Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

WADI‟AH DAN „ARIYAH

Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi

Dosen Pengampu :

Awatif Tiana

Disusun Oleh :

Auria Lestiana Dewi 2251030026

Nurul Fitriani 2251030228

Nurul Hadi Zuherman 2251030229

AKUNTANSI SYARI‟AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1444 H / 2022 M

i
KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat, berkah, dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah kelompok “Wadi‟ah Dan
„Ariyah”.Sholawat dan salam tak lupa penulis haturkan kepada baginda nabi
Muhammad SAW.

Dalam penulisan makalah kali ini penulis dapat mengetahui tentang


pemahaman tentang ayat-ayat yang membahas tentang wadi‟ah dan „ariyah beserta
tafsirnya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Teman-teman satu kelompok, terimakasih atas kekompakan dalam


penyelesaian tugas makalah ini.
2. Terkhusus untuk dosen pengampu mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi

Penulis menyadari jika makalah yang disajikan ini belumlah sempurna. Untuk
itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya
makalah ini. Semoga makalah ini berguna dan menambah pengetahuan bagi para
pembaca.

Wassalamu alaikum Wr. Wb

Bandar Lampung, Maret 2023

Kelompok VIII

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

I.I Latar Belakang......................................................................................1

I.II Rumusan Masalah................................................................................2

I.III Tujuan.................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3

II.I Wadi‟ah...............................................................................................3

II.II Jenis-jenis Wadi‟ah............................................................................4

II.III Landasan Hukum Wadi‟ah...............................................................5

II.IV Al-„Ariyah........................................................................................6

BAB III PENUTUP.......................................................................................9

III.I Kesimpulan..........................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................10

i
BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang


Kata „aariyyah (pinjam meminjam) dalam kebiasaan orang orang
digunakan untuk dua makna, yaitu makna hakiki dan makna majazi. Yang akan
menjadi pembahasan kita di sini adalah makna hakikinya, yaitu peminjaman
terhadap benda-benda yang bisa dimanfaatkan dengan tetap utuhnya sosok benda
itu. Konsekuensi hukumnya, menurut para ulama madzhab Maliki dan jumhur
madzhab Hanafi, adalah peminjam memiliki manfaat benda yang dia pinjam tanpa
memberi imbalan, atau dia memiliki sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai
manfaat secara tradisi dan kebiasaan. Al-Kurkhi, para ulama madzhab Syafi‟I dan
para ulama madzhab Hanbali mengatakan bahwa konsekuensi dari akad pinjam-
meminjam adalah peminjam boleh memanfaatkan benda yang ia pinjam.
Konsekuensi perbedaan kedua kelompok di atas dalam mendefinisikan akad
pinjam meminjam adalah bahwa menurut kelompok pertama, peminjam boleh
meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain, walaupun tidak ada
izin dari pemiliknya. Tetapi madzhab Maliki mengatakan jika pemilik barang
melarang peminjam meminjamkannya kepada orang lain, maka dia tidak boleh
meminjamkannya. Dan menurut madzhab yang kedua, peminjam tidak boleh
meminjamkannya kembali barang pinjaman itu. karena akadnya hanya pinjam
meminjam saja, sehingga peminjam tidak mempunyai kewenangan untuk
memberikan kebolehan kepada orang lain.

Selanjutnya adalah wadi‟ah, ada dua definisi wadi‟ah yang dikemukakan


ahli fikih. Pertama, ulama Mazhab Hanafi mendifinisikan wadi‟ah
dengan,“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan
ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat.” Misalnya,
seseorang berkata kepada orang lain, “Saya titipkan tas saya ini kepada Anda,”
lalu orang itu menjawab, “Saya terima.” Maka sempurnalah akadwadi‟ah. Atau
seseorang menitipkan buku kepada orang lain dengan mengatakan, “Sayatitipkan
buku saya ini kepada Anda,” lalu orang yang dititipi diam saja (tanda setuju).

1
Kedua, ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‟I dan Mazhab Hanbali (jumhur
ulama) mendefinisikan wadi‟ah dengan “Mewakilkan orang lain untuk
memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.”

I.II Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Wadi‟ah ?


2. Apa yang dimaksud dengan „Ariyah ?

I.III Tujuan Penulisan

1. Mengetahui apa itu wadi‟ah beserta ayat-ayat yang berkaitan dengan


hal tersebut.
2. Mengetahui apa itu „ariyah beserta ayat-ayat yang berkaitan dengan
hal tersebut.

2
BAB II
PEMBAHASAN

II.I Wadi‟ah

Wadiah dalam bahasa fiqih adalah barang titipan atau memberikan, juga
diartikan i‟tha‟u al-mal liyahfadzahu wa fi qabulihi yaitu memberikan harta
untuk dijaganya dan pada penerimaannya. Karena itu, istilah wadi‟ah sering
disebut sebagai ma wudi‟a „inda ghair malikihi liyahfadzuhu yang artinya
sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga. Seperti
dikatakan qabiltu minhu dzalika al- malliyakuna wadi‟ah „indi yang berarti aku
menerima harta tersebut darinya. Sedangkan Al-Qur‟an memberikan arti wadi‟ah
sebagai amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib
mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali.

Ada dua definisi wadi‟ah yang dikemukakan ahli fikih. Pertama, ulama
Mazhab Hanafi mendifinisikan wadi‟ah dengan,“mengikutsertakan orang lain
dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan,
maupun melalui isyarat.” Misalnya, seseorang berkata kepada orang lain, “Saya
titipkan tas saya ini kepada Anda,” lalu orang itu menjawab, “Saya terima.”
Maka sempurnalah akadwadi‟ah. Atau seseorang menitipkan buku kepada orang
lain dengan mengatakan, “Sayatitipkan buku saya ini kepada Anda,” lalu orang
yang dititipi diam saja (tanda setuju). Kedua, ulama Mazhab Maliki, Mazhab
Syafi‟I dan Mazhab Hanbali (jumhur ulama) mendefinisikan wadi‟ah dengan
“Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.”

Wadi‟ah dipraktekkan pada bank-bank yang menggunakan sistem


syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI, Bank Islam). Bank Muamalat
Indonesiamengartikan wadi‟ah sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip
boleh digunakan oleh bank. Konsep wadi‟ah yang dikembangkan oleh BMI
adalah wadi‟ah yad ad dhamanah (titipan tentang resiko ganti rugi).

Oleh sebab itu, wadi‟ah yang oleh para ahli fiqih disifati dengan yad Al-

3
Amanah (titipan murni tanpa ganti rugi) dimodifikasi dalam bentuk yad ad
dhamanah (dengan resiko ganti rugi). Konsekuensinya adalah jika uang itu
dikelola pihak BMI dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan
menjadi milik bank.

II.II Jenis-jenis Wadi‟ah

Akad berpola titipan (wadi‟ah) ada dua, yaitu Wadi‟ah yad Amanah dan
Wadi‟ah yad Dhamanah. Pada awalnya, Wadi‟ah muncul dalam bentuk yad al-
amanah “tangan amanah”, yang kemudian dalam perkembangan memunculkan
yadh-dhamanah“tangan penanggung”. Akad Wadi‟ah yad Dhamanah ini
akhirnya banyak dipergunakan dalam aplikasi perbankan syariah dalam produk-
produk pendanaan. Dalam Islam wadi‟ah dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu:

1. Wadi‟ah yad Amanah yaitu barang yang dititipkan sama sekali tidak
bolehdigunakan oleh pihak yang menerima titipan

2. Wadi‟ah yad Dhamanah adalah titipan terhadap barang yang dapat


dipergunakanatau dimanfaatkan oleh penerima titipan.

