Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Hukum Islam Kontemporer
Dosen Pembimbing : Sofyan, S.H., M.H

Disusun Oleh :
Firdayanti (10200120092)
Ananda Namira Suardi (10200120107)
Andhini Ramadani
Fikri Sani Almutajalli
Muh. Izwandi

KELAS C
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan hakikat agama Islam yang bertujuan untuk menjadi rahmat bagi seluruh
alam, maka hukum Islamdapat diterapkan dalam semua masa, untuk semua bangsa karena
di dalamnya terdapat cakupan yang begitu luas dan elastisitas untuk segala zaman dan tempat.
Hal ini dikarenakan hukum Islamberdiri atas dua modelyaitu 1) Hukum Islam memberikan
prinsip umum disamping aturan yang mendetail yang berikan oleh sunnah sebagai tafsir dari al-
quran, dengan penetapan hal-hal yang seluas-luasnya dan membuka pintu selebar-lebarnya
buat kemajuan manusia.Hukum-hukum Islamyang bersifat global mengandung prinsip-
prinsip dan kaedah-kaedah kulliyahyang tidak berubah-rubah.
Bidang ini menjadi medan kajian yang luas bagi para mujtahiddan terjadi perbedaan
paham, perubahan, pergantian, dan perbaikan. Bagian yang mempunyai prinsip-prinsip yang
bersifat komprehensif inilah yang menjadi dasar dan pedoman yang tetap untuk
menghadapi perkembangan masa1. 2) Hukum Islam yang mengandung peraturan-peraturan
yang terperinci dalam hal-hal yang tidak terpengaruh oleh perkembangan masa, seperti
dalam masalah mahram(orang-orang yang haram dinikahi), ibadah murni, warisan. Hukum
yang terperinci, jelas, langsung dapat diterapkan pada kejadian atau kasus tertentu. Penulis
akan menfokuskan dalam pembahasan tentang prinsip-prinsipdasar hukum Islam perspektif al-
quran, memperkuat pernyataan Islam dengan al-qurannya menjadi sebuah the way of life untuk
seluruh alam.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat merumuskan pokok masalah yakni, “Bagaimana
Prinsip-Prinsip Pengembangan Pemikiran Hukum Islam?” maka dirumuskan sub masalah,
sebagai berikut:
1. Apa definisi dari prinsip-prinsip pengembangan pemkiran hukum islam?
2. Bagaimana prinsip-prinsip hukum islam?
3. Bagaimana implementasi atau penerapan hukum islam dalam kehidupan umat manusia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa definisi dari prinsip-prinsip pengembangan pemikiran hukum islam.
2. Mengetahui bagaimana prinsip-prinsip hukum islam
3. Mengetahui implementasi atau penerapan hukum islam dalam kehidupan umat manusia.

1
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Pidato Dies Natalis IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta: 1961), h.8
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Prinsip-Prinsip Pengembangan Pemikiran Hukum Islam
1. Prinsip
Sebelum membahas lebih dalam tentang prinsip – prinsip pengembangan pemikiran
hukum islam, peneliti akan menjelaskan arti dari prinsip menurut Kamus Bahasa Indonesia
prinsip adalah asas , kebenaran yang jadi pokok dasar orang berfikir, bertindak dan
sebagainya . Ada beberapa ahli yang mngartikan prinsip sebagai berikut :
a) Russel Swanburg, Prinsip adalah kebenaran yang mendasar, hukum atau doktrin yang
mendasari gagasan.
b) Toto Asmara, Prinsip adalah hal yang secara fundamental menjadi martabat diri atau
dengan kata lain, prinsip adalah bagian paling hakiki dari harga diri.
c) Ahmad Jauhar Tauhid, Prinsip adalah pandangan yang menjadi panduan bagi perilaku
manusia yang telah terbukti dan bertahan sekian lama.
d) Awang, Widayanti, Himmah, Astuti, Septiana, Solehudin Noveanto, Prinsip adalah
suatu aturan dasar yang mendasari pola berpikir atau bertindak.
2. Pengembangan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2002 Pengembangan
adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan
teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannyauntuk meningkatkan fungsi,
manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada atau menghasilkan
teknologi baru. Pengembangan adalah suatu proses yang dipakai untuk mengembangkan
dan memvalidasi produk pendidikan. Penelitian ini mengikuti suatu langkah-langkah
secara siklus. Langkah penelitian atau proses pengembangan ini terdiri atas kajian tentang
temuan penelitian produk yang akan dikembangkan, mengembangkan produk berdasarkan
temuan-temuan tersebut, melakukan uji coba lapangan sesuai dengan latar di mana produk
tersebut akan dipakai, dan melakukan revisi terhadap hasil uji lapangan (Punaji Setyosari,
2013: 222-223)2.
Pada hakikatnya pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun non
formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur, dan bertanggung jawab
dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing, mengembangkan suatu
dasar kepribadian yang seimbang, utuh, selaras, pengetahuan, keterampilan sesuai dengan
bakat, keinginan serta kemampuan kemampuan sebagai bekal atas prakarsa sendiri untuk
menambah, meningkatkan, mengembangkan diri ke arah tercapainya martabat, mutu dan
kemampuan manusiawi yang optimal dan pribadi mandiri (Iskandar Wiryokusumo dalam
Afrilianasari ; 2014)3.
Pengembangan adalah suatu sistem pembelajaran yang bertujuan untuk membantu
proses belajar peserta didik, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang untuk
mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar yang bersifat internal atau segala
upaya untuk menciptakan kondisi degan sengaja agar tujuan pembelajaran dapat tercapai

2
Setyosari Punaji, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan (Jakarta: Kencana Predamedia Group,
2013), h. 222-223
3
Iskandar Wiryokusumo, Teori Pengembangan, (Surabaya: Afrilianasari, 2014)
(Gagne dan Brings dalam Warsita, 2003: 266)4 Dari beberapa pendapat para ahli yang ada
ditarik kesimpulan bahwa pengembangan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara
sadar, terencana dan terarah untuk membuat atau memperbaiki, sehingga menjadi produk
yang semakin bermanfaat untuk meningkatkan dan mendukungserta meningkatkan kualitas
sebagai upaya menciptakan mutu yang lebih baik.
3. Pemikiran
Pemikiran dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, diartikan sebagai cara atau hasil
berfikir. Berasal dari kata dasar “pikir”, yang dalam kamus bahasa Indonesia berarti akal
budi, ingatan, angan-angan. Dengan mendapatkan imbuhan pe-an dalam tata Bahasa
Indonesia menunjukkan suatu atau perbuatan, maka “pemikiran” dapat diartikan cara atau
hasil berfikir terhadap sesuatu, sehingga melahirkan gagasan, ideide, atau konsep yang
tertuang dalam bentuk tulisan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002: 767)5.
Sedangkan menurut Poespoprodjo (1999: 178-179), pemikiran adalah aksi (act) yang
menyebabkan pikiran mendapatkan pengertian baru dengan perantara hal yang sudah
diketahui. Sebenarnya yang beraksi disini bukanlah hanya pikiran atau akal budi,
melainkan sesungguhnya keseluruhan diri manusia (the whole man). Selanjutnya proses
pemikiran adalah suatu pergerakan mental dari satu hal menuju hal lain dari apa yang
sudah diketahui menuju hal yang belum diketahui.
Pemikiran merupakan suatu buah, dimana sumbernya terdapat dalam akal, dalam kalbu,
dalam jiwa, dalam roh, dalam batin. Yang terpenting dari pemikiran adalah hasil guna dan
buahnya. Firman Allah QS. Al-Ra’ad: 19.

ِ ۙ ‫ق َك َم ْن هُ َو اَ ْعمٰ ىۗ اِنَّ َما يَتَ َذ َّك ُر اُولُوا ااْل َ ْلبَا‬


‫ب‬ ُّ ‫۞ اَفَ َم ْن يَّ ْعلَ ُم اَنَّ َمٓا اُ ْن ِز َل اِلَ ْيكَ ِم ْن َّربِّكَ ْال َح‬
Artinya: Apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu (Nabi
Muhammad) dari Tuhanmu adalah kebenaran sama dengan orang yang buta?
Hanya orang yang berakal sehat sajalah yang dapat mengambil pelajaran.
4. Hukum Islam
Al-Quran dan literatur hukum Islam sama sekali tidak menyebutkan kata hukum Islam
sebagai salah satu istilah. Yang ada di dalam al-Quran adalah kata syarî’ah, fiqh, hukum
Allah, dan yang seakar dengannya. Istilah hukum Islam merupakan terjemahan dari islamic
law dalam literatur Barat. Istilah ini kemudian menjadi populer. Untuk lebih memberikan
kejelasan tentang makna hukum Islam maka perlu diketahui lebih dulu arti masing-masing
kata. Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu َ ْ‫ َم َحك‬-‫ح ُك ُم ي‬
َhakama-yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi ‫ُ ماًْحك‬hukman. Lafadz ‫ُحك ُاَل‬ ْ ‫ْم‬
َ
al-hukmu adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak ُ .ahkâm-al ‫ا َل ْحكَام‬ ْ
Berdasarkan akar kata ‫ َ َمك َح‬hakama tersebut kemudian muncul kata ُ ْ ِ‫ ح ْكَمة َل ا‬al-hikmah
yang memiliki arti kebijaksanaan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang yang memahami
hukum kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka dianggap sebagai
orang yang bijaksana. Arti lain yang muncul dari akar kata tersebut adalah “kendali atau
kekangan kuda”, yakni bahwa keberadaan hukum pada hakikatnya adalah untuk
mengendalikan atau mengekang seseorang dari hal-hal yang dilarang oleh agama. Makna

