Anda di halaman 1dari 52

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Fisik Tanah Gambut

Sifat fisik tanah gambut merupakan komponen morfologi yang penting dalam
penyediaan sarana tumbuh tanaman dan mempengaruhi kesuburan tanah, yang pada
akhirnya akan menunjang pertumbuhan tanaman, bahkan lebih penting pengaruhnya
dibandingkan dengan sifat kimia maupun biologi tanah (Suswati et al, 2011 ; Wasis et al,
2006). Sifat fisik tanah yang baik juga akan memberikan kualitas lingkungan yang baik
pula, oleh karena itu sifat fisik tanah dijadikan sebagai pertimbangan dalam menetapkan
suatu lahan untuk pertanian (Yulnafatmawita et al, 2007). Pada penelitian ini sifat – sifat
fisik tanah yang akan dianalisis adalah ketebalan dan kematangan gambut, bobot isi, berat
jenis partikel, porositas, permeabilitas, kadar air, kadar serat utuh.

4.1.1 Ketebalan dan Kematangan Gambut

Produktivitas lahan gambut sangat bergantung pada pengelolaan dan tindakan manusia.
Lahan gambut dikenal sebagai lahan yang rapuh atau rentan terhadap perubahan
karakteristik yang tidak menguntungkan bagi gambut. Pengelolaan lahan gambut perlu
dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi perubahan karakteristik yang menyebabkan
penurunan produktivitas dan membuat lahan gambut tidak produktif. Satu diantara
pertimbangan yang harus diperhatikan dalam konversi dan pemanfaatan lahan gambut
adalah tingkat ketebalan dan kematangan gambut tersebut (Masganti et al, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian tingkat kematangan gambut pada Desa Teluk Empening
termasuk kategori gambut hemik. Pengelompokan gambut berdasarkan tingkat dekompoisi
bahan organik dan berat volume menghasilkan tiga macam gambut, yakni fibrik, hemik,
dan saprik (Rieley et al. 1996). Gambut hemik adalah gambut transisi, kandungan
serabutnya 33-66%, berat isi 0,1-0,19 g.cm-3, kandungan air 450-850%, warna coklat
kelabu kelam-coklat kemerahan kelam (Masganti,2017). Gambut hemik merupakan lahan
gambut yang sudah mengalami perombakan dan sifatnya separuh matang karena sudah
banyak terjadi perombakan sisa-sisa tumbuhan oleh mikro organisme sehingga tipe ini
masuk ke dalam kesuburan sedang (Sukandarrumidi,2008). Tingkat kematangan tanah
gambut bisa bervariasi karena terbentuk dari bahan, kondisi lingkungan, dan waktu yang
berbeda. Gambut yang telah matang cenderung akan lebih halus dan lebih subur serta
sebaliknya yang belum matang lebih banyak mengandung serat dan kurang subur ( Najiyati
et al, 2005)

Hasil penelitian kedalaman gambut pada 4 jenis lahan menunjukkan bahwa lahan
gambut pada Desa Teluk Empening Kecamatan Terentang teridentifkasi masuk ke dalam
kategori sedang dan dalam. Kedalaman lahan gambut teridentifikasi berkisar antara 140 cm
hingga 260 cm. Menurut ( Wahyunto et al, 2014) berdasarkan kedalamannya lahan gambut
dapat dibedakan menjadi 6 kategori, yakni :

a) sangat dangkal/sangat tipis, jika ketebalan gambut < 50 cm


b) dangkal/tipis, jika ketebalan gambut 50-100 cm
c) sedang, jika ketebalan gambut 101-200 cm
d) dalam/tebal, jika ketebalan gambut 201-400 cm
e) sangat dalam/sangat tebal, jika ketebalan gambut 401-800 cm
f) dalam sekali/tebal sekali, jika ketebalan gambut 801-1.200 cm.

Kematangan dan kedalaman masing – masing jenis lahan gambut dapat dilihat pada
Tabel 4.1

Tabel 4.1 Tingkat Kematangan dan Kedalaman Lahan Gambut

Titik Kedalaman Tipe Kematangan


Jenis Lahan
Sampel Gambut (cm) Gambut Gambut
Lahan Jahe A 150 Sedang Hemik
B 180 Sedang Hemik
C 140 Sedang Hemik
Lahan Karet A 250 Dalam Hemik
B 230 Dalam Hemik
Titik Kedalaman Tipe Kematangan
Jenis Lahan
Sampel Gambut (cm) Gambut Gambut
C 210 Dalam Hemik
Lahan Sawit A 210 Dalam Hemik
B 240 Dalam Hemik
C 190 Sedang Hemik
Lahan Sekunder A 230 Dalam Hemik
B 260 Dalam Hemik
C 250 Dalam Hemik
Sumber : Hasil Analisis, 2020

Pemanfaatan lahan gambut sebagai suatu potensi budidaya tanamanan pangan harus
memperhatikan ketebalan gambut. Hal ini dikarenakan semakin tebal tanah gambut, maka
semakin rendah pula potensinya untuk budidaya tanaman pangan dan hortikultura
(Masganti et al, 2017).

4.1.2 Bobot Isi

Bobot isi (bulk density) atau biasa disebut juga dengan berat volume merupakan
sifat fisik tanah yang menunjukkan padatan dalam suatu volume tertentu. Bobot isi
dinyatakan dalam satuan g cm-3 atau kg dm-3 atau tm-3 (Wihardjaka et al, 2014). Tanah
dengan nilai bobot isi relatif rendah umumnya mempunyai porositas yang tinggi, sehingga
potensi menyerap dan menyalurkan air menjadi tinggi, namun jika nilai bobot isi terlalu
rendah menyebabkan tanah mempunyai daya menahan beban (bearing capacity) yang
rendah (Agus dan Subiksa, 2008 ; Kechavarzi et al, 2010). Bobot isi tanah gambut dapat
dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Bobot Isi Tanah Gambut

Bobot
No Kode Sampel isi
(gr/cm3)

1 Sawit A 30 1,03
2 Sawit B 30 1,03
3 Sawit C 30 1,11
Bobot
No Kode Sampel isi
(gr/cm3)

4 Sawit A 60 1,05
5 Sawit B 60 1,04
6 Sawit C 60 1,07
7 Jahe A 30 1,13
8 Jahe B 30 1,22
9 Jahe C 30 1,05
10 Jahe A 60 1,09
11 Jahe B 60 1,10
12 Jahe C 60 1,20
13 Karet A 30 1,06
14 Karet B 30 1,03
15 Karet C 30 1,04
16 Karet A 60 1,03
17 Karet B 60 1,02
18 Karet C 60 1,07
19 Sekunder A 30 1,06
20 Sekunder B 30 1,04
21 Sekunder C 30 1,04
22 Sekunder A 60 1,05
23 Sekunder B 60 1,03
24 Sekunder C 60 1,02
Sumber : Hasil Analisis, 2020

Bobot isi tanah gambut yang sangat rendah yaitu <0,1 g cm- 3 ditemukan pada
gambut fibrik (mentah) yang terletak di lapisan bawah, sedangkan sesuai lokasi penelitian
yang terletak di jalur aliran sungai, gambut pantai dan gambut yang terletak di jalur aliran
sungai memiliki bobot isi yang relatif lebih tinggi, yakni >0,2 g cm- 3 karena adanya
pengaruh bahan mineral (Wawan dan Perdana,2015). Tingkat kematangan gambut
berpengaruh terhadap besarnya bobot isi, semakin matang gambut, rata-rata bobot isi
gambut menjadi lebih tinggi (Dariah et al, 2012).

Peningkatan kepadatan berdampak pada peningkatan nilai bobot isi tanah gambut
hingga kedalaman tertentu. Tekanan atau pemadatan menyebabkan butiran dan serat-serat
gambut bergerak dan mengisi pori-pori makro, sehingga tanah gambut menjadi lebih padat
Pengaruh tekanan beban dari atas menyebabkan adanya proses pemampatan bahan
penyusun tanah gambut dan terjadi pengurangan rongga-rongga udara, hal ini dapat
menyebabkan peningkatan nilai bobot isi tanah gambut (Wawan dan Perdana, 2015).

Apabila nilai bobot isi gambut rendah menunjukkan perlunya perhatian dalam
pemanfaatan lahan gambut. Selain berhubungan dengan kemampuan tanah gambut itu
sendiri dalam menahan beban tanaman, penetrasi akar tanaman, hingga semua aktifitas fisik
yang dapat berpengaruh terhadap bobot isi. Sifat fisik gambut seperti bobot isi berkaitan
dengan daya menahan beban tanaman, dimana bobot isi yang rendah berimplikasi pada
daya menahan beban tanaman yang rendah (Hartatik et al, 2011).

4.1.3 Berat Jenis Partikel

Berat jenis partikel atau biasa disebut dengan kepadatan jarah (particle density)
adalah perbandingan massa total fase padat tanah (Ms) dan volume fase padat (Vs). Massa
bahan organik dan organik diperhitungkan sebagai massa padatan tanah dalam penentuan
berat jenis partikel tanah (Agus dan Marwanto 2006). Massa bahan organik dan anorganik
diperhitungkan sebagai massa padatan tanah dalam penentuan berat jenis partikel tanah.
Berat jenis berhubungan langsung dengan bobot isi (bulk density), volume udara tanah,
serta kecepatan sedimentasi partikel di dalam zat cair (Haryati, 2014). Hasil analisis berat
jenis partikel tanah gambut dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Berat Jenis Partikel Tanah Gambut

Berat Jenis
N
Kode Sampel Partikel
o (gr/cm3)

1 Sawit A 30 1,45
2 Sawit B 30 1,39
3 Sawit C 30 1,74
4 Sawit A 60 1,35
5 Sawit B 60 1,45
Berat Jenis
N
Kode Sampel Partikel
o (gr/cm3)

6 Sawit C 60 1,34
7 Jahe A 30 1,16
8 Jahe B 30 1,68
9 Jahe C 30 1,29
10 Jahe A 60 1,33
11 Jahe B 60 1,10
12 Jahe C 60 1,87
13 Karet A 30 1,27
14 Karet B 30 1,02
15 Karet C 30 1,02
16 Karet A 60 1,10
17 Karet B 60 1,07
18 Karet C 60 1,28
Sekunder A
19 30 1,26
Sekunder B
20 30 1,46
Sekunder C
21 30 1,17
Sekunder A
22 60 1,40
Sekunder B
23 60 1,36
Sekunder C
24 60 1,17
Sumber : Hasil Analisis, 2020

Berdasarkan hasil analisis berat jenis partikel tanah gambut pada lahan sawit
diketahui nilai berat jenis partikel berkisar antara 1,34-1,74 gr/cm 3, berat jenis partikel
tanah gambut pada lahan jahe berkisar antara 1,1-1,97 gr/cm 3, berat jenis partikel tanah
gambut di lahan karet berkisar antara 1,02-1,61 gr/cm3 berat jenis partikel terendah
ditemukan pada lahan karet dengan nilai 1,02 gr/cm3 dan berat jenis partikel tanah gambut
pada lahan sekunder berkisar antara 1,05-1,49 gr/cm3. Nilai densitas partikel 1,4 g / cm3
yang saat ini digunakan sebagai acuan tergolong rendah. Nilai berat jenis partikel gambut
tropis dan subtropis yang bervariasi di atas 1,4 g / cm 3 (Faoziah et al, 2019). Angka berat
jenis partikel harus lebih tinggi dibandingkan nilai bobot isi, karena semua pori sudah
dikeluarkan. Nilai berat jenis partikel yang semakin besar terhadap nilai bobot isi, maka
kandungan ruang pori di dalam tanah juga menjadi besar. Demikian juga sebaliknya jika
angka berat jenis partikel tetap akan tetapi nilai bobot isi makin besar, maka dipastikan total
pori tanah semakin sedikit (Munir dan Herman, 2019).

