Makalah Kerajaan Aceh
Makalah Kerajaan Aceh
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula
melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan
dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya
Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka
berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para
pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para
saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka
dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh
(Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan
Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun
itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari
situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya
serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524,
Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan
Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu
mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh.
2
bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7
Agustus 1530 dan berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu
nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat
keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh).
C. Kehidupan Politik
Penguasa
Berdasarkan Bustanus salatin 1637 M karangan Naruddin Ar-raniri yang berisi silsilah
sultan-sultan aceh, dan berita-berita eropa. Kerajan aceh telah berhasil membebaskan diri dari
kaerajaan pedir. Raja-raja yang pernah memerintah kerajaan aceh :
3
Sultan Iskandar Thani meninggal tahta kerajaan dipegang oleh putri dari permasyurinya
dengan gelar Putri Sri Alam Permaisyuri ( 1641 – 1667 M ).
6. Sultan Sri Alam ( 1575 – 1576 M).
7. Sultan Zain Al-abidin ( 1576 – 1577 M).
8. Sultan Ala’ Al-din Mansur Syah ( 1577 – 1589 M).
9. Sultan Buyong ( 1589 – 1596 M).
10. Sultan Ala’ Al-din Riyayat Syah Sayyid Al-mukkamil ( 1596 – 1604 M).
11. Sultan Ali Riayat Syah ( 1604 – 1607 M).
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam ( 1607 – 1636 M).
13. Sultan Sri Ratu Salfi Al-din Taj Al-alam ( 1641 – 1675 M).
14. Sultan Sri Ratu Naqi Al-din Nur AL-alam ( 1675 – 1678 M).
15. Sultan Sri Ratu Zaqi Al-din Inayat Syah (1678 – 1688 M).
16. Sultan Sri Ratu Kamalat Syah Zinat Al-din ( 1688 – 1699 M).
17. Sultan Badr Al-alam Syarif Hashim Jamal Al-din ( 1699 – 1702 M).
18. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui ( 1702 – 1703 M).
19. Sultan Jamal Al-alam Badr Al-munir ( 1703 – 1726 M).
20. Sultan Jauhar Al-alam Amin Al-din ( 1726 M).
21. Sultan Syams Al-alam ( 1726 – 1727 M).
22. Sultan Ala’ Al-din Ahmad Syah ( 1727 – 1735 M).
23. Sultan Ala’ Al-din Johan Syah ( 1735 – 1760 M).
24. Sultan Mahmud Syah ( 1760 – 1781 M).
25. Sultan Badr Al-din ( 1781 – 1785 M).
26. Sultan Sulaiman Syah ( 1785 - .... M).
27. Alauddin Muhammad Daud Syah
28. Sultan Ala’ Al-din Jauhar Al-alam ( 1795 – 1815 dan 1818 – 1824 M).
29. Sultan Syarif Syaif Al-alam ( 1815 – 1818 M).
30. Sultan Muhammad Syah ( 1824 - 1838 M).
31. Sultan Sulaiman Syah ( 1838 – 1857 M).
32. Sultan Mansyur Syah ( 1857 – 1870 M).
33. ltan Mahmud Syah ( 1870 – 1874 M).
34. Sultan Muhammad Daun Syah ( 1874 – 1903 M).
Masa Kejayaan
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa
kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada
tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam
upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya
4
ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak
membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan
Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan
pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin
dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I.
Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
D. Kehidupan Ekonomi
Letak Aceh Darussalam yang strategis menyebabkan perdagangan maju pesat. Bidang
perdagangan yang maju tersebut menjadikan Aceh Darussalam makin makmur. Setelah dapat
menaklukan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh Darussalam makin bertambah makmur. Dengan
kekayaan yang melimpah, Aceh Darussalam mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat.
Sumber pemasukan utama Kerajaan Aceh Darussalam adalah lada dan emas. Mata pencaharian
utama penduduk Aceh Darussalam adalah bidang perdagangan, terutama perdagangan lada dan
emas. Selain berdagang, rakyat Aceh Darussalam juga menggantungkan diri pada sektor kelautan
dan pertanian.
Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah barang
mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.Namun di
antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai
1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh
pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Perancis,
dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh
Kehidupan sosial
5
Aliran ini diajarkan oleh Hamzah Fansuri yang diteruskan oleh muridnya yang bernama
Syamsuddin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar wafat, aliran Sunnah Wal Jamma’ah mengembangkan
islam beraliran Sunnah Wal Jamma’ah, ia juga menulis sejarah aceh yang berjudul Busnanussalatin.
( Taman raja-raja dan berisi adat-istiadat aceh beserta ajaran agama islam ).
Pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Thani muncul ahli tasawwuf terkenal dari gujarad
yang bernama Nurruddin Ar-Raniri. Hasil karyanya yang terkenal adalah Bustanus Salatin yang
berisi sejarah Aceh. Ajaran Nurruddin Ar-Raniri bertentangan dengan ajaran Hamzah Fansyuri dan
Syamsudin As-Samatrani. Hal itu menyebabkan perpecahan di kerajaan aceh pada tahun 1641,
Sultan Iskandar Thani wafat. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal aceh mengalami
kemunduran di berbagai bidang.
Kehidupan Budaya
Kejayaan yang dialami oleh Kerajaan Aceh tersebut tidak banyak diketahui dalam bidang
kebudayaan. Walaupun ada perkembangan dalam bidang kebudayaan, tetapi tidak sepesat
perkembangan dalam aktifitas perekonomian. Peninggalan kebudayaan yang terlihat nyata adalah
Masjid Baiturrahman.
Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata
(kanan). Sekitar tahun 1870an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga
serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan
Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi
pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang
asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang
dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir
abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan
penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah
masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya, Dalam
6
terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian
ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan
berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini
mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah
Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan
Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya
menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan
Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis,
Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam
perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan
Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang
sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang
sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur,
sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan
kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan
Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng
Pulau Kampai.
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status
Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang
Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak
hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim
surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun
permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah
ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya
Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah
kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang
Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung
mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol
dengan Belanda ketika berunding di Riau.[5]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan
kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824
mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan,
baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan
ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak
memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan
juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di
Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda
memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin
Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
7
8