Psikologi
Kepribadian II
Gestalt Psychology : Max
Wertheimer, Kurt Goldstein, &
Frederick Perls
08
Abstract Kompetensi
Psikologi Gestalt mempelajari suatu Mahasiswa mengetahui dan mampu
gejala sebagai suatu keseluruhan atau menjelaskan mengenai :
totalitas, data-data dalam psikologi • Riwayat hidup para tokoh
Gestalt disebut sebagai phenomena • Konsep kepribadian menurut para
(gejala) tokoh
• Tahap perkembangan dan dinamika
kepribadian manusia berdasarkan
teori yang dikemukakan para tokoh
• Kelebihan dan kritik terhadap teori
yang dikemukakan para tokoh
Gestalt Psychology
10.1 Max Wertheimer
Max Wertheimer dilahirkan di Praha, Jerman pada tanggal 15 April 1880 dan wafat pada
tanggal 12 Oktober 1943 di New York. Max Wertheimer dianggap sebagai pendiri psikologi
Gestalt bersama-sama dengan Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka. Setelah tamat sekolah
Gymnasium di Praha, ia belajar hukum selama dua tahun, akan tetapi kemudian
meninggalkan studi ini dan lebih menyukai filsafat. Ia lalu belajar di Universitas Praha, Berlin
dan Wurzburg tempat ia memperoleh gelar Ph.D. di bidang psikologi di bawah bimbingan
Oswald Kulpe. Antara tahun 1910-1916, ia bekerja di Universitas Frankfurt di mana ia
bertemu dengan rekan-rekan pendiri aliran Gestalt yaitu, Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka.
Dia kemudian diangkat menjadi profesor dan sempat bekerja di beberapa universitas di
Jerman sebelum hijrah ke Amerika Serikat karena terjadi perang di benua Eropa pada tahun
1934. Dia kemudian bergaul dengan tokoh-tokoh New School for Social Research di New
York City sampai akhir hayatnya.
Konsep pentingnya : Phi phenomenon, yaitu bergeraknya objek statis menjadi rangkaian
gerakan yang dinamis setelah dimunculkan dalam waktu singkat dan dengan demikian
memungkinkan manusia melakukan interpretasi. Wertheimer menunjuk pada proses
interpretasi dari sensasi objektif yang kita terima. Proses ini terjadi di otak dan sama sekali
bukan proses fisik tetapi proses mental sehingga diambil kesimpulan ia menentang
pendapat Wundt.
Pada tahun 1910, ketika berusia 30 tahun, Max memperlihatkan ketertarikannya untuk
meneliti tentang persepsi setelah ia melihat sebuah alat yang disebut “stroboscope” (benda
berbentuk kotak yang diberi alat untuk melihat ke dalam kotak tersebut) di toko mainan
anak-anak. Di dalam kotak terdapat dua buah garis yang satu melintang dan yang satu
tegak. Kedua gambar tersebut diperlihatkan secara bergantian, dimulai dari garis yang
melintang kemudian garis yang tegak, dan diperlihatkan secara terus menerus. Kesan yang
muncul adalah garis tersebut bergerak dari tegak ke melintang. Gerakan ini merupakan
gerakan yang semu karena sesungguhnya garis tersebut tidak bergerak melainkan
dimunculkan secara bergantian. Setelah melakukan beberapa penelitian dengan alat
tersebut, dia mengembangkan teori tentang persepsi yang sering disebut dengan teori
Gestalt.
Figur ditentukan oleh tugas yang dituntut oleh keadaan organisme pada sesuatu saat. Jadi,
bila organisme yang lapar dihadapkan pada tugas untuk mendapatkan makanan, maka
setiap proses yang akan membantu melakukan tugas tersebut akan muncul sebagai figure.