4.1.4 Porositas

Porositas merupakan proporsi ruang pori (ruang kosong) yang terdapat dalam suatu
volume tanah yang ditempati oleh air dan udara. Porositas yang tinggi menunjukkan jumlah
pori dalam tanah tersebut sangat besar sehingga membuat tanah menjadi lebih porous dan
sangat ringan. Porositas juga berkaitan erat dengan tingkat kepadatan tanah, semakin padat
tanah maka porositas tanah semakin kecil dan sebaliknya. Porositas adalah perbandingan
antara volume ruang pori terhadap volume total tanah. Porositas ini dinyatakan dalam
persen (%) (Sundema, 2010). Nilai porositas tanah gambut pada tiap jenis lahan dapat
dilihat pada Tabel 4.4 Porositas Tanah Gambut.

Tabel 4.4 Porositas Tanah Gambut

Porositas
N
Kode Sampel Total
o
(%)

1 Sawit A 30 87,66
2 Sawit B 30 85,84
3 Sawit C 30 91,88
4 Sawit A 60 84,05
5 Sawit B 60 86,51
6 Sawit C 60 83,76
7 Jahe A 30 81,99
8 Jahe B 30 83,90
9 Jahe C 30 84,13
10 Jahe A 60 83,21
11 Jahe B 60 79,14
12 Jahe C 60 83,45
13 Karet A 30 81,43
Porositas
N
Kode Sampel Total
o
(%)

14 Karet B 30 80,42
15 Karet C 30 70,69
16 Karet A 60 82,43
17 Karet B 60 84,85
18 Karet C 60 83,13
19 Sekunder A 30 87,44
20 Sekunder B 30 94,25
21 Sekunder C 30 84,74
22 Sekunder A 60 94,11
23 Sekunder B 60 91,81
24 Sekunder C 60 92,65
Sumber : Hasil Analisis, 2020

Tanah gambut yang belum terdekomposisi memiliki porositas yang sangat tinggi
dengan ruang pori yang cukup besar dan memiliki sifat yang sangat kompresibel (Norsiah
et al, 2017). Tanah gambut memiliki nilai porositas yang tinggi jika dibandingkan dengan
tanah mineral. Tanah gambut memiliki nilai porositas mulai dari 80% hingga 97%
sedangkan tanah mineral memiliki nilai porositas 35% hingga 50% (Prabandini, 2016).
Hasil penelitian menunjukkan nilai porositas gambut pada lahan sawit berkisar antara
83,76% hingga 91,88%. Nilai porositas gambut pada lahan jahe berkisar antara 79,14%
hingga 84,13% sedangkan nilai porositas gambut pada lahan karet yaitu 70,69% hingga
84,85% dimana 70,69% merupakan hasil nilai porositas terendah diantara ke empat jenis lahan.
Nilai porositas lahan sekunder yaitu berkisar 84,74% hingga 94,11% dimana 94,11% merupakan
nilai porositas gambut tertinggi dari empat jenis lahan yang berbeda.

Derajat dekomposisi mempengaruhi porositas gambut, dan porositas dikontrol oleh ukuran
partikel dan struktur gambut. Peningkatan dekomposisi membuat ukuran partikel bahan organik
menurun (Huat et al, 2011). Perbedaan porositas tanah gambut menyebabkan perbedaan
kemampuan menahan air. Porositas berkorelasi positif terhadap kedalaman atau tingkat kematangan
gambut. Semakin tebal gambut, maka semakin tidak matang gambut, Semakin tidak matang
gambut, maka semakin tinggi porositas dan semakin tinggi kemampuan menahan. Hal ini
disebabkan bobot isi gambut mentah (fibrik) lebih rendah dibandingkan gambut saprik (Masganti et
al, 2012). Akibat konversi lahan menjadi lahan perkebunan sawit, jahe, dan karet berakibat pada
meningkatnya kepadatan tanah yang tinggi dan tingkat porositas atau distribusi pori tanah akan
semakin menurun (Surya et al, 2017). Porositas dan distribusi ukuran pori mempengaruhi aliran dan
penyimpanan air di gambut, karena porositas yang tinggi gambut dapat menyimpan air lebih tinggi
(Sufardi et al, 2016). Keberadaan ruang pori tanah merupakan media untuk udara dalam
menunjang pernafasan akar, aktivitas mikro organisme, dan penyerapan unsur hara
(Rustam et al, 2016).
4.1.5 Permeabilitas

Permeabilitas juga dikenal sebagai konduktivitas hidrolik jenuh. Istilah


permeabilitas didefinisikan oleh beberapa ahli dalam kalimat yang berbeda tetapi
mengandung arti yang sama (Asmaranto et al, 2016). Permeabilitas tanah adalah sifat yang
menyatakan laju pergerakan suatu zat cair didalam tanah melalui media berpori-pori makro
maupun mikro baik daerah vertikal maupun horizontal (Rustam et al, 2016). Kemampuan
ini berlaku dalam dua kondisi yaitu pada saat semua pori-pori terisi air (jenuh) dan saat
hanya sebagian pori-pori yang terisi air (tidak jenuh). Jumlah dan kecepatan air yang
mengalir dalam profil tanah sangat dipengaruhi oleh sifat fisik tanah khususnya ukuran pori
tanah (Prabandini, 2016). Nilai permeabilitas hasil penelitian pada 4 jenis lahan dapat
dilihat pada Tabel 4.5

Tabel 4.5 Permeabilitas Tanah Gambut

Permeabilitas
No Kode Sampel
(cm/detik)

1 Sawit A 30 6,1E-06
2 Sawit B 30 2,1E-06
3 Sawit C 30 7,3E-06
4 Sawit A 60 6,1E-06
5 Sawit B 60 3,2E-06
6 Sawit C 60 8,0E-06
7 Jahe A 30 2,3E-06
Permeabilitas
No Kode Sampel
(cm/detik)

8 Jahe B 30 5,5E-06
9 Jahe C 30 2,7E-06
10 Jahe A 60 3,9E-06
11 Jahe B 60 9,0E-06
12 Jahe C 60 4,1E-06
13 Karet A 30 6,1E-06
14 Karet B 30 1,5E-06
15 Karet C 30 2,5E-06
16 Karet A 60 1,1E-05
17 Karet B 60 2,6E-06
18 Karet C 60 2,7E-06
19 Sekunder A 30 2,3E-06
20 Sekunder B 30 1,1E-06
21 Sekunder C 30 2,8E-06
22 Sekunder A 60 6,7E-06
23 Sekunder B 60 7,4E-06
24 Sekunder C 60 6,1E-06
Sumber : Hasil Analisis, 2020

Hasil analisis permeabilitas pada tanah gambut lahan sawit berkisar antara 2,1 x10-6
cm/detik hingga 8 x10-6 cm/detik. Lahan jahe memiliki nilai permeabilitas 2,3 x10-6 cm/detik
hingga 9 x10-6 cm/detik yang merupakan nilai konduktivitas hidrolik paling rendah,
sedangkan lahan karet memiliki nilai permeabilitas 1,5 x10-6 cm/detik hingga 1,1 x10-5
cm/detik. Nilai permeabilitas lahan sekunder yaitu 1,1 x10-6 cm/detik hingga 7,4 x10-6
cm/detik. Permeabilitas atau konduktivitas hidrolik adalah fungsi dari ruang yang
terhubung dalam media berpori, serta sifat-sifat fluida seperti viskositas. Pada tanah
gambut, ruang pori yang besar ditemukan di lapisan atas yang kurang terdekomposisi dan
biasanyamemiliki konduktivitas hidrolik tertinggi. Karena perbedaan dekomposisi
gambutdan tipe vegetasi, konduktivitas hidrolik gambut sangat bervariasi
(Prabandini,2016).
Gambut pada lahan penelitian merupakan jenis gambut tropis, gambut tropis
memiliki perbedaan karakteristik vegetasi dengan gambut subtropis. Hal ini menyebabkan
nilai konduktivitas hidrolik yang dimiliki oleh gambut tropis berbeda dengan gambut
subtropis. Gambut tropis memiliki nilai konduktivitas hidrolik yang lebih besar jika
dibandingkan dengan gambut subtropis. Nilai gambut tropis menurut beberapa literatur
berkisar antara 10-5 - 10-3 cm/detik (Katimon dan Mutalib ,1997; Sayok et al, 2008; Melling
et al, 2007), sedangkan rentang nilai gambut subtropis yakni 10-8 - 10-2 cm/detik
(Kneale,1987 ; Gnatowski et al.2010). Gambut tropis didominasi oleh pohon-pohon yang
merupakan spesies utama pembentuk gambut, sedangkan gambut subtropis didominasi oleh
rumput dan semak-semak rendah. Akibatnya gambut tropis memiliki konduktivitas hidrolik
lebih tinggi, terutama di lapisan atas karena memiliki pori yang lebih besar dari sisa-sisa
pohon (Page et al. 2009).
Nilai permeabilitas yang didapat dari hasil penelitian ini lebih rendah dari nilai
gambut tropis berdasarkan beberapa penelitian lain. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi rendahnya nilai permeabilitas diantaranya jenis bahan gambut, tingkat
dekomposisi, dan bobot isi (bulk density) (Andriesse,1988). Nilai konduktivitas hidrolik
dengan vegetasi berupa pohon-pohon lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai
konduktivitas hidrolik pada vegetasi berupa semak-semak. Hal ini dikarenakan aktivitas
akar pada pepohonan lebih tinggi dari aktivitas akar serabut pada semak-semak, sehingga
permukaan dibawah pepohonan memiliki pori-pori yang lebih besar dan nilai konduktivitas
hidrolik yang lebih tinggi (Prabandini,2016). Konduktivitas hidrolik akan semakin kecil
seiring dengan bertambahnya kedalaman . Hal ini dikarenakan tingkat kematangan gambut
yang berbeda. Semakin dalam, tingkat dekomposisi gambut semakin tinggi. Hal ini
menyebabkan porositas tanah berkurang, sehingga pori-pori yang terdapat dalam gambut
akan semakin sedikit (Andriesse,1988). Semakin besar nilai bobot isi (bulk density) maka
nilai konduktivitas hidrolik akan semakin kecil dikarenakan sedikitnya rongga dalam tanah,
yang akan menghambat pergerakan air (Lewis et al, 2011).
4.1.5 Kadar Serat
Tingkat kematangan gambut dapat diketahui melalui nilai kadar serat
(Wahdah,2018). Kematangan gambut adalah tingkat pelapukan dari bahan organiknya,
yaitu dicirikan oleh kandungan atau kadar serat. Kadar serat atau kandungan serat gambut
merupakan ukuran derajat dekomposisinya yang mencerminkan struktur tanah
(Radjagukguk,2000). Tingkat kematangan gambut disebut fibrik apabila bahan organiknya
mengandung kadar serat tinggi (>75%) dan disebut hemik apabila mengandung kadar serat
sedang (15 - 75%) serta disebut saprik apabila mengandung kadar serat rendah (<15%)
(Agus et al, 2011). Hasil pengukuran nilai kadar serat gambut pada 4 jenis lahan yang
berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.6 Kadar Serat Gambut
Tabel 4.6 Kadar Serat Gambut

