Anda di halaman 1dari 5

Setitik Saja Cukup

Hari menjelang malam ketika pikiranku mengembara ke keberadaan hutan di Riau


yang terbakar hingga ratusan hektar. Beberapa teman dan sanak keluarga yang tinggal di
Sumatera Utara mengeluhkan jadwal penerbangan yang delay. Asap yang tebal
menyebabkan pihak penerbangan menunda beberapa penerbangan.
“Sampai kapan nih, keadaan seperti ini berlangsung. Banyak pekerjaan jadi tertunda
lho,” respon seorang kerabat yang harus terbang bolak-balik Jakarta-Medan seminggu
sekali.
Entah berapa kerugian masyarakat yang harus mengatur ulang jadwal mereka akibat
asap yang muncul dari kebakaran hutan di Riau. Belum lagi penyakit ISPA yang harus
diderita masyarakat yang berada dalam radius berdekatan dengan sumber kebakaran.
Sungguh merugikan banyak orang. Membingungkan banyak pihak.
***
Yang menjadi bahan pikirku hingga malam usai melihat pemberitaan tersebut adalah
penyebab kebakaran hebat itu. Sebuah puntung rokok disinyalir menjadi penyebabnya.
Sebuah puntung rokok? Gak salah nih? tanyaku dalam hati. Seberapa besar sih api yang
ada pada sepucuk puntung rokok? Ah … pemberitaan itu terlalu mengada-ada.
Selidik punya selidik, ternyata hal itu benar adanya. Setelah membaca artikel di
beberapa media, yakinlah aku bahwa memang sebuah puntung rokok telah menyebabkan
kebakaran hutan yang sedemikian hebat tersebut. Alamak ….
***
Sama seperti setitik api yang ada di ujung puntung rokok, aku terus berpikir bahwa
lidah manusia juga mampu memunculkan sebuah ‘kebakaran’. Bisa dalam bentuk
perselisihan, fitnah hingga peperangan antar negara.
Tetapi dengan lidah pula, sebuah bangsa bahkan peradaban bisa terbangun. Bung
Karno telah membuktikannya saat terjadi Rapat Raksasa di Lapangan Ikada. Melalui
kepiawaian beliau dalam ber-orasi, semangat rakyat di penjuru nusantara terbangun untuk
lepas dari penindasan penjajah. Wow ….
Lidah adalah bagian tubuh manusia yang kecil, terlihat lemah dan tak berguna. Tak
berguna? Wah … tak ada satupun ciptaan Tuhan yang tak memiliki guna.
Lidah kita bentuknya kecil tetapi memiliki kekuatan untuk membangun ataupun
menghancurkan. Tergantung pada setiap individu yang menggunakan lidah tersebut.
Karena itu berhati-hatilah dengan lidah kita.
Kenakanlah ‘tali kekang’ pada lidah kita masing-masing. Setajam tulisan seorang
pengarang, demikian pula fungsi lidah pada hidup seseorang. Kekang artinya kendali.
Secara garis besar guna tali kekang bagi lidah kita adalah mengendalikan lidah supaya
mengeluarkan perkataan yang baik saja, yang membangun saja.
Bahkan bisa kita katakan bahwa orang yang mampu mengendalikan lidahnya seperti
seorang pahlawan yang berhasil menaklukkan sebuah negara. Sungguh luar biasa! Siapa
yang tak ingin menjadi pahlawan? Semua pasti menginginkannya. Jika demikian, yuk
belajar mengendalikan lidah kita.
Dimulai dengan mengatakan hal-hal baik tanpa bermaksud menjilat. Memberi
respon melalui perkataan yang membangun. Menjaga etika dan kesantunan dalam
berbicara. Sulitkah? Mudahkah? Mengapa tak kita coba saja? Yuk ….
Lidah Itu Berbisa