Goldstein membedakan antara figure-figur alamiah yang secara fungsional terletak pada
latar belakang keseluruhan organisme dan figure-figur tidak alamiah yang menjadi terpisah
dari seluruh organisme dan yang latar belakangnya juga merupakan bagian yang terpisah
dari organisme. Figur-figur yang tak alamiah ini disebabkan oleh peristiwa-peristiwa
traumatic dan oleh latihan-latihan dalam keadaan-keadaan yang tidak memilih makna bagi
individu. Goldstein yakin bahwa banyak eksperimen psikologis yang dilakukan untuk meneliti
hubungan-hubungan stimulus respon yang terpisah mengandung sedikit atau bahkan tidak
ada hubungannya dengan tingkah laku wajar dari organisme dan dengan demikian kurang
memberikan pengetahuan yang berguna tentang hukum-hukum yang mengatur
berfungsinya organisme.
Goldstein menyatakan bahwa suatu bentuk adalah alamiah kalau ia mencerminkan pilihan
orang yang bersangkutan, dan jika tingkah laku yang ditimbulkannya bersifat teratur,
fleksibel, dan sesuai dengan situasi. Suatu figure bersifat tak wajar jika ia merupakan tugas
yang dipaksakan pada orang yang bersangkutan dan jika tingkah laku yang dihasilkan
bersifat kaku dan mekanis. Seseorang yang berada dalam keadaan hipnotik dan melakukan
berbagai perbuatan atas sugesti orang yang melakukan hypnosis kerapkali bertingkah laku
tak wajar karena tingkah lakunya itu dilepaskan dari kepribadiannya yang normal oleh
keadaan hypnosis. Apa yang dilakukannya itu tidak mencerminkan pilihannya, tetapi hanya
mencerminkan pilihan orang yang melakukan hypnosis, dan tingkah lakunya sering sama
sekali tidak sesuai dengan situasi. Orang menjadi otomat dan bukan seorang pribadi.
Seorang anak kecil yang menghafal kata-kata sebuah lagu dan menyanyikannya merupakan
contoh tingkah laku yang disebut oleh Goldstein sebagai figure yang tak wajar.
Meskipun Goldstein menekankan sifat fleksibel dan plastis proses-proses wajar yang
berlawanan dengan sifat kaku proses-proses yang tak wajar, namun ia mengakui bahwa
aktivitas-aktivitas yang disenangi bias menjadi tetap konstan selama hidup tanpa kehilangan
hubungannya yang erat dengan organisme seluruhnya. Sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan
tidak perlu terlepas dan terpisah dari keseluruhan di mana sifat-sifat dan kebiasaan-
kebiasaan itu sudah melekat. Sesungguhnya, Goldstein menunjukkan banyak konstansi
Goldstein mengemukakan bahwa ada tiga macam tingkah laku yang berbeda : perbuatan,
yakni aktivitas-aktivitas yang dilakukan dengan sengaja dan sadar; sikap yang mencakup
perasaan, suasana hati dan pengalaman batin lainnya; dan proses, yakni fungsi jasmaniah
yang hanya dapat dialami secara tidak langsung (1939, hlm. 307).
Pembedaan structural lain yang dimanfaatkan oleh Goldstein adalah pembedaan antara
tingkah laku konkret dan tingkah laku abstrak. Tingkah laku konkret berupa reaksi terhadap
stimulus secara otomatik atau langsung, sedangkan tingkah laku abstrak berupa aksi
terhadap stimulus oleh organisme. Misalnya, dalam tingkah laku konkret orang
mempersepsikan suatu konfigurasi stimulus dan bereaksi terhadapnya sebagaimana
adanya pada waktu itu, sedangkan dalam tingkah laku abstrak, orang berpikir tentang pola
stimulus tersebut, apa artinya, bagaimana hubungannya dengan pola-pola lain, bagaimana
stimulus tersebut dapat digunakan, dan apa saja isi konseptualnya? Perbedaan antara
tingkah laku konkret dan tingkah laku abstrak merupakan perbedaan antara reaksi langsung
terhadap stimulus dan reaksi terhadap stimulus tersebut setelah dipikir.