Kadar
No Kode Sampel Serat
Utuh (%)

1 Sawit A 30 36
2 Sawit B 30 40
3 Sawit C 30 32
4 Sawit A 60 38
5 Sawit B 60 30
6 Sawit C 60 36
7 Jahe A 30 30
8 Jahe B 30 30
9 Jahe C 30 30
10 Jahe A 60 32
11 Jahe B 60 28
12 Jahe C 60 28
13 Karet A 30 20
14 Karet B 30 20
15 Karet C 30 32
Kadar
No Kode Sampel Serat
Utuh (%)

16 Karet A 60 28
17 Karet B 60 30
18 Karet C 60 30
19 Sekunder A 30 28
20 Sekunder B 30 24
21 Sekunder C 30 30
22 Sekunder A 60 30
23 Sekunder B 60 32
24 Sekunder C 60 36
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Berdasarkan hasil analisis nilai kadar serat gambut pada 4 jenis lahan yang berbeda
dapat dilihat bahwa rata – rata nilai kadar serat gambut berkisar antara 20 – 36% yang
berarti tingkat kematangan gambut pada 4 jenis lahan yang berbeda tersebut adalah hemik
(setengah matang). Gambut hemik atau gambut setengah matang telah mengalami
perubahan pemanfaatan dan fungsinya yang dapat menimbulkan sifat kering tak balik,
cepat ambelas (subsiden), serta mudah melepaskan air apabila terjadi kerusakan
(Wahdah,2018). Tanah gambut dengan tingkat kematangan hemik memiliki kandungan
bahan organik yang juga tinggi hanya saja bahan organik tersebut belum melapuk secara
sempurna sehingga belum dapat menyediakan hara yang cukup bagi tanaman budidaya
(Dariah et al,2014).

4.1.6 Kadar Air


Tanah gambut memiliki kandungan air yang sangat besar sehingga dapat dikatakan
satu diantara struktur utama pembentuk tanah gambut adalah air (Nurdin,2011). Tanah
gambut mempunyai kapasitas mengikat atau memegang air yang relatif sangat tinggi.
Kapasitas mengikat air maksimum untuk gambut fibrik adalah 580-3000 %, untuk gambut
hemik 450-850 % dan untuk gambut saprik < 450 %. Kedalaman lapisan tanah
menentukan volume simpan air tanah, semakin dalam suatu lapisan tanah maka kadar air
tanah semakin tinggi. Ini disebabkan semakin dalam lapisan tanah maka kematangan
gambut semakin rendah, sehingga tanah mampu memegang air lebih banyak (Susandi et al,
2015) . Kemampuan tanah gambut menampung air dalam jumlah besar dikarenakan bahwa
jenis tanah ini memiliki serat yang membagi ruang pori menjadi makropori dan mikropori
yaitu bagian terkecil yang terdapat di antara pori gambut itu sendiri, jadi dengan kata lain
gambut memiliki dua kali kemampuan untuk menampung air (Nurdin, 2011). Hasil analisis
nilai kadar air dapat dilihat pada Tabel 4.7 Kadar Air Gambut

Tabel 4.7 Kadar Air Gambut

Kadar Air
N
Kode Sampel Kondisi
o
Lapangan (%)

1 Sawit A 30 494,92
2 Sawit B 30 458,49
3 Sawit C 30 688,37
4 Sawit A 60 405,62
5 Sawit B 60 466,21
6 Sawit C 60 430,39
7 Jahe A 30 434,09
8 Jahe B 30 313,56
9 Jahe C 30 428,63
10 Jahe A 60 391,75
11 Jahe B 60 417,37
12 Jahe C 60 281,74
13 Karet A 30 363,07
14 Karet B 30 440,68
15 Karet C 30 270,16
16 Karet A 60 465,87
17 Karet B 60 574,47
18 Karet C 60 413,00
Sekunder A
19 30 587,16
Sekunder B
20 30 1196,37
Sekunder C
21 30 519,60
Sekunder A
22 60 1191,57
Sekunder B
23 60 857,00
Sekunder C
24 60 1183,32
Sumber : Hasil Analisis, 2020
Nilai kadar air pada lahan sawit diketahui berkisar antara 405,62 – 688,37% ,
sedangkan pada lahan jahe berkisar antara 281,74 - 434,09%, untuk lahan karet berkisar antara
270,16 - 574,47% dan lahan sekunder 519,60 - 1196,37%. Hasil analisis nilai kadar air
menunjukkan nilai yang bervariasi hal ini dapat disebabkan ketersediaan air tanah bukan hanya
berdasarkan kematangannya saja, tetapi dipengaruhi juga oleh curah hujan atau air irigasi,
kemampuan tanah menahan air, evapotranspirasi, dan tinggi muka air tanah (Saribun, 2007). Kadar
air selain dipengaruhi oleh disebabkan oleh kepadatan tanah, karena tanah akan lebih sedikit
memegang air (Mardina, 2006).

4.2 Tinggi Muka Air Tanah dan Saluran

Gambut merupakan jenis tanah yang jenuh air dan dapat menyimpan air 1-13 kali
bobotnya (Dariah et al. 2011). Konversi lahan gambut yang marak terjadi, menyebabkan
degradasi lahan hutan gambut (Miettinen et al, 2012). Degradasi lahan ini membuat hutan
primer rawa gambut berubah menjadi hamparan luas hutan sekunder, perkebunan ataupun
hanya lahan rumput alang-alang. Pembukaan lahan gambut sering kali menggunakan api
yang dapat memicu kebakaran lahan (Page et al, 2012). Kebakaran karena pembukaan
lahan gambut erat kaitannya dengan penurunan muka air tanah karena membuat permukaan
lahan gambut yang terdiri dari bahan organik akan menjadi kering dan mudah terbakar.
Selain itu konversi atau alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan keberadaan saluran
drainase lahan yang secara langsung mengakibatkan rendahnya tinggi muka air di lahan
gambut. Tinggi muka air tanah sangat penting bagi kelangsungan lingkungan lahan gambut
(Wakhid et al, 2019). Penelitian ini melihat pengaruh konversi lahan gambut menjadi empat
jenis lahan yang berbeda yaitu perkebunan sawit, kebun jahe, kebun karet dan lahan
sekunder terhadap tinggi muka air dan saluran.
4.2.1 Tinggi Muka Air

Perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut memerlukan sistem drainase sebagai
pengatur kedalaman muka air tanah. Kedalaman muka air yang sesuai dapat menjaga
kelembaban tanah dan meningkatkan aerasi. Aerasi yang baik dapat mempengaruhi
perakaran sehingga meningkatkan serapan hara, air serta produktivitas kelapa sawit
(Wawan et al,2019). Kebakaran akibat pembukaan lahan sawit masih banyak terjadi di
lahan gambut sehingga pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 57 tahun 2016.
Pasal 23 ayat 3 pada Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa ekosistem gambut
dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila kedalaman muka air tanah di lahan
gambut lebih dari 40 cm di bawah permukaan gambut pada titik penataan. Hasil
pengukuran nilai Tinggi Muka Air Tanah (TMA) pada lahan sawit diapatkan hasil sebagai
berikut :

Gambar 4. 1 Tinggi Muka Air Lahan Sawit


Kelapa sawit merupakan satu diantara tanaman perkebunan yang dapat tumbuh
dengan cukup baik pada gambut kedalaman lebih dari 300 cm (Wahyunto,2010). Namun,
budidaya kelapa sawit pada lahan gambut dapat terkendala oleh pH yang rendah (Cheah
dan Husni,2013). Meskipun kelapa sawit toleran terhadap pH yang rendah (ph<4) namun
tanaman kelapa sawit dapat keracunan Al yang menyebabkan fungsi akar melemah dan
terhambatnya pemanjangan akar (Sun et al,2011). Nilai tinggi muka air tanah pada lahan
perkebunan sawit berkisar antara 18,5 hingga 38,5 cm, nilai tersebut masih dikategorikan
dibawah kriteria gambut dinyatakan rusak yaitu pada kedalaman 40 cm. Kelapa sawit
memiliki kedalaman permukaan air tanah optimum yaitu 60-70 cm (Noor et al., 2013).

Jahe (Zingiber officinale Rosc) merupakan salah satu komoditas yang sudah sejak
ribuan tahun yang lalu digunakan sebagai bagian dari ramuan rempah-rempah yang
diperdagangkan secara luas di dunia. Masyarakat Indonesia umumnya telah mengenal dan
memanfaatkan tanaman ini dalam kehidupan sehari-hari untuk berbagai kepentingan
seperti: campuran bahan makanan, minuman, kosmetik, parfum dan lain-lain mulai dari
tingkat tradisional di pedesaan sampai tingkat modern di perkotaan (Samiri et al,2019).
Jahe termasuk dalam tanaman perkebunan, industri, dan obat-obatan yang dapat diusahakan
pada lahan gambut dengan kedalaman <0,5 meter- 2 meter (Agus F,2016). Nilai Tinggi
Muka Air Tanah pada lahan kebun jahe adalah sebagai berikut:
Gambar 4. 2 Tinggi Muka Air Lahan Jahe

Tinggi muka air di lahan jahe masih dibawah kriteria baku kerusakan ekosistem gambut,
berdasarkan Nilai Tinggi Muka Air (TMA) yang diperoleh yaitu berkisar antara 10,5 – 38,5
cm.

