4
Alam, D. M. (2018). Pan Islamisme Jamalludin Al-Afghani Dalam Perspektif Politik Islam. 16-17
menghilangkan cadar yang menutupi dunia Islam kita perlu
menegaskan bahwa wahyu al-Qur’an itu bersifat rasional secara
sempurna, dan bahwa ajaran nabi mengandung kemungkinan-
kemungkinan yang tak terhingga Ketika kaum mukminin hidup
menurut ajaran agama yang mendorong untuk berfikir yang memiliki
akal yang keritis, Islam tanpak sebagai obor kemajuan.
Kerusakan dalam dinasti Umaiyah di Andalusia disamping adanya
berbagai penyakit seperti diatas, juga akibat dari tidak konsistennya
dalam pengalamannya Islam dalam memimpin Negara. Sesungguhnya
Islam mengajarkan prinsip demokrasi dalam kehidupan bernegara.
Penegasan seperti ini tidak sekedar pengakuan dari orang Islam
sendiri, melaikan orang lain pun mengakui secara jujur sebagaimana
pengakuan yang dikemukakan oleh Profesor Lybyer bahwa syariat
Islam adalah demokratis pada pokoknya, dan pada prinsip musuh
bagi Absolutisme.
5
Alam, D. M. (2018). Pan Islamisme Jamalludin Al-Afghani Dalam Perspektif Politik Islam. 16-17
Persoalan Islam dan Negara merupakan persoalan ijtihadiyah
karena itu pertimbangannya senantiasa merujuk pada perkembangan sosial
dan budaya yang berkembang dan sah bila mana terjadi perbedaan
pemikiran dan implementasinya dalam berbangsa dan bernegara. Ketiga
kelompok yang berbeda ini sama-sama berusaha merespon tantangan
sistem politik dan pemerintahan Barat, seperti nasionalisme, demokrasi,
liberalisme dan sebagainya, serta nilai-nilai dasar yang melatarinya seperti
persamaan. Di Indonesia, keinginan untuk menegakkan syari`at Islam,
baik melalui jalur politik dan konstitusi yang legal maupun melalui
perjuangan fisik dengan menentang pemerintah yang sah telah menjadi
sebagian dari sejarah panjang perjuangan umat Islam di negari ini. Namun
demikian kenyataan sosial politik menujukkan bahwa gagasan semacam
itu tidak pernah mendapat dukungan mayoritas penduduk.
Pada era reformasi muncul kembali partai politik yang berasas
Islam (partai Islam). Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunculan
kembali partai- partai Islam tersebut. Pertama, faktor teologis yang
melahirkan doktrin bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
politik dan negara. Kedua, faktor sosiologis di mana umat Islam Indonesia
mayoritas sehingga perlu adanya wadah untuk mereka. Ketiga, faktor
historis di mana keberadaan partai Islam tidak bisa lepas dari sejarah masa
lalu di mana partai Islam telah ada dan ikut andil dalam perjuangan bangsa
Indonesia. Ke-empat, faktor reformasi yang melahirkan kebebasan dan
demokratisasi dimana setiap golongan dan kelompok dibuka peluang
untuk membentuk/mendirikan partai politik.
Namun kemunculan kembali partai politik Islam tersebut
mengalami perpecahan atau fragmentasi di mana partai Islam yang
dibentuk atau berdiri begitu banyak (satu Islam banyak partai).
Tampaknya sifat fragmentasi ini sudah menjadi hal yang lumrah bagi
kekuatan-kekuatan Islam di Indonesia semenjak zaman perjuangan dulu.