10.2.3.1 Ekualisasi
Goldstein mempostulasikan adanya suatu sumber energy yang agak tetap dan cenderung
terbagi merata dalam seluruh organisme. Energi yang tetap dan terbagi merata ini memberi
tegangan yang “merata” dalam organisme, dan organisme selalu kembali atau berusaha
kembali ke keadaan rata-rata ini setiap kali suatu stimulus mengubah tegangan. Kembali
kepada keadaan “rata-rata” inilah yang disebut proses ekualisasi. Misalnya, orang
mendengar suara yang dating dari sebelah kanan dan menolehkan kepala ke arah itu.
Menolehkan kepala mengekualisasikan distribusi energy dalam system yang menjadi tidak
seimbang karena suara tersebut. Orang makan kalau lapar, orang beristirahat kalau letih,
Tujuan dari orang yang normal dan sehat tidak hanya melepaskan tegangan tetapi
membuatnya seimbang. Taraf di mana tegangan menjadi seimbang merupakan suatu
pemusatan organisme. Pusat ini memungkinkan organisme untuk secara paling efektif
melakukan tugasnya menghadapi lingkungan dan mengaktualisasikan dirinya dalam
aktivitas-aktivitas selanjutnya sesuai dengan kodratnya. Pemusatan yang penuh atau
keseimbangan yang sempurna adalah suatu keadaan holistic yang ideal yang mungkin
jarang tercapai.
10.2.3.2 Aktualisasi-Diri
Inilah motif pokok dalam pandangan Goldstein, malahan satu-satunya motif yang dimiliki
organisme. Apa yang tampak sebagai dorongan-dorongan yang berbeda seperti lapar, seks,
kekuasaan, prestasi, dan keingintahuan semata-mata merupakan manifestasi tujuan hidup
pokok, yakni mengaktualisasikan diri sendiri. Bila orang lapar, ia mengaktualisasikan dirinya
dengan makan; bila orang haus akan kekuasaan, maka ia akan mengaktualisasikan dirinya
dengan memperoleh kekuasaan. Pemuasan setiap kebutuhan tertentu berada pada bagian
terdepan bila menjadi syarat bagi realisasi-diri dari seluruh organisme. Aktualisasi-diri
adalah kecenderungan kreatif dari kodrat manusia. Hal tersebut merupakan prinsip organic
yang menyebabkan organisme berkembang dengan lebih penuh dan lebih sempurna. Orang
yang tidak tahu yang menginginkan pengetahuan merasakan suatu kekosongan dalam
dirinya; ia menyadari ketidaksempurnaannya sendiri. Dengan membaca dan belajar,
keinginannya akan pengetahuan terpenuhi, dan kekosongannya pun hilang. Dengan itu,
Potensi-potensi individu dapat diketahui dengan mengetahui apa yang disenangi orang itu
dan apa yang dapat dikerjakannya dengan paling baik. Pilihan-pilihan kesukaan individu
berhubungan dengan potensi-potensinya. Ini berarti bahwa apabila kita ingin mengetahui
apa yang diusahakan orang-orang untuk diaktualisasikan maka kita harus mengetahui apa
yang senang mereka kerjakan dan bakat apa yang mereka punyai. Pemain baseball
mengaktualisasikan potensi-potensi yang dikembangkan dengan bermain baseball,
pengacara mengaktualisasikan potensi-potensi yang direalisasikan dengan menjalankan
praktik hukum.
Pada umumnya, Goldstein menekankan motivasi sadar daripada motivasi tak sadar. Dalam
pandangannya, ketidaksadaran adalah latar belakang tempat masuknya bahan sadar
apabila tidak lagi berguna untuk realisasi-diri dalam situasi tertentu, dan tempat asal bahan
itu muncul kembali bila pantas dan cocok lagi untuk realisasi-diri. “Semua kekhususan yang
disebut Freud sebagai sifat khas ketidaksadaran sungguh-sungguh cocok dengan
perubahan-perubahan yang dialami tingkah laku normal melalui isolasi yang disebabkan
karena penyakit” (1939, hlm. 323).
