Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MATA KULIAH

INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN


PAPER
“PENGARUH ALKOHOL TERHADAP OBAT” 

OLEH

Kelompok X :

Putu Eka Rina Savitri P07131220118

........................ ........................

........................ .........................

........................ ........................

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN GIZI PRODI SARJANA GIZI DAN DIETETIKA
DENPASAR
2021
BAB I PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Alkohol merupakan zat adiktif dan memiliki berbagai bentuk, termasuk


 bir, asam cuka, anggur, tape ketan/beras, 'alcopops' dan spirits seperti whisky,
gin dan vodka. Alkohol menjadikan otak dan badan lebih santai, dan biasanya
diminum untuk efek yang menyenangkan. Karena kemampuannya untuk
merubah suasana hati dan menyebabkan perubahan fisik, alkohol juga dapat
menyebabkan masalah fisik, psikologis dan sosial. Banyak orang yang merasa
 bahwa minum alkohol secara moderat (satu atau dua unit alkohol per hari)
dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan rasa relaks, dan berfungsi
untuk mengundang selera makan. Satu unit alkohol itu sama dengan setengah

 pint bir berkekuatan normal atau lager, segelas anggur, atau segelas kecil
sherry atau port.
Alkohol juga akan meningkatkan risiko perdarahan lambung dan
kerusakan hati jika dikonsumsi bersama obat-obat penghilang rasa sakit seperti
 parasetamol atau asetaminofen. Alkohol juga dilarang diminum bersama
dengan obat-obat penurun tekanan darah tinggi golongan beta-blocker  seperti
misalnya propranolol. Kombinasi alkohol-propranolol dapat menurunkan
tekanan darah secara drastis dan membahayakan keselamatan jiwa pasien.
Tape, walaupun sedikit, sudah kita ketahui mengandung alkohol, terutama tape

ketan atau tape beras. Oleh sebab itu sebaiknya kurangi atau hindari makan
tape ketika Anda mengkonsumsi obat-obat yang dapat berinteraksi dengan
alkohol seperti yang diuraikan di atas.
Pengaruh makanan atau minuman terhadap obat dapat sangat signifikan
atau hampir tidak berarti, bergantung pada jenis obat dan makanan/minuman
yang kita konsumsi. Selain itu harus pula difahami bahwa sangat banyak faktor
lain yang mempengaruhi interaksi ini, antara lain dosis obat yang diberikan,
cara pemberian, umur, jenis kelamin, dan tingkat kesehatan pasien.
Selain itu, orang yang minum alkohol dalam jumlah besar seringkali

memiliki pola makan yang buruk dan ini dapat menyebabkan permasalahan
kesehatan lain. Alkohol merupakan zat depresif dan dapat menyebabkan atau
memperburuk masalah mental, psikologis atau emosional. Bila digunakan
 bersamaan dengan zat lain, seperti obat penghilang rasa sakit yang biasa seperti

 parasetamol, alkohol dapat menimbulkan efek yang lebih buruk.


Oleh sebab itu apabila kita ingin meminum obat sebaiknya obat
diminum dengan air putih saja agar aman dan tidak berinteraksi dengan bahan
makanan juga minuman yang mengandung alkohol.

B.  Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh alkohol terhadap obat?

C.  Tujuan

Untuk mengetahui pengaruh alkohol terhadap obat.


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D.  Alkohol

1.   Pengertian Alkohol

Alkohol adalah salah satu dari sekelompok senyawa organik yang


dibentuk dari hidrokarbon-hidrokarbon oleh pertukaran satu atau lebih gugus
hidroksil dengan atom-atom hidrogen dalam jumlah yang sama, istilah ini
meluas untuk berbagai hasil pertukaran yang bereaksi netral dan mengandung
satu atau lebih gugus alkohol (Dorland, 2002).
2.   Farmakologi Ethanol

