Anda di halaman 1dari 11

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Jurnal Manajemen Hutan Tropika,25(2), 82-----Agustus 2019 Artikel Ilmiah


EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.25.2.82

Penerapan Metode Brandis untuk Pengaturan Hasil Hutan Hak Pinus


di Tana Toraja

2
Hardjanto 1*, Melewanto Patabang

1Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB University (Institut Pertanian Bogor), Kampus Dramaga,
Bogor, Indonesia 16680
2 Sekolah Vokasi, IPB University (Institut Pertanian Bogor), Kampus Cilibende, Bogor, Indonesia 16151

Diterima 6 Mei 2019/Diterima 15 Juli 2019

Abstrak

Pemanfaatan hutan rakyat di Indonesia yang tidak dikelola dengan baik berdasarkan prinsip hasil lestari akan
mengakibatkan berkurangnya hutan rakyat dalam waktu yang tidak lama lagi. Oleh karena itu kelestarian hutan rakyat
merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat ditunda lagi. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah metode pengaturan hasil (Metode Brandis) dapat diterapkan pada hutan rakyat. Tujuan khusus penelitian ini
adalah: (a) menganalisis karakteristik hutan rakyat pinus dan kesesuaiannya dengan praktik Metode Brandis, dan (b)
mengetahui kelestarian hasil hutan pinus di Tana Toraja dengan Metode Brandis dan kelembagaannya. . Data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Metode analisis yang digunakan adalah analisis
deskriptif dan metode pengaturan hasil dianalisis berdasarkan Metode Brandis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pengaturan hasil hutan pinus rakyat di Tana Toraja dapat dilakukan berdasarkan jumlah pohon dengan menggunakan
Metode Brandis. Pengaturan hasil hutan hak berdasarkan jumlah pohon dapat dilakukan jika ada dukungan dari
lembaga hutan hak.

Kata kunci: Metode Brandis, kelembagaan, hutan rakyat, hasil lestari, pengaturan hasil

* Penulis korespondensi, email: hardjanto@gmail.com

Perkenalan berada pada lahan milik pribadi dan tidak digunakan untuk
Hutan hak menurut Undang-undang Pemerintah Indonesia Nomor 5 lahan pertanian atau kegiatan non kehutanan lainnya, dan
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan disebut lahan tersebut ditumbuhi oleh jenis pohon endemik atau
sebagai hutan hak, yaitu hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah jenis kegiatan rehabilitasi. Namun lebih lanjut disebutkan
milik, yang lazim disebut hutan hak dan dapat dimiliki secara pribadi, bahwa hutan hak yang umum di Dodamarg dan
baik sendiri maupun dengan orang atau badan hukum lain (Republik Sawantwadi Talukas dari Kabupaten Sindhudurg (India)
Indonesia, 1967). Sedangkan menurut Undang-Undang Pemerintah yang dimiliki oleh semua dusun atau desa dapat juga
Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (pengganti disebut sebagai hutan hak. Perkembangan definisi hutan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967) Pasal 5 Ayat 1 (b) istilah hutan hak kini telah meluas secara de facto ke arah siapa
hak diganti dengan istilah hak hutan pada bab penjelasan yaitu hutan pengelolanya, mulai dari kepemilikan satu pohon di
hak (Departemen Kehutanan, 1999). Menurut Awang dkk. (2001), pekarangan hingga ratusan pohon sesuai kepemilikan
Hardjanto (2003), dan Hendarto (2003), hutan hak di Indonesia adalah lahan (Hardjanto, 2017). Sebagai pelaku usaha, petani
hutan tanah yang tidak dikuasai oleh pemerintah, jadi hutan hak adalah pemilik pohon banyak berinteraksi dengan berbagai pihak,
hutan milik rakyat. Hutan pribadi di Amerika Serikat menurut Stein et al. yaitu tengkulak kayu, industri kecil hingga besar, penjual
(2005) adalah hutan yang berada pada lahan pribadi milik perorangan, papan yang dibawa hingga ke toko bahan bangunan, juga
keluarga, korporasi, kelompok/organisasi, suku, atau industri penjual bibit pohon,
kehutanan. Acharya et al. (2008) mengemukakan bahwa hutan rakyat di Pengelolaan hutan hak harus dilakukan secara terpisah
Nepal adalah hutan di atas lahan pribadi yang ditanami, dipelihara, dan dan berbeda dengan pengelolaan hutan alam produksi dan
dilindungi sesuai dengan hukum yang berlaku. Menurut Kulkarni et al. hutan tanaman, karena karakteristiknya yang berbeda.
(2013), hutan rakyat di wilayah barat Indian Ghast merupakan hutan Menurut Awang (2005), karakteristik pengelolaan hutan hak
yang Menurut Kulkarni et al. (2013), hutan rakyat di wilayah barat Indian bersifat individual, informal dalam pengelolaan, tidak
Ghast merupakan hutan yang Menurut Kulkarni et al. (2013), hutan tanggap, subsisten, dan menjadi tabungan bagi keluarga
rakyat di wilayah barat Indian Ghast merupakan hutan yang pemilik hutan hak. Lebih lanjut Widiarti dan Prajadinata
(2008) mengemukakan hal tersebut
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,25(2), 82-----Agustus 2019 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.25.2.82

