Anda di halaman 1dari 29

Tugas Keperawatan Medikal Bedah II

PBL KASUS SISTEM DIGESTIF


“DEMAM TIFOID”

Dosen Pembimbing :
Ns. Gusti Pandi Liputo, M.Kep

OLEH
KELOMPOK II

RADJIMAN (841422144) ALFATH DJ. IBRAHIM (841422168)


MOH. ALFANDI NUSSA (841422163) MIFTAHUL JANNAH DAI (841422170)
MEISKE ULI (841422147) ALVINDRA SIGALI (841422172)
REFLI H. DJAKATARA (841422149) MARVI F. ABAS (841422174)
REYNALDI TUMEWU (841422151) JUNISKA RAHMAWATY GIU (841422176)
NURYATI HARUN (841422161) SURYANTO SUWANDI (841422178)
NUR LAILA TULEN (841422158) DHIKAMAWADDAH DUNDA (841422180)
HASMAWATI (841422160) YUSRIL LATINAPA (841422181)
KARMAN HEMUTO (841422162) APRILIYANI IMRAN (841422171)
ENDRO BUDIHARTO (841422164) ILYAS M. ALI (841422187)
INDRA W. P DAI (841422165) HASRI AINUN DAALIUWA (841422189)
FERON LADIKU 841422177)

PRODI S1- KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan “Pembahasan Kasus Sistem
Digestif”. Penulisan “Pembahasan Kasus Sistem Digestif” ini dilakukan dalam
rangka memenuhi tugas pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II.
“Pembahasan Kasus Sistem Digestif” ini terwujud atas bimbingan, pengarahan,
dan bantuan dari berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis pada kesempatan ini menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ns. Gusti Pandi Liputo, M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam
penyusunan Pembahasan Kasus Sistem Digestif.
2. Teman-teman kelompok 2 yang telah membantu menyelsaikan penyusunan
“Pembahasan Kasus Sistem Digestif”
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tugas ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.

Gorontalo,1Februari 2023

Penulis
BAB I
LATAR BELAKANG

MODUL I
DEMAM

Seorang perempuan usia 28 tahun dirawat di ruang interna dengan keluhan


demam. Demam dirasakan sejak 4 hari yang lalu disertai sakit kepala.
Pasien juga mengatakan diare 2 hari yang lalu. Pada pengkajian ditemukan
nyeri kepala skala 4, batuk, nyeri perut skala 5 dan lemah. Tanda-tanda
vital1TD 110/70 mmHg, frekuensi nadi 86 kali/menit, frekuensi napas 22
kali/menit, Suhu Tubuh 38,7oC, Leukosit 16.000/mm3.

1. KLARIFIKASI ISTILAH-ISTILAH PENTING


a. Demam
Demam adalah meningkatnya suhu tubuh hingga lebih dari 380C. Kondisi ini
bisa menandakan adanya penyakit atau kondisi tertentu di dalam
tubuh. Demam dapat terjadi pada siapa pun, mulai dari bayi hingga orang
dewasa. Demam umumnya terjadi sebagai reaksi dari sistem imun dalam
melawan infeksi kuman penyebab penyakit.
b. Nyeri
Nyeri adalah sensasi tidak menyenangkan yang dapat membatasi
kapabilitas dan kemampuan seseorang untuk menjalankan rutinitas sehari-
hari. Sering kali nyeri menjadi sinyal peringatan awal untuk
memperingatkan Anda bahwa ada sesuatu yang tidak benar di tubuh Anda.
c. Leukosit
Leukosit atau sel darah putih berperan penting untuk membantu tubuh
melawan infeksi atau penyakit lainnya. Jumlah leukosit tinggi bisa
disebabkan oleh infeksi atau bisa juga menandakan adanya penyakit
tertentu yang perlu diwaspadai, seperti kelainan darah atau kanker.
Leukosit atau sel darah putih diproduksi oleh sumsum tulang dan
diedarkan ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Leukosit merupakan
bagian penting dari sistem kekebalan tubuh yang berfungsi untuk
menghasilkan antibodi yang dapat melawan virus, jamur, bakteri, dan
parasit penyebab penyakit yang masuk ke dalam tubuh.
2. KATA/ PROBLEM KUNCI
a. Perempuan
b. Umur 28 tahun
c. Demam
d. Nyeri kepala skala 4
e. Diare 2 hari yang lalu
f. Nyeri perut skala 5
g. Batuk
h. Lemah
i. TD 110/70 mmHg
j. Frekuensi nadi 86 kali/menit
k. Frekuensi napas 22 kali/menit
l. Suhu Tubuh 38,7oC
m. Leukosit 16.000/mm3
3. MIND MAP

