Anda di halaman 1dari 36

PEDOMAN KERJA TIM STUNTING

DAN WASTING

i
PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT BUAH HATI CIPUTAT
NOMOR: 015.15/PER/DIR/BHC/VIII/2022
TENTANG

PEDOMAN KERJA TIM STUNTING DAN WASTING


RUMAH SAKIT BUAH HATI CIPUTAT

DIREKTUR RUMAH SAKIT BUAH HATI CIPUTAT,


Menimban : a. bahwa dalam pelayanan pasien dengan stunting dan wasting di
g Rumah Sakit Buah Hati Ciputat perlu disusun suatu pedoman
pelayanan;
b. bahwa Pedoman Kerja Tim Stunting dan Wasting sebagaimana
dimaksud dalam butir a, perlu ditetapkan dengan Peraturan
Direktur Rumah Sakit Buah Hati Ciputat.
Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran;
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik Kedokteran;
7. Peraturan Direktur PT Buah Hati Medika Nomor
006/Per/Dir/BHM/VI/2022 tentang Penetapan Struktur
Organisasi Rumah Sakit Buah Hati Ciputat;

ii
8. Keputusan Direktur PT Buah Hati Medika Nomor
003/Per/Dir/BHM/I/2022 tentang Pengangkatan dr. Rianayanti
Asmira Rasam M.A.R.S sebagai Direktur Rumah Sakit Buah Hati
Ciputat.

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT BUAH HATI CIPUTAT
TENTANG PEDOMAN KERJA TIM STUNTING DAN WASTING DI
LINGKUNGAN RUMAH SAKIT BUAH HATI CIPUTAT
KESATU : Pedoman Kerja Tim Stunting dan Wasting di lingkungan Rumah Sakit
Buah Hati Ciputat sebagaimana terlampir dalam peraturan ini.
KEDUA : Pedoman Kerja Tim Stunting dan Wasting Rumah Sakit Buah Hati
Ciputat wajib digunakan dalam penanganan dan pelayanan pasien
stunting dan wasting.
KETIGA : Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila
dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam ketetapan ini
akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Tangerang Selatan


Pada tanggal : 2 Agustus 2022
Direktur,

Dr. Rianayanti Asmira Rasam, MARS

iii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG................................................................................................................... 1
B. TUJUAN PEDOMAN.................................................................................................................. 2
C. BATASAN OPERASIONAL...................................................................................................... 2
D. LANDASAN HUKUM................................................................................................................ 3

BAB II STANDAR KETENAGAAN 4


A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA.........................................................................4
B. DISTRIBUSI KETENAGAAN.................................................................................................. 5
C. PENGATURAN JAGA................................................................................................................ 5

BAB III STANDAR FASILITAS 6


A. STANDAR FASILITAS.............................................................................................................. 6

BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN 7


A. MEKANISME PELAYANAN GIZI RUMAH SAKIT...........................................................7
B. PELAYANAN GIZI RAWAT JALAN...................................................................................... 7
C. PELAYANAN GIZI RAWAT INAP......................................................................................... 9
D. MEKANISME RUJUKAN DAN PINDAH.............................................................................10

BAB V LOGISTIK 11
A. PERENCANAAN......................................................................................................................... 11
B. TATA LAKSANA PENERIMAAN BARANG LOGISTIK OBAT & ALAT KESEHATAN......11
C. TATA LAKSANA DISTRIBUSI LOGISTIK OBAT DAN ALAT KESEHATAN.......................12
D. MONITORING DAN EVALUASI............................................................................................ 13

BAB VI KESELAMATAN PASIEN 14


A. PENGERTIAN.............................................................................................................................. 14
B. TUJUAN......................................................................................................................................... 15
C. STANDAR KESELAMATAN PASIEN................................................................................... 15
D. TATA LAKSANA PENANGANAN KEJADIAN KESELAMATAN PASIEN.................15
iv
E. TATA LAKSANA SASARAN KESELAMATAN PASIEN.................................................16
F. PENGURANGAN RISIKO PASIEN JATUH.........................................................................19
G. PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN..........................................................20

BAB VIII KESELAMATAN KERJA 24


A. PENGENDALIAN BAHAYA DI TEMPAT KERJA.............................................................24
B. PROMOSI KESEHATAN.......................................................................................................... 29
C. PENGOBATAN DAN REHABILITASI.................................................................................. 30

v
Lampiran
Direktur Rumah Sakit Buah Hati Ciputat
Nomor :015. 15/PER/DIR/BHC/VIII/2022
Tanggal : 2 Agustus 2022

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Anak bebas gizi buruk termasuk komitmen bersama dunia, termasuk Indonesia.
Komitmen dunia internasional tertuang dalam tujuan pembangunan berkelanjutan
(sustainable development goals) butir kedua yang menegaskan pentingnya
“Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan gizi, serta
menggalakkan pertanian yang berkelanjutan”. Di tingkat nasional, hal ini sejalan
dengan nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Untuk mencepat tujuan tersebut, penanggulangan masalah kekurangan gizi
termasuk gizi buruk perlu ditingkatkan. Balita dengan gizi buruk mempunyai
dampak janngka pendek dan panjang berupa gangguan tumbuh kembang, termasuk
gangguan fungsi kognitif, kesakitan, kesakitan, resiko penyakit degenerative di
kemudian hari dan kematian. Situasi status gizi kurang (wasting) dan gizi buruk
(stunting) pada balita di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik pada tahun 2014 masih
jauh dari harapan. Indonesia menempati urutan kedua tertinggi untuk prevalensi
wasting di antara 17 negara di wilayah tersebut yaitu 12,1%. Selain itu, cakupan
penanganan kasus secara rerata di 9 negara di wilayah tersebut hanya
2%.
Komitmen pemerintah dalam penanggulangan gizi buruk pada balita
telah lama didengungkan di tingkat nasional dan ditindak lanjuti melalui
berbagai upaya. Misalnya, melalui upaya penyuluhan gizi, penimbangan
cakupan penimbangan balita, pemberian makanan tambahan (PMT),
pemulihan bagi balita dengan gizi kurang, peningkatan kapasitas tim
laksana stunting dan wasting. Berbagai upaya tersebut harus terus
dijalankan untuk membantu menurunkan prevalensi stunting dan
wasting. Kerjasama lintas sector/program serta keterlibatan masyarakat
juga diperlukan untuk menanggulangi masalah gizi pada balita.

1
B. TUJUAN PEDOMAN
1. Tujuan Umum
Tersedianya Pedoman Kerja Tim Stunting dan Wasting
2. Tujuan Khusus
a. Tersedianya pedoman yang mengandung unsur pencegahan, deteksi dini,
tatalaksana dan rehabilitasi gizi buruk pada balita melalui rawat jalan dan
rawat inap denngan melibatkan peran serta aktif keluarga dan masyarakat.
b. Tersedianya acuan tentang factor pendukung, termasuk obat-obatan dalam
tatalaksana gizi buruk pada balita untuk pencegahan,. Diagnosa, pengobatan
dan rehabilitasi.
c. Tersedianya acuan pengelolaan upaya penanggulangan gizi buruk pada balita
yang komrehensif dan integrative sejak proses perencanaan, pelaksanaan
dengan kerjasama lintas program/sector dan keterlibatan keluarga atau
masayarakat serta pemantauannya.
d. Menurunkan angka prevalensi stunting dan wasting dan angka kesakitan dan
kematian akibat gizi buruk.

