Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

BENTUK NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN

Dosen Pengampu : Rudi Santoso, S.H.I.,M.H.I.,M.H.

Disusun oleh :

Kelompok 4

Irfan Permana Putra : 2021020085

Ishma Shalihah : 2021020086

Isnu Azharyuda : 2021020087

PROGAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

(SIYASAH SYAR’IYYAH) FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN

LAMPUNG

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas rahmat dan
karunianya, sehingga penulisan makalah ini dapat menyelesaikan tugas Mata
Kuliah Kapita Selekta dengan lancar.
Sholawat teriring salam, senantiasa tercurahkan kepada baginda
Rosulullah Muhammad Saw. Berkat beliau agama islam menjadi
Rohmatalill‟alamin dan ilmu pengetahuan dapat kita peroleh.
Makalah ini saya selesaikan dan guna memenuhi tugas Mata Kuliah
Kapita Selekta. Saya mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu. Khususnya kepada bapak Rudi Santoso, S.H.I.,M.H.I.,M.H. Selaku
dosen pembimbing Mata Kuliah Kapita Selekta.
Saya sadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan informasi bagi
pembaca dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.

Bandar Lampung, 27 September 2022

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang ................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................... 3

A. Bentuk dan Susunan Negara ............................................................ 3

B. Prinsip Demokrasi dan Negara Hukum .......................................... 10

C. Sistem Pemerintahan ...................................................................... 20

BAB III PENUTUP................................................................................ 28

Kesimpulan ............................................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 30

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah bentuk negara berasal dari bahasa Belanda, yaitu ”staatvormen”.


Menurut para ahli ilmu negara istilah staatvormen diterjemahkan ke dalam
bentuk negara yang meliputi negara kesatuan, federasi, dan konfederasi. Jika
dilihat dari bentuk negara yang berlaku umum di dunia maka bentuk negara
secara umum dibagi menjadi 2 yaitu:

 Negara kesatuan, merupakan bentuk negara yang sifatnya tunggal dan


tidak tersusun dari beberapa negara yang memiliki kedaulatan, tidak
terbagi, dan kewenangannya berada pada pemerintah pusat. Contoh negara
yang berbentuk kesatuan adalah Indonesia, Filipina, Thailand, Kamboja
dan Jepang

 Negara federasi atau serikat, adalah negara bersusunan jamak, terdiri atas
beberapa negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat. Contoh
negara yang berbentuk federasi adalah Amerika Serikat, Malaysia,
Australia, Kanada, Meksiko, Irlandia, New Zealand, India.

Sistem pemerintahan dibagi menjadi dua yaitu: Sistem Pemerintahan


Presidensial dan Sistem Pemerintahan Parlementer. Sistem presidensial
(presidensiil), merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana
kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan
legislatif. Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana
parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Bentuk dan Susunan Negara ?


2. Bagaimana Prinsip Demokrasi dan Negara Hukum ?
3. Bagaimana Sistem Pemerintahan ?
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Bentuk dan Susunan Negara.

1
2. Untuk Mengetahui Prinsip Demokrasi dan Negara Hukum.

3. Untuk Mengetahui Sistem Pemerintahan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Bentuk Dan Susunan Negara

1. Bentuk Negara Republik

Dalam literatur hukum dan politik, yang biasa disebut sebagai


bentuk-bentuk negara atau “Staatsvormen” itu menyangkut pilihan antara
kerajaan (monarki) atau republik. Namun, dalam sejarah dikenal pula
adanya bentuk lain seperti khalifah dan kekaisaran. Di Kerajaan Jepang
sebelum Perang Dunia Kedua, dikenal adanya kaisar, atau idi amin di
Uganda pernah juga memproklamasikan diri sebagai kaisar. Turki pernah
dipimpin oleh Khalifah yang membawahi wilayah negeri-negeri Islam
yang sangat luas dan tergabung dalam Kekhalifahan Osmani. Namun, di
zaman sekarang, pada umumnya dipahami bahwa pengertian bentuk
negara (staatsvorm) itu berkaitan dengan dua pilihan, yaitu:

a) Bentuk Kerajaan (Monarki): dan

b) Bentuk Republik.

Dalam monarki, pengangkatan kepala negara dilakukan melalui garis


keturunan atau hubungan darah, sedangkan dalam republik tidak
didasarkan atas pertalian atau hubungan darah. Di berbagai kerajaan,
kepala negara disebut dengan berbagai macam istilah, dan mekanisme
pergantian kepala negara berdasarkan keturunan Itu juga dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara. Di Inggris dan juga di Belanda, yang
diangkat sebagai Kepala Negara adalah anak tertua Raja/Ratu. Baik laki-
laki ataupun perempuan dapat menjadi pewaris tahta kerajaan, sehingga
jabatan kepala Negara dapat dipegang oleh Raja (King) dan Ratu (Queen).

Di Jepang lain lagi. Kepala Negara biasanya disebut raja atau kaisar
dan selalu laki-laki. Yang dapat diangkat menjadi kaisar adalah putera
laki-laki tertua. Hal ini di tegaskan dalam UUD jepang bahwa yang berhak

3
menjadi kaisar adalah laki-laki.1

Sementara itu, kerajaan Malaysia yang berbentuk federal


menerapkan sistem negaranya berbeda dalam hal pergantian rajanya.
Kepala Negara disebut yang dipertuan agong yang berasal dari antara para
raja atau sultan dari Negara-negara bagian yang membentuk dewan raja-
raja. Yang dipertuan agong ditentukan secara bergilir di antara anggota
para raja atau sultan dalam Dewan Raja-raja itu.

