Anda di halaman 1dari 16

Laporan Akhir

INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG


PROVINSI RIAU PAKET II

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang Kerangka Acuan Kerja
(KAK) sebelumnya bahwa pelaksanaan pekerjaan Inventarisasi Karakteristik
Ekosistem Gambut pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II ini terbagi menjadi 3 (tiga)
bagian penting, yaitu dilihat dari sisi dasar hukum pelaksanaan pekerjaan,
gambaran umum pelaksanaan pekerjaan, dan tujuan dilaksanakannya
pekerjaan.

Dilihat dari sisi dasar hukum yang memuat berbagai macam peraturan
pemerintah sebagaimana dijelaskan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK),
dirasakan sudah cukup lengkap sehingga dapat mewakili dan mendukung
pelaksanaan kegiatan pekerjaan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut
pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II ini, namun tentunya referensi lain baik yang
berasal dari informasi data lapangan maupun informasi data pustaka dan
elektronik yang menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan akan tetap
dibutuhkan seiring berjalannya proses pelaksanaan dan penyelesaian kegiatan.

Sedangkan dilihat dari sisi gambaran umum, pihak Konsultan beranggapan


bahwa ada 2 (dua) hal penting yang disampaikan sudah dapat mewakili perlunya
kegiatan pekerjaan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut pada 9 KHG
Provinsi Riau Paket II ini meskipun penyampaiannya masih bersifat universal
sampai akhirnya dapat menghasilkan produk pekerjaan yang sesuai dengan
harapan pihak pemberi pekerjaan dan pihak pelaksana pekerjaan.

Sementara itu berdasarkan tujuan kegiatan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem


Gambut pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II yang tercantum dalam Kerangka
Acuan Kerja (KAK), Konsultan berpendapat bahwa tujuan kegiatan tersebut
sudah disampaikan secara terperinci yang menyatakan bahwa tujuan
diadakannya pekerjaan ini adalah untuk melakukan verifikasi lapangan pada
lokasi KHG yang telah ditentukan, sehingga diperoleh basis data karakteristik
ekosistem gambut yang akan digunakan sebagai bahan penyusunan peta
karakteristik ekosistem gambut di Provinsi Riau. Hal ini sudah sejalan dengan

Fasade I-1
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

penjelasan latar belakang pelaksanaan pekerjaan Inventarisasi Karakteristik


Ekosistem Gambut pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II ini.
1.1.1. Dasar Hukum
Pelaksanaan kegiatan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut
pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II ini didasari oleh beberapa peraturan
pemerintah yang saling berkaitan satu sama lain, dimana dasar hukum
yang digunakan adalah berikut ini:
a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya;
b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
d) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
e) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
f) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
g) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang
Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa;
h) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;
i) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional;
j) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekositem Gambut;
k) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional;
l) Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca;
m) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup;
n) Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penundaan
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
Primer dan Lahan Gambut; dan

Fasade I-2
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

o) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:


P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara
Inventarisasi dan Penetapan.
1.1.2. Gambaran Umum
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ada 2 (dua) hal penting yang
dapat dipahami oleh pihak Konsultan mengenai latar belakang dari sisi
gambaran umum pelaksanaan pekerjaan kegiatan Inventarisasi
Karakteristik Ekosistem Gambut pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II ini,
adalah sebagai berikut:
 Indonesia memiliki tanah gambut sangat luas, yang merupakan
Negara ke-empat dengan kawasan gambut terbesar di dunia
setelah Kanada, Rusia, dan USA (Immirzi dan Maltby, 1992).
Kawasan gambut Indonesia juga merupakan kawasan gambut
tropika terluas di dunia yang meliputi sekitar 50% dari total kawasan
gambut tropika dunia. Selain itu, Indonesia menyimpan cadangan
Karbon gambut mencapai 46 giga ton atau sekitar 8-14% dari
Karbon yang terdapat dalam Karbon dunia;
 Ekosistem gambut merupakan salah satu ekosistem yang memiliki
peran dan manfaat penting bagi kehidupan manusia, dimana saat
ini telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan.
Manfaat tersebut antara lain: pensuplai air dan pengendalian banjir,
potensi wisata, mata pencaharian masyarakat lokal (pertanian,
perkebunan, perikanan), stabilitas iklim, keanekaragaman hayati,
serta untuk pendidikan dan penelitian.

Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan
organik dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun
tanah gambut ini terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik
yang sudah lapuk maupun belum, karena kondisi lingkungannya yang
jenuh air. Berkaitan dengan hal tersebut maka lahan gambut banyak
dijumpai di daerah dataran banjir, rawa belakang (back swamp), danau
dangkal atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.

Proses pembentukan gambut bermula dari adanya genangan di daerah


rawa belakang (back swamp), danau dangkal atau daerah cekungan yang
secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah.
Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan-

Fasade I-3
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

lapisan gambut sehingga genangan tersebut terpenuhi timbunan gambut


(Gambar 1-1). Gambut yang tumbuh mengisi genangan tersebut disebut
sebagai gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan
oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur
(eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu
banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan
gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh di atas gambut
topogen dan hasil lapukannya membentuk lapisan gambut baru yang
lama kelamaan membentuk kubah gambut (dome) yang permukaannya
cembung. Gambut yang berkembang di atas gambut topogen ini disebut
sebagai gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air
hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya dibanding gambut
topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.

Proses tersebut memperlihatkan bahwa tanggul sungai, rawa belakang


dan kubah gambut berinteraksi secara dinamis membentuk ekosistem
gambut, dimana lingkungan biofisik, unsur kimia dan organisme saling
mempengaruhi membentuk keseimbangan. Dari aspek hidrologi,
ekosistem gambut ini secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan
hidrologi yang utuh. Adanya gangguan pada salah satu subsistem,
misalnya perubahan penggunaan lahan pada daerah kubah, akan
memberikan dampak pada subsistem lainnya, diantaranya adalah
berubahnya fluktuasi debit air musiman, meningkatnya debit puncak,
serta meningkatnya intensitas banjir dan kekeringan.

Lahan gambut mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga


berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Selain itu
lahan gambut berfungsi sebagai penambat karbon sehingga berkontribusi
dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer. Lahan gambut juga
mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan
gambut dibuka. Kerusakan ekosistem gambut ini akan berdampak besar
terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekitar (ex
situ).

Kekeringan dan kejadian banjir di hilir DAS merupakan salah satu


dampak dari rusaknya ekosistem gambut. Sehubungan dengan potensi

Fasade I-4
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

dan bahaya dari kerusakan ekosistem tersebut, banyak pihak yang


menginginkan agar tidak ada lagi perijinan pemanfaatan lahan gambut.

Sumber: Masterplan Pengelolaan Ekosistem Gambut Berkelanjutan di Riau (dimodifikasi dari


Agus. F & I.G.M. Subiksa, 2008)

Gambar 1-1
Proses Pembentukan Gambut di Daerah Genangan
A. Pengisian daerah genangan oleh vegetasi
B. Pembentukan gambut topogen
C. Pembentukan gambut ombrogen membentuk kubah gambut

Beberapa LSM nasional dan internasional bahkan menyerukan


moratorium pemanfaatan lahan gambut. Di sisi lain, sejalan dengan
peningkatan jumlah penduduk dan permintaan terhadap produk
pertanian, kebutuhan lahan pertanian juga meningkat dan lahan gambut
merupakan salah satu alternatif perluasan lahan pertanian, yang
berpotensi memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi
masyarakat. Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di
beberapa Provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau,

Fasade I-5
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai


2007, lebih dari 50% dari luas total hutan gambut di Provinsi Riau telah
dibuka dan dimanfaatkan (WWF, 2008).
Kontroversi antara ”pro” dan ”kontra” pemanfaatan lahan gambut ini
sebenarnya tidak perlu dipertajam. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa dari sekian banyak lahan gambut yang dulu dimanfaatkan, saat ini
sebagian menjadi lahan terlantar yang tidak produktif, akan tetapi
sebagian lainnya, dengan pengelolaan yang baik ternyata mampu
berproduksi baik dan telah berkontribusi meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di sekitarnya. Gambaran ini memperlihatkan bahwa ada
bagian dari lahan gambut yang memang perlu perlu dipertahankan
sebagai kawasan lindung, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian
lahan gambut lainnya potensial bisa dimanfaatkan secara bijaksana.
Pemanfaatan lahan gambut secara bijaksana ini memerlukan
perencanaan yang matang, penerapan teknologi yang sesuai dan
pengelolaan yang tepat. Ketiga langkah tersebut merupakan upaya
mempertahankan kelestarian fungsi lahan gambut dalam menunjang
pembangunan bekelanjutan.

