Anda di halaman 1dari 40

PEDOMAN PELAYANAN

PENANGGULANGAN
HIV-AIDS

RUMAH SAKIT SANTO VINCENTIUS


SINGKAWANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua rahmat yang diberikan kepada kami
sehingga Pedoman Pelayanan Penanggulangan HIV-AIDS Rumah Sakit Santo Vincentius dapat kami
selesaikan.

Pedoman Pelayanan Penanggulangan HIV-AIDS disusun secara umum yang memaparkan semua
Pelayanan yang dapat diberikan sesuai kemampuan dan fasilitas Rumah Sakit Santo Vincentius sesuai
dengan Peraturan dan Perundang Undangan yang berlaku.

Terima kasih atas bantuan dari semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan baik
berupa pemikiran dan ide, sehingga Pedoman Pelayanan Penanggulangan HIV-AIDS Rumah Sakit Santo
Vincentius ini dapat diselesaikan.

Singkawang, Januari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar .............................................................................................................................. i


Daftar Isi ....................................................................................................................................... ii
Lampiran
Keputusan Direktur Keputusan Direktur Rumah Sakit Santo Vincentius Nomor : 252.1/RSSV-
SK/DIR/I/2021Tentang Pedoman Pelayanan HIV-AIDS Rumah Sakit Santo Vincentius
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................. 1
B. Tujuan .......................................................................................................................... 2
C. Ruang Lingkup............................................................................................................. 3
D. Batasan Operasional ..................................................................................................... 3
E. Landasan Hukum ........................................................................................................ 3
BAB II STANDAR KETENAGAAN .......................................................................................... 5
A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia .......................................................................... 5
BAB III STANDAR FASILITAS ............................................................................................... 6
A. Denah Ruangan ......................................................................................................... 6
B. Standar Fasilitas ....................................................................................................... 7
BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN .............................................................................. 8
A. Penyelenggaraan Konseling dan Tesh HIV ................................................................. 8
B. Pengendalian Infeksi ................................................................................................. 15
C. Screning Infeksi opportunistik (IO) dan Penentuan Stadium Klinis ......................... 15
D. Pencegahan penularan HIV dari Ibu ke Anak (PMTCT) ........................................... 18
BAB V LOGISTIK ................................................................................................................... 21
A. Jenis Logistik ...................................................................................................................... 21
BAB VI KESELAMATAN PASIEN ....................................................................................... 22
BAB VII KESELAMATAN KERJA ...................................................................................... 23
BAB VIII PENGENDALIAN MUTU ................................................................................... 32
BAB IX PENUTUP ................................................................................................................... 33

ii
Yayasan Karya Kesehatan Santo Vincentius
RUMAH SAKIT SANTO VINCENTIUS
Jl.P.Diponegoro No.5 Singkawang 79123
Telepon:(0562)631008,636768,Fax:633881,email:rs_vincentius@yahoo.com

KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT SANTO VINCENTIUS


NOMOR : 252.1/RSSV-SK/DIR/I/2021
TENTANG
PEDOMAN PELAYANAN HIV-AIDS
RUMAH SAKIT SANTO VINCENTIUS
DIREKTUR RUMAH SAKIT SANTO VINCENTIUS SINGKAWANG

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan di Rumah


Sakit Santo Vincentius, maka perlu disusun pedoman pelayanan.
b. Bahwa untuk kepentingan tersebut di atas, perlu diterbitkan
Keputusan Direktur tentang Pedoman Pelayanan HIV-AIDS Rumah
Sakit Santo Vincentius Singkawang.

Mengingat : 1. Undang – Undang RI Nomor 4 Tahun 1984, tentang Wabah


Penyakit Menular;
2. Undang – Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan;
3. Undang – Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
4. KMK Nomor : 782 Tahun 2011 tentang RS Rujukan ODHA;
5. KMK Nomor : 241 Tahun 2006 tentang Standar Pelayanan
Laboratorium Kesehatan Pemeriksaan HIV dan Infeksi
Oportunistik;
6. PMK No : 74 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling
dan Test HIV (KTHIV);
7. Surat Keputusan Yayasan Karya Kesehatan Santo Vincentius
No.520/YKKSV-RSSV/SK/SP/2020 tentang Pengangkatan
direktur Rumah Sakit Santo Vincentius.
8. Surat Keputusan Yayasan Karya Kesehatan Santo Vincentis No.
524/YKKS-RSSV/SK/ADM/VII/2020 tentang Struktur Organisasi
dan Tata Kerja Rumah Sakit Santo Vincentis Singkawang;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KESATU : Keputusan direktur rumah sakit santo vincentius tentang pedoman
pelayanan hiv-aids rumah sakit santo vincentius.
KEDUA : Pedoman Pelayanan HIV-AIDS Rumah Sakit Santo Vincentius,
sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini.
KETIGA : Pedoman pelayanan ini harus dibahas sekurang – kurangnya setiap 3
(tiga) tahun sekali dan apabila diperlukan, dapat dilakukan perubahan
sesuai dengan perkembangan yang ada.
KEEMPAT : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan
apabila dikemudian hari terdapat kesalahan akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.

ditetapkan di: Singkawang


pada tanggal : 8 Januari 2021
Direktur,

dr. Nurtanti Indriyani, M.P.H.


LAMPIRAN : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT SANTO VINCENTIUS
NOMOR : 252.1/RSSV-SK/DIR/I/2021
TANGGAL : 8 Januari 2021
TENTANG : PEDOMAN PELAYANAN HIV-AIDS RUMAH SAKIT SANTO
VINCENTIUS SINGKAWANG

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang semuanya menuju
pada paradigma Zero New Infection (menurunkan infeksi HIV baru), Zero AIDS-related death
(menurunkan kesakitan dan kematian akibat AIDS) dan Zero Discrimination (menurunkan
stigma dan diskriminasi). Empat pilar tersebut adalah:
1. Pencegahan (prevention): yang meliputi pencegahan penularan HIV melalui transmisi
seksual dan alat suntik, pencegahan di lembaga permasyarakatan dan rumah tahanan,
pencegahan HIV dari Ibu ke bayi, pencegahan di kalangan penjaja seks, dan lain-lain.
2. Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP): yang meliputi penguatan dan
pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik,
pengobatan antiretroviral (ARV) dan dukungan serta pendidikan dan pelatihan bagi
ODHA. Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat
inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas hidup
orang terinfeksi HIV (berbagai stadium klinis). Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan
antara lain dengan pemberian antiretroviral (ARV).
3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososial – ekonomi.
4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) yang meliputi
program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan penguatan kelembagaan
dan manajemen, manajemen program serta penyelarasan kebijakan lain-lain.

Kajian eksternal pengendalian HIV-AIDS sektor kesehatan yang dilaksanakan pada Tahun
2011 menunjukan kemajuan program dengan bertambahnya jumlah layanan tes HIV dan layanan
perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP), yang telah didapat lebih dari 300 kabupaten/kota di
seluruh Provinsi secara aktif melaporkan kegiatannya. Namun dari hasil kajian ini juga
menunjukan bahwa tes HIV masih terlambat dilakukan, sehingga perawatan ODHA yang
diketahui statusnya dan masuk perawatan sudah masuk dalam stadium AIDS.

