Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PENGANTAR ILMU HUKUM

PENEMUAN HUKUM DAN PEMBENTUKAN HUKUM

DOSEN PENGAMPU

Ubaidillah Kamal S. Pd., M. H.

DISUSUN OLEH

30. Maulana Akhyar (8111422353)

35. Najwa Ailiya Lantip (8111422361)

47. Keisha Viandita Sugiyanto (8111422373)

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2022

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
KATA PENGANTAR 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Metode Penulisan 5
1.4 Tujuan Masalah 5
1.5 Manfaat 6
BAB II 7
PEMBAHASAN 7
2.1 Penemuan Hukum 7
2.1.1 Pengertian Penemuan Hukum 7
2.1.2 Peristilahan yang sering dikaitkan dengan penemuan Hukum 7
2.1.3 Pembentukan Hukum oleh Hakim 8
2.1.4 Penafsiran Hukum 9
2.1.5 Pengisian Kekosongan Hukum 11
2.1.6 Instrumen Pembentukan Hukum 13
BAB III 15
PENUTUP 15
Kesimpulan 15
Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 17

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa berkumpul bersama-sama di Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang dan bisa mengerjakan tugas makalah mata kuliah pengantar
ilmu hukum bersama dengan baik dan lancar. Proses mempelajari sebuah Ilmu selalu dimulai
dengan pengantar atau pengenalan, seperti hal-nya ilmu hukum, mengenal ilmu hukum secara
historis mulai dari penemuan hukum dan pembentukan hukum perlu untuk dipelajari.

Tugas makalah ini kami susun dengan harapan bisa menambah wawasan dan
pengetahuan tentang penemuan hukum dan pembentukan hukum. Semoga dengan makalah
yang kami susun ini bisa menaikan ilmu pengetahuan kita menjadi lebih luas lagi.

Kami sebagai penyusun juga menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pada diri
kami dalam menyusun makalah ini. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik serta saran akan sangat membantu kami
guna kesempurnaan makalah kami. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Ubaidillah
Kamal S. Pd., M. H. sebagai dosen pengampu mata kuliah pengantar ilmu hukum dan kepada
kawan-kawan yang turut menolong dalam penyelesaian makalah ini. Atas perhatian serta
waktu, Kami sampaikan banyak terima kasih.

Semarang, September 2022

Tim penyusun

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Aristoteles, hukum adalah kumpulan aturan yang dapat mengikat dan
berlaku pada masyarakat saja, tapi juga berlaku pada hakim itu sendiri. Sebenarnya,
pengertian dari ilmu hukum itu sangat luas, karena setiap ahli hukum memiliki batasan yang
berbeda mengenai pengertian ilmu hukum. Hukum bertujuan untuk mencapai ketertiban
bersama dalam suatu masyarakat. Dalam masyarakat, hukum sangat diperlukan keberadaanya
sebagai social control. Maksud dari social control adalah bagaimana hukum ini mengatur
kehidupan sosial masyarakat, menciptakan ketertiban dan terwujudnya keadilan sosial.

Kita ambil perumpamaan hukum di negara kita, Indonesia merupakan suatu negara
dengan masyarakat yang heterogen (pluralistik). Heterogenitas ini berpengaruh kepada
masyarakat, setiap masyarakat memiliki kepentingan yang dimana kepentingan itu memiliki
kemungkinan persamaan dan juga perbedaan, sehingga tak jarang terjadi konflik. Gangguan
kepentingan atau konflik harus dicegah atau tidak bisa dibiarkan, karena mengganggu
keseimbangan tatanan dalam masyarakat. Fungsi dan kaidah hukum sangat diperlukan untuk
melindungi kepentingan manusia. Hukum dan manusia adalah hal yang tidak dapat
dipisahkan. Dimana ada masyarakat disana pasti ada hukum.

Namun apakah hukum itu tercipta dengan sendirinya? Hukum sendiri tercipta karena
adanya sebuah kepentingan bersama antara manusia satu dengan yang lain. Hukum diartikan
sebagai keputusan hukum (pengadilan), yang menjadi pokok masalah adalah tugas dan
kewajiban hakim mengenai tugas dan kewajiban hakim, karena dalam penegakan hukum.
Hakim mempunyai peran sentral, hakim melakukan penerapan hukum yang abstrak dan
sifatnya konkret dalam mencari apa yang menjadi hukum, hakim bisa dianggap sebagai salah
satu faktor pembentuk hukum.

