SAMPUL
REFERAT
LASIK
( L ase
serr A ssi
ssist
ste
ed i n Si
Si tu Ke
K er atomi le
leusi
usis)
s)
Oleh:
Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro, Sp. M
i
AMPUL
REFERAT
LASIK
( L ase
serr A ssi
ssist
ste
ed i n Si
Si tu Ke
K er atomi le
leusi
usis)
s)
Oleh:
Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro, Sp. M
i
ii
DAFTAR ISI
ii
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
iv
DAFTAR TABEL
iv
BAB 1. PENDAHULUAN
Mata merupakan organ vital yang ada pada manusia. mata memiliki fungsi
yang beragam, mata merupakan organ yang berfungsi sebagai pengelihatan kita
untuk berjalan, bekerja, belajar dan sebagainya. Gangguan pada organ mata tentu
akan membuat rasa tidak nyaman pada pasien, karena akan mengganggu aktivitas
sehari – hari dari pasien mulai bekerja dan sebagainya. Gangguan pada organ
mata ini bisa mengenai organ refraksi pada mata sehingga tajam pengelihatan
pasien terganggu, infeksi, trauma dan lain sebagainya. Kelainan yang paling
sering dialami oleh masyarakat adalah tajam pegelihatan menurun atau gangguan
pada organ refraksi. Kelainan organ refraksi ini sering mengganggu aktivitas
sehari –
sehari – hari
hari penderitanya.
(Reinstein, 2012).
Secara umum, cara kerja mata persis seperti cara kerja kamera. Pada
kamera, cahaya masuk melewati sistem lensa menuju film atau sensor CCD pada
kamera digital. Pada mata, kornea dan lensa mata berada pada bagian depan mata
(anterior chamber) dan fungsinya sama seperti lensa pada kamera. Retina berada
di bagian belakang mata (posterior chamber) dan fungsinya sama seperti film atau
sensor CCD pada kamera. Pada mata normal, berkas cahaya masuk melewati
kornea dan lensa mata dan langsung difokuskan pada retina untuk menghasilkan
bayangan yang jelas. Pada kelainan refraksi terjadi ketidak seimbangan sistem
penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak
dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan tidak
terletak pada satu titik focus (Ilyas, 2010).
2.1.1 Miopia
Gambar 2.1 Miopia dan cara mengoreksi dengan lensa cekung (Lang, 2006)
Miopia adalah perbedaan antara kekuatan refraksi dan panjang aksial pada
mata sehingga berkas cahaya yang melewati kornea dan lensa mata tidak terfokus
pada retina mata, melainkan jatuh di depan retina, sehingga menghasilkan
bayangan yang jelas pada objek yang dekat, namun bayangan menjadi kabur sama
sekali ketika pasien melihat benda yang jauh letaknya (Lang, 2006). Miopia
terjadi jika kornea (terlalu cembung) dan lensa (kecembungan kuat) berkekuatan
lebih atau bola mata terlalu
terlal u panjang sehingga titik fokus sinar yang dibiaskan akan
terletak di depan retina ( Binder, 2010).
2.1.2 Hipermetropia
bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga titik fokus
sinar terletak di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan panjang
sumbu bola mata (hipermetropia aksial), seperti yang terjadi pada kelainan
2.1.3 Astigmatisme
Pada astigmatisme berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan
tajam pada retina akan tetapi pada dua garis api yang saling tegak lurus yang
terjadi akibat kelainan kelengkungan permukaan kornea. Variasi kelengkungan
kornea atau lensa mencegah sinar terfokus pada satu titik. Sebagian bayangan
akan dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian lain sinar
difokuskan di belakang retina. Akibatnya penglihatan akan terganggu (Ilyas,
2010). Hal ini membutuhkan koreksi dengan lensa silindris atau lensa toric (Crick
et al .,
., 2003).
digunakan dan paling terkenal dibandingkan operasi dengan bantuan laser (laser-
( laser-
assisted ) lainnya, seperti PRK ( photorefractive keratectomy)
keratectomy) atau yang lebih
dikenal dengan Lasek (laser-assisted
(laser-assisted sub-ephitelial keratectomy).
keratectomy). Jenis ini
umumnya tergolong aman dan menghasilkan penanganan yang lebih efektif untuk
jenis kelainan penglihatan yang lebih besar. Secara spesifik, LASIK melibatkan
fungsi dan kemampuan dari laser untuk merubah bentuk kornea secara permanen.