1
Kementerian Kesehatan terus berupaya meningkatkan jumlah layanan konseling dan tes
HIV (KTHIV) untuk meningkatkan cakupan tes HIV sehingga semakin banyak orang yang
mengetahui status HIV-nya dan dapat segera mendapatkan akses layanan lebih lanjut yang
dibutuhkan. Tes HIV sebagai satu-satunya pintu masuk untuk akses layanan pencegahan,
perawatan, dukungan dan pengobatan harus terus ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya.
Perluasan jangkauan KTHIV akan menimbulkan normalisasi HIV di masyarakat. Tes HIV
akan seperti menjadi seperti tes untuk penyakit lainnya. Peningkatan cakupan tes HIV dilanjutkan
dengan penyediaan akses pada layanan selanjutnya yang dibutuhkan, dimana salah satunya adalah
terapi sebagai pencegahan (treatment as prevention). Setiap rumah sakit rujukan ARV di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota harus dapat menjamin akses layanan bagi ODHA yang
membutuhkan termasuk pengobatan ARV, sementara fasilitas pelayanan kesehatan primer dapat
melakukan deteksi dini HIV dan secara bertahap juga bisa memulai inisiasi terapi ARV.
Rumah Sakit Santo Vincentius sebagai fasilitas kesehatan masyarakat berupaya
mendukung program pengendalian HIV-AIDS dengan pelayanan komprehensif dan berkelanjutan
melalui upaya pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan lingkup layanan
PITC (Provider-Initiated Testing and Counselling , PMTCT, rujukan klinis pasien ODHA dengan
komplikasi (IO penyerta), serta pencatatan dan pelaporan. Tes HIV dilakukan dalam rangka
penegakan diagnosis HIV, untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penularan atau peningkatan
kejadian infeksi HIV dan pengobatan lebih dini
Berdasarkan latar belakang tersebut, Tim HIV-AIDS yang dibentuk di Rumah Sakit Santo
Vincentius membuat pedoman pelayanan HIV-AIDS dan rujukan yang akan dijadikan acuan
dalam menyelenggarakan pelayanan menyeluruh pada pasien HIV-AIDS.

B. Tujuan Pedoman
1. Tujuan umum
Menurunkan angka kesakitan HIV-AIDS melalui peningkatan mutu pelayanan.
2. Tujuan khusus
a. Sebagai pedoman penatalaksanaan konseling dan tes HIV di poliklinik HIV-AIDS
Rumah Sakit Santo Vincentius
b. Sebagai pedoman dalam melakukan layanan satelit pemberian Antiretroviral (ARV)
di Rumah Sakit Santo Vincentius
c. Sebagai pedoman dalam pelayanan rujukan pada pasien HIV-AIDS
d. Sebagai pedoman pencatatan dan pelaporan layanan

2
e. Menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumber daya manusia (petugas layanan
yang bersertifikat), pemenuhan sarana dan prasarana yang memadai dan mutu
keselamatan petugas serta pasien

C. Ruang Lingkup Pelayanan


Pelayanan HIV-AIDS di Rumah Sakit Santo Vincentius meliputi Tes HIV atas Inisiatif
Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling / Provider- Initiated Testing and Counselling
(PITC), sistem rujukan klinis pada ODHA dengan komplikasi IO, pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak (PMTCT), pelayanan rujukan ODHA yang membutuhkan ARV, serta upaya
monitoring dan evaluasi pelayanan dengan pencatatan dan pelaporan.
Pedoman pelayanan HIV-AIDS di Rumah Sakit Santo Vincentius diperuntukan bagi
seluruh unit kerja terkait yaitu :
1. Instalasi Rawat Jalan
2. Instalasi Rawat Inap
3. Instalasi Gawat Darurat (IGD)
4. Penunjang dan unit kerja lainnya.

D. Batasan Operasional
- PITC adalah pemberian pelayanan konseling dan Tes HIV atas inisiasi pemberi layanan
kesehatan
- Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik adalah penemuan dan pengobatan Infeksi
Oportunistik
- PTMCT adalah layanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
- Perawatan dan Pengobatan
- Rujukan adalah menyelenggarakan pelayanan rujukan (baik menerima rujukan atau
merujuk)

E. Landasan Hukum
1. Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
2. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1285/Menkes/SK/X/2002 tentang Pedoman
Penanggulangan HIV-AIDS dan Penyakit Menular Seksual.
3. Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV

3
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan
AIDS
6. Undang – Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
7. PERMENKES NO. 74 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Test
HIV
8. PERMENKES NO. 4 Tahun 2019 Tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan
Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
9. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. HK 0.1 /MENKES/90/2019 Tentang Pedoman
Nasional Kedokteran Tata Laksana HIV

4
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia

No Jenis SDM Kualifikasi Personel


1 Kepala Tim HIV Seseorang yang telah memiliki keahlian manajerial terkait
AIDS program pelayanan HIV dan mengikuti pelatihan
2 Konselor Dokter, perawat atau tenaga kesehatan lainnya yang telah
mengikuti pelatihan
3. Pelaksana Teknis Lulusan analis kesehatan / D3 analis kesehatan yang telah
Laboratorium memiliki STR dan telah mengikuti pelatihan tes HIV
4 Petugas Pencatatan Tenaga Kesehatan atau non kesehatan yang memiliki
dan Pelaporan kecakapan dalam administrasi
5 Dokter Spesialis Spesialis spesialis yang telah mengikuti pelatihan HIV
6 Bidan Bidan yang telah mengikuti pelatihan HIV
7 Apoteker Apoteker yang telah mengikuti pelatihan HIV

5
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. Denah Ruangan (Rencana)

T Lemari
B
P M
B
I E
N J
T A
U
A
R
U
A
N Meja Panjang
G

T
U
N
G
G
U

6
B. Standar Fasilitas
1. Sarana
a Papan nama / petunjuk
b Ruang tunggu
c Jam pelayanan
Jam pelayanan setiap hari kerja mulai hari Senin s/d Sabtu pukul 08.00 sd 14.00 WIB.
d Ruang Konseling dan Ruang Periksa, dilengkapi dengan:
• Tempat duduk
• Formulir catatan konselor, formulir informed consent, catatan medis klien, formulir
pra dan pasca testing, formulir rujukan, kalender, dan formulir laboratorium, formulir
konsul antar departemen, formulir pemeriksaan penunjang.
• Kondom dan alat peraga penis
• Alat peragaan lainnya yaitu gambar berbagai penyakit oportunistik
• Materi KIE : Poster, leaflet, brosur
• Tempat sampah dan tissu
• Meja dan kursi yang tersedia dan nyaman.
• Kalender
• Stetoskop & tensimeter
• Blanko resep, surat sakit, surat masuk perawatan
• Alat timbangan badan
• Wastafel
• AC
2. Prasarana
1. Aliran listrik untuk penerangan serta untuk alat pendingin ruangan.
2. Air yang mengalir untuk menjaga kebersihan ruangan dan mencuci tangan
3. Sambungan telepon
4. Sambungan internet

7
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. Penyelenggaraan Konseling dan Tes HIV


Penyelenggaraan Konseling dan Tes HIV (KTHIV) adalah suatu layanan untuk mengetahui
adanya infeksi HIV ditubuh seseorang. KTHIV didahului dengan dialog antara klien/pasien
dan konselor/petugas kesehatan dengan tujuan memberikan informasi tentang HIV dan AIDS
dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV.
Layanan KTHIV untuk menegakkan diagnosis HIV, dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan,
yaitu:
a) Konseling dan Tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling yang
disingkat dengan PITC
b) Konseling dan tes HIV secara sukarela yang disingkat dengan VCT/KTS.
Beberapa alasan seseorang melakukan KTHIV adalah :
1) Orang atau pasangan yang ingin mengetahui status HIVnya
2) Ibu hamil yang masuk dalam Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
(PPIA)
3) Penegakan diagnosis untuk keperluan pasien (pasien Hepatitis, pasien TB, pasien infeksi
menular seksual/ IMS, ibu hamil, bayi yang lahir dari ibu dengan HIV)
4) Pasien yang diduga telah terinfeksi HIV
5) Penapisan darah donor transfusi atau organ tubuh
6) Tata laksana Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) setelah terjadinya tusukan pada kecelakaan
kerja okupasional
7) Prosedur pemeriksaan dalam kasus perkosaan
8) Perintah pengadilan dari terdakwa dalam kasus kejahatan seksual dan sebagainya.