Oleh karena itu tidak heran ketika dari kalangan Islam modernis lahir
partai- partai politik seperti PBB, PUI, Masyumi Baru dan Partai Islam
Masyumi (serta PAN yang tidak berdasarkan asas Islam tetapi nasionalis-
religius). Sedangkan dari kalangan tradisionalis lahir partai politik seperti
PKU dan PNU (di samping PKB yang tidak berdasarkan pada asas Islam
namun nasionalis-religius). Sementara dari rahim Sarekat Islam, telah lahir
partai politik seperti PSII dan PSII 1905. Hal ini karena di samping jumlah
partai politik Islam yang banyak juga karena faktor elite- elite politik
Islam yang mendirikan partai politik yang berorientasi nasionalis-religius
dan pluralis, seperti PKB dan PAN. Kedua partai tersebut mempunyai
basis yang kuat dan besar, yaitu NU dan Muhammadiyah. Selain itu juga,
di kalangan umat Islam telah terjadi perubahan ideologis di mana mereka
lebih melihat substansi Islam daripada formalisme Islam dalam bentuk
partai Islam.Argumentasi tersebut di atas semakin mendapat justifikasi,
terlihat dari menurunnya dukungan umat Islam ter-hadap PPP dan PBB,
padahal kedua partai ini mengusung syari‟at Islam dalam perjuangannya.
Sementara itu, PKS meski sebagai partai Islam tidak mengusung tema-
tema Islam yang membuat orang takut tetapi pada tema-tema yang selama
ini menjadi perhatian masyarakat luas, yaitu pemerintahan yang bersih,
bebas dari KKN, penegakan keadilan dan kejujuran. Dengan demikian,
dapat dikatakan, tema-tema yang bersifat keagamaan tampaknya kurang
menarik lagi bagi pemilih Islam, sebaliknya menginginkan tema-tema
yang berkaitan dengan persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat
selama ini. 6
6
Alam, D. M. (2018). Pan Islamisme Jamalludin Al-Afghani Dalam Perspektif Politik Islam. 16-17
demikian, orang Islam sedunia bersatu (dalam satu nasionalitas) karena
ikatan agama.
Orang Islam di Nusantara, negara-negara Arab, dan Eropa Timur
seperti Azarbaijan satu nasionalitas di bawah kerajaan Utsmani, karena
kesamaan agama. Mereka belum menyadari adanya perbedaan-perbedaan
lain seperti bangsa, budaya dan geografis. Namun, di penghujung abad ke-
18 ke satuan yang didasarkan atas persamaan agama mulai berubah karena
lahir pemikiran nasionalisme yang menawarkan kesatuan baru atas dasar
persamaan kebudayaan, geografis, dan kebangsaan. 7
Pemikiran ini berkembang pesat pada abad ke-19 dan seterusnya di
Turki, Mesir, Syiria, dan negara-negara Islam lain termasuk Indonesia.
Kesadaran baru ini muncul disebabkan oleh keinginan rakyat melepaskan
di kekuasaan-kekuasaan imperium, pengaruh-pengaruh negara Barat yang
lebih awal merdeka, serta pemikiran-pemikiran barat tentang leberasi. Di
Turki Zia Gokalp, yang dipandang sebagai bapak Nasionalisme,
menawarkan nasionalitas didasarkan bukan pada agama semata (millet),
bangsa (race), wilayah kerajaan Utsmani, tetapi pada kebudayaan. Baginya
kebudayaan meliputi agama, moralitas, hukum, kegiatan intelektual, seri,
ekonomi, bahasa dan teknik. Hanya saja mahami agama bukan institusinya
yang sangat kuat saat itu, tetapi hanya kepercayaan dan ritual. Justru ia
ingin memisahkan keterlibatan agama dari kehidupan politik. Selanjutnya
pemikiran Gokalp ini di tandaskan oleh Halide Adib dengan panda
ngannya bahwa nasionalitas Turki terbatas pada Turki Kerajaan Utsmani
dan daerah geografisnya terbatas pada daerah Republik Turki sekarang.
Untuk menyempurnakan pemikiran nasionalisme di atas, maka para
pemimpin negara seperti At-Tatturk berusaha menggali akar-akar
kebudayaan nasional Turki. Ia melihat bahwa kebudayaan Turki jauh lebih
baik dan maju daripada kebudayaan lain. Islam yang telah mengakar di
tengah masyarakat, Jalah agama yang modern. Namun, lembaga-lemaga
keagamaan masih tradisional. Untuk itu ia harus dimodernkan. Bangsa
Turki harus melakukan salat dan berdoa dengan bahasa nasionalnya agar
7
Drs. Moh. Nurhakim, M. (1996). Pemikiran Politik Islam Modern : Dari Monarki ke Demokrasi.
