Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan ±18.110 pulau


yang dimilikinya dengan garis pantai sepanjang 10.800 km. Indonesia meupakan negara
kepulauan yang terletak diantara dua Benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera
(Hindia dan Pasifik). Letak Indonesia yang strategis membuat Indonesia menjadi sasaran
empuk para penjajah. Keanekaan rempah yang kaya adalah salah satu motivasi penjajah
datang ke tanah air.

Ada banyak negara yang hendak menjajah Indonesia. Namun, tidak seperti
Belanda yang menjajah Indonesia selama sekitar 350 tahun. Para pejuang-pejuang tanah
air tak pernah pantang semangat menghalau Belanda, meski sejenak setelah kemerdekaan
Indonesia.??

Salah satunya adalah Lettu Suyitno. Lettu Suyitno merupakan salah satu
pahlawan lokal yang sangat berjasa bagi bangsa Indonesia terutama kota Bojonegoro,
sehingga dapat dikategorikan sebagai tokoh lokal yang memiliki nama besar. Lettu
Suyitno ini adalah salah satu tokoh nasional dari Bojonegoro yang berjuang melawan
Belanda dalam pertempuran di Palagan Temayang. Oleh sebab itu pemerintah daerah
Bojonegoro membangun monumen R.M. Soejitno Koesoemobroto sebagai bentuk
penghargaannya yang sudah berani dan mengorbankan dirinya dalam melawan penjajah
yang ada di kota minyak ini. Dengan berdirinya monumen tersebut pemerintah
Bojonegoro berharap agar seluruh generasi muda tau sosok R. M. Soejitno
Koesoemobroto serta mengerti betapa beratnya dalam mengusir penjajah.

2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terkait dengan latar belakang diatas yakni,
“Bagaimana lettu suyitno mengahalu kedatangan Belanda di Bojonegoro?”
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan menurut rumusan masalah yang terkait yakni untuk
mengetahui bagaimana Lettu Suyitno menghalau kedatangan Belanda di Bojonegoro.

4. Metodologi Penelitian

Guna memperoleh informasi sesuai yang dirumuskan dalam permasalahan


perlu seperangkat metode yang berupa urutan kerja penelitian. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau
(Gottschalk,1985:32). Menurut Gootschalk ada empat langkah kegiatan dalam
prosedur penelitian sejarah yaitu: (1) heuristik, (2) kritik sumber, (3) interpretasi, dan
(4) historiografi.

1. Heuristik

Heuristik merupakan kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau


yang berupa keterangan-keterangan, kejadian, benda-benda peninggalan masa
lampau, dan bahan tulisan (Gootschalk, 1985:33).Kegiatan yang dilakukan dalam
metode ini adalah dengan menggunakan sumber-sumber seperti buku dan
pencarian internet.

Jenis sumber dibagi menjadi dua yaitu :

1) Sumber Primer

Merupakan informasi yang diproleh dari kesaksian seorang saksi


dengan mata kepala sendiri atau saksi penca indera yang lain, atau
dengan alat mekanis seperti diktafon yakni orang atau alat yang hadir
pada peristiwa yang diceritakan.

a. Studi lapangan atau observasi

Observasi adalah suatu kegiatan untuk mengamati secara


langsung pada obyek penelitian guna mendapatkan gambaran yang
jelas mengenai obyek yang akan diteliti.
b. Wawancara

Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang


berupa penjelasan tentang sejarah berdirinya koperasi.

2) Sumber Sekunder (Pendukung)

Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian


ini adalah Studi Pustaka. Studi Pustaka adalah proses mencari, menelaah
dan menghimpun datasejarah yang berupa, buku-buku, dan dari internet
yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan diteliti. Dalam
penelitian ini penulis mendapatkan data-data berupa buku dengan
mengunjungi beberapa perpustakaan, yaitu Perpustakaan Al-Hikmah
MAN 1 Bojonegoro, serta Perpustakaan Daerah Bojonegoro dan artikel
dari internet.

