Anda di halaman 1dari 18

Blok 23 |1

Cerebrospinal Fluid (CSF) dan Hidrosefalus

SNPDI 2019

Fungsi utama CSF:


1. Fungsi mekanik, sebagai ‘bantalan’ pelindung otak dan medulla spinalis dari trauma terhadap
tengkorak dan tulang belakang sekaligus melindungi dari perubahan tekanan aliran vena yang
mendadak
2. Fungsi metabolik, membuang produk-produk sisa metabolisme terutama CO2, laktat dan ion
hidrogen sekaligus mempertahankan lingkungan kimia yang stabil bagi neuron, astrosit dan
serabut saraf karena komposisinya yang tidak banyak terpengaruh oleh perubahan komposisi
darah
Pada orang dewasa rerata volume intrakranial adalah 1700 mL; volume otak sekitar 1200-1400
mL, darah sekitar 160 mL, dan CSF 70-160 mL. Di samping itu ruang subarakhnoid spinalis
mengandung sekitar 150 mL CSF, dengan demikian secara keseluruhan CSF menempati sekitar
10% dari ruang intrakranial dan intraspinal.

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


Blok 23 |2

Produksi CSF yang utama adalah di choroid plexus yang berada di ventrikel lateral, ketiga
dan keempat. Pembuluh darah berdinding tipis pada pleksus memungkinkan terjadinya difusi
substansi-substansi dari plasma darah menuju ruang ekstraseluler yang mengelilingi sel-sel
khoroid. Sel epitel khoroid sendiri mengandung organel seperti epitel sekretoris pada umumnya
yang dapat melakukan transport aktif. Transport natrium yang merupakan kation utama CSF
dicapai melalui aksi pompa Na2+-K+di apeks sel pleksus khoroideus. Masuknya elektrolit lain serta
protein bermolekul kecil ke dalam CSF, serta pertukaran CO2 terjadi secara difusi pasif.
Jalur sirkulasi CSF berawal dari ventrikel lateral, kemudian masuk ke ventrikel ketiga
melalui foramen Monro, selanjutnya masuk ke ventrikel keempat melalui aquaductus Sylvii. Dari
ventrikel keempat CSF akan keluar melalui foramen Magendie (medial) dan foramen Luschka
(lateral) untuk selanjutnya mengelilingi sisterna dan ruang subarchnoid di batang otak, serebelum
dan perispinal. Seluruh CSF akan kembali ke ruang subarakhnoid yang mengelilingi hemisfer
serebri dimana mereka kemudian diserap oleh villi-villi arachnoid yang berkumpul membentuk
granula Pacchioni yang berlokasi di pembuluh darah vena, terutama sinus sagitalis superior.
Umumnya kecepatan pembentukan CSF adalah 21-22 ml/jam atau sekitar 500 ml/hari yang berarti
seluruh volume CSF diperbarui sekitar 4-5 kali/hari. Pada posisi berbaring ICP dan tekanan CSF
normalnya adalah sekitar 8 mmHg atau 110 mmH2O. Pada posisi berdiri tekanan ini akan
menurun. Perubahan pada tekanan arteri sistemik tidak banyak memengaruhi tekanan CSF karena
adanya cerebrovascular autoregulation, akan tetapi perubahan tekanan vena akan berpengaruh
langsung terhadap tekanan CSF.
Hidrosefalus merupakan suatu kondisi pembesaran ventrikel otak sebagai akibat dari
gangguan aliran CSF. Hidrosefalus dapat terjadi secara kongenital ataupun didapat (acquired).
Hidrosefalus kongenital dapat disebabkan oleh:
 Atresia/stenosis aquaduktal
 Perdarahan intraventrikel
 Infeksi fetal dan neonatal
 Chiari malformation tipe II
 Dandy-walker syndrome
Pada hidrosefalus kongenital kepala akan membesar dengan cepat karena belum terjadi penutupan
fontanellla, kemudian kelopak mata atas akan retraksi, dan bola mata akan turun ke bawah hingga

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


Blok 23 |3

sklera atas terlihat jelas (setting-sun sign). Pasien akan mengalami muntah, gangguan pertumbuhan
dan perkembangan, hingga penurunan kesadaran dan kematian.
Acquired hydrocephalus sering bersifat akut, disebabkan oleh:
 perdarahan subarachnoid akibat ruptur aneurisma atau arteriovenous malformation/AVM
(lebih jarang), atau perdarahan intraserebral yang masuk ke intraventrikel
 infeksi intrakranial seperti Meningitis Tb
 sumbatan jalur CSF oleh tumor atau perdarahan serebelar-batang otak
Hidrosefalus akut akan menimbulkan gejala khas peningkatan tekanan intrakranial yakni nyeri
kepala, muntah, hingga penurunan kesadaran.