C. BATASAN OPERASIONAL
1. Gizi buruk adalah keadaan gizi balita yang ditandai oleh satu atau lebih tanda
berikut: i) edema, minimal pada kedua punggung kaki; ii)BB/PB atau BB/TB
kurang dari -3 standar deviasi; iii) lingkar lengan atas (LILA) <11,5 cm pada
balita usia 6-59 bulan.
2. Gizi kurang adalah keadaan gizi balita yang ditandai oleh satu atau lebih tanda
berikut: i) BB/TB berada diantara -3 sampai kuranf dari -2 standar deviasi; ii)
lingkar lengan atas (LILA) kurang dari 12,5 cm sampai 11,5 cm pada balita usia 6-
59 bulan.
3. Kejadian luar biasa buruk: peningkatan kejadian gizi buruk dalam kurun waktu
tertentu dua kali atau lebih bila dibandingkan periode sebelumnya.
4. LILA: lingkar lengan atas, digunakan sebagai indicator untuk gizi buruk,
diperoleh dengan cara mengukur lingkar lengan atas.
5. MTBS: Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah pendekatan terpadu dalam tata
laksana balita sakit di fasilitas Kesehatantingkat pelayanan dasar.

2
6. Pelacakan bayi kurang gizi: kegiatan penelusuran faktor resiko kasus kekurangan
gizi pada balita di suatu wilayah.
7. Prevalensi balita gizi buruk: presentase balita dengan gizi buruk terhadap
seluruh balita di suatu wilayah dalam periode waktu tertentu.
8. Drop Out adalah istilah yang digunakan untuk balita gizi kurang/buruk yang
tidak melanjutkan pengobatan rawat jalan yang ditandai dengan absen dua kali
berturut-turut.

D. LANDASAN HUKUM
1. Undang–Undang Nomor 44 tentang Rumah Sakit
2. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan
Stunting;
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29 Tahun 2019 tentang Penanggulangan
Masalah Gizi bagi Anak Akibat Penyakit
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2020 tentang Standar
Antropometri Anak
5. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
6. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi
Seimbang
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten/Kota

3
BAB II STANDAR KETENAGAAN
Sesuai dengan permenkes RI nomor 54 tahun 2014 penetapan klasifikasi Rumah Sakit
yang ada di Indonesia didasarkan pada pelayanan yang mampu diberikan, sumber daya
manusia yang tersedia, peralatan, bangunan dan prasarana yang ada.
Bila dilihat dari sisi standar ketenagaan pada rumah sakit umum tipe C standar
ketenagaan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
1. Tenaga Medis
2. Tenaga Kefarmasian
3. Tenaga Keperawatan
4. Tenaga Kesehatan Lain
5. Tenaga Non kesehatan

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Penyelenggaraan intervensi penurunan stunting terintegrasi merupakan tanggung
jawab bersama lintas sektor dan bukan tanggung jawab salah satu institusi saja.
Untuk itu, diperlukan sebuah tim lintas sektor sebagai pelaksana Aksi. Direktur
sebagai penanggung jawab menunjuk tim yang dinilai efektif untuk
mengkoordinasikan pelaksanaan intervensi penurunan stunting terintegrasi di
tingkat rumah sakit. Tim yang telah ditunjuk tersebut selanjutnya bertanggung
jawab untuk perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan
penurunan stunting terintegrasi. Dalam rangka mendukung implementasi dari
sasaran strategis pembinaan gizi masyarakat terutama di tingkat layanan, maka
ditetapkan 4 (empat) strategi operasional sebagai berikut:
1. Peningkatan kapasitas SDM
2. Peningkatan kualitas layanan
3. Penguatan edukasi
4. Penguatan Manajemen Intervensi Gizi di Puskesmas dan Posyandu
5. Mengoordinasikan pelaksanaan intervensi penurunan stunting terintegrasi
6. Mengoordinasikan dan melaksanakan pemantauan dan evaluasi
7. Menyiapkan laporan hasil pemantauan dan evaluasi

4
B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Distribusi Ketenagaan di dalam tim penurunan prevalensi stunting dan wasting
merupakan pendekatan penyampaian intervensi, yang dilakukan secara
terkoordinir, terintegrasi dan bersama-sama untuk mencegah stunting, kepada
sasaran prioritas. Aksi Konvergensi adalah instrumen dalam bentuk kegiatan, yang
digunakan untuk meningkatkan pelaksanaan integrasi intervensi gizi, dalam
pencegahan dan penurunan stunting. Aksi ini digunakan untuk meningkatkan
kualitas pendekatan pelaksanaan program dan perilaku lintas sektor (dari tingkat
pusat sampai kabupaten/kota) agar program dan kegiatan intervensi gizi tepat
sasaran.

C. PENGATURAN JAGA
Pengaturan jadwal jaga dalam rangka penurunan stunting dan wasting menjadi
tanggung jawab ketua dan disetujui oleh Direktur Rumah Sakit.

5
BAB III STANDAR FASILITAS

A. STANDAR FASILITAS
Alat antropometri untuk menentukan status gizi berupa:
• Timbangan badan untuk bayi dan anaka
• Mikrotoa
• Infantometer
• Pita LiLA
• Tabel Z-Score sederhana
• Kartu MTBS (Manajemen Terpadu Balita sakit)

6
BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN

Pelayanan gizi di Rumah Sakit adalah pelayanan yang diberikan dan disesuaikan
dengan keadaan pasien berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan status metabolisme
tubuh. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit,
sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien.
Sering terjadi kondisi pasien yang semakin buruk karena tidak tercukupinya kebutuhan
zat gizi untuk perbaikan organ tubuh. Fungsi organ yang terganggu akan lebih
memburuk dengan adanya penyakit dan kekurangan gizi.
Terapi gizi atau terapi diet adalah bagian dari perawatan penyakit atau kondisi klinis
yang harus diperhatikan agar pemberiannya tidak melebihi kemampuan organ tubuh
untuk melaksanakan fungsi metabolisme. Terapi gizi harus selalu disesuaikan dengan
perubahan fungsi organ. Pemberian diet pasien harus dievaluasi dan diperbaiki sesuai
dengan perubahan keadaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium, baik pasien
rawat inap maupun rawat jalan. Upaya peningkatan status gizi dan kesehatan
masyarakat baik di dalam maupun di luar rumah sakit, merupakan tugas dan tanggung
jawab tenaga kesehatan, terutama tenaga gizi.