DEMAM

Apendisitis
Demam tifoid
akut
merupakan merupakan
infeksi yang
penyakit infeksi
terjadi pada
akut sistem apendiks
Gastroenteritis akut
vermiformis
pencernaan yang atau GEA adalah
atau biasa
diare yang gejalanya
disebabkan oleh dikenal di
tiba-tiba dan
masyarakat
bakteri berlangsung kurang
dengan
dari 14 hari,
Salmonella typhi peradangan
gastroenteritis juga
usus
atau Salmonella kehilangan cairan
buntu(Nurnadh
dan elektrolit
paratyphi (Yelvi irah Mirantika
berlebihan karena
Levani & Aldo Dwi et al., 2021).
frekuensi satu
Prastya, 2020). atau lebih buang
air besar berbentuk
encer dan berair
(Vivi Novita Sari & Luh
Titi Handayani, 2021).
Tabel Check List

Demam
No Manifestasi Klinis GEA Apendicitis
Thypoid

1 Demam  - 

2 Nyeri kepala  - -

3 Nyeri Perut   

4 Diare   -

5 Lemah   -

6 Leukosit meningkat  - 

4. PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING
a. Mengapa terjadi peningkatan suhu badan pada kasus diatas?
b. Bagaimana proses terjadinya diare pada tifoid?
c. Bagaimana penatalaksanaan demam pada kasus diatas?
5. JAWABAN PERTANYAAN
a. Demam terjadi karna kuman yang masuk ke dalam tubuh dan terjadi bakterimia
sehingga makrofag teraktifasi menjadi hiperaktif. Maka pada saat fagositosis
kuman terjadi pelepasan beberapa akibat hipertermi1mediator inflamasi yang
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik berupa demam (Samsinar
Butarbutar et al., 2022).
b.
c. Managemen hipertermi (I.15506 )
Observasi
 Identifikasi penyebab hipertermi
 Monitor suhu tubuh
 Monitor komplikasi
Terapeutik
 Sediakan lingkungan yang dingin
 Longgarkan atau lepaskan pakaian
 Berikan cairan oral
 Lakukan pendinginan eksternal ( kompres dingin/hangat pada dahi,
leher, dada, abdomen dan axila )
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan intravena jika perlu
6. TUJUAN PEMBELAJARAN SELANJUTNYA
a. Diharapkam dapat mengerti tentang masalah sistem digestive
b. Diharapkan mampu menganalisa suatu kasus dengan masalah sistem digestive
c. Diharapkan mampu menegakkan diagnosa dan intervensi keperawatan pada
pasien dengan masalah sistem digestif
7. INFORMASI TAMBAHAN
Uji Daya Hambat Air Rebusan Cacing Tanah (Lumbricus Rubelles) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Salmonella typhosa (Yela Cristia Ningsih et al., 2017)
8. KLARIFIKASI INFORMASI
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siti aminah dkk, ( 2017 )
dalam jurnalnya yaitu Uji Daya Hambat Air Rebusan Cacing Tanah
(Lumbricus Rubelles) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Salmonella typhosa.
Cacing tanah Lumbricus rubellus dapat mengobati penyakit tifoid karena
mengandung zat aktif yang Lumbricin 1 yang dapat digunakan sebagai obat
untuk demam  typhoid.  Mekanisme  yang  dilakukan  oleh  Lumbricin  1
yang  dimiliki cacing tanah Lumbricus rubellus yaitu dengan membuat pori
pada dinding sel bakteri yang menyebabkan sitoplasma sel bakteri terpapar
dan mengganggu aktivitas dalam sel bakteri dan menyebabkan kematian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi air rebusan cacing
tanah Lumbricus yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella
typhosa dan besar daya hambat pada masing-masing konsentrasi air rebusan
cacing tanah Lumbricus  terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella
typhosa. Penelitian ini di bidang Bakteriologi dan bersifat eksperimental,
dengan variabel bebasnya adalah air rebusan cacing tanah Lumbricus
rubellus konsentrasi 20%, 40%, dan 60%, 80%dan 100% dan variabel
terikatnya adalah pertumbuhan bakteri Salmonella typhosa dengan jumlah
pengulangan 5 kali menggunakan metode Difusi Agar Kirby Bauer. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa air rebusan cacing  tanah Lumbricus
rubellus   dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% tidak mampu
menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhosa (Yela Cristia Ningsih
et al., 2017)
9. ANALISA DAN SINTESIS
Berdasarkan data pasien pada skenario 2 diatas dan data-data penunjang
yang tertuang pada materi ini dapat disimpulkan diagnosa medis yang tepat
untuk pasien dalam skenario 2 adalah demam thypoid.
10. LAPORAN DISKUSI
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut sistem pencernaan yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Demam
tifoid merupakan penyakit infeksi global, terutama di negara-negara
berkembang. Demam tifoid ditularkan melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typhi, selain itu penyakit ini
dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan feses, urin atau sekret
penderita demam tifoid. Dengan kata lain hygiene sanitasi adalah faktor
utama penularannya (Yelvi Levani & Aldo Dwi Prastya, 2020).
B. Etiologi
Penyakit tifoid disebakan oleh Salmonella typhi yaitu bakteri enterik