Jenis alkohol yang paling banyak digunakan dalam industri minuman


adalah etanol (C2H5OH) (Brothers, 2011).
Etanol (C2H5OH) ialah suatu molekul kecil, larut dalam air, dan
diserap dengan sempurna dari saluran pencernaan. Uap etanol dapat juga
diserap melalui paru-paru. Setelah menelan alkohol dalam keadaan puasa,
maka kadar puncak dalam darah dapat dicapai dalam 30 menit. Adanya
makanan dalam usus memperlambat serapan. Distribusinya cepat, konsentrasi
dalam jaringan lebih kurang sama dengan konsentrasi plasma. Volume
distribusi 0,7 l/kg (Lee, 1998).
Menurut Geokas (1984) dalam Lee (1998), lebih dari 90% alkohol yang
dikonsumsi, dioksidasi dalam hati, sisanya diekskresikan dalam paru-paru dan
urin. Pada dosis klinik yang biasa, kecepatan oksidasi mengikuti  zero order
kinetic yaitu tidak tergantung pada waktu, sesuai dengan berat badan atau hati,
dan jumlah hilangnya alkohol dalam tubuh sangat berkurang atau tertahan
seluruhnya pada individu yang mengalami hepatektomi atau kerusakan hati.
 Namun, seorang dewasa dapat memetabolisme 7-10 gram (0,15-0,22 mol)
alkohol setiap jam. Dua jalur alkohol menjadi aldehid telah diajukan. Aldehid
kemudian dioksidasi oleh proses metabolisme ketiga.
a.  Jalur Alkohol Dehidrogenase
Menurut Frezza et al (1990) dalam Lee (1998), jalur utama
metabolisme melibatkan alkohol dehidrogenase, suatu enzim sitolitik yang
mengandung seng dan mengkatalisis perubahan alkohol menjadi aldehid,
menurut reaksi berikut :

Alkohol
Dehidrogenase

C2H5OH + NAD+ CH3CHO + NADH + H+ 


Enzim ini terutama berada dalam hati, namun dapat juga dijumpai
dalam organ lain seperti otak dan lambung.
Alkohol dalam jumlah yang bermakna dimetabolisir oleh alkohol
dihidrogenase lambung dalam perut pada orang laki-laki tapi pada wanita
lebih sedikit, akibatnya wanita memiliki kadar alkohol dalam darah lebih
tinggi daripada laki-laki setelah pemberian dosis etanol per oral, tetapi

setelah pemberian intravena tidak ada perbedaan antara kedua jenis


kelamin
Baud et al (1986) dalam Lee (1998) menyatakan bahwa dalam
reaksi di atas, ion hidrogen dipindahkan dari alkohol ke faktor
nikotinamida adenin dinukleotid (NAD) untuk membentuk NADH.
Sebagai hasil akhir, oksidasi alkohol menyebabkan berlebihan zat yang
 bersifat mereduksi di dalam hati terutama NADH. Terdapat sejumlah
kontroversi tentang apakah konsumsi alkohol kronis mempengaruhi
aktivitas alkohol dihidrogenase hati. Sebenarnya, alkohol dihidrogenase

sendiri bukan pembatas kecepatan, tetapi kecepatan oksidasi mungkin


tergantung pada tersedianya kofaktor NAD; karena itu meningkatnya
kecepatan bersihan alkohol pada pecandu alkohol mungkin bukan
disebabkan oleh peningkatan aktivitas alkohol dihidrogenase. 4-
Metilpirazol (fomepizol), suatu persenyawaan dengan statu orphan drug
digunakan sebagai antidotum dalam keracunan metanol dan etilen glikol,
merupakan inhibitor yang kuat untuk alkohol dehidrogenase.
 b.  Sistem Oksidasi Etanol Mikrosom (SOEM) Sistem enzim ini juga dikenal
sebagai sistem oksidase dengan fungsi campuran, menggunakan NADPH

 pengganti NAD sebagai kofaktor dalam reaksi sebagai berikut :


 

SOEM

+
C2H5OH + NADPH + H  + O2 → CH3CHO + NADP+ + 2H2O
Karena Km bervariasi dari 0,26 sampai 2 mmol/L untuk alkohol
dihidrogenase dan dari 8-10 mmol/L untuk SOEM, maka diperkirakan
untuk alkohol dengan konsentrasi di bawah 100 mg% (22 mmol/L),
alkohol dihidrogenase merupakan sistem oksidasi utama, sedangkan untuk
konsentrasi alkohol yang lebih tinggi SOEM memegang peranan yang
lebih berarti. Selama konsusmsi alkohol yang kronis maka aktivitas SOEM
meningkat dengan bermakna. Induksi oleh aktivitas ini disertai dengan
 peningkatan bermakna dalam bersihan obat yang dimetabolisir oleh sistem

enzim mikrosom hati. Demikian juga obat yang bersifat ―penginduksi‖


seperti barbiturat dapat juga meningkatkan sedikit kecepatan bersihan
alkohol darah. Namun efek dari obat-obat lain dalam bersihan etanol
kurang penting, karena SOEM bukanlah jalur utama untuk etanol (Lee,
1998).
c.  Metabolisme Asetaldehid
Sekarang pada umumnya telah diterima bahwa lebih dari 90 %
asetaldehid yang terbentuk dari alkohol juga dioksidasi di dalam hati,
sementara beberapa enzim mungkin bertanggung jawab untuk reaksi ini,