Normal Pressure Hydrocephalus (NPH)

NPH merupakan suatu penyakit neurologi yang ditandai dengan pembesaran ventrikel dan
trias klasik yang terdiri dari gangguan gait, penurunan kognitif (demensia), dan inkontinensia urin.
Gangguan gait umumnya adalah gejala yang paling awal muncul, diikuti penurunan kognitif dan
akhirnya gangguan berkemih.
Epidemiologi dan Klasifikasi
Prevalensi NPH secara pasti belum diketahui, tetapi di negara maju angkanya berkisar pada 0,5%-
1,5% pada populasi berusia 61 tahun atau lebih. Studi lain menyebutkan prevalensinya sekitar
1,4% pada usia >65 tahun, 0,2% pada usia 70-79 tahun dan 5,9% pada usia >80 tahun.
Terdapat dua tipe NPH:
 Idiopathic NPH: hidrosefalus pada populasi lanjut usia yang belum diketahui penyebab
pastinya.
 Secondary NPH: NPH yang disebabkan oleh kondisi neurologis lainnya seperti subarachnoid
hemorrhage (SAH), intracerebral dan/atau intraventricular hemorrhage, traumatic brain
injury (TBI), meningitis dan ventrikulitis.

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


Blok 23 |4

Patofisiologi
Menurut Hakim dan Adam: gangguan reabsorpsi CSF di granula Pacchioni meningkatkan
resistensi drainase yang diikuti dengan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Selanjutnya terjadi
pelebaran ventrikel (pressure-dependent) sebagai kompensasi, lama kelamaan tekanan yang
ditimbulkan oleh CSF tidak lagi seimbang dengan luas permukaan ventrikel yang telah melebar
sehingga efeknya lama kelamaan akan menurun dan mencapai steady state di level 150-200
mmH2O (normal pressure). Teori lain yang lebih baru menyebutkan bahwa pada iNPH terjadi
penurunan compliance vena (terutama pada sinus sagitalis superior) yang mengganggu pulsasi
CSF dan pada akhirnya mengganggu aliran CSF melalui aquaductus Sylvii dan penyerapannya di
granula Pacchioni.

Manifestasi Klinis
Tanda Kardinal
 Gangguan gait: gangguan cara berjalan pada pasien NPH ditandai dengan penurunan kecepatan
dan irama berjalan serta langkah yang pendek dan ketinggian langkah yang berkurang. Kaki
pasien sering juga tampak seperti gerakan ‘shuffling’ (menempel di lantai) atau disebut
magnetic gait. Pijakan kaki pasien tampak lebar (broad-based) dan jalannya tidak stabil
(atactic) mudah jatuh bila ada sedikit halangan. Pada awal perjalanan penyakit gangguan
berjalan ini umumnya ringan dan sulit dikenali. Pasien kadang justru mengeluhkan gangguan
keseimbangan (dizziness) yang dapat merancukan arah diagnosis. Semakin kronik penyakit,

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


Blok 23 |5

gangguan gait ini akan semakin berat hingga pasien hanya dapat berjalan dengan bantuan atau
tidak dapat berjalan sama sekali.

 Inkontinensia: gangguan berkemih yang dialami pasien NPH berupa peningkatan frekuensi dan
urgensi. Gangguan gait akan semakin memperjelas urgensi ini karena dapat memperlambat
perjalanan pasien ke kamar mandi. Pada fase lanjut, inkontinensia komplit mungkin terjadi.
Selain itu, sebagian pasien juga mengeluhkan kesulitan mengosongkan kandung kemih (voiding
difficulty), sekitar 14% pasien NPH mengalami postvoid residual >100 mL.