LASIK telah memperbaiki secara total kelainan pada mata dan mengurangi
ketergantungan pada kacamata dan lensa kontak (contact
( contact lenses)
lenses) (Reinstein,
2012).
(Reinstein, 2012)
mengonsumsi obat seperti anti- depresan atau obat penurun tekanan darah.
b. Ukuran pupil besar
Ukuran pupil yang besar ditakutkan munculnya “halo” pada penglihatan.
Namun hal ini masih diperdebatkan hubungan ukuran pupil dengan gangguan
penglihatan setelah dilakukan LASIK.
c. Keratokonus
Penyakit mata progresif yang ditandai dengan benjolan pada kornea,
sehingga bentuk kornea terlihat seperti kerucut dan bukannya bulat. Saat hal
tersebut terjadi, mata tidak akan dapat memusatkan pandangan pada gambar
dengan baik.
lainnya.
e. Kehamilan
Dalam kondisi hamil, bukan kandidat yang tepat LASIK, karena hasil dari
pemeriksaan refraksi berfluktuatif.
kondisi dan keadaan, semua kandidat LASIK akan terpilih ke dalam salah satu
dari tiga kategori besar berikut:
operasi dilakukan.
b. Pasien yang sedang menjalani pengobatan dengan steroid atau imunosupresan,
yang dapat mencegah penyembuhan, atau menderita penyakit yang
melambatkan penyembuhan, seperti gangguan autoimun.
c. Memiliki jaringan parut kornea.
d. Berumur di bawah usia 18.
e. Memiliki pengelihatan yang tidak stabil, biasanya terjadi pada usia muda.
f. Sedang hamil atau menyusui.
g. Memiliki sejarah herpes okular dalam satu tahun sebelum operasi.
h. Kesalahan refraksi terlalu berat untuk pengobatan dengan teknologi saat ini.
i. Meskipun laser disetujui FDA tersedia untuk memperlakukan salah satu dari
tiga jenis utama kesalahan refraksi miopia, hyperopia dan silindris. Indikasi
yang disetujui FDA menetapkan pasien yang tepat untuk penanganan dengan
miopia 1 sampai dengan -12 D, astigmatisme sampai dengan 6D dan hyperopia
hingga 6 D.
10
11
aliran air mata terbuang dari mata yang mengakibatkan mata kering, dan
kondisi lain.
• Pemeriksaan kornea untuk menentukan apakah ada kelainan yang dapat
12
2. Laser Remodelling
Langkah kedua ialah menggunakan excimer laser, yang memiliki panjang
gelombang sebesar 195 nm untuk merubah bentuk dari stroma kornea. Laser
13
akan menyatu dengan lapisan stroma (sembuh) sampai waktu panyembuhan telah
usai.
c. Perawatan pasca-operasi
Pasien umumnya diberikan tetes mata antibiotik dan anti inflamasi selama
beberapa minggu pasca operasi. Pasien juga disarankan untuk tidur lebih lama dan
lebih sering dan juga diberikan sepasang pelindung mata dari cahaya yang
berlebihan dan pelindung mata dari gosokan ketika tidur dan mengurangi mata
kering.
14
aman. Pada masa ini, orang yang sangat rabun dekat atau korneanya terlalu tipis
sehingga tidak memungkinkan penggunaan prosedur laser sudah memiliki pilihan
lain selain untuk memperbaiki rabun jauhnya (Epstein, 2009).
dilaporkan sekitar 4,1% pada pasien berusia di bawah 40 tahun dan 13% untuk
mereka yang berusia lebih dari 40 tahun. Dalam kasus operasi LASIK bilateral,
operasi mata yang kedua juga memiliki kemungkinan lebih besar menderita
defek epitel jika mata pertama mengalami defek epitel intraoperatif.
Penatalaksanaan defek epitel intraoperatif serupa dengan abrasi epitel
sekunder akibat etiologi lainnya. Untuk abrasi >1 sampai 3 mm, pelumas
topikal digunakan bersamaan dengan pertimbangan penggunaan perban lensa
kontak lunak sampai reepitelisasi kornea terjadi. Antibiotik dan steroid topikal
juga diperlukan untuk mengurangi rrisiko
isiko infeksi dan peradangan pascaoperasi,
seperti pada keratitis lamelar yang menyebar. Jika defek epitel tidak diobati
15
dengan tepat, kasus pasca operasi bisa dipersulit oleh sejumlah faktor, seperti
pembengkakan, pertumbuhan epitel ke dalam, edema, dan bahkan perubahan
jangka panjang pada flap LASIK
LASIK itu sendiri.