observasi menunjukkan bahwa kadar asetaldehid di dalam hati setelah


 pemberian alkohol hanya 100-350 μmol/L, memberikan kesimpulan
 bahwa aldehid dehidrogenase yang bergantung pada NAD mitokondria
(Km untuk aldehid kira-kira 10 mmol/L) merupakan jalur utama untuk
metabolisme asetaldehid. Hasil dari reaksi ini adalah asetat, yang dapat
dimetabolisir lebih lanjut menjadi CO2 dan air. Konsumsi alkohol yang
kronis menyebabkan penurunan jumlah oksidasi asetaldehid di dalam
mitokondria yang sehat, meskipun aktivitas enzim tidak terpengaruh (Lee,
1998).
E.  Interaksi Obat

1.   Definisi Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait

obat (drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan


terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi
obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh
diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005).
Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah
efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat
 potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya
 beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu
obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen
kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien
adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika
obat hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008). Interaksi obat
dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau
mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya
glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2007).
2.   Mekanisme Interaksi Obat

Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B)
dengan satu dari dua mekanisme berikut:
a.  Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di
cairan jaringan (interaksi farmakodinamik).
 b.  Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi
farmakokinetik).
1)   Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B

sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan


kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan
menyebabkan toksisitas).
2)   Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon

curam (sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan


menyebabkan perubahan efek secara substansial).

3)   Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang


sedikit besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik
seperti penisilin hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah
klinis karena batas keamanannya lebar.
4)   Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas

terapi yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama,


sebagai contohnya obat antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi,
litium, sejumlah antineoplastik dan obat-obat imunosupresan.
(Hashem, 2005).

Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :


a.  Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi
absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga
meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk
menghasilkan efek farmakologisnya (BNF 58, 2009). Interaksi
farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :
1)   Interaksi pada absorbsi obat

a)   Efek perubahan pH gastrointestinal


Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif
tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak
yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat,
kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter
yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi
asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah
daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).
 b)  Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap
di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk

menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi


 penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida
 juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh,
antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion
logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan
 besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi
efek antibakteri (Stockley, 2008).
c)   Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian

atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan


lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya,
menghambat pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan
 parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki
efek sebaliknya (Stockley, 2008).
d)   Induksi atau inhibisi protein transporter obat

Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein


transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik
 paling baik adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-

glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti


rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin
(Stockley, 2008).
e)   Malabsorbsi dikarenakan obat

 Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat


mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin
dan metotreksat (Stockley, 2008).
2)   Interaksi pada distribusi obat

a)  Interaksi ikatan protein


Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke

seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut


dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa
 proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein
 plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma
 bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul
yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap
 bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).
 b)  Induksi dan inhibisi protein transport obat
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti

testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-


glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-
sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor
transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam
otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS (Stockley,
2008).
3)   Interaksi pada metabolisme obat

a)   Perubahan pada metabolisme fase pertama

Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam

 bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia


diubah menjadi senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah
diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang
akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk
waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme,
 biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang
detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum,
ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim
yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada

dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi


tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan
menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II
melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam

glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) 27 untuk membuat


senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan
oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).
 b)  Induksi Enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik,
 perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk
mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat
meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan
laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).

c)  Inhibisi enzim


Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme
obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan
induksi enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari
atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim
dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi
 perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang
 paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim
sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi

enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat.


Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak
 penting secara klinis (Stockley, 2008).
d)  Faktor genetik dalam metabolisme obat
Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan
 bahwa beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme
genetik, yang berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian
isoenzim yang berbeda aktivitas. Contoh yang paling terkenal
adalah CYP2D6, yang sebagian kecil populasi memiliki varian

aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian


lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif.
Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu
dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang

mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain


 bebas dari gejala (Stockley, 2008).
e)  Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi
Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin
menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol
menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin
mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol
meningkatkannya (Stockley, 2008).
4)   Interaksi pada ekskresi obat

a)   Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah
(pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi
larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan
karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh.
Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan
demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam
 bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).
 b)  Perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama


di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi.
Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat
lainnya. Dengan meningkatnya pemahaman terhadap protein
transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid
menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan
transporter anion organik (OATs) (Stockley, 2008).
c)  Perubahan aliran darah renal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi

vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini


dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang
(Stockley, 2008).
 b.  Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat


yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang
hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau
terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama.
Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang
farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF 58, 2009).
1)   Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama


diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol

menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal
sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat
menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif
menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi
sumsum tulang dan perpanjangan interval QT) (Stockley, 2008).
2)   Interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan


kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat
memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif

menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari


antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal,
sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan
(Stockley, 2008).
BAB III PEMBAHASAN

Interaksi alkohol dan obat dapat menggangu kerja obat penyakit kronik,apalagi jika
dkonsumsi pada waktu yang bersamaan. Penelitian terbaru menemukan bahwa banyak
pecandu alkohol mengobati diri mereka sendiri untuk penyakit kronik sehingga mengalami
efek samping berupa interaksi alkohol-obat.