Ciri-ciri hutan rakyat antara lain: jarak tanam tidak teratur, adanya sistem silvikultur yang menjamin terselenggaranya
jumlah pohon tiap jenis bervariasi, dan jumlah pohon dalam regenerasi hutan, dan penetapan tebang tebang yang
satu jenis memiliki variasi umur yang berbeda. Hasil penelitian menjamin terwujudnya hasil kayu (Simon, 2010).
Jariyah dan Wahyuningrums (2008) menunjukkan bahwa ciri-ciri Kelestarian hutan dapat dicapai dengan menjaga
hutan di Jawa dapat dibedakan menjadi tiga karakter, yaitu (1) keseimbangan antara manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial
hutan hak yang murni ditanami kayu, (2) hutan hak yang dari hutan (Clarck et al., 1997). Kelestarian hasil produksi
ditanami pohon kayu dan buah-buahan. , dan (3) hutan rakyat juga dapat dicapai dengan pengendalian stabilitas
yang ditanami kayu, buah-buahan, dan empon-empon. Lebih ekosistem dan gangguan alam. Menurut Elbakidze et al.,
lanjut, hasil penelitian Widiarti dan Prajadinatas (2008) (2013), penentuan kelestarian hutan didasarkan pada tiga
menunjukkan bahwa hutan rakyat memiliki pola kebun unsur, yaitu jumlah permudaan, jumlah stok yang tersedia,
campuran dan masih dikelola secara tradisional dengan dan laju pertumbuhan pohon. Penerapan sistem silvikultur
struktur vegetasi yang lebih sederhana dibandingkan dengan dalam pemeliharaan hutan rakyat yang baik dan benar
struktur vegetasi di hutan alam, namun dari segi kerapatan memiliki fungsi dan peran untuk meningkatkan kualitas
pohon dan kanopinya. menyerupai ekosistem hutan alam. Hasil dan kuantitas produksi (Lewerissa, 2008). Widayanti (2004)
penelitian Sanudin dan Fauziyah (2015) menunjukkan bahwa berpendapat bahwa kelestarian hutan memerlukan hasil/
karakteristik hutan rakyat pada petani subsisten lebih produksi yang berkesinambungan dan sedapat mungkin
mendekati model agroforestri kompleks (spesies lebih ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya. Simon
beragam), pengelolaan sederhana, dan pemanenan banyak (2010) lebih lanjut berpendapat bahwa kelestarian hasil
dilakukan dengan sistem tebang pilih, sedangkan semi hutan memerlukan tingkat produksi yang konstan untuk
komersial atau petani komersial, karakteristik hutan rakyat intensitas pengelolaan hutan tertentu, dimana
lebih dekat dengan sistem agroforestri sederhana pertumbuhan dan pemanenan harus seimbang.
(monokultur), pengelolaan intensif, dan pemanenan yang Menurut Malamassam (2006), berdasarkan kondisi sebaran,
banyak dilakukan dengan sistem tebang habis. luasan, dan kedekatan lokasi, pengelolaan hutan hak dapat
Menurut Acharya et al. (2008), hutan rakyat di Nepal dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) hutan yang dikelompokkan pada unit pengelolaan hutan hak, dimana
terdaftar sebagai hutan hak di kantor dinas kehutanan kabupaten atau kota di semua negara, (2) agroforest, yaitu lahan milik masing-masing unit tersebut dapat dikelola sebagai kelas
pribadi yang ditanami pohon-pohon yang digunakan sebagai sumber pakan ternak, kayu, dan buah-buahan dimana pohon- lestari yang memasok secara terus menerus. bahan baku kayu
pohon yang ditanam di tanah hak (seperti hutan agro, tidak terdaftar sebagai hutan hak) mirip dengan sewa tanah, dan (3) untuk industri perkayuan. Suhendang (1995) berpendapat
sistem hutan 'kepemilikan pohon', yaitu pembagian keuntungan antara pemilik tanah dengan pengelola yang menanam pohon bahwa tingkat kelestarian hasil yang memberikan manfaat
bukan di tanahnya. Karakteristik hutan rakyat juga dapat dilihat dari besarnya kepemilikan dengan luasan yang berbeda-beda paling tinggi akan diberikan oleh hutan yang mencapai kondisi
dan dikelola dalam skala kecil. Berdasarkan kepemilikan luas Best and Wayburn (2001), hutan hak di Amerika Serikat normal. Simon (2010) berpendapat bahwa selain berdasarkan
diperkirakan berkisar antara 1 sampai lebih dari 1000 ha (58,52% pemilik hutan hak berkisar antara 1 sampai 9 ha sedangkan luas, volume, dan riap tegakan; metode pengaturan hasil yang
hutan hak dengan ≥ 1000 ha hanya dimiliki oleh 0,27% dari total kepemilikan) . Menurut Harrison et al. (2002), skala tepat sangat penting untuk mencapai pengelolaan hutan
kepemilikan hutan rakyat di Eropa memiliki luas kepemilikan mulai dari 2 ha dan bisa mencapai 500 ha, sedangkan di Jepang lestari. Salah satu metode pengaturan hasil yang
90% hutan rakyat memiliki luas kurang dari 2 ha. Hutan rakyat yang sangat beragam juga terdapat di Tana Toraja dengan menggunakan jumlah pohon dan metode lainnya adalah
kisaran 0,25 sampai 6 ha dan luas rata-rata 1,17 ha (Malamassam, 2007). Menurut Hardjanto (2017), hutan rakyat yang tumbuh Metode Brandis.
di atas tanah hak milik pada umumnya terfragmentasi sehingga seringkali tidak mudah untuk melakukan pengelolaan hutan Sampai saat ini penerapan Metode Brandis pada hutan rakyat di Indonesia masih jarang. Menurut Karminarsih (2012)

berdasarkan fungsinya. 52% pemilik hutan hak berkisar antara 1 sampai 9 ha sedangkan hutan hak dengan ≥ 1000 ha hanya konsep pengaturan hasil yang selama ini berlaku dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Indonesia didasarkan pada

dimiliki oleh 0,27% dari total kepemilikan). Menurut Harrison et al. (2002), skala kepemilikan hutan rakyat di Eropa memiliki luas jumlah pohon. Oleh karena itu, metode yang mungkin dapat diterapkan pada pengaturan hasil hutan rakyat dapat didekati

kepemilikan mulai dari 2 ha dan bisa mencapai 500 ha, sedangkan di Jepang 90% hutan rakyat memiliki luas kurang dari 2 ha. dengan Metode Brandis. Hal ini dilakukan karena struktur tegakan hutan rakyat terjadi terpencar dalam percampuran dari

Hutan rakyat yang sangat beragam juga terdapat di Tana Toraja dengan kisaran 0,25 sampai 6 ha dan luas rata-rata 1,17 ha sejumlah besar jenis pohon lainnya. Menurut Myint (2012), Metode Brandis dapat digunakan pada hutan yang memiliki

(Malamassam, 2007). Menurut Hardjanto (2017), hutan rakyat yang tumbuh di atas tanah hak milik pada umumnya struktur tegakan campuran. Pengaturan hasil hutan tidak hanya berguna untuk membatasi jumlah penebangan yang dapat

terfragmentasi sehingga seringkali tidak mudah untuk melakukan pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya. 52% pemilik dilakukan secara lestari, tetapi juga dapat digunakan lebih jauh untuk mengukur kemampuan hutan rakyat dalam hal

hutan hak berkisar antara 1 sampai 9 ha sedangkan hutan hak dengan ≥ 1000 ha hanya dimiliki oleh 0,27% dari total penyediaan kebutuhan kayu bagi industri perkayuan secara terus menerus. van Gardingen dkk. (2006) mengemukakan bahwa

kepemilikan). Menurut Harrison et al. (2002), skala kepemilikan hutan rakyat di Eropa memiliki luas kepemilikan mulai dari 2 ha tidak ada satu model pengaturan hasil yang cocok untuk semua jenis hutan jika dilihat dari aspek sosial, ekologi, ekonomi, dan

dan bisa mencapai 500 ha, sedangkan di Jepang 90% hutan rakyat memiliki luas kurang dari 2 ha. Hutan rakyat yang sangat lingkungan. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan hasil hutan rakyat perlu didukung oleh kelembagaan yang baik mengingat

beragam juga terdapat di Tana Toraja dengan kisaran 0,25 sampai 6 ha dan luas rata-rata 1,17 ha (Malamassam, 2007). karakteristik hutan rakyat yang luasnya kecil dan beragam serta dimiliki oleh banyak individu. Menurut Karminarsih (2012),

Menurut Hardjanto (2017), hutan rakyat yang tumbuh di atas tanah hak milik pada umumnya terfragmentasi sehingga salah satu hal yang perlu dirumuskan dalam mengembangkan hutan rakyat yang lestari (2006) mengemukakan bahwa tidak

seringkali tidak mudah untuk melakukan pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya. skala kepemilikan hutan swasta di Eropa ada satu model pengaturan hasil yang cocok untuk semua jenis hutan jika dilihat dari aspek sosial, ekologi, ekonomi, dan

memiliki luas kepemilikan mulai dari 2 ha dan bisa mencapai 500 ha, sedangkan di Jepang 90% hutan swasta memiliki luas lingkungan. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan hasil hutan rakyat perlu didukung oleh kelembagaan yang baik mengingat

kurang dari 2 ha. Hutan rakyat yang sangat beragam juga terdapat di Tana Toraja dengan kisaran 0,25 sampai 6 ha dan luas rata-rata 1,17 ha (Malamassam, 2007).rakyat
karakteristik hutan Menurut Hardjanto
yang (2017),
luasnya kecil hutan
dan rakyatserta
beragam yangdimiliki
tumbuh di atas
oleh tanah
banyak hak milik
individu. pada umumnya
Menurut terfragmentasi
Karminarsih (2012), sehingga seringkali ti

Hutan rakyat di Indonesia dengan berbagai salah satu hal yang perlu dirumuskan dalam mengembangkan hutan rakyat yang lestari (2006) mengemukakan bahwa tidak

karakteristiknya harus dikelola berdasarkan asas lestari ada satu model pengaturan hasil yang cocok untuk semua jenis hutan jika dilihat dari aspek sosial, ekologi, ekonomi, dan

agar potensi hutannya tidak berkurang. Menurut Davis dkk. lingkungan. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan hasil hutan rakyat perlu didukung oleh kelembagaan yang baik mengingat

