Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

FERMENTASI TEMPE

Disusun oleh Kelompok 5 :


R. Tasya Nur Ichwany 2084205021
Rahmad Pahlevi 2084205030
Putri Aprina Siregar 2084205038

Mata kuliah : Mikrobiologi Analitik


Dosen Pengampu : Ermina Sari, S.TP., M.Sc

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS PENDIDIKAN DAN VOKASI

UNIVERSITAS LANCANG KUNING

PEKANBARU
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah senantiasa bersyukur kepada Allah karena berkat-Nya kita


masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Fermentasi Tempe” tepat pada waktunya. Adapun tujuan penyusunan makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Mikrobiologi Analitik yang
dibimbing oleh ibu Ermina Sari, S.TP., M.Sc. Kemudian, makalah yang telah
disusun ini juga bertujuan untuk memperluas wawasan mengenai materi-materi
yang bersangkutan dengan Fermentasi Tempe

Tentunya proses penyusunan makalah tidak lepas dari campur tangan


berbagai pihak, sehingga penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dan aktif dalam memberikan
dukungan baik secara moril maupun materil.

Akhir kata, penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki
karya-karya kami di waktu mendatang.

Pekanbaru, 9 December 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1. Latar Belakang........................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah...................................................................................2

1.2.1. Apa itu fermentasi tempe?.................................................................2

1.2.2. Bagaimana mikrobiologis inoculum tempe?......................................2

1.2.3. Bagaimana mekanisme pembentukan tempe?...................................2

1.2.4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan tempe?.......2

1.2.5. Bagaimana tahapan pembuatan tempe?.............................................2

1.2.6. Bagaimana sifat fisikokimia tempe?..................................................2

1.2.7. Apa saja keragaman pada proses pembuatan tempe?........................2

1.3. Tujuan Penelitian....................................................................................2

1.3.1. Memahami pengertian fermentasi tempe...........................................2

1.3.2. Memahami mikrobiologis inoculum tempe.......................................2

1.3.3. Mengetahui mekanisme pembentukan tempe....................................2

1.3.4. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan tempe.....2

1.3.5. Mengetahui tahapan pembuatan tempe..............................................2

1.3.6. Mengetahui sifat fisikokimia tempe...................................................2

1.3.7. Memahami keragaman pada proses pembuatan tempe......................2

BAB II KAJIAN TEORITIS.................................................................................3

BAB III PEMBAHASAN......................................................................................7

3.1. Pengertian Fermentasi Tempe...............................................................7

3.2. Mikrobiologis Inoculum Tempe.............................................................8


3.3. Mekanisme Pembentukan Tempe..........................................................9

3.3.1. Perkecambahan Spora........................................................................9

3.3.2. Miselia Menembus Jaringan Biji Kedelai..........................................9

3.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembuatan Tempe....................9

3.4.1. Cara Pengupasan................................................................................9

3.4.2. pH pada Proses Pengasaman Kedelai..............................................10

3.4.3. Inokulum Tempe..............................................................................10

3.4.4. Inkubasi............................................................................................11

3.4.5. Aerasi dan Kelembaban...................................................................11

3.4.6. Tempat Pembungkus........................................................................11

3.5. Tahapan Pembuatan Tempe................................................................12

3.5.1. Penghilangan Kotoran, Sortasi, dan Penghilangan Kulit.................12

3.5.2. Perendaman Atau Prefermentasi......................................................12

3.5.3. Proses Perebusan..............................................................................13

3.5.4. Penirisan dan Penggilingan..............................................................13

3.5.5. Inokulasi...........................................................................................13

3.5.6. Pengemasan......................................................................................14

3.5.7. Inkubasi Atau Fermentasi................................................................14

3.6. Sifat Fisikokimia Tempe.......................................................................15

3.6.1. Perubahan Fisik................................................................................15

3.6.2. Perubahan Kimia..............................................................................15

3.7. Keragaman Pada Proses Pembuatan Tempe......................................16

BAB IV PENUTUP..............................................................................................18

4.1 Kesimpulan............................................................................................18

4.2 Saran.......................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tempe adalah produk fermentasi yang amat dikenal oleh masyarakat
Indonesia dan mulai digemari pula oleh berbagai kelompok masyarakat Barat.
Tempe dapat dibuat dari berbagai bahan. Namun demikian yang biasa dikenal
sebagai tempe oleh masyarakat pada umumnya ialah tempe yang dibuat dari
kedelai.
Di berbagai daerah di Jawa dijumpai berbagai macam tempe yang dibuat
dari bahan selain kedelai. Namun demikian karena kedelai merupakan bahan yang
paling banyak dikenal maka bila nama tempe yang disebutkan tanpa disertai nama
bahannya, yang dimaksud adalah tempe kedelai. Sedangkan untuk tempe dari
bahan lain, identitasnya harus disertai nama bahannya (tempe benguk, tempe
mlanding), atau istilah yang sudah dikenal di masyarakat produsen/konsumennya
(tempe bongkrek, tempe bungkil). Di Indonesia tempe dikonsumsi oleh semua
tingkatan masyarakat, terutama di Jawa dan Bali.
Tempe merupakan salah satu produk fermentasi yang umumnya berbahan
baku kacang kedelai yang difermentasi dan mempunyai nilai gizi yang baik bagi
kesehatan. Fermentasi pada pembuatan tempe terjadi karena adanya aktivitas dari
kapang Rhizopus oligosporus. Kapang yang tumbuh pada tempe tersebut mampu
menghasilkan beberapa enzim seperti enzim protease yang berfungsi untuk
mengurai protein menjadi peptida yang lebih pendek dan asam amino bebas.
enzim lipase yang berfungsi untuk mengurai lemak menjadi asam-asam lemak,
enzim amilase yang berfungsi untuk mengurai karbohidrat kompleks menjadi
senyawa yang lebih sederhana. Oleh karena itu tempe baik dikonsumsi oleh
manusia dari berbagai usia, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa.
Melalui proses fermentasi, kedelai menjadi lebih enak dan meningkat nilai
nutrisinya. Rasa dan aroma kedelai memang berubah sama sekali setelah menjadi
tempe. Tempe lebih banyak diterima untuk dikonsumsi bukan saja oleh orang
Indonesia, tetapi juga oleh bangsa lain. Tempe yang masih baru (baik) memiliki
rasa dan bau yang spesifik. Bau dan rasa khas tempe ini tidak mudah
didiskripsikan tetapi dapat dimengerti dan dihayati bagi masyarakat yang telah
lama mengenal tempe.
Tempe yang dibuat dari kedelai melalui tiga tahap, yaitu: 1. Hidrasi dan
pengasaman biji kedelai dengan direndam beberapa lama (untuk daerah tropis
kira-kira semalam), 2. Sterilisasi terhadap sebagian biji kedelai, dan 3. Fermentasi
oleh jamur tempe yang diinokulasikan segera setelah sterilisasi. Jamur tempe yang
banyak digunakan ialah Rhizopus oligosporus.
Fermentasi tempe mampu menghilangkan zat-zat yang tidak diinginkan
yang terdapat pada kedelai. Tempe memiliki kandungan vitamin B12 yang sangat
tinggi, yaitu 3,9-5,0 g/100 g. Selain vitamin B12, tempe juga mengandung vitamin
B lainnya, yaitu niasin dan riboflavin (Vit B2). Tempe juga mampu mencukupi
kubutuhan kalsium sebanyak 20% dan zat besi 56% dari standar gizi yang
dianjurkan. Kandungan protein dalam tempe dapat disejajarkan dengan daging.
Dengan demikian tempe dapat menggantikan daging dalam susunan menu yang
seimbang.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apa itu fermentasi tempe?
1.2.2. Bagaimana mikrobiologis inoculum tempe?
1.2.3. Bagaimana mekanisme pembentukan tempe?
1.2.4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan tempe?
1.2.5. Bagaimana tahapan pembuatan tempe?
1.2.6. Bagaimana sifat fisikokimia tempe?
1.2.7. Apa saja keragaman pada proses pembuatan tempe?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Memahami pengertian fermentasi tempe
1.3.2. Memahami mikrobiologis inoculum tempe
1.3.3. Mengetahui mekanisme pembentukan tempe
1.3.4. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan tempe
1.3.5. Mengetahui tahapan pembuatan tempe
1.3.6. Mengetahui sifat fisikokimia tempe
1.3.7. Memahami keragaman pada proses pembuatan tempe
BAB II KAJIAN TEORITIS