2. Kritik Sumber

Tahap ini merupakan suatu kegiatan untuk mendapatkan data yang


tingkat kebenarannya atau kreadibilitasnya paling tinggi dengan melalui seleksi
data yang telah terkumpul.Kritik sumber ditempuh dengan melakukan kritik
ekstern dan intern.
3. Interpretasi dan Historiografi
Interpretasi adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkai fakta tersebut
menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Interpretasi dalam sejarah
dapat juga diartikan sebagai penafsiran suatu peristiwa atau memberikan pandangan
teoritis terhadap suatu peristiwa. Historiografi adalah penulisan sejarah.
Historiografi merupakan tahap terakhir dari kegiatan penelitian untuk penulisan
sejarah. Menulis kisah sejarah bukanlah sekadar menyusun dan merangkai fakta-
fakta hasil penelitian, melainkan juga menyampaikan suatu pikiran melalui
interpretasi sejarah berdasarkan fakta hasil penelitian.
5. Manfaat Penullisan
a. Bagi Peneliti
Dengan diketahui Lettu Suyitno sebagai pemimpin perjuangan rakyat Bojonegoro
menghalau Belanda, maka hasil penelitian ini bagi peneliti adalah menambah
pengalaman, wawasan dan memotivasi peneliti untuk giat melakukan penelitian.
b. Bagi Sekolah
Dengan diketahui Lettu Suyitno sebagai pemimpin perjuangan rakyat Bojonegoro
menghalau Belanda, maka hasil penelitian ini bagi sekolah adalah sekolah
mendapatkan laporan penulisan yang sifatnya ilmiah yang hasilnya dapat dibaca oleh
seluruh warga sekolah.
c. Bagi Masyarakat
Dengan diketahui diketahui Lettu Suyitno sebagai pemimpin perjuangan rakyat
Bojonegoro menghalau Belanda, maka hasil penelitian ini bagi masyarakat adalah
mendapatkan cara dalam memenuhi kebutuhan sehari hari dalam pemenuhan
kebutuhan bahan bangunan dengan limbah sebagai pengganti batu bata.
d. Bagi Pemerintah
Dengan diketahui diketahui Lettu Suyitno sebagai pemimpin perjuangan rakyat
Bojonegoro menghalau Belanda, maka untuk mendapatkan suatu inovasi dalam
penggunaan limbah kantong plastik sebagai pengganti batu bata sehinga pemerintah
dapat menentukan kebijakan yang berhubungan limbah kantong plastik dan dapat
mensosialisasikan kepada masyarakat luas.
BAB 1I
PEMBAHASAN

A. Perjuangan Lettu Suyitno

Dalam bahasan kali ini kami mengangkat seorang tokoh nasional dari Bojonegoro
yang bernama Lettu Suyitno beliau seorang putra dari R.M.A.A. Koesoemobroto Bupati
Tuban ke-37 (1927-1944). Nama asli beliau adalah Letnan Satu (Anumerta) Raden Mas
Soejitno Koesoemobroto.

Pemerhati sejarah Bojonegoro F.J.X Hury menjelaskan bahwa Lettu Suyitno 


bukan putra daerah asli Bojonegoro melainkan putra dari kabupaten tetangga, dengan
nama lengkap R.M Soejitno  Koesoemobroto.

Beliau lahir di Tuban, 4 November 1925 dan meninggal di Bojonegoro, 15


Januari 1949 pada umur 23 tahun. Semasa hidupnya R.M. Soejitno Koesoemobroto telah
mengeyam Pendidikan Dasar (ELS) di Tuban kemudian melanjutkan (HOS) nya di
Surabaya namun belum sampai lulus kemudian menyelesaikan pendidikan setingkat SMP
nya di Tuban. Setelah itu Soejitno melanjutkan pendidikan di Syodenco (Perwira  PETA)
di Bogor. Karier Suyitno diawali pada Zaman Penjajahan Jepang sebagai perwira PETA
(Syodenco) di Dai Ni Daidan Tuban.

Setelah Indonesia merdeka Soejitno masuk ke Badan Keamanan Rakyat (BKR),


Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara
Republik Indonesia (TRI), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Batalyon Suharto
Resimen 30 Divisi V Tuban. (http://www.viewBojonegoro.com/2017/02/monumen-lettu-
suyitno-Bojonegoro.html).

Tak berhenti disitu Lettu Soejitno  sempat berpindah ke Batalyon 16 Brigade


Ronggolawe dengan pangkat Letnan Satu dengan jabatan sebagai Perwira Operasi,
tepatnya pada awal tahun 1948. Dan ketika kles II tahun 1949 Lettu Suyitno  menjadi
komandan perlawanan dan pertempuran di Palagan Temayang. Palagan tersebut bermula
pada Agresi Militer Belanda yang ke-II. Yang mana pada sekitar tujuh hari sebelum
dilakukan penyerbuan ke Bojonegoro, Belanda telah menyiapkan jembatan darurat di
Desa Simo, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban, tepi Bengawan Solo. Tempat itu juga
yang menjadi kontak senjata dengan pasukan Ronggolawe yang bertugas
mempertahankan kota. Terbentang Bengawan Solo dengan lebar sungai masih 80 meter
saat itu, antara pasukan Ronggolawe dengan Belanda terjadi baku tembak.

Selain pasukan Belanda menembak untuk mengetahui pasukan lawan, dibantu


dengan pesawat terbang Catalina dan Mustang secara terpisah terbang mengitari
pertahanan kota. Di hari akhir-akhir persiapan di Desa Simo, perahu-perahu karet yang
masih dalam lipatan, dijatuhkan dari pesawat terbang untuk mempersiapkan
penyeberangan pasukan menuju selatan Bengawan Solo.

Pada 1 Januari 1949, pertahanan Kaliketek, yakni regu Sudarsi dihujani martir
dan menerima serangan lagi dari seberang Bengawan Solo. Setelah tak terdengar suara
tembakan, Sudarsi berangkat ke komando Batalyon untuk mengurus peralatan senjata
yang perlu diganti dan mengambil peluru tambahan untuk cadangan. Namun, Sudarsi
yang dalam perjalanan dari daerah pecinan Desa Karangpacar, tertembak dari atas loteng
sebuah rumah dan mengenai kepalanya. Karena lukanya yang parah itu, Sudarsi dibawa
ke rumah sakit dan gugur disana.

Tanggal 13 Januari 1949, Regu Sutrisno dan Regu Harjono, diperintahkan


memperkuat kedudukan Seksi Suwulo yang mempertahankan penyeberangan Glendeng.
Hari berikutnya, tanggal 14 Januari 1949, Belanda dikabarkan berhasil menyeberangi
bengawan dan menduduki Desa Glendeng dan pasukan pertahanan telah mundur.
Komandan Bataloyon menggunakan sedan berangkat ke pertahanan Kaliketek. Baru
sampai di wilayah tepi kota bagian tmur, Basuki Rahkmat memerintahkan untuk
menghentikan kendaraan di tepi jalan. Sebab, pesawat Catalina terbang rendah menuju
arah barat.

Bersamaan dengan itu, sebuah peluru ditembakkan dari pesawat. Pecahan peluru
mengenai Basuki Rahkmat pada pantatnya. Segera, perawatan diberikan dan diangkut ke
komando bataliyon di barat alun-alun dan selanjutnya dikirim ke luar kota untuk
menerima perawatan lanjutan.
Sore hari setelah peristiwa tersebut, Letnan Satu (Lettu) Suyitno, berangkat
menuju pertahanan di Kaliketek untuk menemui komandan pertahanan kota, Letnan Satu
Bambang Sumantri. Setelah mengetahui kondisi dan situasi kota keseluruhan, maka
kepada Suwolo beserta seksinya, malam hari untuk kembali menduduki Desa Glendeng.

