Anda di halaman 1dari 14

‘ “NEGARA KESATUAN”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Negara


Dosen Pengampu Iip Nurul Topani

Disusun Oleh :

KELOMPOK VII

 Istiqomah Vatriana(2221020080)
 Tengku Gunawan Pratama(2221020182)
 Muhammad Rizky Pratama(2221020122)
 Arisman(2220200226)

PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 1444H/2023 M
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr wb
Puji an syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
berkah dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas kuliah Islam dan Budaya lampung. Dalam makalah ini kami membahas
tentang“Negara Kesatuan”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sumbernya berupa artikel dan
tulisan yang mana telah kami jadikan sebagai referensi guna penyusunan makalah ini. Semoga
dapat terus berkarya guna menghasilkan tulisan-tulisan yang mengacu terwujudnya generasi masa
depan.
Kami berharap, semoga informaasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna, untuk itu kami menerima kritik dan saran guna membantu penyempurnaan
makalah ini. Sekian Terimakasih.
Wassalamualaikum wr wb

Bandar Lampung, 12 Maret 2023

2
DAFTAR ISI

COVER...............................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB I..................................................................................................................................4
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah...........................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................4
BAB II................................................................................................................................5
PEMBAHASAN
A.Pengertian Negara Republik......................................................................................5
B.Pengertian Negara Presidensil...................................................................................7
C.Pengertian Negara Federal.........................................................................................9
D.Pengertian Negara Monarki......................................................................................11
BAB III.............................................................................................................................12
PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................14

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam teori Ilmu Negara pengertian tentang teori bentuk Negara sejak dahulu kala
dibagi menjadi dua yaitu: monarchie dan republik. Untuk menentukan suatu Negara itu
berbentuk monarchie dan republik, dalam Ilmu Negara banyak macam ukuran yang
dipakai. Antara lain Jellinek dalam bukunya yang berjudul Allgemene Staatslehre
memakai sebagai kriteria bagaimana caranya kehendak negara itu dinayatakan. Jika
kehendak Negara itu ditentukan oleh satu orang saja, maka bentuk Negara itu monarchie
dan jika kehendak Negara itu ditentukan oleh orang banyak yang merupakan suatu majelis,
maka bentuk negaranya adalah republik[8]. PendapatJellinek ini tidak banyak penganutnya
karena banyak mengandung kelemahan. Faham Duguit lebih lazim dipakai, yang
menggunakan sebagai kriteria bagaimana caranya kepala Negara itu diangkat. Dalam
bukunya yang berjudul Traite de Droit Contitutionel jilid 2, diutarakan jika seorang kepala
negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk negaranya disebut
monarchie dan Kepala Negaranya disebut raja atau ratu. Jika kepala negara dipilih melalui
suatu pemilihan umum untuk masa jabatan yang ditentukan, maka bentuk negaranya
disebut republik dan Kepala Negaranya adalah seorang Presiden
Pada masa yunani kuno dahulu hanya dikenal adanya 3 bentuk pokok dari negara.
Pada waktu itu pengertian dari negara, pemerintahan dan masyarakat masih belum
dibedakan, hal ini disebabkan karena susunan negara masih sangat sederhana sekali, bila
dibandingkan dengan luas daerah negara dan julah penduduknya belu sebesar asa sekarang
ini. Negara hanya seluas kota saja oleh karena itu pada hakikatnya hanya merupakan
negara-kota saja. Negara-kota ini ada istilahnya yaitu “polis”. Selain itu sifat dari urusan
negara masih sangat sederhana sekali. Dalam pandangan masyarakat dan para ahli negara,
belu ada perbedaan antara pengertian negara, pengertian masyarakat dan pengertian
pemerintahan
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan diatas, fokus persoalan
yang akan ditemukan jawabannya dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah Pengertian Dari Negara Kesatuan?
2. Apakah latar belakang negara kesatuan ?
3. Apakah faktor pendukung negara kesatuan?
4. Bagaimana contoh contoh negara kesatuan?
5. Apa saja Pro Dan Kontra terhadap negara kesatuan?
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Negara kesatuan
2. Untuk mengetahui Macam macam negara kesatuan
3. Untuk mengetahui Faktor penyebab Terbentuknya konsep negara kesatuan

