Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

SYOK ANAFILAKTIK

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti


Program Dokter Internship Indonesia
Di Puskesmas Selat, Karangasem

Oleh :
dr. I Gede Okky Sukrasena

Pembimbing :
dr. Ketut Sadiarta

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS SELAT KARANGASEM
PROVINSI BALI
TAHUN 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karunia-Nya, penulisan laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Laporan kasus ini disusun dalam rangka mengikuti “Program Internsip
Dokter Indonesia” di Puskesmas Selat dan menambah wawasan kita tentang
bagaimana gejala, diagnosis dan tatalaksana terkait kasus ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis memperoleh dokter
pembimbing dalam membimbing dan memberi petunjuk, serta bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. dr. Ketut Sadiarta selaku pembimbing pembuatan laporan kasus ini.


2. Teman sejawat Dokter Internsip di Puskesmas Selat, serta semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan bantuan yang
telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam
masalah kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Karangasem, 26 Oktober 2022

Penulis
dr. I Gede Okky Sukrasena

2
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Balakang Masalah

Syok merupakan suatu sindroma klinik yang mempunyai ciri-ciri


berupa hipotensi, tachycardia, kulit yang terasa dingin, sianosis perifer,
hiperventilasi, perubahan status mental dan penurunan pembentukan urine.
Pada umumnya syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan
berkurangnya aliran darah, termasuk kelainan jantung (misalnya serangan
jantung atau gagal jantung), volume darah yang rendah (akibat perdarahan
hebat atau dehidrasi) atau perubahan pada pembuluh darah (misalnya karena
reaksi alergi atau infeksi). 1
Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi
imunologis (reaksi alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat
menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi
tersebut cukup hebat sehingga menimbulkan syok disebut sebagai syok
anafilaktik yang dapat berakibat fatal. 1,2
Angka kejadian anafilaksis diseluruh dunia tidak sepenuhnya
diketahui, hal ini dikarenakan “under-recognition” dari pasien dan paramedis
serta “under diagnosis” dari tenaga medis professional. Menurut the
American college of allergy,asthma and immunology epidemiology of
anaphylaxis, insiden terjadinya anafilaksis didunia berkisar antara 30 – 950
kasus per 100.000 orang tiap tahunnya. Insiden anafilaksis sangat bervariasi,
di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara
1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik
golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan
obat. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus
anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005

1
dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4
kasus/10.000 total pasien anafilaksis.1,2
Ditingkat pelayanan dasar, anafilaksis sering diartikan sebagai
penyebab kematian yang tidak diketahui. Kematian oleh karena anafilaksis
sering tidak terdiagnosis dikarenakan tidak adanya riwayat yang detail dari
saksi mata, investigasi kematian yang kurang lengkap , temuan patologi pada
pemeriksaan post-mortem yang sedikit dan kurangnya pemeriksaan
laboratorium yang spesifik. Oleh karena itu syok anafilaktik adalah suatu
tragedi dalam dunia kedokteran, yang membutuhkan pertolongan cepat dan
tepat. Tanpa pertolongan yang cepat dan tepat, keadaan ini dapat
menimbulkan malapetaka yang berakibat ganda. Disatu pihak penderita dapat
meninggal seketika, dilain pihak dokternya dapat dikenai sanksi hukum yang
digolongkan sebagai kelalaian atau malpratice.. Untuk itu diperlukan
pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik. 1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. SYOK
A. DEFINISI
Syok adalah suatu keadaan dimana pasokan darah tidak
mencukupi untuk kebutuhan organ-organ di dalam tubuh. Syok juga
didefinisikan sebagai gangguan sirkulasi yang mengakibatkan penurunan
kritis perfusi jaringan vital atau menurunnya volume darah yang
bersirkulasi secara efektif dan biasanya berhubungan dengan tekanan
darah rendah serta kematian sel maupun jaringan.1
B. KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI SYOK
Berdasarkan penyebabnya, ada beberapa macam syok yang cukup
sederhana dan mudah dipahami. Ada empat kategori syok, tujuan dari
pembagian ini adalah untuk mempermudah diagnosa hemodinamiknya
sehingga terapi yang tepat dapat dilakukan sebelum diagnosa klinis dapat
ditegakkan. Klasifikasi syok tersebut antara lain sebagai berikut 1,2 :
1) Syok hipovolemik
Disebabkan oleh kehilangan volume akut sebesar ≥20-25% dari volume
darah yang beredar.
2) Syok kardiogenik
Syok yang disebabkan kegagalan jantung, metabolisme miokard. Apabila
lebih dari 40% miokard ventrikel mengalami gangguan, maka akan
tampak gangguan fungsi vital dan kolaps kardiovaskular.
3) Syok distributif
Terjadinya gangguan distribusi aliran darah, pada seseorang yang sehat
mendadak timbul demam tinggi dan keadaan umum memburuk setelah
dilakukan tindakan instrumentasi atau prosedur invasif. Syok distributif

