yang marak terjadi, menyebabkan
degradasi lahan hutan gambut (Miettinen et al, 2012). Degradasi lahan ini membuat hutan
primer rawa gambut berubah menjadi hamparan luas hutan sekunder, perkebunan ataupun
hanya lahan rumput alang-alang. Pembukaan lahan gambut sering kali menggunakan api
yang dapat memicu kebakaran lahan (Page et al, 2012). Kebakaran karena pembukaan
lahan gambut erat kaitannya dengan penurunan muka air tanah karena membuat permukaan
lahan gambut yang terdiri dari bahan organik akan menjadi kering dan mudah terbakar.
Selain itu konversi atau alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan keberadaan saluran
drainase lahan yang secara langsung mengakibatkan rendahnya tinggi muka air di lahan
gambut. Tinggi muka air tanah sangat penting bagi kelangsungan lingkungan lahan gambut
(Wakhid et al, 2019). Penelitian ini melihat pengaruh konversi lahan gambut menjadi empat
jenis lahan yang berbeda yaitu perkebunan sawit, kebun jahe, kebun karet dan lahan
sekunder terhadap tinggi muka air dan saluran.
4.2.1 Tinggi Muka Air
Perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut memerlukan sistem drainase sebagai
pengatur kedalaman muka air tanah. Kedalaman muka air yang sesuai dapat menjaga
kelembaban tanah dan meningkatkan aerasi. Aerasi yang baik dapat mempengaruhi
perakaran sehingga meningkatkan serapan hara, air serta produktivitas kelapa sawit
(Wawan et al,2019). Kebakaran akibat pembukaan lahan sawit masih banyak terjadi di
lahan gambut sehingga pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2016.
Pasal 23 ayat 3 pada Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa ekosistem gambut
dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila kedalaman muka air tanah di lahan
gambut lebih dari 40 cm di bawah permukaan gambut pada titik penataan. Hasil
pengukuran nilai Tinggi Muka Air Tanah (TMA) pada lahan sawit diapatkan hasil sebagai
berikut :
Jahe (Zingiber officinale Rosc) merupakan salah satu komoditas yang sudah sejak
ribuan tahun yang lalu digunakan sebagai bagian dari ramuan rempah-rempah yang
diperdagangkan secara luas di dunia. Masyarakat Indonesia umumnya telah mengenal dan
memanfaatkan tanaman ini dalam kehidupan sehari-hari untuk berbagai kepentingan
seperti: campuran bahan makanan, minuman, kosmetik, parfum dan lain-lain mulai dari
tingkat tradisional di pedesaan sampai tingkat modern di perkotaan (Samiri et al,2019).
Jahe termasuk dalam tanaman perkebunan, industri, dan obat-obatan yang dapat diusahakan
pada lahan gambut dengan kedalaman <0,5 meter- 2 meter (Agus F,2016). Nilai Tinggi
Muka Air Tanah pada lahan kebun jahe adalah sebagai berikut:
Gambar 4. 2 Tinggi Muka Air Lahan Jahe
Tinggi muka air di lahan jahe masih dibawah kriteria baku kerusakan ekosistem gambut,
berdasarkan Nilai Tinggi Muka Air (TMA) yang diperoleh yaitu berkisar antara 10,5 – 38,5
cm.
Tanaman karet merupakan satu diantara tanaman yang menjadi alternative tanaman
di lahan gambut. Karet merupakan tumbuhan yang tinggi, biasanya lurus, berbatang besar,
ketinggian pohon dapat mencapai 15-25 meter pada usia dewasa, dan percabangan berada
pada di atas pada ketinggian tertentu dari pohon (Pusdatin, 2016). Dalam keadaan normal,
tanaman karet akan siap disadap pada umur 5-6 tahun dengan lilit batangnya sudah
mencapai 45 cm atau lebih (Syukur, 2015). Nilai Tinggi Muka Air (TMA) pada lahan karet
adalah sebagai berikut :
Lahan Karet Bulan Juli 2020
70
60
50
40
Tinggi Muka AIr (cm)
30
20
10
0
1A 2A 3AB 4A 5A 1B 2B 3AB 4B 5B
Nilai Tinggi Muka Air (TMA) yang diperoleh yaitu berkisar antara 34,5 – 68 cm, cukup
tinggi apabila dibandingkan dengan jenis lahan yang lain. Kedalaman air tanah optimum
untuk pertumbuhan tanaman umumnya berbeda-beda. Tanaman karet memerlukan
kedalaman permukaan air tanah 60-100 cm (Noor, 2001). Semakin dalam muka air tanah
di lahan gambut berarti ketersediaan oksigen lebih banyak yang menstimulasi pertumbuhan
akar vertikal sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih baik (Supriyo et al., 2009).