Berbeda dari kerajaan, kepala negara republik biasanya disebut


presiden arau ketua seperti di Republik Rakyat Cina, ataupun dengan
istilah lain sesuai dengan bahasa setempat yang berlaku. Kepala negara
republik tidak ditentukan berdasarkan keturunan tetapi berdasarkan
pemilihan atau dengan cara lain yang tidak berdasarkan keturunan. Di
negara yang demokratis, pergantian kepala negara dilakukan secara
demokratis, yaitu melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui
pemilihan tidak langsung oleh wakil-wakil rakyat. Sedangkan di negara-
negara yang tidak demokratis, pengangkatan kepala negara dapat saja
dilakukan dengan cara lain, misalnya, kudeta, penunjukan langsung oleh
kepala negara terdahulu, dan sebagainya. Akan tetapi, yang jelas kepala
negara republik tidak ditentukan berdasarkan garis keturunan darah atau
pewarisan.

Kata republik itu sendiri berasal dari kata “respublicae” (res +


publicae) yang mengandung arti hak atau kepentingan rakyat. Istilah ini
diambil dari tradisi Romawi, yaitu dari bahasa Latin. Di Yunani sendiri,
pada pokoknya istilah ini belum dikenal atau setidaknya belum digunakan
secara luas. Istilah republik itu baru dipakai untuk pengertian bentuk
negara di zaman modern.2

Di Indonesia sendiri menganut Negara republik, ketentuan mengenai


bentuk republik kemudian tercermin dalam rumusan resmi pasal 1 ayat (1)
UUD 1945, yaitu bahwa, “Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang

1
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2007), p. 277.
2
Asshiddiqie, p. 279.

4
berbentuk republik”.3

2. Susunan Negara Kesatuan

Negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 adalah negara


dengan susunan organisasinya berbentuk negara kesatuan (unitary state,
eenbeidstaat). Di dunia sekarang, dibedakan adanya empat macam susunan
organisasi negara, yaitu:

a) Negara Kesatuan (Unitary State, Eenheidsstaat), yaitu negara;

b) Negara Serikat atau Federal (Federal State, Bondsstaan);

c) Negara Konfederasi (Confederasion, Statenbond);

d) Negara Superstruktural (Superstate) seperti Uni Eropa.

Yang pertama adalah negara kesatuan di mana kekuasaan negam


terbagi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Kekuasaan
asli terdapat di tingkat pusat, sedangkan kekuasaan daerah mendapatkan
kekuasaan dari pusat melalui penyerahan sebagian kekuasaan yang
ditentukan secara tegas. Sebaliknya, dalam Negara Serikat, kekuasaan
negara terbagi antara Negara Bagian dan Pemerintahan Federal.
Kekuasaan asli ada di Negara Bagian sebagai badan hukum negara yang
bersifat sendiri-sendiri yang secara bersama-sama membentuk
Pemerintahan Federal dengan batas-batas kekuasaan yang disepakati
bersama oleh negara-negara bagian dalam Konstitusi Federal. Urusan
pertahanan, keuangan, dan hubungan luar negeri di negara serikat selalu di
tentukan sebagai urusan pemerintahan federal, sehingga dalam praktik
Pemerintahan Federal cenderung sangat kuat kedudukannya. Dalam
pengalaman pada abad ke-20, di berbagai negara serikat timbul
kecenderungan terjadinya sentralisasi penge lolaan kekuasaan negara ke
tangan pemerintahan federal.

Yang ketiga adalah konfederasi (statenbond) yang merupakan


persekutuan antar negara-negara yang berdaulat dan independen yang
karena kebutuhan tertentu mempersekutukan diri dalam organisasi
kerjasama yang longgar. Umpamanya, negara-negara merdeka bekas Uni
3
Asshiddiqie, p. 281.

5
Soviet, setelah Uni Soviet bubar, bersama sama membentuk Confederasion
of Independent States (CIS). Sifat persekutuannya sangat longgar,
sehingga menyerupai organisasi kerjasama antar negara yang biasa, seperti
ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), Arab League, dan
sebagainya. Sedangkan yang keempat adalah fenomena baru sejak
terbentuknya dan berkembangnya Uni Eropa. Organisasi Uni Eropa
(European Union) tidak dapat disebut sebagai orga nisasi seperti
konfederasi, karena sifatnya sangat kuat. Namun, sebagai persekutuan
antar negara, organisasi ini tidak dapat lagi disebut sebagai persekutuan
biasa, karena di dalamnya terdapat fungsi-fungsi kenegaraan yang lazim,
seperti fungsi legislasi, fungsi administrasi, dan bahkan fungsi peradilan
Eropa.

Namun, untuk disebut sebagai pemerintahan negara yang tersendiri,


bentuk dan susunannya tidak dapat dibandingkan dengan organisasi negara
kesatuan ataupun negara serikat. Bahkan, jika kelak Konstitusi Eropa
dapat disepakati dan akhirnya diratifikasi oleh masing-masing negara
anggotanya, maka Uni Eropa itu dapat dikatakan telah benar-benar
menjadi Negara yang tersendiri. Sekarang ini pun sudah banyak orang
yang menyebut organisasi Uni Eropa ini sebagai "Super State" atau Negara
Super yang merupakan super struktur (superstructure) dari negara-negara
Eropa yang menjadi anggotanya.

Dari keempat bentuk susunan organisasi negara tersebut, Republik


Indonesia memilih bentuk yang pertama, yaitu Negara Kesatuan atau
Unitary State (Eeenheidsstaat). Dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, hal ini
ditegaskan, "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik."