3
dikenali dari penurunan denyut vaskular akibat vasodilatasi arterial,
venous pooling, dan redistribusi aliran darah. Hal ini dapat disebabkan
oleh bakteria hidup dan produk mereka dalam syok septik, berbagai
macam bahan vasoaktif dalam syok anafilaktik, atau karena hilangnya
denyut vaskular dalam syok neurogenik.
4) Syok obstruktif
Terjadinya gangguan anatomis dari aliran darah berupa hambatan aliran
darah pada arus balik vena dan tau aliran ke jantung.
Tipe Gangguan Sirkulasi Primer Penyebab
Hipovolemik Penurunan volume darah sistemik Perdarahan
Diare
Diabetes Mellitus
Luka bakar
Distributif Vasodilatasi- Venous Pooling-Penurunan Sepsis
preload
Maldistribusi dari aliran darah regional Anafilaksis
Cidera spinal – Syok neurogenik
Intoksikasi obat-obatan
Kardiogenik Penurunan kontraktilitas otot jantung Penyakit jantung kongenital
Aritmia
Cidera hipoksik / iskemik
Kardiomiopati
Gangguan metabolik
Miokarditis
Intoksikasi obat
Kawasaki disease
Obstruktif Obstruksi mekanik terhadap pengisian Tamponade jantung
ventrikel maupun aliran keluar Emboli paru masif
Tension pneumothorax

C. GEJALA DAN TANDA


1) Gejala Syok
Gejala yang timbul tergantung kepada penyebab dan jenis syok.
Namun secara umum, gejalanya bisa berupa: 3

4
 Perubahan satus mental , dapat gelisah
 Nyeri kepala
 Nyeri dada, sesak nafas
 Nyeri abdomen
 Hematochezia
2) Tanda
 Hemodinamik tidak stabil, dapat berupa hipotensi, sistolik
<90mmHg, MAP <60 mmHg atau penurunan sistolik>40mmHg
dari garis batas tekanan darah
 Iskemia dalam EKG
 Penurun jumlah urin atau oligouri
 Peningkatan konsentrasi urea dan creatinin
 Akral dingin, cappillary refill > 3 detik
Tanda-tanda syok sesuai jenis syok
Syok Syok
Syok Kardiogenik
Hipovolemik Distributif
Tekanan darah ↓ ↓ ↑
Nadi ↑ ↑/↓ ↑
CVP ↓ ↑ ↓
Cardiac ↓ / ↑/↓
Arterio-venous O2-diff ↑ ↑ ↓
Laktat ↑ ↑ ↑

Stadium Syok
1) Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti
kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup
lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan
yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin
normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau
ringan

5
2) Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus,
ginjal). Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih
lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat
oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan
tetapi kesadaran relatif masih baik.
3) Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi
syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada
syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi
oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda
hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung menurun).

Gangguan Hemodinamika Pada Syok

SYOK Penurunan Tubuh melakukan


Perfusi ke jaringan kompensasi

AUTOREGULASI Peningkatan
Symphato-adrenal

Kemampuan organ-organ vital Vasokonstriksi


Arteriole
(Otak, Jantung, Ginjal)
Pe↑ Tekanan Darah
Tujuan : Agar aliran darah tetap baik
( meskipun terjadi pe↓ Tekanan Darah )

Terjadi Arteriosklerosis
(Pada kulit, otot skelet)