Awal (sebelum tahun 1875). Tempe mungkin berasal dari pulau Jawa
setidaknya beberapa abad yang lalu. Pada saat itu orang-orang Jawa, tanpa
pelatihan formal di bidang mikrobiologi atau kimia berhasil menegembangkan
sebuah makanan baru yang luar biasa dari proses fermentasi yang disebut tempe.
Makanan ini bis disebut ini produk pengganti daging, karena mereka memiliki
banyak tekstur yang sama dengan daging, rasa, dan kandungan protein yang tinggi
seperti makanan daging (Limando dkk., 2007).

Kata tempe diduga berasal dari bahasa jawa kuno. Pada zaman jawa kuno
terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi.
Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan
Standarisasi makanan tumpi tersebut (Badan Standarisasi Nasional, 2012).

Tempe merupakan hasil fermentasi biji-bijian dengan menggunakan jamur


Rhizopus digosporus. Di Indonesia tempe yang sangat digemari masyarakat
berasal dari kedelai, selain kedelai tempe dapat dibuat dari gandum, beras dan biji
-bijian lain, meskipun kualitasnya tidak sebaik yang dibuat dari kedelai.
(Hesseltine et al., 1967)

Tempe kedelai mempunyai flavour yang lebih baik daripada kedelai


mentah, kandungan bahan padatan terlarutnya lebih tinggi oleh karena selama
penempean terjadi perubahan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana
yang sifatnya lebih mudah larut, sehingga tempe lebih mudah dicerna. Tempe juga
banyak mengandung vitamin B12, mineral seperti Ca dan Fe, tidak mengandung
kolesterol dan relative bebas dari racun kimia (Yanwar dan Saparsih, 1978).

Tempe terbuat dari kedelai dengan bantuan jamur Rhizopus sp. Jamur ini
akan mengubah protein kompleks kacang kedelai yang sukar dicema menjadi
protein sederhana yang mudah dicerna karena adanya perubahan-perubahankimia
pada protein, lemak, dan karbohidrat. Selama proses fermentasi kedelai menjadi
tempe, akan dihasilkan antibiotika yang akan mencegah penyakit perut seperti
diare. Produksi tempe agar tahan lama Untuk tahan lama, tempe yang misalnya
akan menjadi produk ekspor dapat di bekukan dan dikirim ke luar negeri di dalam
peti kemas pendingin. Proses membekukan tempu untuk ekspor sbb : mula-mula
tempe di iris-iris setebal 2-3 cm dan di blanching direndam dalam air mendidih
selama lima menit untuk mengaktifkan kapang dan enzim. Kemudian tempe di
bungkus dengan plastik selofan dan di bekukan pada suhu 40 derajat Celcius
sekitar 6 jam. Setelah beku disimpan pada suhu beku sekitar 20 derajat celcius
selama 100 hari tanpa mengalami perubahan sifat penampak warna, bau dan rasa.

Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tempe diantaranya,


oksigen, uap air, suhu, keaktifan starter, dan derajat keasaman (pH). Akan tetapi,
kelebihan dari faktor diatas dapat menyebabkan kerusakan pada tempe. Uap air
yang berlebihan dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan kapang.
Oksigen yang berlebihan dapat menimbulkan panas pada tempe. Sebelum
membuat tempe, kita harus mengetahui karakteristik dari kapang yang digunakan.
Masing-masing kapang memiliki tingkat suhu, kelembaban, dan pH yang berbeda
beda (Suprapti 2003)

Tempe mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur kompak dan flavour


spesifik. Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada
permukaan biji kedelai. Tekstur yang kompak juga disebabkan oleh miselia-
miselia jamur yang menghubungkan antara bijibiji kedelai. Sedangkan flavor yang
spesifik disebabkan oleh terjadinya degradasi komponen-komponen dalam kedelai
selama fermentasi (Kasmidjo, 1990 dalam Supriyadi 1998).