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KONSEP REPUBLIK


Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara plural dengan
segenap masyarakat heterogen yang dilatar belakangi oleh banyaknya pulau, agama,
suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,
diperlukan pengaturan tatanan kenegaraan yang dapat mengakomodir kepentingan
bersama melalui kebijakan-kebijakan Negara yang kuat dan menjadi sebuah pedoman
serta acuan untuk senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia yang
dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, sehingga terwujudnya
Bhineka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Fluktuasi pengaturan dan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejak awal
kemerdekaan sampai dengan sekarang belum kunjung berujung pada kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh, malah berbagai dampak kontroversial semakin tumbuh
dan berkembang dan menjadi sebuah momok bagi masyarakat yang selalu gaung
kesejahteraannya dieksploitasi menjadi sebuah komoditas politik. Terhadap berbagai
gejolak yang timbul dalam pelaksanaan otonomi daerah, menurut Mahfud bahwa
politik hukum otonomi daerah selalu berubah-ubah dari waktu-kewaktu, sejak awal
kemerdekaan, politik hukum otonomi daerah senantiasa digariskan melalui proses
eksperimen yang seperti tak pernah selesai.1
Negara kesatuan adalah negara yang diorganisir di bawah satu pemerintahan pusat
Pengaturan pemerintahan dalam negara kesatuan berasal dari pusat ke daerah atau
berasal dari atas ke bawah (top down) dengan pemberlakuan sistem sentralisasi atau
desentralisasi, dan kewenangan tertinggi terdapat pada pemerintah pusat. Dalam sistem
negara kesatuan, biasanya kewenangan pemerintah daerah yang dirinci, sedangkan
kekuasaan yang tidak dirinci dianggap dengan sendirinya merupakan kewenangan
pemerintah pusat (residual power)2
Di Indonesia secara khusus mengenai pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 18
UUD 1945 sebelum amandemen, yang kemudian dijadikan landasan yuridis lahirnya
undang-undang pemerintahan daerah dari pasca kemerdekaan sampai dengan sekarang.
Seiring dengan amandemen terhadap UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat
kali pasca reformasi, pengaturan pemerintahan daerah mengalami perubahan dengan
diamandemennya Pasal 18 mengenai Pemerintahan Daerah, tepatnya pada perubahan
ke-dua tahun 2000. Pasca runtuhnya rezim orde baru pada tanggal 21 Mei 1998 dengan
produk hukumnya yang cenderung dinilai otoriter dan bersifat sentralistik, babak baru
perjalanan otonomi daerah di era reformasi dimulai dengan ditetapkannya TAP MPR
No. XV/MPR/1998 tentang Ketentuan Penyelengaaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,

1
Annisa Arifka, Sanksi Administrasi Bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan Orang Pribadi Di Kota Padang,
Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3745
2
Andrew Shandy Utama, Independensi Pengawasan Terhadap Bank Badan Usaha Milik Negara (Bumn) Dalam
Sistem Hukum Nasional Di Indonesia, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018,
10.22216/soumlaw.v1i1.3312.