Dalam Pasal 1 ayat (1), ditentukan bahwa "Negara Indonesia ialah


Negara Kesatuan yang berbentuk Republik" dapat dilihat adanya beberapa
pengertian. Pertama, Negara yang diatur dalam UUD ini bernama Negara
Indonesia; Kedua, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan; Ketiga,
Negara Indonesia berbentuk Republik. Karena itu, Negara Indonesia dan
Undang Undang Dasar 1945 tidak dapat dilepaskan dari eksistensi NKRI

6
atau Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apalagi, adanya kata "ialah"
dalam rumusan "Negara Indonesia ialah' Negar Kesatuan" menunjukkan
rumusan yang bersifat definitif. Artinya, jika bukan Negara Kesatuan,
maka namanya bukan lagi Negara Indonesia.

Negara Kesatuan Indonesia itu ditentukan tegas sebagai negara yang


Republik. Konsepsi tentang bentuk negara (staatsvorm) itu terkait dengan
pilihan bentuk republik atau kerajaan (monarki). Terkadang oleh para
sarjana, konsepsi tentang bentuk negara itu dikaitkan dengan pilihan
bentuk Negara Kesatuan (unitary state, eenbeidstaat), Negara Serikat atau
Federal (federal, bondsstaat), atau Negara Konfederasi (confede rasion,
statenbond). Negara Kesatuan adalah bentuk negara atau staatsvorm,
sedangkan Republik adalah bentuk pemerintahan atau "regeringsvorm".
Namun, menurut sarjana yang lain, konsepsi tentang bentuk negara
(staatsvorm) itu dikaitkan dengan pilihan republik atau monarki.
Sedangkan negara kesatuan atau federasi merupakan konsepsi tentang
susunan organisasi negara.

Ketika UUD 1945 dirumuskan dalam sidang-sidang BPUPKI,


pilihan mengenai susunan organisasi negara Indonesia merdeka yang
hendak didirikan, disepekati berbentuk negara kesatuan dengan rumusan,
"Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik".
Negara Kesatuan tersebut tersusun atas daerah-daerah bagian. Dalam
Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 dinyatakan,

"I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat,


maka Indonesia tak akan memunyal daerah di dalam
lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan
dibagi dalam daerah provinal dan daerah provinsi akan dibagi
pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang
bersifat otonom (streek en locale rechtsgemeenschappen) atau
bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan
yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-
daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan
daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi

7
atas dasar permusyawaratan".

"II. Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih


kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeen-
schappen, seperti desa di Jawa dan Ball, nagari di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu memunyal susunan asli dan oleh karenanya
dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara
Republik Indonesia menghormati daerah-daerah istimewa
tersebut dan segala peraturan negara yang mengenal daerah-
daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut".

Artinya, pertama, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia


berdasarkan Pasal 1 ayat (1) tersebut di atas, ada pro vinsi dan provinsi
dibagi lagi ke dalam daerah-daerah yang lebih kecil, yang sekarang
dinamakan daerah kabupaten dan kota. Kedua, dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia itu, ada daerah-daerah yang disebut daerah
yang bersifat otonom dan ada pula daerah yang bersifat administratif
belaka. Semua hal ini akan diatur tersendiri dengan undang-undang.
Ketiga, di semua daerah yang bersifat otonom, harus diadakan pula badan
badan perwakilan rakyat, karena di daerah-daerah itu juga ber laku prinsip
kedaulatan rakyat. Keempat, dalam wilayah NKRI terdapat pula daerah-
daerah yang bersifat istimewa yang " kan juga dengan bentuk-bentuk
komunitas yang merupakan zelfbesturende landschappen dan
volksgemeen-schappen. Jumlah seluruh Indonesia kurang lebih ada 250
komunitas, atau bahkan sebenarnya jauh lebih banyak lagi dari yang
diperkirakan.

Hak-hak tradisional komunitas etnis yang beraneka ragam ini harus


dihormati dan dilindungi serta tidak boleh dilanggar oleh peraturan
perundang-undangan negara. Bahkan, Pasal 18B ayat (1) hasil Perubahan
Kedua UUD 1945 pada tahun 2000 menentukan,

"Negara mengakui dan menghormati satu-satuan pemerintahan


daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang".

8
dan dalam ayat (2) ditentukan,

"Negara mengakul dan meghormati kesatuan-kesatuan masyarakat


hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesual dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang".

Khusus mengenai bahasa daerah, bahkan ditentukan pula dalam


Pasal 32 ayat (2) UUD 1945,

"Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai


kekayaan budaya nasional."

Artinya, bahasa daerah yang berjumlah 665 bahasa itu juga wajib
dihormati dan dipelihara oleh negara, bukan dibiarkan atau malah
sebaliknya sengaja dihapuskan, baik secara sengaja ataupun se cara diam-
diam. Misalnya, hanya karena dorongan untuk mem bina persatuan bangsa
dan membangun jiwa nasionalisme ber bahasa persatuan, yaitu bahasa
Indonesia, pemerintah tidak bo leh membiarkan atau melakukan hal-hal
yang menyebabkan bahasa daerah menjadi terabaikan dan mengalami
kepunahan. Dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bangsa
Indonesia bersatu dalam kemajemukan. Pentingnya persatuan itu karena
kita majemuk. Tetapi dalam keadaan bersatu itu tidak berarti bangsa kita
menjadi seragam. Indonesia tetap majemuk, tetapi bersatu dan tidak
bercerai berai.