Bestari.
hal itu dapat dihayati. Lembaga-lembaga keagamaan harus dikelola secara
professional dan dipisahkan dari kaitan langsung dengan negara.
Sementara itu, pemikiran nasionalisme di Mesir dirintis oleh Al-Tahtawi
(1801-1873) dengan ide patriotismenya. Baginya patriotisme (kecintaan
terhadap tanah air), merupakan dasar masyarakat yang berperadaban,
selain ada persaudaraan Islam, harus ada pula persaudaraan tanah air yang
menyatukan masyarakat Mesir.
Sebagai orang yang cinta tanah air, ia mesti tunduk pada undang-
undang Mesir dan berkorban demi tanah airnya. Seluruh orang Mesir
bersatu dan bersaudara atas dasar prinsip ini. Ide ini kemudian dipertegas
oleh Jamaluddin Al-Afghani dengan slogannya yang terkenal, "Mesir
untuk orang Mesir", dan juga Ahmad Luthfi Sayyid. Tokoh yang terakhir
ini berpendapat bahwa Pan Islamisme dan Pan Arabieme tidak lagi relevan
dengan realitas dunia di zaman modern. ini yang, kenyataannya telah
terbagi-bagi dalam berbagai wilayah dan kebangsaan. Pandangan ini dan
slogan di atas untuk membangun kesadaran Mesir sebagai bangsa yang
memiliki akar budaya. Orang Mesir mesti bersatu dalam untuk
menghadapi kekuatan imperalisme. Persamaan ide nasionalisme antara
Turki dan Mesir adalah sebuah pencarian jati diri sebuah bangsa dengan
mendasarkan diri pada akar kebudayaan serta kesamaan elemen-elmennya.
Dan, sebuah pengakuan bahwa unsur pengikat nasionalitas tidak hanya
agama, tetapi juga unsur-unsur lain. Adapun perbedaannya terletak pada,
yang pertama bahwa ide nasionalisme lahir karena kesadaran untuk
melepaskan diri dari pengaruh Kerajaan Utsmani yang dirasa tidak efektif,
sedang pada yang kedua bahwa dominasi imperalisme Barat harus
dilenyapkan dari bumi Mesir.
2. Sekularisme dan Konstitusionalisme
Dalam sistem monarkhi absolut seringkali agama dijadikan alat
legitimasi politik untuk memperkuat keinginan-keinginan raja. Upacara-
upacara dan simbol-simbol kegamaan diadakan, bahkan ajaran-ajaran
tertentu diinstitusionalisasikan untuk memperkuat status raja di kalagan
rakyat mayoritas Muslim. Sebagai akibatnya, citra agama menjadi jelek
jika institusi-institusi keagamaan tidak mampu memerankan tugas-tugas
sosialnya. Kenyataan ini terjadi di sejumlah negara muslim seperti Turki,
Mesir dan India. Para tokoh pembaharu di negeri ini melihat bahwa
kemunduran Islam disebabkan oleh faktor ini. Untuk itu mereka
mengadakan sekularisasi dalam kehidupan agama.
Ide sekularisme di Turki dibawakan oleh Mustafa Kemal sejak
tahun 1925 sampai dengan akhir tahun 40-an secara gencar. Ia mencoba
membuat rasionalisasi kehidupan agama, mana aspek yang sakral
(keyakinan ketuhanan), maka ia mesti disakralkan dan mana aspek yang
profan (politik keagamaan misalnya) diprofankan. Keduanya tidak boleh
dicumpuradukkan maka, kehidupan agama harus dipisahkan dari
kehidupan politik. Agama tidak boleh digunakan sebagai alat legitimasi
politik, demikian pula politik tidak boleh digunakan untuk kepentingan
agama. Ide ini muncul sebagai reaksi keras ter hadap lembaga agama
Syaikh al-Islam yang sangat dominan pada masa pemerintahan Utsmani.