Proses pengolahan tempe pada umumnya meliputi tahap pencucian,


perendaman bahan mentah, perebusan, pengulitan, pengukusan, penirisan dan
pendinginan, inokulasi, pengemasan, kemudian fermentasi selama 2-3 hari.
Perendaman mengakibatkan ukuran biji menjadi lebih besar dan struktur kulit
mengalami perubahan sehingga lebih mudah dikupas. Perebusan dan pengukusan
selain melunakkan biji dimaksudkan untuk membunuh bakteri kontaminan dan
mengurangi zat anti gizi. Penirisan dan pendinginan bertujuan mengurangi kadar
air dalam biji dan menurunkan suhu biji sampai sesuai dengan kondisi
pertumbuhan jamur (Purwadaksi, 2007).
Pada tahap fermentasi hal yang perlu diperhatikan yaitu, pengaturan suhu
ruang fermentasi agar mencapai suhu ideal fermentasi 30° C (Suprapti, 2003).

Fermentasi merupakan suatu cara untuk mengubah substrat menjadi


produk tertentu yang dikehendaki dengan menggunakan bantuan mikroba.
Mikroba yang umumnya terlibat dalam fermentasi adalah bakteri, khamir dan
kapang. Prinsip dasar fermentasi adalah mengaktifkan kegiatan mikroba tertentu
untuk tujuan mengubah sifat bahan agar dapat dihasilkan suatu produk yang
bermanfaat. Hasil-hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis substrat,
macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan
dan metabolisme mikroba tersebut. (Winarno dkk., 1980).

Jamur tempe (Rhizopus sp.) merupakan spesies yang tergolong ke dalam


jenis Zygomycota. Fungi jenis ini memiliki ciri hifa yang membentuk rhizoid
pada substratnya. Koloni Rhizopus sp. juga memiliki ciri warna putih dan akan
berwarna abu-abu kecokelatan seiring bertambahnya usia biakan dengan
ketinggian hifa mencapai 10 mm. Spesies Rhizopus sp. tergolong ke dalam
Kingdom Fungi, Subkingdom Eomycota, Divisi Zygomycota, Subdivisi
Mucoromycotina, Ordo Mucorales, dengan Famili Mucoraceae, dan masuk ke
dalam Genus Rhizopus.

Menurut Hidayat (2008), selain jenis tempe kedelai ada jenis tempe yang
lain, yakni tempe leguminosa non kedelai dan tempe non leguminosa. Tempe
leguminosa non kedelai diantaranya adalah tempe benguk, tempe kecipir, tempe
kedelai hitam, tempe lamtoro, tempe kacang hijau, tempe kacang merah, dan lain-
lain. Sedangkan jenis tempe non leguminosa diantaranya tempe gandum, tempe
sorghum, tempe campuran beras dan kedelai, tempe ampas tahu, tempe bongkrek.
tempe ampas kacang, tempe tela, dan lain-lain.

Tempe berpotensi digunakan untuk melawan radikal bebas, sehingga dapat


menghambat proses penuaan dan mencegah penyakit degeneratif (jantung
koroner, diabetes, kanker dan lain-lain). Selain itu tempe juga mengandung zat
antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah penyakit jantung,
hipertensi, dan lain-lain. Tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B dan
zat besi. Berbagai macam kandungan yang terdapat dalam tempe mempunyai nilai
obat dan antibiotika untuk menyembuhkan infeksi. Tempe juga mengandung
superoksida desmutase yang mampu menghambat kerusakan sel dan proses
penuaan. Dalam sepotong tempe, terkandung berbagai unsur yang bermanfaat,
seperti protein, lemak, hidrat arang, serat dan vitamin, enzim, serta komponen
antibakteri dan zat antioksidan yang berkhasiat sebagai obat, diantaranya
fitosterol, asam fitat, asam fenolat, lesitin dan inhibitor protease (Cahyadi, 2006).

Persyaratan mutu tempe kedelai yang dicakup dalam SNI meliputi


komposisi kimia (kadar air, abu, lemak, protein dan serat kasar), cemaran logam
(cadmium, timbal, timah, merkuri, arsen), cemaran arsen, dan cemaran mikroba
(bakteri colifrom dan salmonella sp) (Wulan, 2010).

Ada peningkatan protein larut, folat, vitamin B12, oligosakarida, inhibitor


trypsin, dan tannin Fermentasi memungkinkan mikroorganisme untuk
mengeluarkan enzim proteolitik yang mampu mengubah protein dalam kedelai
menjadi peptide (seperti dipeptida, tripeptida, dan oligopeptida) yang memiliki
banyak sifat biofungsional. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa peptide
dalam produk kedelai fermentasi seperti doenjang (Korea), douche (Cina), natto
(Jepang), thua nao (Thailand), dan tempe (Indonesia) dikaitkan dengan sifat
biofungsional seperti penghambatan enzim pengonversi angiotensin I (ACE).
antioksidan, antidiabetes, antikanker, antitrombotik, hipokolesterolemik, dan
aktivitas imunomodulator (Tamam, 2019).
BAB III PEMBAHASAN