 Demensia: demensia pada iNPH sejalan dengan demensia frontal subkortikal dimana terjadi
perlambatan psikomotor, apatis, acuh tak acuh, penurunan atensi dan gangguan memori.
Spontanitas dan inisiasi pasien menurun, terutama dalam komunikasi. Pasien mungkin tidak

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


Blok 23 |6

dapat menjawab pertanyaan secara langsung (akinetic mutism), meskipun demikian jawaban
yang akhirnya muncul seringkali benar. Membedakan demensia pada iNPH dengan demensia
lainnya seperti Alzheimer dan vaskular mungkin sulit karena patologi yang sering terjadi
bersamaan. NPH sendiri merupakan penyebab dari 5% kasus demensia secara keseluruhan.

Tanda/Gejala lain
 Nyeri kepala: gejala nyeri kepala khas ditemukan pada high-pressure hydrocephalus, meskipun
demikian kadang dapat ditemukan juga pada NPH. Nyeri kepala ini, bila ada, dirasakan sebagai
‘tekanan di kepala’.
 Sindrom psikiatrik: sindrom psikiatrik dapat muncul bersamaan (parallel) dengan iNPH, tetapi
beberapa laporan kasus melaporkannya sebagai gejala dari iNPH. Patogenesisnya masih belum
jelas, tetapi gejala yang timbul dapat berupa depresi, mania dan paranoia.
 Dizziness: sebagian pasien mengeluhkan rasa pusing/goyang, tetapi cukup sulit untuk
mengevaluasinya secara objektif. Banyak klinisi yang menganggap dizziness ini sebagai
sensasi subjektif dari gangguan gait dan rasa takut jatuh.
 Lebih banyak tidur: pasien dengan iNPH biasanya tidur lebih banyak dari orang yang sehat,
sebagaimana dilaporkan oleh pasiennya sendiri atau keluarganya. Demensia turut menjadi
faktor yang memperberat gejala ini.
 Lingkar kepala lebih besar: pasien dengan iNPH sering memiliki lingkar kepala yang lebih
besar dibandingkan populasi normal. Hal ini mendukung asumsi bahwa hidrosefalus kongenital
asimptomatik mungkin berperan dalam perkembangan iNPH pada sebagian pasien.
 Gangguan fungsi seksual: disfungsi seksual pada pasien iNPH seringkali luput dari evaluasi
atau dianggap sebagai gejala normal pada lansia.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan imaging seperti CT scan kepala atau MRI akan memperlihatkan pembesaran
ventrikel tanpa atrofi serebri. Meskipun demikian, pada lansia seringkali terjadi atrofi serebri baik
akibat proses penuaan maupun akibat penyakit degeneratif lain yang terjadi bersamaan.
International guideline merekomendasikan temuan imaging yang dapat menjadi kunci dari
diagnosis NPH yaitu:

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


Blok 23 |7

 Pembesaran ventrikel bukan semata akibat atrofi serebri atau pembesaran kongenital (dengan
Evan’s index >0.30)
 Tidak ada obstruksi aliran CSF makroskopik
 Setidaknya satu dari tanda suportif berikut yaitu (a) pembesaran temporal horns dari ventrikel
lateral bukan semata akibat atrofi hipokampus; (b) sudut callosal 40o-90o; (c) perubahan sinyal
periventrikuler bukan akibat perubahan iskemik mikrovaskular seperti pada penyakit
Binswanger atau akibat demyelinasi.
Japanese INPH guidelines juga memasukkan kriteria lainnya seperti pembesaran fissura Sylvii
dan sisterna basalis serta penyempitan sulci dan ruang subarachnoid.

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


Blok 23 |8

Pungsi lumbal sangat baik untuk diagnostik. Pada NPH akan didapatkan tekanan yang
normal kemudian bila dilakukan drainase CSF (mulai dari 20-30 mL hingga 40-50 mL) umumnya
akan didapatkan perbaikan klinis pada pasien setelah pemeriksaan. Bila hasilnya kurang
meyakinkan pungsi lumbal dapat dilakukan serial hingga 3 hari, dilakukan drainase CSF hingga
50 mL/hari untuk melihat adakah perubahan klinis setelahnya. Respon klinis yang baik pada
pungsi lumbal menentukan pemilihan tindakan terapeutik permanen yaitu pemasangan
ventroperitoneal/VP shunt.