8
ALUR KONSELING DAN TES HIV (KTHIV)

Pasien
IRJ / IRNA
TIDAK SETUJU
Sesi KIE Tawarkan Tes HV
Kelompok kembali pada
kunjungan berikutnya.
Bila masih belum
setuju, arahkan ke
KTIP konselor.

Informasi Pra Tes


(oleh Petugas Kesehatan)

Pasien Setuju

Ambil
Tes Darah Interpretasi Oleh Dokter
Darah

Pemberian Hasil Melalui Konseling Pasca Tes


(Oleh Tenaga Kesehatan / Konselor)

Konseling Hasil Tes Konseling Hasil Tes POSITIF :


NEGATIF : • Berikan Dukungan
• Pesan Pencegahan • Informasi pentingnya perawatan
• Pesan untuk tes ulang bila • Tentukan stadium klinis
masih ada perilaku berisiko • Skrining TB
dan bagi Populasi Kunci • Rujuk pemeriksaan CD4
• Penyiapan Pengobatan ARV
• Pesan pencegahan positif
• Anjuran untuk Tes Pasangan
• Beri Nomor Register Layanan PDP
yang disetujui (7 digit Kode RS dan 4
digit No Urut Pasien)

9
Secara umum, pemeriksaan HIV dilakukan untuk tujuan penapisan darah donor dan
transplantasi, surveilans, dan penegakan diagnosis. Strategi pemeriksaan laboratorium yang
digunakan untuk ketiga tujuan tersebut berbeda satu sama lain.
• Pemeriksaan HIV untuk uji penapisan darah donor dan transplantasi, dilakukan dengan
Strategi I (pemeriksaan dengan satu metode)
• Pemeriksaan HIV untuk surveilans dilaksanakan dengan strategi II (pemeriksaan dengan
dua metode)
• Pemeriksaan HIV untuk diagnosis dilaksanakan dengan strategi III (pemeriksaan dengan
tiga metode)

Konseling Dan Tes Hiv Atas Inisiasi Pemberi Layanan Kesehatan (PITC)
Konseling dan Tes HIV atas inisiasi pemberi layanan kesehatan dan konseling (PITC) adalah
tes HIV yang dianjurkan atau ditawarkan oleh petugas kesehatan kepada pasien pengguna
layanan kesehatan sebagai komponen pelayanan standar layanan kesehatan di fasilitas
tersebut.
Tujuan umum dari PITC adalah untuk melakukan diagnosis HIV secara lebih dini dan
memfasilitasi pasien untuk mendapatkan pengobatan HIV serta untuk memfasilitasi
pengambilan keputusan klinis atau medis terkait pengobatan Antiretroviral (ARV) yang
dibutuhkan, dimana hal tersebut tidak mungkin diambil tanpa mengetahui status HIV nya.
PITC juga bertujuan untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada stadium awal yang tidak
menunjukkan gejala penyakit yang jelas karena penurunan kekebalan. Oleh karenanya pada
daerah epidemi meluas tes HIV juga ditawarkan kepada pasien dengan gejala yang mungkin
tidak terkait dengan HIV sekalipun. Dengan mengetahui status HIV positifnya, pasien akan
mendapatkan layanan pencegahan dan terapi yang diperlukan secara lebih dini.
Di Rumah Sakit, PITC diintegrasikan dalam prosedur skrining pasien untuk layanan medis
yang berisiko tinggi dan surveilans misalnya :
− Tes HIV untuk pasien yang akan dilakukan tindakan bedah/operasi sedang dan besar
− Tes HIV untuk pasien dengan TB Paru
− Tes HIV untuk pasien yang positif Hepatitis B dan C
− Tes HIV untuk pasien yang menunjukkan gejala immunocompromised
− Tes HIV untuk pasien yang akan menjalani prosedur khusus seperti transplantasi
organ, bayi tabung, donor darah rutin atau donor organ.

10
Langkah–langkah melaksanakan PITC di fasilitas kesehatan :
1) Pemberian Informasi tentang HIV dan AIDS sebelum tes
Pemberian Informasi dapat dilakukan dalam 3 metode yaitu :
• Sesi Kelompok
• Sesi Individual
• Sesi Kelompok Khusus (Ibu Hamil, Remaja, Pengguna Narkoba suntik, Narapidana,
dan kelompok berisiko lainnya)

Isi Informasi yang disampaikan terdiri dari :


a) Informasi dasar tentang HIV dan AIDS
b) Informasi tentang pencegahan, pengobatan, perawatan, dan penularan HIV/AIDS
c) Prosedur Tes HIV dan konfidensialitas
d) Kapan dilakukan permintaan tes HIV
e) Keuntungan membuka status kepada pasangan dan atau orang dekatnya
f) Arti tes dan penyesuaian diri atas status baru
g) Masalah stigma dan diskriminasi di lingkungan keluarga dan masyarakat setempat
h) Mempertahankan dan melindungi diri serta pasangan/keluarga agar tetap sehat.
i) Rujukan ke layanan yang terkait dengan HIV, seperti misalnya konsultasi gizi,
pemeriksaan dan pengobatan TB, pemeriksaan IMS, pemeriksaan CD4, tata laksana
infeksi oportunistik dan stadium klinis.
j) Risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandung
k) Pengurangan risiko penularan HIV dari ibu dengan HIV positif kepada janin yang
dikandungnya, antara lain melalui terapi antiretroviral, persalinan aman dan
pemberian makanan bayi
l) Manfaat diagnosis HIV dini bagi bayi yang akan dilahirkan.

2) Persetujuan Tes HIV (Informed Consent)


Aspek penting dalam persetujuan :
− Klien telah memahami tentang maksud dan tujuan tes, serta risiko dan dampaknya
− Informasi bahwa jika hasil tes positif, akan dirujuk ke layanan HIV termasuk
pengobatan ARV dan penatalaksanaan lainnya
− Bagi mereka yang menolak tes HIV dicatat dalam catatan medik untuk dilakukan
penawaran tes dan atau konseling ulang ketika kunjungan berikutnya
− Persetujuan untuk anak dan remaja di bawah umur diperoleh dari orangtua atau wali

11
− Pada pasien dengan gangguan jiwa berat atau gangguan kognitif yang tidak mampu
membuat keputusan dan secara nyata berperilaku berisiko, dapat dimintakan kepada
istri/suami atau ibu/ayah kandung atau anak kandung/saudara kandung atau walinya.