4
Gagne dan Brings dalam Warsita, Teori Pengembangan, (Surabaya: 2003), h. 266
5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002, h.767
“mencegah atau menolak” juga menjadi salah satu arti dari lafadz hukmu yang memiliki
akar kata hakama tersebut. Mencegah ketidakadilan, mencegah kedzaliman, mencegah
penganiayaan, dan menolak mafsadat lainnya.
Al-Fayumi dalam buku Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam di
Indonesia ia menyebutkan bahwa “ ‫ نىَع ِْم َ َح َكَم ب ْ َف َص ْل وال ى َ ض َق‬.“َHukum bermakna
memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan setiap permasalahan.
Muhammad Daud Ali menyebutkan bahwa kata hukum yang berasal dari lafadz Arab
tersebut bermakna norma, kaidah, ukuran, tolok ukur, pedoman, yang digunakan untuk
menilai dan melihat tingkah laku manusia dengan lingkungan sekitarnya. Dalam kamus
Oxford sebagaimana dikutip oleh Muhammad Muslehuddin, hukum diartikan sebagai
“Sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh
masyarakat dan bangsa tertentu dan mengikat bagi anggotanya”.
Selanjutnya islâm adalah bentuk mashdar dari akar kata - ‫ا ْ َسل ًما سل ْي‬-ِ ‫ َم َ ْ أسل ِ ُم‬/ ُ aslama-
yuslimu-islâman dengan mengikuti wazn -‫اف يف‬-ِ ‫ال ْ ِع ُل‬ŠŠŠ‫ ل َ ْع َ َف أ ْ َع‬/ُaf’ala-yuf’ilu-if’âlan
yang mengandung arti ُ ْ ِ‫أ‬, ‫ة ِن َْل‬ŠŠ‫ط َ اع‬ŠŠ‫ قَي ُاد َ و ّ ال‬ketundukan dan kepatuhan serta bisa juga
bermakna Islam, damai, dan selamat. Namun kalimat asal dari lafadz islâm adalah berasal
dari kata ً َ ُ ‫ي ْسل سل‬-َ ‫و َ َسلَمة ِ َم‬-‫ َسل ًم َ ا‬- َ ‫َ م‬salima-yaslamu-salâman-wa salâmatan yang memiliki
arti selamat (dari bahaya), dan bebas (dari cacat).
Sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surah Ali Imran 20 yang berbunyi sebagai
berikut:
‫هّٰلِل‬ ُ ‫فَاِ ْن َح ۤاجُّ وْ كَ فَقُلْ اَ ْسلَ ْم‬
َ ‫ ْال ِك ٰت‬Š‫ت َوجْ ِه َي ِ َو َم ِن اتَّبَ َع ِن َۗوقُلْ لِّلَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا‬
ۚ ‫دَوْ ا‬Š َ‫ب َوااْل ُ ِّم ٖيّنَ َءاَ ْسلَ ْمتُ ْم ۗ فَاِ ْن اَ ْسلَ ُموْ ا فَقَ ِد ا ْهت‬
ࣖ ‫ص ْي ۢ ٌر بِ ْال ِعبَا ِد‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫ك ْالبَ ٰل ُغ ۗ َو ُ ب‬
َ ‫َواِ ْن تَ َولَّوْ ا فَاِنَّ َما َعلَ ْي‬
Artinya: Jika mereka mendebat engkau (Nabi Muhammad) katakanlah, “Aku berserah diri
kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku.” Katakanlah
kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah diberi Kitab (Taurat dan
Injil) dan kepada orang-orang yang umi,87) “Sudahkah kamu masuk Islam?” Jika
mereka telah masuk Islam, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Akan tetapi,
jika mereka berpaling, sesungguhnya kewajibanmu hanyalah menyampaikan.
Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.
Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika
mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan ayat-ayat Allah. Dan
Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. Islam bermakna sebagai sebuah ketundukan
dan penyerahan diri seorang hamba saat berhadapan dengan Tuhannya. Hal ini berarti
bahwa manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya (Allah) haruslah merasa kerdil,
bersikap mengakui kelemahan dan membenarkan kekuasaan Allah swt. Kemampuan akal
dan budi manusia yang berwujud dalam ilmu pengetahuan tidaklah sebanding dengan ilmu
dan kemampuan Allah swt. Kemampuan manusia bersifat kerdil dan sangat terbatas,
semisal hanya terbatas pada kemampuan menganalisis, menyusun kembali bahan-bahan
alamiah yang telah ada untuk diolah menjadi bahan yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia, tetapi tidak mampu menciptakan dalam arti mengadakan dari yang tidak ada
menjadi ada (invention).
B. Prinsip Hukum Islam
Kata prinsip secara etimologi, adalah dasar, permulaan, atau aturan pokok. Juhaya S. Praja
memberikan pengertian prinsip sebagai berikut, bahwa prinsip adalah permulaan; tempat
pemberangkatan; titik tolak; atau al-mabda. Secara terminologi, kata prinsip adalah kebenaran
universal yang inheren di dalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip
yang membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya6.Prinsip hukum Islam meliputi prinsip-
prinsip umum dan prinsipprinsip khusus. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam
yang bersifat universal. Adapun prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam.
Juhaya S. Praja lebih lanjut mengatakan, ada tujuh prinsip umum hukum Islam; prinsip
tauhid, prinsip keadilan, prinsip amar ma’ruf nahi mungkar, prinsip kebebasan, persamaan,
prinsip ta’awun dan prinsip toleransi. Ketujuh prinsip tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Prinsip Tauhid.
Tauhid adalah salah satu prinsip umum hukum Islam yang merupakan fondasi ajaran
Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada di bawah satu ketetapan yang
sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La Ilaha Illa Allah (Tidak ada
tuhan selain Allah). Segala ciptaan Allah di muka bumi memiliki tujuan yang merupakan
bagian dari kebermaknaan wujud. Di antara tujuan tersebut adalah ibadah. Prinsip ini
dipahami dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64:
ُ ‫ َذ بَع‬Š‫ب تَ َعالَوْ ا اِ ٰلى َكلِ َم ٍة َس َو ۤا ۢ ٍء بَ ْينَنَا َوبَ ْينَ ُك ْم اَاَّل نَ ْعبُ َد اِاَّل هّٰللا َ َواَل نُ ْش ِركَ بِ ٖه َش ْيـًٔا َّواَل يَتَّ ِخ‬
‫نَا‬Š‫ْض‬ ِ ‫قُلْ ٰيٓا َ ْه َل ْال ِك ٰت‬
‫هّٰللا‬
َ‫بَ ْعضًا اَرْ بَابًا ِّم ْن ُدوْ ِن ِ ۗ فَاِ ْن تَ َولَّوْ ا فَقُوْ لُوا ا ْشهَ ُدوْ ا بِاَنَّا ُم ْسلِ ُموْ ن‬
Artinya: Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai Ahlulkitab, marilah (kita) menuju pada
satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, (yakni) kita tidak
menyembah selain Allah, kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa
pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-
tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, katakanlah (kepada mereka),
“Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim.”
Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka proses dan pelaksanaan hukum Islam
merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah
sebagai manifestasi rasa syukur kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi
penuhanan antar sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum
Islam adalah ibadah dan hanya kepada-Nyalah seluruh perhambaan manusia. Ini tercermin
dari firman Allah dalam surat Adz-Dzariyaat, ayat 56:

ِ ّ‫فَا َ َّما الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا فَا ُ َع ِّذبُهُ ْم َع َذابًا َش ِد ْيدًا فِى ال ُّد ْنيَا َوااْل ٰ ِخ َر ۖ ِة َو َما لَهُ ْم ِّم ْن ٰن‬
)56 :3/‫ ( ٰال عمران‬٥٦ َ‫ص ِر ْين‬

Artinya: Adapun orang-orang yang kufur akan Aku azab mereka dengan azab yang sangat
keras di dunia dan di akhirat dan sekali-kali tidak ada penolong bagi mereka.” (Ali
'Imran/3:56)
Prinsip tauhid ini juga menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum
sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al- Qur’an dan As-Sunah). Barang siapa yang
tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikategorikan ke

6
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM, 1995 ), h. 69
dalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq sesuai dengan firman Allah
dalam Surat al-Maidah ayat, 44, 45 dan 47.
Dari prinsip umum tauhid ini lahir prinsip-prinsip khusus dalam bidang ibadah, yaitu: a)
Prinsip pertama: Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara - Artinya bahwa tak
seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib disembah. Nabi dan
Rasulpun hanya sebatas penyampai pesan-pesan Allah semata. Intinya adalah yang berhak
disembah adalah hanya Allah. Prinsip ini menegaskan bahwa tak ada perantara antara
hamba dengan tuhannya seperti yang terdapat dalam agama lain. Prinsip ini berlandaskan
kepada firman Allah dalam Surat Ghafir ayat 60 dan Surat al-Baqarah ayat 186. b) Prinsip
beban hukum (taklif) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman, penyucian jiwa
(tazkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur. Artinya hamba Allah dibebani
ibadah sebagai bentuk aktualisasi dari rasa syukur atas nikmat Allah. Berdasarkan prinsip
tauhid dan prinsip-prinsip yang mendukung-nya maka lahirlah asas hukum seperti asas
kemudahan. Hukum Islam selalu memberikan kemudahan dan, menjauhi kesulitan
sehingga semua hukum Islam dapat dikerjakan oleh manusia7.
Dalam hukum Islam dikenal beberapa bentuk keringanan hukum seperti, rukhsah dan
dharurah8. Semuanya bermuara dari nash-nash al-Qur.an seperti, (QS.2:286), (QS:1:185),
dan (QS: 5:6).
Dari azas hukum tersebut dirumuskan kaidah-kaidah hukum dalam aspek ibadah
sebagai berikut : a) al-ashlu fi al-ibadat al-tauqif wa al-ittiba, yaitu pada pokoknya ibadah
itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya9. b) almasyaqqah tajlib at-taysir, yaitu kesulitan (dalam
melaksanakan ibadah) akan mendatangkan kemudahan10.
2. Prinsip Keadilan.
Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan hambaNya untuk berbuat adil. Di antaranya
adalah Surat al-Maidah ayat 8, Al-Hujarat ayat 9, Kata al-adalah dalam alQur.an adalah
sinonim al-mizan (keseimbangan/moderasi) dan al-qist yang berarti keadilan11. Term
keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan dari
pemangku kebijakan. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek,
seperti keadilan dalam hubungan antara individu dengan dirinya sendiri, hubungan antara
individu dengan masyarakat, hubungan antara individu dengan hakim dan lain-lain selama
prinsip keadilan dimaknai sebagai prinsip moderasi. Menurut Wahbah Al-Zuhaili bahwa
perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, sebab Allah tidak mendapat keuntungan