gram negatif berbentuk basil dan bersifat patogen pada manusia. Penyakit ini
mudah berpindah dari satu orang ke orang lain yang kurang menjaga
kebersihan diri dan lingkungannya yaitu penularan secara langsung jika
bakteri ini terdapat pada feses, urine atau muntahan penderita dapat
menularkan kepada orang lain dan secara tidak langsung melalui makanan
atau minuman. Salmonella typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada
jaringan tempat bakteri berkembang biak dan merangsang sintesis dan
pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang sehingga
terjadi demam. Jumlah bakteri yang banyak dalam darah (bakteremia)
menyebabkan demam makin tinggi. Penyakit typoid ini mempunyai
hubungan erat dengan lingkungan terutama pada lingkungan yang penyediaan
air minumnya tidak memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang buruk pada
lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit typoid tersebar yaitu
polusi udara, sanitasi umum, kualitas air temperatur, kepadatan penduduk,
kemiskinan dan lain-lain. beberapa penelitian di seluruh dunia menemukan
bahwa laki-laki lebih sering terkena demam tifoid, karena laki-laki lebih
sering bekerja dan makan di luar rumah yang tidak terjamin kebersihannya.
Tetapi berdasarkan dari daya tahan tubuh, wanita lebih berpeluang untuk
terkena dampak yang lebih berat atau mendapat komplikasi dari demam
tifoid. Salah satu teori yang menunjukkan hal tersebut adalah ketika
Salmonella typhi masuk ke dalam sel-sel hati, maka hormon estrogen pada
wanita akan bekerja lebih berat (Martha Ardiaria, 2019).
C. Manifestasi Klinis
Penyakit Typhoid Fever (TF) atau masyarakat awam mengenalnya
dengan tifus ialah penyakit demam karena adanya infeksi bakteri
Salmonella typhi yang menyebar ke seluruh tubuh. Salmonella typhi (S.
typhi) merupakan kuman pathogen penyebab demam tifoid, yaitu suatu
penyakit infeksi sistemik dengan gambaran demam yang berlangsung
lama, adanya bacteremia disertai inflamasi yang dapat merusak usus dan
organ-organ hati. Gejala penyakit ini berkembang selama satu sampai dua
minggu setelah seorang pasien terinfeksi oleh bakteri tersebut. Gejala umum
yang terjadi pada penyakit tifoid adalah Demam naik secara bertangga pada
minggu pertama lalu demam menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu
kedua. Demam terutama sore/malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah obstipasi atau diare. Demam merupakan keluhan dan gejala
klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam
dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan
gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau
Pneumococcus daripada S. typhi. Sakit kepala hebat yang menyertai demam
tinggi dapat menyerupai gejala meningitis,di sisi lain S. Typhi juga dapat
menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala
mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik
atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis.
Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus
(Martha Ardiaria, 2019).
D. Patofisiologi
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi. Bakteri Salmonella typhi merupakan bakteri basil gram
negatif ananerob fakultatif. Bakteri Salmonella akan masuk kedalam tubuh
melalui oral bersama dengan makanan atau minuman yang terkontaminasi.
Sebagian bakteri akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung.
Sebagian bakteri Salmonella yang lolos akan segera menuju ke usus halus
tepatnya di ileum dan jejunum untuk berkembang biak. Bila sistem imun
humoral mukosa (IgA) tidak lagi baik dalam merespon, maka bakteri akan
menginvasi kedalam sel epitel usus halus (terutama sel M) dan ke lamina
propia. Di lamina propia bakteri akan difagositosis oleh makrofag. Bakteri
yang lolos dapat berkembang biak didalam makrofag dan masuk ke
sirkulasi darah (bakterimia I). Bakterimia I dianggap sebagai masa inkubasi
yang dapat terjadi selama 7-14 hari Bakteri Salmonella juga dapat
menginvasi bagian usus yang bernama plak payer. Setelah menginvasi plak
payer, bakteri dapat melakukan translokasi ke dalam folikel limfoid intestin
dan aliran limfe mesenterika dan beberapa bakteri melewati sistem
retikuloendotelial di hati dan limpa. Pada fase ini bakteri juga melewati organ
hati dan limpa. Di hati dan limpa, bakteri meninggalkan makrofag yang
selanjutnya berkembang biak di sinusoid hati. Setelah dari hati, bakteri akan
masuk ke sirkulasi darah untuk kedua kalinya (bakterimia II). Saat
bakteremia II, makrofag mengalami hiperaktivasi dan saat
makrofag memfagositosis bakteri, maka terjadi pelepasan mediator inflamasi
salah satunya adalah sitokin. Pelepasan sitokin ini yang menyebabkan
munculnya demam, malaise, myalgia, sakit kepala, dan gejala toksemia. Plak
payer dapat mengalami hyperplasia pada minggu pertama dan dapat