3) Tes HIV
Tes HIV idealnya dilakukan di laboratorium di fasilitas layanan kesehatan. Tes HIV wajib
menggunakan reagen tes HIV yang sudah diregistrasi dan dievaluasi oleh institusi yang
ditunjuk Kementerian Kesehatan dan dapat mendeteksi baik antibodi HIV-1 maupun HIV-
2.
Tes cepat harus dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh pabriknya (ada dalam
kotak reagensia). Tes cepat dapat dilakukan di luar sarana laboratorium, tidak memerlukan
peralatan khusus dan dapat dilaksanakan di fasilitas kesehatan primer oleh paramedis
terlatih. Tes cepat tidak dianjurkan untuk jumlah pasien yang banyak.
Tes Enzyme ImmunoAssay (EIA) biasanya dilakukan di fasilitas layanan kesehatan dengan
sarana laboratorium yang lengkap dan petugas yang terlatih dengan jumlah pasien yang
lebih banyak.
Pemilihan antara menggunakan tes cepat HIV atau tes ELISA harus mempertimbangkan
faktor tatanan tempat pelaksanaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen
dan peralatan; pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien untuk
kembali mengambil hasil.

Pengendalian HIV dan AIDS Nasional menggunakan strategi III dengan tiga jenis reagen
yang berbeda sensitifitas dan spesifitas-nya, dengan urutan yang direkomendasikan
sebagai berikut :
• Reagen pertama memiliki sensitifitas minimal 99%.
• Reagen kedua memiliki spesifisitas minimal 98%.
• Reagen ketiga memiliki spesifisitas minimal 99%.

Tes Virologi HIV DNA kualitatif dianjurkan untuk diagnosis bayi dan anak pada umur
kurang dari 18 bulan dan perempuan HIV positif yang merencanakan kehamilan dan
persalinan.
Tes HIV untuk anak umur kurang dari 18 bulan dari ibu HIV positif tidak dianjurkan
dengan tes antibodi, karena akan memberikan hasil positif palsu.

12
Bersedia Tes

Tes Antibodi HIV


A1

Non Reaktif Reaktif

Tes Antibodi HIV


A2

Non Reaktif Reaktif

Ulang Tes HIV


A1 dan A2

Hasil Keduanya reaktif


Tes Antibodi HIV
pengulangan
A3
keduanya Non Salah 1 reaktif
Reaktif

Non Reaktif Reaktif

A1 Peng A1 (R) A1 (NR) A1 (R) A1 (NR) A1 (R) A1 (R)


Non ulangan A2 (NR) A2 (R) A2 (R) A2 (R) A2 (NR) A2 (R)
Reaktif A1 (NR) A3 (NR) A3 (NR) A3 (NR) A3 (R) A3 (R) A3 (R)
A2 (NR)

Laporan Laboratorium

HIV Berisiko HIV


Intermediate
Negatif Positif

Keputusan Klinis
Tidak Ya

13
Interpretasi Hasil Pemeriksaan Anti HIV
➢ Hasil Positif
− Bila Hasil A1 reaktif, A2 reaktif, dan A3 reaktif
➢ Hasil Negatif
− Bila Hasil A1 non reaktif
− Bila Hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non reaktif
− Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko
➢ Hasil Intermediate
− Bila dua hasil tes reaktif
− Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko

Tindak Lanjut Pemeriksaan Anti HIV


Tindak Lanjut Hasil Positif :
• Rujuk ke pengobatan HIV
Tindak Lanjut Hasil Negatif :
• Bila hasil negatif dan berisiko dianjurkan pemeriksaan ulang minimum 3
bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama sampai satu tahun.
• Bila hasil negatif dan tidak berisiko dianjurkan perilaku hidup sehat
Tindak Lanjut Hasil Intermediate :
• Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimun setelah dua minggu dari
pemeriksaan yang pertama.
• Bila hasil tetap intermediate, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR.
• Bila sarana pemeriksaan PCR tidak memungkinkan, rapid tes diulang 3
bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan yang pertama.

4) Konseling Pasca Tes


Semua klien/pasien yang menjalani tes HIV perlu menerima konseling pasca tes tanpa
memandang apapun hasilnya. Konseling pasca tes membantu klien/pasien memahami dan
menyesuaikan diri dengan hasil tes dan tindak lanjut pengobatan. Hasil dari konseling
pasca tes yang dilakukan konselor didokumentasikan dalam buku kunjungan klien.

5) Rujukan Ke Layanan Pengobatan HIV / AIDS bagi Yang Positif

14
Klien/pasien yang hasil tesnya positif perlu segera dirujuk ke layanan perawatan,
dukungan dan pengobatan untuk mendapatkan layanan selanjutnya yang dibutuhkan.
Dalam hal ini RS Santo Vincentius melakukan rujukan pengobatan ARV ke RS Rujukan
sesuai MOU yang telah disepakati.

B. Pengendalian Infeksi
Semua petugas kesehatan harus menerapkan kewaspadaan standar sebagai upaya
pengendalian infeksi, tanpa memandang status HIV klien yang dihadapi.
Pedoman tatalaksana pasca pajanan okupasional harus tersedia dan dipahami oleh semua
pegawai. Diperlukan penerapan secara nondiskriminatif, ketersediaan fasilitas tes HIV,
jaminan konfidensialitas, dan akses pada profilaksis pasca pajanan (PPP).
Para penyelenggara layanan harus menyediakan dan mengupayakan lingkungan kerja yang
memungkinkan penerapan kewaspadaan standar untuk meminimalkan risiko terjadinya
pajanan HIV okupasional.
1) Kebersihan Tangan
2) Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)
3) Etika Batuk
4) Penempatan Pasien
5) Pengelolaan Peralatan Perawatan Pasien
6) Pengendalian Lingkungan
7) Manajemen Linen
8) Pengelolaan Limbah Yang Benar
9) Praktik Menyuntik Yang Aman
10) Prosedur Lumbal Punksi Yang Aman
11) Pemeriksaan Kesehatan Karyawan (termasuk tatalaksana pasca pajanan)

C. Skrining Infeksi Oportunistik (IO) dan Penentuan Stadium Klinis


a) Infeksi Oportunistik
• Infeksi Oportunistik yang paling sering dijumpai adalah TBC, kandidiasis oral, diare,
Pneumocystis Pneumonia (PCP), Pruritic Papular Eruption (PPE)
• Skrining Infeksi Oportunistik dilakukan untuk melihat derajat perkembangan infeksi
HIV dan melakukan penanganan secara komprehensif.
• Semakin rendah status imun (semakin rendah CD4) maka semakin besar kemungkinan
atau risiko mendapat infeksi oportunistik.

15
• Lakukan pemeriksaan fisik secara teliti head to toe untuk menemukan adanya infeksi
oportunistik termasuk TB dan tentukan stadium klinis dan tindak lanjutnya
• Untuk mencegah IO dapat diberikan Profilaksis Kotrimoksazol, yaitu pada ODHA
dengan stadium klinis 2, 3, dan 4 pada CD4 < 200
➢ Profilaksis Kotrimoksazol :
− Profilaksis primer untuk mencegah infeksi yang belum pernah didapatkan.
− Profilaksis sekunder untuk mencegah kekambuhan dari infeksi yang sama.
Profilaksis sekunder diberikan segera setelah seseorang selesai mendapatkan
pengobatan IO. Sebagai contoh, seseorang menderita PCP, maka setelah selesai
mendapatkan pengobatan PCP dan sembuh maka kotrimoksasol diberikan sebagai
profilaksis sekunder.
− Kotrimoksasol tidak menggantikan terapi ARV. Oleh karena itu perlu
direncanakan pemberian ARV setelah kotrimoksasol, idealnya sekitar 2 minggu
setelah pemberian kotrimoksasol.
− Profilaksis kotrimoksasol tetap diberikan walaupun pasien mendapatkan
pengobatan untuk IO-nya.
− Profilaksis kotrimoksasol dihentikan satu tahun setelah pasien sehat kembali
dengan tingkat kepatuhan minum obat ARV baik dan CD4 >200 setelah pemberian
terapi ARV pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut.