4
1.2 Rumusan Masalah

Penulis telah menyusun rangkaian permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah
ini. Adapun permasalahan yang hendak dibahas adalah sebagai berikut:

1) Apa itu penemuan dan pembentukan hukum?

2) Bagaimana proses penemuan dan pembentukan hukum?

3) Apa yang mempengaruhi penemuan dan pembentukan hukum?

4) Siapa yang bisa melakukan penemuan dan pembentukan hukum?

5) Bagaimana tafsir dari penemuan dan pembentukan hukum?

1.3 Metode Penulisan

Data dan informasi yang mendukung penulisan makalah dilakukan dengan


penelusuran karya ilmiah, pencarian sumber-sumber yang relevan dan pencarian data melalui
internet. Data dan informasi yang digunakan yaitu jurnal, buku, dan beberapa pustaka yang
relevan. Beberapa data dan informasi yang diperoleh pada tahap pengumpulan data,
kemudian diolah dengan menggunakan suatu metode analisis deskriptif berdasarkan data
sekunder.

1.4 Tujuan Masalah

Bersumber dari rumusan permasalahan yang telat disusun penulis di atas, maka tujuan
dari makalah ini antara lain:

1) Untuk mengetahui apa itu sebenarnya penemuan dan pembentukan hukum?

2) Untuk mengetahui lebih lanjut tentang penemuan dan pembentukan hukum?

3) Untuk mengetahui bagaimana proses pembentukan hukum?

5
4) Untuk mengetahui siapa saja pihak yang berwenang untuk melakukan pembentukan
hukum?

1.5 Manfaat

Makalah ini disusun dengan harapan dapat memaparkan bagaimana proses


pembentukan dan penemuan hukum. Selain itu, diharapkan dengan penyusunan makalah ini
dapat menjadi acuan dalam menambah wawasan terkait perkembangan dan pengetahuan
mengenai proses pembentukan dan penemuan ilmu hukum di Indonesia. Makalah ini juga
diharapkan dapat memberikan bagaimana tanggung jawab seorang hakim dalam membuat
putusan.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penemuan Hukum

2.1.1 Pengertian Penemuan Hukum

Pengertian penemuan hukum sendiri terdapat pendapat bahwa penemuan hukum oleh
hakim merupakan hal yang lain dari penerapan pada peraturan-peraturan pada peristiwa nya,
kadang dan bahkan sering terjadi bahwa peraturan harus ditemukan, baik dengan jalan
interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtsvervijning (pengkonkretan hukum).

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa “Penemuan hukum merupakan


pembentukan hukum oleh Hakim atau petugas-petugas hukum terhadap peristiwa-peristiwa
hukum yang konkrit. Dengan kata lain, merupakan proses konkretisasi dan individualisasi
peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit
(das sein) tertentu. Yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencairkan atau
menemukan hukum untuk peristiwa konkret.

2.1.2 Peristilahan yang sering dikaitkan dengan penemuan Hukum

1. Rechtstoepassing (Penerapan Hukum) yaitu menerapkan peraturan hukum yang


abstrak sifatnya pada peristiwanya. Untuk itu peristiwa konkret harus dijadikan
peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat ditetapkan
2. Rechtsvorming (Pembentukan Hukum) yaitu, menentukan Hukum yang kemudian
berlaku terhadap semua orang.
3. Rechtshandhaving (Pelaksanaan Hukum) bisa diartikan, menjalankan hukum, baik
sengketa maupun tidak.
4. Rechtschepping (Penciptaan Hukum) berarti bahwa hukum sama sekali tidak ada dan
kemudian diciptakan, keadaan dari tidak ada menjadi ada.
5. Rechtsvinding (Penemuan Hukum), dalam arti bahwa hukum sebenarnya sudah ada
hanya saja perlu digali dan ditemukan.

7
2.1.3 Pembentukan Hukum oleh Hakim

Hakim merupakan faktor pembentuk hukum. Dalam pembelajaran tentang sumber-


sumber hukum dijelaskan berdasarkan Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
indonesia, bahwa Keputusan Hakim diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian
oleh peraturan-perundangan telah diakui bahwa pekerjaan Hakim merupakan faktor
pembentuk undang-undang.

Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan
perundangan tidak menyebutkan sesuatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang
terjadi. Dengan kata lain, bahwa Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang
konkrit, oleh karena peraturan tidak dapat mencangkup segala peristiwa hukum yang terjadi
di masyarakat.

Oleh karena hakim turut menemukan mana yang merupakan hukum dan mana yang
bukan Hukum, Prof. Mr Paul Scholten mengatakan bahwa hakim itu menjalankan
“rechtsvinding” (turut menemukan hukum). Akan tetapi, meskipun memiliki kemampuan
untuk menciptakan undang-undang Hakim bukan merupakan pemegang kekuasaan legislatif,
melainkan tanggung jawab itu dimiliki oleh Lembaga Legislatif yakni MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat). Lembaga legislatif memiliki kekuasaan untuk membuat hukum
dan menetapkannya. Keputusan hakim tidak memiliki kekuatan Hukum seperti peraturan
umum. Tetapi hanya berlaku untuk pihak- pihak yang bersangkutan.

Hal ini juga bahwa “Hakim tidak dapat memberi keputusan yang nantinya akan
berlaku sebagai peraturan umum", ditegaskan dalam Pasal 21 AB, lebih dalam lagi hal ini
juga ditegaskan dalam undang-undang Hukum sipil Pasal 191 Ayat 1 didalamnya tertulis
bahwa Keputusan Hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan
itu”.

8
2.1.4 Penafsiran Hukum

Apabila suatu undang-undang isinya tidak jelas maka sudah menjadi kewajiban
Hakim untuk menafsirkannya, sehingga dapat diberi keputusan yang adil sesuai maksud
Hukum, yakni mencapai kepastian Hukum. Namun demikian, untuk menafsirkan atau
menambah isi dan pengertian peraturan-perundangan tidak dapat dilakukan secara sewenang-
wenang dan harus sesuai dengan kenyataan dalam hidup masyarakat, maka dari itu
diperlukan beberapa cara penafsiran perundang-undangan.

Dengan adanya kodifikasi, hukum menjadi beku, statis, dan sungkar berubah. Adapun
pihak yang melaksanakan hukum adalah Hakim, karena Hakim berkewajiban menegakan
hukum ditengah-tengah masyarakat.

Walaupun kodifikasi telat diatur selengkap-lengkapnya, namun tetap saja kurang


sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan dan sulit dalam pelaksanaannya. Karena
pada saat kodifikasi dilakukan masih banyak hal yang belum ada atau dikenal. Oleh karena
itu hukum bersifat dinamis, maka Hakim hanya memandang kodifikasi sebagai suatu
pedoman agar ada kepastian hukum , sedangkan dalam memberi keputusan Hakim harus
mempertimbangkan dan mengingat keadaan yang ada di dalam masyarakat.

Dengan demikian maka akan ada keluasan hukum, dan untuk itu perlu diadakan
penafsiran hukum. Ada beberapa macam penafsiran hukum, antara lain:

1. Penafsiran tata bahasa (gramatikal).


Pada Penafsiran tata bahasa (gramatika), yakni cara penafsiran
berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan pedoman pada arti
perkataan-perkataan yang dipakai oleh undang-undang, yang dianut sepata-
mata menurut kebiasaan. Sebagai contoh: peraturan perundangan melarang
orang memarkirkan kendaraan pada tempat tertentu. Peraturan tidak
menjelaskan apa yang dimaksud “kendaraan”. Seringkali keterangan di kamus
belum mencukupi, maka hakim harus mencari kata-kata yang bersangkutan
dalam susunan kata-kata atau hubungannya dengan peraturan-peraturan lain.
2. Penafsiran sahih (autentik/resmi).
Penafsiran autentik adalah penafsiran yang dilakukan berdasarkan
pengertian yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Sebagai contoh,