Pengaturan terhadap muka air tanah antara 60-100 cm bertujuan agar akar tanaman dapat
tumbuh dengan lebih leluasa dan sekaligus mengurangi resiko kebakaran(Noor, 2001).
Lahan Sekunder adalah lahan yang tumbuh dan berkembang secara alami sesudah
terjadi kerusakan/perubahan pada lahan primer, pada lahan gambut ini pernah mengalami
kebakaran pada tahun 2017. Gambut yang terdegradasi kehilangan kemampuan menyerap
dan menahan air dari tetesan air hujan sehingga sangat rentan terhadap kebakaran (Putra et
al,2018). Nilai Tinggi Muka Air (TMA) pada lahan sekunder adalah sebagai berikut :
30
25
Tinggi Muka Air (cm)
20
15
10
0
1A 2A 3AB 4A 5A 1B 2B 3AB 4B 5B
Nilai Tinggi Muka Air (TMA) yang diperoleh pada lahan sekunder yaitu berkisar antara 14
-31,5 cm. Tinggi muka air di lahan sekunder masih dibawah kriteria baku kerusakan
ekosistem gambut yaitu 40 cm. Lahan gambut yang sering terbakar menyebabkan
hilangnya permukaan gambut sehingga tinggi muka air tanah semakin jauh dari permukaan
tanah. Selain itu, lahan yang telah terbakar akan merubah sifat-sifat gambut secara kimia,
fisik dan mikrobiologis (Hirano, 2014). Lahan sekunder gambut yang telah terdegradasi
harus dipertahankan dalam kondisi basah dengan tinggi muka air tanah kurang dari 40 cm
di bawah permukaan gambut (Putra et al,2018) tetapi tinggi muka air tanah permukaan
gambut yang lebih rendah harus dipertahankan untuk mencegah kejadian kebakaran gambut
di lahan gambut yang kering terdegradasi (Simatupang et al, 2018).
Kedalaman muka air tanah memiliki peranan kunci dalam ekosistem gambut.
Turunnya kedalaman muka air tanah menguntungkan bagi beberapa jenis tanaman, tetapi
dapat menyebabkan gambut menjadi kering tak balik dan meningkatkan laju dekomposisi.
Tinggi muka air tanah yang optimum berkisar 60–100 cm untuk mencegah kekeringan dan
kebakaran, 40–50 cm untuk mencegah ambelasan, dan 30–40 cm untuk mendukung
pertumbuhan tanaman palawija (Noor,2001). Beberapa jenis tanaman berbeda-beda
keperluan kedalaman permukaan air sesuai dengan sifat dan kondisi perakarannya.
Kedalaman permukaan air tanah pada lahan diusahakan agar tidak terlalu jauh dari akar
tanaman, jika permukaan air terlalu dalam maka oksidasi berlebih akan mempercepat
perombakan gambut, sehingga gambut cepat mengalami subsiden ( Nurmili,2014).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa muka air tanah semakin dekat dari saluran
drainase, maka permukaan air tanah akan semakin dalam. Hal ini disebabkan oleh
pergerakan air tanah semakin tinggi, sehingga terjadi pengurangan kadar air tanah gambut
akibat pengeringan, yang menyebabkan daya retensi air tanah berkurang, pembuatan
saluran drainase sangat mempengaruhi penurunan muka air tanah gambut (Azri, 1999).
4.2.2 Saluran
Kondisi lahan gambut dalam keadaan alamiah selalu tergenang air sepanjang tahun,
sehingga tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai lahan budidaya pertanian,
kecuali terlebih dahulu dibuat saluran drainase. Fungsi drainase adalah untuk membuang
kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan
mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase
maka hasil tanaman semakin tinggi. Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan
tanaman, namun semakin dalam saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden dan
dekomposisi gambut (Agus dan Subiksa,2008). Pembukaan lahan dan pembuatan saluran
drainase menyebabkan perubahan kondisi hidrologis lahan dan perubahan sifat kimia tanah
gambut yang berpotensi mengganggu stabilitas ekosistem (McCormick et al. 2011).