A. MEKANISME PELAYANAN GIZI RUMAH SAKIT


Pengorganisasian Pelayanan Gizi Rumah Sakit mengacu pada SK Menkes Nomor 983
Tahun 1998 tentang Organisasi Rumah Sakit dan Peraturan Menkes Nomor
1045/MENKES/PER/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit di
Lingkungan Departemen Kesehatan.
Kegiatan Pelayanan Gizi Rumah Sakit, meliputi :
1. Asuhan Gizi Rawat Jalan
2. Asuhan Gizi Rawat Inap
3. Penyelenggaraan Makanan
4. Penelitian dan Pengembangan

B. PELAYANAN GIZI RAWAT JALAN


Pelayanan gizi rawat jalan adalah serangkaian proses kegiatan asuhan gizi yang
berkesinambungan dimulai dari asesmen/pengkajian, pemberian diagnosis,
intervensi gizi dan monitoring evaluasi kepada pasien/klien di rawat jalan. Asuhan
7
gizi rawat jalan pada umumnya disebut kegiatan konseling gizi dan di
edukasi/penyuluhan gizi.
1. Tujuan
Memberikan pelayanan kepada klien/pasien rawat jalan atau kelompok dengan
membantu mencari solusi masalah gizinya melalui nasihat gizi mengenai jumlah
asupan makanan yang sesuai, jenis diet yang tepat, jadwal makan dan cara
makan, jenis diet dengan kondisi kesehatannya.
2. Sasaran
a. Pasien dan keluarga
b. Kelompok pasien dengan masalah gizi yang sama
c. Individu pasien yang datang atau dirujuk
d. Kelompok masyarakat rumah sakit yang dirancang secara periodik oleh
rumah sakit.
3. Mekanisme kegiatan
Mekanisme pasien berkunjung untuk mendapatkan asuhan gizi di rawat jalan
berupa konseling gizi untuk pasien dan keluarga serta penyuluhan gizi untuk
kelompok adalah sebagai berikut :
a) Konseling Gizi
1) Pasien datang ke poliklinik atau IGD dan ruang konseling gizi dengan
membawa surat rujukan dokter dari poliklinik yang ada di rumah sakit
atau dari luar rumah sakit
2) Dietisien melakukan pencatatan data pasien dalam buku registrasi.
3) Dietisien melakukan asesmen gizi dimulai dengan pengukuran
antopometri pada pasien yang belum ada data TB, BB
4) Dietisien melanjutkan asesmen/pengkajian gizi berupa anamnesa riwayat
makan, riwayat personal, membaca hasil pemeriksaan lab dan fisik klinis
(bila ada). Kemudian menganalisa semua data asesmen gizi.
5) Dietisien menetapkan diagnosis gizi
6) Dietisien memberikan intervensi gizi berupa edukasi dan konseling.
7) Dietisien menganjurkan pasien untuk kunjungan ulang, untuk mengetahui
keberhasilan intervensi (monev) dilakukan monitoring dan evaluasi gizi.

8
8) Pencatatan hasil konseling gizi dengan format ADIME (Asesmen,
Diagnosis, Intervensi, Monitoring & Evaluasi) dimasukkan ke dalan rekam
medik pasien atau disampaikan dokter melalui pasien untuk pasien di luar
rumah sakit dan diarsipkan di ruang konseling.
b) Penyuluhan Gizi
1) Persiapan penyuluhan
• Menentukan materi sesuai kebutuhan
• Membuat susunan/outline materi yang akan disajikan
• Merencanakan media yang akan digunakan
• Pengumuman jadwal dan tempat penyuluhan
• Persiapan ruangan dan alat bantu/media yang dibutuhkan
2) Pelaksanaan penyuluhan
• Peserta mengisi daftar hadir (absensi)
• Dietisien menyampaikan materi penyuluhan
• Tanya jawab

C. PELAYANAN GIZI RAWAT INAP


Pelayanan gizi rawat inap merupakan pelayanan gizi yang dimulai dari proses
pengkajian gizi, intervensi gizi meliputi perencanaan, penyediaan makanan,
penyuluhan/edukasi, dan konseling gizi, serta monitoring dan evaluasi gizi.
1. Tujuan
Memberikan pelayanan gizi kepada pasien rawat inap agar memperoleh asupan
makanan yang sesuai dengan kondisi kesehatannya dalam upaya mempercepat
proses penyembuhan, mempertahankan dan meningkatkan status gizi.
2. Sasaran
a) Pasien
b) Keluarga
3. Mekanisme kegiatan
Mekanisme kegiatan pelyanan gizi diruang rawat inap :
1) Skrining gizi
Tahapan pelayanan gizi rawat inap diawali dengan skrining/penapisan gizi
oleh perawat ruangan dan penetapan order diet awal (preskripsi diet awal)

9
oleh dokter. Skrining gizi bertujuan untuk mengidentifikasi pasien/klien yang
beresiko, tidak beresiko malnutrisi atau kondisi khusus adalah
pasien dengan kelainan metabolik, hemodialisis, anak, geriatrik.
Kanker dengan kemoterapi/ radiasi, luka bakar pasien dengan
imunitas menurun, sakit kritis.
Bila hasil skrining gizi menunjukkan pasien beresiko malnutrisi, maka
dilakukan pengkajian/asessmen gizi dan dilanjutkan dengan langkah-langkah
proses asuhan gizi berstandart oleh dietisien. Pasien sakit kritis atau kasus
sulit yang beresiko gangguan gizi berat akan lebih baik bila ditangani secara
tim. Bila rumah sakit mempunyai Tim Asuhan Gizi / Nutrition Support Tim
(NST) / Tim Terapi Gizi (TTG) / Tim Dukungan Gizi / Panitia Asuhan Gizi,
maka berdasarkan pertimbangan DPJP pasien tersebut dirujuk kepada tim.

D. MEKANISME RUJUKAN DAN PINDAH


1. Prinsip : memastikan pasien dengan stunting dan wasting yang dirujuk/ pindah
akan menyelesaikan pengobatan atau terapinya dengan benar di tempat lain
2. Mekanisme rujukan dan pindah pasien ke UPK lain (dalam satu Kab/Kota)
a. Surveilans gizi dan penemuan dan penangan kasus di puskesmas beresiko
gagal tumbuh, gizi kurang dan gizi buruk.
b. Sistem rujukan berbasis kompetensi ke pelayanan kesahatan sekunder yaitu
rumah sakit yang memiliki SDM yang kompeten : dokter spesialis anak atau
sub spesialis anak (gizi anak, tumbuh kembang) sarana dan prasarana yang
memadai.
Rujukan kasus stunting dan wasting, guna mendapatkan penanganan lebih
lanjut terkait penyebab dan terapi yang di butuhkan.