Goldstein mengatakan kepada kita bahwa organisme yang normal dan sehat adalah
organisme “di mana kecenderungannya kea rah aktualisasi-diri timbul dari dalam dan
mengatasi gangguan yang timbul dari pertentangan dengan dunia, bukan karena
kecemasan melainkan karena kesenangan dan kemenangan” (1939, hlm. 305). Hal ini
berarti bahwa penyesuaian dengan lingkungan itu terutama diwujudkan dengan
menguasainya. Apabila hal ini tidak dapat dilakukan, maka orang harus menerima
kesukaran-kesukaran dan menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan realitas-realitas dunia
luar. Apabila perbedaan antara tujuan organisme dan realitas-realitas dari lingkungan terlalu
besar, maka organisme mengalah atau melepaskan beberapa cita-citanya dan berusaha
mengaktualisasikan diri pada taraf yang lebih rendah.
Goldstein mengatakan bahwa apabila anak dihadapkan pada situasi-situasi yang dapat
dikuasainya, maka ia akan berkembang secara normal lewat pematangan dan latihan.
Apabila masalah-masalah baru timbul, maka ia akan membentuk pola-pola baru untuk
menanggulanginya. Reaksi-reaksi yang tidak berguna lagi untuk tujuan-aktualisasi diri akan
diitnggalkan. Akan tetapi apabila kondisi-kondisi lingkungan terlalu berat bagi kapasitas-
kapasitas anak, maka ia akan mengembangkan reaksi-reaksi yang tidak serasi dengan
prinsip aktualisasi-diri. Dalam hal demikian, proses ini cenderung menjadi terisolasi dari pola
hidup orang tersebut. Isolasi dari suatu proses merupakan syarat utama untuk
berkembangnya keadaan-keadaan patologis. Misalnya, menurut kodratnya manusia itu tidak
agresif dan juga tidak sub-misif, tetapi untuk memenuhi kodratnya manusia kadang-kadang
harus bersikap agresif dan di lain waktu submisif, tergantung pada keadaan. Akan tetapi
apabila kebiasaan yang kuat dan tetap dalam hal agresi atau submisi itu telah terbentuk,
maka hal itu akan mempunyai pengaruh yang merusak terhadap kepribadian karena ia akan
muncul pada waktu yang tidak sesuai dan dalam cara-cara yang bertentangan dengan
kepentingan-kepentingan sang pribadi secara keseluruhan.
10.3.1 Pengantar
Terapi Gestalt yang dikembangkan oleh Frederick Perls adalah bentuk terapi eksistensial
yang berpijak pada premis bahwa individu-individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri
dan menerima tanggung jawab pribadi jika mereka berharap mencapai kematangan. Karena
bekerja terutama di atas prinsip kesadaran, terapi Gestalt berfokus pada apa dan
bagaimana-nya tingkah laku dan pengalaman di sini-dan-sekarang dengan memadukan
(mengintegrasikan) bagian-bagian kepribadian yang terpecah dan tak diketahui.
Asumsi dasar terapi Gestalt adalah bahwa individu-individu mampu menangani sendiri
masalah-masalah hidupnya secara efektif. Tugas utama terapis adalah membantu klien agar
mengalami sepenuhnya keberadaannya di sini dan sekarang dengan menyadarkannya atas
Pandangan Gestalt adalah bahwa individu memiliki kesanggupan memikul tanggung jawab
pribadi dan hidup sepenuhnya sebagai pribadi yang terpadu. Disebabkan oleh masalah-
masalah tertentu dalam perkembangannya, individu membentuk berbagai cara menghindari
masalah dan karenanya, menemui jalan buntu dalam pertumbuhann pribadinya. Terapi
menyajikan intervensi dan tantangan yang diperlukan, yang bisa membantu individu
memperoleh pengetahuan dan kesadaran sambil melangkah menuju pemanduan dan
pertumbuhan. Dengan mengakui dan mengalami penghambat-penghambat
pertumbuhannya, maka kesadaran individu atas penghambat-penghambat itu akan
meningkat sehingga dia kemudian bisa mengumpulkan kekuatan guna mencapai
keberadaan yang lebih otentik dan vital.