b) Stadium Klinis Infeksi HIV


Stadium 1
• Tidak ada gejala
• Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2
• Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (<10%
dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
• Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media,
faringitis)
• Herpes zoster
• Keilitis angularis
• Ulkus mulut yang berulang
• Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption)

16
• Dermatisis seboroik
• Infeksi jamur pada kuku
Stadium 3
• Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari
10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
• Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
• Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
• Kandidiasis pada mulut yang menetap
• Oral hairy leukoplakia
• Tuberkulosis paru
• Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis,
infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggul yang berat)
• Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
• Anemi yang tak diketahui penyebabnya (<8 g/dl), neutropeni (< 0.5 x 103/l)
dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 103/l)

Stadium 4
• Sindrom wasting HIV • Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner,
• Pneumonia Pneumocystis jiroveci termasuk meningitis
• Pneumonia bacteri berat yang • Infeksi mycobacteria non tuberkulosis
berulang yang menyebar
• Infeksi herpes simplex kronis • Leukoencephalopathy multifocal
(orolabial, genital, atau anorektal progresif
selama lebih dari 1 bulan atau viseral • Cyrptosporidiosis kronis
di bagian manapun) • Isosporiasis kronis
• Kandidiasis esofageal (atau • Mikosis diseminata (histoplasmosis,
kandidiasis trakea, bronkus atau paru) coccidiomycosis)
• Tuberkulosis ekstra paru • Septikemi yang berulang (termasuk
• Sarkoma Kaposi Salmonella non-tifoid)
• Penyakit Cytomegalovirus (retinitis • Limfoma (serebral atau Sel B non-
atau infeksi organ lain, tidak termasuk Hodgkin)
hati, limpa dan kelenjar getah bening) • Karsinoma serviks invasif
• Toksoplasmosis di sistem saraf pusat • Leishmaniasis diseminata atipikal

17
• Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV
yang simtomatis
• Ensefalopati HIV

D. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PMTCT)


Salah satu cara penularan HIV adalah dari ibu HIV positif ke bayinya, dimana penularan ini
dapat berlangsung mulai dari kehamilan, persalinan maupun menyusui. Faktor penyebab
penularan yang terpenting adalah jumlah virus dalam darah sehingga perlu mendeteksi ibu
hamil HIV positif dan memberikan pengobatan ARV seawal mungkin sehingga kemungkinan
bayi tertular HIV menurun.
• Kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak diintegrasikan pada layanan Poli
Kandungan/KB, Layanan Konseling Pasangan Usia Subur dan Layanan Konseling
Remaja.
• Tes HIV diintegrasikan dalam pelayanan antenatal terpadu kepada semua ibu hamil mulai
dari kunjungan pertama sampai menjelang persalinan.
• Jika hasil tes HIV I adalah reaktif (positif), maka ibu hamil dirujuk ke Faskes yang mampu
memberikan layanan lanjutan
• Pada ANC terpadu berkualitas dilakukan :
− Anamnesis lengkap dan tercatat
− Pemeriksaan kehamilan tercatat di kartu ibu meliputi :
✓ T1: Tinggi dan berat badan
✓ T2: Tekanan darah dan denyut nadi ibu
✓ T3: Tentukan status gizi ibu (ukur lingkar lengan atas / LILA)
✓ T4: Tinggi fundus uteri
✓ T5: Tentukan presentasi janin dan DJJ
✓ T6: Tentukan status imunisasi tetanus
✓ T7: Tablet tambah darah (tablet besi)
✓ T8: Tes darah, urin dan sputum (darah: gol. darah, Hb; GDS, malaria, sifilis dan
HIV; urin: proteinuri; sputum: BTA
✓ T9: Tatalaksana kasus ibu hamil
✓ T10: Temu wicara dan konseling

18
− Hasil pemeriksaan di atas menentukan tatalaksana, temuwicara dan konseling yang
dilakukan
− Bila pada pemeriksaan ditemukan malaria, HIV, sifilis dan TB harus dilakukan
pengobatan
• Setiap ibu hamil HIV harus mendapatkan terapi ARV. Kehamilan dengan HIV merupakan
indikasi pemberian ARV dan diberikan langsung seumur hidup tanpa terputus. Pemberian
ARV pada ibu hamil tidak ada bedanya dengan pasien lainnya
• Setiap ibu hamil HIV harus diberikan konseling mengenai :
− Pilihan pemberian makanan bagi bayi
− Persalinan aman serta KB pasca persalinan.
− Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.
− Asupan gizi
− Hubungan seksual selama kehamilan (termasuk pengunaan kondom secara teratur dan
benar)
• Konseling menyusui diberikan secara khusus sejak perawatan antenatal pertama dengan
menyampaikan pilihan yang ada, yaitu ASI eksklusif atau susu formula eksklusif. Pilihan
yang diambil haruslah ASI saja atau susu formula saja (bukan mixed feeding). Tidak
dianjurkan untuk mencampur ASI dengan susu formula.
• Pelaksanaan persalinan ibu hamil HIV harus dilakukan di faskes (RS)
• Persalinan baik pervaginam atau melalui bedah sesarea dilakukan berdasarkan indikasi
medis ibu/bayinya dan menerapkan kewaspadaan standar untuk pencegahan infeksi. Ibu
hamil HIV dapat bersalin secara pervaginam bila ibu telah minum ARV teratur > 6 bulan
atau diketahui kadar viral load < 1000 kopi/mm3 pada minggu ke-36
• Semua bayi lahir dari ibu HIV harus diberi ARV Profilaksis (Zidovudin) sejak hari
pertama (umur 12 jam) selama 6 minggu
• Pemberian kotrimoksasol profilaksis bagi bayi yang lahir dari ibu dengan HIV dimulai
pada usia enam minggu, dilanjutkan hingga diagnosis HIV dapat disingkirkan atau hingga
usia 12 bulan.
• Semua bayi lahir dari ibu HIV harus dirawat di rumah sakit untuk pemantauan dan
mendapatkan perawatan lanjutan
• Pemberian imunisasi tetap dilakukan mengikuti standar pemberian imunisasi pada anak.
Semua vaksinasi tetap diberikan seperti pada bayi lainnya, termasuk vaksin hidup (BCG,
Polio oral, campak), kecuali bila terdapat gejala klinis infeksi HIV.

19
• Pada tempat yang mempunyai akses pemeriksaan PCR, pemeriksaan early infant
diagnosis (EID) atau diagnosis HIV dini pada bayi dengan metoda kertas saring perlu
dilakukan untuk memastikan apakah bayi tertular atau tidak.
• Faskes dan petugas kesehatan harus memberikan dukungan keperawatan bagi ibu selama
hamil, bersalin dan bayinya.
• Dilakukan pemantauan tumbuh kembang anak pada bayi yang lahir dari ibu HIV
• Edukasi dan anjuran tes HIV bagi pasangan ibu hamil HIV

20
BAB V
LOGISTIK

A. Jenis Logistik
1. Alat Pelindung Diri (APD)
2. Leaflet, lembar balik dan alat Media KIE lainnya (kondom, lubricant dll)
3. Formulir–formulir pencatatan dan pelaporan
4. Alat tulis kantor untuk kegiatan lainnya
5. Alat kebersihan
Peralatan laboratorium dan Rapid tes HIV dikelola di instalasi laboratorium,

21
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

Keselamatan pasien diutamakan untuk mencegah risiko penularan HIV disarana


pelayanan kesehatan, dimana HIV dapat ditularkan melalui berbagai cara seperti alat kesehatan
yang tercemar yang dipakai ulang tanpa didesinfeksi atau disterilisasi secara memadai, transfusi
dengan donor HIV positif, cangkok kulit, cangkok organ.
Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk keselamatan pasien, adalah :
1. Penerapan standar Universal precaution di sarana pelayanan kesehatan terutama poliklinik
HIV-AIDS
2. Identifikasi pasien sesuai Standar Prosedur Operasional setiap tindakan dan pemeriksaan
yang dilakukan
3. Pencatatan dan pelaporan hasil KTHIV yang benar dan akurat serta terjamin
kerahasiaannya (prinsip konfidentialitas)
4. Melakukan konseling dasar infeksi HIV dan penyakit penyertanya, cara penularan dan
pengobatan dan perubahan perilaku berisiko yang disertakan dalam assesmen awal pasien
rawat inap
5. Melakukan konseling pasca pajanan kepada petugas, pasien dan keluarga dan koordinasi
dengan tim PPI untuk penatalaksanaan lanjutan kejadian pasca pajanan.

