Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

BATU URETER

DISUSUN OLEH :

1. RESTITUTA WAHYU ARTA S (20.060)


2. RIZKI ADI PERMANA (20.066)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


POLITEKNIK INSAN HUSADA SURAKARTA
TAHUN 2023
LAPORAN PENDAHULUAN
BATU URETER

A. PENGERTIAN
Batu ureter adalah proses terbentuknya kristal-kristal batu pada saluran
perkemihan (Mulyanti, 2019). Menurut Harmilah (2020), batu ureter merupakan suatu
keadaan terdapatnya batu (kalkuli) di saluran kemih. Kondisi adanya batu pada
saluran kemih memberikan gangguan pada sistem perkemihan dan memberikan
berbagai masalah keperawatan pada pasien.
Batu ureter merupakan suatu keadaan terjadinya terjadinya penumpukan
oksalat, kalkuli (batu ginjal) pada ureter, kandung kemih, atau pada daerah ginjal.
Batu ureter merupakan obstruksi benda padat pada saluran kemih yang terbentuk
karena faktor presipitasi endapan dan senyawa tertentu (Silalahi, 2020)
Ureterolitiasis merupakan suatu kondisi adanya batu (kalkuli) di ureter. Batu
ureter dapat menyebabkan masalah pada sistem kemih dan masalah keperawatan
lainnya (Muttaqin, Arif & Sari, 2014).
B. ETIOLOGI
Terdapat beberapa faktor yang mendorong pembentukan batu ureter yaitu:
1. Peningkatan kadar kristaloid pembentuk batu dalam urine
2. ph urine abnormal rendah atau tinggi
3. Berkurangnya zat-zat pelindung dalam urin
4. Sumbatan saluran kencing dengan stasis urine (Zamzani, 2018).
C. PATOFISIOLOGI
Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya aliran urine dan
menyebabkan obstruksi, salah satunya adalah statis urine dan menurunnya volume
urine akibat dehidrasi serta ketidakadekuatan intake cairan, hal ini dapat
meningkatkan resiko terjadinya urolithiasis. Rendahnya aliran urine adalah gejala
abnormal yang umum terjadi (Colella, J, Kochis E, Galli B, 2005), selain itu, berbagai
kondisi pemicu terjadinya urolithiasis seperti komposisi batu yang beragam menjadi
faktor utama bekal identifikasi penyebab urolithiasis. Pada umumnya urolithiasis
terjadi akibat berbagai sebab yang disebut faktor resiko.
Terapi dan perubahan gaya hidup merupakan intervensi yang dapat mengubah
faktor resiko, namun ada juga faktor resiko yang tidak dapat diubah seperti, jenis
kelamin, pasien dengan urolithiasis umumnya terjadi pada laki-laki 8 70-81%
dibandingkan dengan perempuan 47-60%, salah satu penyebabnya adalah adanya
peningkatan kadar hormon testosteron dan penurunan kadar hormon estrogen pada
laki-laki dalam pembentukan batu (Vijaya, et al., 2013).
Kebiasaan diet dan obesitas intake makanan yang tinggi sodium, oksalat yang
dapat ditemukan pada teh, kopi instan, minuman soft drink, kokoa, arbei, jeruk sitrun,
dan sayuran berwarna hijau terutama bayam dapat menjadi penyebab terjadinya batu
(Suddarth, 2015).
D. PATHWAY

Sumber : Price, 2013.


E. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri/kolik Nyeri hebat atau kolik pada sekitar pinggang merupakan penanda
penting dan paling sering ditemukan. Nyeri biasanya muncul jika pasien
kekurangan cairan tubuh entah itu karena faktor masukan cairan yang kurang
atau pengeluaran yang berlebihan. Nyeri yang dirasakan rata-rata mencapai
skala 9 atau 10 diikuti keluhan mual, wajah pucat, dan keringat dingin.
Kondisi terjadi akibat batu mengiritasi saluran kemih atau obstruksi batu yang
menimbulkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi pelvis ginjal serta
ureter proksimal yang menyebabkan kolik.
2. Gangguan pola berkemih Pasien merasa ingin berkemih, namun hanya sedikit
urine yang keluar, dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu
(Harmilah, 2020). Disuria, hematuria, dan pancaran urine yang menurun
merupakan gejala yang sering mengikuti nyeri. Terkadang urine yang keluar
tampak keruh dan berbau.
3. Demam Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat
aliran kemih, bakteri akan terperangkap didalam air kemih yang terkumpul
diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi (Harmilah, 2020). Sumbatan
adalah batu yang menutup aliran urine akan menimbulkan gejala infeksi
saluran kemih yang ditandai dengan demam dan menggigil.
4. Gejala gastrointestinal Respon dari rasa nyeri biasanya didapatkan keluhan
gastrointestinal, meliputi keluhan anoreksia, mual, dan muntah yang
memberikan manifestasi penurunan asupan nutrisi umum. Gejala
gastrointestinal ini akibat refleks retrointestinal dan proksimitas anatomis
ureter ke lambung, pankreas, dan usus besar (Harmilah, 2020).
F. KOMPLIKASI
1. Obstruksi aliran urine yang menimbulkan penimbunan urine pada ureter
(Mulyanti, 2019) dan refluks kebagian ginjal sehingga menyebabkan gagal
ginjal (Harmilah, 2020).
2. Penurunan sampai kerusakan fungsi ginjal akibat sumbatan yang lama
sebelum pengobatan dan pengangkatan batu ginjal (Harmilah, 2020).
Gangguan fungsi ginjal yang ditandai kenaikan kadar ureum dan kreatinin
darah, gangguan tersebut bervariasi dari stadium ringan sampai timbulnya
sindroma uremia dan gagal ginjal, bila keadaan sudah stadium lanjut bahkan
bisa mengakibatkan kematian (Haryadi, 2020).
3. Infeksi akibat diseminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi
(Harmilah, 2020).
4. Bakteriuria asimptomatik, ISK, serta sepsis (Ruckle, Maulana, & Ghinowara,
2020).
G. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif Terdapat beberapa data yang berkaitan dengan pengeluaran batu
secara spontan bergantung pada ukuran batu, diperkirakan 95% batu dapat
keluar spontan dalam waktu 40 hari dengan ukuran batu hingga 4 mm.
Observasi juga dapat dilakukan pada pasien yang tidak memiliki komplikasi
(infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi ginjal, kelainan anatomi saluran
ureter).
2. Terapi Farmakologi Terapi ekspulsi medikamentosa (medical expulsive
therapy/MET), perlu diinformasikan kepada pasien jika pengangkatan batu
tidak diindikasikan. Bila direncanakan pemberian terapi MET, selain ukuran
batu ureter, perlu dipertimbangkan beberapa faktor lainnya dalam
pertimbangan pemilihan terapi. Apabila timbul komplikasi seperti infeksi,
nyeri refrakter, penurunan fungsi ginjal, dan kelainan anatomi di ureter maka
terapi perlu ditunda. Penggunaan α-blocker sebagai terapi ekspulsi dapat
menyebabkan efek samping seperti ejakulasi retrograd dan hipotensi. Pasien
yang diberikan α-blocker, penghambat kanal kalsium (nifedipin), dan
penghambat PDE-5 (tadalafil) memiliki peluang lebih besar untuk keluarnya
batu dengan episode kolik yang rendah dibandingkan tidak diberikan terapi.
Terapi kombinasi penghambat PDE-5 atau kortikosteroid dengan α-blocker
tidak direkomendasikan. Obat α-blocker menunjukkan secara keseluruhan
lebih superior dibandingkan nifedipin untuk batu ureter distal. Terapi ekspulsi
medikamentosa memiliki efikasi untuk tata laksana pasien dengan batu ureter,
khususnya batu ureter distal ≥ 5 mm. Beberapa studi menunjukkan durasi
pemberian terapi obat-obatan selama 4 minggu, namun belum ada data yang
mendukung untuk interval lama pemberiannya.
3. Indikasi Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif Indikasi untuk pengeluaran
batu ureter secara aktif antara lain:
- Kemungkinan kecil batu keluar secara spontan;
- Nyeri menetap walaupun sudah diberikan analgesik adekuat;
- Obstruksi persisten;
- Insufisiensi ginjal (gagal ginjal, obstruksi bilateral, atau solitary kidney); atau
- Kelainan anatomi ureter 15.
4. Pilihan Prosedur untuk Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif Secara