Guna membantu klien untuk membuat kontak dengan saat sekarang, terapis lebih suka
mengajukan pertanyaan-pertanyaan “apa” dan “bagaimana” ketimbang “mengapa”. Dalam
rangka meningkatkan kesadaran atas “saat sekarang”, terapis melakukan dialog dalam kala
kini (present tense) dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti : Apa yang terjadi
sekarang ini? Apa yang sedang berlangsung sekarang? Apa yang sedang Anda alami
sekarang saat Anda duduk di sana dan mencoba berbicara? Bagaimana kesadaran Anda
saat ini? Bagaimana Anda mengalami ketakutan Anda sendiri saat ini? Bagaimana Anda
mencoba menarik diri saat ini? Perls (1969a) menandaskan bahwa tanpa intensifikasi
perasaan-perasaan, individu akan berspekulasi tentang mengapa ia merasa seperti ini.
Menurut Perls, pertanyaan-pertanyaan “mengapa” hanya akan mengarah pada
rasionalisasi-rasionalisasi dan “penipuan-penipuan diri” serta menjauhkan individu dari
kesegeraan mengalami. Pertanyaan-pertanyaan “mengapa” juga mengarah kepada
pemikiran yang tak berkesudahan tentang masa lampau yang hanya akan membangkitkan
penolakan terhadap saat sekarang.
Terapis Gestalt secara aktif menunjukkan bagaimana klien bisa dengan mudah lari dari saat
sekarang dan memasuki masa lampau atau masa depan. Sebagian besar orang hanya bisa
tinggal dalam saat sekarang sekejap saja. Mereka agaknya lebih suka mencari cara
menghentikan aliran saat sekarang. Mereka sering berbicara tentang perasaan-perasaan
hampir seakan-akan mengalami perasaan-perasaan itu terpisah dari mengalami pada saat
sekarang alih-alih mengalami perasaan-perasaan di sini dan sekarang. Sasaran Perls
adalah membantu orang-orang membuat hubungan dengan pengalaman-pengalaman
mereka secara jelas dan segera ketimbang semata-mata berbicara tentang pengalaman-
pengalaman itu. Jadi, jika klien mulai berbicara tentang kesedihan, kesakitan, atau
kebingungan, terapis membuat usaha-usaha agar klien mengalami kesedihan, kesakitan,
dan kebingungan itu sekarang. Pembicaraan tentang masalah hanya akan menjadi suatu
permainan kata tak berakhir yang menjurus pada diskusi dan eksplorasi yang tidak produktif
Tidaklah tepat mengatakan bahwa para terapis Gestalt tidak menaruh perhatian pada masa
lampau individu. Masa lampau itu penting apabila dengan cara tertentu berkaitan dengan
tema-tema yang signifikan yang terdapat pada fungsi individu saat sekarang. Apabila masa
lampau memiliki kaitan yang signifikan dengan sikap-sikap atau tingkah laku individu
sekarang, maka masa lampau itu ditangani dengan membawanya ke saat sekarang
sebanyak mungin. Jadi, apabila klien berbicara tentang masa lampaunya, maka terapis
meminta klien agar membawa masa lampaunya itu ke saat sekarang dengan menjalaninya
kembali seakan-akan masa lampau itu hadir pada saat sekarang. Terapis mengarahkan
klien agar “berada di masa lampau” (dalam khayalan) dan menghidupkan kembali perasaan-
perasaan masa lampaunya. Alih-alih berbicara tentang pegalaman traumatik masa kanak-
kanak dengan ayahnya, misalnya, klien diarahkan untuk menjadi anak yang terluka dan
dalam fantasinya dia berbicara secara langsung dengan ayahnya sehingga klien diharapkan
dapat menghidupkan dan mengalami kembali luka hatinya itu.