22
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Upaya menurunkan risiko penularan di tempat kerja dapat dilakukan dengan cara
:
1. Memahami dan selalu menerapkan kewaspadaan universal setiap saat kepada
semua pasien, disemua tempat pelayanan atau ruang perawatan tanpa memandang
status infeksi pasiennya
2. Menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lain yang tidak perlu,
seperti misalnya episiotomi dan tindakan operatif lain yang tidak jelas indikasinya
3. Mengupayakan ketersediaan sarana agar dapat selalu menerapkan pengendalian
infeksi secara standar meskipun dalam keterbatasan sumber daya
4. Mematuhi kebijakan, pedoman, panduan dan Standar Operasional Prosedur, yang
sesuai tentang penggunaan bahan dan alat, baik alat medis maupun penggunaan
alat pelindung diri (APD) secara baik dan benar
5. Menilai dan menekan risiko melalui pengawasan yang teratur di sarana pelayanan
kesehatan

Upaya untuk mendukung dan meningkatkan lingkungan kerja yang aman, dilakukan
melalui :
1. Pendidikan petugas kesehatan tentang risiko kerja, cara pencegahan infeksi HIV
dan tata cara pelaporan pajanan berkoordinasi dengan tim dan instalasi terkait
2. Penyediaan alat pelindung diri
3. Penanganan limbah medis dan non medis
4. Menerapkan upaya kewaspadaan universal
5. Memberikan konseling pasca pajanan, pengobatan tindak lanjut dan perawatan
6. Menyediakan sarana dan prasarana kesehatan dan keselamatan kerja

Kewaspadaan universal umum yang dilakukan, telah disosialisasikan juga oleh tim
PPI diantaranya adalah:
1. Hand hygiene, penerapan langkah-langkah cuci tangan baik metode handscrub
maupun handrub (5 momen 6 langkah cuci tangan standar) dengan sosialisasi dan
evaluasi pelaksanaan di tempat kerja oleh tim PPI

23
2. Penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan seperti misalnya:
sarung tangan, gaun pelindung, celemek, masker, kacamata pelindung untuk
setiap kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh lainnya
3. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi,
desinfeksi dan sterilisasi dengan benar
4. Pengelolaan limbah yang tercemar dengan darah atau cairan tubuh dengan aman
5. Pengelolaan linen yang tercemar dengan benar
6. Membuat prosedur–prosedur yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan dan
kecelakaan kerja di poliklinik atau tempat kerja.

Selain itu juga diperlukan penanganan jika terjadi kejadian yang dapat menyebabkan
penularan HIV seperti tertusuk jarum ataupun terpapar cairan tubuh pasien.
1. Tatalaksana Pasca Pajanan HIV
Petugas terpajan dengan risiko penularan dirujuk kepada dokter untuk mendapat
informasi tentang penilaian risiko, risiko penularan, aspek spesifik Profilaksis Pasca
Pajanan (PPP) dan pemberiannya, efek samping dan evaluasi medis. Keputusan
tentang apakah Profilaksis Pasca Pajanan perlu atau tidak diambil harus berdasarkan
rekomendasi yang telah ditunjukan pada tabel 8 dan tabel 9, informasi yang tepat dan
konseling tentang kepatuhan dan efek samping obat antiretroviral.
Risiko tertular infeksi HIV setelah pajanan melalui kulit (misalnya : perkutan) ke
darah diketahui terinfeksi HIV adalah sekitar 0.3%. Angka ini berasal dari studi yang
dilakukan di negara-negara dengan latar belakang prevalensi HIV rendah. Risiko ini
dapat lebih besar di negara-negara dengan prevalensi lebih tinggi atau dalam situasi
yang memiliki sumber daya terbatas, dimana penggunaan kembali obat-obatan dan
peralatan tinggi dan standar keamanan secara keseluruhan rendah.
a. Langkah dasar tatalaksana klinis PPP HIV
1) Menetapkan memenuhi syarat untuk:
a) Waktu terpajan
b) Status HIV petugas terpajan
c) Jenis dan risiko pajanan
d) Status HIV sumber pajanan
2) Memberikan informasi singkat mengenai HIV untuk mendapatkan
persetujuan (informed consent)
3) Memastikan bahwa korban tidak menderita infeksi HIV dengan melakukan
tes HIV terlebih dahulu

24
4) Pemberian obat-obat untuk PPP HIV
5) Melaksanakan evaluasi laboratorium
6) Menjamin pencatatan
7) Memberikan follow up dan dukungan

Penjelasan:
1. Waktu memulai PPP HIV
PPP harus diberikan secepat mungkin setelah pajanan, dalam 4 jam pertama dan
tidak boleh lebih dari 72 jam setelah terpajan.
2. Infeksi HIV yang sebelumnya sudah ada
Kita harus selalu menyelidiki kemungkinan orang yang terpajan sudah mendapat
infeksi HIV sebagai bagian dari proses penilaian memenuhi syarat untuk PPP dan
jika orang tersebut telah mendapat infeksi HIV sebelumnya, maka PPP tidak boleh
diberikan dan tindakan pengobatan dan semua paket perawatan seperti skrining
TB, infeksi menular seksual/ IMS, penentuan stadium klinis sesuai dengan
pedoman ARV mutlak perlu dilakukan.
3. Penilaian pajanan HIV
Orang yang terpajan pada membran mukosa (melalui pajanan seksual atau
percikan ke mata, hidung atau rongga mulut) atau kulit yang tidak utuh (melalui
tusukan perkutaneus atau abrasi kulit) terhadap cairan tubuh yang potensial
infeksius dari sumber terinfeksi HIV atau yang tidak diketahui statusnya harus
diberikan PPP HIV. PPP HIV harus dihentikan jika selanjutnya orang yang
terpajan diketahui HIV positif
4. Penilaian status HIV dari sumber pajanan
Mengetahui status HIV dari sumber pajanan sangat membantu. Jika sumber
pajanan HIV negatif, PPP tidak diberikan