5
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadailan, serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang terdiri dari 8 pasal. Berdasarkan Pasal 7 dalam TAP MPR dimaksud,
untuk melaksanakan Ketetapan MPR atas inisiatif Pemerintah telah disahkan Undang-
undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
sebagai upaya desentralisasi ditengah-tengah demokrasi dan untuk mencegah
penumpukan kekuasaan di pusat 3
Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan daerah istimewa adalah
apakah menghormati kekhususan suatu daerah tertentu harus dengan memberikan
regulasi khusus yang melanggar prinsip-prinsip pengaturan pemerintahan pada
umumnya yang berlaku bagi seluruh daerah otonom, dan sejauh mana suatu daerah
dikatakan memiliki kekhususan dan apa yang menjadi tolak ukur kekhususan serta hal
apa saja yang harus dikhususkan di dalam bentuk negara kesatuan. Lalu bagaimana
dengan puluhan daerah lain yang pada dasarnya juga masing-masing memiliki
kekhasan tersendiri, karena mengingat Indonesia adalah negara plural yang terdiri dari
berbagai pulau, agama, suku, budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda dengan
karakter dan ciri khas masing-masing yang merupakan ragam kekayaan bangsa.
Regulasi pemerintahan daerah yang terdapat di dalam Undang-Undang Pemerintahan
Daerah secara umum berlaku bagi seluruh daerah-daerah otonom yang terdapat dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), akan tetapi tidak demikian
halnya dengan beberapa daerah yang diistimewakan di republik ini, seperti halnya
daerah istimewa Yogyakarta dan Aceh. Maka, bagaimana konsep pengaturan
pemerintahan daerah seharusnya dalam negara kesatuan, dan apakah konsep
pengaturan pemerintahan daerah di Aceh berdasarkan UU No.11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan UU No.13 Tahun
2012 tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta sesuai dengan Konsep negara kesatuan
yang ideal, dan apakah Indonesia benar-benar menerapkan konsep bentuk negara
kesatuan secara utuh di dalam UUD 1945 beserta Undang-Undang Pemerintahan
Daerah, dan kekhususan apa saja yang diberikan kepada dua daerah tersebut.4

Adapun contoh konsep negara republik yaitu:


Dilihat dari segi susunan Negara kesatuan, maka Negara kesatuan bukan Negara
tersusun dari beberapa Negara melainkan Negara tunggal. Abu Daud Busroh
mengutarakan: Negara kesatuan adalah Negara yang tidak tersusun dari pada beberapa
Negara, seperti halnya dalam Negara federasi, melainkan Negara itu sifatnya tunggal,
artinya hanya ada satu Negara, tidak ada Negara di dalam Negara. Jadi dengan
demikian, di dalam Negara kesatuan itu juga hanya ada satu pemerintahan, yaitu

3
Ade Sarmini, Kualitas Pelayanan Surat Izin Mengemudi (SIM) Pada Kantor Satuan Lalu Lintas Polres Karimun,
Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.4231
4
Bram Mohammad Yasser, Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Pada Peradilan Tata Usaha Negara Dalam
Kaitannya Dengan Tindak Pidana Korupsi, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019,
10.22216/soumlaw.v2i1.3558

6
pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala
lapangan pemerintahan. Pemerintahan pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan
tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu dalam Negara tersebut, Otoritas di Negara
kesatuan dapat menjadi terlalu terpusat. Pemerintah lokal mungkin tidak dapat
membangun Nimatul Huda, Ilmu Negara dan lampu lalu lintas atau halte bus tanpa
izin dari pusat. Ini dapat berakibat pada ketidakpedulian rakyat terhadap permasalahan
lokal dan menghasilkan alienasi politik. Sentralisasi kekuasaan, disisi lain, menjadi
keuntungan dalam menghadapi persoalan modern. Garis batas otoritas yang jelas tanpa
menimbulkan perdebatan berlebihan diantar unit pemerintah akan sangat
menguntungkan. Dalam sistem kesatuan, pusat dapat mengatur sumber daya ekonomi
dan mengoordinasi perencanaan dan pembangunan. Pajak hampir sama diseluruh
negeri, sehingga perusahaan dan individu tidak pindah ke Negara bagian yang memiliki
pajak lebih rendah, seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Contoh Negara yang
berbentuk kesatuan antara lain Belanda, Jepang, Filipina, Indonesia, dan Italia.5

