Anda di halaman 1dari 3

Nama: Miftakhul Zannah

NIM: H0420049
Kelas: PKP A
REVIEW ARTIKEL
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA
PEMBERDAYAAN RUMAH TANGGA PETANI KECIL
Menurut BPS (2013), rumah tangga petani kecil adalah rumah tangga yang
menguasai luas lahan usahatani seluas kurang dari 0,5 ha. Optimalisasi segala potensi
yang ada pada masyarakat tani serta dukungan yang nyata dari pemerintah dan pihak-
pihak yang peduli melalui penyuluhan pembangunan sangat diharapkan, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga tani. Menurut data Sensus
Pertanian tahun 2013, para petani kecil terutama berada di Pulau Jawa yaitu sebesar
71,44 % KK petani kecil di Indonesia, dan petani kecil di Propinsi Jawa Tengah sebesar
23,25 % KK petani kecil di Indonesia, sedangkan petani kecil di luar Jawa sebesar 28,56%
KK petani kecil di Indonesia. Para petani padi dan palawija banyak terkonsentrasi di
Pulau Jawa yaitu sebesar 61,78%, di antaranya di Jawa Tengah sebesar 20,15 % KK
petani padi dan palawija di Indonesia. Usahatani ini ditujukan untuk memperoleh bahan
pangan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga sendiri. Semangat para petani kecil
harus ditumbuhkan bahwa mereka bisa berubah dengan bekerja secara cerdas
menggunakan tenaga kerja mereka untuk memperoleh peningkatan pendapatan dan
menjadikan berkehidupan secara layak. Menurut hasil sensus Pertanian 2013 jumlah
rumah tangga petani di Indonesia 26.135.469 kepala keluarga. Sebesar 14.242.864 rumah
tangga atau 54,50 % adalah rumah tangga petani kecil, artinya bahwa banyak petani kita
adalah petani kecil, atau bahkan di antara mereka tidak memiliki lahan usahatani. Jumlah
rumah tangga petani kecil di Indonesia mengalami penurunan dari 19.015,051 kepala
keluarga pada tahun 2003 menjadi 14.242.864 kepala keluarga pada tahun 2013, atau
mengalami penurunan rata-rata 2,96% pertahun. Jumlah rumah tangga tani kecil di Jawa
Tengah per tahunnya rata-rata mengalami penuruan (3,28%) relatif lebih tinggi dari
penurunan petani kecil di Pulau Jawa lainnya. Penurunan jumlah petani kecil tersebut
dapat disebabkan karena berhasilnya sebagaian petani memperoleh tambahan luasan
lahan yang dikuasainya. Kemungkinan berikutnya adanya perpindahan usaha atas
terbukanya peluang usaha dan berusaha pada sektor non pertanian, namun jumlah buruh
tani pada kurun waktu tersebut rata-rata bertambah untuk Indonesia, baik di Pulau Jawa
dan luar Pulau Jawa. Idealnya ada solusi dari pemerintah kiranya para buruh tani bisa
merndapatkan lahan pertanian melalui seperti program transmgrasi. Langkah lainnya
dapat didekati dengan penyuluhan pembangunan seperti program pelatihan untuk para
buruh tani agar dapat bekerja secara layak.
Untuk menghindari penguasaan tanah berlebihan oleh sebagian anggota masyarakat
maka lahirlah Undang-Undang No. 56 Prp. Th. 1960 pasal 2 menyatakan luas maksimum
tanah yang boleh dimiliki oleh suatu keluarga yang beranggotakan lebih 7 orang
maksimum 20 ha, pasal 8 menyatakan Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya
setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 ha. Framentasi lahan bagi
para petani kecil sedapat mungkin dihindari untuk memberdayakan para petani agar
berusahatani dengan skala usaha yang memadai, dengan luasan lahan yang optimal.
Pemberdayaan petani melalui penyusunan rencana perubahan perilaku, penyusunan
program untuk mencapai rencana pendapatan yang dapat diperoleh baik jangka pendek,
menengah, maupun jangka panjang. Pemberdayaan petani dapat dirinci atas jenis
usahanya baik on farm, off farm dan non farm. Pemberdayaan secara on farm umumnya
jika lahan petani subur dengan pengairan yang baik petani mengguanakan usahatani padi
sawah, jika lahannya merupakan lahan kering para petani menggunakan lahannya untuk
budidaya padi dan palawia, monokultur ataupun tumpang sari. Sebaiknya para petani juga
memelihara ternak, selain sebagai kombinasi usaha untuk mewujudkan usahatani yang
bekelanjutan dan yerow waste. Usaha dari ternak juga memberikan banyak peningkatan
pendapatan bagi petani, mulai dari bersifat tabungan, menghasilkan pupuk, dan mudah
dipasarkan. Pemberdayaan secara off farm contohnya peternak bebek tidak langsung
menjual telur bebeknya dalam bentuk segar, tapi mengasinkan terlebih dahulu dan
menjualnya dalam bentuk telur asin. Demikian pula sebagian petani ubi kayu dan petani
pisang, mereka dapat membuat kerupuk ubi atau ceriping pisang. Pemberdayaan non farm
Kepada para petani kecil berlahan sempit kiranya dapat diberikan pelatihan-pelatihan
untuk dapatnya mengkreate pekerjaan seperti adanya pelatihan-pelatihan pada off farm
yang diperlukan para petani, pemberian jasa layanan informasi jejaring pekerjaan
termasuk tersedianya lapangan pekerjaan formal bagi sebagian anak muda yang
berpendidikan.
Para generasi muda enggan menjadi petani bukan karena tidak suka kehujanan dan
kepanasan di usaha pertaniannya, tetapi mereka prihatin melihat petani generasi
sebelumnya sebagai petani kecil yang pada umumnya miskin, pendapatannya rendah
karena skala usahanaya kecil. Dalam hal ini anak-anak para petani sesuai semakin
terbukanya jaringan komunikasi mereka juga bisa melihat peluang-peluang usaha di
sektor-sektor luar pertanian. Generasi muda petani pada umumnya melek teknologi
komunikasi internet, bagi mereka yang menjadi petani memposisikan dirinya dalam
negosiasi identitas tidak dalam posisi dikotomi penguasaan lahan, sebagai petani kecil
atau petani besar, tetapi dalam aktivitas utama yang ditekuni terutama pada off farm
misalnya sebagai suplayer biji mete dari Wonogiri, atau suplayer benih jagung dari
Klaten, suplayer buah salak dari Sleman. Seorang anak petani tidak harus menjadi petani,
tetapi idealnya bebas memilih terjun di apa saja yang bisa dilakukan sesuai persyaratan
yang bisa dipenuhi. Walaupun demikian untuk penyiapan generasi petani ke depan sesuai
kemajuan zamannya, kiranya direncanakan petani memiliki lahan yang layak, sesuai jiwa
UUPA tahun 1960 atau sesuai teori akumulasi lahan yang telah dilaksanakan di di negara-
negara maju seperti Jepang, Korea, dan Taiwan.

Anda mungkin juga menyukai