4
II.III Landasan Hukum Wadiah

Wadiah diterapkan dalam hukum Perbankan di Indonesia karena wadiah


mempunyai landasan yang kuat. Sehingga pelaksanaan wadiah itu harus sesuai
dengandalil-dalil sebagai berikut:
a. Al-Qur‟an
Ulama‟ fiqh sependapat bahwa al-wadi‟ah adalah salah satu
akad dalam rangkatolong menolong antara sesama manusia.
landasannya firman Allah SWT.
Yang Artinya:
 Surat An-Nisa’ Ayat (58)
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di
anatara manusia hendaknya

kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang


memberipengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar
dan Maha Melihat”.
 Surat Al-Baqarah (283)

“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak


mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan
yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya(utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena
barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor
(berdosa), Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

b. Hadist
 Sabda Nabi Saw:”Serahkanlah amanat kepada orang yang
mempercayai anda dan janganlah anda mengkhianati orang
yang mengkhianati anda”
 Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW

5
bersabda: “Tunaikanlah amanat (titipan) kepada yang berhak
menerimanya dan janganlah membalas khianat kepada orang
yang telah mengkhianatimu.” (H.R. ABU DAUD dan
TIRMIDZI).
 Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang
tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R
THABRANI).
 Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau
mempunyai (tanggung jawab) titipan. Ketika beliau akan
berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman
dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk
menyerahkannya kepada yang berhak.”

Dalam hadist Rasulallah SAW. disebutkan, “Serahkanlah


amanat kepada orang yang yang mempercayai anda dan janganlah
anda mengkhianati anda.” (H.R. ABU DAWUD, TIRMIDZI, Dan
HAKIM).

II.IV Al-„Ariyah

Al-„Ariyyah dengan huruf ya di tasydidkan dan ada yang di tahfifkan/tidak


ditasydid. Al-aariyyah lebih fasih dan lebih masyhur yang ditasydidkan. Al-
aariyyah sendiri adalah nama untuk sesuatu yang dipinjamkan, atau akad untuk
pinjam meminjam.

Kata Al-aariyyah terambil dari kata „aara yang artinya pergi dan datang.
Ada juga yang mengatakan bahwa „aariyyah terambil dari kata at-tadawur, yang
artinya tadaawul atau saling bergantian.

Al- „Aariyyah ialah sesuatu yang diberikan kepada orang yang bisa
memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada
pemiliknya. Menurut para ulama madzhab Syafi‟I dan Hambali „aariyyah
merupakan pemberian izin kepada orang lain untuk mengambil manfaat dari suatu

6
benda yang dimiliki tanpa adanya imbalan. „Aariyyah merupakan sebuah
kebaikan yang diperintahkan oleh Alloh sebagaimana firmanNya:

‫يه‬Kِ‫ْ سن‬
‫ال‬ ‫ُي ِح‬ ‫ ْح سُنوا ۛ ِإ‬Kَ‫وأ‬
‫ُمح‬ ََّ ‫َّن ل‬
‫ب‬ ‫ا‬

“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang


berbuat baik”.
„ariyah merupakan bolehnya menggunakan atau memanfaatkan suatu barang
bukan untuk memilikinya. Berbeda lagi dengan hibbah (hadiah).

A. Konsekuensi hukum akad pinjam meminjam

Kata „aariyyah (pinjam meminjam) dalam kebiasaan orang-orang digunakan


untuk dua makna, yaitu makna hakiki dan makna majazi. Yang akan menjadi
pembahasan kita di sini adalah makna hakikinya, yaitu peminjaman terhadap
benda-benda yang bisa dimanfaatkan dengan tetap utuhnya sosok benda itu.

Konsekuensi hukumnya, menurut para ulama madzhab Maliki dan jumhur


madzhab Hanafi, adalah peminjam memiliki manfaat benda yang dia pinjam tanpa
memberi imbalan, atau dia memiliki sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai
manfaat secara tradisi dan kebiasaan.