bilateral.
b. Perdarahan limbal
Perdarahan pada limbus kornea adalah komplikasi umum yang mungkin
terjadi saat pisau mikrokeratome atau laser femtosecond melewati konjungtiva
atau pembuluh limbal. Flaps diameter besar, hiperopia, atau penggunaan cincin
hisap yang berukuran tidak tepat atau tidak semestinya diposisikan dapat
menjadi predisposisi perdarahan intraoperatif. Hal ini merupakan akibat
meningkatnya kemungkinan transeksi pembuluh kornea perifer. Mata dengan
pannus kornea, seperti dapat ditemukan pada pemakai lensa kontak kronis atau
16
tangan, gorden, dan penyeka, atau bahkan debu dari udara sekitar. Padahal
kebanyakan zat dapat terurai secara alami dan tidak menyebabkan kerusakan
yang menetap pada pasien, logam atau plastik di antarmuka dapat
menyebabkan reaksi inflamasi yang konsisten dengan benda asing kornea dan
pada akhirnya menghasilkan jaringan parut permanen. Keratitis lamelar yang
difus dan pemindahan flap LASIK adalah sekuele pascaoperasi lain yang
mungkin telah diamati dengan retensi interface debris. Menjaga lingkungan
flap bebas dari debris
debris adaalah tantangan, namun langkah-langkah dapat
diambil untuk meminimalkan komplikasi ini. Sebelum operasi, perawatan
17
digambarkan sebagai tidak lengkap, pendek, tipis, robek, atau tidak beraturan.
Tingkat komplikasi flap intraoperatif berkisar antara 0,3% sampai 5%. Metode
pembuatan flap dan pengalaman ahli bedah keduanya telah terbukti menjadi
alasan utama perbedaan tingkat komplikasi ini. Dari berbagai jenis flap
abnormal, flap tidak lengkap atau pendek adalah yang paling umum. Flap yang
tidak lengkap mungkin merupakan hasil dari mikrokeratome sebelum
waktunya berhenti, yang mungkin disebabkan oleh penyumbatan jalan atau
kerusakan perangkat. Laser femtosecond juga dapat memiliki penanganan yang
tidak lengkap. Impedimen pada perawatan atau pembuatan flap termasuk bekas
engsel flap di luar sumbu visual, tapi dasar stroma kecil, mikrokeratome kedua
atau laser dilewatkan dengan hati-hati. Namun, jika engsel flap berada dalam
sumbu visual, flap harus diganti dan prosedurnya tertunda. Tidak ada
konsensus khusus untuk periode tunggu, namun menunggu 3 bulan sebelum
merancang prosedur telah disarankan. Sehubungan dengan pencegahan,
operator harus memastikan perangkat berfungsi dengan baik dan bersih serta
pemeriksaan okular yang hati-hati untuk mengidentifikasi jalur aman laser
microkeratome atau femtosecond.
18
udara bisa berdifusi ke ruang anterior. Jenis gelembung gas ini mungkin tidak
diatasi dengan pengangkatan flap dan mungkin benar-benar menghalangi
pembuatan flap.
f. Vertical Gas Breakthrough
Vertical gas breakthrough terjadi bila ada penyumbatan yang
menyebabkan peningkatan ketahanan serat lamelar selama pelaksaan laser
femtosecond. Sumbatan ini dapat disebabkan oleh defek pada kolagen kornea,
kelainan pada membran Bowman, atau bahkan kerusakan fisik pada membran
Bowman, karena kadang-kadang dapat terjadi akibat cedera benda asing.
19
20
gerakan kecil flap, atau '' tenting '' flap di atas kornea yang ablasi. Striae ini
dapat mengurangi ketajaman penglihatan terbaik yang dikoreksi.
Microstriae, yang sejajar atau garis berpotongan di kornea anterior,
21
Tabel 2.1 Stadium diffuse lamelar keratitis (Estopinal dan Mian, 2016)
22
ini kemungkinan berhubungan dengan flap perifer, kornea antara flap dan
limbus, atau keduanya. Pasien biasanya mengeluh nyeri, mata kemerahan,
dan fotofobia. Etiologi yang pasti mengenai infiltrat ini masih belum jelas,
dan inseden terjadinya infiltrat belum dilaporkan. Faktor risiko meliputi
atopi, penyakit kelenjar meibomian, dan penyakit rheumatologis. Pasien
biasanya diterapi dengan steroid topikal, walaupun beberapa kasus
membutuhkan steroid oral.
5. Rainbow glare
Rainbow glare (efek silau seperti melihat pelangi) adalah efek
23
striae komplit flap. DLK, ingrowth epithelial, dan silindris tidak beraturan
bisa terjadi akibat trauma flap. Trauma flap bisa juga dikaitkan dengan
cedera okular tambahan.
3. Transient Light Sensitivity Syndrome
Fotosensitivitas berkaitan LASIK, tanpa kelainan fisik atau
topografi, telah digambarkan timbul dalam waktu 2 sampai 6 minggu
pasca operasi. Sindrom sensitivitas cahaya transien ini ditemukan pada
pasien flap LASIK femtosecond laser. Insidensi berkisar antara 1,1%
sampai 1,4% . Gejala biasanya diatasi dalam waktu 1 sampai 2 minggu
• Operasi singkat
24
25
BAB 3 KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, S. 2010. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas
6. Reinstein, D. Z., T. J. Archer, dan M. Gobbe. 2012. The history of LASIK.
Journal of Refractive Surgery.
Surgery. 28(4): 291-98.
7. Binder, P.S., R. L.
L. Lindstrom , dan R. D. Stulting. 2010.
2010. Keratoconus and
Corneal Ectasia After LASIK. Journal of Refractive Surgery .
Surgery . 21: 749-753.
8. Reird, T. 2011. Laser Vision Correction: A Tutorial for Medical Students.
http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/tutorials/laser-vision-correction-
tutorial/laser-vision-correction-tutorial.pdf. [ Diakses pada tanggal 3 Mei
tutorial/laser-vision-correction-tutorial.pdf.
2017].
9. Steinert, C. R. F., D. D. Koch, S. S. Lane, dan R. D. Stulting. 2010. LASIK
surgery screening guidelines for patients. The Eye Surgery Education Council.
Council.
10. Solomon, K. D., F. Castro, H. P. Sandoval, J. M. Biber, B. Groat, dan K. D.
Neff. 2009. LASIK World Literature Review Quality of Life and Patient
Satisfaction. Ophthalmology
Ophthalmology.. 116:691 – 701.
701.
11. Habsyiyah, A. Shidik, dan T. Rahayu. 2015. Evaluation of Laser in Situ
Keratomileusis Outcomes in Cipto Mangunkusumo Hospital. Department of
Ophthalmology, Faculty of Medicine, University of Indonesia Cipto
Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
27
12. Helgesen, A., J. Hjortdal, dan N. Ehlers. 2010. Pupil size and night vision
disturbances after lasik for myopia. Acta Ophthalmologica Scandinavica.
Scandinavica.
82(4):454-460
13. Epstein, D. 2009. LASIK Outcomes ln Myopia and Hyperopia. Smolin And
Thoft's TheComea. 4th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, 1229-1231.
14. Tse, SM, Farley, ND, Tomasko, KR, Amin, SR. 2016. Intraoperative LASIK
Complications. International
Complications. International Ophthalmology
Ophthalmology Clinics. 54(2)
Clinics. 54(2) : 47-57.
47-57.
15. Estopinal, CB dan Mian, S. 2016. LASIK Flap: Postoperative
Postoperative Complications.
International Ophthalmology Clinics. 54(2)
Clinics. 54(2) : 67-81.
67-81.
16. Binder, P.S., R. L. Lindstrom, dan R. D. Stulting. 2009. Keratoconus and
Corneal Ectasia After LASIK. Journal
LASIK. Journal of Refractive Surgery. 21:749-753
21:749-753
17. Gulani, A. 2009. Hyperopia LASIK. In: eMedicine Articel. 1-8
1-8
22. Jin, G., dan A.Lyle. 2010. Laser In Situ Keratomileusis for Primary
Hyperopia. In: Cataract Refractive Surgery. 31:776-784.
31:776-784.
23. Sugar, A., C.J Rapuano, W.W. Culbertson, dan D.Huang, 2011. Laser In Situ
Keratomielusis for Myopia and Astigmatism : Safety and Efficacy.
Ophthalmology Journal. 109:175
109:175
24. Farjo. A. A., A. Suga, S.C. Scallhorn, P. A. Majmudar, dan D.J. Tanzer. 2012.
Femtosecond Laser for LASIK Flap Creation. Ophthalmol. In press corrected
proof.
proof.
25. Melk, S.A., dan D.T. 2010. LASIK Complication : Etiology, Management,