(2011), pengelolaan hutan lestari adalah pengelolaan untuk karakteristik hutan rakyat yang luasnya kecil dan beragam serta dimiliki oleh banyak individu. Menurut Karminarsih (2012),

menghasilkan produksi secara terus menerus dengan salah satu hal yang perlu dirumuskan dalam mengembangkan hutan rakyat yang lestari Pelaksanaan kegiatan pengelolaan

tujuan mencapai keseimbangan antara pertumbuhan dan hasil hutan rakyat perlu didukung oleh kelembagaan yang baik mengingat karakteristik hutan rakyat yang luasnya kecil dan

hasil setiap tahun atau periode tertentu. Untuk mencapai beragam serta dimiliki oleh banyak individu. Menurut Karminarsih (2012), salah satu hal yang perlu dirumuskan dalam

hasil yang lestari ada tiga syarat penting yang harus mengembangkan hutan rakyat yang lestari Pelaksanaan kegiatan pengelolaan hasil hutan rakyat perlu didukung oleh

dipenuhi dalam pengelolaan hutan, yaitu: adanya batas kelembagaan yang baik mengingat karakteristik hutan rakyat yang luasnya kecil dan beragam serta dimiliki oleh banyak

kawasan hutan yang masih dan diakui oleh masyarakat, individu. Menurut Karminarsih (2012), salah satu hal yang perlu dirumuskan dalam mengembangkan hutan rakyat yang lestari

83
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,25(2), 82-----Agustus 2019 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.25.2.82

unit manajemen adalah pembentukan lembaga. perusahaan. Pemerintah telah membuat beberapa batasan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk dan persyaratan baik dari segi jumlah potensi yang harus
mengetahui apakah metode Brandis dapat digunakan dibeli atau dipanen maupun dari segi sumber atau asal usul
untuk pengaturan hasil hutan rakyat. Tujuan khusus kayu pinus. Pemerintah mensyaratkan kayu yang dapat
penelitian ini adalah (1) menganalisis karakteristik hutan dibeli hanya sebatas kayu yang berasal dari hutan hak saja.
rakyat pinus dan kesesuaiannya untuk penerapan Metode Sebelum tahun 2002, kegiatan penebangan terus dilakukan
Brandis, dan (2) mengetahui kelestarian hasil hutan pinus di tanpa diimbangi dengan penanaman kembali. Aksesibilitas
Tana Toraja dengan menggunakan Metode Brandis dan kawasan hutan rakyat pinus sudah cukup baik karena
kelembagaannya. sebagian besar kawasan dapat diakses dengan kendaraan
roda empat atau lebih. Oleh karena itu, agar upaya
Metode pemanfaatan hutan rakyat pinus tidak menimbulkan
wilayah studiStatus kepemilikan hutan hak di wilayah studi dampak negatif, diperlukan upaya untuk mewujudkan
berdasarkan kepemilikan lahan terdiri dari dua, yaitu milik kelestarian hutan.
perorangan dan milik keluarga. Luas kepemilikan
bervariasi, berdasarkan hasil wawancara kepemilikan lahan Pengumpulan dataData yang dikumpulkan dalam penelitian
hutan hak responden berkisar antara 0,25 sampai 4 ha. ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh
Luas kepemilikan tersebut secara rinci disajikan pada Tabel melalui pengukuran, observasi, dan wawancara, untuk
1 dan Tabel 2. Selain struktur tegakan hutan rakyat pinus di memverifikasi data sekunder dari hasil penelitian Patabang et
wilayah studi juga terlihat kelas umur yang beragam. Hasil al. (2014). Data tersebut meliputi umur dan sebaran serta
survei menunjukkan bahwa kelas umur hutan rakyat pinus wawancara dengan petani hutan rakyat dan pemangku
berkisar antara 5 sampai lebih dari 30 tahun. Selain itu kepentingan lainnya yang terlibat dalam pengelolaan hutan
terdapat pula areal di hutan rakyat pinus yang dicampur rakyat. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui
dengan jenis tumbuhan lain seperti bambu (Bambuseaesp), studi dokumen dan literatur yang meliputi dokumen yang
sengon (Albizia chinensis),cempaka(Elmerilla ovalis), berkaitan dengan hutan hak berupa kondisi biofisik dan
Cengkeh (Syzygium aromaticum), cemara (Casuarina kebijakan pengelolaan hutan hak. Penelitian ini dilakukan
junghulniana Miq.), dll. dengan metode purposive sampling di Kecamatan
Pemanfaatan intensif hutan rakyat pinus di wilayah studi Mengkendek Kabupaten Tana Toraja pada kawasan hutan hak
baru mulai dideklarasikan sejak tahun 2002 oleh masyarakat, seperti disajikan pada Gambar 1.
yang ditandai dengan pemberian izin kepada beberapa
Analisis dataAnalisis data dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu analisis
deskriptif, analisis estimasi nilai rata-rata, analisis pengaturan
Tabel 1 Pinus (Pinus merkusii) hutan pribadi dalam studi
hasil dengan metode Brandis, dan analisis kelembagaan.
daerah
Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan sejarah
pengelolaan hutan rakyat yang pernah dilaksanakan di wilayah
desa perkotaan Luas (ha) Proporsi (%)
studi. 1 Estimasi volume dudukan
Kajian potensi hutan pinus rakyat dilakukan dengan
Rante Kalua 51.60 1.76
menganalisis hasil penelitian yang dilakukan oleh Patabang
lemo 312.97 10.68 et al. (2008) dan Patabang et al. (2014). Petak contoh ukur
Tampo 204.16 6.97 yang digunakan berukuran 20 x 20 m2pada masing-masing
lokasi pengambilan sampel. Pemilihan lokasi petak ukur
Tengan 113.00 3.86
untuk setiap kelas umur di setiap lokasi adalah random
Buntu Datu 28.35 0,97 sampling, dimana masing-masing kelas umur berada
Buntu Tangti 63.00 2.15
Gasing 121.70 4.15 Tabel 2 Desa dan Hutan Hak Pinusnya di Wilayah Studi
Ke'pe tinoring 88.00 3.00
Marinding 83.00 2.83 Desa Luas Hutan Hak Pinus (ha)
(lembang) Minimum Maksimum Rata-rata
Pakala 102.70 3.51
Palipu 182.50 6.23 Randanan 0,80 2.00 1.19
Uluway 1.00 2.00 1.25
Pa'tengko 122.80 4.19
Rantedada 0,25 4.00 1.81
Randanan 37.90 1.29
Pa'tengko 0,30 1.00 0,58
Rantedada 147.10 5.02
Tampo 0,40 0,50 0,48
Simbuang 428.10 14.62
Palipu 0,50 0,50 0,50
Uluway 224.31 7.66
Pakala 0,25 1.00 0,50
Uluway Barat 617.96 21.10 Simbuang 0,25 1.00 0,55
Total 2.929,15 100.00
Rata-rata 0,47 1,50 0,86