Dengan demikian, dalarn wadah Negara Kesatuan Republik


Indonesia, segenap warga negara dituntut untuk bersatu dalam keragaman
(unity in diversity), dan dalam wadah negara kesatuan ini juga termasuk
dimungkinkan adanya ketidakseragaman da lam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Tidak ada keharusanmutlak bahwa semua unit
pemerintahan daerah harus seragam di seluruh Indonesia, hanya karena
negara Indonesia berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penyelenggaraan otonomi yang bersifat khusus untuk daerah daerah


tertentu tidak selalu harus dipahami dalam konteks politik. Misalnya,
karena kekhususannya di bidang ekonomi, industri, dan perdagangan,

9
dapat saja diadakan pengaturan bahwa di daerah tertentu dikhususkan
format kelembagaan pe merintahannya karena kebutuhan-kebutuhan yang
khas di bidang ekonomi.

Karena itu, seharusnya, sistem penyelenggaraan pemerin tahan


daerah seperti Batam dapat dikembangkan dalam penger tian otonomi
khusus, tetapi dalam pengertian khusus di bidang ekonomi. Kekhususan
itu berakibat pada format kelembagaan dan sistem penyelenggaraan
pemerintahan daerah secara keselu ruhan. Karena itu, di masa depan, kita
dapat juga mengembang kan pengertian otonomi khusus itu dalam konteks
ekonomi semacam itu.

Kata kuncinya adalah bahwa kebijakan khusus itu harus dapat (1)
memperkuat fondasi NKRI dan sema kin menjamin persatuan bangsa, (ii)
mempercepat kemakmuran rakyat setempat dan mendukung kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia, (iii) semakin membangun keadilan sosial yang
nyata bagi seluruh rakyat Indonesia, dan (v) merupakan cermin pelak
sanaan kedaulatan rakyat setempat.

B. Prinsip Demokrasi Dan Negara Hukum

1. Pemerintahan Demokrasi

Demokrasi memberikan pemahaman, bahwa dari sebuah kekuasaan


dari rakyat. Dengan pemahaman seperti itu, rakyat akan melahirkan
sebuah aturan yang menguntungkan dan melindungi hak-haknya. Agar itu
bisa terlaksana, diperlukan sebuah peraturan bersama yang mendukung
dan menjadi dasar pijakan dalam kehidupan bernegara untuk menjamin
dan melindungi hak-hak rakyat. Peraturan seperti itu biasa disebut
Konstitusi.

Dalam konteks Indonesia Konstitusi yang menjadi pegangan adalah


UUD 1945, jika dicermati, UUD 1945 mengatur kedaulatan rakyat dua
kali, pertama pada pembukaan alinea keempat, “maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan Rakyat… “Kedua, pada pasal
1ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan berbunyi, Kedaulatan berada di

10
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.

Dengan demikian, UUD 1945 secara tegas mendasar pada


pemerintahan demokrasi karena berasaskan kedaulatan rakyat Dengan
adanya rumusan pasal 1 ayat (2) UUD1945 maka perlu dilakukan
pengkajian tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat menurut UUD, karena
UUD 1945 menjadi hukum tertinggi yang berisikan norma-norma
pengaturan Negara.

Oleh karenanya, status dari UUD adalah sebagai hukum positif.


Teori-teori tentang pelaksanaan asas kedaulatan rakyat baik yang
dikembangkan oleh ilmuwan politik atau pun ahli hukum sangat beragam,
dan tidak jarang terdapat pebedaan atau pertentangan antara yang satu
dengan yang lain.4

Dengan kata lain, UUD 1945 sebagai hukum dasar dan hukum
tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia harus menjadi
acuan dan pegangan bagi penyelenggara negara dalam menentukan
kebijakan-kebijakan kenegaraan dan pemerintahan. Kebijakan politik,
kebijakan ekonomi, dan bahkan kebijakan sosial budaya harus mengacu
pada ketentuan hukum dasar atau ketentuan hukum tertinggi dalam UUD
1945. Setiap kebijakan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang di
bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.5

2. Prinsip Negara Hukum

a. Adanya Penegakan Hukum Melalui Pengujian Peraturan


Perundang-undangan

Salah satu konsekuensi dari suatu hirarki peraturan


perundang-undangan bahwa peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah kedudukannya tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

4
Cora Elly Noviati, „Demokrasi Dan Sistem Pemerintahan‟, 2013, Volume 10, Nomor 2, Juni
2013 (2013), p. 336.
5
Asshiddiqie, p. 296.

11
kedudukannya.Apabila peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah kedudukannya bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi kedudukannya, maka dapat diawasi
dengan mekanisme pengujian (review), baik melalui Lembaga
Eksekutif (executive review) maupun Lembaga Yudikatif (judicial
review). Bentuk pengujian terbagi dua, yaitu:

 Pengujian formal

 Pengujian material

Pengujian formal berkaitan dengan apakah sudah tepat suatu


lembaga negara berwenang membentuk peraturan perundang-
undangan, sedangkan, pengujian material berkaitan dengan
apakah materi (isi) suatu peraturan perundang-undangan
yang kedudukannya lebih rendah bertentangan atau tidak dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya.

b. Adanya Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

Negara memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan


perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). UUD NRI Tahun
1945 Setelah Perubahan mengatur lebih kompleks tentang substansi
perlindungan HAM meliputi:

 Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

1. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam


hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

2. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan


yang layak bagi kemanusiaan (3) Setiap warga negara berhak
dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara.

 Pasal 28A berbunyi bahwa Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

 Pasal 28B berbunyi sebagai berikut:

1. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan

12
keturunan melalui perkawinan yang sah.

2. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan


berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.

 Pasal 28C berbunyi sebagai berikut:

1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan


kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan
demi kesejahteraan umat manusia.

2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam


memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.

 Pasal 28D berbunyi sebagai berikut:

1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,


dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.

2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan


perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

3. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang


sama dalam pemerintahan .

4. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan .

 Pasal 28E berbunyi sebagai berikut:

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut


agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,


menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

13
mengeluarkan pendapat.