9
dalam Pasal 98 KUHP; “malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan
matahari terbit.
3. Penafsiran historis.
Penafsiran historis dilakukan berdasarkan:
● Sejarah hukumnya, yaitu berdasarkan sejarah terjadinya hukum
tersebut. Sejarah terjadinya dapat diselidiki dari memori penjelasan ,
laporan-laporan dalam DPR, dan surat-menyurat antara menteri dan
komisi DPR yang bersangkutan.
● Sejarah undang-undangnya, yaitu dengan menyelidiki maksud
pembentuk undang-undang pada saat membentuk undang-undang
tersebut.
4. Penafsiran sistematis.
Penafsiran sistematis dilakukan dengan meninjau susunan yang
berhubungan dengan pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-undang yang
sama maupun dengan undang-undang yang lain.
5. Penafsiran nasional.
Penafsiran nasional merupakan penafsiran yang didasarkan pada kesesuaian
dengan sistem hukum yang berlaku misal, hak-milik Pasal 570 KUHS
sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia
(Pancasila).
6. Penafsiran teleologis (sosiologis).
Penafsiran sosiologis merupakan penafsiran yang dilakukan dengan
memperhatikan maksud dan tujuan dari undang-undang tersebut. Penafsiran
sosiologis dilakukan karena terdapat perubahan di masyarakat, sedangkan
bunyi undang-undang tidak berubah.
7. Penafsiran ekstensif.
Penafsiran ekstensif dilakukan dengan memperluas arti kata-kata yang terdapat
dalam suatu peraturan perundang-undangan.
8. Penafsiran restriktif.
Penafsiran restriktif dilakukan dengan mempersempit arti kata-kata yang
terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan.

10
9. Penafsiran analogis.
Penafsiran analogis dilakukan dengan memberikan suatu kiasan atau ibarat
pada kata-kata sesuai dengan asas hukumnya,
10. Penafsiran a contrario (menurut peringkaran).
Penafsiran a contrario adalah penafsiran yang didasarkan pada perlawanan
antara masalah yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam undang-
undang.

2.1.5 Pengisian Kekosongan Hukum

Berdasarkan pelajaran di atas telah dijelaskan, bahwa Badan Legislatif bertugas


menetapkan peraturan-perundangan yang nantinya akan dijadikan peraturan hukum,
sedangkan Hakim hanya menetapkan hal-hal yang sifatnya konkret, sebagai pemegang
kekuasaan Yudikatif. Dalam penyusunan undang-undang membutuhkan waktu yang lama,
maka terkadang hal-hal yang ingin disampaikan pada undang-undang tersebut sudah tidak
berlaku.

Berhubung dengan hal itulah (undang-undang yang statis, masyarakat yang dinamis),
maka hakim sering harus memperbaiki undang-undang tersebut agar sesuai dengan keadaan
yang sedang berlaku di masyarakat. Dapat pula dikatakan, hukum positif adalah merupakan,
suatu sistem yang sulit untuk diubah atau mencabutnya walau sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan yang ada di dalam masyarakat. Ada beberapa macam poin dalam pengisian
kekosongan hukum, antara lain:

1. Hakim Memenuhi Kekosongan Hukum.

Dalam hubungan ini jika hakim menambah peraturan-perundangan, maka hal


ini berarti bahwa hakim telah mengisi ruangan kosong (leemten) dalam sistem hukum
formal dari Tata Hukum yang berlaku. Seperti yang diketahui pada akhir abad ke-19,
para sarjana hukum berpendapat, bahwa hukum itu adalah satu kesatuan lengkap yang

11
tertutup; di luar undang-undang tidak ada hukum, hakim tidak boleh menjalankan
keadaan hukum yang tidak ada di dalam peraturan-perundangan.

Namun kemudian, paham tentang kesatuan lengkap daripada hukum itu tidak
bisa diterima oleh para sarjana hukum. Prof. Mr Paul Scholten mengatakan
bahwasannya hukum itu adalah suatu sistem yang terbuka (open system van het
recht). Pendapat ini lahir dari kenyataan, yang membuat hukum terlihat dinamis dan
terus mengikuti perkembangan masyarakat. Berhubung itulah telah menimbulkan
konsekuensi, bahwa hakim dapat dan bahkan harus mengisi kekosongan yang ada di
dalam sistem hukum, asalkan penambahan itu tidaklah membawa perubahan prinsipil
pada sistem hukum yang berlaku.