Obat penghilang nyeri

Interaksi signifikan dapat ditemukan pada alkohol dan beberapa kelas obat
penghilang nyeri, mulai dari analgesik opioid hingga OAINS dan bahkan
paracetamol. Nyeri otot skeletal tubuh dan leher bawah merupakan penyakit dengan
prevalensi tinggi di banyak negara, dan membuat pasien melakukan pengobatan
sendiri dengan obat over-the-counter. Banyak obat penghilang nyeri, di luar opioid,
yang tersedia di klinik atau apotek sehingga memiliki kemungkinan tinggi banyak
dikonsumsi orang.

1. Paracetamol

Konsumsi alkohol jangka panjang dengan jumlah biasa hingga berlebihan bersama
paracetamol dapat meningkatkan risiko hepatotoksisitas. Namun, masih dibutuhkan
penelitian lebih lanjut untuk mendukung hasil penelitian ini. Interaksi antara
paracetamol dan alkohol dapat menyebabkan induksi enzim mikrosom hepar, yang
kemudian akan mengakselerasi metabolisme paracetamol dan memproduksi
metabolit toksik ke hepar.2 Orang yang mengonsumsi alkohol jangka panjang,
disarankan untuk menghindari paracetamol, dan disarankan untuk tidak melebihi
dosis rekomendasi 4 gram per hari, baik untuk dewasa dan anak-anak berusia di atas
12 tahun.

2. Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS)

OAINS diketahui dapat meningkatkan risiko gangguan GI, dan konsumsi alkohol
bersamaan dengan OAINS dalam jangka panjang akan semakin meningkatkan risiko
tersebut. US FDA mengharuskan perusahaan farmasi untuk memberi label
OAINS over-the-counter untuk mengingatkan konsumen.3. Apoteker harus
mengetahui pasien mana yang sering mengonsumsi alkohol dan OAINS dalam
jangka panjang.

3. Analgesik opioid

Masalah penggunaan opioid dan alkohol secara bersamaan merupakan hal yang
sulit diselesaikan. Pasien terkadang tidak sadar mengonsumsi obat ini, terutama
ketika pasien kecanduan alkohol dan narkotika, seperti heroin. Sebagai alternatif,
pasien biasa menggantinya dengan methadone, tetapi mereka biasa tetap
mengonsumsi alkohol. Dalam kasus ini, alkohol dapat meningkatkan efek depresi
sistem saraf pusat (SSP) dari analgesik opioid, sehingga dapat mengganggu kerja
otak saat mengambil keputusan, berpikir, serta kemampuan psikomotorik. Interaksi
alkohol dan opioid ini bisa menghasilkan efek fatal, terutama jika dikonsumsi dalam
dosis tinggi.4

Pasien tidak boleh mengonsumsi alkohol bersamaan dengan formulasi hidrokodon


lepas lambat, jenis opioid yang sering diberikan untuk terapi nyeri kronik dari
kanker atau untuk perawatan paliatif. Beberapa formulasi ini memiliki kelarutan
tinggi dalam etanol dan dapat mengganggu mekanisme pelepasannya. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terdapat 40% peningkatan absorpsi hidrokodon
ketika dikonsumsi bersama alkohol pada kondisi perut kosong. 4,5

Metformin

Metformin bukan obat penghilang nyeri, tetapi tingginya penggunaan di masyarakat


membuat kami perlu memberi informasi mengenai obat ini. Metformin merupakan
obat yang membantu mengontrol nilai gula darah pasien diabetes tipe 2. Konsumsi
alkohol dalam jumlah tinggi dapat meningkatkan efek metformin pada metabolisme
laktat dan kemungkinan mengarahkan ke laktat asidosis. Hubungan antara dua agen
ini masih menjadi perdebatan, karena peningkatan laktat hanya dapat ditemukan
dalam pengaturan eksperimental tetapi tidak dapat ditemukan pada pasien tanpa
komorbiditas tambahan.6 Namun, apoteker perlu selalu menyarankan pasien
diabetes untuk menggunakan metformin untuk menghindari minum alkohol atau
hanya mengonsumsi secara langsung. MIMS

Paracetamol  atau yang juga sering disebut sebagai acetaminofen, adalah


obat bebas yang sering digunakan banyak orang untuk
meredakan demam dan nyeri. Paracetamol termasuk obat penghilang rasa
sakit serta obat batuk dan flu. Obat ini sepenuhnya aman jika digunakan
sesuai anjuran, hampir semua orang memiliki persediaan obat ini di rumah.
Namun, jika Anda mencampur paracetamol dan alkohol, misalnya dengan
minum alkohol sesaat sebelum atau sesudah minum obat paracetamol, ada
efek samping berbahaya yang mungkin terjadi.