 Pasal 28F berbunyi bahwa Setiap orang berhak untuk


berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.

 Pasal 28G berbunyi sebagai berikut:

1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,


kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.

2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau


perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

 Pasal 28H berbunyi sebagai berikut:

1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat


tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan


khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan dan keadilan.

3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan


pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat .

4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak


milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-
wenang oleh siapa pun.

 Pasal 28I berbunyi sebagai berikut:

14
1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun.

2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat


diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.

3. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati


selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

4. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi


manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

5. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai


dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.

 Pasal 28J berbunyi sebagai berikut:

1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain


dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib


tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

 Pasal 29 ayat (2) berbunyi bahwa Negara menjamin kemerdekaan


tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

15
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

 Pasal 30 ayat (1) berbunyi bahwa Tiap-tiap warga negara berhak


dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara.

 Pasal 31 ayat (1) berbunyi bahwa Setiap warga negara berhak


mendapat pendidikan.

 Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:

1. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh


Negara.

2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh


rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan


kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

c. Adanya Pemisahan Kekuasaan Melalui Sistem Check and


Balance

Terdapat perbedaan teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan


antara John Locke dan Montesquieu. John Locke mengutamakan
fungsi federatif, sedangkan Montesquieu mengutamakan fungsi
kekuasaan kehakiman (yudisial).

Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan


itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan John
Locke lebih melihatnya dari segi hubungan ke dalam dan keluar
dengan negara-negara lain.

Di Negara Republik Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun


1945, maka cabangcabang kekuasaan negara meliputi:

1. Lembaga Legislatif yang terdiri dari: Dewan Perwakilan Rakyat


(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD).

2. Lembaga Eksekutif yang terdiri dari: Presiden, Wakil Presiden,


Kementerian-kementerian Negara, Pemerintah Daerah (Kepala

16
Daerah dan Wakil Kepala Daerah).

3. Lembaga Yudikatif yang terdiri dari: Mahkamah Agung (MA)


beserta badan-badan peradilan yang berada dibawahnya seperti:
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
dan Peradilan Militer, serta sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).

d. Adanya Pembatasan Kekuasaan Dalam Negara

Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi


ide dasar paham konstitusionalisme modern. Konsensus yang
menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada
umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan
(consensus), yaitu :

1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general


goals of society or general acceptance of the same philosophy of
government).

2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan


atau penyelenggaraan negara (the basis of government).

3. Kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan


(the form of institutions and procedures).

Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan cita-


cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan
konstitusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah
pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan kesamaan
kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam
kenyataannya harus hidup ditengah pluralisme atau kemajemukan.
Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan
dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang
tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut falsafah
kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai
filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di
antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan

17
didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau
konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara
harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan
dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule
of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa digunakan
untuk itu adalah the rule of law yang dipelopori oleh A. V. Dicey,
seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah
ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu “The Rule of Law, and not of
Man” untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang
sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan
manusia atau orang. Istilah The Rule of Law jelas berbeda dari istilah
The Rule by Law. Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan

1. bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang


mengatur kekuasaannya,

2. hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain,


serta

3. hubungan antar organ negara itu dengan warga negara. Dengan


adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusi dapat dengan
mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan
keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan
mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam
kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional
state).

Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digambarkan


hanya sekadar bersifat instrumentalis atau alat, sedangkan
kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu The
Rule of Man by Law. Dalam pengertian demikian, hukum dapat
dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang dipuncaknya terdapat
pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi,
baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis.

e. Adanya Persamaan Dihadapan Hukum dan Pemerintahan

18
(equality before the law)

Di Negara Republik Indonesia, prinsip persamaan dalam hukum


dan pemerintahan dijamin pada beberapa dalam UUD NRI Tahun
1945 meliputi:

1. Pasal 27 ayat (1) berbunyi bahwa segala warga negara bersamaan


kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya

2. Pasal 28D ayat (1) berbunyi bahwa Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ayat (3)
berbunyi bahwa Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

f. Adanya Peradilan Administrasi

Peradilan administrasi dipandang sebagai peradilan khusus, dalam


arti peradilan yang hanya diberi kewenangan menyelesaikan sengketa
yang muncul di bidang administrasi dan kepegawaian atau sengketa
yang terjadi antara pejabat administrasi dengan seseorang atau badan
hukum perdata sebagai akibat dikeluarkannya atau tidak
dikeluarkannya keputusan.

Bahwa tujuan pembentukan PTUN adalah untuk memberikan


perlindungan terhadap semua warga negara yang merasa haknya
dirugikan, sekalipun hal itu dilakukan oleh alat negara sendiri. Di
samping itu, untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan umum
dengan kepentingan perseorangan agar berjalan selaras dan rasa
keadilan dalam masyarakat terpelihara serta dapat ditingkatkan yang
sekaligus merupakan public service negara terhadap warganya.

Pembentukan PTUN di negara kita dilandasi dengan seperangkat


peraturan perundangundangan antara lain.

1. Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi bahwa
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

19
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

2. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

3. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5


Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

4. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.


5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.6

C. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad


penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi
legislatif. Sistem pemerintahan yang dikenal di dunia secara garis basar dapat
dibedakan dalam tiga macam, yaitu:

1. sistem pemerintahan presidensil (presidential system);

2. sistem pemerintahan parlementer (parliamentary system);

3. sistem campuran (mixed system atau hybrid system).