Alur Diagnosis

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


Blok 23 |9

Diagnosis banding
 sNPH: tidak ada batasan yang jelas antara iSNH dan cSNH akan tetapi adanya klinis NPH yang
didahului kondisi yang dapat mengganggu resorpsi CSF seperti meningitis, SAH atau TBI dapat
mengarahkan pada diagnosis sNPH.
 hidrosefalus obstruktif kronik: pada hidrosefalus obstruktif kronik terdapat bukti sumbatan
aliran CSF yang nyata, seringkali berupa stenosis aqueduktal atau foramen Luschka dan
Magendie, berbeda dengan iNPH dan sNPH yang merupakan hidrosefalus komunikans.
 penyakit Parkinson: secara klinis cukup mudah membedakan penyakit Parkinson dari NPH bila
gejala tremor dan rigiditas menonjol pada pasien. Meskipun demikian, jika gangguan berjalan
yang tampak dominan, perlu diperhatikan gerakan tangan ketika pasien berjalan. Pada pasien
Parkinson, ayunan lengan saat berjalan berkurang, sedangkan pada pasien NPH ayunan lengan
umumnya tetap terpelihara. Selain itu, pemeriksaan penunjang dan respon terhadap pungsi
lumbal/levodopa turut menjadi pembeda yang nyata antara penyakit Parkinson dan NPH.
 penyakit Alzheimer: pada penyakit Alzheimer fungsi kognitif yang dominan terganggu adalah
memori, diikuti oleh orientasi, kemampuan belajar, atensi dan fungsi eksekutif. Pada NPH
perlambatan proses pikir (cognitive slowing) tampak menonjol, dengan gangguan atensi,
konsentrasi dan fungsi kognitif yang borderline.
 penyakit Binswanger: dari imaging terlihat pembesaran pada ventrikel yang dominan pada NPH
dan perubahan white matter yang dominan pada penyakit Binswanger, akan tetapi kedua
penyakit ini sering terjadi bersamaan (co-existence) pada lansia. Pungsi lumbal dapat membantu
penegakan diagnosis.
 mielopati servikal: penyakit ini juga ditandai dengan gangguan berjalan dan berkemih.
Anamnesis yang baik, disertai pemeriksaan fisik dan imaging serta pungsi lumbal sangat
membantu untuk menyingkirkan diagnosis banding ini.

Tatalaksana
Asetazolamid dapat digunakan sebagai tatalaksana farmakologis untuk mengurangi
volume dan tekanan CSF akan tetapi efeknya kurang konsisten pada berbagai studi. Tatalaksana
definitif NPH adalah pemasangan shunt yang akan mengalirkan CSF dari ventrikel ke kavum
peritoneal yakni VP shunt (ventrikuloatrial atau ventrikulopleural shunt juga dapat dilakukan
tetapi jarang). Studi oleh Shaw dkk menunjukkan perbaikan gait pada 69% pasien dan perbaikan

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


B l o k 2 3 | 10

skor MMSE pada 63% pasien NPH yang menjalani VP shunt, di samping 15% pasien yang tidak
mengalami perbaikan sama sekali. Respon terhadap terapi ini dipengaruhi oleh akurasi diagnosis
dan berapa lama penyakit telah berlangsung. Tindakan VP shunt sendiri berpotensi menimbulkan
berbagai komplikasi seperti perdarahan subdural, infeksi intrakranial, dan nyeri kepala ortostatik
untuk itu perlu dilakukan follow up klinis dan imaging berkala.

Referensi:
1. Adams and Victor’s Principles of Neurlogy 11th ed.
2. Ammar E (ed). Hydrocephalus: What do we know and what do we still not know.. Springer.
2017.
3. Fritsch MJ, Kehler U, and Meier U. Normal Pressure Hydrocephalus: Patophysiology,
Diagnosis and Treatment. Thieme. 2014.
4. Damasceno BP. Neuroimaging in normal pressure hydrocephalus. Dement Neuropsychol 2015
December;9(4):350-355.
5. Gooriah R and Raman A. Idiopathic Normal Pressure Hydrocephalus: an Overview of
Patophysiology, Clinical Features, Diagnosis and Treatment. Intechopen. 2016.
6. Nassar BR and Lippa CF. Idiopathic Normal Pressure Hydrocephalus: a Review for General
Practitioners. Gerontology and Geriatric Medicine. 2016. (2): 1-6.