6
* Proses tersebut berlanjut :
Terjadi Hemokonsentrasi  Viskositas darah meningkat  Agregasi Eritrosit
dan Trombosit , dan terjadi anoxia kemudian infark jaringan. Terdapat fibrin
intravaskuler  Aktivasi fibrinolisis  ”Bleeding Diathesis”
* Proses koagulasi intravaskuler ini bisa terjadi di semua jaringan tetapi yang
mudah terkena adalah organ : Paru-paru, Liver dan Ginjal
Pelepasan Zat-zat Vasoaktif
A. Syok  Melepaskan zat-zat vasoaktif antara lain :
- Katekolamin
- Histamin
- Prostaglandin
- Angiotensin I
B. Syok + Cardiac output yang normal/tinggi (Syok Septik)  Melepaskan
zat-zat vasoaktif, antara lain :
- Plasmakinin
- Histamin Peningkatan permeabilitas kapiler
- Prostaglandin E
Vasodilatasi
+
Transudasi IVF
C. Syok Perdarahan  Peningkatan tekanan perifer  Zat-zat vasoaktif :
- Katekolamin
- Angiotensin
Gangguan Metabolisme Seluler
Pembentukan ATP menurun
Proses metabolisme oksidatif
Hipoksemia Permeabilitas dinding sel
(di dalam sel) terganggu
meningkat

Aktivasi piruvat
Laktase shunt Mekanisme sodium-pump terganggu

Asam laktat terbentuk Na+ masuk, K+ keluar

7
Sel membengkak

Dinding lisosom pecah

”Autodigestion”
Pengaruh Terhadap Jantung
Gagal jantung akut  karena pankreas yg mengalami iskemia
Syok
Infark Myokard  Pengaruh endotoksin terhadap sel myokard
Pengaruh Terhadap Paru-paru
Syok

Perfusi ↓

Dead space ventilation Gagal jantung kiri Produksi surfaktan ↓


&
Hipoventilasi Permeabilitas kapiler ↑ Intra Pulmonary Shunting

ARDS Oedema paru

Pengaruh Terhadap Ginjal

Penurunan perfusi yang Iskemia ginjal Gagal ginjal akut


terus menerus

Tanda – tanda :
 Produksi urine menurun
 Urea darah meningkat
 Konsentrasi Na+ > 20 mEq/L

Renin
Angiotensin I Angiotensin II

8
Produksi Aldosteron

Kadar Natrium + Air (Cukup)

II. SYOK ANAFILAKSIS


A. DEFINISI
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik
dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang
seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata
lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).1
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang berat yang
diperantarai oleh IgE (Hipersensitivitas tipe 1) yang mengancam jiwa dan
menimbulkan gejala sistemik / generalisata. Reaksi ini ditandai dengan
gangguan pada airway, breathing dan circulation yang mengancam jiwa
dan berkembang dengan cepat. Syok anafilaktik merupakan salah satu
manifestasi klinik dari anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi
yang nyata dan kolaps sirkulasi darah sehingga perfusi dan oksigenasi ke
jaringan tidak adekuat yang didahului dengan terpaparnya alergen yang
sebelumnya sudah tersensitisasi.
Menurut WHO pada tahun 2003, anafilaksis adalah reaksi
hipersensitivitas generalista atau sistemik yang berat dan mengancam
kehidupan. Anafilaksis sendiri dibagi menjadi tiga, alergi, non alergi, dan
idiopatik.Anafilaksis alergi terjadi bila diperantarai suatu mekanisme
imunologi, diperantarai IgE, atau diperantarai antibodi-IgE. Sedangkan
anafilaksis non alergi atau pseudo alergi(atau anafilaktoid) diperantarai
penyebab non imunologi. Sedangkan anafilaksis idiopatik, yaitu
anafilaksis yang tidak diketahui penyebabnya. 2
B. FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis
adalah: 1,3

9
 Sifat alergen,
 Asma
Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari
90%kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma

 Jalur pemberian obat


Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral
lebih sedikit kemungkinannyamenimbulkan reaksi dan kalaupun ada
biasanya tidak berat, meskipunreaksi fatal dapat terjadi pada seseorang
yang memang alergi setelahmenelan makanan. Selain itu, semakin lama
interval pajanan pertama dankedua, semakin kecil kemungkinan reaksi
anafilaksis akan muncul kembali.Hal ini berhubungan dengan katabolisme
dan penurunan sintesis dari IgEspesifik seiring waktu.
 Riwayat atopi
Pada studi berbasis populasi di OlmstedCounty, 53% dari pasien
anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan
bahwa atopi merupakan faktor risiko untukreaksi anfilaksis terhadap
makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik, anafilaksis
idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan reaksiterhadap latex.
Sementara, hal ini tidak didapati pada reaksi terhadappenisilin dan gigitan
serangga.
 Kesinambungan paparan alergen.
Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis
adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang,
kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur,
dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi
anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti
antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot,
aspirin, NSAID, opioid,OAT, vitamin B1, asam folat, agen kometerapi
seperti carboplatin dan doxorubicin serta agen biologis seperti antibody
monoclonal, selain itu dapat juga disebabkan oleh obat-obatan herbal.