Sistem presidensil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada


jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan (head of government) sekaligus
sebagai kepala negara (bead of state). Dalam sistem parlementer, jabatan
kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan (bead of government)
itu dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. Kedua jabatan kepala negara
dan kepala pemerintahan itu, pada hakikatnya, sama-sama meru pakan cabang
kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, oleh C.F. Strong, kedua jabatan
eksekutif ini dibedakan antara pengertiannominal exocative dan real
executive. Kepala negara disebut oleh C.F. Strong sebagai seminal executive,
sedangkan kepala pemerintahan disebutnya mal executive.

Sementara itu, dalam sistem campuran, unsur-unsur kedua sistem itu

6
Putra Astomo, „PRINSIP-PRINSIP NEGARA HUKUM INDONESIADALAM UUD NRI
TAHUN 1945‟, Jurnal Hukum Unsulbar, 1.1 (2018), 1–12 (p. 6) <https://doi.org/10.31605/j-
law.v1i1.47>.

20
tercampur di mana ciri-ciri kedua sistem tersebut di atas sama-sama dianut.
Oleh karena itu, kedua sistem pemerin tahan presidensil dan sistem
pemerintahan parlementer tersebut pada pokoknya dibedakan atas dasar
kriteria:

1. ada tidaknya pembedaan antara real executive dan nominal executive


dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;

2. ada tidaknya hubungan pertanggungjawaban antara cabang eksekutif


dengan cabang legislatif.

Apabila dalam suatu pemerintahan negara, diadakan perbedaan yang


tegas antara jabatan kepala negara (bead of state) dan kepala pemerintahan
(bead of government), maka pemerintahan yang ber sangkutan mengandung
ciri parlementer (parliamentary government) atau bahkan merupakan negara
dengan sistem pemerintahan parlementer. Dalam praktik, kedudukan kepala
negara biasanya dipegang oleh raja, ratu, presiden, ataupun sebutan lain
sesuai dengan bahasa resmi yang dipakai di negara yang bersangkutan.
Sedangkan jabatan kepala pemerintahan biasanya disebut perdana menteri
(prime minister) atau di Jerman disebut kanselir (councellor). Di negara-
negara yang berbentuk kerajaan (monarki) dengan stelsel parlementer, dianut
adanya dua asas, yaitu (4) raja tidak dapat diganggu-gugat (the king can do no
wrong), dan (ii) apabila sebagian besar wakil rakyat di parlemen tidak
menyetujui kebijakan pemerintah, secara sendiri-sendiri atau seluruhnya,
menteri harus meletakkan jabatan. Asas inilah yang disebut se bagai sistem
pemerintahan parlementer (parlementaire regereng).

Jika kedua jabatan tersebut dibedakan dan dipisahkan, maka sistem


pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahanparlementer atau biasa
disebut juga sistem kabinet (cabinet government). Sebaliknya, jika kedua
jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan disatukan atau tidak
dibedakan sama sekali, makakedudukan sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan tersebut terintegrasi atau menyatu dalam jabatan yang biasanya
disebut presiden. Presiden adalah pemegang kekuasaan peme rintahan negara
sebagai kepala negara sekaligus kepala peme rintahan secara tidak
terpisahkan dan bahkan tidak terbedakan satu sama lain. Presiden negara yang

21
menganut sistem presidensil tidak memunyai jabatan kepala eksekutif di luar
presiden. Oleh sebab itu, ide untuk memfungsikan jabatan wakil presiden
seba gai semacam perdana menteri secara prinsipil juga tidak mungkin
diterima. Dengan tugas dan wewenangnya masing-masing, presi den adalah
presiden, dan wakil presiden adalah wakil presiden.

Oleh karena dalam jabatan Presiden itu tercakup dua kualitas


kepemimpinan sekaligus, yaitu sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan, maka pemegang jabatan presiden (ambtsdrager) menjadi
sangat kuat kedudukannya. Karena itu pula, dalam sistem republik yang
demokratis, kedudukan presiden selalu dibatasi oleh konstitusi, dan pengisian
jabatan presiden itu biasa dilakukan melalui prosedur pemilihan. Namun
dalam praktik, banyak juga negara yang dikenal tidak demokratis, melainkan
dipimpin oleh para diktator yang berkuasa mutlak dan sulit untuk diganti.
Kata presiden juga dipakai di lingkungan negara-negara seperti eks Uni
Soviet, yang pada pokoknya, berfungsi sebagai diktator. Bahkan, dalam
Konstitusi Uni Soviet sendiri, kedu dukan presiden itu disebut sebagai "the
dictatorship of the proBanyak studi yang dilakukan oleh para ahli untuk
membe dakan antara sistem presidensil, sistem parlementer, dan sistem
campuran tersebut di atas. Douglas V. Verney, misalnya, 307 menyatakan
bahwa sistem parlementerlah yang paling banyak dianat di seluruh dunia,
sehingga timbul banyak ragam corak parlementarisme yang dipraktikkan di
dunia. Namun, dapat dika takan bahwa dalam berbagai sistem pemerintahan
parlementer yang dipraktikkan itu, selalu terdapat sejumlah prinsip pokok,
yaitu:

1. Hubungan antara lembaga parlemen dan pemerintah tidak murni


terpisahkan:

2. Fungsi eksekutif dibagi ke dalam dua bagian, yaitu seperti yang


diistilahkan oleh C.F. Strong di atas antara "the real executive pada kepala
pemerintahan dan "the nominal executive" pada kepala negara;

3. Kepala Pemerintahan diangkat oleh Kepala Negara;

4. Kepala Pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai satu kesatuan

22
institusi yang bersifat kolektif;

5. Menteri adalah atau blasanya merupakan anggota parlemen;

6. Pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen, tidak kepada rakyat


pemilih. Karena, pemerintah tidak dipilih oleh rakyat secara langsung,
sehingga pertanggungjawaban kepada rakyat pemilih juga bersifat tidak
langsung, yaitu melalui parlemen;

7. Kepala Pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada Kepala Negara


untuk membubarkan Parlemen:

8. Dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga kedudukan parlemen


dianggap lebih tinggi daripada bagian-bagian dari pemerintahan;

9. Sistem kekuasaan negara terpusat pada parlemen.

Dalam sistem pemerintahan presidensil juga terdapat beberapa prinsip


pokok yang bersifat universal, yaitu:

1. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan


eksekutif dan legislatif;

2. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak


terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;

3. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya,


kepala negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan;

4. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai


bawahan yang bertanggung jawab kepadanya;

5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian


pula sebaliknya;

6. Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen;

7. Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka


dalam sistem presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu,
pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada Konstitusi;

8. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat;

9. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer

23
yang terpusat pada parlemen.