Al-Kurkhi, para ulama madzhab Syafi‟I dan para ulama madzhab Hanbali
mengatakan bahwa konsekuensi dari akad pinjam-meminjam adalah peminjam
boleh memanfaatkan benda yang ia pinjam.

Konsekuensi perbedaan kedua kelompok di atas dalam mendefinisikan akad


pinjam meminjam adalah bahwa menurut kelompok pertama, peminjam boleh
meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain, walaupun tidak ada
izin dari pemiliknya. Tetapi madzhab Maliki mengatakan jika pemilik barang
melarang peminjam meminjamkannya kepada orang lain, maka dia tidak boleh
meminjamkannya.

7
Dan menurut madzhab yang kedua, peminjam tidak boleh meminjamkannya

8
kembali barang pinjaman itu. karena akadnya hanya pinjam meminjam saja,
sehingga peminjam tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan kebolehan
kepada orang lain.

B. Hak-hak pemanfaatan benda pinjaman


Jumhur ulama, selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa peminjam boleh
memanfaatkan benda pinjaman sesuai dengan izin pemiliknya. Menurut madzhab
Hanafi mengatakan bahwa hak-hak yang diberikan kepada peminjam dalam akad
ini berbeda sesuai dengan bentuk akad itu, apakah ia bersifat mutlak atau dibatasi.
1. Akad pinjam meminjam yang mutlak adalah jika seseorang
meminjam sesuatu tanpa menjelaskan apakah dia menggunakannya
sendiri atau untuk orang lain. Dan tidak menjelaskan bagaimana
penggunaannya. Maka konsekuensi dari akad ini, peminjam
menempati posisi pemilik barang, sehingga semua yang dilakukan
pemilik terhadap barang itu dalam rangka mengambil manfaat
darinya juga boleh dilakukan oleh peminjam.
2. Akad pinjam meminjam yang dibatasi. Adapun akad yang ini
adalah dibatasi waktu dan penggunaannya secara bersamaan atau
salah satunya. Konsekuensinya peminjam harus memperhatikan
batasan itu semampunya.

9
BAB III
PENUTUP

III.I Kesimpulan

Al-Wadi‟ah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan


atau meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan
dijaga. Dari aspek teknis, wadi‟ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu
pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip kehendaki. Sedangkan Al- „Aariyyah ialah
sesuatu yang diberikan kepada orang yang bisa memanfaatkannya hingga waktu
tertentu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya.

Dalam Islam wadi‟ah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu


Wadi‟ah yad amanahdan Wadi‟ah yad dhamanah.
Menurut Syafi‟iyah, al-wadi‟ah memiliki tiga rukun yaitu:
a. Barang yang dititpkan: syarat barang yang dititipkan adalah barang
atau benda itu merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut
syara‟.
b. Orang yang meitipkan dan yang menerima titipan: disyaratkan bagi
peniip dan penerima titipan sudah balig, berakal, serta syarat-syarat
lain yang sesuai dengan syarat-syarat berwakil.
c. Pernyataan serah terima disyaratkan pada ijab qabul ini dimengerti
oleh kedua belah pihak, baik dengan jelas maupun samar.

Landasan hukum wadi‟ah tertera pada Q.S. An-Nisa‟ : 58 dan Q.S. Al-
Baqarah:283 dan ada juga di dalam hadis dari Nabi. Adapun aplikasi dari
masing- masing wadi‟ahyaitu :

1. Wadi‟ah yad amanah berupa harta benda, dokumen, dan barang


berharga lainnya
2. Wadi‟ah yad dhamanah berupa giro wadi‟ah dan tabungan wadi‟ah

1
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/38334979/makalah_ARIYAH_pinjam_meminjam_

https://www.studoc.com/id/document/universitas-islam-negeri-sunan-kalijaga-
yogyakarta/fiih-ibadah-dan-muamalah/makalah-fikih-4-akad-
wadiah-qord-dan-ariyah-1/46633612

Anda mungkin juga menyukai