10
BAB V LOGISTIK

A. Perencanaan
Jalur manajerial dalam melaksanakan peran dan fungsinya mengupayakan
pencegahan gizi buruk pada balita, meningkatkan cakupan dan kualitas layanan
kasus, serta membangun kemitraan dengan sector / pihak terkait dan
mengupayakan peran serta aktif masyarakat. Hal ini diperlukan karena kompleksnya
masalah kekurangan gizi dengan berbaga faktor pengaruh. Upaya strategis yang
perlu dilakukan adalah:
1. Mengupayakan agar pemerintah daerah di setiap tingkat mengangkat masalah
kekurangan gizi pada balita sebagai masalah prioritas yang harus segera diatasi
2. Kerjasama dengan mitra pembangunan untuk pengembangan model
penanggulangan gizi buruk di daerah dengan prevalensi tinggi
3. Kerjasama dengan media untuk menyebarkan informasi tentang pencegahan dan
dampak kekurangan gizi pada balita
4. Kerjasama dengan institusi Pendidikan dan organisasi profesi untuk
memasukkan masalah gizi dan tatalaksananya dalam kurikulum Pendidikan
tenaga Kesehatan
5. Upaya peningkatan pengetahuan keluarga dan masyarakat tentang kebutuhan
gizi balita, dll.

B. Tata Laksana Penerimaan Barang Logistik Obat & Alat Kesehatan


1. Petugas Penanggung Jawab
a. Manajer logistic
b. Staf pembelian medis dan non medis
c. Staf gudang umum

2. Perangkat Kerja
a. Sistem informasi manajemen logistic
b. Surat pemesanan sementara
c. Faktur pembelian
d. Lembar berita acara penerimaan barang

11
3. Tata Laksana
a. Sistem penerimaan barang kebutuhan logistic obat dan alat kesehatan dengan
menggunakan sistem informasi manajemen logistic (SPO Pengunaan SIM
Logistik)
b. Proses penerimaan barang dari supplier ke logistic harus melalui bagian
logistic / staf pembelian medis atau non medis. petugas akan memeriksan
kesesuaian surat pemesanan dan faktur pengiriman barang (SPO Penerimaan
Barang Logistik Obat & Alat Kesehatan)
c. Setiap penerimaan barang staf pembelian dilakukan input data ke SIM
Logistik sebagai laporan dan barang disimpan sampai diterimanya barang
oleh unit peminta.

C. Tata Laksana Distribusi Logistik Obat dan Alat Kesehatan


1. Petugas Penanggung Jawab
a. Staf gudang umum
2. Perangkat Kerja
a. Sistem informasi manajemen logistic
b. Lembar permintaan barang ke gudang
c. Lembar penyerahan barang ke unit peminta
3. Tata Laksana
a. Sistem pengambilan barang kebutuhan logistic obat dan alat kesehatan
dengan menggunakan sistem informasi manajemen logistic (SPO Pengunaan
SIM Logistik )
b. Penerimaan dan penyimpanan barang non sediaan sementara dapat
dilakukan di Logistik sampai diterimanya barang oleh unit peminta.
c. Penerimaan dan penyimpanan barang sediaan dilakukan oleh gudang umum,
setelah barang di lakukan penerimaan, maka unit peminta dapat melakukan
pengambilan sesuai dengan lembar permintaan barang yang diinginkan. (SPO
Distribusi Logistik Obat & ALat Kesehatan)
d. Unit gudang umum akan segera melakukan input data penyerahan barang
dan dicetak di lembar kertas saat barang yang diinginkan oleh unit peminta
diambil.

12
e. Dalam hal ketidaktersediaan barang medis, unit gudang umum dapat
melakukan permintaan pengadaan barang medis sementara ke Kepala Unit
Farmasi.

D. Monitoring dan Evaluasi


Monitoring keadaan barang dilakukan 6 bulan sekali dengan kegiatan peneraan
yang berkoordinasi dengan petugas Logistik.

13
BAB VI KESELAMATAN PASIEN

A. PENGERTIAN
1. Keselamatan Pasien (Patient Safety)
adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman.
Sistem tersebut meliputi:
 Asesmen risiko
 Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien
 Pelaporan dan analisis insiden
 Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
 Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
Sistem ini mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh:
 Kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan
 Tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
2. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)/Adverse Event
Adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang mengakibatkan cidera pasien
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil, dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien.
Cidera dapat diakibatkan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan medis
karena tidak dapat dicegah
3. KTD Yang Tidak Dapat Dicegah/Unpreventable Adverse Event
Suatu KTD yang terjadi akibat komplikasi yang tidak dapat dicegah dengan
pengetahuan mutakhir
4. Kejadian Nyaris Cidera (KNC)/Near Miss
Adalah suatu kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat
menciderai pasien, tetapi cidera serius tidak terjadi :
 Karena “ keberuntungan”
 Karena “ pencegahan ”
 Karena “ peringanan ”

14
5. Kesalahan Medis/Medical Errors
Adalah kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan
atau berpotensi mengakibatkan cidera pada pasien
6. Kejadian Sentinel/Sentinel Event
Adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cidera yang serius;
biasanya dipakai untuk kejadian yang sangat tidak diharapkan atau tidak dapat
diterima, seperti : operasi pada bagian tubuh yang salah.
Pemilihan kata “sentinel” terkait dengan keseriusan cidera yang terjadi (seperti,
amputasi pada kaki yang salah) sehingga pencarian fakta terhadap kejadian ini
mengungkapkan adanya masalah yang serius pada kebijakan dan prosedur yang
berlaku.

E. TUJUAN
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunkan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di rumah sakit
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)

F. STANDAR KESELAMATAN PASIEN


1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
5. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
6. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

G. TATA LAKSANA PENANGANAN KEJADIAN KESELAMATAN PASIEN


1. Memberikan pertolongan pertama sesuai dengan kondisi yang terjadi pada
pasien

15
2. Melaporkan pada dokter jaga IGD
3. Memberikan tindakan sesuai dengan instruksi dokter jaga
4. Mengobservasi keadaan umum pasien
5. Mendokumentasikan kejadian tersebut pada formulir “Pelaporan Insiden
Keselamatan”

H. TATA LAKSANA SASARAN KESELAMATAN PASIEN


1. Ketepatan Identifikasi Pasien
Kegiatan untuk melakukan verifikasi atas kebenaran atau kesesuaian sosok
orang yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan diagnosis dan/atau
pengobatan dengan identitas orang tersebut sebagaimana tercantum dalam file
rekam medis pasien atau dokumen lain yang berkaitan dengan sosok orang
tersebut.
Kegiatan identifikasi pasien dilakukan sebelum melakukan pemberian obat-
obatan, prosedur pemeriksaan penunjang medis radiologi (rontgen, MRI, CT-
Scan), Laboratorium, endoskopi, treadmill, EEG ; pengambilan sampel (misalnya
darah, tinja, urin, dan sebagainya) ; intervensi pembedahan dan prosedur invasif
lainnya; transfusi darah ; transfer pasien ; konfirmasi kematian.
Para staf IGD harus mengkonfirmasi identifikasi pasien dengan benar dengan
menanyakan nama dan tanggal lahir/umur pasien, kemudian
membandingkannya dengan yang tercantum di rekam medis dan gelang
pengenal. Jangan menyebutkan nama, tanggal lahir, dan alamat pasien dan
meminta pasien untuk mengkonfirmasi dengan jawaban ya / tidak.
Identifikasi pasien yang dalam keadaan tidak sadar dapat dilakukan melalui
keluarga dan atau pengantar yang mengetahui identitas pasien. Apabila pasien
datang dalam keadaan tidak sadar dan tidak ada keluarga dan atau pengantar
yang mengetahui identitas pasien, maka pasien sementara akan diidentifikasi
sebagai Mr. X atau Ms. X, sampai identitas yang sesungguhnya diketahui lebih
lanjut.
2. Peningkatan Komunikasi yang Efektif
Komunikasi efektif adalah tepat waktu, akurat, jelas, dan mudah dipahami oleh
penerima, sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan (kesalahpahaman).