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


B l o k 2 3 | 11

ANATOMI DAN FISIOLOGI BERKEMIH (MICTURITION)

Ginjal menerima sekitar 25% dari cardiac output, menyaring 180 L darah perhari dan
menghasilkan 1 L urine perhari. Hasil filtrasi ginjal ini kemudian mengalir melalui ureter yang
panjangnya sekitar 25-30 cm dan menembus dinding kandung kemih secara oblique pada
ureterovesicular junction untuk membentuk one-way valve mechanism yang dapat mencegah urine
kembali ke ginjal selama masa pengisian kandung kemih (retrograde reflux).
Kandung kemih dapat menyimpan sekitar 400-500 cc urine. Secara anatomis, kandung
kemih dibagi menjadi ‘body’ atau ‘dome’ yaitu detrusor yang terdiri dari otot polos dan base yang
mencakup trigona dan ‘neck’. Terdapat dua jalan keluar dari kandung kemih yaitu internal
sphincter (terletak di base kandung kemih, disusun oleh otot polos) dan external sphinter (terletak
di ujung urethra, disusun oleh otot lurik).
Regulasi berkemih melibatkan berbagai mekanisme yakni kortikal, subkortikal, batang
otak, medulla spinalis dan kandung kemih. Area kontrol kortikal di lobus frontal dan cingulate
gyri serta area subkortikal menginhibisi pons dan mengeksitasi sfingter eksternal sebagai kontrol
volunter sehingga berkemih dapat ditunda hingga waktu dan tempat yang tepat.
Pusat miksi di batang otak (pontine micturition center/PMC, atau nukleus Barrington atau
regio-M) memodulasi efek parasimpatis dan simpatis di traktus urinarius bawah. Pada fase
pengisian kandung kemih PMC mengirimkan sinyal inhibisi sehingga medulla spinalis segmen
sakral tersupresi yang menyebabkan detrusor relaksasi dan secara simultan mengeksitasi medulla
spinalis segmen torakolumbal yang selanjutnya membuat sfingter internal berkontraksi.
Sebaliknya pada fase pengosongan kandung kemih PMC mengirimkan sinyal eksitasi ke medulla
spinalis segmen sakral sehingga detrusor berkontraksi dan secara simultan menginhibisi medulla
spinalis segmen torakolumbal yang menyebabkan sfingter internal relaksasi.
Informasi aferen mengenai situasi pengisian kandung kemih berasal dari serabut-serabut
sensoris di pleksus muskular dan suburothelial. Beberapa serabut mungkin meluas dari urothelium
menuju ke dalam rongga kandung kemih untuk mentranduksikan stimulus fisik dan kimiawi.
Mayoritas serabut sensoris ini adalah serabut Aδ yang bermyelin dan serabut C yang tidak
bermyelin. Serabut Aδ akan berespon terhadap distensi kandung kemih sedangkan serabut C
berespon terhadap stimulus nyeri. Serabut-serabut ini akan berjalan melalui N. Pelvikus menuju
ganglia dorsalis sakralis, selanjutnya ke kornu dorsalis medulla spinalis dan diteruskan ke atas