Dimensi saluran (primer, sekunder, dan tersier) juga harus disesuaikan dengan luas
kawasan dan komoditas yang dikembangkan (Subiksa et al., 2011). Misalnya tanaman
semusim (pangan dan sayuran) yang pada penelitian ini berupa tanaman jahe memerlukan
drainase yang relatif dangkal, yaitu berkisar antara 20-30 cm, sedangkan tanaman tahunan
seperti kelapa sawit dan karet memerlukan kedalaman muka air tanah yang lebih dalam,
dan bervariasi antar tanaman tahunan. Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro
sekitar 20 cm, sedangkan tanaman kelapa sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-
80 cm (Agus dan Subiksa,2008) dengan permukaan air di saluran utama selalu
dipertahankan pada kedalaman 60 sampai 70 cm di bawah permukaan lahan, dengan
harapan muka air tanah di pertanaman sawit berkisar antara 40 sampai 60 cm (Sabiham dan
Sukarman,2012). Kondisi muka air tanah gambut selain dipengaruhi oleh pembukaan
saluran drainase juga dipengaruhi oleh faktor iklim, terutama curah hujan (Susandi et
al,2015). Jumlah curah hujan di Kecamatan Terentang pada tahun 2020 dapat dilihat pada
Tabel 4.9. Jumlah Curah Hujan di Kecamatan Terentang
Tahun 2020
Jumlah Curah Jumlah Hari
No Bulan
Hujan Hujan
(mm) (hh)
1 Januari 251 11
2 Februari 220 8
3 Maret 257 8
4 April 350 12
5 Mei 270 6
6 Juni 480 10
7 Juli 369 16
8 Agustus 278 12
9 September 276 13
Sumber : PT. Bumi Perkasa Gemilang, 2020
Pada penelitian terdahulu diketahui jumlah curah hujan dan nilai Tinggi Muka Air Tanah
(TMA) menunjukkan nilai yang linier yaitu apabila nilai curah hujan tinggi maka nilai
Tinggi Muka Air Tanah (TMA) juga akan ikut meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh
sifat fisik gambut yaitu konduktivitas tanah yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap
fluktuasi Tinggi Muka Air Tanah (TMA). Selain mempengaruhi muka air tanah , hujan
juga menyebabkan kenaikan muka air di saluran Hafiyyan et al (2017)
Prinsip utama dari pengaturan tata air di lahan gambut yang dibudidayakan untuk
tanaman pertanian adalah harus mampu menekan terjadinya penurunan fungsi lingkungan
dari lahan gambut akibat dilakukannya proses drainase/penurunan muka air tanah, namun
tetap bisa memenuhi syarat tumbuh tanaman yang dibudidayakan. Oleh karena itu, tinggi
muka air tanah harus diatur sampai batas minimal dimana tanaman masih mampu tumbuh
dengan baik. Artinya tinggi muka air tanah harus diatur supaya tidak terlalu dangkal dan
tidak terlalu dalam (Dariah dan Maswar,2016).
Kenampakan fisik khas air gambut dicirikan oleh warna larutan kuning-coklat yang
kepekatannya memberikan gambaran tentang kualitas airnya. Warna kuning-coklat air
gambut disebabkan oleh kandunngan bahan organik terlarut yang dihasilkan dari pelapukan
sisa tumbuhan. Kualitas air gambut berbanding terbalik dengan kepekatan bahan organik
terlarut. Ciri lain dari air gambut adalah keasaman yang tinggi. Bahan organik terlarut di
dalam air tersebut umumnya dalam bentuk asam organik hasil dekomposisi tumbuhan
berupa asam, sehingga semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin pekat wama air
dan kemasaman semakin meningkat (Syarfi,2007 ; Marlina,2017).
Umumnya air gambut memiliki pH di bawah 6 sedangkan pada air gambut yang
pekat nilai pH bisa mencapai 3.5 (Marlina,2017). Nilai pH menggambarkan seberapa besar
tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Derajat keasaman (pH) merupakan
gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Nilai derajat keasaman (pH)
suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan
pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Karena pH mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kehidupan tumbuhan dan hewan akuatik, maka pH suatu perairan seringkali
dipakai sebagai petunjuk baik atau buruknya perairan sebagai lingkungan hidup
(Effendi,2003). Nilai pH pada empat jenis lahan adalah sebagai berikut :
pH Air
5
4.5
4
3.5 sekunder
3 karet
sawit
2.5 jahe
pH
2
1.5
1
0.5
0
1B 3AB 5B Saluran Depan Saluran Samping
Hasil pengukuran pH air tanah dan saluran pada ke empat jenis lahan menunjukkan
nilai pH berkisar antara 3,3 - 4,6 dengan 3,3 merupakan nilai pH terendah yang terletak
pada lahan sawit dan 4,6 merupakan nilai pH tertinggi dari lahan sekunder. Dapat diketahui
bahwa daerah penelitian lahan gambut yang dikonversi menjadi lahan sawit, lahan karet,
lahen jahe, dan lahan sekunder memiliki pH yang kurang dari baku mutu sesuai dengan PP
82 tahun 2001 baku mutu air bersih kelas 2 yaitu 6 – 9.