16
Prosesnya adalah pemberi pesan secara lisan memberikan pesan, setelah itu
dituliskan secara lengkap isi pesan tersebut oleh si penerima pesan ; isi pesan
dibacakan kembali (read back) secara lengkap oleh penerima pesan ; dan
penerima pesan mengkonfirmasi isi pesan kepada pemberi pesan.
Komunikasi dilakukan sedemikian sehingga isi pesan yang hendak disampaikan
benar-benar diterima oleh penerima sesuai dengan maksud pemberi pesan.
Komunikasi per lisan dengan menggunakan telepon dilaksanakan sedemikian
sehingga sebelum pembicaraan diakhiri, penerima informasi/ instruksi
mengulang kembali informasi/ instruksi yang diberikan dan pemberi informasi/
instruksi mengecek kebenaran informasi/ instruksi yang diberikan. (lihat SPO
Konsultasi dengan Dokter per Telepon). Informasi/ instruksi lisan yang telah
diterima segera dicatat pada status rekam medis pasien, untuk selanjutnya pada
kesempatan pertama dimintakan tanda tangan dari pemberi instruksi.
3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High Alert Medication)
Sasaran high alert medication ditujukan pada identifikasi, pengelolaan, pelaporan
serta dokumentasi obat–obat yang mempunyai risiko tinggi menyebabkan cidera
pada pasien bila digunakan secara salah. Obat–obat yang perlu diwaspadai (High
Alert Medications) adalah obat–obat yang mempunyai risiko tinggi menyebabkan
cidera pada pasien bila digunakan secara salah yang daftarnya diperoleh dari
hasil inventarisasi unit pelayanan. Obat-obatan yang perlu diwaspadai diberi
label khusus dengan menggunakan stiker berwarna (lihat SPO Pemberian Label
Obat yang Perlu Diwaspadai).
LASA (nama obat, rupa dan ucapan mirip) adalah obat–obat yang memiliki nama,
rupa dan ucapan mirip yang perlu diwaspadai khusus agar tidak terjadi
kesalahan pengobatan (dispensing error) yang bisa menimbulkan cidera pada
pasien. Pemberian obat-obatan tersebut diberikan kepada pasien dengan
melakukan pengecakan ulang atas obat dan pasien yang akan diberi.
Contoh rupa mirip: Dextrose 40% dan Magnesium Sulfat, Oxytocin dan Lidocaine.
Contoh ucapan mirip: Phenobarbital dan Phentobarbital.
4. Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur dan Tepat-Pasien Operasi
Tindakan Pembedahan yang dilakukan oleh dokter IGD harus menjamin ketepatan
pada pasien dan pada Lokasi yang tepat, dan menggunakan metode yang sesuai

17
untuk mencegah komplikasi anestesi dan melindungi pasien dari rasa nyeri. Dokter
IGD mengidentifikasi dan mengantisipasi secara efektif ancaman hilangnya fungsi
pernapasan, risiko kehilangan darah, menghindari penggunaan obat yang dapat
menimbulkan reaksi alergi atau reaksi obat yang tidak dikehendaki pada pasien
yang diketahui berisiko, secara konsisten menggunakan metode pencegahan
terjadinya infeksi luka operasi, mencegah tertinggalnya instrumen bedah dan/atau
kasa pada luka/tempat operasi, mengidentifikasi secara akurat dan mengamankan
spesimen bedah, dan melakukan komunikasi dan konsultasi atas informasi penting
atas jalannya tindakan pembedahan yang aman. Formulir Persetujuan Tindakan
Medis (informed consent) harus sudah ditandatangani oleh yang berkepentingan,
segera setelah penjelasan/ informasi yang diperlukan disampaikan kepada
pasien dan/ atau keluarganya (lihat SPO Persetujuan Tindakan Medis).
5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Semua bahan/material yang terkontaminasi darah dan komponen cairan tubuh
pasien harus dianggap berpotensi terhadap penularan infeksi, oleh karena itu
perlu dilakukan penggunaan alat pelindung diri (APD) dan dilakukan prosedur
dekontaminasi terlebih dahulu (lihat SPO Penggunaan APD dan SPO
Dekontaminasi)
Semua peralatan medis yang akan dipergunakan untuk melakukan prosedur
invasif terhadap pasien harus terjamin sterilitasnya (lihat SPO Sterilisasi Alat)
Semua tenaga medis/ keperawatan/ paramedis lain harus melakukan cuci tangan
sebelum dan setelah melakukan tindakan terhadap pasien (lihat SPO Cuci
Tangan). Pasien perlu diberi informasi mengenai maksud dan tujuan tindakan
cuci tangan serta setiap prosedur septik dan antiseptik yang dilakukan
terhadapnya.
Mencuci tangan adalah prosedur tindakan membersihkan tangan dengan
menggunakan sabun/ anti septic di bawah air bersih yang mengalir atau cairan
lainnya. Lima momen cuci tangan, meliputi: sebelum kontak dengan pasien;
sebelum tindakan aseptik ; setelah kontak pasien ; setelah kontak cairan tubuh
pasien ; setelah kontak lingkungan.

18
Prosedur cuci tangan:
a. Gosokkan kedua telapak tangan.

b. Gosok punggung tangan kiri dengan telapak tangan


kanan atau sebaliknya.
c. Dengan menghadapkan telapak tangan kiri dan
telapak tangan kanan dan bersihkan sela – sela jari.

d. Mengepalkan tangan dan gosok pungung jari tangan


kanan dengan tangan kiri atau sebaliknya.

e. Membersihkan ibu jari dengan cara mengosok dan


putar ibu jari tangan kanan dengan tangan kiri atau
sebaliknya.

f. Bersihkan ujung jari dengan cara menggosok ujung


jari tangan kanan di atas telapak tangan kiri atau
sebaliknya

I. PENGURANGAN RISIKO PASIEN JATUH


Jatuh dapat diartikan sebagai hilangnya posisi tegak yang berakibat pada
berakhirnya posisi tubuh di lantai, tanah atau obyek lain seperti mebeler atau
tangga ; atau dapat diartikan perpindahan tubuh ke bawah dan mencapai
lantai/tanah atau membentur obyek lain (kursi, tangga, dsb.) secara tiba-tiba,
tidak terkontrol, tidak disengaja, dan tanpa tujuan.
Dokter/ perawat/ paramedis wajib melakukan asesmen terhadap pasien
dengan risiko jatuh dan memberikan identifikasi berupa gelang dan papan
petunjuk mengenai hal tersebut (lihat Panduan Pencegahan Pasien Jatuh).