7
Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1997), h. 66
8
Rukhsah (concessionary law) merupakan keringanan dalam melaksanakan sesuatu yang sebelumnya terlarang,
seperti ibadah menjamak shalat, memendekkan shalat dan lain sebagainya dalam rangka menghindari kesukaran
(masyaqqah). Sedangkan Dharurat (necessity/exigency) adalah keadaan kritis/serius yang mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu agar terhindar dari kerusakan yang fatal atau kebinasaan. Lihat Qutub Musthafa Sanu,
Mu’jam Musthalahat Ushul Fiqh, Dar al-Fikr al-Mu’ashir 2000, h. 217 dan 265.
9
Dasar dalam ibadah adalah menyembah dan mengikuti teks. Menyembah semata-mata karena Allah meskipun
terkadang tidak sejalan dengan logika. Menurut as-Syatibi, secara umum hikmah dari ibadah adalah melaksanakan
perintah Allah, taat, mengagungkan dan menghadap hanya kepada-Nya. Lihat, Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih
Maqashid Syariah, terj: Arif Munandar ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 217
10
Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Dalam Islam, terj. Ahmad Sujdono, (Bandung: Al-Ma.rif, tth), h. 294
11
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum…,h. 72
dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemudharatan dari perbuatan maksiat manusia.
Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas perilaku dan cara
pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat. Penggunaan
term “adil/keadilan” dalam Al-Qur’an antaranya: Manusia yang memiliki kecenderungan
mengikuti hawa nafsu, adanya kecintaan dan kebencian memungkinkan manusia tidak
bertindak adil dan mendahulukan kebatilan dari pada kebenaran (dalam bersaksi), perintah
kepada manusia agar berlaku adil dalam segala hal terutama kepada mereka yang
mempunyai kekuasaan atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan dalam
bermuamalah/berdagang; kemestian berlaku adil kepada isteri; keadilan sesama muslim
dan keadilan yang berarti keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi manusia
(mukallaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban tersebut.
Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya
dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan), yakni suatu
kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam (murunah) dan kemudahan dalam
melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan (yusr wa raf’i haraj), yaitu;
perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyempit maka menjadi luas; apabila
perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar.
Menurut kamus al-Munawir Arab-Indonesia terlengkap bahwa arti amar adalah
memerintahkan. Ma’ruf artinya adalah kebajikan. Nahi artinya melarang atau mencegah.
Munkar artinya adalah keji atau munkar.12
Selain itu ma’ruf juga diartikan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT
dalam kitabnya atau melalui lisan rasulnya Muhammad SAW. Sedangkan yang munkar
diartikan apa yang dilarang oleh Allah dalam kitabnya atau melalui lisannya Muhammad
SAW. Dinamakan ma’ruf karena jiwa yang sehat akan mengenalinya dan mengetahui
kebaikannya serta menerimanya dan akan terus melakukan perbuatan yang ma’ruf dan
dinamakan munkar karena jiwa dan fitrah yang sehat akan mengingkari dan menjauhi serta
menjelekkan perbuatan tersebut.13
Arti amar ma’ruf nahi munkar secara terminologi ialah megajak kepada perbuatan yang
baik dan mencegah kepada perbuatan yang munkar. Secara etimologi amar berarti adalah
perintah, ajakan, anjuran, himbauan bahkan juga berarti permohonan. Ma’ruf artinya baik,
layak, patut. Nahi munkar berarti melarang, mencegah dan munkar berarti durhaka.14
Amar ma’ruf nahi munkar juga diartikan memerintahkan kepada perbuatan kebajikan
dan melarang pada pekerjaan yang munkar. Istilah ini di dalam syari’at Islam yakni
perintah atau mengajak diri dan orang lain melakukan hal-hal yang dipandang baik oleh
agama dan melarang atau mencegah diri dan orang lain untuk melakukan hal-hal yang
dilarang oleh syariat. 15
Sedangkan menurut Imam Ghazali, amar ma’ruf nahi munkar adalah dua perkara
tersebut ushuluddin, dengan kedua perkara tersebut terwujudlah tujuan darikeputusan nabi-
nabi.16 Dalilnya adalah firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 104:
12
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Terjemahan Ali Mashum, Jainal Abidin
(Surabaya, Pustaka Progresif, 1997), cet, ke-1, h. 1462
13
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Terjemahan Ali Mashum, Jainal Abidin
(Surabaya, Pustaka Progresif, 1997), cet, ke-1, h. 33
14
Departemen Agama, Ensiklopedia Islam, ( Jakarta : PT Sera Jaya, 1993), cet. ke-4 h. 104
15
A. Hafidz Dasuki, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru, 1997), cet, ke-2, h. 104
16
Imam Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, (Surabaya : Himmah Jaya, 2004), cet, ke1.. h. 279
ٰۤ ُ ْ ِ‫َو ْلتَ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم اُ َّمةٌ يَّ ْد ُعوْ نَ اِلَى ْالخَ ي ِْر َويَْأ ُمرُوْ نَ ب‬
‫ ( ٰال‬١٠٤ َ‫وْ ن‬Šُ‫ول ِٕىكَ هُ ُم ْال ُم ْفلِح‬ ِ ‫وْ نَ ع َِن ْال ُم ْن َك‬Šَ‫ف َويَ ْنه‬
‫ر ۗ َوا‬Š ِ ْ‫ال َم ْعرُو‬Š
)104 :3/‫عمران‬
Artinya: Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka
itulah orang-orang yang beruntung. (Ali 'Imran/3:104)
Telah diriwayatkan bahwa Abu Bakar As-Siddiq RA, berkata dalam khutbah yang
disampaikannya, sesesungguhnya kalian membaca ayat ini dan kalian termasuk
mentakwilkanya, surat al-Maidah ayat 105:

َ‫م بِ َما ُك ْنتُ ْم تَ ْع َملُوْ ن‬Šْ ‫ض َّل اِ َذا ا ْهتَ َد ْيتُ ْم ۗ اِلَى هّٰللا ِ َمرْ ِج ُع ُك ْم َج ِم ْيعًا فَيُنَبُِّئ ُك‬
َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َعلَ ْي ُك ْم اَ ْنفُ َس ُك ْم ۚ اَل يَضُرُّ ُك ْم َّم ْن‬
)105 :5/‫المائدة‬ ۤ ( ١٠٥
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu! Orang yang sesat itu tidak akan
memberimu mudarat apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah
kamu kembali semuanya, lalu Dia akan menerangkan kepadamu apa yang selama
ini kamu kerjakan. (Al-Ma'idah/5:105)
4. Prinsip Kemerdekaan atau kebebasan.
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/ hukum Islam
disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demonstrasi,
argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dalam arti
luas yang mencakup berbagai aspek, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal.
Kebebasan beragama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam
beragama. Kebebasan bertindak, berekspresi dan berimajinasi merupakan kebebasan yang
melekat pada tiap-tiap individu manusia, bahkan merupakan hak paling asasi. Kebebasan
ini tidak boleh bertentangan dengan kemaslahatan umum, akidah dan lain-lain. Disinilah
yang membedakan antara kebebasan yang dianut hukum Islam dengan hukum positif.
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah, ayat 256 berbunyi:
ْ ِ‫كَ ب‬Š‫ ِد ا ْستَ ْم َس‬Šَ‫ْؤ ِم ۢ ْن بِاهّٰلل ِ فَق‬Šُ‫ت َوي‬
‫ ُو ْث ٰقى اَل‬Š‫العُرْ َو ِة ْال‬Š ِ ْ‫رْ بِالطَّا ُغو‬ŠŠُ‫َي ۚ فَ َم ْن يَّ ْكف‬
ِّ ‫ٓاَل اِ ْك َراهَ فِى ال ِّد ْي ۗ ِن قَ ْد تَّبَيَّنَ الرُّ ْش ُد ِمنَ ْالغ‬
)256 :2/‫ ( البقرة‬٢٥٦ ‫صا َم لَهَا َۗوهّٰللا ُ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬ َ ِ‫ا ْنف‬
Artinya: Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan
yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman
kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang
tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Al-Baqarah/2:256)
5. Prinsip Persamaan atau Egalite.
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (alShahifah),
yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia.
Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan
hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula
mengenal stratifikasi sosial seperti komunis. Bukti konkrit dari prinsip egalite dalam
hukum Islam adalah penghapusan perbudakan dan penindasan manusia atas manusia.
Dalam konteks sesama muslim, Islam menjamin bahwa tak ada perbedaan suku Arab
dengan suku-suku lainnya. Dalam pandangan hukum Islam semua manusia diperlakukan
sama di mata hukum. Tidak ada yang didhalimi atau diuntungkan dengan alasan apapun.
Rasul dengan tegas menyatakan “tidak ada perbedaan antara orang Arab dan orang ajam
kecuali amalannya”. Hukum Islam telah menerapkan apa yang disebut equality before the
law sejak empat belas abad yang lalu jauh sebelum hukum modern. 17 Garansi egalite dalam
alQur.an terdapat dalam Surat al-Hujarat ayat 13, Surat al-Isra. ayat 70.
‫ َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم‬Š‫م ِع ْن‬Šْ ‫ر َم ُك‬Š َ Š‫ل لِتَ َع‬Šَ ‫عُوْ بًا َّوقَبَ ۤا ِٕى‬Š ‫ َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُش‬Š‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّواُ ْن ٰثى‬
َ Š‫ ۚ اِ َّن اَ ْك‬Š‫ارفُوْ ا‬Š
)13 :49/‫الحجرت‬ ٰ ( ١٣ ‫َخبِ ْي ٌر‬
Artinya: Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Teliti ((Al-Hujurat/49:13)