10
Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian
media kontras untuk pemeriksaan radiologic. Media kontras menyebabkan
reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 % dan reaksi yang fatal terjadi
antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedure intravena. Kasus berkurang
setelah dipakainya media kontras yang hyperosmolar.selain itu
imunoterapi dan uji kulit (terutama intradermal) juga dapat berpotensi
menyebabkan anafilaksis. Lateks (Natural Rubber Latex) yang terdapat
pada peralatan medis seperti masker, endotracheal tube, sarung tangan
juga dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.
Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid

C. PATOFISIOLOGI
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam
hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis
melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi
merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan
ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala. 2,3
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang

11
membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe
Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe
Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor
IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan. Reaksi
anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran
IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat
kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi
komplemen. 2,3
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau
saluran makan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadisel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi
Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk
alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat
oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah
preformed mediators. 2,3
Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

12
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat
dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan
prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang
disebut newly formed mediators.
Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil
dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler
yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi.
Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF)
berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan
menyebabkan bronkokonstriksi.4
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak
menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran
darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah
jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada

13
hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok
yang membahayakan penderita.4
Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Kadar dan Grade Histamin

Histamine (ng/ml) Biological Activities


0-1 Tidak ada reaksi
1-2 Meningkatkan sekresi asam lambung
3-5 Takikardi, reaksi pada kulit (urtikaria,dll)
6-8 Turunnya tekanan arteri
9-12 Spasme bronkus
>100 Cardiac arrest

Derajat dan Tanda Klinis akibat meningkatnya kadar histamine


Derajat Tanda Klinis
I Tanda kutaneus-mukus : eritema, urtikaria dengan atau tanpa angioderma.
II Tanda multiviseral moderat : tanda kutaneus-mukus ± hipotensi ± takikardi ±
dispneu ± gangguan gastrointestinal.
III Tanda mono/multiviseral yang mengancam jiwa : kolaps kardiovaskular, takikardi
atau bradikardi ± cardiac disrythmia ± bronkospasme ± tanda muco-kutaneus
±gangguan gastrointestinal.
IV Cardiac arrest

14
Patofisiologi

Sel B naive Alergen


(membran monomer
IgG & IgM)
Ditangkap makrofag

Berubah menjadi Antigen Presenting Cell (APC)

Sel Th 2 (helper)
Diperkenalkan ke sel B naive

Sel B naive berikatan dengan antigen dan sel Th 2


Sel B naive berubah
Th 2 mengeluarkan sitokin tipe 2 (IL-4, IL-10) menjadi sel plasma

Mengubah membran monomer IgG dan IgM pada sel B naive menjadi IgE

IgE terlepas dari sel B dan menempel pada FcεR di sel Mast

Paparan ulang alergen Fase sensitisasi

15
Alergen menempel pada IgE yang satu dengan yang lainnya

Terjadi Crosslink pada sel Mast

Eksositosis mediator inflamasi histamin, eosinophil chemotactic factor of


anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF) oleh sel Mast

Manifestasi klinis Fase efektor

Hipotensi, pusing, kemerahan, takikardia, sesak, peningkatan sekresi mukus


pada jalan nafas, gatal, hidung tersumbat

D. DIAGNOSIS

1) Anamnesis

a. Onset

Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat
yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan
allergen, reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar
dengan allergen,serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah
terpapar dengan allergen. Namun pada umumnya berlangsung cepat
dan bersifat mendadak. 1,2

b. Riwayat konsumsi makanan susu, telur, gandum, kedelai. Kemudian


kacang tanah, kacang kenari, ikan, kerang.
c. Riwayat konsumsi obat-obatan seperti antibiotik, analgetik, golongan
opiat, foto kontras.
d. Riwayat terkena racun hewan seperti sengatan lebah, gigitan ular.
e. Riwayat penyakit jantung congenital

16
f. Riwayat diare atau muntah-muntah hebat

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat,


tetapi kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan,
anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat.
 Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi
hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti
hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata
berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah
pemajanan.
 Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk
dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga
sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.
 Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-
tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas
disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring,
dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada
abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma
jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia
ventrikel atau renjatan yang irreversible. 1,2