Keesokan harinya, tanggal 15 Januari 1949, Sumantri dan Suyitno dikawal regu
Haryono, serta Sersan Nurwulan bintara kelompok komando kompi berangkat menyusul
Suwolo ke Glendeng. Sesampainya di Dukuh Ngangkatan, barat Glendeng, tampak di
seberang, kesibukan musuh, yakni Belanda sedang mengatur konstruksi jembatan untuk
dilewati melintasi Bengawan Solo. Lettu Suyitno bersama pejuang terus berusaha
mengahalau seadanya. Pada waktu itu, pejuang di sini hanya mempunyai empat senapan
mesin dengan alat seadanya seperti bambu runcing. Yang berbeda jauh di banding
pasukan marbrix dengan senjata lengkap. Memanfaatkan kondisi musuh, Suyitno
mengambil senapan mesin Lewis yang dibawa Harjono dan menembakkannya ke arah
tentara Belanda di seberang.

Tanpa sepengetahuan, ternyata di wilayah selatan, yakni di Glendeng, Belanda


telah memperkuat pertahanan dan mengamankan proses pemasangan jembatan. Sehingga,
tempat Suyitno menembak, sebutir granat meledak di dekatnya dan pecahan peluru
mengenai badannya, akhirnya Suyitno gugur di tempat. Karena tembakan terus
menghujani tempat jenazah Suyitno, Sumantri dan regu Harjono yang mengawal tidak
bisa mengambil dan merawat jenazah. Ada cerita yang berkembang di masyarakat Desa
Mulyoagung, bahwa meninggalnya lettu suyitno tepat di barat Balai Desa Mulyoagung.

Pada tanggal 15 Januari 1949, Belanda memang mulai melakukan pemasangan


jembatan dan pemindahan pasukan dari utara ke selatan untuk mempercepat gerakan
penyeberangannya. Dengan adanya jembatan, kendaraan serta peralatan berat bisa
diseberangkan ke Glendeng. Dengan demikian, Bojonegoro dalam keadaan terancam dari
wilayah timur. Meski pertahanan Kaliketek sudah ditarik mundur dan pasukan Marbrix
sudah sampai di tepi timur, mereka tidak melanjutkan pergerakan hari itu.

Esoknya, tanggal 16 Januari 1949, pasukan Belanda dengan tenaga pasukan yang
masih segar dan diperkuat kendaraan-kendaraan panser dan brencarrier serta dukungan
pesawat terbang, terjadi pertempuran-pertempuran kecil dan terpencar. Sehingga, Kota
Bojonegoro berhasil diduduki. Akibatnya, selain Lettu Suyitno yang gugur sebelumnya,
kemudian Sersan Sudarsi menyusul. Sedangkan Komandan Batliyon XVI mengalami
luka ringan, karena terkena senjata serta peralatan perang, juga banyak penduduk yang
menjadi korban dengan identitas yang tidak diketahui.

Setelah pertempuran yang begitu sengit. Serangan-serangan balasanpun dilakukan


oleh tentara trip. Hingga akhirnya dapat menghancurkan pasukan Belanda. kususnya
yang berada di serambi masjid Darussalam, di utara alun-alun dan di pinggiran
bengawan. Bukti sejarah kehancuran Belanda juga di temukannya mobil perang jenis jeep
tepat di bawah jembatan.

Begitulah perjuangan Lettu suyitno yang gigih memperjuangkan daerah


Bojonegoro agar tidak ikut dikuasai Belanda dalam Agresi Militernya yang ke-II.
Walaupun beliau bukan putra daerah Bojonegoro, akan tetapi semangat beliau untuk
memperjuangkan Bojonegoro begitu kuat.

Berkat jasanya dibuatlah Monumen Pahlawan Lettu Soejitno yang berdiri


menghadap ke selatan dan terbuat dari kuningan tersebut masih berdiri kokoh yang di
bangun pada tahun 1974/1975, dimana beliau telah berjasa besar sebab ikut terlibat dalam
mengusir Belanda yang ada di Bojonegoro pada masa itu.

Serta berdirinya monumen tersebut telah diresmikan oleh Pandam VIII Brawijaya
Mayjen Wijoyo Suyono tepatnya pada tanggal 3 February 1975, dan bangunannya masih
terlihat kokoh dan kuat di bagian tengah taman kota .  dan kini nama beliau juga d
abadikan menjadi nama sebuah jalan di Kabupaten Bojonegoro yaitu Jalan Lettu
Suyitno.

Anda mungkin juga menyukai