2. Konstruksi Hukum

Sebagai contoh pengisian kekosongan dalam sistem hukum dapat disebutkan


sebagai berikut: Pasal 1576 Kitab Undang-undang Hukum Sipil (KUHS) mengatakan,
bahwa penjualan (jual-beli) tidak dapat memutuskan perjanjian sewa-menyewa
sebelum jangka waktu sewa-menyewa itu berakhir (“Koop breekt geen huur”).
Apakah pemberian, pewarisan, dan penukaran dapat memutuskan perjanjian sewa-
menyewa tersebut? Berdasarkan ketentuan yang mengandung inti kesamaan, maka
hakim membuat suatu pengertian hukum yang dapat menyelesaikan persoalan
tersebut. Kata-kata tersebut mempunyai makna yang sama yaitu “mengasingkan”
(vervreemding) sesuatu benda. Jadi mengasingkan itu suatu perbuatan hukum yang
oleh yang melakukannya diarahkan ke penyerahan (pemindahan) suatu benda, maka
hakim bisa membuat suatu pengertian hukum : pengasingan tidak memutuskan
sesuatu perjanjian sewa-menyewa.

Jadi walaupun Pasal 1576 KUHS yang menetapkan, bahwa penjualan tidak dapat
memutuskan perjanjian sewa-menyewa sebelum jangka waktu tersebut berakhir,
namu ketentuan Pasal 1576 KUHS tersebut dapat juga dijalankan terhadap perbuatan
memberikan, menukarkan, dan mewariskan. Jelas perbuatan tersebut tidak dapat

12
memutuskan perjanjian sewa-menyewa sebelum jangka waktu yang ditentukan
berakhir. Meskipun Pasal 1576 KUHS menyebutkan kata “menjual”, namun hakim
masih juga dapat menjalankan analogi ketentuan tersebut dalam perbuatan memberi,
menukar, dan mewariskan secara legal.

Dengan demikian, dengan menggunakan konstruksi hukum hakim dapat


menyempurnakan sistem formal dari hukum, yaitu sistem perundang-undangan yang
berlaku (Hukum Positif).

2.1.6 Instrumen Pembentukan Hukum

Proses untuk menjadikan hukum sebagai aturan yang mengikat dimulai dengan cara
dikte hukum, selanjutnya dipergunakan alat untuk menangkap dikte hukum, dan kemudian
dituangkan dalam bentuk atau wadah yang disebut sebagai sumber hukum sebelum hukum itu
mengikat dan menimbulkan sebab-akibat.

a) Perjanjian Sebagai Instrumen Pembentukan Hukum

Dalam Perjanjian, para pihak berbuat layaknya mereka sedang merumuskan


undang-undang, atau membentuk suatu peraturan yang mengikat mereka sendiri. Hal
ini bersifat konkret karena pihak yang terikat hanyalah para pihak yang terlibat dalam
proses pembuatan perjanjian. Berbanding terbalik dengan undang-undang, dimana
suatu undang-undang bersifat abstrak karena mengikat semua rakyat dan penduduk
dalam satu wilayah negara. Perjanjian telah menjadi alat dalam menciptakan
kepatuhan, untuk menjamin penegakkan hukum kemudian mendikte pembuatan
peraturan undang-undang dalam segala bidang kehidupan manusia.

b) Peradilan sebagai Instrumen Pembentukan Hukum

Dalam tradisi sistem hukum Inggris maupun bangsa Germania waktu lampau,
putusan hakim dikatakan in concreto yang hanya berlaku pada kasus dan sengketa
tertentu. Sifatnya abstrak karena mengikat secara umum, bahkan mengikat hakim
yang mengadili dan memutuskan kasus yang sama. Tradisi ini kemudian kita kenal
dengan sistem hukum common law.

13
Putusan pengadilan atau yurisprudensi tetap dalam banyak hal yang menjadi
faktor yang mengubah ketentuan peraturan perundang-undangan secara tidak
langsung. Pengadilan melalui kekuatan interpretasi membuat undang-undang bergerak
dalam waktu dan sesuai tuntutan hukum.

c) Doktrin sebagai Instrumen Pembentukan Hukum

Doktrin menjadi hukum adat pada masa Romawi, mengatakan bahwa orang
tidak boleh menyimpang dari pendapat umum para ahli hukum (communis opinio
doctorum). Tetapi kejayaannya terkubur dengan reruntuhan puing-puing tembok
Romawi. Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional menunjuk pada rumusan Pasal
38 bahwa: judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicist
of the various nations. Hanya saja, rujukan yang disebutkan itu bukan merupakan
sumber hukum formil, tetapi sebagai "subsidiary means for the determination of rules
of law". Dalam sistem hukum, peraturan yang demikian tidak dapat menyebabkan
hakim merasa terikat pada communis opinio doctorum. Hal ini merupakan penting
dalam instrumen hukum.