3.1. Pengertian Fermentasi Tempe


Menurut Jay dkk. (2005), fermentasi adalah proses perubahan kimiawi,
dari senyawa kompleks menjadi lebih sederhana dengan bantuan enzim yang
dihasilkan oleh mikrobia. Proses fermentasi akan menyebabkan terjadinya
penguraian senyawa-senyawa organik untuk menghasilkan energi serta terjadi
pengubahan substrat menjadi produk baru oleh mikrobia (Bourgaize dkk., 1999;
Madigan dkk., 2011).
Fermentasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu spontan dan tidak
spontan. Fermentasi spontan adalah yang tidak ditambahkan mikroorganisme
dalam bentuk starter atau ragi dalam proses pembuatannya, sedangkan fermentasi
tidak spontan adalah yang ditambahkan starter atau ragi dalam proses
pembuatannya. Mikroorganisme tumbuh dan berkembang secara aktif merubah
bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan pada proses fermentasi
(Suprihatin, 2010). Proses optimum fermentasi tergantung pada jenis
organismenya (Sulistyaningrum, 2008). Hidayat dan Suhartini (2013)
menambahkan faktor yang mempengaruhi proses fermentasi adalah suhu, pH awal
fermentasi, inokulum, substrat dan kandungan nutrisi medium.
Tempe adalah salah satu produk fermentasi yang umumnya berbahan baku
kedelai yang difermentasi dan mempunyai nilai gizi yang baik. Fermentasi pada
pembuatan tempe terjadi karena aktivitas kapang Rhizopus oligosporus.
Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang
disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Fermentasi kedelai menjadi
tempe akan meningkatkan kandungan fosfor. Hal ini disebabkan oleh hasil kerja
enzim fitase yang dihasilkan kapang Rhizopus oligos porus yang mampu
menghidrolisis asam fitat menjadi inositol dan thosfat yang bebas. Jenis kapang
yang terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi toksin, bahkan mampu
melindungi tempe dari aflatoksin. Tempe mengandung senyawa antibakteri yang
diproduksi oleh kapang tempe selama proses fermentasi (Cahyadi, 2007).
Menurut Dewi dan Aziz (2009), secara umum tempe berwarna putih,
dikarenakan pertumbuhan miselia kapang yang merekatkan biji-biji kedelai
sehingga terbentuk tekstur yang memadat. Tempe memiliki aroma yang khas
dikarenakan adanya degradasi dari komponen-komponen dari kedelai itu sendiri.
3.2. Mikrobiologis Inoculum Tempe
Inokulum tempe disebut juga sebagai starter tempe dan banyak pula yang
menyebut dengan ragi tempe. Meskipun dalam istilah ilmiah ragi dimaksudkan
sebagai inokulum untuk pembuatan tapai, tetapi di kalangan masyarakat
umumnya ragi diartikan sebagai agensia pengubah suatu bahan menjadi produk
melalui proses fermentasi. Starter tempe adalah bahan yang mengandung biakan
jamur tempe, digunakan sebagai agensia pengubah kedelai rebus menjadi tempe
akibat tumbuhnya jamur tempe pada kedelai dan melakukan kegiatan fermentasi
yang menyebabkan kedelai berubah karakteristiknya menjadi tempe.
Kualitas tempe sangat dipengaruhi oleh starter atau inokulum yang
digunakan untuk inokulasinya. Inokulum merupakan bahan yang mengandung
biakan jamur Rhizopus sp yang berperan dalam proses fermentasi tempe. Jenis
Rhizopus sp yang sering ditemui pada inokulum tempe yaitu Rhizopus oryzae,
Rhizopus stolonifer dan Rhizopus arrhizus (Dewi & 'Aziz, 2011). Inokulum
digunakan sebagai agensia pengubah kedelai rebus menjadi tempe, melalui proses
fermentasi yang menyebabkan kedelai berubah karakteristiknya menjadi tempe
(Hernawati & Meylani, 2019). Penggunaan inokulum dalam fermentasi tempe
tidak terlepas dari konsentrasi inokulum yang digunakan, Konsentrasi inokulum
tempe berbentuk bubuk dalam pembutan tempe yaitu sekitar 2-3 g untuk tiap 1 kg
kedelai atau 0,2%, karena kemampuan optimal inokulum tempe dalam fermentasi
berada pada konsentrasi 0,2% (Triyonol et al., 2017).
Clamydomucor oryzae adalah jamur benang yang disebut sebagai jamur
tempe. Jamur tersebut kini dikenal dengan nama Amylomyces rouxii. Namun
demikian Rhizopus oryzae yang secara implisit disebut dan diisolasi dari tempe
buatan Paramaribo, Suriname, Amerika Selatan-lah yang kemudian dianggap
sebagai jamur tempe di masa itu dan Rhizopus oligosporus adalah jamur benang
yang selalu terisolasi dari tempe yang dibuat di sekitar Bogor. Satu spesies baru
dari Rhizopus berhasil diisolasi dari tempe yang dibuat di Bogor, Jawa Barat,
yaitu Rhizopus azygosporus. Spesies ini amat mirip dengan Rhizopus oligosporus.
Perbedaan utamanya adalah dalam hal kemampuannya membentuk azygospora,
dan juga sporangiosporanya jauh lebih pendek.
3.3. Mekanisme Pembentukan Tempe
Dua mekanisme pembentukan tempe yaitu perkecambahan spora dan
proses miselia menembus jaringan biji kedelai.
3.3.1. Perkecambahan Spora
Perkecambahan Rhizopus oligosporus berlangsung melalui dua tahapan
yang amat jelas, yaitu pembengkakan dan penonjolan keluar tabung kecambah.
Kondisi optimal perkecambahan adalah suhu 42° C dan pH 4,0. Beberapa
senyawa karbohidrat tertentu diperlukan agar awal pembengkakan spora ini dapat
terjadi. Pembengkakan tersebut akan diikuti dengan penonjolan keluar tabung
kecambahnya, bila tersedia sumber-sumber karbon dan nitrogen dari luar.
Senyawa-senyawa yang dapat menjadi pendorong terbaik agar terjadi proses
perkecambahan adalah asam amino prolin dan alanin, dan senyawa gula glukosa
annosa dan xilosa.
3.3.2. Miselia Menembus Jaringan Biji Kedelai
Proses fermentasi hifa jamur tempe dengan menembus biji kedelai yang
keras itu dan tumbuh dengan mengambil makanan dari biji kedelai. Karena
penetrasi dinding sel biji tidak rusak meskipun sisi selnya dirombak dan diambil.
Rentang kedalaman penetrasi miselia ke dalam biji melalui sisi luar keping biji
yang cembung, dan hanya pada permukaannya saja dengan sedikit penetrasi
miselia, menerobos ke dalam lapisan sel melalui sela-sela di bawahnya. Konsep
tersebut didukung adanya gambar fotomikrograf dari beberapa tahapan
terganggunya sel biji kedelai oleh miselia tidak lebih dari dua lapisan sel.
Sedangkan perubahan kimiawi seterusnya dalam biji terjadi oleh aktivitas enzim
ekstraseluler yang diproduksi/dilepaskan ujung miselia.