B. PENGERTIAN KONSEP NEGARA PRESIDENSIL


Konstitusi dengan jelas menegaskan ciri-ciri sistem presidensial yang dianut oleh
Indonesia. Akan tetapi, kondisi pemerintahan Indonesia saat ini memunculkan
pertanyaan mengenai sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia. Biarpun banyak
sistem yang dikembangkan berdasarkan sistem presidensial, sebagai pemegang
kekuasaan, tentu berbeda dengan sistem parlementer yang dimana pemegang
kekuasaan ada parlemen (dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat) , pemilihan umum,
Indonesia juga masih menganut beebrapa corak parlementer, seperti sistem multipartai.
Menggabungkan aspek presidensial dengan parlementer sebenarnya dapat
menimbulkan masalah. Masalah yang mungkin muncul dari penggabungan ini ialah
mengenai siapa yang memegang kekuasaan, bila dalam sistem presidensial
Sistem presidensial adalah sebagai berikut:
1. Hal tersebut berdasarkan atas prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan.
2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan parlemen juga tidak
perlu berhenti sewaktu kehilangan dukungan dari mayoritas anggota parlemen.
3. Dalam hal ini tidak ada tanggung jawab yang berbalasan antara presiden dan
kabinetnya, karena pada akhirnya seluruh tanggung jawab sama sekali tertuju pada
presiden (sebagai kepala pemerintahan).
4. Presiden dipilih langsung oleh para pemilih.
Menurut Sarundajang tahun 2012, sistem pemerintahan presidensial memiliki
kelebihan yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh eksekutif berjalan relatif stabil dan
sesuai dengan batas waktu yang telah diatur dan ditetapkan dalam konstitusi.
Sedangkan kelemahan dari sistem pemerintahan presidensial adalah setiap kebijakan
pemerintahan yang diambil merupakan bargaining position antara pihak legislatif dan

5
Danel Aditia Situngkir, Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Hukum Pidana Internasional,
Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3398.

7
eksekutif yang berarti terjadi pengutamaan sikap representatif – elitis dan bukan
partisipatif – populis. Sistem pemerintahan presidensial memisahkan kekuasaan yang
tegas antara lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, sehingga antara yang satu
dengan yang lain seharusnya tidak dapat saling mempengaruhi. Menterimenteri tidak
bertanggungjawab kepada Legislatif, tetapi bertanggungjawab kepada Presiden yang
memilih dan mengangkatnya, sehingga menteri-menteri tersebut dapat diberhentikan
oleh presiden tanpa persetujuan badan legislatif. Pemisahan kekuasaan antara legislatif,
eksekutif, yudikatif biasa kita sebut sebagai trias politica. Menurut Montesquieu, ajaran
Trias Politica dikatakan bahwa dalam tiap pemerintahan negara harus ada 3 (tiga) jenis
kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja, melainkan harus masing-
masing kekuasaan itu terpisah. Pada pokoknya ajaran Trias Politica isinya tiap
pemerintahan negara harus ada 3 (tiga) jenis kekuasaan yaitu Legislatif, Eksekutif dan
Yudikatif, sebagaI berikut :
a. Kekuasaan Legislatif (Legislative Power)
Kekuasaan Legislatif (Legislative Power) adalah kekuasaan membuat undang-
undang. Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletah dalam suatu badan
khusus untuk itu. Jika penyusunan undangundang tidak diletakkan pada suatu badan
tertentu , maka akan mungkin tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-
undang untuk kepentingannya sendiri.
b. Kekuasaan Eksekutif (Executive Power)
Kekuasaan “Eksekutif” adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang- undang.
Kekuasaan melaksanakan undang-undang dipegang oleh Kepala Negara. Kepala
Negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-undang ini.
Oleh karena itu, kekuasaan dari kepala Negara dilimpahkan (didelegasikan) kepada
pejabat-pejabat pemerintah/Negara yang bersama-sama merupakan suatu badan
pelaksana undang-undang (Badan Eksekutif). Badan inilah yang berkewajiban
menjalankan kekuasaan Eksekutif.
c. Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman (Yudicative Powers)
Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman (Yudicative Powers) adalah
kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak
memberikan peradilan kepada rakyatnya. Badan Yudikatif adalah yang berkuasa
memutus perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang
yang telah diadakan dan dijalankan. Walaupun pada hakim itu biasanya diangkat oleh
Kepala Negara (Eksekutif) tetapi mereka mempunyai kedudukan yang istimewa dan
mempunyai hak tersendiri, karena hakim tidak diperintah oleh Kepala Negara yang
mengangkatnya
Lembaga negara atau lembaga pemerintah dalam sistem pemerintahan republik
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Sesudah Amandemen ada
7 (tujuh) yaitu: MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA dan MK. Nyatanya, di Indonesia
pembagian kekuasaan tidak murni terbagi kedalam tiga kekuasaan. Ada pemabagian