Sejalan dengan A.K. Pringgodigdo, F. R. Bohtlingk juga menyebut


sistem yang dianut dalam UUD 1945 sebagai "autocra tische presidentiele
stelsel yang jelas-jelas diubah oleh Maklumat 314 Nomor X tersebut.
Menurut UUD 1945, para menteri tidak bertanggung jawab kepada Komite
Nasional Pusat, sekalipun para menteri itu sehari-hari bekerjasama dengan
Komite Nasio nal Pusat atau Badan Pekerja dalam pembuatan undang-un
dang.315 Alasan yang sama dapat pula dibaca dalam Pengumuman Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 11 Novem ber 1945 yang
menyatakan:

"Seperti diketahui, maka dalam Undang-Undang Dasar kita tidak


terdapat pasal, baik yang mewajibkan maupun yang melarang para menteri
bertanggungjawab. Pada lain pihak pertanggungan jawab menteri kepada
badan perwakilan rakyat itu adalah suatu jalan untuk memperlakukan
kedauatan rakyat. Maka berdasar kan alasan tersebut, Badan Pekerja
mengusulkan kepada Pre siden untuk mempertimbangkan adanya
pertanggungan jawab itu dalam susunan pemerintahan. Presiden menerima
baik usul Badan Pekerja, hingga dengan persetujuan tadi dimulal adanya
pertanggungan Jawab para menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat dalam
susunan pemerintahan Negara Republik Indonesia".

Dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, selain


mengumumkan susunan kabinet parlementer di bawah pimpinan Syahrir
sebagai Perdana Menteri pertama, juga memuat penje lasan mengenai alasan
perubahan sistem pemerintahan itu sebagai berikut:

"Pemerintah Republik Indonesia setelah mangalami ujian-ujian yang


hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usaha nya menegakkan
diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat untuk menjalankan macam-
macam tindakan darurat guna me nyempumakan tata usaha negara kepada
susunan demokrasi".

Dalam penjelasan-penjelasan tersebut di atas, jelas diakui bahwa sebelum


Maklumat Nomor X, sistem pemerintahan yang diatur dalam UUD 1945

24
bukanlah sistem demokrasi. Kekuasaan Presi den dalam sistem UUD 1945 itu
disebut oleh A.K. Pringgodigdo sebagai kekuasaan yang bersifat diktatorial,
sedangkan F.R. Bohtlingk menyebutnya dengan istilah "autocratische
presidentiele stelsel. Dalam sistem yang diperkenalkan oleh Maklumat
Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 14
November 1945, menteri ditentukan bertanggung jawab ke pada Komite
Nasional Pusat, dan pimpinan kabinet disebut Perdana Menteri.

Inkonsistensi penerapan sistem pemerintahan ini merupakan bentuk


penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945 sendiri yang jelas-jelas
menganut sistem pemerintahan presidensil. Na mun, harus diakui bahwa
keabsahan penerapan sistem pemerin tahan parlementer atau parlementaire
regeringsstelsel tersebut, menurut Bothlingk, dapat dibenarkan atas dasar
konvensi keta tanegaraan dan hukum kebiasaan yang telah diterapkan sebe
lumnya.320 Di samping itu, kenyataan di atas dapat dikatakan juga terjadi
karena UUD 1945 sendiri memang dimaksudkan hanya sebagai revolutie-
grondwet atau undang-undang dasar kilat menurut istilah yang diucapkan
sendiri oleh Bung Karno dalam sidang-sidang BPUPKI, yaitu undang-undang
dasar yang hanya dimaksudkan sebagai naskah konstitusi untuk sementara
waktu dalam rangka persiapan Indonesia menjadi negara yang merdeka dan
berdaulat. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bahwa UUD 1945 itu sendiri
sejak masa-masa awal kemerdekaan memang belum dijadikan referensi
secara sungguh-sungguh.

Demikian pula di masa setelah Dekrit 5 Juli 1959, UUD 1945 itu sebenar
nya tidak sungguh-sungguh dijadikan acuan dalam praktik pe nyelenggaraan
negara sehari-hari.Di masa Orde Baru, sistem pemerintahan presidensil yang
diatur dalam UUD 1945 juga diterapkan penuh dengan memu satkan
tanggung jawab kekuasaan pemerintahan negara di ta ngan presiden. Saking
kuatnya kedudukan presiden, maka mes kipun MPR diakui sebagai lembaga
tertinggi negara, tempat presiden diharuskan tunduk dan bertanggung jawab,
tetapi dalam kenyataan praktik, kedudukannya justru tergantung kepada
presiden. Adanya unsur pertanggungjawaban presiden kepada MPR itu justru
memperlihatkan ciri parlementer dalam sistem pemerintahan presidensil yang

25
dianut oleh UUD 1945. Karena itulah, secara normatif sebenarnya, sistem
yang dianutoleh UUD 1945 itu bukanlah murni sistem presidensil, tetapi
hanya quasi presidensil.