ِ ‫م ع َٰلى َكثِي ٍْر ِّم َّم ْن خَ لَ ْقنَا تَ ْف‬Šُْ‫ت َوفَض َّْل ٰنه‬
‫ ْياًل‬ŠŠ‫ض‬ ِ ‫ر َو َرزَ ْق ٰنهُ ْم ِّمنَ الطَّيِّ ٰب‬Šِ ْ‫م فِى ْالبَ ِّر َو ْالبَح‬Šُْ‫۞ َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا بَنِ ْٓي ٰا َد َم َو َح َم ْل ٰنه‬
)70 :17/‫االسراء‬ ۤ ( ٧٠ ࣖ

Artinya: Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di
darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-
baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan
dengan kelebihan yang sempurna. (Al-Isra'/17:70)
6. Prinsip al-Ta’awun
Kata Ta’awun berasal dari kata ‫َ (’ن و ْع‬aunun( yang artinya pertolongan, ‫ َن ِن‬-‫ن َو َّ َع َو آ َعا َن‬
,pertolongan, bantuan artinyaَ ‫ا َعانَة‬- ‫ ع ْون‬,menolong, membantu artinyaَ ‫او‬ŠŠŠ‫ا ُ َمع‬ŠŠŠ‫ ع‬artinya
pembantu, penolong.18
Kata Ta’awun artinya adalah saling menolong.19 Ta’awun terdapat dalam Al-Qur’an
surah Al-Maidah ayat 2, dari kata Ta’awanu, yang diartikan “ Kamu membantu satu sama
lain, kamu bekerja sama”20wajib bagi orang-orang mukmin tolong-menolong sesama
mereka dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan dilarang tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran.21 Ta’awun dapat diartikan sebagai sikap kebersamaan dan
rasa saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga dapat mewujudkan
suatu pergaulan yang harmonis dan rukun. Al-Qur’an menyebutkan bahwa Ta’awun
merupakan hal yang esensial bagi setiap muslim. Umat Islam diperintahkan untuk saling
tolong-menolong terhadap sesama terutama tolong-menolong dalam perbuatan yang
terpuji.

17
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 18
18
Atabik Ali, dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Cet. Ke 8,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika), h. 1332
19
Ar-Raghib Al-Ashfahani, Kamus Al-Qur’an, Penerjemah. Ahmad Zaini Dahlan, jilid II
(Depok: Pustaka Khazanah Fawa’id, 2017), h. 830
20
Budi Santoso, Kamus Al-Qur’an (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), h. 197
21
Tim Tashih Departemen Agama, Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya
(Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1991) h. 386.
Sayyid Qurtb menjelaskan dalam menafsirkan Q.S. Al-Maidah ayat 2, jarak antar
dataran rendah jahiliyah dengan ufuk Islam adalah jarak antara semboyan Jahiliyah yang
popular itu dengan firman Allah “Janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari masjidil haram, mendoronmu berbuat
aniaya (kepada mereka). Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa, dan jangan tolong-menolong di dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” 22
Ayat ini menerangkan bahwa tolong-menolong dalam ketaqwaan merupakan salah satu
faktor penegak agama, karena dengan tolong-menolong akan menciptakan rasa saling
memiliki diantara umat sehingga akan lebih mengikat persaudaraan. Selain itu, secara
lahiriah manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian karena manusia
butuh berinteraksi dengan sesamanya. 23
Dari beberapa pendapat Mufassir diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian Ta’awun
adalah suatu pekerjaan maupun perbuatan tolong-menolong antar sesama manusia yang
didasari pada hati nurani dan semata-mata mencari ridha Allah Subhanallahuwata’ala,
Tolong menolong tersebut dianjurkan tanpa memandang ras, suku, bangsa dan agama,
selama bukan tujuan keburukan dan kerusakan di muka bumi, maka manusia dianjurkan
untuk saling tolong-menolong dan saling bekerja sama.
Prinsip ini merupakan suatu prinsip yang mulia dan mengandung nilai tinggi dan
terabaikan oleh ummat Islam. Pengabaian ini disebabkan oleh pembekuan daya ijtihad oleh
sebagian fuqaha dan bertaqlid kepada warisan lama, menghilangkan kemaslahatan
masyarakat dengan aneka macam adat istiadatnya. Allah berfirman dalam Surat al-
Mujadalah ayat 9:
‫وا هّٰللا‬ŠŠُ‫و ۗى واتَّق‬Šٰ ‫البرِّ والتَّ ْق‬Š
َ َ َ ِ ْ Šِ‫ا َجوْ ا ب‬Šَ‫وْ ِل َوتَن‬Š‫َّس‬
ُ ‫ت الر‬
ِ َ‫صي‬ َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَنَا َج ْيتُ ْم فَاَل تَتَن‬
ِ ‫َاجوْ ا بِااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َوا ِن َو َم ْع‬
)9 :58/‫ ( المجادلة‬٩ َ‫ي اِلَ ْي ِه تُحْ َشرُوْ ن‬ ْٓ ‫الَّ ِذ‬
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu saling mengadakan pembicaraan
rahasia, janganlah berbicara tentang perbuatan dosa, permusuhan, dan durhaka
kepada Rasul. Akan tetapi, berbicaralah tentang perbuatan kebajikan dan takwa.
Bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan. (Al-
Mujadalah/58:9)
7. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak
terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya, tegasnya toleransi hanya dapat diterima
apabila tidak merugikan agama Islam. Wahbah Al-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi
tersebut pada tataran penerapan ketentuan al-Qur’an dan Hadits yang menghindari
kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk
meninggalkan syariat ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya
pada persoalan ibadah saja tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik
muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya. Tasamuh atau
toleransi dalam hukum Islam lebih tinggi nilainya dari hanya sekedar rukun dan damai.
Tasamuh yang dimaksudkan adalah tidak memaksakan atau tidak merugikan sesama.
22
Sayyid Qurtb, Tafsir fi zhilail Qur’an…,h. 168.
23
Abd Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, Cet. Ke3, Edisi Revisi
(Jakarta: Kencana,. 2017) h. 90
Peringatan Allah berkaitan dengan toleransi dinyatakan dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8
dan 9.
ُّ‫ اِلَ ْي ِه ۗ ْم اِ َّن هّٰللا َ ي ُِحب‬Š‫طُ ْٓوا‬Š ‫م َوتُ ْق ِس‬Šُْ‫رُّ وْ ه‬ŠŠَ‫م اَ ْن تَب‬Šْ ‫ار ُك‬Š
ِ Šَ‫اَل يَ ْن ٰهى ُك ُم هّٰللا ُ ع َِن الَّ ِذ ْينَ لَ ْم يُقَاتِلُوْ ُك ْم فِى ال ِّد ْي ِن َولَ ْم ي ُْخ ِرجُوْ ُك ْم ِّم ْن ِدي‬
‫ َرا ِج ُك ْم اَ ْن‬Š‫ ع َٰلٓى اِ ْخ‬Š‫اهَرُوْ ا‬ŠŠَ‫م َوظ‬Šْ ‫ار ُك‬Š ‫هّٰللا‬
ِ Šَ‫م ِّم ْن ِدي‬Šْ ‫وْ ُك‬ŠŠ‫ ِّدي ِْن َواَ ْخ َر ُج‬Š‫اتَلُوْ ُك ْم فِى ال‬ŠŠَ‫ اِنَّ َما يَ ْن ٰهى ُك ُۤم ُ َع ِن الَّٰ ِذ ْينَ ق‬٨ َ‫ْال ُم ْق ِس ِط ْين‬
)9-8 :60/‫ ( الممتحنة‬٩ َ‫ك هُ ُم الظّلِ ُموْ ن‬ َ ‫ول ِٕى‬ٰ ُ ‫تَ َولَّوْ هُ ۚ ْم َو َم ْن يَّت ََولَّهُ ْم فَا‬