Komposisi tanah gambut yang berbeda menyebabkan kandungan zat organik yang
berbeda juga, serta aktivitas masyarakat saat menggunakan lahan gambut dengan
menggunakan bahan kimia, sehingga mempengaruhi tingkat keasaman dari air gambut
(Arisna dan Rudyansyah,2016). Perubahan pH di suatu air sangat berpengaruh terhadap
proses fisika, kimia, maupun biologi dari organisme yang hidup di dalamnya. Derajat
keasaman berpengaruh terhadap daya racun bahan pencemaran dan kelarutan beberapa gas,
serta menentukan bentuk zat di dalam air (Ningrum,2018).
4.3.2 Suhu
Suhu Air
33
32
31
sekunder
karet
30 sawit
Suhu (˚C)
jahe
29
28
27
26
1B 3AB 5B Saluran Depan Saluran Samping
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai suhu rata-rata dari konversi empat jenis
lahan berkisar antara 28-32 oC. Suhu air tertinggi terdapat pada lahan karet yaitu 32 oC. Penyebab
tingginya nilai suhu pada lahan gambut yaitu sampel diambil saat matahari sudah cukup terik dan
penghilangan vegetasi akibat konversi yang dilakukan akan menyebabkan lebih banyak
cahayamatahari yang dapat menembus permukaan air dan kemudian suhu air akan meningkat
(Asdak,2014). Berkurangnya penutupan oleh tumbuhan (kanopi) yang digantikan oleh ladang
menyebabkan efektivitas penyinaran matahari lebih tinggi. Pola ekosistem air dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara
sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga faktor kanopi dari pohon yang ditepi (Kristianiarso et
al, 2013).
TSS (Total Suspended Solid) atau padatan tersuspensi adalah padatan yang
menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut, dan tidak dapat mengendap (Aswir, 2006). TSS
sangat berkaitan erat dengan kekeruhan. Zat yang tersuspensi dalam air gambut berupa
lumpur, pasir dan senyawa organik dan anorganik. Kandungan TSS yang tinggi dapat
menyebabkan penurunan kualitas air sehingga tidak layak dikonsumsi, semakin tinggi
kandungan TSS pada air maka air akan mengandung gumpalan partikel mikro yang
sebelumnya belum menggumpal. TSS dapat ditemukan pada seluruh air tercemar akibat
industri maupun yang diakibatkan oleh alam seperti air gambut (Said et al,2019). Ambang
batas padatan mengendap minimum yang diperbolehkan sebesar 50 mg/L sesuai PP No.82
Tahun 2001. Nilai TSS air pada empat jenis lahan adalah sebagai berikut :
TSS Air
600
500
400 sekunder
karet
sawit
TSS (mg/l)
300 jahe
200
100
0
1B 3AB 5B Saluran DepanSaluran Samping
Degradasi sumber daya alam, khususnya hutan yang ditandai dengan berkurangnya
(deplesi) sumber air permukaan dan air bawah tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Semakin meluasnya tanah kritis dan daerah aliran kritis, semakin meluasnya kerusakan
hutan, hal ini secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kualitas air saluran dan air
tanah lahan sekunder. Sedimen dapat meningkatkan polusi dalam dua bentuk yaitu secara
fisik dan kimia. Polusi secara fisik termasuk sifat turbiditas sedimen (pembatasan penetrasi
matahari dan pengganggu pernafasan ikan) dan sedimentasi (pengurangan kapasitas aliran
di hulu dan hilir). Polusi secara kimia oleh sedimen misalnya pengikatan logam-logam dan
phosphor yang bersifat kimia organik, hidropobik dan hidrofilik (Kiersch, 2000).
Hasil analisis TSS air tanah dan saluran pada lahan yang dikonversi menjadi
perkebunan karet menunjukkan nilai TSS berkisar antara 21-182 mg/l, dari lima titik
sampel 3 diantaranya melebihi nilai baku mutu TSS yaitu pada titik sampel 1B sebesar 182
mg/l, titik sampel 3AB sebesar 90 mg/l dan titik sampel saluran depan 110 mg/l. Pada lahan
sawit semua hasil analisis berada diatas nilai baku mutu yaitu berkisar antara 95-567 mg/l
dimana terdapat nilai TSS tertinggi yaitu 567 mg/l. Sedangkan pada lahan jahe nilai TSS
berkisar antara 26 hingga 221 mg/l dimana hanya terdapat satu titik sampel yang berada
dibawang baku mutu yaitu titik sampel 3AB yaitu 26 mg/l.