2) Pemeriksaan Fisik

a. Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang


berlebihan.
b. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di
bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak.
c. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat
atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
d. Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,
penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal

17
nafas, dan penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas yang
komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis.
Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu
karena bronkospasme atau edema mukosa.
e. Penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan pada
susunan saraf pusat.
f. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat,
keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran
endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan
aritmia.
g. Pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan
pengeluaran urine (oligouri atau anuri)
3) Pemeriksaan Penunjang

a. Hematologi rutin: hemokonsentrasi, eosinofilia


b. Foto thoraks: hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis yang
disebabkan mukus di jalan nafas
c. EKG: konduksi yang abnormal, atrial atau disritmia ventrikular,
perubahan gelombang ST-T karena iskemia miokardial atau jejas, dan
kor pulmonale akut.
d. Plasma histamine dan serum tryptase meningkat
e. Diagnostik imunologis: untuk menentukan diagnosis, diperlukan
berbagai tes immunologis untuk mengetahui ada atau tidak adanya
IgE antibody, diantaranya yaitu:
o Skin test
o Wheal and Flare skin test
o Test prick
o RAST (radioallergosorbent test)
f. Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,
gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem
hematologi. Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan

18
metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensiinsulin, disfungsi
tiroid, dan perubahan status mental.
g. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi
anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat.
h. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak,
disfungsi mitokondria. 1,2

Organ Systems Signs and Symptoms

Cardiovascular Hypotension, tachycardia, arrhythmias

Pulmonary Bronchospasm, cough, dyspnea, pulmonary edema,

laryngeal edema, hypoxia

Dermatogical Urticaria, facial edema, pruritus

Diagnosis Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan


2 organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu
menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and
Immunology telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya
(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,
pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF,
hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-
bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-
lidah- uvula); Respiratory compromise (misalnya sesaknafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau
gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala

19
gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).
Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%
dari tekanan darah awal

E. TATALAKSANA

Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen


baik peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting
dilakukanadalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen
yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita
pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah
jantung dan menaikkan tekanan darah. Torniquet, pasang torniquet di bagian
proksimal daerah masuknya obat atau sengatan hewan longgarkan 1-2 menit
tiap 10 menit. Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan
circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan
bantuan hidup dasar. 1

1) Airway

Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama
sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur
agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik

20
mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan
napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.

2) Breathing
Segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-
tanda bernapas spontan, melalui hidung atau mulut 5-10 liter /menit bila
tidak bia persiapkandari mulut kemulut. Pada syok anafilaktik yang
disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas
total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial,
selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas
dan oksigen 5-10 liter/menit.
3) Circulation
Bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Pasang cathether intra
vena (infus) dengan cairan elektrolit seimbang atau Nacl fisiologis, 0,5
smpai 1 liter  dalam 30 menit (dosis dewasa) monitoring dengan tensi
dan produksi urine Pertahankan tekanan darah sistole >100mmHg
diberikan 2-3L/m2 luas tubuh /24 jam. Bila < 100mmHg beri vasopressor
(Dopamin), tensi tak terukur 20 cc/kg. Apabila sistole < 100 mmHg 500
cc/30menit jam dan apabila sistole > 100 mmHg 500 cc/ 1 Jam. Bila
perlu pasang CVP

Medikamentosa
a. Adrenalin 1:1000, 0,3 –0,5 ml SC/IM lengan atas , paha,
sekitar lesi pada venom .Dapat diulang 2-3 x dengan selang waktu 15-30
menit, Pemberian IV pada stadium terminal / pemberian dengan dosis1 ml
gagal , 1:1000 dilarutkan dalam 9 ml garam faali diberikan 1-2 ml selama
5-20 menit (anak 0,1 cc/kg BB).
b. Diphenhidramin IV pelan (+ 20 detik ) ,IM atau PO (1-2
mg/kg BB) sampai 50 mg dosis tunggal, PO dapat dilanjutkan tiap 6 jam

21
selama 48 jam bila tetap sesak + hipotensi  segera rujuk, (anak :1-2 mg
/kgBB/ IV) maximal 200mg IV.
c. Aminophilin, bila ada spasme bronchus beri 4-6 mg/ kg
BB dilarutkan dalam 10 ml garam faali atau D5, IV selama 20 menit
dilanjutkan 0,2 –1,2 mg/kg/jam.
d. Corticosteroid 5-20 mg/kg BB dilanjutkan 2-5 mg/kg
selama 4-6 jam, pemberian selama 72 jam .Hidrocortison IV, beri
cimetidin 300mg setelah 3-5 menit.1

22
23
F. PROGNOSIS

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip


kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun
reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen
spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya
serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih
luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut,
yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru
obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan
yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu
dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan
injeksi adrenalin.

24
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : IKPS
Tanggal Lahir : 2 desember 1970
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Duda
MRS :-
Tanggal Pemeriksaan : 13 september 2022
Nomor Rekam Medis : -

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Gatal
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat Puskesmas Selat diantar oleh
keluarganya pada tanggal 13 september 2022 pukul 21.51 WITA dengan keluhan
gatal-gatal pada seluruh tubuh, Pasien juga merasakan lemas dan sempat pingsan
di rumah, kurang lebih satu menit. Semua keluhan ini terjadi mendadak. Satu jam
sebelum kejadian pasien mengkonsumsi kapsul obat tawon liar. Obat lain yang
dikonsumsi: mirasic (paracetamol), primavon (antibiotik sulfa + trimetoprim),
dexanta (obat maag)

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada. Riwayat alergi makanan/
obat-obatan tidak ada. Riwayat asma tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga

25
Keluarga pasien dikatakan tidak ada yang mengalami keluhan serupa.
Riwayat penyakit asma disangkal

Riwayat Pengobatan
Pasien sebelum kejadian ini, sudah sempat berobat ke perawat dan diberikan
obat obat penurun demam, antibiotik, dan obat maag

Riwayat Pribadi, Sosial, dan Lingkungan


Pasien masuk puskesmas menggunakan jaminan kesehatan nasional.
Dengan pekerjaan pasien sebagai petani.

3.3 Pemeriksaan Fisik (13/09/2022)


Status Present
Kesan Umum : Tampak lemas
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 85/60 mmhg
Nadi : 61 kali/menit, regular
Respirasi : 20 kali/menit, regular
Suhu Aksila : 35°C
Saturasi Oksigen : 95% dengan 02 nasal

Status General
Kepala : normosepali
Mata : konjungtiva pucat (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor,
edema palpebra (-/-),
Leher : pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (-),
Thoraks
Cor

26
Inspeksi : precordial bulging (-), iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba, kuat angkat (-), thrill (-)
Auskultasi : S1S2 normal regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : bentuk normal, gerakan dinding dada simetris saat statis dan
dinamis, retraksi (-)
Palpasi : gerakan dinding dada teraba simetris, nyeri tekan (-)
Perkusi : suara sonor (+/+)
Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat, hepar tidak teraba,
lien tidak teraba, massa tidak ada
Perkusi : timpani (+), shifting dullness (-).
Extremitas : akral hangat (+), sianosis (-), edema (-), CRT < 2 detik
Status Dermatologis :

Lokasi : Seluruh tubuh

Tampak urtikaria pada tangan, kaki, dan badan pasien ukuran bervariasi mulai
diameter 1 cm hingga diameter 2 cm, multipel, beberapa berkonfluen menjadi
satu.

3.4 Pemeriksaan Penunjang


GDS: 195

3.5 Diagnosis

Syok Anafilaktik

27
3.6 Penatalaksanaan

- IVFD RL 1 flash ~ 28 tpm


- Dexamethasone 1 amp
- Epinephrine 0,3 ml sc
- O2 Nasal Kanul 5 lpm
- Pasien dirujuk ke RSUD Karangasem untuk mendapatkan penanganan
lebih lanjut.

3.8 Prognosis

Ad vitam : dubius ad bonam


Ad fungsionam : dubius ad bonam
Ad sanationam : dubius ad bonam

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Jatmiko Dwi H. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi


Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/ RSUP Dr.Kariadi, Semarang. 2010

2. Muhiman, Muhardi, dkk, Anestesiologi, Staf Pengajar Bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif, Penerbit : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, Cetakan Pertama, 1989.

3. Omoigui, Sota, Buku Saku Obat-obatan Anestesia, Edisi ke-II, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Cetakan Pertama, Tahun 1997.

4. Price Sylvia, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Edisi 6. EGC,


Jakarta, 2006

29

Anda mungkin juga menyukai