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


B l o k 2 3 | 12

menuju region PAG. Input sensoris yang masuk ke periaqueductal gray matter (PAG) selanjutnya
menuju hipothalamus dan thalamus dan kemudian diteruskan ke korteks cingula anterior, insula
dan korteks prefrontal. PAG sendiri memiliki pengaruh eksitatorik terhadap PMC. Area kortikal
menginhibisi PAG sedangkan hipothalamus mengeksitasi PAG. Ketika secara sadar diputuskan
akan berkemih kontrol inhibisi kortikal terhadap PAG dihentikan dan secara simultan
hipothalamus akan menstimulasi PAG untuk mengeksitasi PMC dan memulai proses berkemih.
Traktus urinarius bawah dipersarafi oleh tiga nervi yang bersifat campuran (sensorik-
motorik) yaitu N. Hipogastrikus (simpatis), N. Pelvikus (parasimpatis) dan N. Pudendus (somatis).
Inervasi simpatis pada traktus urinarius bawah muncul dari medulla spinalis T11-L2 yang
selanjutnya bersinaps di pleksus mesenterikus inferior dan pleksus hipogastrikus dan berlanjut
melalui N. Hipogastrikus menuju reseptor α-adrenergik pada fundus kandung kemih. Serabut saraf
simpatis ini juga masuk ke ganglia parasimpatis pada dinding kandung kemih untuk menjalankan
fungsi inhibisi pada ganglia tersebut. Aktivasi sistem simpatis torakolumbal akan menyebabkan
pelepasan norepinefrin pada traktus urinarius bawah yang menghasilkan relaksasi detrusor dan
kontraksi sfingter internal.
Inervasi parasimpatis pada traktus urinarius bawah muncul dari nukleus detrusor di
medulla spinalis S2-S4 kemudian diteruskan melalui N. Pelvikus menuju neuron parasimpatis
kholinergik di ganglia yang terletak di detrusor. Aktivasi sistem parasimpatis akan memicu
pelepasan asetilkholin yang kemudian akan memicu aktivasi reseptor muskarinik M2 dan M3 yang
selanjutnya akan menimbulkan kontraksi detrusor. Inervasi parasimpatis di urethra proksimal
menyebabkan pelepasan nitric oxide yang selanjutnya akan menyebabkan relaksasi otot polos
urethra.
Inervasi sistem saraf somatis muncul dari nukleus pudendus (nukleus Onuf) yang juga
berada di medulla spinalis S2-S4 yang kemudian berjalan melalui N. Pudendus menuju otot lurik
pada sfingter. Pusat supraspinal (volunter) mengeksitasi nukleus pudendus sehingga terjadi
kontraksi sifngter eksternal dan otot-otot dasar panggul (pelvic floor) selama fase pengisian
kandung kemih. Sebaliknya pada fase pengosongan kandung kemih pengaruh ini akan diinhibisi
sehingga sfingter eksternal dan pelvic floor akan relaksasi.

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


B l o k 2 3 | 13

Fase pengisian kandung kemih:


Pusat supraspinal menginhibisi PMC  eksitasi jalur simpatis torakolumbal, inhibisi jalur
parasimpatis sakral dan eksitasi jalur somatis  relaksasi otot polos detrusor, kontraksi otot
polos bladder neck, dan kontraksi otot lurik sfingter eksternal
Fase pengosongan kandung kemih:
Inhibisi supraspinal terhadap PMC ditekan  inhibisi jalur simpatis torakolumbal, eksitasi
parasimpatis sakral, dan supresi terhadap eksitasi jalur somatic  kontraksi otot polos
detrusor, relaksasi otot polos bladder neck, dan relaksasi otot lurik sfingter eksternal

NEUROGENIC BLADDER

SNPDI 2019

Neurogenic bladder adalah gangguan fungsi kandung kemih akibat penyakit neurologis.
Terminologi ini sudah mulai digantikan dengan neurogenic lower urinary tract dysfunction
(NLUTD) karena gangguan berkemih pada kasus-kasus neurologis tidak hanya terbatas pada
disfungsi kandung kemih, tetapi juga melibatkan bladder neck dan sfingter. Neurogenic bladder
sesungguhnya bukanlah diagnosis tersendiri karena disebabkan oleh penyakit lainnya. Neurogenic
bladder dialami oleh 90% pasien dengan spinal cord injury/SCI, 50-80% pasien dengan multiple
sclerosis, dan >95% pasien dengan spina bifida. Meskipun demikian kondisi ini perlu dipahami
karena berpotensi menimbulkan komplikasi seperti infeksi saluran kemih/ISK berulang, hingga
urosepsis dan gagal ginjal, di samping dampaknya terhadap kualitas hidup pasien.
Dahulu secara sederhana neurogenic bladder terdiri dari beberapa jenis:
1. Automatic bladder (spastic neurogenic bladder): umumnya terjadi pada fase spinal shock.
Setiap kali kandung kemih terisi penuh urine akan menetes keluar (automatic evacuation).
2. Atonic bladder: akibat disfungsi serabut saraf sensoris (dorsal sacral roots). Kandung kemih
menjadi hipotonus dan flaksid sehingga kehilangan kontrol. Kandung kemih terisi kemudian
urine mulai menetes setiap beberapa saat (overflows incontinence atau overflow dribbling).