Tanaman karet merupakan satu diantara tanaman yang menjadi alternative tanaman
di lahan gambut. Karet merupakan tumbuhan yang tinggi, biasanya lurus, berbatang besar,
ketinggian pohon dapat mencapai 15-25 meter pada usia dewasa, dan percabangan berada
pada di atas pada ketinggian tertentu dari pohon (Pusdatin, 2016). Dalam keadaan normal,
tanaman karet akan siap disadap pada umur 5-6 tahun dengan lilit batangnya sudah
mencapai 45 cm atau lebih (Syukur, 2015). Nilai Tinggi Muka Air (TMA) pada lahan karet
adalah sebagai berikut :
Lahan Karet Bulan Juli 2020
70

60

50

40
Tinggi Muka AIr (cm)

30

20

10

0
1A 2A 3AB 4A 5A 1B 2B 3AB 4B 5B

Waktu Pengukuran Hari ke-


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4. 3 Tinggi Muka Air Lahan Karet

Nilai Tinggi Muka Air (TMA) yang diperoleh yaitu berkisar antara 34,5 – 68 cm, cukup
tinggi apabila dibandingkan dengan jenis lahan yang lain. Kedalaman air tanah optimum
untuk pertumbuhan tanaman umumnya berbeda-beda. Tanaman karet memerlukan
kedalaman permukaan air tanah 60-100 cm (Noor, 2001). Semakin dalam muka air tanah
di lahan gambut berarti ketersediaan oksigen lebih banyak yang menstimulasi pertumbuhan
akar vertikal sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih baik (Supriyo et al., 2009).
Pengaturan terhadap muka air tanah antara 60-100 cm bertujuan agar akar tanaman dapat
tumbuh dengan lebih leluasa dan sekaligus mengurangi resiko kebakaran(Noor, 2001).
Lahan Sekunder adalah lahan yang tumbuh dan berkembang secara alami sesudah
terjadi kerusakan/perubahan pada lahan primer, pada lahan gambut ini pernah mengalami
kebakaran pada tahun 2017. Gambut yang terdegradasi kehilangan kemampuan menyerap
dan menahan air dari tetesan air hujan sehingga sangat rentan terhadap kebakaran (Putra et
al,2018). Nilai Tinggi Muka Air (TMA) pada lahan sekunder adalah sebagai berikut :

Lahan Sekunder Bulan Juli 2020


35

30

25
Tinggi Muka Air (cm)

20

15

10

0
1A 2A 3AB 4A 5A 1B 2B 3AB 4B 5B

Waktu Pengukuran Hari ke-


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4. 4 Tinggi Muka Air Lahan Sekunder

Nilai Tinggi Muka Air (TMA) yang diperoleh pada lahan sekunder yaitu berkisar antara 14
-31,5 cm. Tinggi muka air di lahan sekunder masih dibawah kriteria baku kerusakan
ekosistem gambut yaitu 40 cm. Lahan gambut yang sering terbakar menyebabkan
hilangnya permukaan gambut sehingga tinggi muka air tanah semakin jauh dari permukaan
tanah. Selain itu, lahan yang telah terbakar akan merubah sifat-sifat gambut secara kimia,
fisik dan mikrobiologis (Hirano, 2014). Lahan sekunder gambut yang telah terdegradasi
harus dipertahankan dalam kondisi basah dengan tinggi muka air tanah kurang dari 40 cm
di bawah permukaan gambut (Putra et al,2018) tetapi tinggi muka air tanah permukaan
gambut yang lebih rendah harus dipertahankan untuk mencegah kejadian kebakaran gambut
di lahan gambut yang kering terdegradasi (Simatupang et al, 2018).

Kedalaman muka air tanah memiliki peranan kunci dalam ekosistem gambut.
Turunnya kedalaman muka air tanah menguntungkan bagi beberapa jenis tanaman, tetapi
dapat menyebabkan gambut menjadi kering tak balik dan meningkatkan laju dekomposisi.
Tinggi muka air tanah yang optimum berkisar 60–100 cm untuk mencegah kekeringan dan
kebakaran, 40–50 cm untuk mencegah ambelasan, dan 30–40 cm untuk mendukung
pertumbuhan tanaman palawija (Noor,2001). Beberapa jenis tanaman berbeda-beda
keperluan kedalaman permukaan air sesuai dengan sifat dan kondisi perakarannya.
Kedalaman permukaan air tanah pada lahan diusahakan agar tidak terlalu jauh dari akar
tanaman, jika permukaan air terlalu dalam maka oksidasi berlebih akan mempercepat
perombakan gambut, sehingga gambut cepat mengalami subsiden ( Nurmili,2014).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa muka air tanah semakin dekat dari saluran
drainase, maka permukaan air tanah akan semakin dalam. Hal ini disebabkan oleh
pergerakan air tanah semakin tinggi, sehingga terjadi pengurangan kadar air tanah gambut
akibat pengeringan, yang menyebabkan daya retensi air tanah berkurang, pembuatan
saluran drainase sangat mempengaruhi penurunan muka air tanah gambut (Azri, 1999).

4.2.2 Saluran

Kondisi lahan gambut dalam keadaan alamiah selalu tergenang air sepanjang tahun,
sehingga tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai lahan budidaya pertanian,
kecuali terlebih dahulu dibuat saluran drainase. Fungsi drainase adalah untuk membuang
kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan
mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase
maka hasil tanaman semakin tinggi. Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan
tanaman, namun semakin dalam saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden dan
dekomposisi gambut (Agus dan Subiksa,2008). Pembukaan lahan dan pembuatan saluran
drainase menyebabkan perubahan kondisi hidrologis lahan dan perubahan sifat kimia tanah
gambut yang berpotensi mengganggu stabilitas ekosistem (McCormick et al. 2011).

Perubahan tersebut disebabkan karena keseimbangan alamiah berubah dari suasana


reduktif menjadi oksidatif. Reaksi kimia, biokimia, dan mikrobiologis dalam suasana
oksidatif akan lebih aktif. Oksidasi bahan metan, sulfida, fero, ammonium dan mangan,
serta percepatan oksidasi bahan organik menghasilkan senyawa-senyawa lebih sederhana
dan sebagian besar berupa asam-asam organik dalam bentuk terlarutkan, disamping
nutrisi/hara. Oleh karena itu, prinsip utama dari pengaturan tata air di lahan gambut yang
dibudidayakan untuk tanaman pertanian adalah harus mampu menekan terjadinya
penurunan fungsi lingkungan dari lahan gambut akibat dilakukannya proses drainase/
penurunan muka air tanah, namun tetap bisa memenuhi syarat tumbuh tanaman yang
dibudidayakan (Dariah dan Maswar,2016). Nilai hasil pengukuran saluran pada empat jenis
lahan dapat dilihat pada Tabel 4.8 Dimensi Saluran.

Lebar Kedalaman Ketinggian


Nama Saluran saluran Saluran Air Saluran
(cm) (cm) (cm)
Saluran Depan Sawit 200 150 95
Saluran Samping Sawit 40 60 10
Saluran Depan Jahe 200 150 90
Saluran Samping Jahe 40 60 10
Saluran Depan Karet 450 350 45
Saluran Samping Karet 40 50 30
Saluran Depan Sekunder 450 350 45
Saluran Samping Sekunder 50 70 30
Sumber : Hasil Analisis, 2020

Dimensi saluran (primer, sekunder, dan tersier) juga harus disesuaikan dengan luas
kawasan dan komoditas yang dikembangkan (Subiksa et al., 2011). Misalnya tanaman
semusim (pangan dan sayuran) yang pada penelitian ini berupa tanaman jahe memerlukan
drainase yang relatif dangkal, yaitu berkisar antara 20-30 cm, sedangkan tanaman tahunan
seperti kelapa sawit dan karet memerlukan kedalaman muka air tanah yang lebih dalam,
dan bervariasi antar tanaman tahunan. Tanaman karet memerlukan saluran drainase mikro
sekitar 20 cm, sedangkan tanaman kelapa sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-
80 cm (Agus dan Subiksa,2008) dengan permukaan air di saluran utama selalu
dipertahankan pada kedalaman 60 sampai 70 cm di bawah permukaan lahan, dengan
harapan muka air tanah di pertanaman sawit berkisar antara 40 sampai 60 cm (Sabiham dan
Sukarman,2012). Kondisi muka air tanah gambut selain dipengaruhi oleh pembukaan
saluran drainase juga dipengaruhi oleh faktor iklim, terutama curah hujan (Susandi et
al,2015). Jumlah curah hujan di Kecamatan Terentang pada tahun 2020 dapat dilihat pada
Tabel 4.9. Jumlah Curah Hujan di Kecamatan Terentang

Tabel 4. 9 Jumlah Curah Hujan di Kecamatan Terentang

Tahun 2020
Jumlah Curah Jumlah Hari
No Bulan
Hujan Hujan
(mm) (hh)
1 Januari 251 11
2 Februari 220 8
3 Maret 257 8
4 April 350 12
5 Mei 270 6
6 Juni 480 10
7 Juli 369 16
8 Agustus 278 12
9 September 276 13
Sumber : PT. Bumi Perkasa Gemilang, 2020

Pada penelitian terdahulu diketahui jumlah curah hujan dan nilai Tinggi Muka Air Tanah
(TMA) menunjukkan nilai yang linier yaitu apabila nilai curah hujan tinggi maka nilai
Tinggi Muka Air Tanah (TMA) juga akan ikut meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh
sifat fisik gambut yaitu konduktivitas tanah yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap
fluktuasi Tinggi Muka Air Tanah (TMA). Selain mempengaruhi muka air tanah , hujan
juga menyebabkan kenaikan muka air di saluran Hafiyyan et al (2017)
Prinsip utama dari pengaturan tata air di lahan gambut yang dibudidayakan untuk
tanaman pertanian adalah harus mampu menekan terjadinya penurunan fungsi lingkungan
dari lahan gambut akibat dilakukannya proses drainase/penurunan muka air tanah, namun
tetap bisa memenuhi syarat tumbuh tanaman yang dibudidayakan. Oleh karena itu, tinggi
muka air tanah harus diatur sampai batas minimal dimana tanaman masih mampu tumbuh
dengan baik. Artinya tinggi muka air tanah harus diatur supaya tidak terlalu dangkal dan
tidak terlalu dalam (Dariah dan Maswar,2016).

4.3 Kualitas Air

Kenampakan fisik khas air gambut dicirikan oleh warna larutan kuning-coklat yang
kepekatannya memberikan gambaran tentang kualitas airnya. Warna kuning-coklat air
gambut disebabkan oleh kandunngan bahan organik terlarut yang dihasilkan dari pelapukan
sisa tumbuhan. Kualitas air gambut berbanding terbalik dengan kepekatan bahan organik
terlarut. Ciri lain dari air gambut adalah keasaman yang tinggi. Bahan organik terlarut di
dalam air tersebut umumnya dalam bentuk asam organik hasil dekomposisi tumbuhan
berupa asam, sehingga semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin pekat wama air
dan kemasaman semakin meningkat (Syarfi,2007 ; Marlina,2017).

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan


Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, air pada empat jenis lahan berbeda di
lokasi penelitian yaitu Desa Teluk Empening termasuk air klasifikasi mutu air kelas 2, hal
ini dikarenakan air dapat digunakan sebagai air bersih untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, untuk mengairi pertanaman, dan peruntukkan
lainnya. Parameter yang diuji pada penelitian ini diantaranya pH, suhu, DO dan TSS.

4.3.1 Derajat keasaman (pH)

Umumnya air gambut memiliki pH di bawah 6 sedangkan pada air gambut yang
pekat nilai pH bisa mencapai 3.5 (Marlina,2017). Nilai pH menggambarkan seberapa besar
tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Derajat keasaman (pH) merupakan
gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Nilai derajat keasaman (pH)
suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan
pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Karena pH mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kehidupan tumbuhan dan hewan akuatik, maka pH suatu perairan seringkali
dipakai sebagai petunjuk baik atau buruknya perairan sebagai lingkungan hidup
(Effendi,2003). Nilai pH pada empat jenis lahan adalah sebagai berikut :

pH Air
5
4.5
4
3.5 sekunder
3 karet
sawit
2.5 jahe
pH

2
1.5
1
0.5
0
1B 3AB 5B Saluran Depan Saluran Samping

Gambar 4. 5 pH air pada lahan

Hasil pengukuran pH air tanah dan saluran pada ke empat jenis lahan menunjukkan
nilai pH berkisar antara 3,3 - 4,6 dengan 3,3 merupakan nilai pH terendah yang terletak
pada lahan sawit dan 4,6 merupakan nilai pH tertinggi dari lahan sekunder. Dapat diketahui
bahwa daerah penelitian lahan gambut yang dikonversi menjadi lahan sawit, lahan karet,
lahen jahe, dan lahan sekunder memiliki pH yang kurang dari baku mutu sesuai dengan PP
82 tahun 2001 baku mutu air bersih kelas 2 yaitu 6 – 9.