keseluruhan dalam mencapai hasil kondisi bebas batu (stone-free rate) pada
batu ureter, perbandingan antara URS dan SWL memiliki efikasi yang sama.
Namun, pada batu berukuran besar, efikasi lebih baik dicapai dengan
menggunakan URS. Meskipun penggunaan URS lebih efektif untuk batu
ureter, namun memiliki risiko komplikasi lebih besar dibandingkan SWL.
Namun, era endourologi saat ini, rasio komplikasi dan morbiditas secara
signifikan menurun. URS juga merupakan pilihan aman pada pasien obesitas
(IMT >30 kg/m2) dengan angka bebas batu dan rasio komplikasi yang
sebanding. Namun, pada pasien sangat obesitas (IMT >35 kg/m2) memiliki
peningkatan rasio komplikasi 2 kali lipat. Namun, URS memiliki tingkat
pengulangan terapi yang lebih rendah dibandingkan SWL, namun
membutuhkan prosedur tambahan (misal penggunaan DJ stent), tingkat
komplikasi yang lebih tinggi, dan masa rawat yang lebih panjang. Obesitas
juga dapat menyebabkan rendahnya tingkat keberhasilan SWL (Noegroho et
al., 2018).
H. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
a) Pengkajian
Di dalam pengkajian ini berisikan :
- Identitas pasien
- Identitas penanggung jawab
- Keluhan utama
- Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit
keluarga.
- Pengkajian pola fungsi kesehatan (11 Pola Gordon)
- Pemeriksaan head to toe
b) Diagnosa Keperawatan
- Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (D.0077)
- Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri (D.0054)
- Ansietas b.d krisis situasional (D.0080)
- Risiko perdarahan b.d tindakan pembedahan (D.0012)
c) Intervensi / Perencanaan Keperawatan
NO Diagnosa Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (I.08338) :
agen pencedera keperawatan diharapkan 1. Identifikasi lokasi,
fisiologis tingkat nyeri menurun karakteristik, frekuensi, durasi,
(D.0077) dengan KH (L.08066) : kualitas, intensitas nyeri.
- Keluhan nyeri menurun 2. Identifikasi skala nyeri
- Gelisah menurun 3. Berikan teknik
- Kesulitan tidur nonfarmakologis
menurun 4. Ajarkan teknik
- Pola napas membaik nonfarmakologis
- Fungsi berkemih 5. Kolaborasi pemberian
membaik analgetik, jika perlu.
- Pola tidur membaik
2. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Mobilisasi (I.05173)
mobilitas fisik b.d keperawatan diharapkan 1. Identifikasi adanya
nyeri (D.0054) mobilitas fisik meningkat nyeri atau keluhan
dengan KH (L.05042) : fisik lainnya
- Pergerakan ekstermitas 2. Fasilitasi aktivitas
meningkat mobilisasi dengan
- Rentang gerak (ROM) alat bantu (mis.
meningkat Pagar tempat tidur
- Nyeri menurun 3. Fasilitasi
- Kecemasan menurun melakukan
- Kelemahan fisik pergerakan, jika
menurun perlu.
4. Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
5. Anjurkan
melakukan
mobilisasi dini
6. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang
harus dilakukan
(mis. Duduk di
tempat tidur, duduk
disisi tempat tidur,
pindah dari tempat
tidur ke kursi.
3. Ansietas b.d Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas (I.09314)
krisis situasional keperawatan diharapkan 1. Monitor tanda-tanda ansietas
(D.0080) tingkat ansietas menurun (verbal dan non verbal).
dengan KH (L.09093) : 2. Ciptakan suasana terpeutik
- Verbalisasi khawatir untuk menambah kepercayaan.
akibat kondisi yang 3. Gunakan pendekatan yang
dihadapi menurun tenang dan menyakinkan
- Perilaku gelisah 4. Anjurkan keluarga untuk tetap
menurun bersama pasien, jika perlu.
- Keluhan pusing 5. Latih teknik relaksasi.
menurun 6. Koaborasi pemberian obat
- Konsentrasi membaik antiansietas, jika perlu.
- Pola tidur membaik
4. Risiko perdarahan Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Perdarahan (I. 02067)
b.d tindakan keperawatan diharapkan 1. Monitor tanda dan gejalan
pembedahan tingkat perdarahan perdarahan.
(D.0012) menurun dengan KH 2. Monitor nilai hemoglobin.
(L.02017) : 3. Pertahankan bed rest
- Kelembapan kulit selama perdarahan.
meningkat 4. Anjurkan meningkat
- Kognitif meningkat asupan cairan untuk
- Perdarahan pasca menghindarikontipasi.
operasi menurun 5. Anjurkan segera melapor
jika terjadi perdarahan.
6. Kolaborasi pemberian obat
pengontrol perdarahan.

d) Implementasi / Tindakan Keperawatan


Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan
kepada pasien untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil
yang diharapkan.

e) Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk
menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana
keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana
keperawatan (Marunung, 2013).
I. DAFTAR PUSTAKA
PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Edisi 1, Cetakan III (Revisi).
Jakarta : DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai