The Trasnlation 7
The Trasnlation 7
Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada
laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal
ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun,
serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas
Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi
akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Andika Saputra
1. Terjemahkan teks di bawah ini ke bahasa Indonesia secara wajar, akurat dan berterima. Setelah
saudara menerjemahkan, perhatikan bagian yang dicetak tebal dan diberi garis bawah!
Before Mohammed, before Jesus, before Buddha, there was Zoroaster. Some 3,500 years ago,
in Bronze Age Iran, he had a vision of the one supreme God. A thousand years later,
Zoroastrianism, the world’s first great monotheistic religion, was the official faith of the mighty
Persian Empire, its fire temples attended by millions of adherents. A thousand years after that, the
empire collapsed, and the followers of Zoroaster were persecuted and converted to the new faith
of their conquerors, Islam. Another 1,500 years later – today – Zoroastrianism is a dying faith, its
sacred flames tended by ever fewer worshippers. We take it for granted that religions are born,
grow and die – but we are also oddly blind to that reality. When someone tries to start a new
religion, it is often dismissed as a cult. When we recognise a faith, we treat its teachings and
traditions as timeless and sacrosanct. And when a religion dies, it becomes a myth, and its claim
to sacred truth expires. Tales of the Egyptian, Greek and Norse pantheons are now considered
legends, not holy write. Even today’s dominant religions have continually evolved throughout
history. Early Christianity, for example, was a truly broad church: ancient documents include
yarns about Jesus’ family life and testaments to the nobility of Judas. It took three centuries for
the Christian church to consolidate around a canon of scriptures – and then in 1054 it split into the
Eastern Orthodox and Catholic churches. Since then, Christianity has continued both to grow and
to splinter into ever more disparate groups, from silent Quakers to snake-handling
Pentecostalists. if you believe your faith has arrived at ultimate truth, you might reject the idea that
it will change at all. But if history is any guide, no matter how deeply held our beliefs may be
today, they are likely in time to be transformed or transferred as they pass to our descendants –
or simply to fade away. If religions have changed so dramatically in the past, how might they
change in the future? Is there any substance to the claim that belief in gods and deities will die out
altogether? And as our civilisation and its technologies become increasingly complex, could
entirely new forms of worship emerge?
2. Terjemahkan teks di bawah ini ke bahasa Indonesia secara wajar, akurat dan berterima. Setelah
saudara menerjemahkan, perhatikan bagian yang dicetak tebal dan diberi garis bawah!
Dalam perjalanan menuju candi, wisatawan akan disuguhkan pemandangan memesona hamparan kebun Teh
Kemuning. Karena keberadaannya di kawasan lereng pegunungan, udara tempat ini sejuk dan segar. Dengan
suhu rata-rata 20⁰ Celsius dan sering kali berkabut, wisatawan disarankan memakai pakaian hangat. Di sisi
timur teras paling bawah terdapat gapura yang merupakan pintu gerbang Candi Cetho. Setelah membayar tiket
masuk, wisatawan akan diminta memakai kain poleng. Kain sarung kotak hitam-putih yang biasanya dijumpai
di Bali ini wajib dikenakan setiap pengunjung. Laporan ilmiah pertama mengenai Candi Cetho dibuat oleh
Van de Vlies pada 1842. Sedangkan penggalian untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali tahun
1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Candi ini diperkirakan dibangun sekitar abad XV pada masa
pemerintahan Prabu Brawijaya V. Pada dinding gapura teras ke-VII terdapat prasasti yang ditulis dengan huruf
Jawa kuno. Bunyinya “Pelling padamel irikang buku, tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh
anaut iku 1397”. Ditafsirkan sebagai “peringatan pendirian tempat peruwatan (membebaskan kutukan),
didirikan tahun 1397 Saka (1475 M)”. Wisatawan akan menemukan sisi romantisme dan eksotisme di area
Candi Cetho. Bermula dari akses menuju candi dengan pemandangan perkebunan Teh Kemuning yang
melegenda. Berada di ketinggian 1496 mdpl, suhu di kawasan ini sejuk cenderung dingin dan acap kali
berkabut. Nama Candi Cetho diambil dari nama tempatnya berada, yaitu Dusun Cetho. Dalam bahasa Jawa,
‘cetho’ berarti jelas karena saat cerah pemandangan dari ketinggian terlihat jelas. Saat ditemukan, Candi Cetho
merupakan reruntuhan batu pada 14 dataran bertingkat. Memanjang dari barat ke timur, strukturnya berkonsep
punden berundak. Saat ini tinggal 13 aras (teras) candi dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja.
Bangunan baru hasil pemugaran adalah gapura megah di muka dan bangunan-bangunan pertapaan kayu. Juga
patung-patung Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, phallus, dan bangunan kubus pada puncak punden.
Masing-masing halaman teras dihubungkan tangga yang seolah membagi halaman teras menjadi dua bagian.
Situs Candi Cetho sampai saat ini tetap digunakan umat Hindu untuk melaksanakan peribadatan. Lokasi ini
merupakan tempat pemujaan dan pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Patung Dewi Saraswati bergaya
seni arca Bali ditempatkan sebagai objek pemujaan di teras terakhir. Saat-saat tertentu masyarakat sekitar yang
merupakan penganut agama Hindu melakukan ritual di tempat ini. Wisatawan dapat menyaksikan ritual
keagamaan dengan tidak mengganggu aktivitas ibadah. Dalam kunjungan pun dapat ditemukan sesajen
persembahan di sekitar kompleks candi.