Lembaga representasi ulama tradisional ini mempunyai wewenang sebagai
lembaga penasehat raja, membawahi fungsi kementrian urusan agama,
kehakiman, pendidikan dan wakaf. Menurut kelompok sekularis,
kemunduran disebabkan oleh penanganan berbagai urusan di atas yang
tidak professional dan rasional oleh Syaikh al- Islam. Sementara itu,
loyalitas lembaga ini diberikan kepada raja yang absolut, bukan kepada
rakyat, akhirnya rakyat yang sering dikalahkan. Melihat reali taperti ini,
Kemal mengadakan pebatasan terhadap wewenang Syaikh al-Islam hanya
pada urusan keagamaan saja. Sementara urusan-urusan yang lain diberikan
kepada masing-masing kementrian sesuai dengan pertimbangan modern.
Jauh sebelum ide sekularisme Kemal digulirkan, sejumlah tokoh
Turki Muda membawakan ide Konstitusionalisme. Jika ide sekularisme
Kemal bertujuan membatasi dominasi agama terhadap berbagai bidang
kehidupan tetapi ide konstitusionalisme bertujuan untuk membatasi
wewenang dan ke kuasaan raja yang absolut (Sultan Abd al Hamid). Bagi
mereka, penyebab kemunduran adalah absolutisme raja yang didukung
oleh konvensi-konvensi tradisional yang telah lama disakralkan. Untuk itu,
konvensi-konvensi itu harus diganti dengan undang-undang baru yang
modern. Undang-undang dimaksud sepenuhnya diambil dari Barat
(Perancis dan Swiss). Usaha ini mengalami pasang surut dan terus
diupayakan sampai dengan masa terakhir, Mustafa Kemal, yang berhasil
membuat Turki sebagai negara modern yang sekuler.
Di Mesir sekularisme dibawakan oleh Thaha Husein, Ahmad
Luthfi Sayyid dan Ali Abd Raziq. Menurut Thaha Husein, kejayaan dunia
Islam dapat terwujud kembali bukan dengan cara kembali kepada ajaran
Islam yang lama ataupun tajdid, tetapi harus dengan sekularisasi dan
liberalisasi ala Barat. Baginya, sejak awal sejarahnya, Islam dan negara
terpisah, konstitusi negara merupakan sesuatu yang bersifat keduniaan
(sekuler) yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan praktis
Pendapat semacam sejalan dengan penda pat Ali Abu Al-Raziq
ketika memberikan ar gumentasi atas pandangan-nya, bahwa Muhammad
diutus semata hanya untuk menyampaikan agama murni (Rasul), bukan
untuk mendirikan sebuah negara. Dengan pendapat seperti ini Raziq
hendak mengatakan bahwa Islam tidak menetapkan suatu bentuk negar,
sistem khilafah yang telah lama menjadi adisi juga bukan merupakan
keharusan agama. Baginya tidak ada halangan orang Islam meninggalkan
sistem tersebut dan beralih ke sistem baru dari Barat, toh Al-Qur'an dan
Rasul tidak memastikan sistem tertentu.
Jika dilihat dari dua kasus sekularisasi di Turki dan di Mesir, dapat
disimpulkan bahwa pada yang pertama sekularisasi dan konstitusionalisasi
diorientasikan untuk membatasi dominasi agama dalam kehidupan politik,
dan absolutisme sistem kerajaan yang diteguhkan oleh kekuatan agama.
Sementara pada kasus kedua sekularisasi diorientasikan untuk
mengadakan transformasi pemikiran umat Islam menuju ranalisasi, dan
tidak memasuki wilayah institusi politik secara langsung. Namun
keduanya mempunyai kesamaan orientasi akhir, yakni bagaimana umat
Islam tidak mengabsolutkan tradisi, umat Islam mesti mencari alternatif
baru untuk keluar dari pemasungan sistem lama.
3. Teodemokrasi atau Demokrasi Barat
Setelah mengenal ide nasionalisme, sekularisme dan
konstitusionalisme, selanjutnya memasuki abad ke 20 umat Islam
mengenal ide demokrasi. Ide ini semakin menjadi keniscayaan menjelang
dan masa-masa awal pasca kemerdekaan negara-negara Islam. Pada saat
itu para pembaharu Islam dituntut segera merumuskan sistem dan bentuk
negara, di satu sisi relevan dengan tuntutan modern, namun di sisi lain
tetap berakar kepada Islam. Pertanyaan yang harus dijawab, jika
demokrasi merupakan sist alternatif, maka demokrasi yang bagaimana
yang mungkin diterapkan di negara-negara Islam.
Sebenarnya dasar-dasar ide demokrasi telah diperkenalkan di dunia
Islam pada abad ke 18 ketika Al-Tahtawi (1801-1873), tokoh pembaharu
di Mesir, membawakan sistem parlementer Perancis yang kemudian ia
sebut Mashwara. Dasar-dasar ini kemudian dikembangkan bahkan pada
batas-batas tertentu telah diupayakan penerapannya melalui Partai
Nasional oleh Muhammad Abduh. Menurutnya, bahwa Islam tidak
mengenal kekuasaan yang diatasnamakan pada agama. Ia menolak paham
sebagian pemikir klasik yang menyatakan bahwa keku asaan raja
merupakan mandat dari Tuhan, karenanya ia bertanggungjawab kepada-
Nya. Kepala negara, menurutnya, diangkat dan di berhentikan oleh rakyat,
karenanya ia bertang gungjawab kepadanya. Kepala negara bukan sebagai
wakil atau bayang-bayang Tuhan di bumi yang mewajibkan setiap Muslim
tunduk kepada demi agama, meskipun perilakunya bertentangan dengan
agama. Berdasarkan gagasan reformasi politik Abduh dalam Partai
Nasional, serta dasar-dasar ide-nya di atas, Munawir Sjadzali sampai pada
kesimpulan bahwa tampaknya Abduh tidak mendam bakan berdirinya
suatu negara Islam di Mesir, tetapi negara nasional yang
kewarganegaraannya meliputi seluruh penduduk Mesir, apapun agama dan
statusnya.
Ide Abduh inilah yang kemudian mempengaruhi pandangan para
pengikutnya seperti Ahmad Luthfi Sayyid, Thaha Husein dan Ali 'Abd al-
Ra yang sekuler. Mereka menghendaki sistem demokrasi, tetapi tidak dari
Islam, namun dari Barat, sebab dengan sistem tersebut telah terbukti Barat
mengalami kemajuan pesat. Dalam sistem demokrasi Barat, kekuasaan
negara sepenuhnya ditangan rakyat melalui perwakilan. Rakyat yang
memilih, mengangkat dan memberhentikan kepala negara. Karena itu,
undang-undang dibuat oleh rakyat, kepala negara harus menjalankannya,
dan ia bertanggungjwab kepada rakyat. Sementara itu, badan legislatif,
eksekutif dan yudikatif haruslah terpisah dan indeenden. Sistem semacam
inilah yang diinginkan oleh para pembaharu sekuler tadi.
Akan tetapi, ide ini segera mendapat tan tangan dari sejumlah
tokoh pembaharu lain yang menghendaki "demokrasi" als Istam. Di antara
tokoh yang paling sistematis, teoritis dan lengkap pemikirannya tentang
sistem ne gara Islam adalah Abul A'la Al-Maududi dari Pakistan. Ia sama
sekali tidak sependapat dengan gagasan demokrasi ala Barat seperti
disebut di atas. Sebaliknya ia menawarkan beberapa ide tentang sistem
negara Islam sebagai berikut.