25
Tabel 3 : Evaluasi Risiko Infeksi HIV
Jenis Pajanan Status Sumber HIV
Positif Tidak diketahui Negatif
Perkutan : Merekomendasikan Pertimbangkan Tidak merekomendasikan
lebih paraha dua obat rejimenb prevalensi HIV Profilaksis Pasca Pajanan,
dlm populasi asalakan tidak ada risiko
atau sumber pajanan kemungkinan
subkelompok dalam periode jendela
Perkutan: Merekomendasikan Jangan Tidak merekomendasikan
kurang parahc dua obat rejimenb merekomendasi Profilaksis Pasca Pajanan
kan Profilaksis
Pasca Pajanan
Percikand: Merekomendasikan Pertimbangkan Tidak merekomendasikan
lebih parahe dua obat rejimenb prevalensi HIV Profilaksis Pasca Pajanan,
dlm populasi asalkan tidak ada risiko
atau sumber pajanan kemungkinan
subkelompok dalam periode jendela
Percikan: Tidak Tidak Tidak merekomendasikan
kurang parahf merekomendasikan merekomendasik Profilaksis Pasca Pajanan
PPP Rejimen 2 obat an Profilaksis
opsional Pasca Pajanan
Keterangan:
a. Cidera karena jarum berongga lubang besar, tusukan yang dalam, darah yang terlihat
pada alat, jarum yang digunakan dalam arteri atau vena.
b. Dalam kasus dimana sumber pajanan diketahui HIV positif dengan resistensi obat atau
dalam kondisi dimana prevalensi HIV tresisitensi terhadap obat adalah diatas 15%,
rejimen tiga jenis obat dengan penambahan protease inhibitor dianjurkan.
c. Cidera karena jarum lubang kecil atau jarum solid, cidera superficial
d. Pajanan selaput lendir alat kelamin, atau pajanan kulit nonintak
e. Pajanan darah atau air mani volume besar
f. Pajanan volume yang kecil, atau cairan tidak menular (misalnya: cairan serebrospinal)
Apabila petugas terpajan memenuhi kriteria yang harus dilakukan Profilaksis Pasca
Pajanan, petugas dirujuk ke klinik VCT untuk tindaklanjutnya.

26
5. Informasi singkat untuk PPP HIV
Petugas yang terpajan harus mendapat informasi singkat tentang aspek spesifik
PPP, idealnya pada saat mereka melaporkan kejadian pajanan. Informasi tersebut
meliputi kepatuhan pengobatan kemungkinan efek samping dan risiko penularan.
Orang yang telah menerima informasi (syarat, risiko serta manfaat) yang tepat
tentang HIV dan PPP dapat memberikan persetujuan secara verbal. Jika menolak
harus menandatangani formulir penolakan.
6. Pemberian Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) HIV
Tabel 3: Profilaksis Pasca Pajanan HIV
Profilaksis Pasca Pajanan Profilaksis Pasca Pajanan tidak
direkomendasikan direkomendasikan
Profilaksis Pasca Pajanan dianjurkan jika Profilaksis Pasca Pajanan tidak
pajanan memenuhi semua criteria dianjurkan jika ada salah satu kondisi
berikut: berikut:
1. Paparan masih dalam waktu 72 jam 1. Pajanan labih dari 72 jam
2. Petugas yang terpajan tidak diketahui 2. Petugas yang terpajan sudah HIV
terinfeksi HIV posistif
3. Sumber pajan terinfeksi HIV atau 3. Pajanan cairan tubuh dari sumber
tidak diketahui pajanan yang diketahui HIV negatif
4. Terjadi pajanan satu atau lebih dari (kecuali sumber pajanan ini
hal berikut: diidentifikasi berisiko tinggi baru
a. Darah terinfeksi dan dalam “periode
b. Jaringan tubuh jendela”)
c. Tampak cairan bernoda darah 4. Pajanan tubuh noninfeksi cairan
d. Virus terkonsentrasi (misalnya: feses, air liur, urine atau
e. Cairan cerebrospinalis keringat)
f. Cairan sinovial 5. Pajanan tidak menimbulkan risiko
g. Cairan pleura transmisi, karena:
h. Cairan peritoneal a. Hanya kulit utuh terkena cairan
i. Cairan perkardial tubuh yang berpotensi menular
j. Cairan ketuban b. Petugas yang terpajan sudah
5. Pajanan melalui satu atau lebih hal HIV positif
berikut:

27
a. Penetrasi kulit dengan
perdarahan spontan atau tusukan
yang dalam
b. Percikan sejumlah besar cairan
melalui selaput lendir
c. Kontak berkepanjangan dari zat
berisiko dengan kulit nonintak
6. Jika penetrasi kulit terjadi, pajanan
adalah dari jarum lubang berongga
yang baru digunakan atau benda
tajam lainnya tanpak terkontaminasi
dengan darah.

7. Lama pemberian obat untuk PPP HIV


Lama pemberian obat ARV untuk PPP adalah 28 hari.
8. Strategi pemberian obat
Dosis awal /pertama PPP harus selalu ditawarkan secepat mungkin setelah
terpajan jika perlu tanpa menunggu konseling dan tes HIV atau hasil tes dari
sumber pajanan. Selanjutnya setelah dosis awal diberikan harus dipastikan akses
terhadap keseluruhan suplai obat selama 28 hari dipermudah.
9. Paket awal PPP HIV
Paket awal disediakan di IGD paket ini biasanya berisi obat yang cukup untuk
beberapa hari pertama pemberian obat untuk PPP (1-7 hari) dan diresepkan atas
kondisi bahwa orang tersebut akan kembali ke klinik yang ditunjuk dalam waktu
1-3 hari untuk menjalani penilaian risiko, konseling dan tes HIV serta untuk
memperoleh sisa obat.
10. Penambahan Dosis
Banyak program PPP HIV memilih untuk memberikan obat selama 2 minggu pada
setiap kunjungan atau seperti paket awal HIV, pada strategi penambahan dosis ini
juga mengharuskan orang datang kembali untuk pemantauan kepatuhan, cek
samping obat dan memberikan kesempatan untuk tambahan konseling dan
dukungan.
11. Dosis penuh 28 hari
Pada beberapa keadaan pemberian dosis penuh 28 hari obat PPP HIV akan
meningkatkan kemungkinan dilengkapinya lama pengobatan, misalnya tempat

28
tinggal jauh dari fasilitas kesehatan. Kerugian utama dari strategi ini adalah
mengurangi motivasi untuk kunjungan ulang.
12. Keahlian (kompetensi)
Obat PPI HIV awal dapat diberikan oleh dokter atau petugas kesehatan yang
ditunjuk / bertugas dan pemberian obat selanjutnya dilakukan di klinik.
13. Pemberian obat lainnya
Paket PPP HIV sebaiknya juga mencakup obat yang berpotensi dapat meringankan
efek samping tersering dari obat ARV, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan.
Misalnya obat mengurangi mual, sakit kepala (jika menggunakan zidovudine)
14. Evaluasi Laboratorium
14.1 Tes HIV
Tes antibodi untuk orang terpajan harus dilakukan, karena PPP HIV tidak
diberikan pada orang yang sudah terinfeksi. Orang terinfeksi harus mendapat
pengobatan bukan pencegahan. Namun tes HIV tidak wajib dilakukan dan
pemberian PPP HIV tidak wajib diberikan jika orang terpajan tidak mau
diberikan obat profilaksis.
Pemeriksaan tes HIV dengan tes cepat (rapid test) yang memberikan hasil
dalam waktu 1 jam merupakan pilihan utama baik orang terpajan maupun
sumber pajanan
14.2 Pemeriksaan laboratorium lain
Pemeriksaan laboratorium lain harus ditawarkan sesuai dengan pedoman
nasional dan kapasitas layanan. Pemeriksaan Hb perlu dilakukan terutama
jika memberikan zidovudine dalam PPP HIV.
15. Panduan Obat ARV untuk PPP HIV