Sifat quasi atau sistem presidensil yang tidak murni itulah yang diubah
ketika UUD 1945 diubah pada tahun 1999 sampai tahun 2002, yaitu dengan
mengubah kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara,
melainkan lembaga negara yang sederajat dengan presiden. Di samping itu,
ditentukan pula bahwa presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa dalam Perubahan Pertama sampai Peru bahan Keempat
UUD 1945, tergambar adanya semangat untuk mengadakan purifikasi atau
pemurnian sistem pemerintahan presidensil Indonesia dari sistem sebelumnya
yang dianggap tidak murni presidensil.

Namun, sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan pada umumnya,


bukan hanya persoalan normatif, tetapi juga persoalan prakteknya di
lapangan. Bahkan dapat dikatakan bah wa, dalam prakteknya, sistem
ketatanegaraan Indonesia atau oleh Mukthie Fajar disebut SPI (Sistem Politik
Indonesia) memang terus berubah dan berkembang dinamis sesuai dengan
zamannya. Menurut Mukthie Fajar, SPI Demokrasi Liberal-Par lementer
(1945-1959), berbeda dari SPI Demokrasi Terpimpin (1959-1966), dan SPI
Orde Baru/Demokrasi Pancasila (1966 1998). SPI Demokrasi-Liberal-
Parlementer memiliki ciri-ciri:

1. Sistem pertanggungjawaban eksekutif kepada parlemen;

2. Sangat dominannya peranan partai politik (parpol) dalam kehidupan


bernegara;

3. Peran militer dalam politik belum menonjol;

4. Kehidupan pers relatif cukup bebas;

5. Dapat dikatakan infra struktur politik lebih dominan daripada


suprastruktur politik.

Sementara itu, SPI Demokrasi Terpimpin memiliki ciri-ciri sebagai


berikut:

26
1. Kekuasaan politik berpusat pada presiden;

2. Peranan partai politik mulai surut;

3. Peranan ABRI dalam politik mulai menonjol;

4. Kehidupan pers sangat terkendali;

5. Negara mulai mendominasi kehidupan masyarakat.

Sedangkan ciri-ciri SPI Orde Baru/Demokrasi Pancasila adalah:

1. Sangat dominannya posisi politik presiden;

2. Karena dominannya eksekutif, fungsi dan peran lembaga lembaga negara


tidak maksimal;

3. Peranan parpol dikendalikan oleh eksekutif melahirkan sistem kepartaian


yang hegemonik;

4. Sangat dominannya peranan ABRI melalui konsep dwifungsi;

5. Kehidupan pers sangat terkendali;

6. Dapat dikatakan bahwa format politik orde baru penuh dengan dominasi
atau hegemoni negara atas masyarakat.

27
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari pembahasan tersebut dabat disimpulkan sebagai


berikut :

1. Dalam literatur hukum dan politik, yang biasa disebut sebagai bentuk-
bentuk negara atau “Staatsvormen” itu menyangkut pilihan antara kerajaan
(monarki) atau republik. Pada umumnya dipahami bahwa pengertian bentuk
negara (staatsvorm) itu berkaitan dengan dua pilihan, yaitu: Bentuk
Kerajaan (Monarki): dan Bentuk Republik.
2. Dalam monarki, pengangkatan kepala negara dilakukan melalui garis
keturunan atau hubungan darah, sedangkan dalam republik tidak didasarkan
atas pertalian atau hubungan darah. Di berbagai kerajaan, kepala negara
disebut dengan berbagai macam istilah, dan mekanisme pergantian kepala
negara berdasarkan keturunan Itu juga dapat dilakukan dengan berbagai
macam cara. Berbeda dari kerajaan, kepala negara republik biasanya disebut
presiden arau ketua seperti di Republik Rakyat Cina, ataupun dengan istilah
lain sesuai dengan bahasa setempat yang berlaku. Kepala negara republik
tidak ditentukan berdasarkan keturunan tetapi berdasarkan pemilihan atau
dengan cara lain yang tidak berdasarkan keturunan. Di negara yang
demokratis, pergantian kepala negara dilakukan secara demokratis, yaitu
melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui pemilihan tidak
langsung oleh wakil-wakil rakyat.
3. Negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 adalah negara dengan
susunan organisasinya berbentuk negara kesatuan (unitary state,
eenbeidstaat). Di dunia sekarang, dibedakan adanya empat macam susunan
organisasi negara, yaitu: Negara Kesatuan (Unitary State, Eenheidsstaat),
yaitu negara; Negara Serikat atau Federal (Federal State, Bondsstaan);
Negara Konfederasi (Confederasion, Statenbond); Negara Superstruktural
(Superstate) seperti Uni Eropa.
4. Prinsip Demokrasi Dan Negara Hukum, Pemerintahan Demokrasi Peraturan
seperti itu biasa disebut Konstitusi dan prinsip Negara hukum.

28
5. Sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad
penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi
legislatif. Sistem pemerintahan yang dikenal di dunia secara garis basar
dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu: sistem pemerintahan presidensil
(presidential system); sistem pemerintahan parlementer (parliamentary
system); dan sistem campuran (mixed system atau hybrid system).

29
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi


(Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007)

Astomo, Putra, „PRINSIP-PRINSIP NEGARA HUKUM INDONESIADALAM


UUD NRI TAHUN 1945‟, Jurnal Hukum Unsulbar, 1.1 (2018), 1–12
<https://doi.org/10.31605/j-law.v1i1.47>

Cora Elly Noviati, „Demokrasi Dan Sistem Pemerintahan‟, 2013, Volume 10,
Nomor 2, Juni 2013 (2013)

30

Anda mungkin juga menyukai