TSS dapat meningkat secara tiba-tiba apabila suatu sub daerah aliran sungai atau
saluran drainase apabila terjadi pembukaan lahan pertanian lebih dari 50% (Deutsch dan
Busby,2000). Pengolahan tanah yang intensif akan menghasilkan limbah atau bahan
agrokimia berupa pupuk meliputi pupuk NPK, poska, urea serta adanya pestisida yang
diberikan pada tanaman tidak semuanya diserap tanaman, tetapi sisanya akan terbuang ke
lingkungan perairan melalui saluran drainase. Sistem pertanian dengan memasukkan bahan
organik maupun anorganik tersebut berakibat buruk terhadap kelestarian lingkungan
perairan (Supriharyono,2009).
3.5
3
sekunder
2.5 karet
sawit
D0 (mg/l)
2 jahe
1.5
0.5
0
1B 3AB 5B Saluran Depan Saluran Samping
Hasil analisis DO pada keempat jenis lahan berkisar antara 0,89-3,4 mg/l dengan
nilai DO terendah berada pada lahan karet yaitu sebesar 0,89 mg/l dan nilai DO tertinggi
berda pada lahan sawit sebesar 3,4 mg/l. Semua nilai hasil analisis DO menunjukkan bahwa
nilai DO pada keempat jenis lahan berada dibawah baku mutu minimum air kelas 2 yaitu 4
mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut pada umumnya mengalami penurunan dengan
bertambahnya kedalaman. Hal ini diduga terjadi karena suplai oksigen dari proses
fotosintesis dan difusi menurun (Reebs, 2009). Kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh
intensitas cahaya yang masuk kedalam perairan, dimana kelimpahan fitoplankton menurun
dengan berkurangnya intensitas cahaya yang masuk. Oksigen terlarut berkurang dengan
bertambahnya kedalaman muka air, sementara fotosintesis berlangsung jika unsur hara dan
intensitas cahaya tersedia (Anggraini,2015). Aktivitas pertanian dapat berperan penting
terhadap meningkatnya pasokan limbah bahan kimia dari pupuk maupun pestisida yang
mengandung bahan organik dan padatan tersuspensi sehingga BOD biasanya tinggi,
padatan organik dan anorganik yang mengendap di dasar perairan dan menyebabkan DO
rendah,terakhir mengandung bahan terapung dalam bentuk suspensi sehingga menghambat
laju fotosintesis ( Sugianti dan Astuti,2018)
4.4 Konversi Lahan Gambut
Pada Desa Teluk Empening lahan gambut di konversi menjadi lahan perkebunan
sawit, perkebunan karet, jahe dan bermacam tanaman yang memiliki nilai ekonomi,
permukiman serta lahan sekunder yang sebelumnya pernah mengalamai kebakaran. Pada
penelitian ini sampel lokasi penelitian lahan sawit yang diukur berumur 10 tahun, lahan
karet berumur 15 tahun, lahan jahe baru ditanam oleh masyarakat dan lahan sekunder bekas
terbakar pada tahun 2014 dan 2017. Jenis vegetasi tutupan lahan gambut pada lokasi
penelitian Desa Teluk Empening dapat dilihat pada Tabel 4.10 Jenis Vegetasi Tutupan
Lahan di Desa Teluk Empening.
Foto
Data pengamatan vegetasi digunakan untuk penetapan Indeks Nilai Penting (INP).
Indeks Nilai Penting (INP) dihitung berdasarkan hasil perhitungan besaran: Kerapatan (K),
Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (D) dan
Dominansi Relatif (DR), dengan mengetahui besarnya nilai INP maka akan dapat diketahui
besar kecilnya peranan suatu spesies dalam sebuah komunitas, semakin tinggi nilai INP
suatu spesies maka semakin besar pula peranan spesies tersebut dalam sebuah komunitas.
Hasil analisis vegetasi disajikan pada Tabel 4.11 Analisis Vegetasi
Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya Indeks NilaPenting
(INP), dimana jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi merupakan jenis yang dominan.
Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuian terhadap
lingkungan yang lebih tinggi dari jenis lain. Suatu jenis dikatakan dominan apabila jenis
tersebut terdapat di daerah yang bersangkutan dalam jumlah yang banyak, tersebar merata
keseluruh areal dan berdiameter besar, sehingga penetapan suatu jenis dominan dengan
berdasarkan suatu indeks yang merupakan gabungan dari tiga nilai yaitu nilai kerapatan,
nilai frekuensi dan nilai dominansi adalah sangat tepat (Yuningsih et al, 2018).