Artinya: 8. Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari
kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil.
9. Sesungguhnya Allah hanya melarangmu (berteman akrab) dengan orang-orang
yang memerangimu dalam urusan agama, mengusirmu dari kampung
halamanmu, dan membantu (orang lain) dalam mengusirmu. Siapa yang
menjadikan mereka sebagai teman akrab, mereka itulah orang-orang yang zalim.
(Al-Mumtahanah/60:8-9)
Selain tujuh prinsip hukum di atas Hasbi Ash Shiddieqy menyebutkan dalam bukunya enam
prinsip lain menyangkut hukum Islam yaitu:
1. Prinsip menghadapkan khitab kepada akal. Bahwa dalam hukum Islam akallah yang
menjadi sebab dibebaninya kewajiban seorang mukallaf. Oleh karenanya ilmu menjadi
pokok dalam menambah cahaya akal. Islam merangsang manusia untuk mencari ilmu.
Manusia mempunyai kemampuan akal baik dalam tataran akal praktis maupun akal murni.
Akal murni terbentang luas, hanya Allah yang maha tahu. Ketika Allah memberikan
penjelasan melalui akal murni maka manusia akan mampu memahami berbagai hal. Pada
tataran inilah seyogyanya fuqaha senantiasa mendasarkan pikirannya atas kebenaran
wahyu, kemudian mereka menetapkan bahwa yang Maha pembuat hukum itu adalah Allah.
2. Prinsip memagari akidah dengan akhlak yang utama yang dapat menjaga kesucian jiwa dan
meluruskan kepribadian seseorang. Prinsip ini berkaitan dengan kehormatan manusia
seperti dinyatakan dalam berbagai ayat al-Qur’an dan hadis. Kehormatan tersebut tidak
hanya terbatas pada individu, ras, suku tertentu tapi milik semua manusia.
3. Prinsip menjadikan segala macam beban hukum untuk kebaikan jiwa dan kesuciannya,
sekali-kali bukan untuk memberatkan badan.
4. Prinsip mengawinkan agama dengan dunia dalam masalah hukum. Prinsip ini
menunjukkan bahwa seluruh hukum. Islam yang di dalamnya terdapat berbagai bidang-
bertujuan meraih maslahat dan menolak mafsadat. Islam mengajak umatnya untuk
melakukan integrasi antara pekerjaan dunia dengan akhirat. Prinsip ini sangat menonjol
dalam hukum Islam. menyerahkan masalah ta’zir (hukuman) kepada pertimbangan
penguasa atau para hakim. Hukum Islam sudah menentukan batas-batas hukuman yang
dijatuhkan atas pelaku tindak pidana, seperti pembunuhan dan pencurian. Bentuk hukuman
ini sangat sedikit ketetapannya jika dibandingkan dengan penetapan hukum yang
diserahkan kepada pertimbangan hakim. Hukum atas pertimbangan inilah yang disebut
dengan hukum ta’zir. 24
5. Prinsip Tahkim. Tahkim dibolehkan perlakuannya atas masalah-masalah hukum yang
disengketakan oleh dua belah pihak dengan meminta seseorang hakim yang dipandang
terhormat di kalangan mereka dan keputusannya-pun mengikat, tanpa adanya ketetapan
atau legalitas atas hakim resmi.
Penjabaran prinsip atau karakterisitik hukum Islam dalam dua perspektif di atas, pada
dasarnya memiliki alur pikir dan pola logika hukum yang relatif searah, yaitu semua ketetapan
hukum dalam Islam berorientasi pada pemurniaan tauhid dan penyajian hukum sebagai sebuah
instrumen agama dalam menjaga dan mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan bagi umat
manusia, dan di waktu yang bersamaan, model /prinsip ini mendialogkan secara kritis bahwa
perumusan hukum dalam menjaga dan mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan bagi umat
manusia, dan di waktu yang bersamaan, model/prinsip ini mendialogkan secara kritis bahwa
perumusan hukum dalam syari’at Islam itu adalah menyelamatkan manusia dari kesukaran dan
kesulitan (masyaqqah).
Jika dibandingkan cabaran prinsip-prinsip hukum Islam yang dikemuka-kan oleh Juhaya S.
Praja dengan Hasbi Ash Shiddieqy maka tampak keduanya saling melengkapi. Meskipun
demikian, terdapat perbedaan dalam sisi-sisi tertentu, yaitu Hasbi tidak menyebutkan prinsip
keadilan sebagai prinsip yang berdiri sendiri seperti Juhaya S. Praja. Sementara tujuh prinsip
yang dikemukakan Hasbi tidak terdapat dalam prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Juhaya S.
Praja, sehingga dari segi kuantitatif Juhaya S. Praja membaginya menjadi tujuh sementara Hasbi
membaginya menjadi enam.
Perbedaan ini menurut penulis terjadi karena Hasbi tidak menjabarkannya dalam bentuk
prinsip-prinsip khusus seperti halnya Juhaya S. Praja. Sehingga pembagian Hasbi meluas dalam
prinsip-prinsip umum hukum Islam. Semua prinsipprinsip hukum Islam baik prinsip umum
ataupun prinsip khusus merupakan kekuatan yang melingkupi hukum Islam menjadi hukum yang
up to date di tengah tengah masyarakat Islam dan akan mampu dijabarkan dalam kehidupan yang
profan, mencakup segala ruang dan dimensi serta tidak akan ketinggalan zaman. Tidak ada
alasan bagi ummat Islam untuk tidak menerapkan hukum Islam dalam kehidupannya sehingga
tercipta kehidupan yang harmonis dan akan membawa kepada kemaslahatan dan kebahagiaan
dunia akhirat.
C. Implementasi Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Penulis telah menjelaskan 7 (tujuh) prinsip hukum Islam, selanjutnya menjelaskan mengenai
pelaksanaan dan penerapannya dalam kehidupan umat manusia.
1. Prinsip Tauhid dalam Ekonomi Islam

24
Ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukum Ta’zir. Ta’zir mengandung pengertian hukuman
pendidikan atas tindak pidana yang belum ditentukan hukumannya oleh syara. Pemberian hukuman Ta’zir untuk
menghambat si pelaku dari mengerjakan kejahatan sesudah dijatuhkan hukuman. Adapun landasan penentuan
hukumannya adalah ijma. (konsensus) atau diserahkan pada pertimbangan hakim. Lihat, Hasbi Ash Shiddieqy,
Pidana Mati dalam Syariat Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998) , h. 6. Lihat Hasbi Ash Shiddieqy,
Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 85. Lihat juga Amrullah Ahad dkk, Dimensi
Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 101
Resistensi terhadap globalisasi dan sistem ekonomi kapitalis sebagai motor
penggerak utama globalisasi sebenarnya sudah sering disuarakan, bahkan dari
jantung kapitalisme itu sendiri.Berbagai peristiwa dekade terakhir, terutama krisis
ekonomi tahun 1997 di Asia telah semakin menimbulkan kesadaran bahwa tatanan
ekonomi dunia saat ini mencerminkan ketidak-adilan dan ketimpangan struktur
ekonomi di banyak tempat terutama negara-negara berkembang. Beberapa alternatif
telah diajukan, seperti green economy. Belakangan banyak kalangan, termasuk ahli-ahli
ekonomi Barat, mulai melirik sistem ekonomi yang ditawarkan oleh Islam sebagai pilar
tatanan ekonomi baru dunia.
Tatanan ekonomi baru yang diperlukan itu harus mencerminkan keadilan,
pandangan yang sejajar terhadap manusia dan moralitas. Tatanan ekonomi yang
ditawarkan Islam dilandasi dengan fondasi yang kuat, yaitutauhid (ke-Esaan Tuhan),
khilafah (perwakilan), dan ‘adalah(keadilan).Ketiga landasan tersebut merupakan satu
kesatuan yang saling terkait. Tauhid merupakan muara dari semua pandangan dunia
Islam. Tauhid mengandung arti bahwa alam semesta didesain dan diciptakan secara sadar
oleh Tuhan Yang Mahakuasa, yang bersifat Esa, dan tidak terjadi secara kebetulan. Dari
sudut pandang tauhid, manusia diciptakansebagai khalifah-Nya atau wakil -Nya di bumi
sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 30 dan surah al-An’am ayat 165.
Sumber daya alam yang diciptakan harus dimanfaatkan untuk pemenuhan
kebahagiaan seluruh umat manusia. Sisi ini jelas bertentangan dengan konsep self interest
kapitalisme. Implikasi dari pandangan tersebut adalah adanya pandangan persaudaraan
universal, yang kemudian menimbulkan persamaan sosial dan menjadikan sumber daya
alam sebagai amanah Tuhan yang menciptakan alam semesta. Pandangan ini tidak akan
terlaksana secara substansial jika tidakdibarengi dengan keadilan sosial-ekonomi.
Penegakan keadilan dan penghapusan semua bentuk ketidak-adilan telah ditekankan
dalam Al-Qur’an sebagai misi utama Rasul Allah. Berdasarkan landasan ini,seharusnya
ada keseimbangan dari semua faktor ekonomi,bahkan pemisahan yang radikal antara
sektor moneter dengan sektor riil menjadi tidak tepat karena mengakibatkan terjadi
ketidakadilan dan ketidak-merataan. 25
Peranan pemerintah dalam tatanan ekonomi baru tersebut, paling tidak, mencakup
empat hal. Pertama, maksimalisasi tingkat pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatan
sumber daya tersebut harus memperhatikan prinsip kesejajaran dan keseimbangan. Dalam
ekonomi Islam konsep al-‘adldan al-iḥsānmenunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan
kesejajaran sosial. Hal ini pentingkarena apabila terjadi pemanfaatan yang tidak
seimbang atau pemborosan, yang terjadi adalah kerusakan alam yang pada gilirannya
adalah ketidakseimbangan sunnatullāh(hukum alam). Kerugiannya juga ada pada
manusia dalam jangka panjang.
Kedua, minimalisasi kesenjangan distributif. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip dasar
ekonomi Islam, keadilan distributif. Keadilan distributif didefinisikan sebagai suatu
distribusi pendapatan dan kekayaan yang tinggi, sesuai dengan norma-norma
fairnessyang diterima secara universal.Tujuan ini juga berhubungan dengan prinsip
kesamaan harga diri dan persaudaraan, prinsip tidak dikehendakinya pemusatan harta
25
Ibnu Maryam, Globalisasi dan Tatanan Ekonomi Islam,
http://ibnumariam.wordpress.com/2010/06/22/globalisasi-dan-tatanan-ekonomi-islam/, (Diakses pada tanggal 15
Maret 2023).
dan penghasilan pada sejumlah kecil orang tertentu, dan untuk memperbaiki
kemiskinan absolut dan mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang
mencolok. Untuk mencapai tujuan ini, beberapa institusi Islam bisa dimanfaatkan seperti
zakat dan wakaf.
Ketiga, maksimalisasi penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi
merupakan sarana untuk mencapai keadilan distributif, di antaranyakarena mampu
menciptakan kesempatan kerja (baru) yang lebih banyak daripada yang mungkin
bisa diciptakan dalam keadaan ekonomi statis. Penciptaan lapangan kerja juga
harus diimbangi dengan pemberian tingkat upah yang adil berdasarkan usaha-
usaha produktifnya. Dalam hal ini, Pemerintah berkewajiban untuk memastikan adanya
kesempatan kerja yang seluas-luasnya dengan mendorong kegiatan ekonomi yang aktif,
terutama dalam sektor-sektor yang mampu menyerap semua lapisan.
Keempat, maksimalisasi pengawasan. Salah satu bagian integral dari kesatuan
sistem ekonomi Islam adalah lembaga “al-hisbah”. Peranannya,sebagaimana
dirumuskan IbnuTaimiyah, adalah melaksanakan pengawasan terhadap perilaku sosial,
sehingga mereka melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang salah. Lembaga al-
hisbah adalah lembaga pengawasan terhadap penyimpangan, di antaranya dari kegiatan
ekonomi. Dalam pemerintahan yang modern saat ini, lembaga ini dapat
diaplikasikan dengan modifikasi tertentu yang mempunyai tugas dan wewenang
yang sama. Pengawasan dalam ekonomi Islam adalah penting, karena suatu sistem
ekonomi yang adil tidak akan berjalan apabila terjadi kecurangan yang disebabkan
oleh perilaku menyimpang pelaku ekonomi.Menurut Abu Ya’la, sistem hisbah yaitu amar
makruf dan nahi mungkar, atau ajakan buat melakukan kebaikan dan pengendalian atas
kemungkaran, khususnya pada saat kebaikan-kebaikan sudah mulai ditinggalkan dan
pelanggaran-pelanggaran banyak terjadi. Sistem hisbah dilakukan oleh sebuah lembaga
khusus yang dibentuk oleh negara dengan tanggungjawab perbaikan sistem sosial
masyarakat, namun setiap orang dapat berpartisipasi dalam fungsi dan tugas ini
meskipun tidak terlibat di dalam lembaga yang dibentuk oleh pemerintah. Sistem
hisbah mengajak setiap warga negara untuk terlibat dalam proses perbaikan dan
pengawasan terhadap nilai-nilai kebaikan pada kehidupan berbangsa, serta mencegah
upaya kerusakan yang akan merugikan semua orang.26
Sistem hisbah juga disebutkan oleh al-Māwardī sebagai sistem yang tidakhanya
membahas tentang pengawasan terhadap keuangan atau ekonomi secara spesifik, namun
lebih menekankan kepada sistem amar makruf dan nahi mungkar dalam
hubungannya dengan hak-hak Allah swt., dan hak-hak umat manusia, serta hak bersama
antara Allah swt. dan umat manusia. Sistem ini secara hakiki merupakan upaya untuk
membumikan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat dan mengendalikan perbuatan-
perbuatan kemungkaran atau pelanggaran. Sistem hisbah ini bersifat partisipatif, yaitu
melibatkan seluruh warga negara dalam mengawasi terlaksananya nilai-nilai kebaikan, dan
mencegah meluasnya tindakan-tindakan pelanggaran di tengah masyarakat, meskipun

26
Rahmat, Rahmat, Azwar Iskandar, and Khaerul Aqbar, THE THOUGHT OF ABU YA’LA CONCERNING
FINANCIAL SUPERVISION (STUDY ON THE BOOK OF AL-AHKĀM AL-SULṬĀNIYYAH), (Tasharruf: Journal
Economics and Business of Islam 6, no. 1: 2021, h. 68-85
pemerintah diharapkan membentuk lembaga khusus buat melaksanakan peran ini, selain
partisipasi langsung setiap warga negara dan masyarakat. 27
Di samping empat hal di atas, dalam membangun tatanan ekonomi yang Islami, perlu
adanya pemahaman yang mantap tentang tauhid, karena tauhid itu merupakan salah satu
pondasi yang utama dalam ekonomi Islam. Selain itu, tauhid juga merupakan ilmu yang
bersifat global (kulli) yang merupakan pondasi pokok dalam semua ilmu, baik yang
berkaitan dengan ibadah seperti salat, puasa, haji, dan sebagainya, maupun ilmu
yang berkaitan dengan muamalah, seperti ilmu tentang politik, sosial, ekonomi, dan lain-
lain.
Ilmu tauhid itu adalah ilmu yang paling dasar yang wajib diketahui oleh setiap
muslim. Namun kenyataannya, kita melihat sebagian masyarakat penganut Islam masih
belum memahami arti tauhid, sehingga mereka sesungguhnya masih belum merdeka dan
belum menyadari status manusiawinya. Di sinilah sebenarnya letak kemandekan
kebanyakan masyarakat muslim dewasa ini. Dapat dikatakan bahwa keterbelakangan
ekonomi, stagnasi intelektual, degenerasi sosial, dan pelbagai macam kejumudan lainnya
yang diderita oleh masyarakat muslim, sesungguhnya berakar pada kemerosotan tauhid.
Oleh karena itu, untuk melakukan restorasi dan rekonstruksi manusia-muslim, baik secara
individual maupun kolektif, tauhid adalah masalah pertama dan terpenting untuk segera
dipersegar dan diluruskan. Dengan demikian, jelas bahwa anjuran sekularisasi, misalnya
untuk memperbarui pemahaman Islam, adalah suatu ajakan yang tidak mempunyai dasar di
dalam Islam, dan akan membuat kemerosotan umat menjadi lebih parah.
Suatu hal yang tidak boleh dilupakan ialah bahwa komitmen manusia-tauhid tidak saja
terbatas pada hubungan vertikalnya dengan Tuhan, melainkan juga mencakup
hubungan horizontal dengan sesama manusia dan seluruh makhluk; dan hubungan-
hubungan ini harus sesuai dengan kehendak Allah. Kehendak Allah ini memberikan visi
kepada manusia-tauhid untuk membentuk suatu masyarakat yang mengejar nilai-nilai
utama dan mengusahakan tegaknya keadilan sosial. Pada gilirannya, visi ini memberikan
inspirasi pada manusia-tauhid untuk mengubahdunia di sekelilingnya agar sesuai dengan
kehendak Allah, dan inilah misi manusia-tauhid atau manusia-muslim. Misi ini menuntut
serangkaian tindakan agar kehendak Allah tersebut terwujudmenjadi kenyataan, dan misi
ini merupakan bagian integral dari komitmen manusia-tauhid kepada Allah. Misi untuk
mengubah dunia, menegakkan kebenaran dan keadilan, merealisasikan pelbagai nilai
utama, dan memberantas kerusakan di muka bumi (fasād fil arḍ),bukanlah sekadar suatu
derivative, melainkan merupakan bagian integral dari komitmen manusia-tauhid kepada
Allah. Gabungan dari manusia-manusia tauhid inilah yang kemudian membentuk suatu
ummah. Dengan menegakkan kebenaran dan keadilan (amar ma'ruf)dan memberantas
kejahatan (nahi munkar)sebagai dua ciri utamanya, umat-tauhid menunjukkan sasaran
dari gerakannya bukan pada bangsa atau kelompok masyarakat tertentu, melainkan pada
seluruh kemanusiaan itu sendiri, seperti difirmankan oleh Allah dalam surah Ali Imran ayat
110.

27
Rahmat, Rahmat, Azwar Iskandar, and Khaerul Aqbar, Keuangan Negara Menurut Al-Māwardī Dalam
Al-Aḥkām Al-Sulṭānīyah Wa Al-Walāyāt Al-Dīnīyah Dan Peluang Implementasinya Di Indonesia, (ISLAMICA:
Jurnal Studi Keislaman 15, no. 1:2020), h. 133-158
Manusia-tauhid dan umat-tauhid mempunyai kewajiban untuk menegakkan suatu orde
sosial yang adil dan etis. Al-Qur’an mengutuk ketimpangan ekonomi dan
ketidakadilan sosial, dan menyuruh kita untuk menegakkan suatu tatanan sosial yang etis
dan egalitarian. Surat-surat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad ṣallallāhu
‘alaihi wasallamsewaktu beliau masih berada di Makkah, mengecam keras dua macam
masalah: politeisme atau kemajemukan dewa-dewa yang simtomatis dari masyarakat
yang terpecah belah, dan disparitas sosio-ekonomi yang bersarang pada
keterpecahbelahan masyarakat. Kedua hal ini merupakan dua sisi dari satu mata uang. Al-
Qur’an bertubi-tubi menyerang disparitas ekonomi, justru karena masalah ini memang
sangat sulit dipecahkan.
Al-Qur’an jelas tidak melarang manusia untuk mengumpulkan harta benda, akan tetapi
penyalahgunaan kekayaan yang menyebabkan manusia buta terhadap nilai-nilai luhur
dikecam keras oleh Al-Qur’an dalam surah Ali Imran ayat 14 dan surah az-Zukhruf ayat
35.Al-Qur’an sangat menekankan keadilan distributif. Keadilan ini seratus persen
berseberangan dengan penumpukan dan penimbunan harta kekayaan. Al-Qur’an sejauh
mungkin mengancam penumpukan harta. Al-Qur’an juga menganjurkan agar orang-
orang kaya mendermakanhartanya untuk anak yatim, janda-janda, fakir dan miskin. 28
Sekelompok masyarakat tidak diperkenankan menjadi terlalu kaya, sementara kelompok
lainnya menderita kemiskinan yang bertentangan dengan harkat kemanusiaan sebagai
suatu kebijakan ekonomi dalam ajaran Islam.
Dengan demikian, menjadi tanggung jawab manusia dan umat-tauhid untuk selalu
bekerja keras dan mencari pemecahan-pemecahan yang efektif untuk melaksanakan
prinsip keadilan distributif tersebut. Namun kita tidak boleh lupa bahwa keadilan sosio-
ekonomi bukanlah tujuan akhir. Keadilan sosio-ekonomi itu sendiri adalah jembatan
untuk menuju suatu tujuan yang jauh lebih tinggi, yaitu kebahagiaan akhirat.
Dengan visinya, manusia dan umat-tauhid harus melihat konsekuensi-konsekuensi
tindakannya, baikdi dalam bidang ekonomi, politik, kebudayaan, maupun bidang
kehidupan lainnya, dan mengarahkannya ke suatu tujuan yang menjadi dasar komitmennya
pada Allah. Ini semua tidak mungkin akan bisa dicapai kecuali dengan jihad ke arah total
seluruh tenaga, daya,dana, dan pikiran untuk mewujudkan kalimatulāh hiyaal-'ulya,
yaitu terselenggaranya nilai-nilai yang diridai oleh Allah subḥānahu wa ta’ālā.
Esensi dari pengalaman beragama dalam Islam adalah tauhid, yaitu pengakuan
bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah (lāilāha illa Allāh). Tauhid
membersihkan agama secara mutlak dari semua keraguan menyangkut transendensi dan
keesaan Tuhan. Dengan itu, ia mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu pengukuhan Tuhan
sebagai satu-satunya pencipta alam raya, dan mensederajatkan semua manusia sebagai
makhluk Tuhan, yang dikaruniai sifat-sifat esensial manusia yang sama, dengan
status kosmik yang sama pula. 29
2. Prinsip Keadilan dalam Hukum
Islam menjelaskan keadilan sebagai salah satu tema sentral ajarannya, menempatkan
keadilan sebagai pondasi dan tiang kehidupan umat manusia, baik kehidu-pan individu,
28
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar:1999), h. 52-53.
29
Ismail Raji Al-Faruqi, Tawhid; It’s Implication for Though and Live, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung:
Pustaka:1988), h 165.
masyarakat maupun kehidupan berbangsa. Oleh karena itu, tanpa prinsip keadilan tidak
mungkin manusia mampu membangun diri, masyarakat dan kebudayaannya di persada
bumi ini. Hal tersebut didasarkan atas adanya naluri-naluri kemanusiaan yang di bawa
sejak lahir, yang apa bila diganggu keberadaannya akan menimbulakn kekacauan-kecauan
dan komplik antara individu tau kelompok.30
Peryataan di atas semakin mempertegas bahwa penerapan prinsip keadilan mencakup
pada semua sektor kehidupan, sebab keadilan merupakan keinginan setiap orang untuk
mencapai kedamaian hidupnya. Salah satu aspek kehidupan yang sangat penting diterapkan
keadilan di dalamnya adalah bidang hukum. Hukum adalah mengatur interaksi antar
sesama manusia, antar individu dan antar kelompok. Manusia dalam berinteraksi tentu di
dalamnya terdapat kepentingan masing-masing pihak, sehingga jika tidak ada hukum yang
mengaturnya, sangat mungkin terjadi ada pihak yang dirugikan. Untuk itu, landasan utama
materi hukum dan penerapannya di tengah-tengah masyarakat adalah prinsip keadilan. Hal
ini dimaksudkan agar selain mencegah tidak ada pihak yang dirugikan juga untuk
mencapai maslahat hidup secara umum.
Dalam ajaran Islam, antara keadilan dengan hukum adalah sangat erat bagai dua sisi
mata uang. Antara lain bahwa-hukum yang ditetapkan Allah swt. diberlakukan secara adil
bagi semua golongan tanpa adanya perbedaan. Misalnya, hukum-hukum alam dan
kemasyarakatan yang ditetapkan Allah swt. berlaku bagi golongan siapa saja, apakah yang
beragama Islam ataupun bukan. Begitu pula rezki yang dihamparkan Allah swt., tersedia
dan dapat diperoleh oleh mereka yang mengikuti hukum-hukum perolehan rezki
(berusaha), apapun jenis, ras dan latar belakang agama seseorang.31
Pada sisi lain dalam dunia realitas penerapan hukum dalam pengelolaan negara, hukum
adalah panglima yang menentukan tegaknya keadilan. Dapat lihat dari peranperan yang
dimainkan oleh lembaga negara, misalnya peran eksekutif kerjasama dengan legislativ dan
dalam merakit aturan-aturan hukum yang dituangkan dalam suatu undang adalah sangat
penting. Sebab kedua lembaga negara ini yang lebih awal dituntut kearifannya untuk
menerapkan keadilan ke dalam semua produk hukum yang akan ditetapkan oleh para
penegak hukum selanjutnya ditengah-tengah masyarakat.
Keadilan diterapkan ke dalam produk hukum yang kemudian ditetapkan oleh para
penegak keadilan berdasarkan penalaran atau ijtihad yang berdasarkan hati nurani dengan
kenyataan-kenyataan ril yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Demikian pula
bagi penegak hukum dan keadilan dipundaknyalah terletak amanah Tuhan dan amanah
umat untuk menerapkan keadilan pada setiap keputusan hukum yang diambilnya. Seperti
itulah yang diperintahkan Allah swt. QS. Al-Maidah/5: 42 untuk berlaku adil dalam
menetapkan hukum. 32
Prinsip keadilan dalam hukum adalah keadilan yang dapat menciptakan keterampilan,
kebahagian, dan kedamaian secara wajar dalam masyarakat. Bagaimana keadilan yang
diterapkan dalam hukum ini dapat dilihat secara nyata bagi praktik pelaksanaan hukum,
antara lain jika keputusan hakim dijatuhkan oleh aparat penegak hukum secara adil dan
telah mampu memberikan rasa aman, ketenangan dan kebahagiaan bagi pencari keadilan.
Keadaan seperti itu, akan memberikan kepercayaan bagi masyarakat tentang adanya
lembaga pengadilan yang membela hak dan memberikan sanksi hukum bagi yang