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


B l o k 2 3 | 14

3. Uninhibited neurogenic bladder: terjadi akibat lesi pada batang otak sehingga sinyal inhibisi
terganggu dan terjadi eksitasi kontinyu pada spinal micturition centres oleh pusat yang lebih
tinggi. Meskipun urine dalam kandung kemih baru terkumpul sedikit sudah dapat memicu
reflex miksi sehingga terjadi peningkatan frekuensi miksi.
4. Nocturnal micturition (bed-wetting): terjadi akibat myelinasi yang belum sempurna pada
serabut saraf motorik kandung kemih sehingga kontrol volunter miksi pun belum terbentuk
sempurna. Umum terjadi pada anak berusia <3 tahun.

Klasifikasi berdasarkan anatomi


 Supra-pontine neurologic disorders
Lesi neurologis suprapontine (stroke, traumatic brain injury/TBI, NPH, cerebral palsy/CP,
penyakit Parkinson) menyebabkan hilangnya inhibisi PMC sehingga terjadi detrusor
overactivity spontan involunter. Fase pengisian kandung kemih adalah yang paling terganggu
pada kelompok ini. Beberapa laporan kasus/penelitian berbasis pemeriksaan urodinamik juga
melaporkan terjadinya detrusor overactivity with impaired contraction dan detrusor
underactivity dalam jumlah kecil. Pasien mengeluhkan uregency, frequency, nocturia hingga
inkontinensia.
 Pontine neurologic disorders
Kelainan ini jarang terjadi dan dapat disebabkan oleh tumor, stroke iskemik atau penyakit
genetik seperti cerebellar ataxia (termasuk Friedreich’s ataxia). Pasien umumnya
mengeluhkan retensio urine, dan pemeriksaan urodinamik dapat menunjukkan detrusor
underactivity dan dilatasi traktus urinarius atas.
 Supra-sacral spinal cord/UMN disorders
Kelompok ini ditandai oleh gangguan pengisian dan pengosongan kandung kemih dimana
terjadi detrusor-sphincter dyssynergia/DSD. Pasien mengeluhkan urgency, frequency dan
hesitancy. Sebagian mengeluhkan retensio urine. Penyebab kelainan ini terutama adalah SCI,
degenerative disc disease/DDD, dan spina bifida.
 Sacral spinal cord disorders
Gangguan pada medulla spinalis segmen sakral akan menyebabkan kontraksi detrusor yang
lemah atau tidak ada sama sekali (acontractile detrusor) dan kontraksi otot polos sfingter
urethra yang bersifat tonik (non-relaxing urethral sphincter obstruction) dengan keluhan

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


B l o k 2 3 | 15

utama pada fase pengosongan kandung kemih. Uroflow bisa menurun atau tidak ada, dan studi
urodinamik bisa menunjukkan tekanan abdomen saat usaha berkemih dan post void residual
yang tinggi. Sindrom kauda equine atau komplikasi post-op pelvis bisa menyebabkan kondisi
ini.
 Lower motor neuron/neuropathy disorders
Studi menunjukkan diabetes melitus dapat menyebabkan detrusor underactivity hingga 50%
sehingga penyandangnya sangat berisiko mengalami inkontinensia urine. Neuropati perifer
(akibat kecanduan alcohol, porfiria, sarkoidosis, herpes zoster/simpleks, dll) dapat
menyebabkan terganggunya sensasi pengisian kandung kemih. Sindrom Guillain-Barre juga
dapat menyebabkan gangguan berkemih, umumnya retensio urine.
 Demyelinization disorders
Suatu studi menunjukkan sebanyak 544 pasien multiple sclerosis mengalami neurogenic
bladder.
 Syndrome with no neurologic lesion (Fowler’s syndrome)
Sindrom Fowler ditandai dengan wanita muda yang mengalami spasme sfingter urethra
idiopatik. Pasien mengalami retensio urine dengan gejala nyeri ketika berkemih. Sacral
neuromodulation merupakan pilihan terapi pada kasus ini.

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


B l o k 2 3 | 16

Selain klasifikasi di atas, terdapat pembagian neurogenic bladder berdasarkan lokasi lesi
tetapi lebih sederhana yakni suprapontine, suprasakral, sakral, dan infrasakral yang diajukan oleh
Panicker dkk. Maderbascher juga menyusun suatu model klasifikasi berdasarkan tonus kandung
kemih dan sfingter. Meskipun mudah dipahami dan dapat ditentukan melalui pemeriksaan
urodinamik, tonus dari kedua struktur tersebut dapat berubah seiring perjalanan penyakit dan
tergantung pada penyebabnya.