Pada lahan perkebunan yang homogen yang sengaja dibuat untuk kebutuhan
produksi seperti pada lahan sawit, lahan karet dan lahan jahe, nilai INP tertinggi dimiliki
oleh tanaman perkebunan. Nilai INP lahan sawit adalah sebesar 124%, sedangkan pada
lahan karet nilai INP tertinggi tanaman karet adalah 147,3%, dan pada lahan jahe yang
hanya terdapat tanaman jahe dan tidak ada vegetasi lain nilai INP yang dimiliki sebesar
200%. Pada jenis lahan perkebunan sawit dan karet tersebut juga ditemukan jenis vegetasi
lain seperti pakis udang (Stenochlaena palustris), pakis sayur (Nephrolepis biserrata),
cengkodok (Melastoma malabathricum), selai-selai (Sageraea lanceolata), simpur
(Dillenia excelsa), tembesu (Fagraea cochinchinensis) dan meranti (Shorea dasyphylla).
Kedua jenis lahan perkebunan yaitu lahan sawit dan lahan karet memiliki vegetasi
yang cukup beragam, namun diantara beberapa vegetasi tersebut terdapat tanaman yang
cukup mendominasi pertumbuhannya yaitu cengkodok (Melastoma malabathricum), yang
memiliki nilai INP sebesar 61,2% pada lahan sawit dan nilai INP 46% pada lahan karet.
Cengkodok (Melastoma malabathricum) merupakan jenis tumbuhan penyusun vegetasi
hutan rawa gambut.
Pada lahan sekunder yang pernah mengalami kebakaran pada tahun 2017 dan telah
suksesi terdapat beberapa vegetasi diantaranya Temasam (Syzgium cerina), Selai – selai
(Sageraea Lanceolata), Tembesu (Fagraea cochinchinensis), Mahang (Macaranga
motleyana), Mamali (Leea indica), Meranti (Shorea dasyphylla), Simpur Kijang (Dillenia
eximia), Medang (Teysmanniodendron pteropodus), Cengkodok (Melastoma
malabathricum), Rambe Ayam (Aporosa arborea), Garung (Endospermum malaccense),
Beringin (Diospyros laevigata bakh), pakis udang (Stenochlaena palustris), Pakis Sayur
(Nephrolepis bisserata) dan Purupuk (Lophophetalum spp). Vegetasi tersebut memang
banya terdapat pada hutan rawa gambut baik yang alami maupun hasil suksesi. Dari
berbagai vegetasi tersebut yang memiliki nilai INP tertinggi yaitu Temasam (Syzgium
cerina) sebesar 43,5%, tumbuhan ini dapat mendominansi hal ini dapat disebabkan karena
sifatnya yang cepat tumbuh dan menghasilkan banyak biji. Selain itu pada lahan yang telah
terbakar umumnya juga didimonansi tumbuhan alami gambut yaitu pakis (Stenochlaena
palustris) dan Cengkodok (Melastoma malabathricum) akn tumbuh satu tingkat di atas
pakis.
Indeks
N
Jenis Lahan Keanekaragaman
o
Jenis (H')
1 Jahe 0
2 Karet 0,958
3 Sawit 1,109
4 Sekunder 2,001
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Lahan Karet memiliki nilai indeks biodiversitas ±0 (nol) yang dapat diartikan tidak
terdapat biodiversitas vegetasi di lokasi sampel lahan karet. Jenis yang teridentifikasi hanya
sejenis yaitu jenis vegetasi komersial yang mempunyai nilai jual dan ekonomi tinggi berupa
jahe. Sedangkan pada lahan karet memiliki nilai indeks biodiversitas 0,958, kedua lahan
perkebunan ini yaitu lahan jahe dan karet dapat dikategorikan biodiversitas rendah, dengan
penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah. Lahan
Sawit memiliki nilai indeks biodiversitas sebesar 1,109 dan lahan Sekunder memiliki nilai
indeks biodiversitas sebesar 2,001, nilai indek keanekaragaman di lokasi ini merupakan
nilai indeks keanekaragaman tertinggi di bandingkan dengan lokasi penelitian yang lainnya.
Hal ini berarti jenis lahan sawit dan lahan sekunder masuk kedalam kategori kategori
biodiversitas sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan
komunitas sedang.
Berdasarkan hasil survei penduduk pada Desa Teluk Empening rata-rata berada
dalam usia produktif untuk bekerja, terlihat pada Gambar 4.11 Usia Responden
Usia Responden
30
25
20 <15
15-65
15 >65
tidak ada
10
0
Desa Teluk Empening
12
10
sd
8
smp
sma
6
tidak ada
4
0
Desa Teluk Empening
Mata Pencaharian
20
18
16
14
Petani
12 Swasta
10 Rumah Tangga
Pelajar
8
2
0
Desa Teluk Empening
35
30
25
20 ya
tidak
15
10
0
Desa Teluk Empening
Masyarakat lokal di Desa Teluk Empening juga telah melakukan pemanfaatan lahan
gambut sebagai lahan pertanian dan perkebunan dalam jangka waktu yang cukup lama,
seperti hasil survei pada Gambar 4.15 Lama Mengelola Lahan
10
8 <5 tahun
>5 tahun
6 >10 tahun
0
Desa Teluk Empening
Kondisi Jalan
20
18
16
14
12 ya
10 tidak
8
6
4
2
0
Desa Teluk Empening
Usaha pemasaran produk pertanian ini semakin sulit dilakukan, karena selain kondisi jalan
yang kurang memadai juga karena lokasi pasar yang sangat jauh sesuai dengan hasil survei
yang ditunjukkan pada Gambar 4.17 Jarak ke Pasar .
Jarak ke Pasar
9
0
Desa Teluk Empening
20
18
16
14
12 konsumsi
pasar
10 pengepul
8
6
4
2
0
Desa Teluk Empening
10
8 <500.000
500.000-1.000.000
6 1.000.000-2.000.000
>2.000.000
0
Desa Teluk Empening
Aspek lingkungan harus selalu menjadi pertimbangan dalam pemanfaatan lahan gambut
sebagai lahan usahatani, mengingat semua usahatani yang dilakukan masyarakat lokal Desa
Teluk Empening menggunakan lahan gambut sekunder yang diolah menjadi lahan
pertanian sesuai dengan survei pada Gambar 4.21 Vegetasi Lahan Sebelum Konversi
Vegetasi Lahan Sebelum Konversi
35
30
25
20 Lahan Sekunder
15
10
0
Desa Teluk Empening
Konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian dan perkebunan tentu saja membuat
perubahan – perubahan pada sifat fisik, kimia dan biologis gambut. Karakteristik gambut
dapat berubah akibat adanya tindakan manusia berupa pembukaan lahan, pembakaran
lahan, dan pembuatan saluran drainase(Page et al. 2012). Tidak jarang usahatani mengalami
gagal panen seperti yang ditunjukkan hasil survei pada Gambar 4.22 Gagal Panen
Gagal Panen
30
25
20
ya
15 tidak
10
0
Desa Teluk Empening
Penyebab gagal panen produk pertanian dapat dikarenakan adanya hama tanaman serta
pengaruh cuaca yang berpengaruh terhadap terjadinya banjir atau kekeringan pada lahan
gambut yang digunakan untuk usahatani. Berdasarkan survei lahan gambut yang digunakan
untuk perkebunan pernah mengalami kekeringan sesuai yang ditunjukkan pada Gambar
4.23 Kekeringan Lahan dan pernah mengalami kebanjiran pada lahan sesuai hasil survei
pada Gambar 4.24 Kebanjiran Lahan
30
25
20
ya
tidak
15
10
0
Desa Teluk Empening
Terjadinya perubahan guna lahan pada lahan gambut akibat terjadinya penurunan
permukaan gambut, berdampak tidak hanya pada lokasi setempat (on site) namun juga
berdampak lebih luas (out site). Dampak tersebut misalnya adalah saat kemarau, peluang
terjadi kekeringan juga meningkat sehingga rawan kebakaran. Pada kondisi gambut
terdegradasi akibat pembukaan lahan dan pembuatan drainase, air gambut akan mudah
mengalir keluar sehingga gambut menjadi kering (Taufik, 2015). Berkurang atau
menurunnya fungsi lahan gambut sebagai penyimpan air, sebagai akibat berkurangnya
volume gambut, sehingga pada saat musim hujan peluang terjadi banjir meningkat. Selain
itu lahan dapat mengalami kelebihan air maupun banjir yang dapat disebabkan oleh
kelembaban udara dan curah hujan yang tinggi dan dapat menimbulkan kerusakan tanaman,
meningkatnya populasi hama dan penyakit tanaman yang dapat menyebabkan kerugian
bagi petani (Dariah dan Maswar,2016).
Kebanjiran di Lahan Gambut
30
25
20
ya
15 tidak
10
0
Desa Teluk Empening
35
30
25
20 ya
tidak
15
10
0
Desa Teluk Empening
Penggunaan Pupuk
30
25
20
ya
15 tidak
10
0
Desa Teluk Empening
Gambar 4.26 Penggunaan
Pemberian pupuk diharapkan dapat meningkatkan kualitas tanah yang akan diikuti
dengan peningkatan produktivitas tanaman (Sukarman,2014). Jenis – jenis pupuk yang
digunakan masyarakat lokal di Desa Teluk Empening diantarnya dapat dilihat pada
Gambar 4.27 Jenis Pupuk
Jenis Pupuk
16
14
12
10 KANDANG
NPK
8 POSKA
UREA
6
0
Desa Teluk Empening
Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala global,
baik dari aspek ekologis, sosial maupun ekonomi masyarakat yang perlu dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan tetap memelihara kelestarian kualitas
lingkungan. Pengembangan lahan gambut harus memperhatikan aspek biofisik lahan, sosial
ekonomi dan lingkungan. Keterpaduan antara ketiga aspek tersebut diharapkan dapat
berdampak terhadap keberlanjutan sistem pertanian di lahan gambut. Manfaat sosial-
ekonomi lahan gambut terhadap kehidupan dan perekonomian masyarakat Desa Teluk
Empening cukup besar dan masih mungkin untuk ditingkatkan, baik melalui penerapan
pengelolaan lahan gambut yang intensif maupun dengan membuka lahan gambut
terdegradasi untuk usaha pertanian. Model usahatani yang dapat dikembangkan pada lahan
gambut cukup beragam, baik berdasarkan tipologi lahan gambut, kearifan lokal dan
ketersediaan inovasi tekonologi pertanian, serta kesesuaian jenis komoditas secara biofisik
dan potensi permintaan pasar (Irawan dan Marfuah, 2014)
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Konversi lahan gambut mempengaruhi sifat fisik tanah gambut seperti ketebalan
dan kematangan gambut, bobot isi, berat jenis partikel, porositas, permeabilitas,
kadar air, kadar serat utuh, hal ini dapat disebabkan oleh pemadatan tanah yang
terjadi saat pembukaan lahan gambut menjadi lahan perkebunan sawit, karet dan
jahe serta degradasi lahan gambut pada lahan sekunder akibat kebakaran.
2. Konversi lahan memiliki pengaruh terhadap penurunan muka air tanah karena
membuat permukaan lahan gambut yang terdiri dari bahan organik akan menjadi
kering dan mudah terbakar. Tinggi muka air tanah di 4 jenis lahan berbeda-beda.
Lahan sawit, lahan jahe dan lahan sekunder masih berada dibawah 40 cm. Lahan
yang memiliki tinggi muka air tanah paling rendah yaitu lahan karet karena
melebihi 40 cm. Hal ini karena jenis tanaman berbeda-beda keperluan kedalaman
permukaan air sesuai dengan sifat dan kondisi perakarannya.
3. Konversi lahan sangat erat kaitannya dengan keberadaan saluran drainase lahan
yang secara langsung mengakibatkan rendahnya tinggi muka air di lahan gambut.
Dimensi saluran disesuaikan dengan luas kawasan dan komoditas yang
dikembangkan. Tinggi muka air tanah harus diatur sampai batas minimal dimana
tanaman masih mampu tumbuh dengan baik. Artinya tinggi muka air tanah harus
diatur supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam.
4. Konversi lahan gambut mempengaruhi kualitas air yang ada pada lahan, perubahan
tutupan lahan dan masuknya zat-zat yang bertujuan untuk meningkatkan kesuburan
lahan gambut dapat menurunkan kualitas air pada lahan ditandai dengan parameter
pH, TSS dan DO yang tidak sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan yaitu Kelas
2 PP No.82 Tahun 2001.
5. Konversi lahan gambut mempengaruhi biodiversitas vegetasi, pada lahan jahe dan
karet indeks keragaman jenis (H’) termasuk rendah sedangkan lahan sawit dan
lahan sekunder termasuk indeks keragaman jenis (H’) sedang. Hal ini
mengindikasikan konversi lahan mengurangi keragaman biodiversitas yang ada
pada lahan gambut dan mengurangi ketahanan lingkungan.
6. Konversi lahan gambut mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat dengan fungsi
sosial penyerapan tenaga kerja serta fungsi ekonomi keuntungan dan pendapatan
dari hasil produksi konversi lahan menjadi usahatani. Namun manfaat sosial dan
ekonomi konversi lahan gambut tetap harus memperhatikan kelestarian lingkungan
gambut karena pengembangan lahan gambut harus memperhatikan aspek biofisik
lahan, sosial ekonomi dan lingkungan untuk mencapai keberlanjutan usahatani dan
ketahanan pangan.
5.2 Saran