Ada sebuah pengalaman tak menyenangkan yang pernah kualami. Statusku yang
bercerai dari mantan suami beberapa tahun silam, sering menjadi perbincangan tetangga
dalam konteks yang negatif. Kaum pria memandangku dengan nada ‘miring’. Kaum wanita
melihatku sebagai sebuah ancaman bagi keluarganya. Yaaahh … takut kalau aku jadi
pelakor. Amit-amit ….
Mungkin karena usiaku masih muda dan cantik. Ooppss … sombong deh.
Perbincangan beberapa orang tersebut awal mulanya tak terlalu kuhiraukan. Ada 2 anak
yang harus kupelihara dan kuasuh sendirian. Tak ada waktu untuk bincang-bincang
seperti itu.
Hari demi hari berlalu, gossip itu sungguh-sungguh semakin digosok semakin sip.
Bukannya memudar, justru semakin tajam dan berakhir dengan beredarnya berita bahwa
aku sering ‘memasukkan’ lelaki muda ke dalam rumah pada waktu malam hari. Wah …
kalau ini sudah tidak bener.
Anak-anak juga mulai melancarkan ‘protes’nya. Mereka sering ditanya tetangga
tentang keberadaan ayahnya. Selalu ada kata-kata ‘ouwh pantas’.
“Maksudnya apa to, Buk?” Kakak menanyakannya padaku suatu saat.
Hatiku bergetar. Wah … ini sudah tidak bisa diterima lagi. Silakan menghinaku,
tetapi jangan ‘senggol’ anak-anakku. Hatiku panas.
***
Saat acara ‘barikan’1di RT kami, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku ikut kegiatan
ibu-ibu memasak. Kegiatan ini sebelum pandemi lho. Mulai pagi sudah kupersiapkan
hatiku untuk ‘melancarkan protes’ ini.
Setiba di lokasi memasak di Balai RW, aku memilih untuk menangani ayam.
Seharusnya ayam dipotong dulu baru diolah. Tetapi yang kulakukan membuat ibu-ibu
yang sedang memasak menjerit ngeri.
“Ya Tuhan, Bu !!” pekik seorang ibu saat pertama kali melihat kelakuanku.
Kuteruskan saja kegiatanku mencabuti bulu ayam sementara ayamnya belum
kupotong.
1
Barikan, kegiatan syukuran warga menjelang peringatan proklamasi NRI, malam hari tanggal 16 Agustus.
“Kejam sekali, sampeyan iki, Bu!” kata ibu yang lain.
Aku menunggu semua ibu-ibu yang ada berkerumun di dekatku sambal meneruskan
aktifitas mencabut bulu ayam yang belum terpotong. Dalam hatiku sungguh tersiksa pula
saat melakukan hal ini.
“Cukup! Hentikan, Bu!” teriak seorang ibu yang kutunggu-tunggu.
Ini dia! Ibu yang kutunggu-tunggu itu akhirnya merespon kegiatan yang kulakukan.
Kuhentikan tanganku yang sedikit bergetar saat mencabut bulu ayam. Aku masih normal.
Dalam hati juga menyimpan kengerian saat melihat dan mendengar ayam itu menjerit-jerit
kesakitan.
“Sampeyan itu kejam sekali ya jadi orang! Apa ndak punya peri kebinatangan! Jahat
sekali sampeyan itu!” mulailah ibu itu ‘berkicau’.
Perlahan aku berdiri. Suasana tiba-tiba senyap. Atau barangkali mereka melihat
wajahku yang menyimpan ‘api’ siap untuk diledakkan, seperti dalam film cowboy…keren
“Bukankah itu pula yang Ibu perbuat kepada saya dan anak-anak saya?” kutujukan
kalimat itu kepada ibu yang ‘berkicau’ tadi.
“Maksud sampeyan opo?” jawabnya dengan judes.
“Saat Ibu mengatakan bahkan memberitakan hal yang tidak benar tentang saya,
bukankah itu juga sekejam perbuatan saya mencabuti bulu ayam tadi? Perkataan dan
pemberitaan Ibu tentang saya telah melukai saya dan anak-anak!”
Semua diam. Perlahan kembali ke tugas masing-masing. Kulanjutkan pekerjaan
mengolah ayam. Kupotong ayam tadi, baru kubersihkan. Ada 6 ekor ayam yang telah
kubersihkan dan siap untuk dimasak. Selama melanjutkan aktifitas tadi, tak terdengar
‘rasan-rasan’ tak berdasar yang sifatnya menyudutkan seseorang. Tak kulihat lagi wajah
ibu yang memfitnahku. Entah kemana beliau. Aku tak terlalu memperhatikan.
***
Disadari atau tidak, kadang-kadang aku juga telah melakukan ‘kekejian’ serupa.
Membicarakan seseorang tanpa mengetahui secara persis permasalahannya. Membuat
asumsi yang tak berdasar. Bukankah itu kekejian bagi orang lain?
Semua perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan
dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan
orang)2 bisa dimasukkan dalam pengertian fitnah.
Lagi-lagi lidah yang tak digunakan dengan baik, pasti menimbulkan sesuatu yang tak
baik pula. Demikian pula sebaliknya. Ayahku almarhum pernah menegurku dengan sangat
keras karena aku terlalu cepat mengeluarkan perkataan yang sifatnya memojokkan,
menghakimi bahkan memfitnah: jika kamu tidak bisa memberkati orang dengan lidahmu,
sebaiknya diam!
Lidahku menunjukkan karakterku. Orang bisa menilaiku baik atau buruk, dari
caraku bicara, atau dari isi perkataanku. Jangan sampai aku melakukan kekejian bagi
sesamaku karena tak mampu menjaga lidahku. Sepertinya masih perlu belajar lebih lama
lagi. Yuuk … belajar bareng yuuk …

2
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kamus versi online/daring (dalam jaringan)

Anda mungkin juga menyukai