Perls yakin bahwa orang-orang cenderung bergantung pada masa lampau untuk
membenarkan ketidaksediaannya memikul tanggung jawab atas dirinya sendiri dan atas
pertumbuhannya. Mereka melakukan permainan menyalahkan guna mengesampingkan
tanggung jawab. Perls melihat sebagian besar orang mendapat kesulitan untuk tinggal pada
saat sekarang. Mereka terperangkap dalam pusaran dengan membuat resolusi-resolusi dan
merasionalisasikan keadaan setengah mati yang mereka jalani. Mereka lebih suka
melakukan sesuatu yang lain daripada menjadi sadar betapa mereka telah mencegah diri
sendiri menjalani hidup sepenuhnya.
Satu contoh tentang bagaimana urusan yang tidak selesai mengganggu individu dan
mengejawantahkan dirinya dalam tingkah laku sekarang, bisa dilihat pada seorang pria yang
tidak pernah merasa sepenuhnya dicintai dan diterima oleh ibunya. Si pria menaruh dendam
pada ibunya. Sekalipun dia terus mencari persetujuan sang ibu, dia selalu merasa diri tidak
memadai. Dalam usahanya menyimpangkan arah kebutuhan akan persetujuan ibunya, si
pria mencari wanita yang bisa mengukuhkannya sebagai pria. Dalam mengembangkan
berbagai permainan guna memperoleh wanita yang bisa memberikan persetujuan itu, si pria
tetap merasa tidak puas. Urusan yang tak selesai telah menghambat hubungan intimnya
yang otentik dengan wanita. Dengan demikian, tingkah laku si pria didominasi oleh
pencarian cinta yang kompulsif yang tidak pernah diterimanya dari ibunya. Dia perlu
mengalami penyingkapan urusan yang tak selesai agar bisa mengalami kepuasan yang
nyata yakni si pria perlu berpaling pada persoalan lama dan mengungkapkan perasaan-
perasaan yang tak diketahuinya.
Perasaan-perasaan yang tak diketahui menghasilkan sisa emosi yang tak perlu, yang
mengacaukan kesadaran yang terpusat pada saat sekarang. Menurut Perls (1969a), rasa
sesal atau dendam paling sering menjadi sumber dan menjadi bentuk urusan tak selesai
yang paling buruk. Dalam pandangan Perls, rasa sesal menjadikan individu terpaku, yakni
dia tidak bisa mendekati atau terlibat dalam komunikasi yang otentik sampai dia
mengungkapkan suatu keharusan. Rasa sesal yang tidak terungkapkan acap kali berubah
menjadi perasaan berdosa. Saran Perls adalah, “Bilamana Anda merasa berdosa, temukan
dan ungkapkan rasa sesal Anda, dan usahakan agar tuntutan-tuntutan Anda menjadi jelas”.
(Pearls, 1969a, hlm. 49)
Sasaran utama terapi Gestalt adalah pencapaian kesadaran. Kesadaran dengan dan pada
dirinya sendiri; dipandang kuratif. Tanpa kesadaran, klien tidak memiliki alat untuk
mengubah kepribadiannya. Dengan kesadaran, klien memiliki kesanggupan untuk
menghadapi dan menerima bagian-bagian keberadaan yang diingkarinya serta untuk
berhubungan dengan pengalaman-pengalaman subjektif dan dengan kenyataan. Klien bisa
menjadi suatu kesatuan dan menyeluruh. Apabila klien menjadi sadar, maka urusannya
yang tidak selesai akan selalu muncul sehingga bisa ditangani dalam terapi.
Menurut Perls, terapi Gestalt berhubungan dengan hal yang jelas. Dan orang yang neurotik
tidak mampu melihat hal yang jelas : “Dia tidak melihat bisul di hidungnya sendiri”, demikian
Berikut ini adalah gagasan-gagasan pokok Perls (1969a) tentang peran terapis. Pertama-
tama Perls menyatakan bahwa sasaran terapis adalah kematangan klien dan
pembongkaran “hambatan-hambatan yang mengurangi kemampuan klien berdiri di atas kaki
sendiri”. Tugas terapis adalah membantu klien dalam melaksanakan peralihan dari
dukungan eksternal kepada dukungan internal dengan menentukan letak jalan buntu. Jalan
buntu adalah titik tempat individu menghindari mengalami perasaan-perasaan yang
mengancam karena dia merasa tidak nyaman. Jalan buntu adalah penolakan terhadap
langkah menghadap diri sendiri dan terhadap perubahan. Orang-orang sering
mengungkapkan penolakan dengan mengatakan “Saya merasa dihambat, sepertinya saya
ini roda yang tidak berputar, tidak bisa bergerak ke mana-mana”, “Saya tidak tahu harus
pergi ke mana dari sini”, “Saya tidak bisa berbuat apa-apa”, “Saya merasa terpaku”. Menurut
Perls, orang-orang “merasa terpaku” karena mereka menyimpan pengharapan-pengharapan
katastrofik. Mereka membayangkan bahwa sesuatu yang mengerikan akan timbul. Fantasi-
fantasi katastrofik menghambat mereka menjalani hidup secara penuh dan akibat ketakutan-
ketakutan yang tidak masuk akal, mereka menolak mengambil risiko yang diperlukan untuk
menjadi lebih matang. Secara khas, pengharapan-pengharapan katastrofik mengambil
bentuk pernyataan-pernyataan seperti : “Jika saya memiliki cara tertentu, atau memiliki
perasaan-perasaan tertentu, maka saya tidak ingin dicintai, diterima, atau disetujui. Saya
akan menjadi tolol. Saya akan binasa. Saya merasa seperti orang dungu. Saya akan
terabaikan.”
Pada jalan buntu, klien berusaha mengelak dari lingkungannya dengan memainkan peran-
peran palsu sebagai orang yang lemah, tak berdaya, bodoh, dan tolol. Tugas terapis adalah
membantu klien untuk menembus jalan buntu sehingga pertumbuhan bisa terjadi. Itu adalah
suatu tugas yang sulit, sebab klien pada titik jalan buntu percaya bahwa dirinya tidak
memiliki kesempatan mempertahankan kelangsungan hidup dan bahwa dia tidak ingin
menemukan cara-cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Terapis membantu
kliennya agar menyadari dan menembus jalan buntu dengan menghadirkan situasi-situasi
yang mendorong kliennya itu untuk mengalami keterpakuannya secara penuh. Dengan
mengalami keterpakuannya, klien mampu berhubungan dengan frustasi-frustasinya. Perls
yakin bahwa frustrasi-frustrasi itu perlu bagi pertumbuhan, sebab tanpa frustrasi, orang tidak
Perls (1969a, hlm. 36) mengemukakan bahwa cara untuk menghindari manipulasi yang
mungkin dilakukan klien adalah membiarkan klien menemukan sendiri potensi-potensinya
yang hilang. Klien menggunakan terapis sebagai “layar proyeksi” dan memandang terapis
sebagai pemberi apa-apa yang hilang dari dirinya. Perls menyatakan bahwa semua orang
memiliki “lubang” dalam kepribadiannya. Lubang itu boleh jadi mencakup penyerahan mata
dan telinganya sendiri; dia lebih suka meminta orang lain agar melihat dan mendengar untuk
dirinya dibandingkan melihat dan mendengar sendiri. Menurut Pearls (1969a, hlm. 37),
lubang-lubang itu terlihat jelas. Tugas terapis kemudian adalah menyajikan situasi yang
menunjang pertumbuhan dengan jalan mengonfrontasikan klien kepada titik tempat dia
menghadapi suatu putusan apakah akan atau tidak akan mengembangkan potensi-
potensinya. Frustrasi menghasilkan penemuan bahwa jalan buntu tidak ada dalam
kenyataan, tetapi hanya ada dalam fantasi. Klien meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak
memiliki sumber-sumber yang patut digali. Akibat ketakutan yang ditimbulkan oleh
“pengharapan-pengharapan katastrofik”, dia mencegah dirinya sendiri menggunakan
sumber-sumber diri. Apabila klien bisa menghadapi dan menembus ketakutannya, maka
kecemasan neurotik yang dialami klien akan berubah menjadi kegembiraan yang positif.
Sebagaimana dinyatakan oleh Perls (1969a, hlm. 3), “Kita memanfaatkan frustrasi dengan
cukup cerdik sehingga pasien terdorong untuk menemukan jalannya sendiri, menyadari
bahwa apa yang diharapkannya dari terapis bisa dikerjakan oleh dirinya sendiri dengan
baik”.
Satu fungsi yang penting dari terapis Gestalt adalah memberikan perhatian pada bahasa
tubuh kliennya. Isyarat-isyarat nonverbal dari klien menghasilkan informasi yang kaya bagi
terapis, sebab isyarat-isyarat itu sering “mengkhianati” perasaan-perasaan klien, yang klien
sendiri tidak menyadarinya. Perls (1969a, hlm. 54) mengatakan bahwa postur, gerakan-
gerakan, mimik-mimik muka, keraguan, dan sebagainya, dapat menceritakan kisah yang
sesungguhnya. Ia mengingatkan bahwa komunikasi verbal sering mengandung kebohongan
dan bahwa jika terapis terpusat pada isi, maka dia kehilangan esensi pribadi klien.
Komunikasi yang nyata ada di seberang kata-kata. “Bunyi menceritakan segalanya kepada
Anda. Segenap hal yang orang ingin mengungkapkannya ada di sana bukan di dalam kata-
kata. Apa yang kita katakan hampir semuanya bohong. Akan tetapi, suara ada di sana,
gerak tangan, postur, mimik muka, bahasa psikosomatik”.
Meskipun Perls tampak pesimistis, tidak semua klien hanya menginginkan “perbaikan
neurosis”. Para klien dalam pengalaman terapi Gestalt memutuskan sendiri apa yang
mereka inginkan dan berapa banyak yang mereka inginkan. Peringatan Perls dapat
digunakan dalam mengonfrontasikan para klien guna membantu mereka menguji beberapa
besar perubahan yang diinginkan oleh mereka. Jadi, salah satu tanggung jawab yang paling
pertama harus ditunaikan oleh klien adalah menetapkan apa yang diinginkan mereka dari
terapi. Jika klien menyatakan bahwa mereka bingung dan tidak tahu, atau jika klien
mengharapkan terapislah yang akan menetapkan tujuan-tujuan, maka inilah tempat terapis
untuk mulai bekerja. Terapis bersama klien bisa mengeksplorasi penghindaran klien dari
tanggung jawab ini.
10.3.4 Evaluasi
Beberapa kritik terhadap terapi Gestalt sebagai berikut.
1. Terapi Gestalt tidak berlandaskan suatu teori yang kukuh.
2. Terapi Gestalt cenderung antiintelektual dalam arti kurang memperhitungkan faktor-
faktor kognitif.
Hall, Calvin S. & Gardner Lindzey. 1993. Psikologi Kepribadian 2, Teori-teori Holistik
(Organismik-Fenomenologis). Yogyakarta : Kanisius.