84
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,25(2), 82-----Agustus 2019 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.25.2.82

diwakili oleh 30 plot pengukuran. Pohon yang diukur adalah A. Penentuan kelas diameter berdasarkan hasil inventarisasi. Itukelas
pohon yang berumur 5 sampai lebih dari 30 tahun. Pendugaan diameter ditentukan dengan menggunakan kriteria Sturges seperti
keseluruhan tegakan hutan hak dilakukan dengan yang ditunjukkan pada Persamaan[2], Persamaan
menggunakan metode pendugaan nilai rata-rata (Malamassam, [3], dan Persamaan[4](Sudjana, 2005):
2012) dengan Persamaan[1].
[2]
[1]
[3]
keterangan: V = volume (m 3); L = luas petak contoh (ha);
t.Sv = batas kesalahan; selang kepercayaan = 95%
[4]
keterangan: K = jumlah kelas, n = jumlah data
2 Regulasi hasil
Konsep pengaturan hasil yang berlaku sampai saat ini B Jumlah pohon pada setiap kelas diameter ukuran. Untuk
dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat adalah berdasarkan tahap ini,hasil inventarisasi pada penelitian dikelompokkan
jumlah batang. Oleh karena itu, metode yang mungkin dapat berdasarkan kelas diameter berdasarkan jumlah kelas yang
diterapkan pada pengaturan hasil hutan hak dapat didekati telah dibuat.
melalui Metode Brandis, dengan tidak mengabaikan sistem C Waktu peralihan, yaitu waktu yang dibutuhkan pohon untuk
pengelolaan yang ada, dengan kata lain harus tumbuh melalui berbagai kelas ukuran ke ukuran yang dapat
mempertimbangkan kondisi sosial budaya setempat dan dieksploitasi. Waktu tempuh dihitung dengan menggunakan
kapasitas petani hutan hak sebagai pengelola ( Karminarsih, Gambar 2 dan tabel hasil tegakan pinus (Patabang et al., 2014)
2012). Metode ini pertama kali dikembangkan di Burma oleh dari hutan hak di wilayah studi. Jadi, secara umum Gambar 2
Brandis pada tahun 1856 (Osmaston, 1968). Metode Brandis menunjukkan stok pohon kelas 1 yang tersedia sebagai stok
dikenal juga dengan Myanmar Selection System (MMS) dan kerja pada awal siklus, harus direkrut setengah dari kelas 2
mulai dikembangkan dalam pengelolaan hutan di Burma sejak selama siklus. Gambar 2 yang digunakan dalam perhitungan
tahun 1880 hingga 1920. Metode Brandis dapat diterapkan adalah waktu perjalanan dan jumlah pohon yang pada akhirnya
pada hutan dengan umur yang berbeda dengan komposisi akan mencapai ukuran yang dapat dieksploitasi. Dari mereka,
diameter yang sangat beragam, mulai dari yang kecil hingga perhitungan tingkat rata-rata rekrutmen ke kelas 1 dan jumlah
diameter besar yang siap untuk dipotong (Rohman et al., 2014). stok pekerja yang dihasilkan (pohon kelas 1) diperlukan.
Metode Brandis juga dapat diterapkan pada hutan yang Gambar 2 yang digunakan dalam perhitungan adalah waktu
mengalami degradasi dan eksploitasi berlebihan (Myint, 2012). perjalanan (Tabel 6, kolom 5) dan jumlah pohon yang akhirnya
tersedia untuk dieksploitasi (Tabel 6, kolom 7)untuk setiap kelas
Secara umum, untuk mengatur penebangan berdasarkan umur di wilayah studi. Dari mereka dihitung
metode nomor pohon (Osmaston, 1968), diperlukan beberapa
informasi sebagai berikut:

Gambar 1 Peta sebaran hutan hak dalam kajian Gambar 2 Hasil tahunan pohon kelas 1 dengan siklus tebang 10
daerah. tahun (Osmaston, 1968).

85
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,25(2), 82-----Agustus 2019 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.25.2.82

tingkat perekrutan rata-rata ke kelas 1 dan jumlah stok kebijakan manajemen. Menurut Hardjanto et al., (2012),
pekerja (pohon kelas 1) yang diperlukan.Waktu pendekatan analisis wacana ini terkait erat dengan
perjalananuntuk setiap kelas umur di wilayah studi penggunaan ilmu pengetahuan dalam menentukan
menggunakan Gambar 2tabel hasil wilayah studi kebijakan dan perilaku aktor dan jaringan kerja sama
(Patabang et al., 2014)yaitu 30 tahun untuk kelas 6, 25 dan kepentingan. Pendekatan penelitian dan analisis
tahun untuk kelas 5, dan 20 tahun untuk kelas 3 dan 4. wacana kelembagaan digunakan sebagai pendekatan
D Persentase korban (CPC) dari setiap kelas ukuran, yaitu dalam kajian kelembagaan (Arts & Buizer, 2009; Hawitt
persentase dari jumlah setiap kelas yang mati, diledakkan 2009).
atau ditipiskan sebelum mencapai ukuran yang dapat
dieksploitasi. Jumlah pohon pada setiap kelas diameter dari Hasil dan Diskusi
hasil inventarisasi akan ditaksir berapa persen yang Sejarah hutan rakyat di Tana TorajaHasil survei dan
mencapai kelas 1 yang selanjutnya akan ditebang. Untuk wawancara dengan para pemangku kepentingan terkait hutan
penelitian ini kelas diameter didasarkan pada rakyat di wilayah studi menunjukkan bahwa kehidupan sosial
pengelompokan menurut umur tegakan yang diperoleh masyarakat Toraja selalu diatur oleh sejumlah norma atau
dari tabel hasil daerah penelitian. Prinsip penerapan persen aturan. Aturan tersebut antara lainmana'yaitu suatu sistem
korban dalam Metode Brandis adalah keyakinan bahwa yang mengatur tentang kepemilikan harta warisan. Dalam
tidak semua pohon berdiameter kecil yang tumbuh di hutan masyarakat Toraja, konsepmana'adalah properti warisan dan
akan bertahan mencapai ukuran diameter pohon matang sering dianggap sakral dan perlu disimpan atau dipelihara
(Rohman et al., 2013). Perhitungan BPK dengan Persamaan[ dengan baik. Prinsip yang sama berlaku untukmana'berupa
5]. sawah atau tanah dan hutan yang menjadi tanggung jawabnya
[5] Tongkonan (rumah adat), dimana Tongkonan juga berfungsi
sebagai pusat pengaturan kehidupan masyarakat adat
Keterangan: T = potensi tegakan tersisa/tebangan akhir (jumlah Toraja. Di dalammana'sistem di Toraja sebidang tanah
pohon ha -1 ); N = jumlah pohon (ha-1). dapat diwariskan kepada anak cucu yang biasanya
dibagikan setelah mengikuti upacara tertentu. Selain
Persen korban yang akan digunakan dalam penelitian ini
berbagi warisan, ada juga tanah yang tidak dibagi tapi
yaitu kelas diameter 4-6 adalah 16%, kelas diameter 3 adalah
masih menjadi milik Tongkonan. Umumnya Tongkonan
18%, kelas diameter 2 adalah 25%, dan kelas diameter 1 adalah
memiliki hutan adat, selain menjadi sumber kayu untuk
39%.
bahan bangunan, hutan adat juga dapat menjadi sumber
bahan obat bagi anggota Tongkonan.
e Tebang Jatah Tahunan (AAC) di wilayah studi yang dihitung
Tanah berupamana'ditanami bambu (Bambuseaesp),
menggunakan Metode Brandis adalah seperti yang ditunjukkan
cemara (Casuarina junghulnianaMiq.), Dancempaka(
pada Persamaan[6], Persamaan[7],Persamaan[8],Persamaan
Elmerilla ovalis) oleh masyarakat Toraja, dimana hasil
[9], Persamaan[10],Persamaan[11],dan Persamaan[12]:
panennya digunakan sebagai bahan bangunan
[6] tongkonanatau gubuk untuk upacara adat. Saat ini, mana'
digunakan sebagai dasar kepemilikan tanah di Tana Toraja.
[7] Dalam hubungan masyarakat Toraja terlihat jelas nilai, aturan,
Kelas Diameter 2–6: dan norma yang perlu dikembangkan dalam upaya membina,
merehabilitasi, melestarikan, dan memanfaatkan yang ada
[8] sumber daya alam. Beberapa contoh aturan adat di
[9] berbagai kegiatan masyarakat Toraja terkait dengan
pengelolaan dan pemanfaatan hutan rakyat disajikan dalam
[10] Tabel 3. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967
[11] tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, tanah milik
Tongkonan dan milik pribadi pusaka di Tana Toraja
Kelas diameter 1
dikenal dengan nama
[12] hutan.
Hutan rakyat di Tana Toraja ini telah menjadi pemasok
- 1);
catatan: N = jumlah pohon (ha pohon A = jumlah akhirnya
berbagai kebutuhan kayu lokal, termasuk untuk memenuhi
yang tersedia untuk dieksploitasi (ha -1); D = jumlah kebutuhan pembangunan rumah adat yang bahannya 100%
pohon pada kelas diameter (ha-1); BPK = korban persen
terdiri dari kayu dan bambu (Malamassam, 2005). Hasil survei
(%); AAC = jatah tebang tahunan (ha bertahun-tahun ); C =
dan wawancara dengan petani hutan rakyat dapat diketahui
-1 -1