Peradilan dipegang oleh hakim-hakim yang mendapat pendidikan ilmiah,


sehingga walaupun mereka terpaksa harus tidak mengakui ajaran hukum sebagai
kekuasaan yang mengikat, mereka pun akan dipengaruhi juga. Ajaran hukum yang
dianuti oleh para pengarang yang ahli dalam pengetahuan hukum boleh jadi tidak
segera seketika berpengaruh, akan tetapi pada akhirnya mereka menjadi faktor yang
menentukan hakim dalam peradilan, apabila ajaran itu berisi kebenaran.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Indonesia adalah negara yang memiliki masyarakat yang heterogen, memiliki hukum
yang mengikat dan sanksi dari akibat suatu perbuatan diperlukan untuk menciptakan
ketertiban serta menjaga integritas dalam masyarakat itu sendiri. Perlu diketahui
bahwasannya hukum tidak tercipta dengan sendirinya, melainkan hukum tercipta karena
adanya suatu kepentingan dalam masyarakat. Dalam penemuan dan pembentukan hukum,
hakim dapat turut serta memberikan sebuah keputusan yang nantinya akan menjadi sumber
hukum formal dalam masyarakat. Namun, dapat digaris bawahi bahwa putusan hakim hanya
berlaku pada pihak yang bersangkutan saja. Hakim tidak memiliki kuasa dalam membuat
undang-undang seperti DPR.

Penemuan dan pembentukan hukum dapat berguna dalam mencari kepastian hukum.
Dengan adanya kepastian hukum, pengadilan dapat memberikan putusan yang tepat serta
dengan adanya kepastian hukum dapat tercipta kaidah hukum yang dapat mengikat
masyarakat.

B. Saran

Dalam pembentukan hukum disamping memperhatikan aspek metodologis, juga harus


merujuk dan meletakkan norma hukum dalam kesatuan harmoni dengan aspek sosiologis,
ontologis dan fungsional dari suatu norma hukum. Pembentukan hukum dilakukan sebagai
upaya untuk membuat sistem hukum memiliki kedudukan yang penting dalam sistem sosial
suatu negara. Hakim harus senantiasa mengedepankan nilai keadilan dalam masyarakat,
sehingga harus selalu mengikuti dinamika perubahan yang ada dalam masyarakat. Pada masa
sekarang, sekarang hakim harus memiliki pola pikir kritis dan progresif, sehingga benar-
benar menegakkan hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.

Hakim haruslah Judex debet judicare secundum allegata et probata (seorang hakim
harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan). Pembentukan dan
penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim hanya berlaku pada individu yang

15
bersangkutan, ini seharusnya menjadi tanggung jawab kita untuk berhati hati dalam
bertindak.

16
DAFTAR PUSTAKA

Badriyah, S. M. (2011, Juli). PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING) DAN

PENCIPTAAN HUKUM (RECHTSSCHEPPING) OLEH HAKIM UNTUK

MEWUJUDKAN KEADILAN. 40(3).

Barama, M. (2012). KONTRIBUSI PUTUSAN PENGADILAN DALAM

PEMBENTUKAN HUKUM. DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL R.I.

Elias, R. F. (2014). PENEMUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN

PIDANA DI INDONESIA. Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum, 1(1).

Hoesein, Z. A. (2012, Desember 17). PEMBENTUKAN HUKUM DALAM

PERSPEKTIF PEMBARUAN HUKUM. 1(3).

http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v1i3.87

Kansil. (1989). PENGANTAR ILMU HUKUM DAN TATA HUKUM INDONESIA.

Jakarta: Balai Pustaka.

Muhaimin. (2020). Metode Penelitian Hukum. Mataram: Penerbit UPT. Mataram

University Press.

Prakoso, A. (2016). PENEMUAN HUKUM. Yogyakarta : LaksBang Pressindo.

Prasetyo, T. (2018). Pengantar Ilmu Hukum. Depok: Rajawali Pers.

Sayuti. (2013). Arah Kebijakan Pembentukan Hukum Kedepan (Pendekatan Teori

Hukum Pembangunan, Teori Hukum Progresif, dan Teori Hukum Integratif), 13(2), 2.

https://dx.doi.org/10.30631/al-risalah.v13i02.407

17

Anda mungkin juga menyukai