Tabel 4 : Panduan obat ARV untuk PPP HIV


Orang yang terpajan Panduan ARV
Remaja dan dewasa Pilihan TDF + 3TC (FTC) + LPV / r
Alternative TDF + 3TC (FTC) + EFV
AZT + 3TC + LPV / r

16. Dosis Obat ARV untuk PPP HIV bagi remaja dan dewasa
Tabel 5 : Dosis obat ARV untuk PPP HIV bagi orang remaja dan dewasa

29
Nama obat ARV Dosis
Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari
Lamivudin (3TC) 150 mg dua kali sehari atau 300 mg
sekali sehari
Emtricitabin (FTC) 200 mg sekali sehari
Zidavudin (AZT) 300 mg dua kali sehari
Lopinavir/ ritonavir (LPV)r 200mg / 50 mg dua kali sehari

17. Efek samping Obat


Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah mual dan lelah. Harus
dimengerti bahwa efek samping ini bukan merupakan gejala serokonversi HIV.
Penanganan efek samping dapat diberikan obat anti mual, bisa juga menganjurkan
minum obat bersama makanan.
18. Tindak Lanjut Dari Pajanan HIV
Seorang petugas kesehatan yang terpajan harus mencari atau dirujuk untuk tindak
lanjut secara medis.
Tujuan dari tindak lanjut tersebut adalah:
• Dukungan kepatuhan terhadap Profilaksis Pasca Pajanan
• Mencegah atau mengobati efek samping Profilaksis Pasca Pajanan
• Mengidentifikasi kemungkinan serokonversi
➢ Tes antibodi HIV pada awal, 6 minggu dan 6 bulan setelah pajanan
➢ Uji antibodi HIV jika penyakit sesuai dengan terjadinya sindrom retroviral
akut
➢ Ulangi tes untuk antibodi HIV pada 6 minggu dan 6 bulan setelah pajanan,
jika serokonversi terjadi, rujuk petugas terpajan untuk pengobatan,
perawatan dan dukungan
➢ Berikan saran kepada siapa saja yang terkena untuk menggunakan
tindakan pencegahan sehingga mencegah penularan sekunder selama masa
tindak lanjut, tindakan pecegahan tersebut meliputi:
✓ Menghindari kehamilan
✓ Mencari alternatif yang aman untuk menyusui
✓ Menghindari donor darah, jaringan atau sperma, dan menggunakan
kondom untuk melakukan hubungan seksual sampai tes pada 6 bulan
menunjukkan bahwa petugas yang terpajan tetap seronegatif

30
Evaluasi petugas yang menggunakan Profilaksis Pasca Pajanan dalam waktu 72
jam, untuk memantau efek samping obat yang mungkin dan kepatuhan
pengobatan. Ikuti perkembangannya sampai dua minggu.
19. Pencatatan
Setiap layanan PPP harus didokumentasikan dengan menggunakan pencatatan
standar. Di tingkat layanan antara lain mencatat kapan dan bagaimana terjadinya
pajanan, mengidentifikasikan keselamatan dan kemungkinan tindakan
pencegahan dan sangat penting umtuk menjaga kerahasiaan data klien.
20. Follow up dan dukungan
20.1 Follow - up klinis
Orang terpajan dan mendapatkan PPP harus dilakukan follow up dan
pemantauan klinis, dengan maksud untuk memantau kepatuhan dan efek
samping obat.
20.2 Follow- up tes HIV
Tes HIV (jika ada yang sangat penting) berikutnya bagi orang terpajan
dilakukan 4-6 minggu setelah pajanan, tetapi pada umunya belum cukup
waktu untuk mendiagnosis sero konversi, sehingga dianjurkan untuk
melakukan tes HIV 3-6 bulan setelah pajanan.
20.3 Follow- up konseling
Selain informasi singkat yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dukungan
psikososial yang tepat dan atau bantuan pengobatan selanjutnya harus
ditawarkan ke orang terpajan yang menerima PPP.

31
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Salah satu prinsip yang menggaris bawahi implementasi pelayanan HIV AIDS adalah
layanan berkualitas, guna memastikan klien mendapatkan layanan yang tepat. Tujuan
pengukuran dari jaminan kualitas adalah menilai kinerja petugas, dan menilai ketepatan
protocol konseling dan testing yang kesemuanya bertujuan tersedianya layanan yang
terjamin kualitas dan mutu
1. Kelengkapan dokumen rujukan
a. Form Persetujuan Rujukan
b. Form KIE
c. Form Persetujuan Pemeriksaan HIV

2. Testing HIV
Supervisi laboratorium
Untuk melakukan supervisi atas proses pemeriksaan laboratorium, harus dilakukan
oleh teknisi laboratorium senior yang mahir dan telah dilatih penanganan pemeriksaan
laboratorium HIV:
1) Pengamatan akan proses kerja sampel, sesuaikan dengan SPO yang telah
ditetapkan.
2) Periksa dan dukung proses dan kualitas pemeriksaan sampel.
3) Periksa pencatatan dan pelaporan hasil testing HIV
4) Periksa cara penyimpanan semua peralatan dan reagen
5) Pastikan jaminan kualitas pada pusat jaminan kualitas.
6) Lakukan penilaian akan peralatan kerja dalam menjalankan fungsi pemeriksaan
cukup baik, perlu perbaikan atau rusak dan perlu penggantian.
7) Gunakan ceklis pemeriksaan
8) Nilailah kemampuan para personil dan sampaikan rekomendasi pada para manajer
9) Pastikan adanya rujukan pasca pajanan.

32
BAB IX
PENUTUP

Pelayanan HIV AIDS merupakan pelayanan baru di Rumah Sakit Santo Vincentius
sehingga masih memerlukan dukungan dari semua pihak. Tim HIV-AIDS sudah
terbentuk, namun dalam melaksanakan kegiatannya masih mengalami banyak kendala
dikarenakan saat terbentuk Tim HIV-AIDS belum ada anggota tim yang telah
mendapatkan pelatihan penanganan kasus HIV-AIDS. Sosialisasi kegiatan Tim HIV-
AIDS masih perlu digalakkan baik internal maupun eksternal rumah sakit. Tim HIV-
AIDS Rumah Sakit Santo Vincentius belum memberikan pelayanan terapi HIV-AIDS
menggunakan ARV dikarenakan Rumah Sakit Santo Vincentius bukan rumah sakit yang
ditunjuk Kementerian Kesehatan RI untuk memberikan pelayanan ARV. Pasien yang
membutuhkan terapi ARV akan dirujuk ke rumah sakit yang bekerja sama dengan Rumah
Sakit Santo Vincentius.

33
Lampiran 1
1. Persetujuan
2. Penolakan
3. Surat pengantar pemeriksaan darah
4. Fomulir PTIC dan KTS

Lampiran 2

RUMAH SAKIT SANTO VINCENTIUS


Jln. P. Diponegoro N0.05 Singkawang 79123
Telp.(0562) 631008/; Fax, (0562)
e-mail:rs_vincentius@yahoo.com

FORMULIR PENOLAKAN TES HIV

Saya yang bertanda tangan di bawah ini telah diberi penjelasan dan kegunaan
dari pemeriksaan HIV serta prosedurnya, namun saya tidak bersedia atau belum
siap untuk melakukan pemeriksaan HIV.

Demikian surat pernyataan ini kami buatkan untuk dipergunakan seperlunya.

Tanggal : _______________________
Yang memberi pernyataan Petugas/ Konselor

(Nama Klien) (Nama petugas)

34
35

Anda mungkin juga menyukai