19
Pasien yang telah diidentifikasi berpotensi atas risiko jatuh wajib dimonitor
dan dilakukan tindakan pencegahan (lihat SPO Pencegahan Pasien dengan Risiko
Jatuh).
Asesmen harus sudah ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 24 jam
sejak pasien dirawat di Rumah Sakit. Asesmen dilakukan oleh dokter penanggung
jawab pasien (DPJP) dan / atau perawat (minimal penanggung jawab shift /
kepala tim) dengan menentukan skore risiko jatuh berdasarkan Morse Fall
Scale.
Terhadap semua pasien baru dilakukan penilaian atau asesmen atas potensi
risiko jatuh dan penilaian diulang jika diindikasikan adanya perubahan kondisi
pasien atau pengobatan yang menimbulkan adanya risiko jatuh. Hasil penilaian
dimonitor dan ditindaklanjuti sesuai level risiko jatuh. Seluruh pasien rawat inap
dinilai risiko jatuh dengan menggunakan lembar penilaian risiko jatuh.Penilaian
memakai formulir Morse Fall Scale (MFS).
Kriteria Pasien dengan risiko jatuh (label Kuning – Morse Fall)
Upaya pencegahan risiko pasien jatuh : railing, restraint.
Indikasi restraint : gaduh gelisah, kejang.

J. PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN


Pelaporan secara anonym dan tertulis kepada Tim KPRS setiap kejadian nyaris
cidera (KNC) atau kejadian tidak diharapkan (KTD) yang menimpa pasien atau
kejadian lain yang terjadi di rumah sakit.
Alur Pelaporan Insiden ke Tim Keselamatan Pasien di RS (Internal)
a. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD) di rumah sakit, wajib segera
ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/akibat yang
tidak diharapkan.
b. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi
Formulir Laporan Insiden pada akhir jam kerja/shift kepada atasan langsung.
Paling lambat 2x24 jam, jangan menunda laporan.
c. Setelah selesai mengisi laporan, segera serahkan kepada atasan langsung
pelapor. (Atasan langsung disepakati sesuai Peraturan Manajemen :

20
Supervisor/Kepala Bagian/Instalasi/Departemen/Unit, Ketua Komite Medis/
Ketua KSMF)
d. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko
terhadap insiden yang dilaporkan
e. Hasil grading akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko
terhadap insiden yang dilakukan sebagai berikut : (Pembahasan lebih lanjut
lihat BAB III)
1) Grade biru: investigasi sederhana oleh atasan langsung, waktu maksimal 1
minggu
2) Grade hijau: investigasi sederhana oleh Atasan langsung, waktu maksimal
2 minggu
3) Grade kuning: investigasi komprehensif/Analisis akar masalah/RCA oleh
Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari.
4) Grade merah: investigasi komprehensif/Analisis akar masalah/RCA oleh
Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari.
f. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan
laporan insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
g. Tim KP di RS akan menganalisa kembali hasil investigasi dan laporan insiden
untuk menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan (RCA) dengan
melakukan Regrading.
h. Untuk grade Kuning/Merah, Tim KP di RS akan melakukan Analisa akr
masalah/Root Cause Analysis (RSC).
i. Setelah melakukan RCA, Tim KP di RS akan membuat laporan dan
Rekomendasi untuk perbaikan serta “Pembelajaran” berupa :
Petunjuk/”Safety Alert” untuk mencegah kejadian yang sama terulang
kembali.
j. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi.
k. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik
kepada unit kerja terkait.
l. Unit Kerja membuat analisa dan trend kejadian di satuan kerjanya masing-
masing.

21
m. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS. (Alur : Lihat Lampiran
4)
Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien di RS (Internal)
a. Faktor Kontributor
Adalah keadaan, tindakan atau faktor yang mempengaruhi dan berperan
dalam mengembangkan dan atau meningkatkan risiko suatu kejadian
(misalnya pembagian tugas yang tidak sesuai kebutuhan).
Contoh:
1) Faktor kontributor di luar organisasi (eksternal)
2) Faktor kontributor dalam organisasi (internal), misal : tidak adanya
prosedur
3) Faktor kontributor yang berhubungan dengan petugas (kognitif atau
perilaku petugas yang kurang, lemahnya supervisi, kurangnya teamwork
atau komunikasi).
4) Faktor kontributor yang berhubungan dengan keadaan pasien.
b. Analisa akar masalah/ Root cause analysis (RCA)
Adalah suatu proses berulang yang sistematik dimana faktor-faktor yang
berkontribusi dalam suatu insiden diidentifikasi dengan merekonstruksi
kronologis kejadian menggunakan pertanyaan “kenapa” yang diulang hingga
menemukan akar penyebabnya dan penjelasannya. Pertanyaan “kenapa”
harus ditanyakan hingga tim investigator mendapatkan fakta, bukan hasil
spekulasi.
Banyak metode yang digunakan untuk mengidentifikasi risiko, salah satu
caranya adalah dengan mengembangkan sistem pelaporan dan sistem
analisis. Dapat dipastikan bahwa sistem pelaporan akan mengajak semua
orang dalam organisasi untuk peduli akan bahaya/ potensi bahaya yang dapat
terjadi kepada pasien. Pelaporan juga penting digunakan untuk memonitor
upaya pencegahan terjadinya error sehingga diharapkan dapat mendorong
dilakukannya investigasi selanjutnya.
Mengapa pelaporan insiden penting?
 Karena pelaporan akan menjadi awal proses pembelajaran untuk
mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
22
Bagaimana memulainya?
 Dibuat suatu sistem pelaporan insiden di rumah sakit meliputi kebijakan,
alur pelaporan, formulir pelaporan dan prosedur pelaporan yang harus
disosialisasikan pada semua karyawan.
Apa yang harus dilaporkan?
 Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial
terjadi ataupun yang nyaris terjadi.
Siapa yang membuat Laporan Insiden?
 Siapa saja atau semua staf RS yang menemukan kejadian
 Siapa saja atau semua staf yang terlibat dalam kejadian.
Masalah yang dihadapi dalam Laporan Insiden
 Laporan dipersepsikan sebagai “pekerjaan perawat”
 Laporan sering disembunyikan, karena takut disalahkan.
 Laporan sering terlambat
 Bentuk laporan miskin data karena adanya budaya blame culture.
Bagaimana cara membuat Laporan Insiden?
Karyawan diberikan pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden mulai dari
maksud, tujuan dan manfaat laporan, alur pelaporan, bagaimana cara mengisi
formulir laporan insiden, kapan harus melaporkan, pengertian-pengertian
yang digunakan dalam sistem pelaporan dan cara menganalisis laporan.

23
BAB VII KESELAMATAN KERJA

Upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat


kesehatan para karyawan rumah sakit dilakukan dengan cara pencegahan kecelakaan
dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan,
pengobatan dan rehabilitasi.