8
kekuasaan keempat yang disebut kekuasaan eksaminatif, yaitu kekuasaan terhadap
pemeriksaan keuangan negara. Kekuasaan eksaminatif di Indonesia berdasarkan Pasal
23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesudah amandemen adalah BPK. Disamping
pembagian kekuasaan yang kurang sesuai dengan trias politica, kelemahan dari sistem
presidensial belum juga terselesaikan dalam pemerintahan Indonesia. Hal ini terlihat
dari peran presiden yang semakin melemah, sementara DPR semakin berperan dalam
pemerintahan. Salah satu kasus yang paling mencolok baru-baru ini adalah pengesahan
UU MD3 oleh DPR yang tidak ditandatangani presiden. Pemerintah Indonesia memang
memiliki peraturan mengenai pengesahan undang-undang yang tertuang dalam UU
Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundnag-Undangan. UU Nomor
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini mengatur presiden
harus menandatangani UU dalam waktu 30 hari setelah disahkan DPR. UndangUndang
tetap akan berlaku apabila Presiden tidak menandatangani dalam kurun waktu tersebut.
Peraturan ini tentu mencacatkan sistem presidensial yang seharusnya.6

C. PENGERTIAN KONSEP NEGARA FEDERAL


Yakni adanya satu Negara besar yang berfungsi sebagai Negara pusat dengan satu
konstitusi federal yang di dalamnya terdapat sejumlah Negara bagian yang masing-
masing memiliki konstitusinya sendiri-sendiri. Konstitusi federal adalah mengatur batas-
batas kewenangan pusat (federal), sedangkan sisanya dianggap sebagai milik daerah
(Negara bagian). Negara federasi/serikat (federal) adalah Negara yang tersusun dari dari
beberapa Negara yang semula berdiri sendiri-sendiri dan kemudian Negara-negara
tersebut mengadakan ikatan kerjasama yang efektif. Akan tetapi disamping itu, Negara-
negara tersebut masih ingin mempunyai wewenang-wewenang yang dapat diurus sendiri.
Jadi disini tidak semua urusan diserahkan kepada pemerintah gabungannya (pemerintah
federal), tetapi masih ada beberapa urusan yang diserahkan oleh pemerintah Negara-
negara bagian kepada pemerintah federal, yaitu urusan-urusan yang menyangkut
kepentingan bersama misalnya urusan keuangan, pertahanan, angkatan bersenjata,
hubungan luar negeri, dan sebagainya Dalam Negara Serikat atau Federal kekuasaan
negara terbagi antara Negara Bagian dan Pemerintah Federal. Kekuasaan asli ada pada
Negara Bagian sebagai badan hukum negara yang bersifat sendiri-sendiri yang secara
bersama-sama membentuk pemerintahan federal dengan batas-batas kekuasaan yang
disepakati bersama oleh negara-negara bagian dalam Konstitusi Federal. Urusan
pertahanan, keuangan, dan hubungan luar negeri di negara serikat / federal selalu
ditentukan sebagai urusan pemerintahan federal, sehingga dalam praktek Pemerintahan
Federal cendrung sangat kuat kedudukannya. Dalam pengalaman abad ke-20 di berbagai
negara serikat / federal timbul kecendrungan terjadinya sentralisasi pengelolaan
kekuasaan negara ke tangan pemerintah federal. Adapun beberapa segi positif dari konsep

6
Darmini Roza, Laurensius Arliman S, Peran Pemerintah Daerah Di Dalam Melindungi Hak Anak Di Indonesia,
Masalah-Masalah Hukum, Volume 47, Nomor 1, 2018. https://doi.org/10.14710/mmh.47.1.2018.10-21