jumlah pohon yang dapat ditebang (tahun-1); R = siklus


bahwa pinus di Tana Toraja mulai ditanam sejak akhir tahun
tebang/rotasi (tahun); S = tegakan tinggal (ha-1); i = kelas
1960-an melalui swadaya masyarakat dan melalui program
diameter (1, 2, 3, 4, 5); t = tahun (2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10).
pendampingan penghijauan. Dalam rangka pemanfaatan
tumbuhan pinus di Kabupaten Tana Toraja, Gubernur Propinsi
Sulawesi Selatan pada tahun 1994 mengeluarkan Surat
3 Analisis kelembagaan
Keputusan Nomor 71/II/1994 tanggal 12 Oktober 1994 tentang
Analisis kelembagaan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
Petunjuk Teknis Pemeliharaan Kayu dan Hasil Damar Hutan Hak
wacana. Analisis data dengan pendekatan ini dilakukan untuk
Pinus di Tana Toraja. Kegiatan pemeliharaan yang dimaksud
menganalisis proses pembuatan hutan hak yang sedang berlangsung
adalah penjarangan dan penyadapan, namun ada

86
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,25(2), 82-----Agustus 2019 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.25.2.82

Tabel 3 Beberapa contoh aturan dalam kegiatan masyarakat Toraja

Aktivitas Aturan/hukum adat Pelaksana/penanggung jawab


Menebang pohon Harus diizinkan oleh lembaga adat Tomina(Pemimpin adat)
dan membakar hutan Melakukan upacara khusus Tomina(Pemimpin adat)
Harus dilakukan pada jenis pohon tertentu Tomina(Pemimpin adat)
Harus dilakukan dalam jumlah sesuai Tongkonan
kebutuhan Harus dalam wilayah adat Tidak Tongkonan
diperbolehkan di wilayah mata air Tongkonan
Mengolah tanah Lahan milik sendiri/tanah adat Tongkonan
Pembuatan teras pada lahan miring Tongkonan
Tidak boleh merugikan orang lain
Tidak boleh di tepi sungai atau tepi tebing Tongkonan
Tongkonan
Membangun rumah Kayu dan bahan bangunan berasal dari Tomina(Pemimpin adat)
hutan masyarakat/adat sendiri
Menggunakan jenis kayu tertentu Tongkonan
Membangun rumah di atas tanah adat/keluarga
Tongkonan
Memelihara ternak Mengumpulkan kotoran ternak untuk pupuk tanaman Tongkonan
Menempatkan ternak di bawah atau di belakang rumah

Tongkonan

tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana penjarangan potensial di wilayah studi. Potensi hutan rakyat pinus cukup
dan penyadapan dilakukan. Menurut Malamassam (2006), besar namun jika tidak dikelola dengan baik terutama
pemanfaatan tumbuhan pinus di Tana Toraja antara lain didorong pengaturan hasil diperkirakan dalam waktu relatif singkat
oleh dua hal sebagai berikut (1) meningkatnya keterbatasan bahan hutan rakyat akan habis.
baku kayu dari hutan alam di satu pihak, dan kemajuan
pembangunan bidang teknologi perkayuan yang dapat Penerapan Metode BrandisPengaturan hasil hutan adalah
meningkatkan nilai ekonomi dan nilai guna kayu lunak (termasuk perencanaan dan pelaksanaan dalam suatu pengelolaan hutan,
pinus), kepada pihak lain, dan (2) peningkatan ekonomi kayu pinus dengan mempertimbangkan aspek teknis kehutanan, aspek
yang diikuti dengan peningkatan permintaan kayu dari hutan hak, lingkungan dan aspek keuangan ekonomi. Penekanan dalam
khususnya hutan pinus, mensuplai kebutuhan industri kayu pinus pengaturan hasil hutan adalah pekerjaan pemungutan hasil,
yang selama ini dianggap tidak dapat memberikan keuntungan sedangkan pekerjaan lain (menanam dan melindungi) adalah
ekonomi yang berarti bagi pemiliknya, berubah menjadi sumber rangkaian kegiatan setelah pemanenan. Bagi hutan hak,
dana untuk memenuhi berbagai kepentingan. pengaturan ini sangat penting untuk menjaga kelangsungan
Pemanfaatan hutan pinus di Tana Toraja mulai produksi karena pada umumnya penebangan di hutan hak
dideklarasikan pada tahun 2002 oleh masyarakat dan tergantung pada kebutuhan finansial pemilik yang pada
Pemerintah Tana Toraja, yang ditandai dengan pemberian izin umumnya tidak memperhatikan kelangsungan produksi.
kepada beberapa perusahaan untuk mengelola hutan rakyat Karena kondisi hutan rakyat yang spesifik dengan karakteristik
pinus dengan sejumlah batasan dan persyaratan. tersebut, maka metode pengaturan hasil yang dapat
diterapkan juga harus spesifik.
Potensi volume berdiriHasil analisis pendugaan Sebagai langkah awal Metode Brandis, dilakukan perhitungan
potensi dengan metode pendugaan nilai tengah untuk tebang tahunan di seluruh areal studi dengan asumsi bahwa
wilayah studi disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis pada seluruh hutan hak di areal studi berada dalam satu unit
Tabel 4 menunjukkan rata-rata volume pohon hutan pengelolaan/peraturan hasil. Secara keseluruhan untuk semua
rakyat pinus yang berumur 5 sampai 30 tahun berkisar areal studi, penebangan tahunan dihitung menggunakan siklus 20
245,28 m3Ha menjadi 299,27 m Ha - 1dengan margin rata-rata
-1 3
tahun berdasarkan tabel volume tegakan (Patabang et al., 2014).
error 1,08, menunjukkan bahwa estimasi error cukup kecil yaitu Hasil analisis Metode Brandis di wilayah studi disajikan pada Tabel 6
19,43%. Perhitungan potensi volume tegakan didasarkan pada dan Tabel 7.
tabel volume tegakan hutan rakyat pinus dalam Patabang et al. Pengaturan hasil pada penelitian ini berdasarkan Tabel 6
(2014) dan data primer hasil inventarisasi tegakan berumur 5 menggunakan beberapa asumsi yang disesuaikan dengan kondisi
sampai 30 tahun daerah penelitian. Data tegakan pinus hasil inventarisasi lapangan
Berdasarkan hasil analisis juga dapat diperoleh potensi dibagi menjadi enam kelompok berdasarkan kelas diameter
tegakan pinus pada setiap areal di wilayah studi seperti pada dengan interval tiap kelas 6 cm. Penebangan tahunan dihitung
Tabel 5. Hasil analisis data pada Tabel 5 berdasarkan luas berdasarkan jumlah pohon yang siap ditebang, pohon yang telah
efektif 75% hutan hak dari pohon pinus ditumbuhi dalam 20 mencapai diameter 31 cm atau lebih. Perhitungan penebangan
tahun ke atas. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa potensi tahunan dilakukan dengan menggunakan siklus 20 tahunan
-1
tegakan pinus terbesar terdapat di Lembang Uluway Barat, dengan riap diameter 1,57 cm per tahun (Patabang et al., 2014).
yaitu sebesar 97.119,30 m3dan yang terkecil ada di Lembang Pertambahan diameter ini berada pada kisaran kelas situs 2 dan
Ke'pe' Tinoring yang hanya 2.534,65 m3dari total kelas situs 3 menurut Suharlan et