30
Anwar Yunus, et.al. Tema-Tema Pokok Al-Qur’an Bagian II, h. 30.
31
M. Quraish Shihab. Mengungkap TabirIlahi Asma al-Husna dalam Prespektif Al-Qur’an, h. 149
32
Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, h. 213.
melanggar. Kalau kondisi yang demikian itu telah tercapai, juga akan membantu mencegah
timbulnya praktik main hakim sendiri yang sering dilakukan oleh masyarakat yang tidak
puas dengan keputusan hakim.33
Statemen yang di kemukakan oleh Baharuddin Lopa di atas, merupakan suatu
pernyataan yang sangat dalam dan bermakna bagi para penegak hukum tanpa kecuali.
Sebab suatu lembaga dan personil-personil di dalamnya yang diupundaknya diberikan
amanah untuk menegakkan keadilan adalah wadah bergumulnya pihak-pihak pelaksanaan
hukum dan pencari keadilan yang bukan sekedar simbol keadilan tanpa makna dan
harapan. Tetapi simbol keadilan adalah hal yang nyata sebagai benteng terakhir dan di
dalamnya selalu berkibar bendera supermasi hukum dan keadilan.
Salah satu bahagian penegak hukum yang selalu menjadi perhatian dalam penagakkan
hukum dan keadilan adalah hakim. Penegak hukum yang satu ini disebutkan sebagai
manusia pilihan yang diberikan predikat sebagai “dewa” hukum dan keadilan. Hakim
adalah tempat menggantungkan harapan masyarakat untuk memperoleh hak-haknya secara
adil. Kalau hakim sebagai salah satu pilar utama penegak keadilan dan kebenaran mampu
berbuat dan menetapkan keputusan sesuai dengan prinsip keadilan, maka ketentraman dan
kebaagian masyarakat dapat terwujud. Sekaligus keper cayaan dan kredibilitas hakim akan
semakin tinggi di mata masyarakat, yang pada akhirnya akan dapat mengikis praktik-
praktik mafia peradilan dan main hakim sendiri.
Dalam Islam, keadilan merupakan suatu aspek internal yang tak dapat dipisahkan
dengan hukum. Begitu juga unsur-unsur keadilan yang diterapkan dalam hukum
merupakan suatu deklarasi tentang kebenaran. Dalam kamus kosa kata Islam, kebenaran
dan kesalahan identik atau bisa dinamakan halal dan haram. Syariat dalam
mengklasifikasikan halal dan haram, tidak menitik beratkan kepada ukuran yang
membeda-bedakan perbuatan, tetapi menekankan bahwa sesuatu yang halal dan
diwajibkan, serta sesuatu yang haram dilarang. Merupakan hukum Allah swt. yang bagi
orang yang beriman harus diterima sebagai suatu perlakuan yang adil dalam bingkai
kebenaran ilahi.34
Keadilan yang diterapkan dalam hukum tentu tidak terlepas dari sistem hukum yang
berlaku dalam tatanan kehidupan bernegara. Demikian pula kaitan dan keterpaduannya
dengan sistem lain sebagai bagian dari sistem nasional yang berlaku secara keseluruhan.
Dalam pnegakkan keadilan di bidang hukum, bukan saja hakim yang dituntut untuk
menjatuhkan putusan yang adil, tetapi semua regulasi hukum yang mulai dari Undang-
Undang Dasar dalam suatu negara sampai kepada undang-undang dan peraturan-peraturan
hukum yang ada di bawanya haruslah hukum yang mengandung prinsip keadilan sekaligus
hukum yang dapat merubah keadaan sosial, seperti hukum yang memungkinkan rakyat
kecil memperoleh peluang untuk mencapai kehormatan yang lebih baik.
Dalam hubungannya dengan negara Republik Indonesia yang memiliki UndangUndang
Dasar 1945 sebagai sumber hukum dari segala produk hukum dalam sistem hukum
nasional, sangat nyata di dalamnya terkandung unsur prinsip keadilan, yakni persamaan
antara sesama warga negara, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27. Sebagai berikut:
1. Semua warga negara bersamaan kedudukanna di dalam hukum dan pemerintahan dan