Komposisi tanah gambut yang berbeda menyebabkan kandungan zat organik yang
berbeda juga, serta aktivitas masyarakat saat menggunakan lahan gambut dengan
menggunakan bahan kimia, sehingga mempengaruhi tingkat keasaman dari air gambut
(Arisna dan Rudyansyah,2016). Perubahan pH di suatu air sangat berpengaruh terhadap
proses fisika, kimia, maupun biologi dari organisme yang hidup di dalamnya. Derajat
keasaman berpengaruh terhadap daya racun bahan pencemaran dan kelarutan beberapa gas,
serta menentukan bentuk zat di dalam air (Ningrum,2018).

4.3.2 Suhu

Suhu perairan berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Perubahan suhu


permukaan dapat berpengaruh penting bagi kehidupan organisme di perairan. Aktivitas
metabolisme serta penyebaran organisme air banyak dipengaruhi oleh suhu air (Nontji,
2005). Nilai suhu pada empat jenis lahan adalah sebagai berikut :

Suhu Air
33

32

31
sekunder
karet
30 sawit
Suhu (˚C)

jahe
29

28

27

26
1B 3AB 5B Saluran Depan Saluran Samping

Gambar 4. 6 suhu air pada lahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai suhu rata-rata dari konversi empat jenis
lahan berkisar antara 28-32 oC. Suhu air tertinggi terdapat pada lahan karet yaitu 32 oC. Penyebab
tingginya nilai suhu pada lahan gambut yaitu sampel diambil saat matahari sudah cukup terik dan
penghilangan vegetasi akibat konversi yang dilakukan akan menyebabkan lebih banyak
cahayamatahari yang dapat menembus permukaan air dan kemudian suhu air akan meningkat
(Asdak,2014). Berkurangnya penutupan oleh tumbuhan (kanopi) yang digantikan oleh ladang
menyebabkan efektivitas penyinaran matahari lebih tinggi. Pola ekosistem air dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara
sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga faktor kanopi dari pohon yang ditepi (Kristianiarso et
al, 2013).

4.3.3 TSS (Total Suspended Solid)

TSS (Total Suspended Solid) atau padatan tersuspensi adalah padatan yang
menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut, dan tidak dapat mengendap (Aswir, 2006). TSS
sangat berkaitan erat dengan kekeruhan. Zat yang tersuspensi dalam air gambut berupa
lumpur, pasir dan senyawa organik dan anorganik. Kandungan TSS yang tinggi dapat
menyebabkan penurunan kualitas air sehingga tidak layak dikonsumsi, semakin tinggi
kandungan TSS pada air maka air akan mengandung gumpalan partikel mikro yang
sebelumnya belum menggumpal. TSS dapat ditemukan pada seluruh air tercemar akibat
industri maupun yang diakibatkan oleh alam seperti air gambut (Said et al,2019). Ambang
batas padatan mengendap minimum yang diperbolehkan sebesar 50 mg/L sesuai PP No.82
Tahun 2001. Nilai TSS air pada empat jenis lahan adalah sebagai berikut :

TSS Air
600

500

400 sekunder
karet
sawit
TSS (mg/l)

300 jahe

200

100

0
1B 3AB 5B Saluran DepanSaluran Samping

Gambar 4. 7 TSS air pada lahan


Hasil analisis nilai TSS air tanah dan saluran pada keempat jenis lahan
menunjukkan hasil yang bervariasi. Apabila TSS yang tinggi dan melebihi baku mutu yang
ditetapkan maka akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air, sehingga akan
mengganggu proses fotosintesis menyebabkan turunnya oksigen terlarut yang dilepas ke
dalam air oleh tanaman. Jika sinar matahari terhalangi dari dasar tanaman maka tanaman
akan berhenti memproduksi oksigen dan akan mati. TSS juga menyebabkan penurunan
kejernihan dalam air (Purba, 2009). Pada lahan sekunder nilai TSS berkisar antara 6-440
mg/l dimana terdapat dua titik sampel yang melebihi baku mutu yaitu pada pipa 1B sebesar
440 mg/l dan pipa 3AB sebesar 193 mg/l. Lahan sekunder pada lokasi penelitian pernah
mengalami kebakaran pada tahun 2017 yang dapat mengakibatkan deforestasi. TSS dapat
meningkat secara tiba-tiba apabila suatu sub daerah aliran sungai atau saluran drainase
mengalami penurunan penutupan lahan di bawah 30% hal ini dikarenakan adanya
peningkatan deforestasi hutan (Deutsch dan Busby,2000). Sebagian besar kandungan TSS
berupa partikel-partikel tanah yang berasal dari deforestasi hutan gambut.

Degradasi sumber daya alam, khususnya hutan yang ditandai dengan berkurangnya
(deplesi) sumber air permukaan dan air bawah tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Semakin meluasnya tanah kritis dan daerah aliran kritis, semakin meluasnya kerusakan
hutan, hal ini secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kualitas air saluran dan air
tanah lahan sekunder. Sedimen dapat meningkatkan polusi dalam dua bentuk yaitu secara
fisik dan kimia. Polusi secara fisik termasuk sifat turbiditas sedimen (pembatasan penetrasi
matahari dan pengganggu pernafasan ikan) dan sedimentasi (pengurangan kapasitas aliran
di hulu dan hilir). Polusi secara kimia oleh sedimen misalnya pengikatan logam-logam dan
phosphor yang bersifat kimia organik, hidropobik dan hidrofilik (Kiersch, 2000).

Hasil analisis TSS air tanah dan saluran pada lahan yang dikonversi menjadi
perkebunan karet menunjukkan nilai TSS berkisar antara 21-182 mg/l, dari lima titik
sampel 3 diantaranya melebihi nilai baku mutu TSS yaitu pada titik sampel 1B sebesar 182
mg/l, titik sampel 3AB sebesar 90 mg/l dan titik sampel saluran depan 110 mg/l. Pada lahan
sawit semua hasil analisis berada diatas nilai baku mutu yaitu berkisar antara 95-567 mg/l
dimana terdapat nilai TSS tertinggi yaitu 567 mg/l. Sedangkan pada lahan jahe nilai TSS
berkisar antara 26 hingga 221 mg/l dimana hanya terdapat satu titik sampel yang berada
dibawang baku mutu yaitu titik sampel 3AB yaitu 26 mg/l.

TSS dapat meningkat secara tiba-tiba apabila suatu sub daerah aliran sungai atau
saluran drainase apabila terjadi pembukaan lahan pertanian lebih dari 50% (Deutsch dan
Busby,2000). Pengolahan tanah yang intensif akan menghasilkan limbah atau bahan
agrokimia berupa pupuk meliputi pupuk NPK, poska, urea serta adanya pestisida yang
diberikan pada tanaman tidak semuanya diserap tanaman, tetapi sisanya akan terbuang ke
lingkungan perairan melalui saluran drainase. Sistem pertanian dengan memasukkan bahan
organik maupun anorganik tersebut berakibat buruk terhadap kelestarian lingkungan
perairan (Supriharyono,2009).

4.3.4 DO (Dissolved Oxygen)

DO (Dissolved Oxygen) adalah senyawa esensial yang diperlukan untuk


metabolisme semua organisme perairan. Oksigen memegang peranan penting sebagai
indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan
reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan aktivitas
biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Karena proses oksidasi dan
reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi
beban pencemaran pada perairan secara alami (Salmin,2005). Semakin tinggi kandungan
DO maka semakin bagus kualitas air tersebut (Simanjutak,2007). Nilai baku mutu DO
untuk kelas 2 menurut PP No.82 Tahun 2001 yaitu minimum 4 mg/l. Nilai DO air pada
empat jenis lahan adalah sebagai berikut :
DO Air
4

3.5

3
sekunder
2.5 karet
sawit
D0 (mg/l)

2 jahe
1.5

0.5

0
1B 3AB 5B Saluran Depan Saluran Samping

Gambar 4. 8 DO air pada lahan

Hasil analisis DO pada keempat jenis lahan berkisar antara 0,89-3,4 mg/l dengan
nilai DO terendah berada pada lahan karet yaitu sebesar 0,89 mg/l dan nilai DO tertinggi
berda pada lahan sawit sebesar 3,4 mg/l. Semua nilai hasil analisis DO menunjukkan bahwa
nilai DO pada keempat jenis lahan berada dibawah baku mutu minimum air kelas 2 yaitu 4
mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut pada umumnya mengalami penurunan dengan
bertambahnya kedalaman. Hal ini diduga terjadi karena suplai oksigen dari proses
fotosintesis dan difusi menurun (Reebs, 2009). Kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh
intensitas cahaya yang masuk kedalam perairan, dimana kelimpahan fitoplankton menurun
dengan berkurangnya intensitas cahaya yang masuk. Oksigen terlarut berkurang dengan
bertambahnya kedalaman muka air, sementara fotosintesis berlangsung jika unsur hara dan
intensitas cahaya tersedia (Anggraini,2015). Aktivitas pertanian dapat berperan penting
terhadap meningkatnya pasokan limbah bahan kimia dari pupuk maupun pestisida yang
mengandung bahan organik dan padatan tersuspensi sehingga BOD biasanya tinggi,
padatan organik dan anorganik yang mengendap di dasar perairan dan menyebabkan DO
rendah,terakhir mengandung bahan terapung dalam bentuk suspensi sehingga menghambat
laju fotosintesis ( Sugianti dan Astuti,2018)
4.4 Konversi Lahan Gambut

Pertambahan penduduk disertai dengan bertambahnya kebutuhan yang harus


dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan membuat kebutuhan lahan
semakin meningkat yang mengakibatkan lahan gambut dikonversi menjadi lahan produktif
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Fenomena ini dapat dikaitkan dengan berkurangnya
hutan di lahan gambut dan terus meningkatnya permintaan untuk produk pertanian
(Miettinen dkk, 2012). Lahan gambut merupakan ekosistem unik yang memiliki nilai
ekonomi, nilai ekologis dan fungsi lingkungan (Ulya et al,2015). Fungsi ekologis dan
lingkungan antara lain memiliki nilai keragaman hayati yang tinggi, fungsi hidrologi dalam
tata kelola simpan dan lepas air, serta fungsi penyimpanan karbon (Saragi-Sasmito et al.,
2018) yang berkaitan erat dengan mitigasi perubahan iklim. Selain itu, lahan gambut juga
dapat memberikan hasil hutan lainnya (getah jelutung dll), konservasi keanekaragaman
hayati dan pengembangan potensi ekowisata. Dinamika konversi lahan gambut pada Desa
Teluk Empening dapat dilihat pada Gambar 4.9 dan Gambar 4.10

Gambar 4.9. Peta Tutupan Lahan Desa Teluk Empening 2010


Pada Tahun 2010 tutupan lahan Desa Teluk Empening didominasi lahan
perkebunan, hutan sekunder, semak belukar dan tedapat areal permukiman. Namun, seiring
berjalannya waktu dan meningkatnya kebutuhan terhadap lahan, terjadi perubahan tutupan
lahan gambut pada Desa Teluk Empening. Pada Tahun 2020 seiring dengan meningkatnya
kebutuhan lahan dan meningkatnya permintaan produk pertanian, area semak belukar
gambut telah dikonversi menjadi areal persawahan.

Gambar 4.10. Peta Tutupan Lahan Desa Teluk Empening 2020

4.4.1 Biodiversitas Vegetasi

Pada Desa Teluk Empening lahan gambut di konversi menjadi lahan perkebunan
sawit, perkebunan karet, jahe dan bermacam tanaman yang memiliki nilai ekonomi,
permukiman serta lahan sekunder yang sebelumnya pernah mengalamai kebakaran. Pada
penelitian ini sampel lokasi penelitian lahan sawit yang diukur berumur 10 tahun, lahan
karet berumur 15 tahun, lahan jahe baru ditanam oleh masyarakat dan lahan sekunder bekas
terbakar pada tahun 2014 dan 2017. Jenis vegetasi tutupan lahan gambut pada lokasi
penelitian Desa Teluk Empening dapat dilihat pada Tabel 4.10 Jenis Vegetasi Tutupan
Lahan di Desa Teluk Empening.

Tabel 4. 10 Jenis Vegetasi Tutupan Lahan di Desa Teluk Empening

Foto

Jenis Lahan Jahe Lahan Sekunder Lahan Sawit Lahan Karet


Laha
n
Sumber : Dokumentasi, 2020

Berdasarkan Tabel 4. 20 Jenis Vegetasi Tutupan Lahan di Desa Teluk Empening


dapat diketahui bahwa pada lahan jahe jenis tanaman yang ada hanya jahe, sedangkan pada
lahan sekunder yang pernah terbakar terdapat beberapa jenis pohon yang biasa tumbuh
pada lahan gambut serta banyak tumbuhan pakis, pada lahan sawit didominasi pohon sawit
dan pakis, sedangkan pada lahan karet didominasi karet dan tanaman pakis.

Hal ini menunjukkan di lokasi penelitian tersebut vegetasi yang terbentuk


merupakan hasil buatan manusia berupa perkebunan yang sengaja dibentuk seragam
vegetasi yang tumbuh menjadi tutupan lahannya. Kondisi ini bertujuan untuk memenuhi
target produksi dalam peningkatan perekonomian. Perkebunan yang terbentuk melalui
pembukaan lahan gambut yang asli terlebih dahulu untuk menciptakan vegetasi yang
homogen (Irma et al,2018)

Data pengamatan vegetasi digunakan untuk penetapan Indeks Nilai Penting (INP).
Indeks Nilai Penting (INP) dihitung berdasarkan hasil perhitungan besaran: Kerapatan (K),
Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (D) dan
Dominansi Relatif (DR), dengan mengetahui besarnya nilai INP maka akan dapat diketahui
besar kecilnya peranan suatu spesies dalam sebuah komunitas, semakin tinggi nilai INP
suatu spesies maka semakin besar pula peranan spesies tersebut dalam sebuah komunitas.
Hasil analisis vegetasi disajikan pada Tabel 4.11 Analisis Vegetasi

Tabel 4.11 Analisis Vegetasi


Jenis Nama Jenis Vegetasi
K KR F FR D DR INP
Lahan Nama Lokal Nama Ilmiah
Jahe Jahe Zingiber officinale 4,0 100,0 1,0 100,0 - - 200,0
Jumlah 4,0 100,0 1,0 100,0 - - 200,0
Karet Karet Hevea brasiliensis 0,1 32,1 1,0 21,4 0,04 93,7 147,3
pakis udang Stenochlaena palustris 0,1 21,4 1,0 21,4 - - 42,9
Pakis Sayur Nephrolepis bisserata 0,0 16,1 1,0 21,4 - - 37,5
Selai – selai Sageraea Lanceolata 0,0 7,1 0,7 14,3 0,00 5,0 26,4
Cengkodok Melastoma malabathricum 0,1 23,2 1,0 21,4 0,00 1,3 46,0
Jumlah 0,3 100,0 4,7 100,0 0,04 100,0 300,0
Sawit Cengkodok Melastoma malabathricum 0,1 40,9 1,0 20,0 0,00 0,3 61,2
Sawit Elaeis guineensis Jacq 0,0 9,1 1,0 20,0 0,21 94,9 124,0
Tembesu Fagraea cochinchinensis 0,0 1,8 0,3 6,7 0,01 3,5 12,0
pakis udang Stenochlaena palustris 0,0 13,6 0,3 6,7 - - 20,3
Pakis Sayur Nephrolepis bisserata 0,1 22,7 0,3 6,7 - - 29,4
Meranti Shorea dasyphylla 0,0 2,7 1,0 20,0 0,00 0,7 23,4
Simpur Dillenia excelsa 0,0 9,1 1,0 20,0 0,00 0,7 29,8
Jumlah 0,3 100,0 5,0 100,0 0,22 100,0 300,0
Sekunder Temasam Syzgium cerina 0,0 6,4 0,7 8,7 0,01 28,3 43,5
Selai – selai Sageraea Lanceolata 0,0 5,7 0,7 8,7 0,00 6,3 20,7
Tembesu Fagraea cochinchinensis 0,0 0,7 0,3 4,3 0,01 25,8 30,9
Mahang Macaranga motleyana 0,1 15,0 1,0 13,0 0,00 2,7 30,7
Mamali Leea indica 0,0 5,7 0,7 8,7 0,00 5,7 20,1
Meranti Shorea dasyphylla 0,0 2,1 0,3 4,3 0,00 4,5 11,0
Simpur Kijang Dillenia eximia 0,0 3,6 0,7 8,7 0,00 9,5 21,7
Medang Teysmanniodendron pteropodus 0,0 1,4 0,3 4,3 0,00 7,5 13,3
Cengkodok Melastoma malabathricum 0,1 18,6 1,0 13,0 0,00 1,6 33,3
Rambe Ayam Aporosa arborea 0,0 0,7 0,3 4,3 0,00 6,3 11,3
Garung Endospermum malaccense 0,0 0,7 0,3 4,3 0,00 1,6 6,6
Beringin Diospyros laevigata bakh 0,0 0,7 0,3 4,3 0,00 0,2 5,2
pakis udang Stenochlaena palustris 0,1 22,1 0,3 4,3 - - 26,5
Pakis Sayur Nephrolepis bisserata 0,1 15,7 0,3 4,3 - - 20,1
Purupuk Lophophetalum spp 0,0 0,7 0,3 4,3 0,00 0,1 5,1
Jumlah 0,4 100,0 7,7 100,0 0,03 100,0 300,0

Sumber : Hasil Analisis, 2020


Keterangan :
K = Kerapatan D = Dominasi
DR = Dominasi Relatif INP = Indeks Nilai Penting
KR = Kerapatan Relatif F = Frekuensi
FR = Frekuensi Relatif

Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya Indeks NilaPenting
(INP), dimana jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi merupakan jenis yang dominan.
Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuian terhadap
lingkungan yang lebih tinggi dari jenis lain. Suatu jenis dikatakan dominan apabila jenis
tersebut terdapat di daerah yang bersangkutan dalam jumlah yang banyak, tersebar merata
keseluruh areal dan berdiameter besar, sehingga penetapan suatu jenis dominan dengan
berdasarkan suatu indeks yang merupakan gabungan dari tiga nilai yaitu nilai kerapatan,
nilai frekuensi dan nilai dominansi adalah sangat tepat (Yuningsih et al, 2018).

Pada lahan perkebunan yang homogen yang sengaja dibuat untuk kebutuhan
produksi seperti pada lahan sawit, lahan karet dan lahan jahe, nilai INP tertinggi dimiliki
oleh tanaman perkebunan. Nilai INP lahan sawit adalah sebesar 124%, sedangkan pada
lahan karet nilai INP tertinggi tanaman karet adalah 147,3%, dan pada lahan jahe yang
hanya terdapat tanaman jahe dan tidak ada vegetasi lain nilai INP yang dimiliki sebesar
200%. Pada jenis lahan perkebunan sawit dan karet tersebut juga ditemukan jenis vegetasi
lain seperti pakis udang (Stenochlaena palustris), pakis sayur (Nephrolepis biserrata),
cengkodok (Melastoma malabathricum), selai-selai (Sageraea lanceolata), simpur
(Dillenia excelsa), tembesu (Fagraea cochinchinensis) dan meranti (Shorea dasyphylla).

Kedua jenis lahan perkebunan yaitu lahan sawit dan lahan karet memiliki vegetasi
yang cukup beragam, namun diantara beberapa vegetasi tersebut terdapat tanaman yang
cukup mendominasi pertumbuhannya yaitu cengkodok (Melastoma malabathricum), yang
memiliki nilai INP sebesar 61,2% pada lahan sawit dan nilai INP 46% pada lahan karet.
Cengkodok (Melastoma malabathricum) merupakan jenis tumbuhan penyusun vegetasi
hutan rawa gambut.

Pada lahan sekunder yang pernah mengalami kebakaran pada tahun 2017 dan telah
suksesi terdapat beberapa vegetasi diantaranya Temasam (Syzgium cerina), Selai – selai
(Sageraea Lanceolata), Tembesu (Fagraea cochinchinensis), Mahang (Macaranga
motleyana), Mamali (Leea indica), Meranti (Shorea dasyphylla), Simpur Kijang (Dillenia
eximia), Medang (Teysmanniodendron pteropodus), Cengkodok (Melastoma
malabathricum), Rambe Ayam (Aporosa arborea), Garung (Endospermum malaccense),
Beringin (Diospyros laevigata bakh), pakis udang (Stenochlaena palustris), Pakis Sayur
(Nephrolepis bisserata) dan Purupuk (Lophophetalum spp). Vegetasi tersebut memang
banya terdapat pada hutan rawa gambut baik yang alami maupun hasil suksesi. Dari
berbagai vegetasi tersebut yang memiliki nilai INP tertinggi yaitu Temasam (Syzgium
cerina) sebesar 43,5%, tumbuhan ini dapat mendominansi hal ini dapat disebabkan karena
sifatnya yang cepat tumbuh dan menghasilkan banyak biji. Selain itu pada lahan yang telah
terbakar umumnya juga didimonansi tumbuhan alami gambut yaitu pakis (Stenochlaena
palustris) dan Cengkodok (Melastoma malabathricum) akn tumbuh satu tingkat di atas
pakis.

Indeks keanekaragaman jenis (H’) digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas,


yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada
gangguan terhadap komponennya (Tudjuka K., 2014). Suatu komunitas dikatakan memiliki
keanekaragaman jenis yang tinggi jika komunitas tersebut tersusun atas banyak jenis. Suatu
komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis rendah jika komunitas itu disusun
oleh sedikit jenis. Kategori ini berdasarkan kriteria Shannon Wienner, yaitu apabila H’>3
kategori biodiversitas tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan
komunitas tinggi, apabila H’1-3 kategori biodiversitas sedang, penyebaran jumlah individu
tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang, dan H’<1 kategori biodiversitas
rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah
(Endarwati et al., 2017). Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis dapat dilihat pada Tabel 4.
12 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)

Tabel 4. 12 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)

Indeks
N
Jenis Lahan Keanekaragaman
o
Jenis (H')
1 Jahe 0
2 Karet 0,958
3 Sawit 1,109
4 Sekunder 2,001
Sumber : Hasil Analisis, 2020

Lahan Karet memiliki nilai indeks biodiversitas ±0 (nol) yang dapat diartikan tidak
terdapat biodiversitas vegetasi di lokasi sampel lahan karet. Jenis yang teridentifikasi hanya
sejenis yaitu jenis vegetasi komersial yang mempunyai nilai jual dan ekonomi tinggi berupa
jahe. Sedangkan pada lahan karet memiliki nilai indeks biodiversitas 0,958, kedua lahan
perkebunan ini yaitu lahan jahe dan karet dapat dikategorikan biodiversitas rendah, dengan
penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah. Lahan
Sawit memiliki nilai indeks biodiversitas sebesar 1,109 dan lahan Sekunder memiliki nilai
indeks biodiversitas sebesar 2,001, nilai indek keanekaragaman di lokasi ini merupakan
nilai indeks keanekaragaman tertinggi di bandingkan dengan lokasi penelitian yang lainnya.
Hal ini berarti jenis lahan sawit dan lahan sekunder masuk kedalam kategori kategori
biodiversitas sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan
komunitas sedang.

Kegiatan konversi lahan gambut yang dilakukan mengakibatkan biodiversitas


vegetasi banyak yang hilang. Indeks biodiversitas vegetasi yang tadinya mempunyai nilai
tinggi mengalami penurunan, bahkan banyak yang tidak mempunyai biodiversitas vegetasi.
Hal ini disebabkan akibat ditanami tanaman sejenis yang produktif dan mempunyai nilai
ekonomi tinggi. Perkebunan kelapa sawit, karet dan jahe yang dibangun oleh masyarakat
maupun perusahaan menyebabkan jenis-jenis tumbuhan lahan gambut jarang dan tidak
ditemukan. Hilangnya biodiversitas vegetasi menyebabkan lahan gambut mengalami
penurunan dan kerusakan (Irma et al,2018).

4.5 Dampak Sosial dan Ekonomi Konversi Lahan Gambut

Lahan gambut merupakan sumberdaya yang tergolong sebagai lahan sub-optimal.


Teknologi hidrologi dan pengelolaan tanah mampu meningkatkan peran ekonomi lahan
gambut sehingga dalam dua dekade terakhir lahan ini semakin berperan penting sebagai
lahan penghasil produk pertanian. Lahan gambut memiliki peran penting dalam sektor
pertanian, lahan gambut juga mempunyai fungsi sangat strategis sebagai penghasil jasa
lingkungan (Agus et al,2014). Selain mempunyai fungsi lingkungan atau ekologi,
keberadaan lahan gambut juga mempunyai fungsi sosial dan ekonomi, baik bagi
masyarakat setempat maupun bagi masyarakat luas, baik regional maupun nasional. Satu
diantara fungsi sosial lahan gambut adalah sebagai penyerap lapangan kerja bagi petani dan
masyarakat setempat, terutama jika dibuka untuk usaha pertanian (Rina dan
Noorginayuwati, 2013).

Berdasarkan hasil survei penduduk pada Desa Teluk Empening rata-rata berada
dalam usia produktif untuk bekerja, terlihat pada Gambar 4.11 Usia Responden

Usia Responden

30

25

20 <15
15-65
15 >65
tidak ada
10

0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.11 Usia Responden


Tingginya angka usia produktif biasa disebut dengan Bonus Demografi. Bonus
demografi merupakan kondisi dalam suatu daerah jumlah penduduk yang berusia produktif
(15-64 tahun) lebih besar dibanding dengan jumlah penduduk berusia non produktif (< 15
tahun dan > 64 tahun). Bonus demografi ini dapat bermanfaat dengan baik pada suatu
daerah jika benar - benar di persiapkan oleh pemerintah. Akan tetapi bisa menjadi masalah
besar jika pemerintah tidak dapat mengelolanya dengan baik. Bonus demografi dapat
menjadi alat untuk mengembangkan kondisi daerah apabila pemerintah mempersiapkan
dengan baik generasi muda yang brkualitas tinggi. Tetapi jika pemerintah tidak
mempersiapkan dengan baik maka bonus demografi akan menjadi beban karena tingkat
pengangguran akan melonjak. Pada Desa Teluk Empening rata-rata penduduknya tidak
memiliki latar belakang pendidikan yang diwajibkan pemerintah yaitu hingga jenjang
SMA. Hasil survei menunjukkan tingkat pendidikan responden paling banyak tidak
memiliki latar belakang dan pendidikan hanya sampai jenjang SD, terlihat pada Gambar
4.12 Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat Pendidikan Responden

12

10
sd
8
smp
sma
6
tidak ada
4

0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.12 Tingkat Pendidikan Responden


Hal ini menyebabkan terbatasnya mata pencarian bagi penduduk Desa Teluk
Empening, berdasarkan hasil survei mata pencarian penduduk didapatkan hasil yang dapat
dilihat pada Gambar 4.13 Mata Pencarian Responden

Mata Pencaharian
20

18

16

14
Petani
12 Swasta
10 Rumah Tangga
Pelajar
8

2
0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.13 Mata Pencaharian Responden

Masyarakat lokal di lahan gambut memilih sistem pertanian campuran dengan


menanam berbagai jenis komoditas mulai dari tanaman semusim hingga tanaman tahunan.
Sistem pertanian petani lokal ini merupakan upaya penyesuaian terhadap alam dengan cara
menghindar (escape mechanism) sebagai kebalikan dari upaya menantang terhadap kondisi
alam yang tidak menentu. Sistem mata pencaharian rangkap di atas juga dimaksudkan
untuk mempertahankan keberlanjutan dalam pemenuhan kebutuhan di daerah yang
kondisinya tidak menentu dan menghindari risiko kegagalan secara total (Umar et al,2016).
Mata pencaharian sebagai petani menunjukkan dampak fungsi sosial lahan gambut dalam
penyerapan tenaga kerja masih sangat mungkin ditingkatkan, antara lain melalui
pemanfaatan inovasi dan teknologi (inotek) pertanian mulai dari budidaya usahatani, panen,
dan pengolahan hasil pertanian yang berdampak terhadap peningkatan intensitas tanam,
produktivitas dan nilai tambah bagi petani (Irawan dan Maftuah,2014).
Masyarakat lokal telah lama memanfaatkan lahan gambut sebagai mata
pencaharian, berdasarkan hasil survei, masyarakat lokal di Desa Teluk Empening seperti
hasil survei pada Gambar 4.14 Menanam di Lahan Gambut.

Menanam di Lahan Gambut

35

30

25

20 ya
tidak
15

10

0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.14 Menanam di Lahan Gambut

Masyarakat lokal di Desa Teluk Empening juga telah melakukan pemanfaatan lahan
gambut sebagai lahan pertanian dan perkebunan dalam jangka waktu yang cukup lama,
seperti hasil survei pada Gambar 4.15 Lama Mengelola Lahan

Lama Mengelola Lahan


12

10

8 <5 tahun
>5 tahun
6 >10 tahun

0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.15 Lama Mengelola Lahan


Lama kepemilikan lahan bagi petani di lahan gambut ternyata tidak otomatis
meningkatkan taraf hidup mereka. Hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana
transportasi (kondisi jalan dan angkutan) yang terbatas menyebabkan produk pertanian dan
non pertanian mereka sulit untuk dipasarkan. Berdasarkan hasil survei pada Gambar 4.16
Kondisi Jalan diketahui bahwa akses jalan di Desa Teluk Empening belum terlalu memadai
untuk pemasaran produk pertanian dikarenakan kondisi jalan yang rusak.

Kondisi Jalan

20
18
16
14
12 ya
10 tidak
8
6
4
2
0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.16 Kondisi Jalan

Usaha pemasaran produk pertanian ini semakin sulit dilakukan, karena selain kondisi jalan
yang kurang memadai juga karena lokasi pasar yang sangat jauh sesuai dengan hasil survei
yang ditunjukkan pada Gambar 4.17 Jarak ke Pasar .

Jarak ke Pasar
9

6 SANGAT DEKAT (<1KM)


DEKAT (1-3 KM)
5 CUKUP (4-7 KM)
JAUH (8-10 KM)
4 SANGAT JAUH (>10 KM)
3

0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.17 Jarak ke Pasar


Masyarakat lokal di Desa Teluk Empening biasa menjual hasil produk pertanian ke
pasar yang ada di Pontianak, sehingga memerlukan sarana dan prasarana berupa jalan,
pelabuhan penyeberangan dan transportasi yang memadai untuk memasarkan produk
pertanian. Beberapa petani menjual hasilnya ke pasar yang terletak di desa lain di
Kecamatan Terentang. Sebelum dipasarkan di pasar – pasar yang ada di Kota Pontianak
biasanya masyarakat lokal menjual produk pertaniannya kepada pihak kedua terlebih
dahulu yaitu kepada pengepul dan beberapa petani tidak menjual hasil produksinya dan
digunakan hanya untuk konsumsi pribadi seperti hasil survei pada Gambar 4.19 Penjualan
Hasil Panen

Penjualan Hasil Panen

20
18
16
14
12 konsumsi
pasar
10 pengepul
8
6
4
2
0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.19 Penjualan Hasil Panen

Pada umumnya lahan gambut diusahakan untuk tanaman pangan, tanaman


hortikultura (sayur dan buah) dan tanaman perkebunan. Kelayakan ekonomi dari setiap
usahatani yang dikelola menunjukkan bahwa usahatani tersebut layak untuk diusahakan dan
dapat memberikan keuntungan secara ekonomi dibandingkan lahan dibiarkan menjadi
semak belukar. Tingginya sumbangan lahan gambut terhadap devisa negara mengakibatkan
semakin meningkatnya pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan (Irawan et al,2016).
Tanaman hortikultura seperti jahe merupakan komoditas yang cukup diminati petani di
lahan gambut karena kontribusinya terhadap pendapatan petani cukup besar dan bersifat
kontinyu. Kelapa sawit dan karet merupakan tanaman perkebunan yang banyak ditanam di
lahan gambut, baik dalam bentuk perkebunan rakyat (small holder) maupun perkebunan
besar (negara dan swasta). Perkebunan kelapa sawit berperan sebagai penyedia lapangan
kerja, sumber pendapatan dan devisa negara (Herman et al,2009). Hasil survei pada
Gambar 4.20 Penghasilan dari Pertanian menunjukkan nilai pendapatan masyarakat lokal
di Desa Teluk Empening dari hasil pertanian rata-rata dalam 1 bulan.

Penghasilan dari Pertanian


12

10

8 <500.000
500.000-1.000.000
6 1.000.000-2.000.000
>2.000.000

0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.20 Penghasilan dari Pertanian

Usahatani berkelanjutan di lahan gambut merupakan satu diantara model pertanian


yang berbasis kelestarian lingkungan. Usahatani akan berkelanjutan jika (dalam jangka
panjang bahkan sampai generasi yang akan datang) memberikan keuntungan (aspek
ekonomi), model yang dikembangkan dapat diterima atau diadopsi oleh berbagai pihak
(aspek sosial), dan kondisi gambut lestari atau kualitasnya tidak menurun (aspek
lingkungan). Pengelolaan lahan akan berkelanjutan jika dalam implementasinya
mengintegrasikan dan memberikan obot yang sama pada aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan (Nurida et al,2014).