87
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,25(2), 82-----Agustus 2019 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.25.2.82

Tabel 4 Pendugaan potensi volume tegakan di daerah penelitian


Volume
Estimasi volume
Usia Volume rata-rata Batas perkiraan
(M3Ha-1)
(tahun) (M3plot-1) kesalahan (M3plot-1)
Min. Maks. Min. Maks.
5 0,87 0,06 0,81 0,93 20.25 23.25
10 7.08 0,49 6.59 7.57 164.75 189.25
15 9.36 0,81 8.55 10.17 213.75 254.25
20 12.19 1.04 11.15 13.24 278.67 330.89
25 17.23 1.67 15.56 18.91 388.97 472.67
30 18.61 2.40 16.21 21.01 405.26 525.32
Rata-rata 10.89 1.08 9,81 11,97 245.28 299.27

Tabel 5 Estimasi volume pada area efektif


Area Efektif Volume
Desa (Lembang)
(Ha) luas (ha) (M3)
Buntu Datu 28.35 21.26 4.252,50

Buntu Tangti 63.01 47.25 9.450,98

Gasing 121.65 91.24 18.248,00

Ke'pe' Tinoring 88.00 66.00 13.200,00

lemo 312.97 234.73 46.945,50

Marinding 83.20 62.40 12.480,26

Pakala 102.69 77.02 15.403,20

Palipu 182.48 136.86 27.372,54

Patengko 122.77 92.08 18.416,16

Randanan 37.96 28.47 5.694,00

Rantedada 147.88 110.91 22.181,92

Rantekalua 51.63 38.72 7.744,28

Simbuang 428.11 321.08 64.216,99

Tampo 204.16 153.12 30.624,00

Tengan 113.00 84,75 16.950,00

Uluway Barat 617.96 463.47 92.694,00

Uluway Timur 224.31 168.23 33.646,50

Total 2.930,14 2.197,60 439.520,82

al., (1975) yaitu 1,46 cm tahun (kelas situs 2) dan 1,62 cm tahun-1
-1 dari bagian. Jumlah persediaan pohon yang dibutuhkan sebanyak 232 pohon
(kelas situs 3). Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 6 dapat diketahui dan kelebihan stok pohon sebanyak 104 pohon. Apabila kelebihan pohon pada
bahwa diantara pohon-pohon yang berada pada kelas diameter 6, kelas diameter 6 akan ditebang dalam 2 (dua) siklus penebangan, maka
yaitu 5% (17 pohon) akan mati sebelum mencapai umur pohon yang penebangan tahunan menjadi 25 pohon. Berdasarkan uraian tersebut dapat
akhirnya tersedia untuk dieksploitasi. Untuk kelas diameter 1, dibuat penentuan kelonggaran tebang tahunan untuk pengaturan hasil pada
sejumlah 39% (641 pohon) akan mencapai umur pohon yang hutan pinus di daerah penelitian seperti disajikan pada Tabel 6.
akhirnya tersedia untuk dieksploitasi dan 61% akan mati sebelum
dipanen karena penjarangan atau pengaruh alam. Jumlah umur Hasil analisis data Metode Brandis pada Tabel 6 dan Tabel 7
pohon yang dapat dimanfaatkan dengan kelas diameter 6 sebanyak diperoleh setelah menganalisis data primer dan tabel volume
333 pohon sedangkan jumlah pohon yang dapat ditebang dari kelas tegakan daerah penelitian dari penelitian sebelumnya (Patabang et
diameter 1 sampai kelas diameter 5 sebanyak 2.197 pohon. al., 2014). Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 7 dapat dilihat
Jumlah pohon dengan kelas diameter 1 dapat dibedakan bahwa tebangan tahunan pertama untuk siklus pertama adalah 20
berdasarkan waktu tempuh (95 pohon) dan untuk satu siklus tebang (20 ha pohon.-1, namun total penebangan tahunan akan berubah pada
tahun). Laju pertumbuhan pohon baru untuk satu kali penebangan tahun-tahun berikutnya hingga tegakan tersebut membentuk hutan
adalah 23 pohon dan laju pertumbuhan pohon baru untuk satu siklus normal. Menurut Karminarsih (2012), penerapan pengaturan hasil
penebangan adalah 20 pohon ha-1. Hasil perhitungan logging berdasarkan riap dan jumlah pohon untuk periode lima tahun
berdasarkan data pada Tabel 6 berdasarkan satu waktu pertama dianggap sebagai

88
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,25(2), 82-----Agustus 2019 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.25.2.82

Tabel 6 Stok tumbuh pinus dalam rangkaian penebangan (siklus tebang = 20 tahun)

Jumlah pohon akhirnya


Usia rata-rata
Diameter Jumlah pohon Lintasan waktu Korban tersedia untuk
Kelas batas bawah kelas
(cm) (Jumlah pohon tahun-1) (bertahun-tahun) persen (%) eksploitasi
(bertahun-tahun)

(bertahun-tahun-1)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


1 <7 1.050 5 - 39 641
2 7─12 658 10 - 25 493
3 13─18 470 15 20 18 384
4 19─24 410 20 20 16 344
5 25─30 397 25 25 16 335
6 > 31 395 30 30 16 333
Total 3.380 105 95 2.550

Tabel 7 Penentuan panen tahunan (annual cut) di wilayah studi

Jumlah pohon per kelas diameter (cm) C Potongan tahunan Berdiri residu

(Ha-1) (Jumlah (Jumlah pohon (Jumlah pohon Menanam


Tahun
pohonha-1) Ha-1) Ha-1)
1 2 3 4 5 6

1 1.050 658 470 410 397 395 395 20 375 20


2 35 641 494 385 344 333 709 35 673 35
3 48 22 480 405 324 289 963 48 914 48
4 59 29 16 394 340 272 1186 59 1127 59
5 71 36 22 13 331 286 1413 71 1342 71
6 81 43 27 18 11 278 1620 81 1539 81
7 77 49 32 22 15 9 1548 77 1471 77
8 74 47 37 26 19 13 1484 74 1409 74
9 71 45 35 30 22 16 1425 71 1354 71
10 69 43 34 29 26 19 1373 69 1304 69

periode penyesuaian. Panen lima tahun berikutnya menunjukkan Lembaga pendukungUndang-Undang Pemerintah Indonesia
penebangan tahunan yang relatif stabil, dimana jumlah pohon yang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa “hutan hak adalah hutan
ditebang meningkat dibandingkan dengan penebangan lima tahun yang dibebani hak milik baik secara perseorangan maupun secara
pertama. Apabila penebangan telah selesai, kemudian dilakukan kolektif atau berkelompok (adat)”. Hutan hak memiliki karakteristik
penanaman kembali dengan jumlah tebangan yang lebih besar untuk yang berbeda dengan hutan alam produksi dan hutan tanaman,
mewujudkan kelestarian hasil, maka dapat diharapkan produksi tahunan sehingga pengelolaan hutan hak terutama dalam hal pengaturan
akan lebih besar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jatah tebang hasil harus dilakukan dengan cara tersendiri. Sifat-sifat tersebut di
tahunan dapat diterapkan dengan baik jika lokasi hutan rakyat pinus atas memerlukan sistem pengaturan hasil yang spesifik sesuai
berada pada hamparan lahan yang luas. dengan kondisi masing-masing hutan hak. Untuk mendukung
Berdasarkan hasil survey diketahui bahwa hutan rakyat sistem regulasi yang telah dikemukakan sebelumnya, diperlukan
pinus tersebar di beberapa wilayah, namun masih menempati suatu lembaga khusus. Lembaga ini diharapkan mampu mengatur
areal yang cukup luas lebih dari 1 ha, seperti yang dimiliki oleh nilai jual kayu dan sistem penebangan berdasarkan tingkatan yang
beberapa individu/petani. Untuk mengatasi masalah ini, perlu telah ditentukan. Kelembagaan ini harus melibatkan petani atau
penataan kawasan untuk mengatur penebangan. Sistem pemilik hutan rakyat, pemerintah daerah dan industri kehutanan
alternatif yang dapat digunakan untuk mengelola areal dalam pemanfaatan hasil hutan rakyat serta perguruan tinggi atau
penebangan adalah dengan membentuk lembaga pengelola lembaga penelitian. Lembaga pengelola ini diharapkan mampu
hutan dilembang tingkat (desa). Lembaga ini juga diharapkan berperan sebagai pengelola dan fasilitator dalam pengaturan hasil
dapat meningkatkan posisi tawar petani dalam menjual hasil hutan hak dan kegiatan lainnya dalam pengelolaan hutan hak.
hutannya dan meningkatkan pengetahuan petani tentang Keterkaitan antara lembaga-lembaga tersebut dapat digambarkan
teknologi pengelolaan hutan berdasarkan konsep pengelolaan seperti pada Gambar 3.
lestari.