33
Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996),
h. 121.
34
Majid Khudduri, The Islamic Conception of Justice, diterjemahkan oleh: Mochtar Zoerni dan Joko S. Kahhar,
Teologi Keadilan Perspektif Islam (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h. 201.
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa kecuali. 2. Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian.35
Dua ayat dari Pasal 27 UUD 1945 tersebut, memberi petunjuk terhadap semua insan
yuridis yang berkiatan langsung atau tidak langsung bahwa setiap hukum yang ditetapkan
dan berlaku bagi negara ini, apakah itu berkaitan dengan hukum pidana atau perdata, tidak
bisa keluar dari koridor prinsip keadilan. Khusus bagi hakim yang menangani perkara di
pengadilan, tidak boleh keluar dari petunjuk yang digariskan oleh UUD 1945 tersebut
dengan cara memperlakukan sama pada setiap warga negara pencari keadilan. Misalnya
dalam praktik, masalah tempat duduk, penyebutan nama (tidak memberikan tambahan-
tambahan terhadap salah satu pihak yang menjadikannya merasa lebih terhormat),
keceriaan wajah, ksungguhan mendengar dan memikirkan ucapan kedua belah pihak.
Sikap hakim seperti ini adalah hal yang disyariatkan Allah swt. QS. al-Nisa’/4: 58.36
Praktik-praktik keadilan dalam hukum telah banyak dibuktikan dalam sejarah
kepemimpinan Islam. Rasulullah saw. dalam salah satu sabdanya “Demi Allah ! Sekiranya
Fatimah binti Muhammad mencuri pastilah aku memotong tangannya” 37. Sikap yang selalu
menerapkan prinsip keadilan seperti yang ditunjukkan Rasullah saw. yang sekalipun
anaknya sendiri beliau akan hukum kalau melakukan kesalahan, ditunjukkan pula oleh
salah seorang sahabatnya, yakni Umar bin Khattab ketika beliau menjadi khalifah atau
kepala negara. Khalifah Umar bin Khattab dalam Tindakan kepemimpinannya tidak
membedakan strata sosial rakyatnya, dan sangat senang berkumpul bersama dengan
rakyatnya. Beliau sangat benci kepada seseorang yang senang melebihkan seseorang atau
golongan manusia dengan merendahkan yang lain dalam setiap keputusan hukumnya,
karena menurutnya ketidak adilan terhadap sesama manusia itulah awal dari perpecahan
umat. Sebab itulah khalifah Umar diberi gelar “Hakim Islam” yang selalu menegakkan
pemerintahan demokrasi dan keadilan.38
Berbagai keterangan yang diuraikan di atas memberikan landasan dan arah berfikir
dalam berbuat, yakni bahwa tidak ada alasan sedikitpun yang dapat diterima kalau prinsip
keadilan tidak diterpkan ke dalam persoalan hukum. Dalam arti, sertiap penegak hukum
yang berada dalam lingkup formal, baik yang memeiliki wewenang membuat materi
hukum, dalam hal ini eksekutif dan legislatif maupun yang bertanggung jawab
mengoperasionalkan hukum di lapangan, yakni yudikatif atau hakim, jaksa dan kepolisian,
sangat dituntut menarapkan keadilan pada setiap tindakan hukum yang diambilnya. Hal
tersebut sangat dimungkinkan, karena dijamin dan memiliki landasan kuat dalam ajaran
Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, fakta sejaran kepemimpinan Islam, serta
memiliki dasar yuridis dalam kehidupan bernegara di Republik Indonesia, yaitu Undang-
Undang Dasar 1945.
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Munkar Sebagai Etika Politik Islam
Etika politik Islam mencakup nilai-nilai universal yang termaktub baik secara eksplisit
maupun implisit dalam Al-Quran dan Hadis, seperti nilai keberanian mengemukakan
kebenaran, kesabaran dalam mengakui kesalahan, dan toleransi dalam menghadapi
perbedaan pendapat dan gagasan. Semua nilai-nilai tersebut adalah turunan dari suatu
prinsip utama Amar Makruf Nahi Munkar. Dalam prinsip ini tiap warga negara akan
35
M. Solly Lubis. Pembahasan UUD 1945 (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 296..
36
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudui Atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 114
37
al-Imam Abi Husain Muslim al-Hujjaj al-Qusyair al-Naisabury, Shahih Muslim, Juz. II (Bairut: Dar al-Fikri,
1992), h. 47.
38
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid II (Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 32.
berhubungan dengan aktif dan mutual, saling memberikan masukan demi kemaslahatan
bersama.
Dalam Alquran, terdapat satu ayat sentral mengenai etika sosial-politik Islam yang
merupakan prinsip terbentuknya masyarakat Muslim yang berkeadaban yang terdapat
dalam surah Al-Taubah : 71

َ‫وْ ن‬ŠŠُ‫ ٰلوةَ َويُْؤ ت‬Š‫الص‬


َّ Šِ ْ‫ْض يَْأ ُمرُوْ نَ بِ ْال َم ْعرُو‬
َ‫وْ ن‬ŠŠ‫ف َويَ ْنهَوْ نَ ع َِن ْال ُم ْن َك ِر َويُقِ ْي ُم‬ ٍ ۘ ‫ضهُ ْم اَوْ لِيَ ۤا ُء بَع‬ ُ ‫ت بَ ْع‬Šُ ‫َو ْال ُمْؤ ِمنُوْ نَ َو ْال ُمْؤ ِم ٰن‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ۤ ٰ ُ‫ال َّز ٰكوةَ َويُ ِط ْيعُوْ نَ هّٰللا َ َو َرسُوْ لَهٗ ۗا‬
)71 :9/‫ ( التوبة‬٧١ ‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ِ ‫م ُ ۗاِ َّن َ ع‬Šُ ُ‫ك َسيَرْ َح ُمه‬ َ ‫ول ِٕى‬
Artinya: Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan
mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah/9:71)
Seakan menguatkan makna surat Ali Imran ayat 110 yang dikutip sebelumnya, ayat ini
menggambarkan bahwa ciri utama masyarakat Muslim adalah saling tolong menolong dan
menjalankan Amar Makruf Nahi Munkar, selain menegakkan salat dan menunaikan zakat.
Ayat ini bersama ayat-ayat lainnya menjadi pedoman bagi para individu-individu Muslim
dalam membentuk masyarakat kuat dan berkeadaban.
Menurut Bayyumi, ada beberapa nilai yang telah diajarkan oleh Islam dalam bernegara
namun jarang disadari, yang pada dasarnya semua itu berada dalam prinsip Amar Makruf
Nahi Munkar, di antaranya: pluralisme dan dialog (al-ta’addudiyyah wa al-hiwar), kritik
pemerintah (muhasabah al-sulthah), kewarganegaraan (almuawathanah), dan sebagainya.39
Semua nilai-nilai tersebut adalah bagian-bagian penting dari prinsip utama yang harus
saling menguatkan satu sama lain, sebagaimana nilai-nilai tersebut juga bersifat dinamis
sesuai dengan kondisi masyarakat yang juga dinamis.
Pada akhirnya, manusia tak dapat hidup sendiri karena ia merupakan makhluk sosial.
Dalam kehidupan sosial tersebut, manusia membentuk suatu pemerintahan yang bertujuan
untuk membentuk suatu masyarakat yang abadi dalam keadaan hak-hak para warga negara
terpenuhi. Sebagai makhluk sosial-politik, manusia dituntut untuk tetap memegang teguh
prinsip Amar Makruf Nahi Munkar. “Jika berkumpul dua orang atau lebih maka sudah
sewajarnya mereka saling ber-Amar Makruf Nahi Munkar. Itulah sebabnya kenapa salat
jamaah harus terdiri dari minimal dua orang, yang satu [berperan] sebagai imam dan yang
lainnya [berperan] sebagai makmum”40
Secara konkret, implementasi prinsip Amar Makruf Nahi Munkar dalam sebuah negara
di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Rapat dalam merumuskan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para
anggota dewan dipilih oleh rakyat untuk mengemban tugas membuat dan menguji
undang-undang yang nantinya akan diterapkan pada masyarakat. Karena itu dalam
perumusannya akan dilakukan dengan melalui rapat yang panjang dan beberapa kali uji
materi. Perdebatan yang terjadi dalam rapat ini merupakan contoh dari proses Amar
Makruf Nahi Munkar, artinya di dalam rapat akan terjadi demonstrasi antar gagasan
yang sama-sama dianggap baik (makruf), dan pada akhirnya nanti akan terpilih gagasan

39
Abd al-Mu’thi Muhammad Bayyumi, al-Islam wa al-Daulah alMadaniyyah, (Kairo: al-Hai’ah al-Mishriyyah
al-Ammah li al-Kitab, 2019).
40
Ibnu-Taimiyah, Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an alMunkar, (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid. 1976), h.66
dengan suara terbanyak yang diharapkan akan paling sesuai dengan maslahat
masyarakat.
b. Patroli polisi dalam mengamankan lalu lintas dan pengawalan demonstrasi serta
kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Polisi tak dapat diragukan lagi adalah tangan
pemerintah dalam menertibkan masyarakat. Patroli ini adalah bentuk Amar Makruf
Nahi Munkar di mana, misalnya, keamanan lalu lintas adalah hal yang makruf
sedangkan melanggar aturan lalu lintas adalah hal yang munkar. Begitu juga dalam hal
pengawalan ketika ter jadinya demonstrasi dan pengamanan ketika terjadi kerusuhan,
juga merupakan usaha dalam meminimalisir perbuatan-perbuatan anarkis dan tindakan
buruk lainnya (munkar).
c. Kegiatan-kegiatan ormas-ormas dan LSM-LSM dalam memberikan pelayanan bagi
masyarakat maupun kritik terhadap pemerintah. Hal ini adalah konsekuensi logis dari
diterapkannya sistem demokrasi, yakni memungkinkan adanya masyarakat yang saling
membantu dalam kebaikan dan memberi aspirasi kepada pemerintah dalam kaitannya
dengan kebijakan yang akan atau sedang dirumuskan. Ormas dan LSM di sini bergerak
ke dua arah, yakni (1) sesama masyarakat, yaitu dalam upaya mereka mengembangkan
masyarakat dalam bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi, yang juga merupakan
concern pemerintah; juga (2) kepada pemerintah, sebagai penyalur kritik konstruktif dan
aspirasi dari masyarakat. Tak diragukan lagi bahwa membimbing masyarakat dan
menyalurkan kritik kepada pemerintah adalah bentuk konkret dari prinsip Amar Makruf
Nahi Munkar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penetapan hukum dalam Islam tidak pernah meninggalkan aspek kemaslahatan bagi manusia
sesuai dengan prinsip maqadis syari’ah. Bukti-bukti tersebut tercermin dalam prinsip-prinsip
yang dituangkan dalam perumusan hukum Islam di atas. Di antara keutamaan mendasar dalam
hukum Islam terletak pada kesempurnaan segala hal yang dibutuhkan berupa kaidah-kaidah
dasar yang umum dan semua itu meliputi kebutuhan manusia baik pada masa sekarang maupun
masa yang akan datang. Kesempurnaan lain terletak pada keagungan prinsip sehingga tingkat
dan derajat manusiapun akan terangkat. Terakhir, nilai kesempurnaan terletak pada keabadian
dan kontinyuitas dimana nas-nas tidak dapat diubah ataupun diganti meskipun masa terus
berganti dengan demikian hukum Islam akan terus relevan di setiap ruang dan waktu.
B. Saran
Dengan segala keterbatasan ilmu dan sumber-sumber yang kami pelajari, kami dari tim
penyusun mengakui banyaknya kekurangan dan ketidaksempurnaan kami dalam penyusunan
makalah ini. Karenanya, kami mohon maaf dengan kerendahan hati senantiasa kami harapkan
kritik dan saran dari para rekan mahasiswa dan dosen guna menunjang perkembangan
pembuatan makalah kami ke depan, selanjutnya semua kami serahkan kepada Allah SWT selaku
pemilik ilmu ini dan Dia-lah dzat yang Maha Benar lagi Maha Sempurna.

Anda mungkin juga menyukai