A. PENGENDALIAN BAHAYA DI TEMPAT KERJA


1. Pengendalian Barang Berbahaya dan Beracun (B-3)
a. Tata Laksana Inventarisasi B-3
1) Melakukan pencatatan penggunaan, penyimpanan bahan dan limbah
berbahaya yang ada di lingkungan Rumah Sakit
2) Pencatatan/inventarisasi berdasarkan unit kerja terkait yang
menggunakan, menyimpan dan mengelola berdasarkan jenis, spesifikasi
dan kategori bahan.
3) Mapping lingkungan tempat kerja (area atau tempat kerja yang dianggap
berisiko dan berbahaya)
4) Melakukan pemantauan secara berkala oleh unit berwenang, akan
pengunaannya
5) Menyusun prosedur pencatatan, pelaporan, penanggulangan dan tindak
lanjutnya
b. Tata Laksana Penanganan B-3
Dalam penanganan B-3 (menyimpan, memindahkan, menangani tumpahan,
menggunakan, dsb.) setiap staf wajib mengetahui betul jenis bahan dan cara
penanganannya dengan melihat standar prosedur dan MSDS (material safety
data sheet) yang telah ditetapkan.
1) Penanganan untuk personil
a) Kenali dengan seksama jenis bahan yang akan digunakan atau
disimpan
b) Baca petunjuk yang tertera pada kemasan
c) Letakkan bahan sesuai ketentuan

24
d) Tempatkan bahan pada ruang penyimpanan yang sesuai dengan
petunjuk
e) Perhatikan batas waktu pemakaian bahan yang disimpan
f) Jangan menyimpan bahan yang mudah bereaksi di lokasi yang sama
g) Jangan menyimpan bahan melebihi pandangan mata
h) Pastikan kerja aman sesuai prosedur dalam pengambilan dan
penempatan bahan, hindari terjadinya tumpahan/kebocoran
i) Laporkan segera bila terjadi kebocoran bahan kimia atau gas.
j) Laporkan setiap kejadian atau kemungkinan kejadian yang
menimbulkan bahaya/kecelakaan atau nyaris celaka (accident atau
near miss) melalui formulir yang telah disediakan dan alur yang telah
ditetapkan.
2. Pengendalian dan Penanggulangan Kebakaran
a. Tata laksana identifikasi area berisiko kebakaran
1) Melakukan identifikasi area/lokasi yang berisiko
2) Melakukan inventarisasi bahan dan sumber yang berisiko terjadinya
kebakaran dimasing-masing unit Rumah Sakit.
3) Melakukan mapping (denah) area berdasarkan kategori dan jenis/tingkat
risiko bahaya kebakaran.
4) Memberikan tanda dan symbol tempat serta bahan yang mengandung
risiko kebakaran
5) Melakukan sosialisasi ke staf dan pengunjung tentang sumber risiko bila
terjadi kebakaran
b. Tata laksana pencegahan kebakaran
1) Memberikan informasi dan edukasi kepada staf, pasien, pengunjung
tentang bahaya kebakaran.
2) Memberikan pendidikan, pelatihan dan aplikasi/uji coba yang nyata
kepada staf tentang kebakaran secara berkala
3) Mengidentifikasi pemakaian, penggunaan dan penempatan bahan-
bahan/sumber-sumber/peralatan yang mengakibatkan kebakaran.
4) Menetapkan lokasi-lokasi yang dapat menyebabkan risiko kebakaran, baik
risiko kebakaran kecil maupun besar

25
5) Melakukan kontrol/inspeksi, perbaikan dan penggantian secara berkala
peralatan/fasilitas yang rusak atau sudah waktunya dilakukan
pembaharuan.
6) Menjauhkan peralatan dan fasilitas yang berisiko terbakar dengan
sumber/bahan yang mudah terbakar.
7) Menempatkan alat pemadam kebakaran di area-area/titik-titik tertentu
yang dapat mudah dijangkau oleh semua orang.
8) Memasang label, symbol dan tanda peringatan pada lokasi-lokasi yang
berisiko terjadinya kebakaran.
9) Mengatur/mendesain bangunan, peralatan dan sumber-sumber risiko
kebakaran sesuai dengan jarak aman yang diperkenankan.
10)Melakukan pengawasan setiap pembangunan didalam atau berdekatan
dengan bangunan yang dihuni pasien
c. Tata laksana deteksi dini kebakaran
1) Deteksi asap (smoke detector) dan alarm kebakaran
a) Penempatan peralatan disesuaikan dengan fungsi dan area berisiko
(public area)
b) Pastikan terlebih dahulu lokasi/area alarm kebakaran atau deteksi
asap yang bunyi/mendeteksi kebakaran.
c) Lakukan penanganan secepatnya bila sistem deteksi mengetahui
adanya tanda-tanda kebakaran dengan menuju lokasi terjadinya
kebakaran.
d) Ambil peralatan kebakaran yang tersedia/terjangkau sekitar
area/lokasi kebakaran dan melakukan tindakan penyelamatan.
e) Pemeliharaan sistem/komponen deteksi kebakaran yang dilakukan
secara berkala
f) Dilakukan uji coba/simulasi terhadap peralatan dalam periode
tertentu untuk memastikan fungsi dan kegunaan alat.
2) Patroli kebakaran
a) Penetapan/penunjukkan staf sebagai petugas patroli kebakaran
b) Adanya prosedur pengawasan yang menjadi prosedur baku yang
ditetapkan sebagai langkah control yang ada.

26
c) Adanya rute/jadwal ronda secara berkala untuk melakukan
pemantauan area/lokasi dan tempat/fasilitas yang berisiko terjadinya
kebakaran
d) Adanya sistem/kategori tingkat pengawasan lokasi/fasilitas dan area
public yang menimbulkan bahaya kebakaran besar, sedang dan kecil.
d. Tata laksana penghentian/supresi atau pengendalian kebakaran
1) Memastikan sistem penghentian/supresi pemadam kebakaran dapat
berjalan dengan baik dengan melakukan inspeksi dan uji coba secara
berkala atas fungsi alat.
2) Penggunaan dan penempatan peralatan disesuaikan dengan jenis bahan
pada lokasi yang mudah terjadinya kebakaran dan besarnya risiko yang
terjadi (supresan kimia dan springkler)
3) Gunakan sistem pemadaman sesuai dengan jenis/bahan yang terbakar,
sistem isolasi, sistem pendinginan dan sistem urai untuk mengurangi
serta membatasi api.
4) Memastikan petugas patroli kebakaran, staf dan pengunjung dapat
menggunakan peralatan pemadam kebakaran dengan baik dan tepat
sasaran sebagai fungsi pengendalian tingkat pertama sebelum terjadinya
kebakaran yang lebih besar lagi.
5) Memastikan ketersediaan APAR dan hydrant pada area/lokasi terdekat
atau pada titik rawan risiko terjadinya kebakaran
e. Tata laksana evakuasi
1) Pasien
a) Informasikan terjadinya kebakaran dengan membunyikan
alarm/sirene tanda bahaya kebakaran
b) Kepala ruangan/kepala unit yang terkait dengan pelayanan pasien
melakukan instruksi untuk melakukan pengosongan ruangan dengan
cara memindahkan pasien ke ruangan yang lebih aman/titik kumpul.
c) Kepala ruangan/kepala unit bekerjasama dengan kepala unit
perawatan dan perawat yang ada untuk mengevakuasi pasien dengan
terlebih dahulu menginformasikan alasan dilakukannya evakuasi.

27
d) Kepala ruangan/kepala unit dapat bekerjasama dengan keluarga dan
pengunjung yang berada dilokasi/ruangan untuk mempercepat
jalannya evakuasi pasien.
e) Lakukan evakuasi pada pasien yang mempunyai kondisi/keadaan yang
lebih stabil (dapat berjalan/menggunakan kursi roda), selanjutnya
evakuasi pasien yang berikutnya.
2) Karyawan & pengunjung/keluarga
a) Informasikan terjadinya kebakaran dengan membunyikan
alarm/sirene tanda bahaya kebakaran
b) melakukan evakuasi terhadap staf/tamu/pengunjung yang berada
dilokasi atau dekat dengan lokasi kebakaran (pengosongan area atau
gedung).
c) Mengarahkan dan memandu staf/tamu/pengunjung ke area yang
aman (titik kumpul) dari jangkauan kebakaran.
d) Mengamankan lokasi sekitar dari staf/tamu/pengunjung dan bantu
kelancaran jalur evakuasi petugas pemadam menuju area kebakaran
e) Lakukan pemadaman listrik instalasi yang terdekat dengan
area/lokasi kebakaran atau bahan-bahan/sumber yang dapat
menimbulkan terjadinya kebakaran yang lebih hebat.
f. Tata laksana penanganan korban kebakaran
1) Proses penanganan korban dilakukan secepatnya untuk mencegah risiko
kecacatan dan atau kematian
2) Menentukan prioritas penanganan terhadap korban dan penempatan
korban sesuai hasil triage
3) Evakuasi korban ke tempat yang lebih aman dan layak untuk dapat
dilakukan pertolongan
4) Melakukan stabilisasi atau tindakan dasar (basic live support) pada korban
5) Tindakan definitive sesuai kondisi kegawatan dan bila diperlukan
Memberikan tindakan perawatan lanjutan

28
B. PROMOSI KESEHATAN
1. Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja bagi SDM Rumah
Sakit:
a. Pemeriksaan fisik lengkap
b. Kesegaran jasmani;
c. Rontgen paru-paru (bilamana mungkin);
d. Laboratorium rutin;
e. Pemeriksaan lain yang dianggap perlu;
f. Pemeriksaan yang sesuai kebutuhan guna mencegah bahaya yang
diperkirakan timbul, khususnya untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu.
g. Jika 3 (tiga) bulan sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan
kesehatan oleh dokter (pemeriksaan berkala), tidak ada keragu-
raguan maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan sebelum
bekerja.
2. Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala bagi SDM Rumah Sakit
a. Pemeriksaan berkala meliputi pemeriksaan fisik lengkap,
kesegaran jasmani, rontgen paru-paru (bilamana mungkin) dan
laboratorium rutin, serta pemeriksaanpemeriksaan lain yang dianggap
perlu;
b. Pemeriksaan kesehatan berkala bagi SDM Rumah Sakit sekurang-
kurangnya 1 tahun.
c. Melakukan pemeriksaan kesehatan khusus pada :
1) SDM Rumah Sakit yang telah mengalami kecelakaan atau
penyakit yang memerlukan perawatan yang lebih dari 2 (dua)
minggu;
2) SDM Rumah Sakit yang berusia di atas 40 (empat puluh) tahun
atau SDM Rumah Sakit yang wanita dan SDM Rumah Sakit yang
cacat serta SDM Rumah Sakit yang berusia muda yang mana
melakukan pekerjaan tertentu;
3) SDM Rumah Sakit yang terdapat dugaan-dugaan tertentu
mengenai gangguan-gangguan kesehatan perlu dilakukan
pemeriksaan khusus sesuai dengan kebutuhan;
29
4) Pemeriksaan kesehatan kesehatan khusus diadakan pula
apabila terdapat keluhan-keluhan diantara SDM Rumah
Sakit, atau atas pengamatan dari Organisasi Pelaksana K3RS.
d. Melaksanakan pendidikan dan penyuluhan/pelatihan tentang
kesehatan kerja dan memberikan bantuan kepada SDM Rumah Sakit
dalam penyesuaian diri baik fisik maupun mental.
Yang diperlukan antara lain:
1) Informasi umum Rumah Sakit dan fasilitas atau sarana yang terkait
dengan K3;
2) Informasi tentang risiko dan bahaya khusus di tempat kerjanya;
3) SOP kerja, SOP peralatan, SOP penggunaan alat pelindung diri dan
kewajibannya.
4) Orientasi K3 di tempat kerja;
5) Melaksanakan pendidikan, pelatihan ataupun
promosi/penyuluhan kesehatan kerja secara berkala dan
berkesinambungan sesuai kebutuhan dalam rangka menciptakan
budaya K3.
e. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan
kemampuan fisik SDM Rumah Sakit :
1) Pemberian makanan tambahan dengan gizi yang mencukupi untuk
SDM Rumah Sakit yang dinas malam, petugas radiologi, petugas lab,
petugas kesling dll;
2) Pemberian imunisasi bagi SDM Rumah Sakit;
3) Olah raga, senam kesehatan dan rekreasi;
4) Pembinaan mental/rohani.

C. PENGOBATAN DAN REHABILITASI


1. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi SDM
Rumah Sakit yang menderita sakit :
a. Memberikan pengobatan dasar secara gratis kepada seiuruh SDM
Rumah Sakit;
b. Memberikan pengobatan dan menanggung biaya pengobatan untuk

30
SDM Rumah Sakit yang terkena Penyakit Akibat Kerja (PAK);
c. Menindak lanjuti hasil pemeriksaan kesehatan berkala dan pemeriksaan
kesehatan khusus.
d. Melakukan upaya rehabilitasi sesuai penyakit terkait.
2. Penyakit Akibat Kerja
Penyakit akibat kerja adalah penyakit penyakit yang ditimbulkan akibat
karyawan melakukan aktivitas pekerjaannya atau sebagai akibat/risiko yang
diitimbulkan karena aktivitas yang dilakukan karyawan selama melakukan
pekerjaan tersebut.Penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh factor-faktor
biologi (virus, bakteri, jamur, parasit), faktor kimia (antiseptik, reagen, gas
anestesi), faktor ergonomis (lingkungan kerja, cara kerja dan posisi kerja yang
salah), faktor fisik (suhu, cahaya, bising, listrik, getaran dan radiasi), faktor
psikososial (kerja bergilir, beban kerja, hubungan sesame pekerja/atasan)
sehingga dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja. Faktor-
faktor yang sangat mempengaruhi dari Penyakit Akibat Kerja berupa :
a. Jenis pekerjaan (saat ini dan sebelumnya)
b. Gerakan dalam bekerja
c. Tugas yang berat / berlebihan
d. Perubahan / pergeseran kerja
e. Iklim di tempat kerja

Rumah Sakit Buah Hati Ciputat


Direktur,

dr. Rianayanti Asmira Rasam, MARS.

31

Anda mungkin juga menyukai