89
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,25(2), 82-----Agustus 2019 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.25.2.82

Khusus untuk komponen kehutanan rakyat, diperlukan kegiatan pengelolaan hutan rakyat secara terpadu
pengaturan yang baik agar kegiatan tersebut dapat dilakukan dan terarah, sekaligus diharapkan dapat berperan
dengan memperhatikan dan menjamin keseimbangan antara dalam mendukung pengembangan dan peningkatan
kepentingan sosial ekonomi dan perlindungan lingkungan. Sifat potensi hutan rakyat.
khusus hutan hak, terutama dalam hal pola kepemilikan, menuntut Sistem tersebut di atas dapat dibuat menjadi suatu sistem
perlunya suatu organisasi pengelola yang dapat mendukung dan organisasi seperti pada Gambar 3. Agar dapat dilaksanakan dengan
memfasilitasi kegiatan pengaturan yang menjamin keseimbangan baik maka kelompok tani ini harus dibentuk di setiaplembang/desa
kepentingan dimaksud di atas. Kelembagaan pengaturan hasil sebagai unit pemerintahan terkecil. Bagian struktur organisasi yang
hutan rakyat diperlukan untuk berperan sebagai penyelenggara diharapkan lebih berperan adalah bagian budidaya dan pemasaran
dan fasilitator dalam penentuan lokasi penebangan dan kuota karena kedua bagian ini dibutuhkan petani untuk mengelola hutan
penebangan. Sehingga tidak ada penebangan yang dilakukan rakyatnya secara lestari. Kelompok tani dapat optimal jika tugas
secara sembarangan hanya berdasarkan keinginan pemilik tanpa masing-masing anggota ditetapkan dengan jelas, sehingga
memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan terutama koordinasi dan pelaksanaan tugas dapat berjalan dengan baik.
dampak lingkungan. Selain itu, Kelembagaan di tingkat petani juga Menurut Hardjanto et al. (2012), desain kelembagaan yang
diharapkan dapat membantu kegiatan pengelolaan hutan rakyat, dihasilkan untuk meningkatkan kinerja hutan rakyat dalam rangka
yang meliputi penyuluhan dan bimbingan teknis atau penyediaan menciptakan kelestarian hutan dan hasil hutan akan berjalan
sarana produksi dan pemasaran. Keberadaan lembaga-lembaga dengan baik jika semua pelaku mengusahakannya secara
tersebut diharapkan lebih menjamin pelaksanaannya konsisten. Rencana tugas untuk setiap bagian dari kelompok tani

Pemerintah Petani hutan swasta Pengusaha

Ketua

Sekretaris

Hutan pribadi
• Universitas Bendahara
Lembaga
• Lembaga penelitian

Perencanaan & regulasi Penanaman


1. Penetapan jatah tebang, kuota tebang produksi per lokasi hutan hak dan
penetapan lokasi penebangan.
2. Penetapan harga jual kayu (tingkat petani, tingkat industri, harga Perizinan/kayu
Pemasaran
retribusi) administrasi
3. Pemeliharaan/pengawasan hutan

Gambar 3 Skema kelembagaan pengelolaan hutan rakyat. Gambar 4 Kelembagaan kelompok tani secara pribadi
pengelolaan hutan.

Tabel 8 Rancangan tugas untuk setiap anggota kelompok tani

Bagian Tugas

Perencanaan dan pengaturan Mendaftarkan anggota dan luas kepemilikan tanah dalam suatu peraturan daerah pengelolaan/
hasil kayu hasil panen
Mengidentifikasi potensi hutan rakyat yang ada
Membuat rencana pengembangan produksi
Membuat rencana pendanaan kegiatan
Membuat evaluasi kegiatan
Perizinan/ Membuat rencana pengaturan hasil
administrasi kayu Membuat rencana teknik pemanenan
Melaksanakan penatausahaan kayu khususnya izin penebangan
Penanaman Menentukan jumlah dan jenis tanaman yang akan ditanam
Melakukan teknik budidaya mulai dari penanaman, penjarangan dan penebangan
Pemasaran Mendirikan dan mengelola koperasi serta menyiapkan sarana produksi
Memasarkan hasil panen

90
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,25(2), 82-----Agustus 2019 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.25.2.82

anggota pada Gambar 4 secara detail disajikan pada Tabel 8. Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Jakarta: Departemen Kehutanan.
Kesimpulan
Elbakidze M, Angelstam P. 2007. Menerapkan berkelanjutan
Pengaturan hasil hutan pinus rakyat di Tana Toraja dapat
dilakukan berdasarkan jumlah pohon dengan menggunakan
pengelolaan hutan di Pegunungan Carpathian
Metode Brandis. Berdasarkan metode tersebut, hutan pinus
Ukraina: Peran sistem desa tradisional.Ekologi dan
rakyat di wilayah studi dapat dikelompokkan dalam siklus
Pengelolaan Hutan249, 28–38. https://doi.org/
tebang sepuluh tahun dengan tebang tahunan berkisar antara
10.1016/ j.foreco.2007.04.003
20 hingga 81 pohon ha.-1. Kegiatan pengaturan hasil hutan hak
Elbakidze, M., Andersson, K., Angelstam, P., Armstrong, G.
berdasarkan jumlah pohon dapat dilaksanakan apabila ada
W., Axelsson, R., Doyon, F., … & Pautov, Y. (2013). Hasil
dukungan dari lembaga hutan hak. Lembaga pengatur hasil
hutan lestari di Swedia dan Rusia: Bagaimana kaitannya
dibutuhkan untuk berperan sebagai pengelola dan fasilitator
dengan kebijakan pengelolaan hutan lestari? Ambio,42,
dalam penentuan lokasi dan kuota penebangan. Selain itu,
160–173. https://doi.org/10.1007/s13280- 012-0370-6
kelembagaan di tingkat petani juga diharapkan dapat
membantu mendorong pengelolaan hutan rakyat.
Kelembagaan hutan rakyat terdiri dari tiga unsur utama yaitu Hardjanto. (2003). Keragaan dan pengembangan usaha kayu
pemerintah, petani, dan pengusaha. rakyat di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor: Universitas
IPB.
Rekomendasi
Untuk meningkatkan nilai ekonomi hutan pinus rakyat Hardjanto, Hero, Y., & Trison, S. (2012). Desain kelembagaan
bagi petani dalam penerapan metode pengaturan hasil tentang hutan rakyat untuk membangun kelestarian hutan
lestari perlu dibentuk kelembagaan di tingkat petani dalam dan usaha dalam rangka pengentasan kemiskinan di
skala yang lebih luas. Kelembagaan tersebut harus terdiri masyarakat pedesaan.Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia,17
dari pemerintah, petani, dan pengusaha. (2), 103–107.