9
Negara Federal antara lain, pertama federalisme adalah strategi yang paling tepat untuk
membuka kekuasaan yang pada masa lalu amat tertutup. Masyarakat pada umumnya
mendambakan keterbukaan. Banyak mekanisme dan lembaga demokrasi yang
dikembangkan dalam rangka membuka kekuasaan itu, contohnya adalah perwakilan
politik. Kedua, federalisme dipandang sebagai usaha menyeimbangkan kekuasan budaya
daerah, suku atau etnis yang ada dalam suatu negara. Ketiga, didalam sistem federal, ada
unsur-unsur yang dapat membantu menghindari kecenderungan kearah intensifikasi
ketimpangan ekonomi dan konflik-konflik politik dan budaya yang menyertainya. Tetapi
konsep negara federasi ini juga mengandung sisi negatif seperti adanya persepsi tentang
Negara Federal yang identik dengan anti persatuan dan kesatuan bangsa, disamping itu
juga adanya kekhawatiran bahwa negara bagian akan berubah menjadi negara suku.
Menurut Sri Soemantri bentuk Negara Federal memiliki kelemahan mendasar, yaitu
memberi kesempatan kesemua provinsi sebagai daerah otonom untuk menikmati hasil
sumber daya alam daerahnya tanpa perlindungan Undang-Undang Perimbangan
Keuangan.7
Salah satu ciri dari negara federal yaitu bahwa ia mencoba menyelesaikan dua
konsep yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal dalam
keseluruhannya dan kedaulatan negara bagian. Penyelenggaraan kedaulatan ke luar dari
negara-negara bagian diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan Federal Untuk
membentuk suatu Negara Federal menurut C.F Strong diperlukan dua syarat, yaitu:
Pertama adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-kesatuan politik yang hendak
membentuk federasi itu, dan Kedua adanya keinginan pada kesatuan-kesatuan politik
yang hendak mengadakan ikatan terbatas, oleh karena itu apabila kesatuan-kesatuan
politik itu menghendaki persatuan sepenuhnya, maka bukan federasi lah yang akan di
bentuk, melaikan Negara Kesatuan. Hubungan antara satuan Federal dengan negara
bagian merupakan hubungan kenegaraaan. Yang tidak hanya mengenai pada fungsi
penyelenggaraan administrasi negara. Hubungan meliputi juga di bidang kekuasaan
kehakiman dan pembentukan undang- undang. Pengertian Federal dapat dibedakan atas
tiga jenis berikut;
a) Negara dengan sisten Negara Federal murni yang dengan tegas merumuskan
negaranya dalam konstitusiunya sebagai Negara Fedeeral sebanyak 18 Negara
b) Negara dalam bentuk federal Arrangment, yang tidak memaklumkan diri sebagai
Federal, tetapi di dalam sistem pemerintahannya otonomi begitu kuat sehingga jauh
lebih dekat pada sitem Federal sebanyak 17 Negara.
c) Bentuk negara dan pemerintahan yang disebut sebagai associated state.

7
Darmini Roza, Laurensius Arliman S, Peran Pemerintah Daerah untuk Mewujudkan Kota Layak Anak di
Indonesia, Ius Quia Iustum Law Journal, Volume 25, Nomor 1, 2018,
https://doi.org/10.20885/iustum.vol25.iss1.art10