terus berlanjut hingga terjadi nekrosis di minggu kedua. Lama kelamaan
dapat timbul ulserasi yang pada akhirnya dapat terbentuk ulkus diminggu
ketiga. Terbentuknya ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan dan
perforasi. Hal ini merupakan salah satu komplikasi yang cukup berbahaya
dari demam tifoid (Yelvi Levani & Aldo Dwi Prastya, 2020).
E. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid terbagi atas 2 yaitu:
1. Komplikasi Intestinal
Komplikasi intestinal terdiri dari perdarahan usus ( 25% penderita demam
tifoid) dan perforasi usus (3% penderita demam tifoid).
2. Komplikasi Ekstrasintestinal
Terdiri dari komplikasi kardiovaskuler (kegagalan sirkulasi perifer (syok
sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis), komplikasi darah
(anemia hemolitik, trombositopenia, koagulasi intravaskuler diseminata,
dan sindrom uremia hemolitik), komplikasi paru (pneumoni, empiema,
dan pleuritis), komplikasi hepar dan kandung kemih (hepatitis dan
kolelitiasis), komplikasi ginjal (glomerulonefritis, pienefritis, dan
perinefritis), komplikasi tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan
arthtritis), dan komplikasi neuropsikiatrik (delirium, meningismus,
meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia) (Samsinar
Butarbutar et al., 2022).
Tingkat keparahan demam tifoid tergantung pada beberapa faktor,
misalnya usia, paparan sebelumnya (melalui penyakit atau vaksinasi),
jumlah organisme yang tertelan, virulensi strain yang tertelan, durasi
penyakit (termasuk waktu sampai pengobatan dimulai). Kasus dengan
gejala mental neurologis telah dikaitkan dengan tingkat kematian yang
lebih tinggi. Tingkat kematian berkisar dari 10%-20% tanpa pengobatan
hingga 1% dengan antimikroba (Samsinar Butarbutar et al., 2022) .
F. Pemeriksaan Lab
Secara lebih lengkap, berikut adalah penjelasan dari masing-masing jenis
pemeriksaan penunjang pada pasien demam tifoid (Yelvi Levani & Aldo Dwi
Prastya, 2020).
1. Pemeriksaan Darah Tepi
Pemeriksaan darah tepi seperti jumlah eritrosit, leukosit dan
trombosit umumnya tidak spesifik untuk mendiagnosis demam tifoid.
Leukopenia sering ditemukan pada kasus demam tifoid, tetapi jumlah
leukosit jarang kurang dari 2.500/mm3. Kondisi leukopenia dapat
menetap 1 sampai 2 minggu setelah infeksi. Pada kondisi tertentu, jumlah
leukosit dapat ditemukan meningkat (20.000-25.000/mm3). Hal ini
dapat berkaitan dengan adanya abses pyogenic atau adanya infeksi
sekunder pada usus. Selain hitung jumlah leukosit yang tidak normal,
anemia normokromik normositer dapat ditemukan beberapa minggu
setelah infeksi demam tifoid. Kondisi ini dapat disebabkan oleh
pengaruh sitokin dan mediator inflamasi sehingga menyebabkan depresi
sumsum tulang belakang. Selain itu, kondisi ini juga dapat berkaitan
dengan perdarahan dan perforasi usus. Adanya trombositopenia pada
pasien demam tifoid menandakan adanya komplikasi penyakit koagulasi
intravaskuler (disseminated intravascular coagulation).
2. Pemeriksaan Serologi Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap bakteri
Salmonella typhi. Uji widal ini memiliki sensitivitas dan sensitivitas
rendah. Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat aglutinasi dalam
serum penderita aglunitin yang dideteksi yaitu aglutinin O, aglutinin
H dan aglutinin Vi. Namun interpretasinya hanya dari aglutinin O dan
H saja. pemeriksaan widal sebaiknya mulai dilakukan pada minggu
pertama demam. Hal ini dikarenakan aglutinin baru meningkat pada
minggu pertama dan akan semakin tinggi hingga minggu keempat.
Pembentukan aglutinin dimulai dari aglutinin O dan diikuti dengan
aglutinin H. Pada penderita demam tifoid yang telah bebas demam,
aglutinin O akan tetap ditemukan hingga 4-6 bulan sedangkan aglutinin
H 9-12 bulan. Oleh karena itu, uji widal tidak dapat dijadikan acuan
kesembuhan pasien demam tifoid.
3. Uji Typhidot
Uji typhidot dilakukan untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG
yang terdapat pada protein membran bakteri Salmonella typhi. Uji
ini dapat dilakukan dengan hasil positif 2-3 hari pasca terinfeksi
dengan sensitivitas 98%, spesifisitas sebesar 76,6%. Uji ini hampir sama
dengan uji tubex.
4. Pemeriksaan Kultur
Pemeriksaan kultur merupakan pemeriksaan gold standard dalam
menegakkan diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan kultur memiliki
tingkat spesifisitas 100%. Pemeriksaan kultur Salmonella typhi dari darah
dan feses pada minggu pertama infeksi memiliki tingkat sensitivitas
sebesar 85-90% dan kemudian menurun sekitar 20-30% seiring
berjalannya waktu. Selain dari darah dan feses, pemeriksaan kultur juga
dapat dilakukan dengan menggunakan sampel urin dan cairan aspirasi
sumsum tulang belakang. Pemeriksaan kultur dari sampel urin umumnya