Mempertimbangkan keadaan tersebut dan dalam rangka pengendalian


kerusakan ekosistem gambut, saat ini Kementerian Negara Lingkungan
Hidup dan Kehutanan telah melakukan pemetaan ekosistem gambut di
seluruh Indonesia pada sekala 1: 250.000. Pada peta ini ekosistem
gambut dipilah menjadi beberapa kesatuan hidrologis gambut. Ditinjau
dari aspek hidrologi, Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) ini secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan hidrologi yang utuh, sehingga
dapat digunakan sebagai unit pengelolaan ekosistem gambut.

Selanjutnya, sebagai basis pengelolaan dan dalam rangka pengendalian


kerusakan, pada setiap kesatuan hidrologis perlu ditetapkan Kawasan
Lindung Kubah Gambut (KLG) dan Kawasan Budidaya Gambut (KBG).
KLG terletak di sekitar titik tengah puncak kubah gambut yang luasnya
minimal 30 persen dari seluruh areal KHG, yang melindungi fungsi
ekosistem gambut, sedangkan KBG adalah bagian dari ekosistem
gambut yang berpotensi untuk dimanfaatkan yang letaknya di luar KLG.

Fasade I-6
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

Selama 30 tahun lebih pengelolaan lahan gambut, kurang memperhatikan


penerapan prinsip pemanfaatan berkelanjutan. Hal ini mengakibatkan
timbulnya berbagai masalah, seperti:
 Seluas 2,669 juta Hektar atau 37% lahan gambut di Sumatera rusak
dan tidak produktif;
 Pengembangan lahan gambut (PLG 1 juta Ha);
 Kemorosotan keanekaragaman hayati;
 Kebakaran hutan/ lahan gambut, gangguan asap lintas batas, banjir,
dan subsiden, dll; dan
 Masalah sosio-ekonomi (hilangnya pencaharian/peluang usaha
masyarakat setempat, dll).

Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 jo Peraturan Pemerintah


Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut disebutkan bahwa perencanaan perlindungan dan pengelolaan
ekosistem gambut dilakukan melalui tahapan inventarisasi, penetapan
fungsi ekosistem gambut dan penyusunan rencana perlindungan dan
pengelolaan ekosistem gambut.

Sesuai definisi Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) pada Peraturan


Pemerintah tersebut, bahwa KHG adalah ekosistem gambut yang
letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut, dan/atau
pada rawa. Sedangkan definisi Ekosistem gambut adalah tatanan unsur
gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan
produktivitasnya. Berdasarkan definisi tersebut maka KHG harus
diperlakukan sebagai satu kesatuan ekosistem dan dijadikan sebagai
satu kesatuan pengelolaan ekosistem gambut yang tidak boleh
dipisahkan oleh batas administrasi atau batas konsesi sehingga
merupakan satu kesatuan pengelolaan ekosistem yang utuh.

Jumlah KHG di Indonesia ada 865 KHG (sumber: Ditjen PPKL-KLHK,


September 2016) yang tersebar pada pulau-pulau sebagai berikut:
Sumatera 207 KHG, Kalimantan 190 KHG, Sulawesi 3 KHG, dan Papua
465 KHG.

Hasil kajian beberapa penelitian menunjukan bahwa pengelolaan gambut


tidak memperhatikan kesatuan hidrologis gambut, seperti yang terjadi di
beberapa tempat yang terjadi di Kalimantan Tengah. Pengelolaan gambut

Fasade I-7
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

dalam pembuatan drainase untuk irigasi pertanian memotong kubah


gambut. Sebagai akibatnya terjadi penurunan muka air gambut yang
menyebabkan gambut kering dan mudah terbakar. Selanjutnya
pembuatan saluran drainase yang dalam sampai ke lapisan tanah akan
memicu terekposenya lapisan pirit sehingga air gambut menjadi lebih
masam dan dapat mematikan tanaman. Untuk mencegah kerusakan
ekositem gambut yang berkepanjangan, langkah awal perlu dilakukan
adalah zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya yang merupakan hasil
penetapan fungsi ekosistem gambut. Untuk mendapatkan bahan
penetapan fungsi tersebut, sebelumnya perlu dilakukan inventarisasi
karakteristik ekosistem gambut.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan


No.P.14/MENLH/SETJEN/KUM.1/2/2017 pada Pasal 14 ayat 3, bahwa
inventarisasi karakteristik Ekosistem Gambut pada areal usaha dan/atau
kegiatan diwajibkan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
dengan supervisi Direktur Jenderal.