10
Negaranya sudah jadi tetapi hidupnya sendiri di anggap sulit.8

D. PENGERTIAN KONSEP NEGARA MONARKI


Monarki berasal dari kata monos (berarti satu) dan arkhein (memerintah). Dengan
mempelajari etimologi 2 (dua) kata tersebut, monarki dapat dipahami sebagai
pemerintahan yang diselenggarakan oleh seorang penguasa. Penyelenggaraan
pemerintahan tersebut dilakukan secara mutlak oleh seorang raja. Kekuasaan raja tersebut
bersumber dari Tuhan. Suatu negara dikelompokkan sebagai negara monarki apabila raja
merupakan pembentuk undang-undang, sekalipun kekuasaan dalam bidang pemerintahan
terbatas dan raja tidak mempunyai kekuasaan dalam kekuasaan kehakiman. Monarki
absolut menempatkan raja sebagai pembuat tatanan hukum. Raja juga dapat membuat
organ-organ yang diangkatnya untuk membuat tatanan hukum. Raja tidak bertanggung
jawab secara pribadi terhadap penyimpangan hukum yang dibuatnya karena raja tidak
berada di bawah hukum. Oleh karenanya raja tidak dapat dipertanggungjawabkan
terhadap sanksi hukum.7 Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa raja bertahta sebagai
wakil Tuhan. Raja mempunyai kewenangan absolut dalam suatu negara karena kehendak
Tuhan. Oleh karenanya muncul pemikiran bahwa raja bertahta karena kehendak Tuhan
(the divine rights of the king). Dalam hal ini, bentuk pemerintahan monarki lahir karena
adanya prinsip kedaulatan Tuhan, Dalam bentuk pemerintahan monarki, segala bentuk
kebijakan negara berasal dari raja. Kehendak raja adalah kehendak negara. Dalam
memilih pejabat-pejabat yang menjadi pembantu raja, menjadi bagian dari kekuasaan
raja. Pejabat-pejabat yang dipilih pun merupakan orang-orang di lingkungan terdekat raja.
Segala sesuatu dalam hal pengambilan keputusan dalam bentuk pemerintahan monarki
adalah bersifat sentralistis di tangan raja. Peran rakyat dalam hal menentukan proses
bernegara porsinya sangat kecil bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Dalam hal
penentuan raja, bentuk pemerintahan monarki menghendaki bahwa adanya proses
penunjukan untuk diangkat menjadi raja secara turun-temurun atau pewarisan. Pengganti
raja yang wafat atau hal-hal lain yang menyebabkan jabatan raja tidak melekat lagi pada
suatu individu, diberikan kepada penggantinya yang masih berasal dalam satu silsilah
baik secara vertikal maupun horizontal. Berdasarkan penjelasan dari Leon Duguit, sistem
penunjukan kepala negara berdasakan pewarisan ini menjadi karakter pokok bentuk
pemerimtahan monarki. Bentuk pemerintahan monarki menihilkan peran rakyat dalam
menentukan pemimpinnya. Raja tidak bertaggung jawab kepada rakyat. Begitu juga
sebaliknya bahwa rakyat tidak dapat meminta pertanggungjawaban kepada raja.Leon
Duguit dalam bukunya Traite de Droit Constitutional membedakan pemerintahan dalam
bentuk monarki dan republik. Perbedaan antara bentuk pemerintahan “monarki” dan
“republik” menurut Leon Duguit, adalah ada pada kepala negaranya. Jika ditunjuk

8
Debora Angelia Pardosi, Peran Jabatan Fungsional Auditor Terhadap Peningkatan Kinerja Birokrat Di Lingkungan
Inspektorat Provinsi Jawa Tengah, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018,
10.22216/soumlaw.v1i2.3718

11
berdasarkan hak turun – temurun, maka kita berhadapan dengan Monarki. Kalau kepala
negaranya ditunjuk tidak berdasarkan turun – temurun tetapi dipilih, maka kita
berhadapan dengan Republik. Dalam praktik – praktik ketatanegaraan, bentuk
pemerintahan monarki dan republik dapat dibedakan atas:
a) Monarki absolut Monarki absolut
adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara yang dikepalai oleh seorang (raja, ratu,
syah, atau kaisar) yang kekuasaan dan wewenangnya tidak terbatas. Perintah raja
merupakan wewenang yang hrus dipatuhi oleh rakyatnya. Pada diri raja terdapat
kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang menyatu dalam ucapan dan
perbuatannya. Contoh Perancis semasa Louis XIV dengan semboyannya yang terkenal
L’etat C’est Moi (negara adalah saya).
b) Monarki konstitusional Monarki konstitusional
adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara yang dikepalai oleh seorang raja yang
kekuasaannya dibatasi undang – undang dasar (konstitusi). Proses monarki kontitusional
adalah sebagai berikut: 1. Ada kalanya proses monarki konstitusional itu datang dari raja
itu sendiri karena takut dikudeta. Contohnya: negara Jepang dengan hak octroon. 2. Ada
kalanya proses monarki konstitusional itu terjadi karena adanya revolusi rakyat terhadap
raja. Contohnya: inggris yang melahirkan Bill of Rights I tahun 1689, Yordania,
Denmark, Aarab Saudi, Brunei Darussalam.
c) Monarki parlementer Monarki parlementer
adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara yang dikepalai oleh seorang raja dengan
menempatkan parlemen (DPR) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam monarki
parlementer, kekuasaan, eksekutif dipegang oleh kabinet (perdanan menteri) dan
bertanggung jawab kepada parlemen. Fungsi raja hanya sebagain kepala negara (simbol
kekeuasaan) yang kedudukannya ridak dapat diganggu gugat. Bentuk monarki
parlementer sampai sekarang masih tetap dilaksanakan di negara Inggris, Belanda, dan
Malaysia.9