kurang sensitif (25 – 30%). Sedangkan pemeriksaan kultur dari sampel
cairan aspirasi sumsum tulang belakang memiliki sensitivitas 90% sampai
pasien mendapatkan terapi antibiotik selama 5 hari. Namun, tindakan
aspirasi sumsum tulang belakang dapat menyebakan nyeri, sehingga
harus dipertimbangkan manfaat dan risikonya bila ingin melakukan
pemeriksaan ini.
G. Penatalaksanaan
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian
besar, yaitu tatalaksana umum yang bersifat suportif dan tatalaksana
khusus berupa pemberian antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana
demam tifoid juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan kepada
penderita penyakit tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita
karier salmonella typhi, pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi
tifoid dan profilaksis bagi traveller dari daerah non endemik ke daerah yang
endemik demam tifoid(Martha Ardiaria, 2019).
1. Tatalaksana Umum
Tatalaksana umum (suportif) merupakan hal yang sangat penting dalam
menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian
antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan
antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada
indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup
seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak
lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam
tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan
dengan pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk
mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.
2. Tatalaksana antibiotic
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak
di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan
biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi
obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di
negara berkembang. Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat
antibiotik ini pertamanya adalah pilihan terapi antibiotik untuk demam
tifoid golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin,
levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan pengobatan demam tifoid saat
ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat antibiotik
yang sering digunakan dalam pengobatan demam tifoid atau yang
disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi yang resisten
terhadap kloramfenikol, yang pertama kali timbul pada tahun 1970, kini
berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin,
trimethoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap
fluorokuinolon.
H. Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan
makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, hygiene perorangan
terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik,
dan tersedianya air bersih sehari- hari. Strategi pencegahan ini menjadi
penting seiring dengan munculnya kasus resistensi. Selain strategi di atas,
dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara
maju ke daerah yang endemik demam tifoid (Martha Ardiaria, 2019).
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Pasien
Nama : Tidak Terkaji
Jenis Kelamin : Perempuan            
Umur : 28 tahun
Agama : Tidak Terkaji
Suku/bangsa                 : Tidak Terkaji
Pendidikan : Tidak Terkaji
Pekerjaan : Tidak Terkaji
Alamat : Tidak Terkaji
b. Penanggung Jawab
Nama : Tidak Terkaji   
Umur : Tidak Terkaji
Jenis Kelamin : Tidak Terkaji
Agama : Tidak Terkaji
Pekerjaan : Tidak Terkaji
Alamat : Tidak Terkaji
Tanggal Masuk : Tidak Terkaji
Tanggal Pengkajian : Tidak Terkaji
2. Riwayat Kesehatan
a. Kesehatan Sekarang
1) Keluhan Utama : Pasien merasa demam
2) Keluhan Menyertai : Pasien mengatakan, nyeri
kepala skala 4, batuk, nyeri perut skala 5.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu : Pasien mengatakan diare 2
hari yang lalu.
3. Pola Aktivitas Fisik Sehari-Hari
a. Nutrisi : Tidak Terkaji
b. Eliminasi : Diare 2 hari yang lalu
c. Istirahat dan Tidur : Tidak terkaji
d. Aktifitas Fisik : Tidak Terkaji
e. Personal Hygiene : Tidak Terkaji
4. Data Psikososial
a. Status Emosi : Tidak Terkaji
b. Konsep Diri : Tidak Terkaji
c. Interaksi Sosial : Tidak Terkaji
5. Pengkajian Fisik
a. Keadaan Umum : Tidak Terkaji
b. Kesadaran : Tidak Terkaji
c. Tanda Vital :
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 86 x/mnt
Respirasi : 22 x/mnt
Suhu Tubuh : 38,7 °C
d. Kepala : Tidak Terkaji
e. Leher : Tidak Terkaji
f. Dada dan Thorak :
Inspeksi : Tidak Terkaji
Palpasi : Tidak Terkaji
Perkusi : Tidak Terkaji
Auskultasi : Tidak Terkaji
g. Abdomen : Tidak Terkaji
h. Ekstremitas : Tidak Terkaji
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
- Leukosit 16.000/mm³
Salmonella Thypi
PATHWAY Peningkatan flora normal di
Salmonella Thypi melalui usus
Masuk kesaluran pencernaan
makanan/ minuman
Peristaltik usus meningkat