1.1.3. Tujuan
Sebagaimana telah disampaikan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK)
pekerjaan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut pada 9 KHG
Provinsi Riau Paket II ini bertujuan untuk melakukan verifikasi lapangan
pada lokasi KHG yang telah ditentukan, sehingga diperoleh basis data
karakteristik ekosistem gambut yang akan digunakan sebagai bahan
penyusunan peta karakteristik dan peta ketebalan ekosistem gambut di
Provinsi Riau.

Sehingga dalam pelaksanaan survei diperlukan penggalian secara lebih


mendalam mengenai penggunaan lahan gambut pada setiap titik survei
melalui beberapa pendekatan metode (dapat dilakukan dengan
pengamatan lapangan, informasi dari masyarakat atau informasi dari
pemerintah daerah setempat).

1.1.4. Penerima Manfaat


Kerangka Acuan Kerja (KAK) menjelaskan bahwa sasaran penerima
manfaat pada pekerjaan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut

Fasade I-8
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II ini ditujukan bagi Pemerintah,


Pemerintah Daerah, Swasta, Perguruan Tinggi dan Masyarakat.

Bagi kalangan pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah


Daerah dengan hasil/output pekerjaan Inventarisasi Karakteristik
Ekosistem Gambut pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II ini diharapkan
dapat membantu dalam perencanaan dan pengembangan wilayah, serta
sebagai bahan dalam pengambilan keputusan/ kebijakan. Sedangkan
bagi kalangan Swasta, Perguruan Tinggi dan Masyarakat diharapkan
data dan informasi yang dihasilkan dapat membantu dalam berbagai
kebutuhan pekerjaan maupun kebutuhan akademis.

1.2. Metode Pelaksanaan


Metode pelaksanaan pekerjaan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut
pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II ini telah tercantum secara jelas dalam
Kerangka Acuan Kerja (KAK). Pihak Konsultan berpendapat bahwa pada
metode ini telah mengakomodir seluruh tahapan pelaksanaan pekerjaan yang
harus dilakukan, antara lain meliputi tahapan sebagai berikut:
a. Persiapan;
b. Pelaksanan lapangan;
c. Penyusunan data hasil lapangan; dan
d. Penyusunan laporan.

Tahapan pelaksanaan pekerjaan dijelaskan sebagai berikut:


a. Persiapan
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan yaitu konsultasi dengan pihak
KLHK, pengumpulan data sekunder dan peralatan berupa informasi-
informasi penting dari berbagai sumber serta untuk menunjang lancarnya
metode pelaksanaan pekerjaan perlu dibuatkan suatu diagram alir
pelaksanaan pekerjaan. Selanjutnya melakukan penyusunan peta kerja
berupa peta dasar (peta RBI minimal skala 1 : 50.000), peta rencana kerja
yang memuat KHG indikatif dan melakukan ploting rencana kerja berupa
penentuan lokasi rencana titik pengamatan yang dilakukan secara
sistematik dan berbasis unit lahan. Tahapan selanjutnya penyusunan
laporan pendahuluan yang memaparkan rencana kegiatan yang akan
dilaksanakan antara lain tim survey (nama-nama dan keahliannya),

Fasade I-9
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

peralatan yang akan digunakan dan metodologi pelaksanaan di lapangan.


Tahapan terakhir yaitu melakukan rapat pemantapan perencanaan
dengan Tim KLHK yang membahas dan mendiskusikan rencana kerja
yang telah disusun, dilaksanakan bersamaan dengan pembahasan
laporan pendahuluan.

b. Pelaksanaan Lapangan
Tahap pelaksanaan lapangan meliputi kegiatan-kegiatan pertemuan/rapat
koordinasi dengan pihak Pemda baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota
tempat dimana KHG berada, melakukan survey lapangan pada Areal
Penggunaan Lain (APL) non izin sesuai rencana kerja yang telah dibuat
berupa form isian inventarisasi karakteristik eksositem gambut dan aspek
sosial.

c. Penyusunan Data Hasil Lapangan


Pada tahap ini dilakukan penyusunan database, penyusunan
arahan/rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, serta
pembahasan, supervisi dan analisis data dengan tim terpadu.

d. Penyusunan Laporan
Tahap ini berupa penyusunan laporan akhir yang disusun berdasarkan
hasil pelaksanaan survei di lapangan dan perbaikan atas masukan pada
saat pembahasan laporan pendahuluan dan disampaikan ke KLHK yang
selanjutnya dilakukan pembahasan yang dihadiri oleh beberapa instansi
terkait.