9
Dian Bakti Setiawan, Keberadaan Dan Penerapan Peraturan Daerah Syari’ah Sebagai Perundang-Undangan Pada
Tingkat Daerah, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3327.

12
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Suatu negara dapat terbentuk apabila adanya unsur terbentuknya suatunegara seperti
adanya masyarakat, pemerintahan, dan wilayah. Karena jika tidakadanya salah satu unsur
tersebut tidak bisa dikatakan sebagai sebuah negara,namun timbulnya suatu negara
juga bisa terjadi karena sebuah perjanjian,penggabungan dan peleburan dari sebuah
negara atau wilayah sebelumnya, yangdilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Sedangkan
untuk terjadinya hilangnyasebuah negara dapat terjadi akibat beberapa factor, seperti
factor alam, sosialyang membuat negara itu menjadi hilang. Factor alam disebabkan oleh
keadaangeologis atau kondisi dari wilayah tersebut sudah tidak memungkinkan
lagiuntuk ditinggali oleh masyarakat pada negara itu, sedangkan untuk factor sosialdapat
terjadi akibat ketegangan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadappemerintah
sebagai pemegang kekuasaan yang sudah tidak mampu untukmengelola jalannya
negara sebagaimana mestinya

13
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Jurnal
Andrew Shandy Utama, Independensi Pengawasan Terhadap Bank Badan Usaha Milik
Negara (Bumn) Dalam Sistem Hukum Nasional Di Indonesia, Soumatera Law
Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3312.
Annisa Arifka, Sanksi Administrasi Bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan Orang Pribadi
Di Kota Padang, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018,
10.22216/soumlaw.v1i2.3745.
Ade Sarmini, Kualitas Pelayanan Surat Izin Mengemudi (SIM) Pada Kantor Satuan Lalu
Lintas Polres Karimun, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019,
10.22216/soumlaw.v2i2.4231.
Bram Mohammad Yasser, Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Pada Peradilan
Tata Usaha Negara Dalam Kaitannya Dengan Tindak Pidana Korupsi, Soumatera
Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3558.
Danel Aditia Situngkir, Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Hukum
Pidana Internasional, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018,
10.22216/soumlaw.v1i1.3398.
Darmini Roza, Laurensius Arliman S, Peran Pemerintah Daerah Di Dalam Melindungi
Hak Anak Di Indonesia, Masalah-Masalah Hukum, Volume 47, Nomor 1, 2018.
https://doi.org/10.14710/mmh.47.1.2018.10-21.
Darmini Roza, Laurensius Arliman S, Peran Pemerintah Daerah untuk Mewujudkan Kota
Layak Anak di Indonesia, Ius Quia Iustum Law Journal, Volume 25, Nomor 1,
2018, https://doi.org/10.20885/iustum.vol25.iss1.art10.

Sumber Buku
Darmini Roza, Laurensius Arliman S, Peran Badan Permusyawaratan Desa di Dalam
Pembangunan Desa dan Pengawasan Keuangan Desa, Padjadjaran Journal of
Law, Volume 4, Nomor 3, 2017. https://doi.org/10.15408/jch.v4i2.3433.
Debora Angelia Pardosi, Peran Jabatan Fungsional Auditor Terhadap Peningkatan
Kinerja Birokrat Di Lingkungan Inspektorat Provinsi Jawa Tengah, Soumatera
Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3718.
Dewi Fiska Simbolon, Kurangnya Pendidikan Reproduksi Dini Menjadi Faktor Penyebab
Terjadinya Pelecehan Seksual Antar Anak, Soumatera Law Review, Voume 1,
Nomor 1, 2017, http://doi.org/10.22216/soumlaw.v1i1.3310

14

Anda mungkin juga menyukai