Masuk ke usus halus


Malabsopsi

Sistem imun tidak baik dalam


merespon Diare

Menginvasi sel epitel usus halus


Resiko
Ketidakseimbangan
Berkembang biak di Berkembang biak didalam makrofag Elektrolit
sinusoid hati & limfa dan masuk ke sirkulasi darah

Terjadi pelepasan mediator Respon tubuh terhadap adanya


Hepatomegali/splenomegali inflamasi
inflamasi (SITOKIN)

Nyeri kepala
Nyeri perabaan
Peradangan Leukosit meningkat

Nyeri Akut Peningkatan suhu tubuh Resiko Infeksi

Hipertermia
B. TABEL PES

DATA DATA
N DIAGNOSA
SUBJEKTIF& DATA ETIOLOGI
O KEPERAWATAN
OBJEKTIF

1. Data Subjektif : Salmonella thypi masuk HIPERTERMIA


 Klien mengeluh ke saluran pencernaan

demam
 Klien mengeluh batuk Masuk ke usus halus

Data Objektif :
 Suhu Tubuh 38,7°C
Menginvasi sel epitel usus
halus

Berkembang biak di dalam


makrofag dan masuk ke
sirkulasi darah

Terjadi pelepasan mediator


inflamasi (Sitokin)

Peradangan

Peningkatan suhu tubuh

Hipertermia
2. Data Subjektif : Salmonella thypi masuk NYERI AKUT
 Klien mengeluh sakit ke saluran pencernaan
kepala
Data Objektif : Menginvasi sel epitel usus
halus
 Klien di temukan nyeri
kepala skala 4
 Nyeri perut skala 5 Berkembang biak di dalam
makrofag dan masuk ke
sirkulasi darah

Berkembang biak di
sinusoid hati dan limfa

Hepatomegali/
splenomegali

Nyeri perabaan

Nyeri Akut

3. Data subjektif : Salmonella thypi masuk RESIKO INFEKSI


 Klien mengeluh ke saluran pencernaan
demam sejak 4 hari
Data objektif :
Masuk ke usus halus
 Leukosit 16.000/mm³

Menginvasi sel epitel usus


halus

Berkembang biak di dalam


makrofag dan masuk ke
sirkulasi darah
Terjadi pelepasan mediator
inflamasi (Sitokin)

Respon tubuh terhadap


adanya inflamasi

Leukosit meningkat

Resiko Infeksi

4. Data Subjektif : Salmonella Thypi RESIKO


 Klien mengatakan diare 2 KETIDAKSEIMBANGAN
hari yang lalu ELEKTROLIT
Data Objektif : Masuk kesaluran
 TD : 110/70 mmHg pencernaan melalui
N : 86x/menit makanan/ minuman
R : 22x/menit