Penegakan diagnosis
Pada anamnesis harus ditanyakan keluhan saat berkemih di antaranya:
 Apakah BAK menjadi lebih sering? (frequency)
 Apakah BAK menjadi lebih sukar ditahan? (urgency)
 Apakah ada nyeri saat BAK (dysuria)
 Apakah ada kesulitan memulai/mempertahankan BAK (harus mengedan, urine keluar terputus-
putus/menetes)? (hesitancy)
 Apakah ada rasa seperti tidak tuntas/lampias?
Keluhan tersebut bisa terjadi bersamaan. Perlu ditanyakan sejak kapan keluhan muncul. Selain itu
perlu ditanyakan intake cairan, riwayat trauma (terutama yang mengarah ke SCI), riwayat
penyakit atau tindakan medis (DM, stroke, tumor, pemasangan kateter sebelumnya dan operasi),
dan riwayat konsumsi obat-obatan (sedatif, antidepresan, antispikotik, antikolinergik,
antispasmodik, agonis/antagonis alfa-adrenergik, calcium-channel blocker). Pada pemeriksaan
fisik perlu difokuskan untuk mencari kelainan struktural seperti pembesaran prostat dan prolaps

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


B l o k 2 3 | 17

kandung kemih, selain pemeriksaan neurologis yang mencakup status mental, motorik dan
sensorik terutama dermatom sakral, serta tonus rektal volunter dan refleks fisiologis (refleks anal
dan bulbokavernosus) terutama pada kasus SCI.
Evaluasi laboratorium yang perlu dilakukan adalah urinalisis, kultur urin, ureum dan
kreatinin serta klirens kreatinin. Perlu diperiksan juga volume urin post-void residual (PVR)
dengan pemasangan kateter untuk mengukur sisa urine yang tertinggal di dalam kandung kemih
segera setelah berkemih sehingga dapat ditentukan kemampuan pengosongan kandung kemih.
Pemeriksaan lanjutan/advanced adalah urodynamic evaluation di antaranya:
 Urinary flowmetry
 Bladder cystometogram/electromyogram (CMG/EMG)
 Valsava leak point pressure (LPP) measurement
 Urethral pressure profile
Video-urodynamic dengan fluoroscopy merupakan pemeriksaan gold-standard.

Tatalaksana
 Nonfarmakologis: bladder retraining and fluid schedule dan tatalaksana operatif
(neuromodulation for detrusor overactivity, enterocytoplasty, urinary diversion,
sphincterotomy, urethral stents and balloon dilatation, dan artificial urinary sphincter).
 Farmakologis: obat yang paling umum digunakan pada gangguan berkemih adalah golongan
antagonis alpha-1-adrenergik seperti terazosin, tamsulosin, alfuzosin, doxazosin yang
menghambat reseptor simpatis di bladder neck dan urethra untuk mengurangi resistensi outflow
urine. Mereka juga memiliki efek vasodilator pada otot polos arterial sehingga menyebabkan
penurunan tekanan darah.

Referensi
1. Cameron AP. Medical management of neurogenic bladder with oral therapy. Transl Androl
Urol. 2016; 5(1): 51-62.
2. Corcos J, Ginsberg D, Karsenty G (eds). Textbook of Neurogenic Bladder 3rd ed. Taylor
and Francis Goup. Boca Raton. 2016.
3. Dorsher PT dan McIntosh PM. Neurogenic bladder. Advances in Urology. 2012. Doi:
10.1155/2012/816274.

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI


B l o k 2 3 | 18

4. Ginsberg DA, dkk. The AUA/SUFU Guideline On Adult Neurogenic Lower Urinary Tract
Dysfunction: diagnosis and evaluation. The Journal of Urology. 2021 206: 1097-1105.
5. Kavanagh A, dkk. Canadian Urological Associatiion Guideline: diagnosis, management,
surveillance of neurogenic lower urinary tract dysfunction. Can Urol Assoc J. 2019; 13(6):
EI57-76.
6. Powell CR. Not all neurogenic bladders are the same: a proposal for a new neurogenic
bladder classification system. Transl Androl Urol. 2016; 5(1): 12-21.

Rini Nindela | BAGIAN NEUROLOGI FK UNSRI

Anda mungkin juga menyukai