3.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembuatan Tempe


Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembuatan tempe. Faktor-
faktor tersebut akan dijelaskan di bawah ini.
3.4.1. Cara Pengupasan
Pengupasan kedelai yang secara tradisional dikerjakan dengan meremas
biji kedelai menggunakan tangan atau menginjak-injak dengan kaki, dalam skala
industri dilakukan dengan mesin. Tentu saja dengan menggunakan mesin maka
akan dapat dihasilkan tempe dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang
singkat dan dapat dipastikan lebih seragam jika dibandingkan dengan cara
manual. Selain itu dengan menggunakan mesin, pengupasan dapat dikerjakan
secara kering maupun basah. Pengupasan secara basah dilakukan terhadap biji
kedelai utuh yang telah dihidrasi atau telah direndam. Pada saat ini kedelai yang
telah menyerap air secara optimum (sehingga tampak menggembung), kulit biji
sebenarnya sudah tidak melekat lagi pada keping biji, terpisah oleh air yang
terserap. Sedangkan pengupasan kering dilakukan terhadap biji kedelai utuh
sebelum perendaman. Dalam cara ini biji kedelai terlebih dahulu dipanaskan
sebentar sampai suhu 220° F (104° C) agar kulit biji menjadi rapuh sehingga
mudah pecah, dan kemudian dilewatkan mesin penggiling.
3.4.2. pH pada Proses Pengasaman Kedelai
Nilai pH yang cocok selama perendaman kedelai sekitar 4,5 sampai 5.0.
Angka ini merupakan nilai pH yang tidak menguntungkan bagi hampir semua
bakteri penyebab penyakit dan bakteri pembusuk. Pengasaman biji kedelai
dimaksudkan untuk memberikan kondisi yang cocok untuk tumbuhnya jamur
tempe sehingga dapat diproduksi tempe dengan kualitas baik. Apabila tidak
diasamkan maka tempe yang diproduksi memiliki kemungkinan yang lebih tinggi
untuk terkontaminasi bakteri penyebab penyakit. Jika perendaman tidak dilakukan
dengan sempurna maka tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Oleh
sebab itu lebih baik apabila pada perendaman ditambahkan asam encer atau
dinokulasikan bakteri Lactobacillus plantarum agar produksi tempe lebih terjamin
untuk berhasil baik.
3.4.3. Inokulum Tempe
Kualitas tempe amat dipengaruhi oleh kualitas starter yang digunakan
untuk inokulasinya. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi atas kualitas jamur
starter yang baik untuk dipakai sebagai starter tempe antara lain:
1) Mampu memproduksi spora dalam jumlah banyak.
2) Mampu bertahan beberapa bulan tanpa mengalami perubahan genetis
maupun kemampauan tumbuhnya.
3) Memiliki persentase perkecambahan spora yang tinggi segera setelah
dinokulasikan.
4) Mengandung biakan jamur tempe yang murni, dan bila digunakan berupa
kultur campuran harus mempunyai proporsi yang tepat.
5) Bebas dari mikrobia kontaminan dan jika memungkinkan strain yang
dipakai memiliki kemampuan untuk melindungi diri terhadap dominasi
mikrobia kontaminan (dapat dibantu dengan menciptakan kondisi spesifik
yang cocok untuk strain yang dikehendaki tetapi menjadi faktor
penghambat bagi mikrobia kontaminan, misalnya dengan merendahkan
pH, pemberian inhibitor, dsb.)
6) Mampu menghasilkan produk yang stabil berulang-ulang.
7) Pertumbuhan miselia setelah diinokulasi harus kuat, lebat berwarna putih
bersih, memiliki aroma spesifik tempe yang enak, dan tidak mengalami
sporulasi yang terlalu awal.
3.4.4. Inkubasi
Inkubasi dikerjakan pada suatu tempat yang mempunyai suhu sekitar 40°C
dengan kelembaban sekitar 90 %. Cara inkubasi yang tepat akan menjamin
fermentasi dalam waktu yang cepat, kurang dari 24 jam.
3.4.5. Aerasi dan Kelembaban
Aerasi yang berlebihan dapat memacu proses pembentukan spora
(sporulasi) dari miselia jamur tempe sehingga tempe akan tampak kehitam-
hitaman atau bercak-bercak hitam. Kelembaban yang cocok untuk pertumbuhan
jamur tempe berkisar antara 90-95%, dan apabila kurang maka akan menyebabkan
jamur tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik yang tentu akan
mempengaruhi kualitas tempe yang dihasilkan.
3.4.6. Tempat Pembungkus
Faktor utama yang menentukan bahwa tempat pembungkus dapat
menghasilkan tempe yang baik ialah aerasi dan kelembaban. Jika tempat
pengemasan dapat menjamin aerasi yang merata secara terus-menerus dan
sekaligus dapat menjaga agar kelembaban tetap tinggi tanpa menimbulkan
pengembunan. Bahan apapun dapat dibuat sebagai tempat pembungkus tempe
dengan hasil yang baik apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Agar selama fermentasi dapat menjamin berlangsungnya aerasi yang baik
sehingga tersedia oksigen yang mencukupi kebutuhan untuk pertumbuhan,
tetapi tidak memberikan udara yang berlebihan.
2) Dapat mempertahankan kelembaban biji kedelai selama fermentasi
berlangsung.
3) Tidak terjadi kontak antara air yang tidak terserap biji (titik-titik air)
dengan biji yang sedang mengalami fermentasi agar bakteri kontaminan
tidak tumbuh.
4) Dapat mempertahankan kebersihan dan kenampakan yang baik atas tempe
yang dihasilkan.
3.5. Tahapan Pembuatan Tempe
Ada beberapa tahapan dalam proses pembuatan tempe. Tahapan-tahapan
tersebut meliputi:
3.5.1. Penghilangan Kotoran, Sortasi, dan Penghilangan Kulit
Biji kedelai harus bersih, bebas dari campuran batu kerikil ataupun bijian
lain, tidak rusak, dan bentuknya seragam. Kulit biji kedelai harus dihilangkan
untuk memudahkan bertumbuhnya jamur. Penghilangan kulit biji dapat dilakukan
secara kering ataupun basah. Cara kering lebih efisien, yaitu dikeringkan terlebih
dahulu pada suhu 104° C selama 10 menit atau dengan pengeringan sinar matahari
selama 1-2 jam. Selanjutnya penghilangan kulit dilakukan dengan Burr Mill. Biji
kedelai tanpa kulit dalam keadaan kering dapat disimpan lama.
Penghilangan biji secara basah dapat dilakukan setelah biji mengalami
hidrasi, yaitu setelah perebusan atau perendaman. Biji yang telah mengalami
hidrasi lebih mudah dipisahkan dari bagian kulitnya, tetapi dengan cara basah
tidak dapat disimpan lama.
3.5.2. Perendaman Atau Prefermentasi
Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi, sehingga kadar
air biji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu mencapai 62-65 %.
Proses perendaman memberi kesempatan untuk tumbuhnya bakteri-bakteri asam
laktat sehingga terjadi penurunan pH dalam biji menjadi sekitar 4,5-5,3.
Penurunan pH biji kedelai tidak menghambat pertumbuhan jamur tempe, tetapi
dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri kontaminan yang bersifat sebagai
pembusuk. Proses fermentasi selama perendaman yang dilakukan bakteri
mempunyai arti penting ditinjau dari aspek gizi, apabila asam yang dibentuk dari
gula stakhijosa dan rafinosa. Keuntungan lain dari kondisi asam dalam biji adalah
menghambat penaikan pH sampai di atas 7,0 karena adanya aktivitas proteolitik
jamur yang dapat membebaskan amonia sehingga dapat meningkatkan pH dalam
biji. Bila pH di atas 7,0 akan dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan
menyebabkan kematian jamur tempe. Hessseltine, et.al (1963), mendapatkan
bahwa dalam biji kedelai terdapat komponen yang stabil terhadap pemanasan dan
larut dalam air bersifat menghambat pertumbuhan Rhizopus oligosporus, dan juga
dapat menghambat aktivitas enzim proteolitik dari jamur tersebut. Penemuan ini
menunjukkan bahwa perendaman dan pencucian sangat penting untuk
menghilangkan komponen tersebut.
Proses hidrasi terjadi selama perendaman dan perebusan biji. Makin tinggi
suhu yang dipergunakan maka semakin cepat proses hidrasinya. Namun demikian
bila perendaman dilakukan pada suhu tinggi maka akan menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan bakteri sehingga asam tidak terbentuk.
3.5.3. Proses Perebusan
Proses pemanasan atau perebusan biji setelah perendaman bertujuan untuk
membunuh bakteri-bakteri kontaminan, mengaktifkan senyawa tripsin inhibitor,
membantu membebaskan senyawa-senyawa dalam biji yang diperlukan untuk
pertumbuhan jamur.
3.5.4. Penirisan dan Penggilingan
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam biji.
mengeringkan permukaan biji, dan menurunkan suhu biji sampai sesuai dengan
kondisi pertumbuhan jamur. Air yang berlebihan dalam biji dapat menghambat
pertumbuhan jamur dan menstimulasi pertumbuhan bakteri. bakteri kontaminan
sehingga menyebabkan pembusukan.
3.5.5. Inokulasi
Inokulasi pada pembuatan tempe dapat dilakukan dengan mempergunakan
beberapa bentuk inokulan, yaitu:
1) Usar, dibuat dari daun waru (Hibiscus tiliaceus) atau jati (Tectona
grandis), merupakan media pembawa spora jamur. Usar ini banyak
dipergunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
2) Tempe yang telah dikeringkan dengan penyinaran matahari atau kering
beku.
3) Sisa spora dan miselia dari wadah atau kemasan tempe.
4) Ragi tempe yang dibuat dari tepung beras yang dibuat bulat seperti ragi
roti.
5) Spora Rhizopus oligiosporus yang dicampurkan dengan air.
6) Isolat Rhizopus oligosporus dari agar miring untuk pembuatan tempe skala
laboratorium.
7) Ragi tempe yang dibuat dari tepung beras yang dicampurkan dengan jamur
tempe yang ditumbuhkan pada medium dan dikeringkan.
3.5.6. Pengemasan
Kemasan yang dipergunakan untuk fermentasi tempe secara tradisional
yaitu daun pisang, jati, waru atau bambu. Selanjutnya juga dikembangkan
kemasan plastik yang diberi lubang. Secara laboratorium, kemasan yang
dipergunakan adalah nampan stainless stell dengan berbagai ukuran yang
dilengkapi dengan lubang-lubang kecil.
3.5.7. Inkubasi Atau Fermentasi
Inkubasi dilakukan pada suhu 25°-37° C selama 36-48 jam. Selama
inkubasi terjadi proses fermentasi yang menyebabkan perubahan komponen-
komponen dalam biji kedelai. Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk
inkubasi kedelai adalah kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai
dengan pertumbuhan jamur.
Proses fermentasi tempe dapat dibedakan atas tiga fase, yaitu:
1) Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi) terjadi penaikan jumlah
asam lemak bebas, penaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat, terlihat
dengan terbentuknya miselia pada permukaan biji yang semakin lama
semakin lebat sehingga menunjukkan masa yang lebih kompak.
2) Fase transisi (30-50 jam fermentasi) merupakan fase optimal fermentasi
tempe di mana tempe siap dipasarkan. Pada fase ini terjadi penurunan
suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan jamur hampir
tetap atau bertambah sedikit, flavor spesifik tempe optimal, dan tekstur
lebih kompak. 3. Fase pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam
fermentasi) terjadi penaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas,
pertumbuhan jamur menurun, dan pada kadar air tertentu pertum- buhan
jamur terhenti, terjadi perubahan flavor karena degradasi protein lanjut
yang membentuk amonia.
Dalam pertumbuhannya, Rhizopus akan menggunakan oksigen dan
menghasilkan CO, yang akan menghambat beberapa organisme perusak. Adanya
spora dan hifa juga akan menghambat pertumbuhan kapang yang lain. Jamur
tempe juga menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat pertumbuhan
banyak mikrobia.
3.6. Sifat Fisikokimia Tempe
Perubahan yang terjadi pada proses pembuatan tempe adalah perubahan
fisik dan perubahan kimia.
3.6.1. Perubahan Fisik
Selama proses fermentasi, kedelai akan mengalami perubahan fisik.
terutama tekstur. Tekstur kedelai akan menjadi semakin lunak karena terjadi
penurunan selulosa menjadi bentuk yang lebih sederhana. Hifa kapang juga
mampu menembus permukaan kedelai sehingga dapat menggunakan nutrisi yang
ada pada biji kedelai. Hifa kapang akan mengeluarkan berbagai macam enzim
ekstraseluler dan menggunakan komponen biji kedelai sebagai sumber nutrisinya.
Perubahan fisik lainnya adalah peningkatan jumlah hifa kapang yang
menyelubungi kedelai. Hifa ini berwarna putih dan semakin lama semakin
kompak sehingga mengikat kedelai yang satu dengan kedelai lainnya menjadi satu
kesatuan. Pada tempe yang baik akan tampak hifa yang rapat dan kompak serta
mengeluarkan bau yang enak.
3.6.2. Perubahan Kimia
Beberapa perubahan kimia yang terjadi akan dijelaskan sebagai berikut ini.
3.6.2.1 Protein
Adanya enzim proteolitik menyebabkan degradasi protein kedelai menjadi
asam amino, sehingga nitrogen terlarut meningkat dari 0,5 menjadi 2,5%.
Degradasi protein ini juga menyebabkan peningkatan pH. Nilai pH tempe yang
baik berkisar antara 6,36,5. Kedelai yang telah terfermentasi menjadi tempe akan
mudah dicerna karena banyak bahan yang mudah larut. Bau langunya juga hilang.
Aktivitas protease terdeteksi setelah fermentasi 12 jam ketika pertumbuhan hifa
kapang masih relatif sedikit. Hanya 5% dari hidrolisis protein yang digunakan
sebagai sumber karbon dan energi. Sisanya terakumulasi dalam bentuk peptida
dan asam amino. Asam amino mengalami perubahan dari 1,02 menjadi 50,95
setelah fermentasi 48 jam. Proses perendaman dan pemasakan juga
mempengaruhi hilangnya protein. Selama perendaman protein turun sebanyak
1,4%.
3.6.2.2 Lemak
Kapang akan menguraikan sebagian besar lemak dalam kedelai selama
Pembebasan asam lemak ditandai dengan meningkatnya angka asam 50-70 kali
sebelum fermentasi. Jumlah asam lemak sebelum fermentasi adalah 1,7 dan pada
akhir fermentasi (48 jam) meningkat menjadi 55,5.
Lemak dalam tempe tidak mengandung kolesterol. Lemak dalam tempe
juga tahan terhadap ketengikan karena adanya antioksidan alami yang dihasilkan
oleh kapang. Antioksidan tersebut adalah genestein, deidzein. dan 6,7,4
trihidroksi-isoflavon.
Enzim lipase memulai aktivitasnya di awal fermentasi yang ditandai
dengan meningkatnya asam lemak bebas yang terdeteksi setelah 12 jam
fermentasi. Monogliserida sebagai hasil perombakan lipase mencapai 80% pada
akhir fermentasi tempe.
3.6.2.3 Karbohidrat
Kapang Rhizopus oligosporus memproduksi enzim pendegradasi
karbohidrat seperti amilase, selulase, xylanase, dan sebagainya. Selama fermentasi
karbohidrat akan berkurang karena dirombak menjadi gula-gula sederhana.
Kandungan serat kasar akan meningkat akibat pertum- buhan kapang.
3.7. Keragaman Pada Proses Pembuatan Tempe
Pada dasarnya teknologi pembuatan tempe yang dilakukan oleh perajin
meliputi perebusan, pengupasan, perendaman, peragian, pengemasan dan
fermentasi. Pada perkembangannya terjadi modifikasi pada setiap tahap karena
adanya pengalaman atau karena adanya penyesuaian dengan sarana dan
kemampuan sumber daya yang tersedia. Modifikasi terjadi pada setiap tahap,
antara lain pada tahap perendaman yang mencakup waktu dan teknik perendaman;
ragi tempe yang mencakup jenis, cara dan jumlah penambahan; perebusan yang
mencakup waktu dan tahapar pengemasan yang mencakup jenis bahan dan cara
pengemasan: fermentasi yang mencakup waktu dan cara.
Sampai saat ini dikenal berbagai variasi dalam pembuatan tempe, yaitu
dengan tahapan :
1) Tahap 1: Terdapat perbedaan antarvariasi. Ada perajin yang memulai
dengan perendaman I dan ada yang dengan perebusan I. Perendaman I
dilakukan selama 4 jam, sedang yang perebusan I berkisar dari 15 menit -
2 jam.
2) Tahap 2: Terdapat tiga variasi, yaitu Perebusan I, Penggilingan, dan
perendaman. Pada metode yang dimulai dengan perendaman, maka
dilanjutkan dengan perebusan 1 jam baru dilakukan penggilingan dan
pemisahan kulit. Pada metode perebusan, ada yang melakukan
penggilingan namun ada juga yang melakukan perendaman I selama 10
jam baru dilanjutkan dengan penggilingan dan pemisahan kulit.
3) Tahap 3: Setelah pemisahan kulit, semua metode umumnya menggunakan
tahap perendaman II yang bervariasi dari 2,5 - 12 jam yang diikuti dengan
pencucian. Antara pencucian dan perendaman II ada yang dimulai dengan
perendaman dan ada pula yang dimulai dengan pencucian baru
perendaman.
4) Tahap 4: Setelah perendaman atau pencucian dilakukan perebusan II yang
berkisar antara 24,5 jam dan diikuti dengan penirisan, pendinginan, dan
penambahan inokulum.
5) Tahap 5: Penambahan inokulum bervariasi antarperajin. Ada yang hanya
penggunakan inokulum daun waru namun ada pula yang menggunakan
campuran antara daun waru dan inokulum bubuk.
6) Tahap 6: Fermentasi dilakukan dengan atau tanpa pemberat batu pada
tempat tertentu dalam jumlah besar tanpa dikemas. Adapula yang dikemas
dalam plastik atau daun. Fermentasi berlangsung 36 - 48 jam.
BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Tempe merupakan salah satu produk fermentasi yang umumnya berbahan
baku kacang kedelai yang difermentasi dan mempunyai nilai gizi yang
baik bagi kesehatan.
2. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tempe diantaranya,
oksigen, uap air, suhu, keaktifan starter, dan derajat keasaman (pH).
3. Ada 2 mekanisme pembentukan tempe yaitu perkecambahan spora dan
proses miselia menembus jaringan biji kedelai.
4. Pada dasarnya teknologi pembuatan tempe yang dilakukan oleh perajin
meliputi perebusan, pengupasan, perendaman, peragian, pengemasan dan
fermentasi.
5. Fermentasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu spontan dan tidak
spontan. Fermentasi spontan adalah yang tidak ditambahkan
mikroorganisme dalam bentuk starter atau ragi dalam proses
pembuatannya, sedangkan fermentasi tidak spontan adalah yang
ditambahkan starter atau ragi dalam proses pembuatannya
4.2 Saran
Kami sebagai penulis makalah ini menyarankan kepada para pembaca agar
memberikan kritik dan sarannya terhadap makalah ini, supanya kedepannya kami
bisa memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Dan kami juga
minta maaf atas kekurangan dari makalah ini, karena kami bersifat khilaf dan
lupa.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standardisasi Nasional, 2012, Tempe:Persembahan Indonesia Untuk
Dunia, Jakarta.

Bourgaize, D., Jewell, T.T. dan Buiser, R.G. 1999. Biotechnology Demystifying
The Concepts. Benjamin Cummings, San Fransisco.

Cahyadi, W. Analisis dan aspek kesehatan bahan tambahan pangan. Jakarta: Bumi
Aksara; 2008.

Dewi, Ratna Stia dan Saefuddin Aziz. 2011. "Isolasi Rhizopus Oligosporus Pada
Beberapa Inokulum Tempe Di Kabupaten Banyumas". Jurnal Molekul. 6(2):
93-104.

Hidayat, N. M. dan Sri Suhartini, 2013. Mikrobiologi Industri. Penerbit Andi.


Yogyakarta.

Jay, J. M., M. J. Loessner, and D. A. Golden. 2005. Modern food microbiology.


7th ed. Springer Science, New York.

Kasmijo, Dr. Ir.R.B. 1990. Tempe Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan Serta
Pemanfaatannya. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM.

Limando, I., & Soewito, B. M. (2014). Perancangan Buku Visual Tentang Tempe
Sebagai Salah Satu Makanan Masyarakat Indonesia. Jurnal DKV Adiwarna,
1(4), 12.

Madigan, M.T., Martinko, J.M., dan Stahl, D.A. 2011. Biology of


Microorganisms. 13th ed. Benjamin Cummings, San Francisco.

Purwadaksi R. 2007. Memanfaatkan Pekarangan Untuk Tanaman Obat Keluarga.


Jakarta: Agro Media Pustaka.

Suprapti, Lies.M. 2003. Pembuatan Tempe. Yogyakarta: Kanisius.

Sulistyaningrum, L.S. 2008. Optimasi Fermentasi Asam Kojat Oleh Galur Mutan
Aspergillus flavus NTGA7A4UVE10. Skripsi. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Departemen Farmasi. Universitas Indonesia
Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi. Surabaya: UNESA Pres.

Tamam, B. (2019) "Proteomic study of bioactive peptides from tempe," Journal


of Bioscience and Bioengineering. Elsevier Ltd, 128(2), hal. 241–248. doi:
10.1016/j.jbiosc.2019.01.019.

Winarno, F.G. dan Fardiaz, S. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia.

Yanwar dan Saparsih. 1978. Selected Abstract on Traditional Fermented Food.


National Scientific Documentation Center Indonesia Institute of Science.
Jakarta.

Yogyakarta. Cahyadi, W. Analisis dan aspek kesehatan bahan tambahan pangan.


Jakarta: Bumi Aksara; 2008.
Pertanyaan

1) Ezra Goval Febriano


Faktor apa yang membuat fermentasi tempe itu gagal ?
Jawab :
Apabila suhunya terlalu rendah, maka akan menghambat pertumbuhan
jamur. Sedangkan jika suhunya terlalu panas akan menyebabkan tempe
menjadi terlalu panas sehingga kedelai akan mudah busuk.
2) Norpatul Aubat
Manfaat dari ragi dalam pembuatan tempe apa saja ?
Jawab :
Ragi yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah Rhizoporous
Oligosporus. Ini adalah jamur berjenis filamentous, dan bukan dari jenis
bacteri. Jamur jenis ini adalah jamur baik, mirip dengan jamur yang
digunakan pada pembuatan keju.
Jamur ini memainkan peranan penting pada "mencerna dini" sebagian besar
protein kedelai, merubah protein menjadi asam amino yang menjadikan
tempe mudah dicerna oleh manusia.
Jamur ini juga menghasilkan ensim phytase yang mengurai phytase pada
kedelai. Dengan demikian, membantu penyerapan lebih optimal untuk
mineral seperti zinc, zat besi dan kalsium pada pencernaan manusia.
Jamur Rhizoporous juga menghasilkan agen antibiotik alami yang stabil
terhadap panas untuk melawan organisme penyebag penyakit. Sejarah
Indonesia telah membuktikan bahwa mereka yang mengkonsumsi tempe
sebagai diet sehari- harinya mengenal benar manfaat tempe sebagai obat
disentri, dan juga manfaatnya dalam memelihara kesehatan usus dari
penyakit-penyakit umumnya yang selalu menyerang mereka.
3) Putri Fajar Robi
Apakah boleh mengkonsumsi tempe mentah tanpa dimasak/digoreng
terlebih dahulu ?
Jawab :
Ya, tidak ada salahnya memakan tempe dalam keadaan mentah. Hanya saja,
tempe menthe bisa memiliki sebuah lapisan campuran yang berminyak
seperti yang membentuk gelembung udara. Udara yang terperangkap inilah
yang menciptakan suasana tepat bagi pertumbuhan semacam bakteri
anaerobic yang memberi rasa kurang enak pada lidah.
4) Gina Fitria Ningrum
Dibeberapa daerah ada yang mengkomsumsi tempe busuk, nah sebenarnya
apakah boleh kita memakan tempe busuk itu dan manfaat apa saja yang
terkandung didalam tempe busuk tersebut ?
Jawab :
Tempe bosok ini aman dikonsumsi asal masih kering, tidak dimasuki
organisme lain, juga memiliki manfaat bahwa antioksidan pada tempe bosok
dapat menonaktifkan dan memotong radikal bebas pada tubuh. Selain itu
juga bisa mencegah kanker serta panuaan dini.
5) Jefri Maulana
Bagaimana cara mendapatkan tempe yang baik dalam fermentasi ?
Jawab :
Untuk medapatkan tempe yang baik dalam proses fermentasi, dilakukan
beberapa tahap untuk mendapatkan kualitas yang terbaik tersebut, yaitu :
 Penghilangan Kotoran, Sortasi, dan Penghilangan Kulit
 Perendaman Atau Prefermentasi
 Proses Perebusan
 Penirisan dan Penggilingan
 Inokulasi
 Pengemasan
 Inkubasi Atau Fermentasi

Anda mungkin juga menyukai