Masuk ke usus halus

Menginvasi sel epitel usus


halus

Peningkatan flora normal


di usus

Peristaltik usus meningkat

Malabsopsi
Diare

Resiko
Ketidakseimbangan
Elektrolit

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipertermia b.d Proses Infeksi
Data Subjektif :
 Klien mengeluh demam
 Klien mengeluh batuk
Data Objektif :
 Suhu Tubuh 38,7°C
2. Nyeri Akut b.d agen pencedera fisiologis (inflamasi)
Data Subjektif :
 Klien mengeluh sakit kepala
Data Objektif :
 Klien di temukan nyeri kepala skala 4
 Nyeri perut skala 5
3. Rsiko Infeksi b.d
Data subjektif :
 Klien mengeluh demam sejak 4 hari
Data objektif :
 Leukosit 16.000/mm³
4. Resiko Ketidakseimbangan Elektrolit d.d Diare
Data Subjektif :
 Klien mengatakan diare 2 hari yang lalu
Data Objektif :
 TD : 110/70 mmHg
N : 86x/menit
R : 22x/menit
D. INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosis
Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan
No Keperawatan
(PPNI, 2018) (PPNI, 2018)
(PPNI, 2017)
1. Hipertermi (D.0130) Termoregulasi (L.14134) Manajemen Hipertermia
Kategori : Lingkungan Definisi : (1.15506)
Subkategori : Pengaturan suhu tubuh agar Observasi:
Keamanan dan Proteksi tetap berada pada rentang  Identifikasi penyebab
Definisi : normal. hipertermia
Suhu tubuh meningkat Kriteria Hasil :  Monitor suhu tubuh
di atas rentang normal Setelah dilakukan tindakan  Monitor komplikasi
tubuh keperawatan selama 3x24 jam akibat hipertermia
Data Subjektif : Termoregulasi Membaik dengan Terapeutik
 Klien mengeluh kriteria hasil :  Longgarkan atau
demam  Suhu tubuh membaik lepaskan pakaian
 Klien mengeluh  Berikan cairan oral
batuk  Ganti linen setiap hari
Data Objektif : atau lebih sering jika
 Suhu Tubuh 38,7°C mengalami
hiperhidrosis (keringat
berlebihan)
Edukasi:
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena
2. Nyeri Akut (D.0077) Tingkat Nyeri (L.08066) Manajamenen Nyeri
Kategori : Psikologis Definisi : (1.08238)
Subkategori : Pengalaman sensorik atau Observasi
Nyeri dan Kenyamanan emosional yang berkaitan  Identifikasi lokasi,
Definisi: dengan kerusakan jaringan karakteristik, durasi,
Pengalaman sensorik actual atau fungsional, dengan frekuensi, kualitas,
atau emosional yang onset mendadak atau lambat dan intensitas nyeri
berkaitan dengan berintensitas ringan hingga berat  Identifikasi skala nyeri
kerusakan jaringan dan konstan.  Identifikasi faktor yang
actual atau fungsional, Kriteria Hasil : memperberat dan
dengan onset mendadak Setelah dilakukan tindakan memperingan nyeri
atau lambat dan keperawatan selama 3x24 jam Terapeutik
berintensitas ringan Tingkat Nyeri Menurun dengan  Berikan tekhnik non
hingga berat yang kriteria hasil: farmakologis untuk
berlangsung kurang dari  Keluhan nyeri Menurun mengurangi rasa nyeri
3 bulan. (kompres
Data Subjektif : hangat/dingin)
 Klien mengeluh  Kontrol lingkungan
sakit kepala yang memperberat rasa
Data Objektif : nyeri
 Klien di temukan  Fasilitasi istrahat dan
nyeri kepala skala tidur
4  Pertimbangkan jenis
 Nyeri perut skala dan sumber nyeri dalam
5 pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
3. Rsiko Infeksi d.d Tingkat Infeksi (L.14137) Pemberian Obat Intravena
(0142) Definisi : (1.02065)
Kategori : Lingkungan Derajat infeksi berdasarkan Observasi:
Subkategori : observasi atau sumber informasi  Identifikasi
Keamanan dan Proteksi Kriteria Hasil : kemungkinan alergi,
Definisi: Setelah dilakukan tindakan interaksi, dan kontra
Beresiko mengalami keperawatan selama 3x24 jam indikasi obat
peningkatan terserang maka Tingkat Infeksi Menurun  Verifikasi order obat
organisme patogenetik. dengan kriteria hasil: sesuai dengan indikasi
Data subjektif :  Demam menurun  Monitor tanda vital dan
 Klien mengeluh  Kadar sel darah putih nilai laboratorium
demam sejak 4 hari membaik sebelum pemberian obat
Data objektif :  Monitor efek samping,
 Leukosit toksitas, dan interaksi
16.000/mm³ obat
Terapeutik

 Lakukan prinsip enam


benar (pasien, obat,
dosis, waktu, rute,
dokumentasi)
 Pastikan ketepatan dan
kepatenan kateter IV
 Campurkan obat ke
dalam kantung, botol,
atau buret, sesuai
kebutuhan
 Berikan obat IV dengan
kecepatan yang tepat
 Tempelkan label
keterangan nama obat
dan dosis pada wadah
cairan IV
Edukasi:
 Jelaskan jenis obat,
alasan pemberian,
tidakan yang
diharapkan, dan efek
samping sebelum
pemberian
 Jelaskan faktor yang
dapat meningkatkan dan
menurunkan efektifitas
obat
Kolaborasi :-

4. Resiko Fungsi Gastrointestinal Manajemen Diare


Ketidakseimbangan (L.03019) (1.03101)
Elektrolit (D.0037) Definisi : Observasi:
Kategori : Fisiologis Kemampuam saluran cerna  Identifikasi penyebab
Subkategori : untuk memasukan dan diare
Nutrisi dan Cairan mencerna makanan serta  Monitor jumlah
Definisi : menyerap nutrisi dan pengeluaran diare
Beresiki mengalami membuang zat sisa. Terapeutik
perubahan kadar serum Kriteria Hasil :  Berikan asupan cairan
elektrolit. Setelah dilakukan tindakan oral
keperawatan selama 3x24 jam  Pasang jalur intravena
Fungsi gastrointestinal membaik  Berikan cairan
Data Subjektif : dengan kriteria hasil : intravena
 Klien mengatakan  Frekuensi BAB Membaik  Ambil sampel darah
diare 2 hari yang untuk pemeriksaan
lalu darah lengkap dan
Data Objektif : elektrolit
 TD : 110/70  Ambil sampel feses
mmHg untuk kultur, jika perlu
N : 86x/menit Edukasi:
R : 22x/menit  Anjurkan makan porsi
kecil dan sering secara
bertahap
 Anjurkan menghindari
makanan pembentuk
gas, pedas, dan
mengandung laktosa
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
obat pengeras feses
(atapulgit, smektit,
kaoli-pektin)

E. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan langkah yang melibatkan tindakan-tindakan
dari intervensi keperawatan yang dituangkan dalam rencana asuhan
keperawatan. Tindakan yang terlibat dalam rencana asuhan keperawatan
meliputi pemantauan pasien untuk tanda-tanda perubahan atau perbaikan,
langsung merawat pasien atau melakukan tugas medis yang diperlukan,
mendidik dan menginstrusikan pasien tentang manajemen kesehatan lebih
lanjut, dan merujuk atau menghubungi pasien untuk tindak lanjut (Ns. Yunike
et al., 2022).
F. EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan. Perawat
mengkaji ulang kondisi klien dengan mempertimbangkan bagaimana kondisi
klien sebelum dan setelah diberikan intervensi. Perawat juga melakukan
penilaian terhadap respon klien untuk menetukan apakah rencana perawatan
klien perlu untuk diubah atau tidak. Bagian penting dari tahap evaluasi adalah
dokumentasi. Perawat harus mendokumentasikan dan mencatat kegiatan
keperawatan yang dilakukan serta hasil intervensi keperawatan. Dokumentasi
juga diperlukan untuk alasan hukum karena dalam sengketa hukum, jika tidak
dicatat maka hal tersebut dianggap tidak dilakukan (Ns. Yunike et al., 2022) .

DAFTAR PUSTAKA
Martha Ardiaria. (2019). EPIDEMIOLOGI, MANIFESTASI KLINIS, DAN
PENATALAKSANAAN DEMAM TIFOID. 7, 32–38.

Ns. Yunike, S. Kep. , M. K., Dr. Ira Kusumawaty, S. Kep. , M. Kes. , M., & Nathalia
Ramadhanti, S. Tr. K. (2022). BUKU AJAR METODOLOGI KEPERAWATAN (S.
Kep. , M. B. Tuti Elyta, Ed.). CV. Literasi Nusantara Abadi.

Nurnadhirah Mirantika, Danial, & Bambang Suprapto. (2021). Hubungan antara Usia,
Lama Keluhan  Nyeri Abdomen, Nilai Leukosit, dan Rasio Neutrofil Limfosit
dengan Kejadian  Apendisitis  Akut Perforasi di RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda. 3, 576–585.

PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator


Diagnosa (1st ed.). DPP PPNI.

PPNI. (2018a). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan


Keperawatan (1st ed.). DPP PPNI.

PPNI. (2018b). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil
(1st ed.). DPP PPNI.

Samsinar Butarbutar, Nabilah siregar, Neza Purnamasari, Rini Rahmasari, Tri Suwarto,
Yosi Oktarina, Sanny Frisca, Marisa Junianti Manik, Zuliani Melva Epy Mardiana
Manurung, & Upik Rahmi. (2022). Keperawatan Medikal Bedah (Matias Julyus
Fika Sirait, Ed.; Vol. 1). Yayasan Kita Menulis.

Vivi Novita Sari, & Luh Titi Handayani. (2021). ASUHAN KEPERAWATAN PADA
KLIEN Tn. S DENGAN KASUS GASTROENTERITIS AKUT DIRUANG MELATI
RSD BALUNG JEMBER. 1–7.

Yela Cristia Ningsih, Siti Aminah, & Misbahul Huda. (2017). UJI DAYA  HAMBAT 
AIR  REBUSAN  CACING  TANAH  Lumbricus rubellus  TERHADAP
PERTUMBUHAN BAKTERI Salmonella typhosa. 6, 601–605.

Yelvi Levani, & Aldo Dwi Prastya. (2020). DEMAM  TIFOID : MANIFESTASI
KLINIS, PILIHAN TERAPI  DAN PANDANGAN DALAM ISLAM. 3, 10–16.

Anda mungkin juga menyukai