Pertama, bahwa sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut
demokratis. Sebab, dalam Islam kekuasaan berada sepenuhnya di tangan
Allah, bukan rakyat. Kalaupun sistem itu teokrasi, namun bukan teokrasi
ala Eropa yang berarti kekuasaan berada di tangan kelas tertentu, pendeta,
yang memerintah negara secara sewenang-wenang dengan berlindung di
belakang hukum-hukum Tuhan. Sedangkan teokrasi dalam Islam,
kekuasaan Tuhan itu berada di tangan umat Islam sejalan dengan Al-
Quran dan Al- Sunnah. Namun, jika dilihat bahwa dalam sistem ini umat
Islam mempunyai kedaulatan rakyat meskipun terbatas, selanjutnya Al-
Maududi mengusulkan istilah teodemokrasi.
Kedua, kepala negara dibentuk oleh umat Islam, mereka berhak
memecat jabatannya, jika ia melanggar ketentuan Al-Qur'an. Umat Islam
mempunyai hak untuk menafsirkan teks agama, dan menyelesaikan
persoalan kenegaraan yang tidak ada hukumnya yang jelas dalam syari'at
Islam melalui ijma'.
Ketiga, kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga, eksutif,
legislatif dan yudikatif dengan ketentuan-ketentuan, 1. kepala negara
bertanggungjawab kepada Allah dan umat Islam, 2. keputusan lembaga
legislatif pada dasarnya didasarkan pada suara mayoritas, tetapi itu bukan
ukuran kebenaran mutlak, 3. kepala negara boleh tidak mengikuti pendapat
lembaga legislatif meskipun telah didukung oleh mayoritas umat Islam, 4.
kampanye untuk pemilihan tidak dibenarkan, sebab dalam Islam tidak ada
jabatan diberikan karena seseorang memintanya, Anggota majlis tidak
boleh terbagi-bagi menjadi parta-parta, aspi rasi majlis bersifat individual;
lembaga judikatif harus mandiri, terlepas dari lembaga eksekutif, ia
bertugas menjalankan hukum-hukum Allah, karenanya lembaga ini
bertanggung jawab kepada Allah juga.
Melihat ide-ide Al-Maududi di atas, tampaknya ia di satu sisi tidak
dapat terlepas dari kerangka dan logika yang berlaku pada demokrasi yang
ditawarkan oleh kelompok sekularis. Ia tetap menggunakan terminologi
sistem demokrasi dengan elemen-elemennya seperti tiga lembaga
legislatif, ekskutif dan yudikatif yang biasa dikenal dengan teori
Triaspolitika. Namun, di sisi lain ia berusaha untuk mencari landasan
teologis serta tradisi Islam tertentu (pemerintahan Khulafa' al-Rasy idun).
Misalnya, ia selalu menekankan kedaulatan di tangan Allah semata, suara
terbanyak bukanlah jaminan kebenaran, dan kepala negara boleh tidak
mentaati putusan majlis syura. Dengan demikian, di satu sisi Al-Maududi
tampak mencita-citakan negara yang demokratis, dalam arti menolak
absolutisme kekuasaan dan menerima keterlibatan rakyat dalam urusan
negara. Namun, di sisi lain ia mendambakan negara yang tetap
berdasarkan pada prinsip-prinsip ilahiyah. Hal ini di perkuat dengan
penggunaan istilah sistem negara yang ia tawarkan, di satu sisi ia
menawarkan istilah teokrasii (tetapi berbeda de ngan teokrasi di Barat),
dan di sisi lain ia justeru menawarkan istilah teodemokrasi Disinilah letak
menariknya ide Al-Maududi, teoritis dan sistematis, mengintegrasikan
antara nilai tradisi dan nilai modern. Tetapi, justru di sini pula terlihat
kelemahannya, ke tidak konsistenan antara satu konsep dengan konsep lain
tidak dapat ia hindari. 8
8
Drs. Moh. Nurhakim, M. (1996). Pemikiran Politik Islam Modern : Dari Monarki ke Demokrasi. Be
stari.