Aspek lingkungan harus selalu menjadi pertimbangan dalam pemanfaatan lahan gambut
sebagai lahan usahatani, mengingat semua usahatani yang dilakukan masyarakat lokal Desa
Teluk Empening menggunakan lahan gambut sekunder yang diolah menjadi lahan
pertanian sesuai dengan survei pada Gambar 4.21 Vegetasi Lahan Sebelum Konversi
Vegetasi Lahan Sebelum Konversi
35

30

25

20 Lahan Sekunder

15

10

0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.21 Vegetasi Lahan Sebelum Konversi

Konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian dan perkebunan tentu saja membuat
perubahan – perubahan pada sifat fisik, kimia dan biologis gambut. Karakteristik gambut
dapat berubah akibat adanya tindakan manusia berupa pembukaan lahan, pembakaran
lahan, dan pembuatan saluran drainase(Page et al. 2012). Tidak jarang usahatani mengalami
gagal panen seperti yang ditunjukkan hasil survei pada Gambar 4.22 Gagal Panen

Gagal Panen

30

25

20
ya
15 tidak

10

0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.22 Gagal Panen

Penyebab gagal panen produk pertanian dapat dikarenakan adanya hama tanaman serta
pengaruh cuaca yang berpengaruh terhadap terjadinya banjir atau kekeringan pada lahan
gambut yang digunakan untuk usahatani. Berdasarkan survei lahan gambut yang digunakan
untuk perkebunan pernah mengalami kekeringan sesuai yang ditunjukkan pada Gambar
4.23 Kekeringan Lahan dan pernah mengalami kebanjiran pada lahan sesuai hasil survei
pada Gambar 4.24 Kebanjiran Lahan

Kekeringan di Lahan Gambut

30

25

20
ya
tidak
15

10

0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.23 Kekeringan Lahan

Terjadinya perubahan guna lahan pada lahan gambut akibat terjadinya penurunan
permukaan gambut, berdampak tidak hanya pada lokasi setempat (on site) namun juga
berdampak lebih luas (out site). Dampak tersebut misalnya adalah saat kemarau, peluang
terjadi kekeringan juga meningkat sehingga rawan kebakaran. Pada kondisi gambut
terdegradasi akibat pembukaan lahan dan pembuatan drainase, air gambut akan mudah
mengalir keluar sehingga gambut menjadi kering (Taufik, 2015). Berkurang atau
menurunnya fungsi lahan gambut sebagai penyimpan air, sebagai akibat berkurangnya
volume gambut, sehingga pada saat musim hujan peluang terjadi banjir meningkat. Selain
itu lahan dapat mengalami kelebihan air maupun banjir yang dapat disebabkan oleh
kelembaban udara dan curah hujan yang tinggi dan dapat menimbulkan kerusakan tanaman,
meningkatnya populasi hama dan penyakit tanaman yang dapat menyebabkan kerugian
bagi petani (Dariah dan Maswar,2016).
Kebanjiran di Lahan Gambut

30

25

20
ya
15 tidak

10

0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.24 Kebanjiran Lahan

Pencegahan kerugian akibat kekeringan maupun kebanjiran pada lahan gambut


dapat diantisipasi dengan pengelolaan tata air. Dalam pengelolaan air, sistem drainase yang
baik dan benar sangatlah dibutuhkan untuk lahan gambut, baik untuk tanaman pangan
maupun tanaman perkebunan, karena sistem drainase yang buruk dapat mempercepat
kerusakan lahan gambut (Agus dan Subiksa,2008). Berdasarkan hasil survei pada Gambar
4.25 Pembangunan Kanal di Lahan Gambut, belum terdapat pembangunan pintu-pintu air
(canal blocking) pada area lahan gambut.

Pembangunan Kanal di Lahan Gambut

35

30

25

20 ya
tidak
15

10

0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.25 Pembangunan Kanal di Lahan Gambut


Pengelolaan air pada lahan gambut mutlak diperlukan karena dalam kondisi alami/
tidak terganggu, gambut selalu tergenang. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan
menggunakan pintu-pintu air (canal blocking) pada saluran drainase, yang berfungsi untuk
mengatur tinggi muka air tanah sesuai dengan keperluan tanaman. Dengan adanya pintu air
maka air tanah tidak akan terlalu dangkal dan tidak pula terlalu dalam (Dariah dan
Nurzakiah,2014).

Penggunaan lahan gambut sebagai lahan usahatani selain memerlukan pengelolaan


tata air yang baik, juga membutuhkan perbaikan kualitas gambut guna meningkatkan
kesuburan lahan gambut. menjadi kriteria) perlu dilakukan. Secara umum lahan gambut
mempunyai tingkat kesuburan rendah bila dihubungkan dengan persyaratan untuk
mendukung pertumbuhan tanaman. Perbaikan kualitas gambut dapat dilakukan dengan
pemupukan (untuk perbaikan kesuburan tanah), dan dengan pemberian amelioran seperti
pencampuran gambut dan tanah mineral, abu volkan, kapur, dan abu sisa pembakaran
(untuk perbaikan sifat kimia gambut) (Sukarman,2014). Berdasarkan hasil survei pada
Gambar 4.26 Penggunaan Pupuk masyarakat lokal di Desa Teluk Empening menggunakan
pupuk untuk meningkatkan kesuburan tanah gambut.

Penggunaan Pupuk

30

25

20
ya
15 tidak

10

0
Desa Teluk Empening
Gambar 4.26 Penggunaan

Pemberian pupuk diharapkan dapat meningkatkan kualitas tanah yang akan diikuti
dengan peningkatan produktivitas tanaman (Sukarman,2014). Jenis – jenis pupuk yang
digunakan masyarakat lokal di Desa Teluk Empening diantarnya dapat dilihat pada
Gambar 4.27 Jenis Pupuk

Jenis Pupuk

16

14

12

10 KANDANG
NPK
8 POSKA
UREA
6

0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.27 Jenis Pupuk

Pemupukan harus dilakukan secara bertahap dan menyesuaikan takaran pemberian


pupuk dengan kebutuhan lahan, karena daya pegang (sorption power) hara tanah gambut
tergolong rendah sehingga pupuk mudah tercuci (Noor et al,2016). Akibat dari daya pegang
(sorption power) yang rendah tidak semua pupuk diserap tanaman, tetapi sisanya akan
terbuang ke lingkungan perairan melalui saluran drainase yang berakibat buruk terhadap
kelestarian lingkungan perairan (Supriharyono,2009). Berdasarkan hasil survei kualitas air
pada Gambar 4.28 Kondisi Air di Lahan Gambut dapat diketahui bahwa kualitas air pada
lahan gambut tidak baik sehingga tidak layak dikonsumsi. Namun bebrapa masyarakat
masih memanfaatkan air gambut sebagai sumber air untuk mandi,cuci dan kakus.
16
14
12
10 baik
8 sedang
tidak baik
6
4
2
0
Desa Teluk Empening

Gambar 4.28 Kondisi Air di Lahan

Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala global,
baik dari aspek ekologis, sosial maupun ekonomi masyarakat yang perlu dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan tetap memelihara kelestarian kualitas
lingkungan. Pengembangan lahan gambut harus memperhatikan aspek biofisik lahan, sosial
ekonomi dan lingkungan. Keterpaduan antara ketiga aspek tersebut diharapkan dapat
berdampak terhadap keberlanjutan sistem pertanian di lahan gambut. Manfaat sosial-
ekonomi lahan gambut terhadap kehidupan dan perekonomian masyarakat Desa Teluk
Empening cukup besar dan masih mungkin untuk ditingkatkan, baik melalui penerapan
pengelolaan lahan gambut yang intensif maupun dengan membuka lahan gambut
terdegradasi untuk usaha pertanian. Model usahatani yang dapat dikembangkan pada lahan
gambut cukup beragam, baik berdasarkan tipologi lahan gambut, kearifan lokal dan
ketersediaan inovasi tekonologi pertanian, serta kesesuaian jenis komoditas secara biofisik
dan potensi permintaan pasar (Irawan dan Marfuah, 2014)
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian pengaruh konversi lahan gambut terhadap ketahanan


lingkungan adalah sebagai berikut :

1. Konversi lahan gambut mempengaruhi sifat fisik tanah gambut seperti ketebalan
dan kematangan gambut, bobot isi, berat jenis partikel, porositas, permeabilitas,
kadar air, kadar serat utuh, hal ini dapat disebabkan oleh pemadatan tanah yang
terjadi saat pembukaan lahan gambut menjadi lahan perkebunan sawit, karet dan
jahe serta degradasi lahan gambut pada lahan sekunder akibat kebakaran.
2. Konversi lahan memiliki pengaruh terhadap penurunan muka air tanah karena
membuat permukaan lahan gambut yang terdiri dari bahan organik akan menjadi
kering dan mudah terbakar. Tinggi muka air tanah di 4 jenis lahan berbeda-beda.
Lahan sawit, lahan jahe dan lahan sekunder masih berada dibawah 40 cm. Lahan
yang memiliki tinggi muka air tanah paling rendah yaitu lahan karet karena
melebihi 40 cm. Hal ini karena jenis tanaman berbeda-beda keperluan kedalaman
permukaan air sesuai dengan sifat dan kondisi perakarannya.
3. Konversi lahan sangat erat kaitannya dengan keberadaan saluran drainase lahan
yang secara langsung mengakibatkan rendahnya tinggi muka air di lahan gambut.
Dimensi saluran disesuaikan dengan luas kawasan dan komoditas yang
dikembangkan. Tinggi muka air tanah harus diatur sampai batas minimal dimana
tanaman masih mampu tumbuh dengan baik. Artinya tinggi muka air tanah harus
diatur supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam.
4. Konversi lahan gambut mempengaruhi kualitas air yang ada pada lahan, perubahan
tutupan lahan dan masuknya zat-zat yang bertujuan untuk meningkatkan kesuburan
lahan gambut dapat menurunkan kualitas air pada lahan ditandai dengan parameter
pH, TSS dan DO yang tidak sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan yaitu Kelas
2 PP No.82 Tahun 2001.
5. Konversi lahan gambut mempengaruhi biodiversitas vegetasi, pada lahan jahe dan
karet indeks keragaman jenis (H’) termasuk rendah sedangkan lahan sawit dan
lahan sekunder termasuk indeks keragaman jenis (H’) sedang. Hal ini
mengindikasikan konversi lahan mengurangi keragaman biodiversitas yang ada
pada lahan gambut dan mengurangi ketahanan lingkungan.
6. Konversi lahan gambut mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat dengan fungsi
sosial penyerapan tenaga kerja serta fungsi ekonomi keuntungan dan pendapatan
dari hasil produksi konversi lahan menjadi usahatani. Namun manfaat sosial dan
ekonomi konversi lahan gambut tetap harus memperhatikan kelestarian lingkungan
gambut karena pengembangan lahan gambut harus memperhatikan aspek biofisik
lahan, sosial ekonomi dan lingkungan untuk mencapai keberlanjutan usahatani dan
ketahanan pangan.

5.2 Saran

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh konversi lahan gambut terhadap


ketahanan lingkungan dari beberapa aspek seperti sifat fisik tanah, tinggi muka air tanah,
kualitas air, biodiversitas vegetasi, dan aspek sosial ekonomi. Penelitian dapat dilanjutkan
dengan mengkaji kebijakan pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan yang harus
dipertahankan menjadi hutan alam untuk kelestarian lingkungan yang berkelanjutan serta
dapat mengkaji valuasi ekonomi gambut yang ada di Desa Teluk Empening.

Anda mungkin juga menyukai