1.3. Hasil/Output
Hasil/output dari pekerjaan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut pada 9
KHG Provinsi Riau Paket II yang telah diuraikan dalam Kerangka Acuan Kerja
(KAK) sudah cukup jelas dan cukup rinci, dimana secara garis besar hasil/output
yang diharapkan terbagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu tersedianya data hasil
survei lapangan, output database (dalam external hardisk), dan laporan (hard
copy dan soft copy).

Dengan adanya laporan pekerjaan yang telah disampaikan dalam Kerangka


Acuan Kerja (KAK) tersebut diharapkan pekerjaan Inventarisasi Karakteristik
Ekosistem Gambut pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II ini dapat dilaksanakan
dan terawasi/ termonitor secara berkesinambungan baik oleh pihak pemberi jasa

Fasade I-10
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

layanan maupun oleh pihak pemberi pekerjaan. Selain itu persamaan persepsi
pelaksanaan kegiatan antara pihak pemberi jasa layanan dan pihak pemberi
pekerjaan dapat terbangun.

Rincian hasil/output yang harus dipenuhi Konsultan dalam pekerjaan


Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut pada 9 KHG Provinsi Riau
Paket II ini adalah sebagai berikut:
1. Tersedianya data hasil survei lapangan yang memuat tentang:
 Peta sebaran titik sampel (hasil survei skala 1 : 50.000);
 Listing koordinat titik-titik pengamatan;
 Tracking log GPS jalur survei;
 Tally sheet;
 Dokumentasi;
 Peta rawan konflik;
 Peta kebakaran tahun 2016/2017;
 Peta batas administrasi kecamatan/desa; dan
 Peta sosial ekonomi masyarakat.
2. Tersedianya output database (dalam external hardisk) yang memuat
tentang:
 Basis data karakteristik ekosistem gambut KHG yang disurvei sebanyak
12 parameter; dan
 Semua data sekunder yang sudah terintegrasi.
3. Tersedianya laporan (hard copy dan soft copy) yang memuat tentang:
 Laporan pendahuluan;
 Laporan akhir;
 Executive summary; dan
 Bahan presentasi.

1.4. Tenaga Ahli


Untuk menunjang kelancaran pekerjaan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem
Gambut pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II, tenaga ahli yang dibutuhkan seperti
tertuang dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) dirasakan sudah cukup jelas,
dimana pada intinya dibutuhkan seorang tenaga ahli di bidang Ilmu
Tanah/Geodesi/Geografi untuk posisi sebagai Ketua Tim.

Fasade I-11
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

Disamping itu dibutuhkan pula beberapa tenaga pendukung yang terdiri dari
Koordinator Lapangan (Ilmu Tanah/Geodesi/Geografi), Surveyor (Ilmu
Tanah/Geodesi/Geografi/Kehutanan/Pertanian), Operator SIG (memiliki sertifikat
keahlian GIS), dan tenaga Administrasi (Administrasi/Keuangan/Sekretaris).

Pihak penyedia jasa akan menyiapkan uraian tugas dari masing-masing personil
tenaga ahli pada bab struktur organisasi dan kebutuhan personil untuk
memudahkan monitoring dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan,
sehingga tercipta sinergi antar personil untuk meningkatkan kinerja tim.

1.5. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam pekerjaan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem
Gambut pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II ini disebutkan yaitu GPS Handheld,
Kamera Digital, pH Meter, EC Meter, Hidrogen Peroksida (H2O2), Peta Kerja,
dan Perlengkapan Lapangan lainnya.

Selain ke-tujuh alat tersebut di atas, diperlukan juga alat Bor Gambut dengan
spesifikasi seperti di bawah ini:
- bahan pipa : Stainless steel tipe 304
- ukuran diameter pipa : 1¼” dan 1”
- ketebalan pipa : 1,5-2,0 mm dan 1,2-1,4 mm
- jumlah pipa :  1 pcs pipa ukuran 1¼“ dengan ketebalan 1,5-
2.0 mm, panjang 1 m, dan ujung bawah berupa
mata pisau bergerigi;
 6 pcs pipa ukuran 1” dengan ketebalan 1,2-1,4
mm, panjang masing-masing 1 m, dan
dilengkapi dengan mur dan baut penghubung;
dan
 1 pcs material pipa stainless steel berbentuk
huruf “T” yang digunakan sebagai penekan dan
pemutar.
- catatan : pipa dapat ditambah sesuai kebutuhan
- peralatan tambahan :  2 pcs kunci pas ukuran 20-22;
 1 pcs kunci pas ukuran 24-27;
 1 pcs alat pencukil gambut dari plat stainless
steel; dan
 1 pcs tas yang terbuat dari bahan canvas.

Fasade I-12
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

GPS Handheld (Navigasi) Kamera Digital

PH Meter EC Meter

Bor Gambut Stainless Steel

Fasade I-13
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

Gambar 1-2
Peralatan yang Digunakan dalam Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut

1.6. Lokasi
Sebagaimana telah disampaikan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) bahwa
lokasi pelaksanaan pekerjaan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut pada
9 KHG Provinsi Riau Paket II berada di Kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri
Hilir dengan cakupan volume dan wilayah kerja seperti pada Tabel 1-1. Luas
dan lokasi pekerjaan sudah disampaikan dengan cukup jelas, tetapi alangkah
lebih baik bila mencantumkan pula peta lokasi pekerjaan yang dapat
dimanfaatkan sebagai acuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan Inventarisasi
Karakteristik Ekosistem Gambut ini.
Tabel 1-1
Volume dan Wilayah Kerja

No
Nama KHG Kabupaten Luas (Ha)
.
1. KHG Sungai Batang - Sungai Keritang 1 Indragiri Hulu, Indragiri Hilir 39,731
2. KHG Sungai Indragiri - Sungai Batang Indragiri Hulu, Indragiri Hilir 69,808
3. KHG Sungai Indragiri - Sungai Enok Indragiri Hilir 56,010
4. KHG Sungai Indragiri - Sungai Tuana Indragiri Hilir 16,258
5. KHG Sungai Senama Kecil - Sungai Rajaelok Indragiri Hilir 12,370
6. KHG Sungai Batang - Sungai Keritang 2 Indragiri Hilir 14,944
7. KHG Sungai Nidir - Sungai Enok Indragiri Hilir 18,957
8. KHG Sungai Kanan - Sungai Buluh Indragiri Hilir 12,963
9. KHG Sungai Pergam - Sungai Pucuk Besar Indragiri Hilir 8,963

Lokasi pekerjaan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut pada 9 KHG


Provinsi Riau Paket II Kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir diperlihatkan
pada gambar lokasi di bawah ini.

Fasade I-14
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

Gambar 1-3
Lokasi Pekerjaan

1.7. Waktu Pelaksanaan


Jangka waktu penyelesaian pekerjaan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem
Gambut pada 9 KHG Provinsi Riau Paket II sebagaimana tercantum dalam
Kerangka Acuan Kerja (KAK) yaitu selama 2 (dua) bulan. Jangka waktu tersebut
dapat dikatakan sangat ketat mengingat luasnya aspek kajian yang harus
dilaksanakan sebagai konsekuensi dari pendekatan pekerjaan visualisasi data
tersebut.

Terdapat beberapa kegiatan yang dapat dilaksanakan secara pararel, namun


aspek sekwensial antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya merupakan
suatu keharusan. Artinya, manajemen dan pengaturan pekerjaan serta
koordinasi merupakan faktor penentu terealisasinya target 2(dua) bulan ini dapat
dipenuhi. Namun demikian Konsultan akan berkomitmen secara penuh agar
pekerjaan Inventarisasi Karakteristik Ekosistem Gambut pada 9 KHG Provinsi
Riau Paket II ini akan selesai tepat pada waktunya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang telah disampaikan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK).

Fasade I-15
Kobetama
Internasion
al
Laporan Akhir
INVENTARISASI KARAKTERISTIK EKOSISTEM GAMBUT PADA 9 KHG
PROVINSI RIAU PAKET II

Fasade I-16
Kobetama
Internasion
al

Anda mungkin juga menyukai