Referensi Hardjanto, Pahlawan, Y., & Rahaju, S. (2013).Integrasi produksi


Acharya, KP, Adhikari, J., & Khanal, DJ (2008). Hutan dan pengolahan kayu rakyat sebagai solusi
rezim tenurial dan dampaknya terhadap mata pencaharian di Nepal. pengembangan hutan rakyat. Bogor: Fakultas
Jurnal Hutan dan Mata Pencaharian,7(1) 6–18. Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Seni, B., & Buizer, M. (2009). Hutan, wacana, Hardjanto. (2017).Pengelolaan hutan rakyat. Bogor: IPB
institusi: Analisis diskursif-institusional tentang tata Tekan.

kelola hutan global. Jurnal Kebijakan Hutan dan


Harrison, S., Herbohn, J., & Niskanen, H. (2002). Non-
Ekonomi, 11(5–6), 340–347. https://doi.org/10.1016/
hutan industri, petani kecil, skala kecil dan keluarga: Apa
j.forpol. 2008.10.004
arti sebuah nama?Ekonomi, Manajemen dan Kebijakan
Awang, SA, Santosa, H., Widayanti, WT, Nugroho, Y., Hutan Skala Kecil,1(1), 1–11.
Kustomo, & Supardiono. (2001).Guratan Hutan Hutan
Hawitt, S. (2009).Analisis wacana dan kebijakan publik
Rakyat di Kapur Selatan. Yogyakarta: Debut Press.
riset. Seri Makalah Diskusi No. 24. Pusat Ekonomi
Pedesaan, Universitas Newcastle.
Awang, SA (2005).Seri Bunga Rampai Hutan Rakyat.
Hendarto, AK (2003). Proyek tambang sosial dan
Fakultas Kehutanan Universitas Gajahmada.
penganggaran berwawasan gender: Suatu ulasan teoritis.
Terbaik, C., &Wayburn, LA (2001).hutan pribadi Amerika. Jurnal Hutan Rakyat,5(1), 1–16.
Washington: Status dan Penatalayanan. Pers Pulau.
Pahlawan, Y., Hardjanto, & Rahaju, S. (2014).Kemitraan model
Clarck, JR, Matheny, NP, Cross, G., & Bangun, V. (1997). A usaha hutan rakyat berdasarkan pendekatan
model kelestarian hutan kota.Jurnal Arborikultur, kelembagaan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut
23(1), 17–30. Pertanian Bogor.

Davis, LS, Johnson, KN, Bettinger, PS, & Howard, TE Jariyah, NA, & Wahyuningrum, N. (2008). Karakteristik
(2001).Pengelolaan hutan untuk mempertahankan nilai hutan rakyat di Jawa.Jurnal Penelitian Sosial dan E
ekologi, ekonomi dan sosial.4thed. New York: Perusahaan konomi K ehutanan, 4(1 ), 4 3 – 4 6 .
McGraw-Hill. https://doi.org/10.1016/j.foreco.2007.04.003

Departemen Kehutanan. 1987.Undang-Undang Republik Karminarsih, E. (2012). Unit pengelola hutan rakyat
Indonesia No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan. Jakarta: lestari skala kecil: Kasus di Kecamatan Cikalong,
Departemen Kehutanan. Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat [disertasi].
Bogor: Universitas IPB.
Departemen Kehutanan. 1999.Undang-Undang Republik

91
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,25(2), 82-----Agustus 2019 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.25.2.82

Kulkarni, J., Mehta, P., & Kamble, C. (2013).Studi status, Atmaji C. (2014). Evaluasi penetapan jatah tebang
distribusi dan dinamika hutan rakyat dan hutan tahunan (AAC) hutan tanaman jati di Perum Perhutani,
rakyat di koridor Sahyadri-Konkan Maharashtra Indonesia.Jurnal Manajemen Hutan Tropika 20(3), 195–
Western Ghats. Laporan Teknis diserahkan ke CEPF- 202. https://doi.org/10.7226/jtfm.20.3.195
ATREE. Pune: Lembaga Penelitian dan Konservasi
Margasatwa. Sanudin, & Fauziyah, E. (2015). Karakteristik hutan rakyat
berdasarkan orientasi pengelolaannya: Studi kasus di
Lewerissa, E. (2008). Penerapan silvikultur di hutan Desa Sukamaju, Ciamis dan Desa Kiarajangkung,
rakyat dengan aplikasi pemeliharaan.Jurnal Tasikmalaya, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional
Agroforestri,3(1), 47–58. Masyarakat Biodiversitas Indonesya,1(4), 696–701.
https://doi.org/10.13057/psnmbi/m010402
Malamassam, D. (2005).Pengkajian ulang pemanfaatan dan
pengelolaan hutan rakyat di Tana Toraja. Makassar: Stein, SM, McRoberts, RE, Alig, RJ, Nelson, MD,
P3DAS LPPMUnhas. David, M., Theobald, Eley, M., ... & Carr, M. (2005).
Hutan di tepi: Pembangunan perumahan di hutan
Malamassam, D. (2006). Perencanaan manajemen publik pribadi Amerika. Laporan Teknis Umum Stasiun
hutan di Kabupaten Tana Toraja. Jurnal Abadi, 2(2), 37– Penelitian Pasifik Barat Laut. Dinas Kehutanan
43. https://doi.org/10.24259/perennial.v2i2.159 Departemen Pertanian AS. https://doi.org/10.2737/
PNW-GTR-636
Malamassam, D. (2007). Kontribusi pinus
hutan rakyat terhadap pendapatan masyarakat di Sudjana. (2005).Metode statistika. Edisi ke-6. Bandung:
Kabupaten Tana Toraja. Jurnal Abadi, 3(1), 32–39. Tarsito

Malamassam, D. (2012).Membedah potensi hutan. Bogor: Suharlan,A., Sumarna, K., Sudiono, J. (1975).Tabel tegakan
Pers IPB sepuluh jenis kayu industri. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan Bogor.
Myint, TT (2012). Sebuah studi tentang pengelolaan berkelanjutan
hutan jati alami di Myanmar. [disertasi]. Tokyo: Suhendang, E. (1995).Ukuran kelestarian hasil dalam
Universitas Tokyo. pengusahaan hutan alam produksi. Bogor: Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Patabang, M., Wijayanto, N., & Hardjanto. (2008). Strategi
pengembangan hutan pinus rakyat di Kabupaten Tana van Gardingen PR, Valle, D., & Thompson, I. (2006).
Toraja.Jurnal Manajemen Hutan Tropika,14(3), 97–103. Evaluasi opsi pengaturan hasil untuk hutan primer di
Hutan Nasional Tapajo, Brasil.Ekologi dan
Patabang, M., Malamassam, D., & Hardjanto. (2014). Pengelolaan Hutan,231(13), 184–195. https://doi.org/
Model pertumbuhan pinus (Pinus merkusiiJungh. Et de 10.1016/j.foreco.2006.05.047
Vriese) berdiri di atas hutan rakyat di Kabupaten Tana
Toraja.Jurnal Manajemen Hutan Tropika,20(1), 1–8. Widayanti, TW (2004). Implementasi metode pengaturan
https://doi.org/10.7226/jtfm.20.1.1 hasil hutan pada pengelolaan hutan rakyat (Studi di Desa
Kedung Keris, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung
Republik Indonesia. 1967.Undang-Undang Republik Kidul). Jurnal Hutan Rakyat,6(2), 27– 46.
Indonesia No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuank
etentuan P okok K ehutanan.Jakarta . https:// Widiarti, A., & Prajadinata, S. (2008). Karakteristik hutan
fkkm.org/2016/09/28/uu-no-5-tahun-1967/. rakyat pola kebun campuran.Jurnal Penelitian
Hutan dan Ko nser va si Al am, 5(2 ), 1 4 5 – 1 56 .
Rohman, Warsito, SP, Supriyatno, N., Purwanto, RH,
https://doi.org/10.20886/jphka.2008.5.2.145-156

92

Anda mungkin juga menyukai