Apa yang akan terjadi kalau paracetamol dan alkohol


tercampur dalam tubuh?
Meskipun paracetamol dianggap aman untuk penggunaan pada umumnya,
obat ini bisa berbahaya bagi mereka yang memiliki kecanduan alkohol atau
yang minum alkohol secara rutin. Kombinasi paracetamol dan alkohol
menempatkan Anda pada risiko overdosis meskipun Anda sudah mengikuti
dosis anjuran yang aman. Maka dari itu, banyak produsen obat meminta
konsumen yang mengonsumsi lebih dari 2 minuman beralkohol per harinya
untuk berkonsultasi pada dokter sebelum menggunakan paracetamol.

Gagal hati akibat interaksi alkohol


Paracetamol dan alkohol yang tercampur dalam tubuh bisa berakibat pada
komplikasi mematikan, yang salah satunya adalah sindrom alkohol-
acetaminophen. Tanpa pengobatan tepat waktu, sindrom alkohol-
acetaminophen bisa menyebabkan gagal hati akut.
Tubuh melepaskan protein yang disebut transaminase untuk membantu
mendukung metabolisme hati. Orang dengan sindrom alkohol-acetaminophen
memiliki kadar serum transaminase yang besar. Ini menandakan bahwa hati
bekerja jauh lebih keras untuk memproses acetaminophen dan alkohol. Kerja
yang berat ini tidak dapat ditanggung oleh hati.

Selain itu, sementara alkohol dimetabolisme, enzim beracun dilepaskan.


Sindrom alkohol-acetaminophen mempercepat laju metabolisme alkohol, yang
pada akhirnya mempercepat pelepasan racun. Racun ini menumpuk di hati,
menyebabkan kondisi yang disebut hepatoksisitas, dan pada akhirnya gagal
hati dan kerusakan hati.

Kapan boleh minum alkohol lagi setelah minum obat


paracetamol?
Sebelum menggunakan paracetamol, Anda harus mempertimbangkan tingkat
konsumsi alkohol dan kondisi hati Anda. Orang yang rutin minum alkohol untuk
waktu lama, bahkan dalam jumlah yang tidak berlebihan, mungkin tidak
memiliki kadar glutathione (enzim yang bertanggung jawab untuk
proses detoks) yang memadai. Berkurangnya glutathione berkontribusi pada
peningkatan risiko gangguan hati, bahkan dengan dosis kecil parasetamol.

Bagaimana paracetamol dan alkohol berinteraksi satu sama lainnya


tergantung pada usia, berat badan, dan kondisi kesehatan masing-masing
pengguna. Hati sering kali memerlukan hingga 5 hari untuk sepenuhnya
menyingkirkan alkohol. Waktu yang diperlukan untuk menyingkirkan
paracetamol bahkan bisa lebih lama lagi. Akibatnya, akan lebih baik untuk
menunggu minimal lima hari setelah minum minuman beralkohol, sebelum
menggunakan paracetamol.

Selain itu, Anda juga harus menunggu minimal satu minggu setelah dosis
terakhir paracetamol Anda sebelum mulai minum alkohol kembali. Pengguna
alkohol jangka panjang harus menghindari minum alkohol jika mereka ingin
minum paracetamol. Atau, Anda bisa mempertimbangkan untuk minum obat
lainnya. Paracetamol tidak boleh digunakan untuk mengobati sakit
kepala akibat alkohol atau hangover.

Jika Anda memiliki masalah minum alkohol atau gangguan hati, selalu
konsultasikan pada dokter terlebih dahulu sebelum meminum paracetamol
untuk menghindari komplikasi.

BAB IV PENUTUP

Mengonsumsi alkohol dengan obat anti histamin atau anti alergi (seperti obat alergi, flu, dan batuk) dapat
menambah rasa kantuk dan memperlambat performa motoric dan mental. Selain itu juga, konsumsi alkohol yang
bersamaan dengan parasetamol dapat meningkatkan kerusakan hati dan pendarahan lambung. Maka dari itu,
sebaiknya hindari konsumsi makanan yang mengandung alkohol berlebihan seperti tape ketan atau tape beras.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai